Dosen Pengampu :
Disusun oleh :
FKIP MAT-SMT 1
Januari 2018
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah saya ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan tugas
makalah ini.
Kemudian dari pada itu, saya sadar bahwa dalam penyusunan tugas
makalah ini banyak yang membantu terhadap usaha saya, mengingat hal itu
dengan segala hormat saya sampaikan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya
kepada :
2. Dosen pengampu mata kuliah Agama islam Dr. Afiful Ikhwan, M.Pd.I
Atas bimbingan, petunjuk dan dorongan tersebut saya hanya dapat berdo'a
dan memohon kepada Allah SWT semoga amal dan jerih payah mereka menjadi
amal soleh di sisi Allah SWT. Amin.
Akhirnya saya tetap berharap semoga tugas makalah ini menjadi butir-
butir amalan saya dan bermanfaat khususnya bagi saya dan umumnya bagi seluruh
pembaca. Amin.
Penyusun
2
DAFTAR ISI
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Paradigma Al-Quran .................................. 3
B. Paradigma yang Mendominasi Masyarakat Dunia Saat Ini 4
C. Reorientasi dan Rekontruksi Paradigma Islam ............. 10
D. Konsep Dasar Tentang Al-Qur’an dan As-Sunnah dan Metode
Pemahamannya ............................................................. 11
3
BAB I
PENDAHULUAN
Yang menjadi masalah adalah bahwa setiap sistem ilmu pengetahuan yang
dikembangkan oleh setiap peradaban tidak pernah bebas nilai. Ia mempunyai
epistemologi dan aksiologinya sendiri sesuai dengan paradigma yang berkembang
dalam sistem global peradaban tersebut. Pengembangan ilmu pengetahuan yang
bersifat radics dan reductionic (mendalam sampai ke akar-akarnya) dan
4
prinsip art for art seringkali menimbulkan pertentangan dengan nilai-nilai agama,
sebab siapa saja bisa mengembangkan apa saja demi memenuhi hasrat keingin-
tahuannya, tanpa memikirkan apa dan bagaimana jadinya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian paradigma al-qur’an dan integrasinya pada kedamaian?
2. Mengapa paradigma pemikiran mendominasi masyarakat dunia saat ini?
3. Bagaimana Reorientasi dan rekontruksi paradigma Islam?
4. Bagaimana konsep dasar tentang Al-Qur’an dan As-Sunnah serta metode
pemahamannya?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian paradigma al-qur’an dan integrasinya pada
kedamaian
2. Untuk mengetahui tujuan paradigma pemikiran mendominasi masyarakat
dunia saat ini.
3. Untuk mengetahui Reorientasi dan rekontruksi paradigma Islam.
4. Untuk mengetahui konsep dasar tentang Al-Qur’an dan As-Sunnah serta
metode pemahamannya.
5
BAB II
PEMBAHASAN
ِ فاِن ۚ ُر ٰبع و ث ُ ٰلث و مث ٰنی النِسا ِٓء ِمن لکُم طاب ما فان ِک ُحوا الی ٰتمٰ ی ِفی ت ُق
ُ س
طوا ا َّل ِخفت ُم اِن و
ٰۤ
ِ ؕ تعُولُوا ا َّل اد ٰنی ٰذ ِلک ؕ ایمانُکُم ملکت ما او فو
احدۃ تع ِدلُوا ا َّل ِخفت ُم
Adanya kesadaran bagi seluruh umat muslim adalah yang terpenting untuk
menjaga dan mewujudkan paradigma qur’ani ini. Karena, tanpa kesadaran dari
umat muslim ini, paradigma tak akan terwujud dan mungkin bisa saja terjadi
kekacauan bagi seluruh muslim karena memang hanya al-qur’an pedoman bagi
seluruh umat islam.
Al-Quran bagi umat Islam adalah sumber primer dalam segala segi
kehidupan. Al-Quran adalah sumber ajaran teologi, hukum, mistisisme,
pemikiran, pembaharuan, pendidikan, akhlak dan aspek aspek lainnya. Tolok ukur
6
benar / salah, baik / buruk, dan indah / jelek adalah Al-Quran. Jika mencari
sumber lain dalam menentukan benar / salah, baik / buruk, dan indah / jelek, maka
seseorang diangap tidak konsisten dalam berislam, suatu sikap hipokrit yang
dalam pandangan Al-Quran termasuk sikap tidak terpuji.
7
Karena dimensi pengaruhnya yang global dan cepat, maka modernisasi
sekali dimulai oleh suatu kelompok manusia (dalam hal ini bangsa Barat), tidak
mungkin lagi bagi kelompok manusia lain untuk memulainya dari titik nol. Jadi,
bangsa-bangsa bukan Barat pada permulaan proses perkembangannya terpaksa
harus menerima paradigma modernitas Barat. Hal ini disebabkan karena adanya
sistem global, yang di dalamnya terdapat sistem-sistem kehidupan, seperti
ideologi, politik, ekonomi, sosial-budaya dan ilmu pengetahuan, yang saling kait-
mengkait dan mempengaruhi satu sama lain; dan semuanya terpola menuju
terbentuknya masyarakat jagad (global society).
Kini kita hidup di abad informasi. Perkembangan teknologi komputer
mikro, telah menimbulkan kekuatan yang memungkinkan diperolehnya informasi
hanya dengan sentuhan sebuah tombol. Terdapat konsensus yang luas bahwa
teknologi komputer yang secara tak terelakkan akan memberi bentuk baru masa
depan umat manusia, mengharuskan kita mendefinisikan kembali kegiatan kerja
dan waktu santai dan dalam jangka panjang, mengharuskan kita melakukan
redefinisi terhadap pemikiran dan ilmu pengetahuan. Masa depan yang
dimaksudkan itu, menurut Ziauddin Sardar (1992), akan tercipta melalui
penggabungan dua bidang yang sebelum ini terpisah, tetapi yang sekarang sedang
dalam proses melebur: komputer dan telekomunikasi.
Umat Islam sendiri dalam merespon modernitas atau modernisasi yang
semakin menguat di atas paradigma pemikiran Barat ini terpecah ke dalam
beberapa pola pemikiran dan kecenderungan. Pertama, kecenderungan kepada
aliran-aliran pemikiran baru yang bersifat teologis, yang kemudian mengkristal
menjadi aliran-aliran fundamentalisme, messianisme, modernisme dan
tradisionalisme, yang seperti yang dikembangkan oleh Muhammad Abduh,
Sayyed Hossein Nasr, dan lain-lain. Kedua, kecenderungan pada pemikiran Islam
yang bersifat historis, yaitu usaha membongkar (dekonstruksi) pemikiran klasik
dan membangunnya kembali (rekonstruksi) dengan berbagai pendekatan filsafat
dan ilmu-ilmu sosial modern (sejarah, sosiologi, antropologi, ilmu politik,
ekonomi, linguistik/semiotika, dsb.) atau yang lebih dikenal dengan istilah proyek
teoretisasi pemikiran Islam, seperti yang digeluti oleh Mohammad Arkoun,
Hassan Hanafi, Muhammad Abid al- Jabiri dan lainnya. Ketiga, kecenderungan
8
untuk melakukan islamisasi pengetahuan modern (islamization of knowledge),
seperti yang telah dikembangkan oleh Ismail Razi al-Faruqi, Abu Baker A.
Bagadeer, Ziauddin Sardar dan kawan-kawan.
Sebagai agama, Islam masih hidup dan bertahan, tetapi peradaban dengan
seluruh sistemnya telah surut dan tersingkir dari berbagai arah selama beberapa
abad. Struktur sosial dunia Islam, termasuk institusi- institusi politik, ekonomi dan
budaya menghadapi tekanan sangat kuat, karena dirusak atau ditransformasikan
oleh dominasi peradaban Barat modern. Dengan dominasi sistem global
peradaban Barat tersebut dan laju modernisasi, lalu timbullah berbagai persoalan
yang dihadapi umat Islam.
Abad modern, dengan segala prediketnya: abad ilmu, abad teknologi, abad
komputerisasi, abad informasi, dengan paradigma pemikiran Barat yang
mendasarinya sama sekali bukanlah rahmat. Bagi masyarakat Barat, ia telah
menghasilkan sejumlah besar problem, yang pemecahan terhadapnya terbukti
tumpul. Bagi dunia Muslim, revolusi informasi menghadirkan tantangan-
tantangan khusus yang harus diatasi demi kelangsungan hidup fisik maupun
budaya umat. Tidak jarang tantangan-tantangan itu merupakan dilema utama:
haruskah negeri-negeri Muslim menganut suatu teknologi yang kompulsif dan
totaliter, dengan resiko timbulnya tipe kebergantungan baru yang lebih subversif
serta menghancurkan; atau haruskah mereka melestarikan sumber daya mereka
yang langka dan bernilai dan mengabaikan perkembangan-perkembangan
teknologi informasi, dengan resiko menyerahkan kendali atas nasib mereka
sendiri kepada tangan- tangan Barat?
1. Sumber Historis, Filosofis, Psikologis, Sosiologis, dan Pedagogis
tentang Paradigma Qurani untuk Kehidupan Modern.
Untuk menggali sumber historis, filosofis, psikologis, sosiologis, dan
pedagogis tentang paradigma Qurani yang membawa kemajuan dan kemodernan
pada zaman silam, Anda dapat mempelajari cara-cara untuk mencapai kemajuan
pada zaman keemasan Islam dan mempelajari peran Al-Quran dalam mewujudkan
kemajuan itu. Dalam sejarah peradaban Islam ada suatu masa yang disebut masa
keemasan Islam. Disebut masa keemasan Islam karena umat Islam berada dalam
puncak kemajuan dalam berbagai aspek kehidupannya: ideologi, politik, sosial
9
budaya, ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi, pertahanan dan keamanan.
Karena kemajuan itu pula, maka dunia Islam menjadi pusat peradaban, dan dunia
Islam menjadi super-power dalam ekonomi dan politik.
Ekspansi dakwah Islam semakin meluas dan diterima oleh belahan seluruh
dunia ketika Islam datang. Kekuasaan politik semakin luas yang implikasinya
kemakmuran ekonomi juga semakin terbuka tambah subur dan tentu lebih merata.
Kalau Anda kaji secara mendalam faktor-faktor yang menyebabkan umat Islam
bisa maju pada saat itu dan dalam waktu yang amat lama (lebih dari lima abad.),
maka jawabannya tentu saja karena umat Islam menjadikan Al-Quran sebagai
paradigm kehidupan. Al-Quran pada saat itu bukan hanya dijadikan sebagai
sumber ajaran tetapi juga menjadi paradigma dalam pengembangan Iptek,
pengembangan budaya, bahkan Al-Quran dihadirkan untuk mengatasi dan
menghadapi pelbagai problem kehidupan umat Islam saat itu. Pada zaman
keemasan Islam, Al-Quran dijadikan sebagai paradigma dalam segala aspek
kehidupan dan Rasulullah saw. menjadi role model (uswatun ḫasanah) dalam
mengimplementasikan Al-Quran dalam kehidupan sehari hari.
Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya
(dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk
Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan
orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara
10
orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu,
maka terimalah.
Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.
Dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.
―QS. 59:7
Pada abad berikutnya sekitar pertengahan abad ke-10 muncul dua orang
penerjemah yang sangat penting dan produktif yaitu Yahya Ibn „Adi (974) dan
Abu Ali Isa Ibnu Ishaq Ibn Zera (w. 1008). Yahya banyak memperbaiki
11
terjemahan dan menulis komentar mengenai karya-karya Aristoteles seperti
Categories, Sophist, Poetics, metaphiysics, dan karya Plato seperti Timaesus dan
Laws. Yahya juga dikenal sebagai ahli logika dan menerjemahkan The
Prolegomena of Ammocius dan sebuah kata pengantar untuk Isagoge-nya
Pophyrius (Amsal Bakhtiar, 2004). Sikap penguasa yang mendukung kemajuan
Iptek selain diwujudkan dengan membangun pusat-pusat pendidikan tinggi dan
riset semisal Bait al-Hikmah di Bagdad, juga para khalifah selalu mengapresiasi
setiap ilmuwan yang dapat menuliskan karya ilmiahnya, baik terjemahan ataupun
karangan sendiri.
Fatwa para ulama bukan hanya ditaati oleh masyarakat tetapi juga oleh
para raja. Fatwa sifatnya mengikat karena dianggap produk hukum yang menjadi
hukum positif dan juga dihormati dan dijunjung tinggi oleh semua lapisan
masyarakat. Perkembangan Iptek sangat pesat dengan lahirnya pusat-pusat
keilmuan dan penelitian di pelbagai kota-kota besar di negara Islam. Mekah,
Medinah, Bagdad, Kairo, Damaskus, Samarkand menjadi tempat-tempat favorit
untuk belajar para mahasiswa dari pelbagai penjuru dunia. Semarak keilmuan
tumbuh di tengah masyarakat, ilmu pun berkembang dan maju sehingga ilmu
menjadi hiasan bagi diri setiap orang.
12
terbaca, bukan hanya hasil-hasil (product) pemikiran, tetapi juga metode-metode
berpikir. Penelaahan “pemikiran” yang akhirnya menghasilkan kesimpulan-
kesimpulan epistemologis telah dilakukan melalui teori-teori ilmu-ilmu mutakhir.
Oleh karenanya, ia bersifat konseptual. Sementara “kesadaran” adalah bersifat
aktual, karena adanya kesadaranlah maka kita akan dapat mengaktualisasi
paradigma pemikiran kita, menentukan langkah-langkah strategis untuk sikap-
sikap dan tindakan yang harus diambil.
13
Namun demikian, kita harus mengembangkan dan menerapkan suatu
strategi yang menyeluruh, matang dan jelas, untuk menghadapi tantangan-
tantangan abad informasi. Strategi demikian tentu harus mencakup pemahaman
tentang sifat informasi maupun visi mengenai masyarakat yang hendak kita
ciptakan.
Tiga aspek pada diri manusia yang memerlukan pembinaan terus menerus,
yaitu fisik (materiil), intelektual dan spiritual. Keutuhan jati diri manusia diukur
dari ketiga aspek tersebut. Jika mereka mengalami kekurangan atau mengabaikan
salah satu dari tiga aspek tersebut, maka artinya mereka mulai mengalami
dehumanisasi (kehilangan nilai-nilai kemanusiaan). Menurut istilah al-Qur’an
mereka dikatakan lafi khusrin, asfala safilin, kal-an’am dan sebagainya. Manusia
yang utuh (seutuhnya) itulah yang dimaksud dengan insan kamil, yaitu mereka
yang bisa mengembangkan 3 aspek kemanusiaannya tersebut secara seimbang,
mengetahui di mana mereka harus berpijak.
Sejalan dengan pendapat Cox tersebut adalah teori Sigmund Freud tentang
agama. Dengan teori psikoanalisisnya, Freud mengatakan bahwa saat ini bukan
lagi masa agama. Masa agama sebenarnya adalah the childhood of man dalam
tulisannya yang berjudul an illusion, di mana menurutnya masa anak-anak adalah
14
masa khayal, masa yang penuh dengan ilusi karena ketidak-mampuan manusia
dalam memahami hakikat alam lingkungannya (Daniel L. Pals, 1996). Seperti
juga dikatakan oleh Peter L. Berger (1967), seorang sosiolog agama, bahwa sikap
sekularis seringkali timbul sehubungan dengan penolakan terhadap campur tangan
aturan- aturan agama.
Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan
merekalah orang-orang yang beruntung.
―QS. 2:5
dan dalam paradigma berpikirnya diberi prediket ulul albab, yaitu orang-orang
yang senantiasa hanya menggantungkan dan menautkan hatinya kepada Allah
dalam keadaan apapun dan senantiasa menggunakan atau mengoptimalkan akal
pikirannya untuk menggali ilmu pengetahuan yang dapat membangkitkan
kesadaran ilahiyah (QS. 3 : 190-191) ار َل َءا َٰ َي ٍۢت ِ ف ٱلَّ ْي ِل َوٱلنَّ َهِ َٱخ ِت َٰل ِ ت َو ْٱْل َ ْر
ْ ض َو ِ س َٰ َم َٰ َو ِ إِ َّن فِى خ َْل
َّ ق ٱل
ِ ت َوٱ ْْل َ ْر
ض َربَّنَا ِ س َٰ َم َٰ َو ِ ودا َو َعلَ َٰى ُجنُوبِ ِه ْم َويَت َ َف َّك ُرونَ فِى خ َْل
َّ ق ٱل َّ َ﴾ ٱلَّذِينَ يَذْ ُك ُرون۱۹ب﴿ە
ًۭ ُٱَّللَ قِ َٰيَ ًۭما َوقُع ِ َِِْل ُ ۟و ِلى ْٱْل َ ْل َٰب
﴾۱۹۱﴿ ار ِ َّاب ٱلن ُ َما َخلَ ْقتَ َٰ َهذَا َٰبَ ِط ًًۭل
َ َس ْب َٰ َحنَكَ فَ ِقنَا َعذ
Artinya: “Sesungguhnya, dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan
siang, terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal, (yaitu)
orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan
berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya
berkata), “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia;
Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka.” (QS. Ali-‘Imran: 190-
191).
.Allah mengajarkan umat Islam untuk membangun paradigmanya melalui al-
Qur’an.
15
Al-Qur’an memberikan teladan masa lalu dan proyeksi masa depan. Al-
Qur’an memberikan konsep-konsep dan prinsip-prinsip nilai yang bersifat
transformatif dan reformatif. Makna transformatif dan reformatif tersebut
tercermin dalam konsep al-Qur’an tentang masyarakat yang moderat/ ummatan
wasathan (QS. 2 : 143), yang harus selalu menjadi saksi (syuhada) bagi umat
manusia seluruhnya. Al-Qur’an mengajarkan kepada kita banyak sekali nilai-nilai
kehidupan yang harus dijalankan. Syarat utama dalam hal ini adalah bahwa kita
harus selalu menggunakan hati nurani dan akal pikiran dalam pola berpikir,
bersikap dan bertindak. Hati dan akallah yang harus mengendalikan pandangan
hidup kita. Hati dan akal hanya boleh pasrah dan tunduk kepada petunjuk Allah,
baik yang tekstual maupun kontekstual, baik qur’aniyah maupun kauniyah; sama
sekali tidak boleh ditundukkan atau dikendalikan oleh hawa nafsu.
16
Upaya menafsirkan al-Qur’an sudah dilakukan oleh Rasulullah saw. Predikat al-
Qur’an sebagai Hudan (petunjuk) dan Rahmatan (rahmat) bagi manusia,
membuka kemungkinan yang luas bagi penafsiran terhadapnya. Susunan al-
Qur’an yang tidak sistematis juga merupakan alasan tersendiri mengapa
penafsiran serta penggalian terhadap makna ayat-ayatnya justru menjadi tugas
umat yang tidak pernah berakhir. Sebagai kerangka kontrol normatif maupun
metodologis, ada prinsip-prinsip dasar yang penting diperhatikan dalam
penafsiran terhadap al-Qur’an.
17
Dalam pembacaannya terhadap Alquran dan Sunnah, Syahrur berusaha
memanfaatkan nalar keilmuan kontemporer, terutama spesialisasi di bidangnya
sendiri yakni Teknik Sipil yang cenderung positivistik. Syahrur tidak sependapat
dengan sebagian ulama hadis yang menyatakan bahwa semua yang datang dari
nabi adalah wahyu (didasarkan pada an-Najm (53): 3-4). Menurut Syahrur,
pendapat tersebut memiliki dua kesalahan metodologis. Pertama, dlamir huwa
dalam ayat tersebut tidak kembali kepada Muhammad, melainkan kepada al-
Kitab, yang tidak berhubungan dengan kata yantiqu yang merujuk kepada nabi.
Kedua, sabab al-nuzul ayat yang turun di Makkah ini sesungguhnya berkaitan
dengan peristiwa ketika orang-orang Arab ragu akan kebenaran wahyu (Alquran)
itu sendiri, dan bukan meragukan perkataan/perbuatan nabi. Untuk itu, Syahrur
membedakan dua Sunnah, yaitu Sunnah an-Nubuwwah yang berkaitan dengan
keyakinan dan merupakan objek keagamaan, sementara Sunnah al-Risalah
menyangkut hukum-hukum dan merupakan objek kepatuhan. Model ketaatan
yang pertama berlaku bagi sunnah yang berisi tentang adat kebiasaan nabi sehari-
hari serta ketentuan hukum yang bersifat lokal, yang hanya dituntut ketika nabi
masih hidup. Sedang model ketaatan yang kedua adalah ketaatan yang abadi yang
berlaku bagi semua perintah nabi yang berkaitan dengan hukum, ibadah dan
akhlaq. Titik tolak pemikiran Syahrur adalah teori batas. Syahrur mendefinisikan
sunnah sebagai metode (cara, manhaj) untuk menerapkan ketentuan-ketentuan
hukum umum al-Kitab tanpa keluar dari batas-batas yang ditetapkan Allah dalam
masalah-masalah atau suatu penetapan.
Konsep Sunnah yang ditawarkan oleh kedua pemikir tersebut relatif sama-
sama ‘liberal’. Bila Rahman menyatakan bahwa hadis pada dasarnya tidak bisa
dibuktikan secara teknis berasal dari nabi, namun masih memegang konsep
Sunnah yang sebenarnya yang sudah ada sejak Islam ada. Konsep Sunnah di sini
sebagai pengayom dan petunjuk arah, sementara dalam perkembangannya
hendaknya disesuaikan dengan kondisi dan situasi zaman. Konsep Sunnah
Syahrur terkesan lebih liberal dari yang ditawarkan Rahman, pemikirannya
tentang Sunnah yang selama ini dipahami sebagai sumber hukum dalam berijtihad
dan telah sedemikian rapinya didefinisikan oleh para ulama fiqh dan ushul fiqh
lengkap dengan otoritas yang dimilikinya, oleh Syahrur diberikan makna yang
18
sama sekali berbeda sehingga Sunnah cenderung searti dengan ijtihad itu sendiri.
Konsep Sunnah Syahrur ini ‘lebih berani’ satu tingkat diatas pendapat Rahman.
Syahrur juga mampu memberi solusi yang lebih pasti dan realistis dengan teori
limitnya, dibanding konsep double movement nya Rahman yang terkesan masih
kabur dalam memberikan batasan-batasan penerapannya. Semua ini tidak terlepas
dari latar belakang keilmuan masing-masing. Syahrur dengan latar pendidikan
eksakta sangat jenius dalam menghubungkan konsep sunnah ( dan pembaruan
hukum Islam pada umumnya) dengan nalar berpikir eksaktanya. Sementara
Rahman dengan latar belakang filsafatnya, nampak lebih arif dalam membawa
alur pikir umat Islam untuk mampu berpikir progresif demi masa depan Islam itu
sendiri.
Dalam konteks ini, tentu tidak bisa begitu saja dikatakan bahwa sebagai
pemikir Syahrur lebih baik daripada Rahman, atau Rahman lebih baik dari
Syahrur. Semua teori yang muncul, pasti mempunyai kekurangan dan kelebihan,
di sinilah tugas generasi berikutnya untuk menguji dan merevisi kembali teori-
teori tersebut sehubungan dengan proses perkembangan zaman. Pemikiran
Rahman maupun pemikiran Syahrur tentang konsep sunnah tersebut, sangat
memberi konstribusi yang berarti bagi umat Islam dalam mengkaji kembali
pemahaman terhadap hadis yang selama ini seperti dikatakan oleh mereka
cenderung statis. Umat Islam diharapkan mampu mengolah kembali sumber-
sumber hukum yang ada, menjadi sebuah acuan hukum yang bisa mengakomodasi
kondisi situasi saat ini, tanpa keluar dari jalur-jalur yang ditentukan oleh Allah
swt.
Menafsirkan satu ayat Alquran dengan ayat Alquran yang lain, adalah
jenis penafsiran yang paling tinggi. Karena ada sebagian ayat Alquran itu
menerangkan makna ayat-ayat yang lain. Contohnya ayat, yang artinya : “
Ketahuilah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak pernah merasa cemas dan
tidak pula merasa bersedih hati.” [QS.Yunus : 62]. Auliya’ (wali-wali), ditafsirkan
19
dengan ayat berikutnya َ یَتَّق ۡونَ کَان ۡوا َو ٰا َمن ۡوا الَّذ ِۡینyang artinya : “ Yaitu orang-orang
yang beriman dan mereka selalu bertaqwa.” [QS.Yunus : 63].
Dari ayat dan hadits itu dapat di ambil kesimpulan : Kedzaliman itu
urutannya bertingkat-tingkat. Perbuatan maksiat itu tidak disebut Syirik. Orang
yang tidak menyekutukan Allah, mendapat keamanan dan petunjuk.
20
yang artinya : “ Yaitu Tuhan yang Maha Pemurah yang bersemayam di atas
‘Arsy.” [QS. Thaha : 5].
Al Hafidz Ibnu Hajar di dalam kitab Fathul Baari berkata, Menurut Ibnu
‘Abbas dan para Ahli Tafsir lain, Istiwa itu maknanya Irtafa’a (naik atau
meninggi).
yang artinya : “ Sungguh kami turunkan Alquran dengan bahasa Arab supaya
kamu memahami.” [QS. Yusuf : 2].
21
( تحْ ِویال وّل ع ْن ُك ْم الض ُِّر كشْف ی ْم ِلكُون فال دُو ِن ِه ِم ْن زع ْمت ُ ْم الَذِین ا ْدعُوا قُ ِل56) ا َلذِین أُولئِك
سیلة ربِ ِه ُم إِلى یبْتغُون ی ْدعُون ُ كان ربِك عذاب إِنَ عذابهُ ویخافُون رحْ متهُ وی ْر ُجون أ ْقر
ِ ب أیُّ ُه ْم ا ْلو
( محْ ذُورا57) Yang artinya : Katakanlah, "panggillah mereka yang kalian
anggap (tuhan) selain Allah, maka mereka tidak akan mempunyai kekuasaan
untuk menghilangkan bahaya dari kalian dan tidak pula memindahkannya.”
Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan
mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan
mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya. Sesungguhnya azab
Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti.
Jika sebagian orang ada yang menganggap adanya pertentangan maka hal
ini disebabkan hadis itu tidak dsahih atau pemahaman kita tidak benar atau
pertentangan itu bersifat semu, bukan hakiki itu berarti sunnah harus dipahami
dalam konteks Al Qur’an.
22
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1. Paradigma Qurani adalah cara Pandang dan cara berpikir tentang suatu
realitas atau suatu permasalahan berdasarkan Al-Quran. “Dia menurunkan
Al Kitab (Al Qur’an) kepadamu dengan sebenarnya; membenarkan kitab
yang telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil”
Qs.Annisa (3)
2. Tantangan-tantangan teknologi informasi yang baru harus dihadapi bukan
dengan optimisme maupun pesimisme yang berlebihan, tetapi dengan
tindakan penuh pertimbangan. Satu hal yang paling penting dimiliki oleh
setiap orang atau bangsa dalam rangka mengembangkan kehidupannya
secara ideal adalah memahami dan mengerti siapa dirinya (hakikat
kemanusiaannya) dan kemudian mengembangkannya dengan penuh
kearifan hati nurani dan akal pikiran yang sehat dengan bimbingan
hidayah ilahi.
3. konsep dasar tentang Al-Quran dan As-Sunnah dan metode
pemahamannya
Al-Qur’an adalah sebuah dokumen untuk umat manusia. Sedangkan
konsep Sunnah di sini sebagai pengayom dan petunjuk arah, sementara
dalam perkembangannya hendaknya disesuaikan dengan kondisi dan
situasi zaman.
Metode pemahaman Al-Qur’an : Memahami ayat demi ayat, Memahami
Al-Qur’an dengan hadist yang shahih, Memahami ayat dengan
pemahaman sahabat, Harus mengetahui gramatika bahasa arab.
23
DAFTAR PUSTAKA
24