Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

PARADIGMA AL-QUR’AN DAN INTEGRASINYA

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Kuliah


" Agama Islam "

Dosen Pengampu :

Dr. Afiful Ikhwan, M.Pd.I

Disusun oleh :

1. Dahniar Nur Kholidia (13321749)


2. Ilham Qoriatul lailah (18321963)
3. Halim Pradana (18321958)

FKIP MAT-SMT 1

PRODI PENDIDIKAN MATEMATIKA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PONOROGO

Januari 2018
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah saya ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan tugas
makalah ini.

Shalawat dan salam kepada junjungan Nabi besar Muhammad SAW


beserta keluarga dan sahabat-sahabatnya yang telah memperjuangkan Agama
Islam.

Kemudian dari pada itu, saya sadar bahwa dalam penyusunan tugas
makalah ini banyak yang membantu terhadap usaha saya, mengingat hal itu
dengan segala hormat saya sampaikan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya
kepada :

1. Rektor Universitas Muhammadiyah Ponorogo (UMP) Dr. H. Sulton, M.Si

2. Dosen pengampu mata kuliah Agama islam Dr. Afiful Ikhwan, M.Pd.I

3. Seluruh pihak yang ikut berpartisipasi dalam penyusunan makalah ini.

Atas bimbingan, petunjuk dan dorongan tersebut saya hanya dapat berdo'a
dan memohon kepada Allah SWT semoga amal dan jerih payah mereka menjadi
amal soleh di sisi Allah SWT. Amin.

Akhirnya saya tetap berharap semoga tugas makalah ini menjadi butir-
butir amalan saya dan bermanfaat khususnya bagi saya dan umumnya bagi seluruh
pembaca. Amin.

Ponorogo, 9 Januari 2019

Penyusun

2
DAFTAR ISI

Halaman Judul ......................................................................................... i


Kata Pengantar ........................................................................................ ii
Daftar Isi ................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .............................................. 1
B. Rumusan Masalah ....................................................... 2
C. Tujuan Masalah ........................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Paradigma Al-Quran .................................. 3
B. Paradigma yang Mendominasi Masyarakat Dunia Saat Ini 4
C. Reorientasi dan Rekontruksi Paradigma Islam ............. 10
D. Konsep Dasar Tentang Al-Qur’an dan As-Sunnah dan Metode
Pemahamannya ............................................................. 11

BAB III PENUTUP


Kesimpulan ......................................................................... 17

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 18

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Al-Qur'an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW lima belas abad
silam dengan sebuah awalan perintah untuk membaca (iqra') yang dalam konteks
luas menjadi seruan untuk membaca, mengkaji, menganalisis, dan meneliti
fenomena diri dan sekitar yang dalam aplikasi turunannya di kemudian hari telah
melahirkan sebuah masyarakat berpendidikan dan menghasilkan sebuah karakter
peradaban Islami yang kemudian menjadi titik tolak peradaban Barat yang kini
menjadi arah sejarah peradaban manusia masa kini.

Sains dan teknologi yang telah berkembang dengan sangat pesatnya di


dunia Barat saat ini dan telah menimbulkan berbagai perubahan dan pergeseran
yang luar biasa, tidak hanya di bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya, tetapi
juga telah merambah bidang filsafat dan agama, sehingga mengakibatkan
globalisasi yang tidak lagi memperhatikan sentrisme tertentu.

Ilmu pengetahuan dan teknologi adalah rangkaian tak terpisahkan dari


berbagai sistem kehidupan lainnya yang menunjang kemajuan dalam suatu
peradaban. Namun sebagai salah satu aspek penunjang kemajuan dan
moderrnisasi ia tidak netral dan bukan berarti tidak punya akses-akses negatif bagi
kelangsungan hidup umat manusia itu sendiri. Ilmu pengetahuan dan teknologi
hanyalah alat bagi manusia yang bisa digunakan untuk membangun ataupun
merusak (ishlah atau ifsad), sehingga tidak ada alasan untuk menolak atau
menghindarinya.

Yang menjadi masalah adalah bahwa setiap sistem ilmu pengetahuan yang
dikembangkan oleh setiap peradaban tidak pernah bebas nilai. Ia mempunyai
epistemologi dan aksiologinya sendiri sesuai dengan paradigma yang berkembang
dalam sistem global peradaban tersebut. Pengembangan ilmu pengetahuan yang
bersifat radics dan reductionic (mendalam sampai ke akar-akarnya) dan

4
prinsip art for art seringkali menimbulkan pertentangan dengan nilai-nilai agama,
sebab siapa saja bisa mengembangkan apa saja demi memenuhi hasrat keingin-
tahuannya, tanpa memikirkan apa dan bagaimana jadinya.

Modernsisasi dengan segala kemajuannya ternyata mempunyai dampak


sangat buruk, terutama bagi masyarakat Muslim yang belum betul-betul siap
dengan segala perangkatnya. Oleh karena itu, sangat penting untuk membangun
perangkat epistemologi dan aksiologi ilmu pengetahuan yang didasarkan pada ruh
Islam, yang akan membentuk paradigma pemikiran islami di tengah
perkembangan masyarakat jagad (global) saat ini.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian paradigma al-qur’an dan integrasinya pada kedamaian?
2. Mengapa paradigma pemikiran mendominasi masyarakat dunia saat ini?
3. Bagaimana Reorientasi dan rekontruksi paradigma Islam?
4. Bagaimana konsep dasar tentang Al-Qur’an dan As-Sunnah serta metode
pemahamannya?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian paradigma al-qur’an dan integrasinya pada
kedamaian
2. Untuk mengetahui tujuan paradigma pemikiran mendominasi masyarakat
dunia saat ini.
3. Untuk mengetahui Reorientasi dan rekontruksi paradigma Islam.
4. Untuk mengetahui konsep dasar tentang Al-Qur’an dan As-Sunnah serta
metode pemahamannya.

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Paradigma Al-Qur’an


Secara etimologis kata paradigma berasal dari bahasa Yunani yang asal
katanya adalah para dan digma. Para mengandung arti “disamping”,”di sebelah‟,
dan “keadaan lingkungan‟. Digma berarti “sudut pandang‟, ”teladan‟, ”Arketif
Dan ideal‟. Dapat dikatakan bahwa paradigma adalah cara pandang, cara berpikir,
cara berpikir tentang suatu realitas. Adapun secara terminologis paradigma adalah
cara berpikir berdasarkan pandang dan yang menyeluruh dan konseptual terhadap
suatu realitas atau suatu permasalahan dengan menggunakan teori-teori ilmiah
yang sudah baku, eksperimen, dan metode keilmuan yang bisa dipercaya.
Dengan demikian, paradigma Qurani adalah cara pandang dan cara
berpikir tentang suatu realitas atau suatu permasalahan berdasarkan Al-Quran
karena mengandung gagasan yang sempurna mengenai kehidupan dan dapat
dirumuskan menjadi teori-teori yang empiris dan rasional “Dia menurunkan Al
Kitab (Al Qur’an) kepadamu dengan sebenarnya; membenarkan kitab yang telah
diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil” Qs.Annisa (3) yang
berbunyi :

ِ ‫فاِن ۚ ُر ٰبع و ث ُ ٰلث و مث ٰنی النِسا ِٓء ِمن لکُم طاب ما فان ِک ُحوا الی ٰتمٰ ی ِفی ت ُق‬
ُ ‫س‬
‫طوا ا َّل ِخفت ُم اِن و‬
ٰۤ
ِ ‫ؕ تعُولُوا ا َّل اد ٰنی ٰذ ِلک ؕ ایمانُکُم ملکت ما او فو‬
‫احدۃ تع ِدلُوا ا َّل ِخفت ُم‬

Adanya kesadaran bagi seluruh umat muslim adalah yang terpenting untuk
menjaga dan mewujudkan paradigma qur’ani ini. Karena, tanpa kesadaran dari
umat muslim ini, paradigma tak akan terwujud dan mungkin bisa saja terjadi
kekacauan bagi seluruh muslim karena memang hanya al-qur’an pedoman bagi
seluruh umat islam.

Mengapa Paradigma penting bagi kehidupan?

Al-Quran bagi umat Islam adalah sumber primer dalam segala segi
kehidupan. Al-Quran adalah sumber ajaran teologi, hukum, mistisisme,
pemikiran, pembaharuan, pendidikan, akhlak dan aspek aspek lainnya. Tolok ukur

6
benar / salah, baik / buruk, dan indah / jelek adalah Al-Quran. Jika mencari
sumber lain dalam menentukan benar / salah, baik / buruk, dan indah / jelek, maka
seseorang diangap tidak konsisten dalam berislam, suatu sikap hipokrit yang
dalam pandangan Al-Quran termasuk sikap tidak terpuji.

Untuk apa Al-Quran diturunkan? Apa tujuan Al-Quran diturunkan? Yusuf


al-Qardhawi menjelaskan bahwa tujuan diturunkan Al-Quran paling tidak ada
tujuh macam, yaitu: 1) meluruskan akidah manusia, 2) meneguhkan kemuliaan
manusia dan hak-hak asasi manusia, 3) mengarahkan manusia untuk beribadah
secara baik dan benar kepada Allah, 4) mengajak manusia untuk menyucikan
rohani, 5) membangun rumah tangga yang sakinah dan menempatkan posisi
terhormat bagi perempuan, 6) membangun umat menjadi saksi atas kemanusiaan,
dan ke 7) mengajak manusia agar saling menolong.

B. Paradigma Yang Mendominasi Masyarakat Dunia Saat Ini

Menurut M. Abid al-Jabiri, secara historis hanya ada 3 peradaban atau


bangsa yang memiliki tradisi berpikir logic yang cukup kuat, yaitu Yunani
(hellenism), Arab dan Barat Modern. Sementara bangsa-bangsa lainnya, seperti
Persia, India, Tiongkok dan sebagainya dianggap/dikenal sebagai peradaban yang
mengembangkan tradisi mystic (al-Jabiri, 1991). Kejayaan dan keruntuhan
masing-masing peradaban telah terjadi silih berganti. Ketika yang satu mengalami
kepunahan, segera akan diwarisi dan diambil alih oleh bangsa lain dengan
peradaban yang baru lagi. Setiap peradaban yang berjaya era itu tentu juga
membawa paradigmanya yang sekaligus mendominasi bangsa-bangsa lainnya.
Apa yang dimaksudkan sebagai paradigma adalah mode of thought yang
mendasari keseluruhan hidup seseorang, masyarakat atau suatu bangsa. Kalau kita
mau mengakui secara jujur, sesungguhnya sistem global yang mendominasi
masyarakat dunia di abad modern saat ini adalah sistem yang lahir dan
mengkristal dari paradigma filsafat Barat Modern. Menurut Nurcholish Madjid
(1995), dengan tibanya zaman ini, umat manusia tidak lagi dihadapkan pada
persoalan lokal kultural secara terpisah dan berkembang secara otonom dari yang
lain, tetapi terdorong untuk membaur ke dalam masyarakat jagad (global).

7
Karena dimensi pengaruhnya yang global dan cepat, maka modernisasi
sekali dimulai oleh suatu kelompok manusia (dalam hal ini bangsa Barat), tidak
mungkin lagi bagi kelompok manusia lain untuk memulainya dari titik nol. Jadi,
bangsa-bangsa bukan Barat pada permulaan proses perkembangannya terpaksa
harus menerima paradigma modernitas Barat. Hal ini disebabkan karena adanya
sistem global, yang di dalamnya terdapat sistem-sistem kehidupan, seperti
ideologi, politik, ekonomi, sosial-budaya dan ilmu pengetahuan, yang saling kait-
mengkait dan mempengaruhi satu sama lain; dan semuanya terpola menuju
terbentuknya masyarakat jagad (global society).
Kini kita hidup di abad informasi. Perkembangan teknologi komputer
mikro, telah menimbulkan kekuatan yang memungkinkan diperolehnya informasi
hanya dengan sentuhan sebuah tombol. Terdapat konsensus yang luas bahwa
teknologi komputer yang secara tak terelakkan akan memberi bentuk baru masa
depan umat manusia, mengharuskan kita mendefinisikan kembali kegiatan kerja
dan waktu santai dan dalam jangka panjang, mengharuskan kita melakukan
redefinisi terhadap pemikiran dan ilmu pengetahuan. Masa depan yang
dimaksudkan itu, menurut Ziauddin Sardar (1992), akan tercipta melalui
penggabungan dua bidang yang sebelum ini terpisah, tetapi yang sekarang sedang
dalam proses melebur: komputer dan telekomunikasi.
Umat Islam sendiri dalam merespon modernitas atau modernisasi yang
semakin menguat di atas paradigma pemikiran Barat ini terpecah ke dalam
beberapa pola pemikiran dan kecenderungan. Pertama, kecenderungan kepada
aliran-aliran pemikiran baru yang bersifat teologis, yang kemudian mengkristal
menjadi aliran-aliran fundamentalisme, messianisme, modernisme dan
tradisionalisme, yang seperti yang dikembangkan oleh Muhammad Abduh,
Sayyed Hossein Nasr, dan lain-lain. Kedua, kecenderungan pada pemikiran Islam
yang bersifat historis, yaitu usaha membongkar (dekonstruksi) pemikiran klasik
dan membangunnya kembali (rekonstruksi) dengan berbagai pendekatan filsafat
dan ilmu-ilmu sosial modern (sejarah, sosiologi, antropologi, ilmu politik,
ekonomi, linguistik/semiotika, dsb.) atau yang lebih dikenal dengan istilah proyek
teoretisasi pemikiran Islam, seperti yang digeluti oleh Mohammad Arkoun,
Hassan Hanafi, Muhammad Abid al- Jabiri dan lainnya. Ketiga, kecenderungan

8
untuk melakukan islamisasi pengetahuan modern (islamization of knowledge),
seperti yang telah dikembangkan oleh Ismail Razi al-Faruqi, Abu Baker A.
Bagadeer, Ziauddin Sardar dan kawan-kawan.
Sebagai agama, Islam masih hidup dan bertahan, tetapi peradaban dengan
seluruh sistemnya telah surut dan tersingkir dari berbagai arah selama beberapa
abad. Struktur sosial dunia Islam, termasuk institusi- institusi politik, ekonomi dan
budaya menghadapi tekanan sangat kuat, karena dirusak atau ditransformasikan
oleh dominasi peradaban Barat modern. Dengan dominasi sistem global
peradaban Barat tersebut dan laju modernisasi, lalu timbullah berbagai persoalan
yang dihadapi umat Islam.
Abad modern, dengan segala prediketnya: abad ilmu, abad teknologi, abad
komputerisasi, abad informasi, dengan paradigma pemikiran Barat yang
mendasarinya sama sekali bukanlah rahmat. Bagi masyarakat Barat, ia telah
menghasilkan sejumlah besar problem, yang pemecahan terhadapnya terbukti
tumpul. Bagi dunia Muslim, revolusi informasi menghadirkan tantangan-
tantangan khusus yang harus diatasi demi kelangsungan hidup fisik maupun
budaya umat. Tidak jarang tantangan-tantangan itu merupakan dilema utama:
haruskah negeri-negeri Muslim menganut suatu teknologi yang kompulsif dan
totaliter, dengan resiko timbulnya tipe kebergantungan baru yang lebih subversif
serta menghancurkan; atau haruskah mereka melestarikan sumber daya mereka
yang langka dan bernilai dan mengabaikan perkembangan-perkembangan
teknologi informasi, dengan resiko menyerahkan kendali atas nasib mereka
sendiri kepada tangan- tangan Barat?
1. Sumber Historis, Filosofis, Psikologis, Sosiologis, dan Pedagogis
tentang Paradigma Qurani untuk Kehidupan Modern.
Untuk menggali sumber historis, filosofis, psikologis, sosiologis, dan
pedagogis tentang paradigma Qurani yang membawa kemajuan dan kemodernan
pada zaman silam, Anda dapat mempelajari cara-cara untuk mencapai kemajuan
pada zaman keemasan Islam dan mempelajari peran Al-Quran dalam mewujudkan
kemajuan itu. Dalam sejarah peradaban Islam ada suatu masa yang disebut masa
keemasan Islam. Disebut masa keemasan Islam karena umat Islam berada dalam
puncak kemajuan dalam berbagai aspek kehidupannya: ideologi, politik, sosial

9
budaya, ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi, pertahanan dan keamanan.
Karena kemajuan itu pula, maka dunia Islam menjadi pusat peradaban, dan dunia
Islam menjadi super-power dalam ekonomi dan politik.

Ekspansi dakwah Islam semakin meluas dan diterima oleh belahan seluruh
dunia ketika Islam datang. Kekuasaan politik semakin luas yang implikasinya
kemakmuran ekonomi juga semakin terbuka tambah subur dan tentu lebih merata.
Kalau Anda kaji secara mendalam faktor-faktor yang menyebabkan umat Islam
bisa maju pada saat itu dan dalam waktu yang amat lama (lebih dari lima abad.),
maka jawabannya tentu saja karena umat Islam menjadikan Al-Quran sebagai
paradigm kehidupan. Al-Quran pada saat itu bukan hanya dijadikan sebagai
sumber ajaran tetapi juga menjadi paradigma dalam pengembangan Iptek,
pengembangan budaya, bahkan Al-Quran dihadirkan untuk mengatasi dan
menghadapi pelbagai problem kehidupan umat Islam saat itu. Pada zaman
keemasan Islam, Al-Quran dijadikan sebagai paradigma dalam segala aspek
kehidupan dan Rasulullah saw. menjadi role model (uswatun ḫasanah) dalam
mengimplementasikan Al-Quran dalam kehidupan sehari hari.

Rasulullah dalam sabdanya, “Sebaik-baik generasi adalah generasiku lalu


generasi berikutnya dan generasi berikutnya” (HR Muslim). Sikap komitmen para
sahabat dan generasi berikutnya menjadikan Rasulullah sebagai uswah dalam
segala segi kehidupan dan sesungguhnya perilaku mereka sesuai dengan tuntunan
Al-Quran itu sendiri. Allah berfirman, “Apa-apa yang Rasulullah datangkan untuk
kamu, maka ambillah dan apa-apa yang Rasulullah melarangnnya, maka
tinggalkanlah” (QS Al-Hasyr/59: 7).

ٰ ‫سو ِلہ ع ٰلی‬


‫ّللاُ افا ٓء م ٰۤا‬ ُ ‫سو ِل و ف ِللٰ ِہ القُ ٰری اہ ِل ِمن ر‬ َ ‫و الم ٰس ِکی ِن و الی ٰتمٰ ی و القُر ٰبی ِلذِی و ِل‬
ُ ‫لر‬
َ ‫ک ُم م ٰۤا و ؕ ِمنکُم اّلغنِیا ِٓء بین دُولۃ یکُون ّل کی ۙ ال‬
‫س ِبی ِل اب ِن‬ ُ ‫سو ُل ٰا ٰتى‬ َ ُ‫عن ُہ نہٰ ىکُم ما و ٭ ف ُخذُوہ‬
ُ ‫الر‬
‫ّللا اتَ ُقوا و ۚ فانت ُہوا‬ٰ ؕ َ‫ّللا اِن‬
ٰ ‫ب شدِی ُد‬
ِ ‫ال ِعقا‬

Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya
(dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk
Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan
orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara

10
orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu,
maka terimalah.
Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.
Dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.
―QS. 59:7

Toshihiko Izutsu (1993: 91-116) mencoba meneliti konsep-konsep etika


religius dalam Al-Quran. Hasil penelitiannya menetapkan ada lima nilai etik yang
perlu dikembangkan manusia yaitu: 1) murah hati, 2) keberanian, 3) kesetiaan, 4)
kejujuran, dan 5) kesabaran. Berikutnya Izutsu menuangkan konsep kemunafikan
religius serta membahas konsep baik dan buruk secara mendalam. Bahasannya
meliputi konsep salih, birr, fasad, ma‟ruf dan munkar, khair dan syarr, ḫusn dan
qubḫ, fakhisyah atau fawakhisy, thayyib dan khabis, haram dan halal termasuk
konsep dosa. Selain masyarakat muslim menjadikan Al-Quran sebagai paradigma
dalam berbagai aspek kehidupan, faktor penyebab kemajuan pada zaman
keemasan Islam adalah sikap umat Islam yang mencintai dan mementingkan
penguasaan Iptek. Tidak mungkin kemajuan dicapai tanpa menguasai Iptek.

Sejarah membuktikan para khalifah baik dari Dinasti Umayyah maupun


Dinasti Abbasiyah, semisal Khalifah Al-Mansur, Al-Ma‟mun (813-833), Harun
Ar-Rasyid (786-809), mendorong masyarakat untuk menguasai dan
mengembangkan Iptek. Al-Mansur telah memerintahkan penerjemahan buku-
buku ilmiah dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab. Demikian juga, Harun Ar-
Rasyid melakukan hal yang sama dengan khalifah yang sebelumnya. Harun
memerintahkan Yuhana (Yahya Ibn Masawaih (w. 857), seorang dokter istana,
untuk menerjemahkan buku-buku kuno mengenai kedokteran. Pada masa itu juga
diterjemahkan karya-karya dalam bidang astronomi, seperti Sidhanta, sebuah
risalah India yang diterjemahkan oleh Muhammad Ibn Ibrahim Al-Fazari (w.
806).

Pada abad berikutnya sekitar pertengahan abad ke-10 muncul dua orang
penerjemah yang sangat penting dan produktif yaitu Yahya Ibn „Adi (974) dan
Abu Ali Isa Ibnu Ishaq Ibn Zera (w. 1008). Yahya banyak memperbaiki

11
terjemahan dan menulis komentar mengenai karya-karya Aristoteles seperti
Categories, Sophist, Poetics, metaphiysics, dan karya Plato seperti Timaesus dan
Laws. Yahya juga dikenal sebagai ahli logika dan menerjemahkan The
Prolegomena of Ammocius dan sebuah kata pengantar untuk Isagoge-nya
Pophyrius (Amsal Bakhtiar, 2004). Sikap penguasa yang mendukung kemajuan
Iptek selain diwujudkan dengan membangun pusat-pusat pendidikan tinggi dan
riset semisal Bait al-Hikmah di Bagdad, juga para khalifah selalu mengapresiasi
setiap ilmuwan yang dapat menuliskan karya ilmiahnya, baik terjemahan ataupun
karangan sendiri.

Setiap ilmuwan yang berhasil menerjemahkan suatu karya yang berasal


dari bahasa asing, maka khalifah menghargai karya itu ditimbang dan diganti
dengan emas sesuai dengan berat buku yang ia hasilkan. Ini merupakan suatu
apresiasi akademis yang sangat prestisius dan membanggakan. Akibatnya tentu
saja semangat keilmuan tumbuh di tengah kehidupan masyarakat dan masyarakat
menjadi belajar. Penghargaan terhadap seseorang pada saat itu dilihat dari sisi
keimanan dan keilmuannya. Banyak masyarakat memuliakan para ilmuwan dan
ulama. Oleh karena itu, ulama dengan ilmu dan akhlaknya menjadi panutan dalam
keseharian.

Fatwa para ulama bukan hanya ditaati oleh masyarakat tetapi juga oleh
para raja. Fatwa sifatnya mengikat karena dianggap produk hukum yang menjadi
hukum positif dan juga dihormati dan dijunjung tinggi oleh semua lapisan
masyarakat. Perkembangan Iptek sangat pesat dengan lahirnya pusat-pusat
keilmuan dan penelitian di pelbagai kota-kota besar di negara Islam. Mekah,
Medinah, Bagdad, Kairo, Damaskus, Samarkand menjadi tempat-tempat favorit
untuk belajar para mahasiswa dari pelbagai penjuru dunia. Semarak keilmuan
tumbuh di tengah masyarakat, ilmu pun berkembang dan maju sehingga ilmu
menjadi hiasan bagi diri setiap orang.

2. Membangun Komitmen Kesadaran Islami.


Pemikiran dan kesadaran adalah dua hal yang saling berhubungan satu
sama lain secara inter-dependensi. Pemikiran di sini bukan hanya yang bersifat
tertulis, tetapi lebih dari itu merupakan sesuatu yang tak tertulis namun dapat

12
terbaca, bukan hanya hasil-hasil (product) pemikiran, tetapi juga metode-metode
berpikir. Penelaahan “pemikiran” yang akhirnya menghasilkan kesimpulan-
kesimpulan epistemologis telah dilakukan melalui teori-teori ilmu-ilmu mutakhir.
Oleh karenanya, ia bersifat konseptual. Sementara “kesadaran” adalah bersifat
aktual, karena adanya kesadaranlah maka kita akan dapat mengaktualisasi
paradigma pemikiran kita, menentukan langkah-langkah strategis untuk sikap-
sikap dan tindakan yang harus diambil.

Dengan demikian, pertama-tama yang harus kita lakukan adalah


membangun komitmen pada kesadaran pemikiran Islam. Kesadaran pemikiran
islami, menurut Muhammad Arkoun, adalah suatu tinjauan historis dan kritis atas
jalur perkembangan kesadaran itu dengan bertolak dari tuntutan-tuntutan dan
pengungkapannya yang paling akhir. Yang dibutuhkan untuk suatu perkembangan
kesadaran pemikiran islami sehingga menjadi kesadaran mod ern yang
sebenarnya, bukanlah “destruksi” wacana islami kontemporeryakni penolakan
wacana itu karena dianggap sebagai wacana yang bodoh, salah dan terbelakang
melainkan “dekonstruksi” sekaligus “rekonstruksi”. Tinjauan kritis dan historis
terhadap kesadaran islami ini akhirnya harus memungkinkan penciptaan suatu
kesadaran modern dari perspektif teoretis yakni sesuai dengan kesadaran ilmiah
mutakhir dan dari perspektif praktis yakni sesuai dengan kebutuhan praktis
masyarakat Muslim kontemporer.

Kita harus bisa memahami manfaat dan mudarat modernisasi dengan


segala kemajuannya, serta secara sadar memanfaatkannya untuk mencapai tujuan-
tujuan “kita”, dan bukan tujuan-tujuan “mereka” (orang-orang Barat). Secara ideal
kita harus mengembangkan kecakapan khas dalam menciptakan dan
memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kendatipun demikian, segala
jenis teknologi hadir dengan perangkap ideologis dan kultural dari peradaban
yang melahirkannya, ia pun bisa diubah dan dimodifikasikan sedemikian rupa
sehingga dapat dimanfaatkan. Manakala kita terpaksa harus memanfaatkan
teknologi yang ada, maka ia harus dimodifikasi agar sesuai dengan kebutuhan-
kebutuhan dan keperluan- keperluan kita.

13
Namun demikian, kita harus mengembangkan dan menerapkan suatu
strategi yang menyeluruh, matang dan jelas, untuk menghadapi tantangan-
tantangan abad informasi. Strategi demikian tentu harus mencakup pemahaman
tentang sifat informasi maupun visi mengenai masyarakat yang hendak kita
ciptakan.

C. Reorientasi dan Rekontruksi Paradigma Islam

Tiga aspek pada diri manusia yang memerlukan pembinaan terus menerus,
yaitu fisik (materiil), intelektual dan spiritual. Keutuhan jati diri manusia diukur
dari ketiga aspek tersebut. Jika mereka mengalami kekurangan atau mengabaikan
salah satu dari tiga aspek tersebut, maka artinya mereka mulai mengalami
dehumanisasi (kehilangan nilai-nilai kemanusiaan). Menurut istilah al-Qur’an
mereka dikatakan lafi khusrin, asfala safilin, kal-an’am dan sebagainya. Manusia
yang utuh (seutuhnya) itulah yang dimaksud dengan insan kamil, yaitu mereka
yang bisa mengembangkan 3 aspek kemanusiaannya tersebut secara seimbang,
mengetahui di mana mereka harus berpijak.

Paradigma berpikir yang dikembangkan Barat saat ini, menurut


Muhammad Arkoun (1994), telah gagal membimbing cita-cita humanisme umat
manusia. Modernisasi di Barat cenderung mengarah kepada terbentuknya
masyarakat sekuler. Harvey Cox (1965) pernah memprediksikan bahwa
modernisme dan modernisasi hanya akan menciptakan secular city; ia adalah
lonceng kematian bagi agama. Menurut teori ini, semakin modern suatu
masyarakat, semakin jauh pula mereka dari agama; agama diprediksikan tidak
akan pernah bangkit lagi dalam arus modernisasi dan sekularisasi yang tidak
terbendung. Dengan kata lain, modernisme di samping sangat mengagulkan
kemajuan materiil dan intelektual, juga punya kecenderungan kuat untuk
menghilangkan atau mematikan spiritualitas.

Sejalan dengan pendapat Cox tersebut adalah teori Sigmund Freud tentang
agama. Dengan teori psikoanalisisnya, Freud mengatakan bahwa saat ini bukan
lagi masa agama. Masa agama sebenarnya adalah the childhood of man dalam
tulisannya yang berjudul an illusion, di mana menurutnya masa anak-anak adalah

14
masa khayal, masa yang penuh dengan ilusi karena ketidak-mampuan manusia
dalam memahami hakikat alam lingkungannya (Daniel L. Pals, 1996). Seperti
juga dikatakan oleh Peter L. Berger (1967), seorang sosiolog agama, bahwa sikap
sekularis seringkali timbul sehubungan dengan penolakan terhadap campur tangan
aturan- aturan agama.

Jadi paradigma pemikiran Islam sebenarnya harus diorientasikan untuk


membangun manusia seutuhnya (insan kamil). Manusia seutuhnya ini dalam
aktualisasinya diberi prediket muttaqin, yaitu orang-orang yang senantiasa
menyerahkan diri kepada Allah dan melakukan kebajikan- kebajikan di dunia,
ٓ ٰ ُ ‫ولئِک و ٭ َربہم ِمن ہُدی ع ٰلی ا‬
baik secara individual maupun sosial (QS. 2 : 2-5) ‫ولئِک‬ ٓ ٰ ُ‫ا‬
ِِ
‫ال ُمف ِل ُحون ہ ُ ُم‬

Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan
merekalah orang-orang yang beruntung.
―QS. 2:5

dan dalam paradigma berpikirnya diberi prediket ulul albab, yaitu orang-orang
yang senantiasa hanya menggantungkan dan menautkan hatinya kepada Allah
dalam keadaan apapun dan senantiasa menggunakan atau mengoptimalkan akal
pikirannya untuk menggali ilmu pengetahuan yang dapat membangkitkan
kesadaran ilahiyah (QS. 3 : 190-191) ‫ار َل َءا َٰ َي ٍۢت‬ ِ ‫ف ٱلَّ ْي ِل َوٱلنَّ َه‬ِ َ‫ٱخ ِت َٰل‬ ِ ‫ت َو ْٱْل َ ْر‬
ْ ‫ض َو‬ ِ ‫س َٰ َم َٰ َو‬ ِ ‫إِ َّن فِى خ َْل‬
َّ ‫ق ٱل‬
ِ ‫ت َوٱ ْْل َ ْر‬
‫ض َربَّنَا‬ ِ ‫س َٰ َم َٰ َو‬ ِ ‫ودا َو َعلَ َٰى ُجنُوبِ ِه ْم َويَت َ َف َّك ُرونَ فِى خ َْل‬
َّ ‫ق ٱل‬ َّ َ‫﴾ ٱلَّذِينَ يَذْ ُك ُرون‬۱۹‫ب﴿ە‬
ًۭ ُ‫ٱَّللَ قِ َٰيَ ًۭما َوقُع‬ ِ َ‫ِِْل ُ ۟و ِلى ْٱْل َ ْل َٰب‬
﴾۱۹۱﴿ ‫ار‬ ِ َّ‫اب ٱلن‬ ُ ‫َما َخلَ ْقتَ َٰ َهذَا َٰبَ ِط ًًۭل‬
َ َ‫س ْب َٰ َحنَكَ فَ ِقنَا َعذ‬

Artinya: “Sesungguhnya, dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan
siang, terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal, (yaitu)
orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan
berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya
berkata), “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia;
Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka.” (QS. Ali-‘Imran: 190-
191).
.Allah mengajarkan umat Islam untuk membangun paradigmanya melalui al-
Qur’an.

15
Al-Qur’an memberikan teladan masa lalu dan proyeksi masa depan. Al-
Qur’an memberikan konsep-konsep dan prinsip-prinsip nilai yang bersifat
transformatif dan reformatif. Makna transformatif dan reformatif tersebut
tercermin dalam konsep al-Qur’an tentang masyarakat yang moderat/ ummatan
wasathan (QS. 2 : 143), yang harus selalu menjadi saksi (syuhada) bagi umat
manusia seluruhnya. Al-Qur’an mengajarkan kepada kita banyak sekali nilai-nilai
kehidupan yang harus dijalankan. Syarat utama dalam hal ini adalah bahwa kita
harus selalu menggunakan hati nurani dan akal pikiran dalam pola berpikir,
bersikap dan bertindak. Hati dan akallah yang harus mengendalikan pandangan
hidup kita. Hati dan akal hanya boleh pasrah dan tunduk kepada petunjuk Allah,
baik yang tekstual maupun kontekstual, baik qur’aniyah maupun kauniyah; sama
sekali tidak boleh ditundukkan atau dikendalikan oleh hawa nafsu.

D. Konsep Dasar Tentang Al-Qur’an dan As-Sunnah dan Metode


Pemahamannya
1. Konsep dasar Al-Qur'an

Al-Qur’an adalah sebuah dokumen untuk umat manusia. Ia sendiri


menamakan dirinya “petunjuk bagi umat manusia” (Hudan li al-Nas),
sebagaimana dijumpai dalam surat al-Baqarah (2), ayat 185, ‫ضانَ شَہۡ ر‬ ۡ ‫ا ۡن ِز َل الَّذ‬
َ ‫ِی َر َم‬
‫اس ہدًی ۡالق ۡر ٰان فِ ۡی ِہ‬ ِ َّ‫ان َو ۡالہ ٰدی ِمنَ بَ ِی ٰنت َو ِللن‬
ِ َ‫شہۡ َر ِم ۡنکم ش َِہدَ فَ َم ۡن ۚ ۡالف ۡرق‬
َّ ‫ا َ ۡو َم ِر ۡیضًا کَانَ َم ۡن َو ؕ فَ ۡلیَصمۡ ہ ال‬
‫سفَر َع ٰلی‬ ٰ ‫ّللاَ ِلتک َِبروا َو ۡال ِعدَّۃ َ ِلت ۡک ِملوا َو ۫ ۡالع ۡس َر ِبکم ی ِر ۡید َل َو ۡالی ۡس َر ِبکم‬
َ ‫ّللا ی ِر ۡید ؕ اخ ََر اَیَّام ِم ۡن فَ ِعدَّۃ‬ ٰ ‫َع ٰلی‬
‫ ت َۡشکر ۡونَ لَعَلَّک ۡم َو ہ َ ٰدىک ۡم َما‬Al-Qur’an adalah sebuah perisai untuk umat manusia. Ia
sendiri bahkan memiliki julukan al-Furqan, al-Bayan, serta berbagai julukan lain
dalam ayat-ayat lain. Al-Qur’an bukanlah wahyu yang diturunkan dalam
masyarakat yang nir-sejarah dan kosong budaya. Ia diwahyukan dalam konteks
historisitas dan kebudayaan tertentu, sehingga pantas apabila di setiap dekade
muncul studi al-Qur’an dalam variasi kecenderungan dan substansinya.

Studi al-Qur’an menguat, bukan saja di negara-negara berpenduduk


muslim, namun juga di Barat. Studi al-Qur’an kebanyakan lebih ditekankan pada
kajian produk tafsir daripada metodologi tafsir. Padahal mengetahui
perkembangan metodologi tafsir lebih signifikan, melalui studi kritis terhadap
perkembangan dan metodologinya, sehingga rekonstruksi lebih mudah dilakukan.

16
Upaya menafsirkan al-Qur’an sudah dilakukan oleh Rasulullah saw. Predikat al-
Qur’an sebagai Hudan (petunjuk) dan Rahmatan (rahmat) bagi manusia,
membuka kemungkinan yang luas bagi penafsiran terhadapnya. Susunan al-
Qur’an yang tidak sistematis juga merupakan alasan tersendiri mengapa
penafsiran serta penggalian terhadap makna ayat-ayatnya justru menjadi tugas
umat yang tidak pernah berakhir. Sebagai kerangka kontrol normatif maupun
metodologis, ada prinsip-prinsip dasar yang penting diperhatikan dalam
penafsiran terhadap al-Qur’an.

Dalam posisinya sebagai kontrol normatif, prinsip-prinsip tersebut sebagai


rambu agar substansi tafsir bernilai representatif bagi kandungan al-Qur’an.
Sedangkan kedudukannya sebagai kontrol metodologis, tafsir menjelaskan asas-
asas prosedur kerja, metode, maupun pendekatannya. Sejarah telah menyajikan ke
hadapan kita perkembangan tafsir al-Qur’an yang digelarkan oleh ahlinya dengan
metode dan pendekatan yang bermacam-macam.

E. Konsep dasar As-Sunnah

a. Menurut Fazlur Rahman

Pada dasarnya, Sunnah nabi berfungsi menjelaskan hukum-hukum dalam


Alquran yang masih dalam tataran garis besar. Allah swt menetapkan hukum
dalam Alquran adalah untuk diamalkan, karena dalam pengamalan itu terletak
tujuan yang digariskan. Dengan demikian, dapat dimengerti bahwa kebanyakan
umat Islam memahami Al-sunnah adalah sebagai penafsir Al-quran dalam praktik
atau Islam dalam penjabarannya secara konkrit. Menurut Fazlur Rahman, Sunnah
adalah konsep perilaku, baik yang diterapkan kepada aksi-aksi fisik maupun
kepada aksi-aksi mental. Dengan kata lain, Sunnah adalah hukum tingkah laku,
baik yang terjadi sekali, maupun yang terjadi berulang-ulang. Jadi Sunnah
merupakan kandungan dari hadis, sementara hadis merekam, berisi dan
melaporkan sunnah. Ada indikasi bahwa apa yang tertulis dalam hadis tidak
semuanya Sunnah. Tetapi Sunnah tidak semuanya terekam dalam hadis.

b. Menurut Muhammad Syahrur

17
Dalam pembacaannya terhadap Alquran dan Sunnah, Syahrur berusaha
memanfaatkan nalar keilmuan kontemporer, terutama spesialisasi di bidangnya
sendiri yakni Teknik Sipil yang cenderung positivistik. Syahrur tidak sependapat
dengan sebagian ulama hadis yang menyatakan bahwa semua yang datang dari
nabi adalah wahyu (didasarkan pada an-Najm (53): 3-4). Menurut Syahrur,
pendapat tersebut memiliki dua kesalahan metodologis. Pertama, dlamir huwa
dalam ayat tersebut tidak kembali kepada Muhammad, melainkan kepada al-
Kitab, yang tidak berhubungan dengan kata yantiqu yang merujuk kepada nabi.
Kedua, sabab al-nuzul ayat yang turun di Makkah ini sesungguhnya berkaitan
dengan peristiwa ketika orang-orang Arab ragu akan kebenaran wahyu (Alquran)
itu sendiri, dan bukan meragukan perkataan/perbuatan nabi. Untuk itu, Syahrur
membedakan dua Sunnah, yaitu Sunnah an-Nubuwwah yang berkaitan dengan
keyakinan dan merupakan objek keagamaan, sementara Sunnah al-Risalah
menyangkut hukum-hukum dan merupakan objek kepatuhan. Model ketaatan
yang pertama berlaku bagi sunnah yang berisi tentang adat kebiasaan nabi sehari-
hari serta ketentuan hukum yang bersifat lokal, yang hanya dituntut ketika nabi
masih hidup. Sedang model ketaatan yang kedua adalah ketaatan yang abadi yang
berlaku bagi semua perintah nabi yang berkaitan dengan hukum, ibadah dan
akhlaq. Titik tolak pemikiran Syahrur adalah teori batas. Syahrur mendefinisikan
sunnah sebagai metode (cara, manhaj) untuk menerapkan ketentuan-ketentuan
hukum umum al-Kitab tanpa keluar dari batas-batas yang ditetapkan Allah dalam
masalah-masalah atau suatu penetapan.

Konsep Sunnah yang ditawarkan oleh kedua pemikir tersebut relatif sama-
sama ‘liberal’. Bila Rahman menyatakan bahwa hadis pada dasarnya tidak bisa
dibuktikan secara teknis berasal dari nabi, namun masih memegang konsep
Sunnah yang sebenarnya yang sudah ada sejak Islam ada. Konsep Sunnah di sini
sebagai pengayom dan petunjuk arah, sementara dalam perkembangannya
hendaknya disesuaikan dengan kondisi dan situasi zaman. Konsep Sunnah
Syahrur terkesan lebih liberal dari yang ditawarkan Rahman, pemikirannya
tentang Sunnah yang selama ini dipahami sebagai sumber hukum dalam berijtihad
dan telah sedemikian rapinya didefinisikan oleh para ulama fiqh dan ushul fiqh
lengkap dengan otoritas yang dimilikinya, oleh Syahrur diberikan makna yang

18
sama sekali berbeda sehingga Sunnah cenderung searti dengan ijtihad itu sendiri.
Konsep Sunnah Syahrur ini ‘lebih berani’ satu tingkat diatas pendapat Rahman.
Syahrur juga mampu memberi solusi yang lebih pasti dan realistis dengan teori
limitnya, dibanding konsep double movement nya Rahman yang terkesan masih
kabur dalam memberikan batasan-batasan penerapannya. Semua ini tidak terlepas
dari latar belakang keilmuan masing-masing. Syahrur dengan latar pendidikan
eksakta sangat jenius dalam menghubungkan konsep sunnah ( dan pembaruan
hukum Islam pada umumnya) dengan nalar berpikir eksaktanya. Sementara
Rahman dengan latar belakang filsafatnya, nampak lebih arif dalam membawa
alur pikir umat Islam untuk mampu berpikir progresif demi masa depan Islam itu
sendiri.

Dalam konteks ini, tentu tidak bisa begitu saja dikatakan bahwa sebagai
pemikir Syahrur lebih baik daripada Rahman, atau Rahman lebih baik dari
Syahrur. Semua teori yang muncul, pasti mempunyai kekurangan dan kelebihan,
di sinilah tugas generasi berikutnya untuk menguji dan merevisi kembali teori-
teori tersebut sehubungan dengan proses perkembangan zaman. Pemikiran
Rahman maupun pemikiran Syahrur tentang konsep sunnah tersebut, sangat
memberi konstribusi yang berarti bagi umat Islam dalam mengkaji kembali
pemahaman terhadap hadis yang selama ini seperti dikatakan oleh mereka
cenderung statis. Umat Islam diharapkan mampu mengolah kembali sumber-
sumber hukum yang ada, menjadi sebuah acuan hukum yang bisa mengakomodasi
kondisi situasi saat ini, tanpa keluar dari jalur-jalur yang ditentukan oleh Allah
swt.

F. Metode pemahaman Al-Qur’an


1. Memahami ayat demi ayat

Menafsirkan satu ayat Alquran dengan ayat Alquran yang lain, adalah
jenis penafsiran yang paling tinggi. Karena ada sebagian ayat Alquran itu
menerangkan makna ayat-ayat yang lain. Contohnya ayat, yang artinya : “
Ketahuilah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak pernah merasa cemas dan
tidak pula merasa bersedih hati.” [QS.Yunus : 62]. Auliya’ (wali-wali), ditafsirkan

19
dengan ayat berikutnya َ‫ یَتَّق ۡونَ کَان ۡوا َو ٰا َمن ۡوا الَّذ ِۡین‬yang artinya : “ Yaitu orang-orang
yang beriman dan mereka selalu bertaqwa.” [QS.Yunus : 63].

Berdasarkan ayat di atas maka setiap orang yang benar-benar mentaati


perintah-perintah Allah dan meninggalkan larangan-larangan-Nya, maka mereka
itu adalah Wali Allah. Tafsiran ini sekaligus sebagai bantahan orang-orang yang
mempunyai anggapan, bahwa Wali itu ialah orang yang mengetahui perkara-
perkara ghaib, memiliki kesaktian, di atas kuburnya terdapat bangunan kubah
yang megah, atau keyakinan-keyakinan yang bathil yang lain. Dalam hal ini,
Karomah bukan sebagai syarat untuk membuktikan orang itu wali atau bukan.
Karena Karomah itu bisa saja tampak bisa juga tidak.

2. Memahami Al-Qur’an dengan hadist yang shahih

Menafsirkan ayat Alquran dengan hadits shahih sangatlah penting, bahkan


harus. Allah menurunkan Alquran kepada Rasulullah tidak lain supaya
diterangkan maksudnya kepada semua manusia. Firman Allah, yang artinya :
“Dan Kami turunkan Alquran kepadamu (Muhammad) supaya kamu terangkan
kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka agar mereka
pikirkan.” [QS. An-Nahl : 44]. ‫ت‬ ِ َ‫ٱلذ ْك َر ِإلَیْكَ َوأَنزَ ْلنَا ۗ َوٱلزب ِر ِب ْٱل َب ِی ٰن‬ ِ َّ‫ِإلَ ْی ِه ْم ن ِز َل َما ِللن‬
ِ َ‫اس ِلت َب ِین‬
‫ َیتَ َف َّكرونَ َو َل َع َّله ْم‬Rasulullah bersabda yang artinya : “ Ketahuilah, aku sungguh telah
diberi Alquran dan yang seperti Alquran bersama-sama.” [HR. Abu Daud].

Dari ayat dan hadits itu dapat di ambil kesimpulan : Kedzaliman itu
urutannya bertingkat-tingkat. Perbuatan maksiat itu tidak disebut Syirik. Orang
yang tidak menyekutukan Allah, mendapat keamanan dan petunjuk.

3. Memahami ayat dengan pemahaman sahabat

Merujuk kepada penafsiran Sahabat terhadap ayat-ayat Al Qur’an seperti


Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Mas’ud sangatlah penting sekali untuk mengetahui maksud
suatu ayat. Karena, disamping senantiasa menyertai Rasulullah, mereka juga
belajar langsung dari Beliau. Berikut ini contoh Tafsir dengan ucapan Sahabat,
َّ ‫ا ْست ََو ٰى ْال َع ْر ِش َعلَى‬
tentang ayat : ‫الرحْ ٰ َمن‬

20
yang artinya : “ Yaitu Tuhan yang Maha Pemurah yang bersemayam di atas
‘Arsy.” [QS. Thaha : 5].

Al Hafidz Ibnu Hajar di dalam kitab Fathul Baari berkata, Menurut Ibnu
‘Abbas dan para Ahli Tafsir lain, Istiwa itu maknanya Irtafa’a (naik atau
meninggi).

4. Harus mengetahui gramatika bahasa arab

Tidak di ragukan lagi, untuk bisa memahami dan menafsirkan ayat-ayat


Alquran , mengetahui gramatika bahasa arab sangatlah penting. Karena Alquran
diturunkan dalam bahasa Arab. Firman Allah :

‫تع ِقلُون َلعلَکُم عر ِبیًّا قُر ٰءنا انزل ٰن ُہ اِ َن ٰۤا‬

yang artinya : “ Sungguh kami turunkan Alquran dengan bahasa Arab supaya
kamu memahami.” [QS. Yusuf : 2].

Tanpa mengetahui bahasa arab, tidak mungkin bisa memahami makna


ayat-ayat Al qur’an. Sebagai contoh ayat : Tsummas tawaa ilas samaa’i. makna
Istiwa ini banyak di perselisihkan. Kaum Mu’tazilah mengartikannya menguasai
dengan paksa. Ini jelas penafsiran yang sangat keliru. Tidak sesuai dengan bahasa
arab. Yang benar, menurut pendapat para Ahli Sunnah Wal Jama’ah, Istiwaa
artinya ‘ala wa Irtafa’a (meninggi dan naik). Karena Allah mensifati dirinya
dengan Al-‘Ali (Maha Tinggi).

5. Memahami nash Al-Qur’an dengan asbabul nuzul

Mengetahui Asbabun Nuzul (peristiwa yang melatari turunnya ayat)


sangat membantu sekali dalam memahami Alquran dengan benar. Sebagai
contoh, ayat yang artinya : “ katakanlah : panggilah mereka yang kamu anggap
sebagai (Tuhan) selain Allah, mereka tidak akan meiliki kekuasaan untuk
menghilangkan bahaya darimu dan tidak pula memindahkannya. Orang-orang
yang mereka seru itu juga mencari jalan kepada Tuhan mereka, siapa di antara
meraka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan Rahmat-Nya, serta
takut akan Adzb-Nya. Karena adzab Tuhanmu itu sesuatu yang mesti ditakuti.”
[QS.Al-Israa’ :56-57] yang berbunyi :

21
‫( تحْ ِویال وّل ع ْن ُك ْم الض ُِّر كشْف ی ْم ِلكُون فال دُو ِن ِه ِم ْن زع ْمت ُ ْم الَذِین ا ْدعُوا قُ ِل‬56) ‫ا َلذِین أُولئِك‬
‫سیلة ربِ ِه ُم إِلى یبْتغُون ی ْدعُون‬ ُ ‫كان ربِك عذاب إِنَ عذابهُ ویخافُون رحْ متهُ وی ْر ُجون أ ْقر‬
ِ ‫ب أیُّ ُه ْم ا ْلو‬
‫( محْ ذُورا‬57) Yang artinya : Katakanlah, "panggillah mereka yang kalian
anggap (tuhan) selain Allah, maka mereka tidak akan mempunyai kekuasaan
untuk menghilangkan bahaya dari kalian dan tidak pula memindahkannya.”
Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan
mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan
mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya. Sesungguhnya azab
Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti.

G. Metode Pemahaman As-Sunnah

MEMAHAMI SUNNAH SESUAI PETUNJUK AL QUR’AN


Untuk memahami sunnah dengan baik jauh dari penyimpangan pemalsuan
dan penakwilan yang keliru kita harus memahami sesuai dengan petunjuk Al
Qur’an yaitu dalam bingkai tuntunan Ilahi yang kebenaranya dan keadilannya
bersifat pasti. Al Qur’an adalah roh ekstensi islam dan asas bangunannya ia adalah
konstitusi illahi yang menjado rujukan bagi setiap perundang-undangan dalam
islam baik sedara teoristis maupun praktis.

Tugas seorang Rasul adalah menjelaskan kepada manusia risalah yang


diturunkan untuk meraka, oleh karena itu penjelasan tidak mungkin bertentangan
dengan apa yang dijelaskan, penjelasan nabi berkisar pada Al Qur’an dan tidak
pernah melampauinya. Oleh karena itu tidak ada sunnah yang sahih bertentangan
dengan ayat-ayat al qur’an yang muhkamat keterangan-keterangannya yang jelas.

Jika sebagian orang ada yang menganggap adanya pertentangan maka hal
ini disebabkan hadis itu tidak dsahih atau pemahaman kita tidak benar atau
pertentangan itu bersifat semu, bukan hakiki itu berarti sunnah harus dipahami
dalam konteks Al Qur’an.

22
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

1. Paradigma Qurani adalah cara Pandang dan cara berpikir tentang suatu
realitas atau suatu permasalahan berdasarkan Al-Quran. “Dia menurunkan
Al Kitab (Al Qur’an) kepadamu dengan sebenarnya; membenarkan kitab
yang telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil”
Qs.Annisa (3)
2. Tantangan-tantangan teknologi informasi yang baru harus dihadapi bukan
dengan optimisme maupun pesimisme yang berlebihan, tetapi dengan
tindakan penuh pertimbangan. Satu hal yang paling penting dimiliki oleh
setiap orang atau bangsa dalam rangka mengembangkan kehidupannya
secara ideal adalah memahami dan mengerti siapa dirinya (hakikat
kemanusiaannya) dan kemudian mengembangkannya dengan penuh
kearifan hati nurani dan akal pikiran yang sehat dengan bimbingan
hidayah ilahi.
3. konsep dasar tentang Al-Quran dan As-Sunnah dan metode
pemahamannya
Al-Qur’an adalah sebuah dokumen untuk umat manusia. Sedangkan
konsep Sunnah di sini sebagai pengayom dan petunjuk arah, sementara
dalam perkembangannya hendaknya disesuaikan dengan kondisi dan
situasi zaman.
Metode pemahaman Al-Qur’an : Memahami ayat demi ayat, Memahami
Al-Qur’an dengan hadist yang shahih, Memahami ayat dengan
pemahaman sahabat, Harus mengetahui gramatika bahasa arab.

Metode Pemahaman As-Sunnah : Untuk memahami sunnah dengan


baik jauh dari penyimpangan pemalsuan dan penakwilan yang keliru kita
harus memahami sesuai dengan petunjuk Al Qur’an yaitu dalam bingkai
tuntunan Ilahi yang kebenaranya dan keadilannya bersifat pasti.

23
DAFTAR PUSTAKA

Abu as-Su’ud, Irsyad al-‘Aql as-Salim ila Mazaya al-Kitab al-Karim


(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1999).

Al-Ashfahani, Mu’jam Mufradat Alfadh al-Qur’an (Beirut: Dar al-


Fikr, t.t.).

Al-Baidlawi, Anwar at-Tanzil wa Asrar at-Ta’wil (Beirut: Dar al-


Kutub al-‘Ilmiyah, 2006).

Al-Hifni, ‘Abdul Mun’im, al-Mu’jam al-Falsafi (Kairo: ad-Dar asy-


Syarqiyah, 1990).

Al-Jurjani, at-Ta’rifat (Ttp: ad-Dar at-Tunisiyah li an-Nasyr, 1971).

Selo Soemardjan, "Pengembangan Sumber Daya Manusia Menjelang


Abad 21" dalam Ilmu dan Budaya, No 8/Mei 1991.

As-Suyuthi dan al-Mahalli, Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim (Semarang:


Thaha Putera, t.t.).

As-Suyuthi, Lubab an-Nuqul fi Asbab as-Nuzul (Riyadl: Maktabah


ar-Riyadl al-Haditsah, t.t.)

At-Thabari, Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ay al-Qur’an (Beirut: Dar al-


Fikr, 2005).

Az-Zamakhsyari, al-Kasysyaf ‘an Haqaiq at-Tanzil wa ‘Uyun al-


Aqawil fi Wujuh at-Ta’wil (Teheran: Intisyarat Afitab, t.t.).

Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim (Beirut: Muassasah al-Kutub


ats-Tsaqafiyah, 1996).

Ibn Mandhur, Lisan al-‘Arab (Beirut: Dar al-Fikr, 1997).

Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan


(Jakarta: Gramedia, 2002).

Musa, Muhammad Yusuf, al-Madkhal li Dirasah al-Fiqh (Kairo:


Dar al-Fikr al-‘Araby, t.t.).

24

Anda mungkin juga menyukai