Oleh:
Kelompok 20
2
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan kita taufiq,
rahmat dan hidayah-Nya sehingga tugas pembuatan makalah ini dapat diselesaikan. Shalawat
dan salam kita haturkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat dan kerabat beliau
hngga akhir zaman.
Dalam pembuatan makalah ini saya mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dra.
Naimah, M.H. selaku dosen pengajar mata kuliah Fikih Muamalah Kontemporer. Saya
menyadari dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan, sehingga kritik dan
saran yang membangun sangat saya harapkan untuk pembuatan makalah selanjutnya.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin Ya Rabbal Alamin.
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................................................ii
DAFTAR GAMBAR............................................................................................................................iii
BAB I....................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.................................................................................................................................1
A. LATAR BELAKANG................................................................................................................1
B. RUMUSAN MASALAH...........................................................................................................2
C. TUJUAN...................................................................................................................................2
BAB II...................................................................................................................................................3
LANDASAN TEORI............................................................................................................................3
A. DEFINISI WADI’AH................................................................................................................3
BAB III................................................................................................................................................13
PENUTUP...........................................................................................................................................13
A. KESIMPULAN.......................................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................................15
DAFTAR GAMBAR
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sistem pemerintahan suatu Negara ditentukan dengan keadaan hidup warga
masyarakat disana. Keadaan kehidupan masing-masing warga masyarakat pada masa
sekarang tidak lepas dari adanya proses perubahan, proses adaptasi, dan proses
penyerapan yang dilakukan oleh warga masyarakat terdahulu. Dengan kata lain,
segala hal yang ada pada saat ini, merupakan produk dari sejarah bangsa. Sehingga
sistem pemerintahan yang dianut oleh masing-masing negara di bunia tidak mungkin
sepenuhnya sama.
Unsur agama Islam yang sedikit banyak diserap dalam hukum positif
Indonesia menyebabkan semua bidang hukum positif di Indonesia terkandung unsur
agama Islam. Tidak terkecuali pada bidang hukum bisnis, khususnya dalam dunia
perbankan. Sehingga dunia perbankan Indonesia sebaiknya pengupayaan fasilitas
sarana dan prasarana dalam melaksanakan aktifitas beribadahnya orang-orang
beragama Islam. Tentu, termasuk di dalamnya terkait dengan muamalah.
Di antara muamalah yang cukup penting pada masa sekarang ini adalah
keamanan, kenyamanan, serta kepastian hukum dalam menitipkan uang dan/ataupun
mencari pinjaman dana, yang di dalam hal ini bank. Ini melihat, bank-bank yang ada
di Indonesia masih di dominasi bank-bank konvensional yang terdapat kecenderungan
riba.
Meskipun bank-bank Syariah sekarang semakin tumbuh di negeri ini, namun
dalam praktiknya pun terkesan memplagiasi prinsip riba bank konvensional, yang
hanya diubah kebahasaannya saja menggunakan bahasa Arab. Ironisnya lagi, di
lapangan juga seringkali terdengar adanya penipuan dari bank Syariah.
Bank syariah yang semestinya telah melewati verifikasi syariah, pada
praktiknya masih belum jelas atau rancuh. Terkait dengan produk-produk dari
perbankan syariah masih kabur, karena masih sarat akan kepentingan kapitalistik dan
sulit ditemukan dasar fikihnya, seperti terkait dengan produk giro dan tabungan
syariah. Padahal pada masa sekarang ini sudah banyak masyarakat yang memakai
produk perbankan tabungan dan giro itu sendiri.
Pada prinsipnya, giro dan tabungan syariah merupakan buah dari akad syariah
yang di sebut dengan wadiah. Wadiah sendiri memiliki sumber fiqih yang jelas.
Hanya saja implementasi wadiah yang ada dalam fiqih itu sendiri masih kurang jelas
jika dilihat dari pelaksanaan perbankan syariah di Indonesia.
B. RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang di atas ada beberapa hal yang penting untuk dibahas, yaitu:
1. Apa definisi wadi’ah?
2. Bagaimana dasar hukum wadi’ah?
3. Apa saja rukun dan syarat wadi’ah?
4. Bagaimana kewajiban menerima dan cara menjaga wadi’ah?
5. Apa saja pola akad wadi’ah?
6. Bagaimana praktik wadi’ah di lembaga keuangan syariah?
C. TUJUAN
Dari rumusan masalah di atas, ada beberapa tujuan yang ingin dicapai yaitu:
1. Untuk mengetahui definisi wadi’ah.
2. Untuk mengetahui dasar hukum wadi’ah.
3. Untuk mengetahui rukun dan syarat wadi’ah.
4. Untuk mengetahui kewajiban menerima dan cara menjaga wadiah.
5. Untuk mengetahi pola akad wadi’ah.
6. Untuk mengetahui praktik wadi’ah di lembaga keuangan syariah.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. DEFINISI WADI’AH
Menurut Al-Syarwani, wadi’ah berasal dari kata ‘wadu’a-yada’u yang berarti
ketika berada disuatu tempat, karena barang yang berada di tempat orang yang dititipi.
Wadi’ah secara bahasa adalah barang yang diletakkan atau diserahkan kepada orang
lain untuk dijaga.
Wadi’ah secara bahasa berasal dari kata al-wad’u yang berarti meninggalkan.
Wadi’ah berarti barang yang ditinggalkan atau diletakkan ditempat orang lain agar
dijaga. Menurut kalangan Hanafiyah, wadi’ah berari memberikan tanggung jawab
penjagaan atau pemeliharaan terhadap suatu barang, baik secara eksplisit maupun
implisit. Sementara kalangan Malakiyah dan Syafi’iyah mendefinisikan wadi’ah
mewakilkan penjagaan suatu barang kepada orang lain, baik barang tersebut adalah
barang haram maupun halal.
‘Abdurrahman Afanadi menyebut wadi’ah dengan istilah Ida’, dan
mendefinisikannya:
ع تمفسلليطط افلمما لل ل
ك مغفيمرفه معمليَ لحففلظ ممالله ا ف لليِإْمدا ط
“Al-Ida artinya penyerahan wewenang seseorang kepada orang lain untuk
menjaga hartanya.”
Al-Jaziri mengatakan bahwa wadi’ah adalah barang yang dititipkan kepada
orang lain untuk dijaga. Barang tersebut menjadi tanggung jawab bagi yang dititipi.
Definisi ini sama dengan definisi yang dikemukakan ‘Atiyyah yang menyatakan
bahwa seseorang yang meninggalkan barang miliknya ditangan (pengawasan) orang
lain agar dijaganya. Dalam bisnis moderen wadi’ah berkaitan dengan penitipan modal
pada perbankan, baik berupa tabungan, giro maupun deposito.
1 Imam Mustofa, Fiqih Mu’amalah Kontemporer, Cet. Ke-3, (Depok: Rajawali Pers, 2018) hl. 176-182
2 Ismail Nawawi, Fiqih Muamalah Klasik dan Kontemporer,(Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2012) hl.
206
Pemilik barang dan orang yang menyimpan tidak tunduk pada perorangan
saja. Ia juga boleh dari sebuah badan korporasi seperti yayasan, perusahaan,
bank, dan lain sebagainya.
2. Syarat barang
a. Barang yang disimpan hendaklah boleh dikendalikan oleh orang yang
menyimpan.
b. Barang yang disimpan itu tidak boleh tahan lama.
c. Jika barang yang disimpan itu tidak boleh tahan lama orang menyiman boleh
menjual setelah mendapat izin dari pengadilan dan uang hasil penjualan
disimpn hingga sampai waktu penyerahan balik kepada yang punya.
KHES Pasal 371 menyebutkan syarat bagi para pihak yang melaksanakan
wadi’ah harus cakap hukum. Sementara terkait dengan barang yang dititpkan
disebutkan pada pasal berikutnya, Pasal 372, yaitu barang harus dapat dikuasai dan
diserah terimakan. 3
Secara umum wadi’ah adalah titipan murni dari pihak penitip (muwaddi’)
yang memepunyai barang/aset kepada pihak penyimpan (mustawda’) yang diberi
amanah/kepercayaan, baik individu maupun badan hkum, tempat barang yang
dititipkan harus dijaga dari kerusakan, kerugian, keamanan, dan keutuhannya, dan
dikembalikan kapan saja penyimpan menghendaki.
Barang/aset yang dititipkan adalah sesuatu yang berharga berupa uang, barang,
dokumen, surat berharga, atau barang berharga lainnya. Dalam konteks ini, pada
dasarnya pihak penyimpan (custodian) sebagai penerima kepercayaan (trustee)
adalah yad al-amanah (tangan amanah) yang berarti bahwa ia tidak diharuskan
bertanggungjawab jika sewaktu dalam penitipan terjadi kehilangan atau kerusakan
pada barang/aset titipan, selama hal ini bukan akibat dari kelalaian atau
kecerobohan yang bersangkutan dalam memelihara barang/aset titipan. Biaya
penitipan boleh dibebankan kepada pihak penitip sebagai kompensasi atas
tanggungjawab pemeliharaan.
Dari prinsip yad al-amanah kemudian berkembang prinsip yad dhamanah yang
berarti bahwa pihak penyimpan bertanggungjawab atas segala kerusakan atau
kehilangan yang terjadi pada barang/aset titipan.
Hal ini berarti bahwa pihak penyimpn atau custodian adalah trustee yang
sekaligus guarantor (penjamin) keamanan barang/aset yang dititipkan. Ini juga
berarti bahwa pihak penyimpan telah mendapatkan izin dari pihak penitip untuk
mempergunakan barang/aset yang dititipkan tersebt untuk aktivitas perekonomian
tertentu, dengan catatan bahwa pihak penyimpan akan mengembalikan
barang/aset yang dititipkan secara utuh pada saat penyimpan menghendaki. Hal
ini sesuai dengan anjuran dalam Islam agar aset selalu diusahakan utuk tujuan
produktif (tidak idle atau didiankan saja).
Dengan prinsip ini, penyimpan boleh mencampur aset penitip dengan aset
penyimpan atau aset penitip yang lain, dan kemudian digunakan untuk tujuan
produktif mencari keuntungan. Pihak penyimpan berhak atas keuntungan yang
diperoleh dari pemanfaatan aset titipan dan bertanggungjawab penuh atas risiko
kerugian yang mungkin timbul. Selain itu, penyimpan diperbolehkan juga, atas
kehendak sendiri, memberikan bonus kepada pemilik aset tanpa akad perjanjian
yang mengikat sebelumnya. Dengan menggunakan prinsip yad dhamanah, akad
titipan seperti ini biasa disebut Wadi’ah yad Dhamanah dengan skema seperti pada
Gambar 2.
Gambar 2. Skema Wadiah yad Dhamanah
A. KESIMPULAN
1. Wadi’ah adalah menitipkan barang/uang kepada orang lain untuk dijaga dengan
baik dan setiap saat bisa diambil jika penitip menghendaki.
2. Dasar hukumnya:
QS. An-Nisa ayat 58,
QS. Al-Baqarah ayat 183,
Hadis riwayat dari Ab Hurairah r.a:
معفن أملبيَ هطمرفيِإْمرةام مقامل مقامل مرطسفوطل ال صليَ ا عليه وسلم أمدد المممانأمةم إلمليَ مملن
كك مولم تمطخفن ممفن مخانأم م افئتمممنم م
”Dari Abu Hurairah ra. Berkata, Raasulullah saw. bersabda Tunaikanlah
amanah orang yang mempercayakan kepadamu dan janganlah engkau hianati
orang yang menghianatimu.”
Landasan dari ijma’ yaitu ulama bersepakat mengenai diperbolehkannya
wadi’ah, karena umumnya masyarakat sangat membutuhkan akad wadi’ah.
Adanya wadi’ah sangat membantu manusia untuk saling membantu dalam
menjaga harta yang juga menjadi tujuan agama.
3. Rukun dari akad wadi’ah yang harus dipenuhi dalam transaksi ada beberapa hal
berikut.
Pelaku akad, yaitu penitip (mudi’/muwaddi’)
penyimpan/penerima titipan (muda’/mustawda’);
Objek akad, yaitu barang yang dititipkan; dan
Sighat, yaitu Ijab dan Qabul.
Syarat-syarat barang dan orang yang menyimpan :
1) Pemilik barang dan orang yang menyimpan hendaklah, sempurna akal
pikiran, pintar yakni mempunyai sifat rusyd, tetapi tidak disyaratkan cukup
umur atau baligh. Orang yang belum baligh hendaklah terlebih dahulu
mendapat izin dari penjaganya utuk mengendalikan al-wadi’ah. Pemilik
barang dan orang yang menyimpan tidak tunduk pada perorangan saja. Ia
juga boleh dari sebuah badan korporasi seperti yayasan, perusahaan, bank,
dan lain sebagainya.
2) Syarat barang antara lain, barang yang disimpan hendaklah boleh
dikendalikan oleh orang yang menyimpan, barang yang disimpan itu tidak
boleh tahan lama, jika barang yang disimpan itu tidak boleh tahan lama
orang menyiman boleh menjual setelah mendapat izin dari pengadilan dan
uang hasil penjualan disimpn hingga sampai waktu penyerahan balik
kepada yang punya.
4. Menurut Imam Syafi’i yang berkewajiban menjaga barang tersebut hanya
penerima titipan. Imam al-Nawawi menjelaskan bahwa orang yang menerima
titipan dia wajib menjaganya, oleh karena itu diharamkan menerima titipan
apabila orang tersebut tidak mampu menjaga barang titipan tersebut.
5. Pola akad wadi’ah terbagi dua, yaitu:
Wadi’ah yad al-amanah yaitu titipan yang tidak boleh digunakan atau
diambil manfaatnya.
Wadi’ah yad dhamanah yaitu titipan yang boleh digunakan atau diambil
manfaatnya oleh orang yang menerima titipan atas izin orang yang
memberi titipan.
6. Aplikasi akad wadi’ah di Lembaga Keuangan Syariah berupa giro wadi’ah dan
tabungan wadi’ah.
DAFTAR PUSTAKA
Mustofa, Imam. 2018. Fiqih Mu’amalah Kontemporer. Cet. Ke-3, Depok: Rajawali Pers.
Nawawi, Ismail. 2012. Fiqih Muamalah Klasik dan Kontemporer. Bogor: Penerbit Ghalia
Indonesia.
Ascarya. 2011. Akad dan Produk Bank Syariah. Cet ke-3. Jakara: PT. RajaGrafindo.