Anda di halaman 1dari 20

MATA KULIAH DOSEN PENGAMPU

FIKIH MUAMALAH Dra. NAIMAH, M.H


KONTEMPORER

APLIKASI AKAD WADIAH DI LEMBAGA KEUANGAN


SYARIAH

Oleh:

Kelompok 20

INDAH SETIAWATI (170101060302)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
JURUSAN S1 PERBANKAN SYARIAH
BANJARMASIN
2019

2
KATA PENGANTAR

‫ الصلةا و السلما على أشرف النأبياء و المرسلين سيدنأا و مولنأا‬،‫الحمد ل رب العالمين‬


‫ أما بعد‬.‫محمد و على آله و صحبه أجمعين‬:

Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan kita taufiq,
rahmat dan hidayah-Nya sehingga tugas pembuatan makalah ini dapat diselesaikan. Shalawat
dan salam kita haturkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat dan kerabat beliau
hngga akhir zaman.

Dalam pembuatan makalah ini saya mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dra.
Naimah, M.H. selaku dosen pengajar mata kuliah Fikih Muamalah Kontemporer. Saya
menyadari dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan, sehingga kritik dan
saran yang membangun sangat saya harapkan untuk pembuatan makalah selanjutnya.

Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin Ya Rabbal Alamin.

Banjarmasin, 22 April 2019

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................................................i

DAFTAR ISI..........................................................................................................................................ii

DAFTAR GAMBAR............................................................................................................................iii

BAB I....................................................................................................................................................1

PENDAHULUAN.................................................................................................................................1

A. LATAR BELAKANG................................................................................................................1

B. RUMUSAN MASALAH...........................................................................................................2

C. TUJUAN...................................................................................................................................2

BAB II...................................................................................................................................................3

LANDASAN TEORI............................................................................................................................3

A. DEFINISI WADI’AH................................................................................................................3

B. DASAR HUKUM WADI’AH...................................................................................................3

C. RUKUN DAN SYARAT WADI’AH.........................................................................................4

D. KEWAJIBAN MENERIMA DAN CARA MENJAGA WADI’AH...........................................5

E. POLA AKAD WADIAH............................................................................................................7

F. WADI’AH DALAM PRAKTIK LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH (LKS)......................10

BAB III................................................................................................................................................13

PENUTUP...........................................................................................................................................13

A. KESIMPULAN.......................................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................................15
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Skema Wadi’ah yad Al-Amanah..............................................................................8


Gambar 2. Skema Wadi’ah yad Dhamanah...............................................................................9
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Sistem pemerintahan suatu Negara ditentukan dengan keadaan hidup warga
masyarakat disana. Keadaan kehidupan masing-masing warga masyarakat pada masa
sekarang tidak lepas dari adanya proses perubahan, proses adaptasi, dan proses
penyerapan yang dilakukan oleh warga masyarakat terdahulu. Dengan kata lain,
segala hal yang ada pada saat ini, merupakan produk dari sejarah bangsa. Sehingga
sistem pemerintahan yang dianut oleh masing-masing negara di bunia tidak mungkin
sepenuhnya sama.
Unsur agama Islam yang sedikit banyak diserap dalam hukum positif
Indonesia menyebabkan semua bidang hukum positif di Indonesia terkandung unsur
agama Islam. Tidak terkecuali pada bidang hukum bisnis, khususnya dalam dunia
perbankan. Sehingga dunia perbankan Indonesia sebaiknya pengupayaan fasilitas
sarana dan prasarana dalam melaksanakan aktifitas beribadahnya orang-orang
beragama Islam. Tentu, termasuk di dalamnya terkait dengan muamalah.
Di antara muamalah yang cukup penting pada masa sekarang ini adalah
keamanan, kenyamanan, serta kepastian hukum dalam menitipkan uang dan/ataupun
mencari pinjaman dana, yang di dalam hal ini bank. Ini melihat, bank-bank yang ada
di Indonesia masih di dominasi bank-bank konvensional yang terdapat kecenderungan
riba.
Meskipun bank-bank Syariah sekarang semakin tumbuh di negeri ini, namun
dalam praktiknya pun terkesan memplagiasi prinsip riba bank konvensional, yang
hanya diubah kebahasaannya saja menggunakan bahasa Arab. Ironisnya lagi, di
lapangan juga seringkali terdengar adanya penipuan dari bank Syariah.
Bank syariah yang semestinya telah melewati verifikasi syariah, pada
praktiknya masih belum jelas atau rancuh. Terkait dengan produk-produk dari
perbankan syariah masih kabur, karena masih sarat akan kepentingan kapitalistik dan
sulit ditemukan dasar fikihnya, seperti terkait dengan produk giro dan tabungan
syariah. Padahal pada masa sekarang ini sudah banyak masyarakat yang memakai
produk perbankan tabungan dan giro itu sendiri.
Pada prinsipnya, giro dan tabungan syariah merupakan buah dari akad syariah
yang di sebut dengan wadiah. Wadiah sendiri memiliki sumber fiqih yang jelas.
Hanya saja implementasi wadiah yang ada dalam fiqih itu sendiri masih kurang jelas
jika dilihat dari pelaksanaan perbankan syariah di Indonesia.

B. RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang di atas ada beberapa hal yang penting untuk dibahas, yaitu:
1. Apa definisi wadi’ah?
2. Bagaimana dasar hukum wadi’ah?
3. Apa saja rukun dan syarat wadi’ah?
4. Bagaimana kewajiban menerima dan cara menjaga wadi’ah?
5. Apa saja pola akad wadi’ah?
6. Bagaimana praktik wadi’ah di lembaga keuangan syariah?

C. TUJUAN
Dari rumusan masalah di atas, ada beberapa tujuan yang ingin dicapai yaitu:
1. Untuk mengetahui definisi wadi’ah.
2. Untuk mengetahui dasar hukum wadi’ah.
3. Untuk mengetahui rukun dan syarat wadi’ah.
4. Untuk mengetahui kewajiban menerima dan cara menjaga wadiah.
5. Untuk mengetahi pola akad wadi’ah.
6. Untuk mengetahui praktik wadi’ah di lembaga keuangan syariah.
BAB II
LANDASAN TEORI

A. DEFINISI WADI’AH
Menurut Al-Syarwani, wadi’ah berasal dari kata ‘wadu’a-yada’u yang berarti
ketika berada disuatu tempat, karena barang yang berada di tempat orang yang dititipi.
Wadi’ah secara bahasa adalah barang yang diletakkan atau diserahkan kepada orang
lain untuk dijaga.
Wadi’ah secara bahasa berasal dari kata al-wad’u yang berarti meninggalkan.
Wadi’ah berarti barang yang ditinggalkan atau diletakkan ditempat orang lain agar
dijaga. Menurut kalangan Hanafiyah, wadi’ah berari memberikan tanggung jawab
penjagaan atau pemeliharaan terhadap suatu barang, baik secara eksplisit maupun
implisit. Sementara kalangan Malakiyah dan Syafi’iyah mendefinisikan wadi’ah
mewakilkan penjagaan suatu barang kepada orang lain, baik barang tersebut adalah
barang haram maupun halal.
‘Abdurrahman Afanadi menyebut wadi’ah dengan istilah Ida’, dan
mendefinisikannya:
‫ع تمفسلليطط افلمما لل ل‬
‫ك مغفيمرفه معمليَ لحففلظ ممالله‬ ‫ا ف لليِإْمدا ط‬
“Al-Ida artinya penyerahan wewenang seseorang kepada orang lain untuk
menjaga hartanya.”
Al-Jaziri mengatakan bahwa wadi’ah adalah barang yang dititipkan kepada
orang lain untuk dijaga. Barang tersebut menjadi tanggung jawab bagi yang dititipi.
Definisi ini sama dengan definisi yang dikemukakan ‘Atiyyah yang menyatakan
bahwa seseorang yang meninggalkan barang miliknya ditangan (pengawasan) orang
lain agar dijaganya. Dalam bisnis moderen wadi’ah berkaitan dengan penitipan modal
pada perbankan, baik berupa tabungan, giro maupun deposito.

B. DASAR HUKUM WADI’AH


Wadi’ah disyariatkan berdasarkan Al-Qur’an, Al-Sunnah, dan Ijma’. Diantara
ayat yang menunjukkan pensyariatan wadi’ah adalah Surah An-Nisa ayat 58:
‫إلنن ام يِإْمأفطمطرطكفم أمفن تطمؤددوا افلمممامنأا ل‬
‫ت إلمليَ أمفهللمها‬
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya.”
Ayat lain yang dapat dijadikan dasar pensyariatan wadi’ah adalah surah Al-
Baqarah ayat 283:
‫ضا فمفليطمؤدد النلذيِ امفؤتطلممن أمممانأمتمهط موفليمتن ل‬
‫ق ام مربنهط‬ ‫فمإ لفن أملممن بمفع ط‬
‫ضطكفم بمفع ض‬
“...Akan tetapi jika sebagaian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka
hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia
bertakwa kepada Allah Tuhannya.”
Sementara dasar yang berasal dari Al-Sunnah adalah hadis riwayat dari Ab
Hurairah r.a:
‫معفن أملبيَ هطمرفيِإْمرةام مقامل مقامل مرطسفوطل ال صليَ ا عليه وسلم أمدد المممانأمةم إلمليَ مملن‬
‫ك‬‫ك مولم تمطخفن ممفن مخانأم م‬ ‫افئتمممنم م‬
”Dari Abu Hurairah ra. Berkata, Raasulullah saw. bersabda Tunaikanlah
amanah orang yang mempercayakan kepadamu dan janganlah engkau hianati orang
yang menghianatimu.”
Landasan dari ijma’ adalah kesepakatan ulama. Ulama bersepakat mengenai
diperbolehkannya wadi’ah, karena umumnya masyarakat sangat membutuhkan akad
wadi’ah. Adanya wadi’ah sangat membantu manusia untuk saling membantu dalam
menjaga harta yang juga menjadi tujuan agama. Di Indonesia, akad wadi’ah
mendapatkan legitimasi dalam KHES ayat 370-390.1

C. RUKUN DAN SYARAT WADI’AH


Rukun dari akad wadi’ah yang harus dipenuhi dalam transaksi ada beberapa
hal berikut.
1) Pelaku akad, yaitu penitip (mudi’/muwaddi’) dan penyimpan/penerima titipan
(muda’/mustawda’);
2) Objek akad, yaitu barang yang dititipkan; dan
3) Sighat, yaitu Ijab dan Qabul.2
Veithzal Rivai dan Arviyan Arifin dua orang teoretisi dan sekaligus praktisi
dalam bidang lembaga keuangan syariah memaparkan syarat-syarat wadi’ah sebagai
berikut:
1. Syarat-syarat barang dan orang yang menyimpan :
 Pemilik barang dan orang yang menyimpan hendaklah:
1) Sempurna akal pikiran
2) Pintar yakni mempunyai sifat rusyd.
3) Tetapi tidak disyaratkan cukup umur atau baligh. Orang yang belum baligh
hendaklah terlebih dahulu mendapat izin dari penjaganya utuk
mengendalikan al-wadi’ah.

1 Imam Mustofa, Fiqih Mu’amalah Kontemporer, Cet. Ke-3, (Depok: Rajawali Pers, 2018) hl. 176-182
2 Ismail Nawawi, Fiqih Muamalah Klasik dan Kontemporer,(Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2012) hl.
206
 Pemilik barang dan orang yang menyimpan tidak tunduk pada perorangan
saja. Ia juga boleh dari sebuah badan korporasi seperti yayasan, perusahaan,
bank, dan lain sebagainya.
2. Syarat barang
a. Barang yang disimpan hendaklah boleh dikendalikan oleh orang yang
menyimpan.
b. Barang yang disimpan itu tidak boleh tahan lama.
c. Jika barang yang disimpan itu tidak boleh tahan lama orang menyiman boleh
menjual setelah mendapat izin dari pengadilan dan uang hasil penjualan
disimpn hingga sampai waktu penyerahan balik kepada yang punya.
KHES Pasal 371 menyebutkan syarat bagi para pihak yang melaksanakan
wadi’ah harus cakap hukum. Sementara terkait dengan barang yang dititpkan
disebutkan pada pasal berikutnya, Pasal 372, yaitu barang harus dapat dikuasai dan
diserah terimakan. 3

D. KEWAJIBAN MENERIMA DAN CARA MENJAGA WADI’AH


Orang yang menerima titipan mempunyai kewajiban yang mengikat untuk
menjaga barang titipan tersebut. Kewajiban ini juga mengikat keluarga penerima
titipan, artinya mereka juga mempunyai kewajiban untuk menjaga barang tersebut.
Menurut Imam Syafi’i yang berkewajiban menjaga barang tersebut hanya
penerima titipan. Imam al-Nawawi menjelaskan bahwa orang yang menerima titipan
dia wajib menjaganya, oleh karena itu diharamkan menerima titipan apabila orang
tersebut tidak mampu menjaga barang titipan tersebut. Sementara orang yang mampu
menjaga barang titipan, baginya dianjurkan untuk menerimanya.4
Menurut Suhendi (2006: 183) hukum menerima bendaa-benda titipan ada
empat macam, yaitu :
1. Sunnah, disunnahkan menerima titipan bagi orang yang percaya kepada dirinya
bahwa dia sanggup menjaga benda-benda yang dititipkan kepadanya.
2. Wajib, diwajbkan menerima benda-benda titipan bagi seseorang yang percaya
bahwa dirinya sanggup menerima dan menjaga benda-benda tersebut, sementara
orang lain tidak ada seorang pun yang dapat dipercaya untuk memelihara benda-
benda tersebut.
3. Haram, apabila seseorang tidak kuasa dan tidak sanggup memelihara benda-benda
titipan. Sebab dengan menerima benda-benda titipan, berarti memberikan
kesemapatan (peluang) kepada kerusakan atau hilangnya benda-benda titipan
sehingga akan menyulitkan pihak yang menitipkan.

3 Imam Mustofa,Op.Cit, hl. 183-184


4 Ibid, hl. 185
4. Makruh, bagi orang yang percaya kepada dirinya sendiri bahwa dia mampu
menjaga benda-benda titipan, tetapi dia kurang yakin (ragu) pada kemampuannya.
Sebab dikhawatirkan dia akan berkhianat terhadap yang menitipkan dengan cara
merusak benda-benda titipan atau menghilangkannya.5
Tanggung jawab menimpan wadiah adalah amanah. Wadi’ah ialah barang
yang disimpan itu hendaklah dijaga sebagai berikut.
1. Diasingkan dari barang-barang milik orang lain, yaitu tidak dicampur antara
barang yang disimpan supaya dapat diketahui mana diantaranya milik orang-orang
tertentu.
2. Tidak digunakan.
3. Tidak dikenakan upah bagi penjaganya.
Apabila wadiah yang dijaga sebagaimana dijelaskan di atas hilang, rusak atau
musnah bukan karena kelalaian orang yang menyimpan, maka ia tidak diwajibkan
menganti. Namun, apabila tidak dijaga sebagaimana mestinya maka hal keadaan
tanggungjawab menyimpannya berubah dari amanah kepada dhamanah yang
bermakna wajib diganti apabila hilang, rusak atau musnah.
Pemilik barang boleh mengenakan syarat tertentu berkaitan dengan
keselamatan barang wadi’ahnya. Sekiranya yang punya barang ghaib, hilang, atau
tidak dapat diketahui di mana berada, masih hidup atau sudah meninggal, maka
simpanan wadi’ah itu diteruskan hingga ternyata pemilik barang masih hidup atau
sudah meninggal. Apabila ternyata terjadi kematiannya maka barang itu hendaklah
diserahkan kepada waris untuk dibagikan mengikuti aturan.
Semua pembelanjaan atas barang wadi’ah seperti makan dan minum, jika
wadi’ah itu dari jenis binatang, adalah ditanggung oleh yang punya wadi’ah. Akan
tetapi, jika orang yang menyimpan menggunakan wadi’ah itu untuk kepentingannya
maka pembelanjaan itu ditanggung olehnya. Orang yang menyimpan tidak boleh
membuat perjanjian wadi’ah dengan orang lain atas barang yang disimpan tanpa izin
dari punya barang. Sekiranya ia membuat perjanjian wadi’ah dengan orang lain
dengan izin maka hendaklah tanggung jawab menyimpan yang pertama kepada orang
yang menyimpan yang kedua. Jika orang yang menyimpan meninggal dunia maka
berpindahlah tanggung jawab wadi’ah itu kepada ahli waris sehinga selesai barang itu
diserahkan kembali kepada yang punya.6

E. POLA AKAD WADIAH

5 Ismail Nawawi, loc. Cit.


6 Imam Mustofa, Op.Cit, hl. 185
Akad berpla wadiah ada dua, yitu Wadi’ah yad amanah dan Wadi’ah yad
Dhamanah. Pada awalnya, wadi’ah muncul dalam bentuk yad al-amanah (tangan
amanah), yang kemudian dalam perkembangannya memunculkan yad dhamanah
(tangan penanggung). Akad wadi’ah yad dhamanah ini akhirnya banyak dipergunakan
dalam aplikasi perbankan syariah dalam produk-produk pendanaan.
1. Wadi’ah yad Amanah

Secara umum wadi’ah adalah titipan murni dari pihak penitip (muwaddi’)
yang memepunyai barang/aset kepada pihak penyimpan (mustawda’) yang diberi
amanah/kepercayaan, baik individu maupun badan hkum, tempat barang yang
dititipkan harus dijaga dari kerusakan, kerugian, keamanan, dan keutuhannya, dan
dikembalikan kapan saja penyimpan menghendaki.

Barang/aset yang dititipkan adalah sesuatu yang berharga berupa uang, barang,
dokumen, surat berharga, atau barang berharga lainnya. Dalam konteks ini, pada
dasarnya pihak penyimpan (custodian) sebagai penerima kepercayaan (trustee)
adalah yad al-amanah (tangan amanah) yang berarti bahwa ia tidak diharuskan
bertanggungjawab jika sewaktu dalam penitipan terjadi kehilangan atau kerusakan
pada barang/aset titipan, selama hal ini bukan akibat dari kelalaian atau
kecerobohan yang bersangkutan dalam memelihara barang/aset titipan. Biaya
penitipan boleh dibebankan kepada pihak penitip sebagai kompensasi atas
tanggungjawab pemeliharaan.

Dengan prinsip ini, pihak penyimpan tidak boleh menggunakan atau


memanfaatkan barang/aset yang dititipkan, melainkan hanya menjaganya. Selain
itu, barang/aset yang dititipkan tidak boleh dicampuradukkan dengan barang/aset
lain, melainkan harus dipisahkan untuk masinng-masing barang/aset penitip.
Karena menggunakan prinsip yad al-amanah, akad titipan seperti ini bisa disebut
wadi’ah yad amanah dengan skema seperti pada Gambar 1.
Gambar 1. Skema Wadi’ah yad Amanah

2. Wadi’ah yad Dhamanah

Dari prinsip yad al-amanah kemudian berkembang prinsip yad dhamanah yang
berarti bahwa pihak penyimpan bertanggungjawab atas segala kerusakan atau
kehilangan yang terjadi pada barang/aset titipan.

Hal ini berarti bahwa pihak penyimpn atau custodian adalah trustee yang
sekaligus guarantor (penjamin) keamanan barang/aset yang dititipkan. Ini juga
berarti bahwa pihak penyimpan telah mendapatkan izin dari pihak penitip untuk
mempergunakan barang/aset yang dititipkan tersebt untuk aktivitas perekonomian
tertentu, dengan catatan bahwa pihak penyimpan akan mengembalikan
barang/aset yang dititipkan secara utuh pada saat penyimpan menghendaki. Hal
ini sesuai dengan anjuran dalam Islam agar aset selalu diusahakan utuk tujuan
produktif (tidak idle atau didiankan saja).

Dengan prinsip ini, penyimpan boleh mencampur aset penitip dengan aset
penyimpan atau aset penitip yang lain, dan kemudian digunakan untuk tujuan
produktif mencari keuntungan. Pihak penyimpan berhak atas keuntungan yang
diperoleh dari pemanfaatan aset titipan dan bertanggungjawab penuh atas risiko
kerugian yang mungkin timbul. Selain itu, penyimpan diperbolehkan juga, atas
kehendak sendiri, memberikan bonus kepada pemilik aset tanpa akad perjanjian
yang mengikat sebelumnya. Dengan menggunakan prinsip yad dhamanah, akad
titipan seperti ini biasa disebut Wadi’ah yad Dhamanah dengan skema seperti pada
Gambar 2.
Gambar 2. Skema Wadiah yad Dhamanah

Prinsip Wadi’ah yad Dhamanah inilah yang secara luas kemudian


diaplikasikan dalam dunia perbankan Islam dalam bentuk produk-produk
pendanaannya, yaitu:

1) Giro (current account) Wadi’ah

2) Tabungan (saving account) Wadi’ah

Beberapa ketentuan Wadi’ah yad Dhamanah antara lain:

1) Penyimpan memiliki hak untuk menginvestasikan aset yang dititipkan;

2) Penitipan memiliki hak untuk mengetahui bagaimana asetnya di investasikan;

3) Penyimpan menjamin hanya nilai pokok jika modal berkurang karena


merugi/terdepresiasi;

4) Setiap keuntungan yang diperoleh penyimpan dapat digunakan sebagai hibah


atau hadiah (bonus). Hal itu berarti bahwa penyimpan (bank) tidak memiliki
kewajban mengikat untuk membagikan keuntungan yang diperolehnya; dan

5) Penitip tidak memiliki hak suara.7


7 Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, Cet ke-3, (Jakara: PT. RajaGrafindo, 2011) hl. 42-45
F. WADI’AH DALAM PRAKTIK LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH (LKS)
Wadi’ah yang dipraktikan dalam LKS ada dua macam, yaitu wadi’ah amanah
dan jaminan (dhamanah). Biasanya LKS mengenakan biaya administrasi terkait
pendaftaran barang titipan di LKS. Selain itum ada biaya penjagaan terhadap barang
wadi’ah barang berharga, surat berharga, dokumen-dokumen penting, dan barang lain
yang bernilai dan membutukan penjagaan dan perawatan khusus. Berdasarkan biaya-
biaya ini, maka apabila terjadi kehilangan, kerusakan atau kemusnahan walaupun
tanpa sengaja. Apabila LKS menggunakan barang titipan seperti uang untuk
perniagaan atau untuk usaha lain, maka LKS wajib mengembalikan sepenuhnya uang
wadi’ah yang telah digunakan itu kepada pemilik.
Ada dua bentuk wadi’ah dalam praktik perbankan Islam, yaitu: 1) Rekening
sementara; 2) Rekening simpanan. Bank Islam tidak mempunyai banyak peluang
untuk menggunakan uang dalam rekening sementara karena pemegang rekening boleh
mengeluarkan uangnya kapan saja dengan menggunakan cek. Karena itu, bank Islam
boleh mengenakan bayaran atas rekening sementara sebagai upah simpanan.
Ada dua jenis pendanaan dengan prinsip wadi’ah, yaitu giro wadi’ah dan
tabungan wadi’ah.
1. Giro Wadi’ah
Giro wadi’ah adalah produk pendanaan bank syariah berupa simpanan dari
nasabah dalam bentuk rekening giro (current account) untuk keamanan dan
kemudahan pemakainya. Karakteristik giro wadi’ah ini mirip dengan giro pada
bank konvensional, ketika kepada nasabah penyimpan diberi garansi untuk
menarik dananya sewaktu-waktu dengan menggunakan berbagai fasilitas yang
disediakan bank, seperti cek, bilyet giro, kartu ATM (Anjungan Tunai Mandiri)
atau dengan menggunakan sarana perintah pembayaran lainnya atau dengan cara
pemindahbukuan tanpa biaya.
Bank boleh menggunakan dana nasabah yang terhimpun untuk tujuan mencari
keuntungan dalam kegiatan yang berjangka pendek atau untuk memenuhi
kebutuan likuiditas bank, selama dana tersebut tidak ditarik. Biasanya bank tidak
menggunakan dana ini untuk pembiayaan bagi hasil karena sifatnya yang jangka
pendek. Keuntungan yang diperoleh bank dari penggunaan dana ini menjadi milik
bank. Demikian juga, kerugian yang timbul menjadi tanggungjawab bank
sepenuhnya. Bank diperbolehkan untuk memberi intesif berupa bonus kepada
nasabah selama hal ini tidak disyaratkan sebelumnya. Besarnya bonus juga tidak
ditetapkan di muka.
Beberapa fasilitas giro wadiah yang disediakan bank untuk nasabah, antara
lain:
1) Buku cek;
2) Bilyet giro;
3) Kartu ATM;
4) Fasilitas pembayaran;
5) Traveller’s cheques;
6) Wesel bank;
7) Wesel pertukaran;
8) Kliring; dan
9) Lainnya.
Dalam aplikasinya ada giro wadi’ah yang memberikan bonus dan ada yang
tidak. Pada kasus pertama, giro wadi’ah memberikan bonus karena bank
menggunakan dana simpanan giro ini untuk tujuan produktif dan menghasilkan
keuntungan, sehingga bank dapat memberikan bonus kepada nasabah deposan.
Pada kasus kedua, giro wadi’ah tidak memberikan bonus karena bank hanya
menggunakan dana simpanan giro ini untuk menyeimbangkan kebutuan likuiditas
bank dan untuk transkasi jangka pendek atas tanggung jawab bank yang tidak
menghasilkan keuntungan riil.
Apabila si pentip barang, mengizinkan kepada bank untuk memanfaatkan
barang titipan. Maka sebagian konsekuensi dari hasil titipan murni tersebut, bila
pihak bank (pengelola) memperoleh penghasilan atas pengelolaan dimaksud,
keuntungan atau laba tersebut sepenuhnya adalah milik bank. Kemudian bank atas
kehendaknya sendiri tanpa perjanjian dan understanding dimuka, dapat
memberikan bonus kepada para nasabahnya.
2. Tabungan Wadi’ah
Tabungan waadi’ah adalah produk pendanaan bank syariah berupa simpanan
dari nasabah dalam bentuk rekening tabungan (saving account) untuk keamanan
dan kemudahaan pemakaiannya, seperti giro wadi’ah, tetapi fleksibel giro
wadi’ah, karena nasabah tidak dapat menarik dananya dengan cek. Karakteristik
tabungan wadi’ah ini juga mirip dengan tabungan pada bank konvensional ketika
nasabah penyimpan diberi garansi untuk dapat menarik dananya sewaktu-
waktunya dengan menggunakan berbagai fasilitas yang disediakan bank, seperti
kartu ATM, dan sebagainya tanpa biaya.
Biasanya bank dapat menggunakan dana ini lebih leluasa dibandingkan dana
dari giro wadi’ah, karena sifat penarikannya yang tidak sefleksibel giro wadi’ah,
sehingga bank mempunyai kesempatan lebih besar untuk mendapatkan
keuntungan. Oleh karena itu, bonus yang diberikan oleh bank kepada nasabah
tabungan wadi’ah biasanya lebih besar daripada bonus yang diberikan oleh bank
kepada nasabah giro wadi’ah. Besarnya bonus juga tidak dipersyaratkan dan tidak
ditetapkan dimuka.8

8 Imam Mustofa, Op.Cit, hl. 186


BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
1. Wadi’ah adalah menitipkan barang/uang kepada orang lain untuk dijaga dengan
baik dan setiap saat bisa diambil jika penitip menghendaki.
2. Dasar hukumnya:
 QS. An-Nisa ayat 58,
 QS. Al-Baqarah ayat 183,
 Hadis riwayat dari Ab Hurairah r.a:
‫معفن أملبيَ هطمرفيِإْمرةام مقامل مقامل مرطسفوطل ال صليَ ا عليه وسلم أمدد المممانأمةم إلمليَ مملن‬
‫ك‬‫ك مولم تمطخفن ممفن مخانأم م‬ ‫افئتمممنم م‬
”Dari Abu Hurairah ra. Berkata, Raasulullah saw. bersabda Tunaikanlah
amanah orang yang mempercayakan kepadamu dan janganlah engkau hianati
orang yang menghianatimu.”
 Landasan dari ijma’ yaitu ulama bersepakat mengenai diperbolehkannya
wadi’ah, karena umumnya masyarakat sangat membutuhkan akad wadi’ah.
Adanya wadi’ah sangat membantu manusia untuk saling membantu dalam
menjaga harta yang juga menjadi tujuan agama.
3. Rukun dari akad wadi’ah yang harus dipenuhi dalam transaksi ada beberapa hal
berikut.
 Pelaku akad, yaitu penitip (mudi’/muwaddi’)
 penyimpan/penerima titipan (muda’/mustawda’);
 Objek akad, yaitu barang yang dititipkan; dan
 Sighat, yaitu Ijab dan Qabul.
Syarat-syarat barang dan orang yang menyimpan :
1) Pemilik barang dan orang yang menyimpan hendaklah, sempurna akal
pikiran, pintar yakni mempunyai sifat rusyd, tetapi tidak disyaratkan cukup
umur atau baligh. Orang yang belum baligh hendaklah terlebih dahulu
mendapat izin dari penjaganya utuk mengendalikan al-wadi’ah. Pemilik
barang dan orang yang menyimpan tidak tunduk pada perorangan saja. Ia
juga boleh dari sebuah badan korporasi seperti yayasan, perusahaan, bank,
dan lain sebagainya.
2) Syarat barang antara lain, barang yang disimpan hendaklah boleh
dikendalikan oleh orang yang menyimpan, barang yang disimpan itu tidak
boleh tahan lama, jika barang yang disimpan itu tidak boleh tahan lama
orang menyiman boleh menjual setelah mendapat izin dari pengadilan dan
uang hasil penjualan disimpn hingga sampai waktu penyerahan balik
kepada yang punya.
4. Menurut Imam Syafi’i yang berkewajiban menjaga barang tersebut hanya
penerima titipan. Imam al-Nawawi menjelaskan bahwa orang yang menerima
titipan dia wajib menjaganya, oleh karena itu diharamkan menerima titipan
apabila orang tersebut tidak mampu menjaga barang titipan tersebut.
5. Pola akad wadi’ah terbagi dua, yaitu:
 Wadi’ah yad al-amanah yaitu titipan yang tidak boleh digunakan atau
diambil manfaatnya.
 Wadi’ah yad dhamanah yaitu titipan yang boleh digunakan atau diambil
manfaatnya oleh orang yang menerima titipan atas izin orang yang
memberi titipan.
6. Aplikasi akad wadi’ah di Lembaga Keuangan Syariah berupa giro wadi’ah dan
tabungan wadi’ah.
DAFTAR PUSTAKA

Mustofa, Imam. 2018. Fiqih Mu’amalah Kontemporer. Cet. Ke-3, Depok: Rajawali Pers.
Nawawi, Ismail. 2012. Fiqih Muamalah Klasik dan Kontemporer. Bogor: Penerbit Ghalia
Indonesia.
Ascarya. 2011. Akad dan Produk Bank Syariah. Cet ke-3. Jakara: PT. RajaGrafindo.

Anda mungkin juga menyukai