Anda di halaman 1dari 29

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Koklea

Koklea, terletak pada telinga bagian dalam, adalah ruangan yang berisi
cairan. Koklea merupakan tabung yang tipis dengan panjang sekitar 3,5
cm, dengan diameter berkisar antara 2 mm, meskipun demikian diameter
koklea bervariasi sepanjang badan koklea. Didapati diameter yang paling
lebar pada bagian basis atau bagian yang paling dekat dengan tingkap
lonjong dan diameter yang paling sempit pada bagian apeks atau bagian
puncaknya. Namun koklea bukanlah berbentuk tabung lurus, melainkan
berbentuk tabung yang melingkar sekitar 2,5 hingga 2,75 putaran yang
menyerupai cangkang siput dengan pusat putaran yang disebut mediolus
seperti yang terlihat pada gambar 2.1. Mediolus ini berisi pembuluh darah
dan syaraf (Plack, 2005 ; Moller, 2006 ; Dhingra, 2010).

Gambar 2.1 Koklea

Koklea terbagi atas skala vestibuli, skala media dan skala timpani.
Skala vestibuli dan skala timpani berisi perilimfe, cairan yang menyerupai
cairan ekstraselular yaitu tinggi natrium dan rendah kalium. Skala media
berisi endolimfe, cairan yang menyerupai cairan intraseluler yaitu tinggi

Universitas Sumatera Utara


7

kalium dan rendah natrium. Skala vestibuli dan skala timpani dihubungkan
oleh helikotrema pada bagian apeks (Bashiruddin, 2011 ;
Weber & Khariwala, 2014).
Pada irisan melintang koklea terlihat struktur penting pada organ
sensoris ini. Skala media atau duktus koklearis tampak seperti bangun
segitiga pada potongan melintang dengan membrana basilaris sebagai
dinding horizontal di bagian inferiornya, membrana Reissner sebagai
dinding superiornya dan stria vaskularis dengan ligamen spiral sebagai
sisi vertikalnya seperti yang terlihat pada gambar 2.2 (Gacek, 2009).

Gambar 2.2 Irisan melintang duktus koklearis (Weber & Khariwala, 2014)

Semua struktur pada duktus koklearis, terutama membrana basilaris


memiliki gradien morfologi dimana lebar membrana basilaris tersempit
terdapat pada bagian basis dan terluas terdapat pada bagian apeks.
Ligamen spiral dan organ korti juga memiliki gradien morfologi dari basis
hingga apeks. Gradien morfologi ini, menentukan lokasi stimulasi
maksimal dari membrana basilaris dan sel rambut luar dengan
memberikan nada atau frekwensi yang dikenali. Dalam hal ini, frekwensi

Universitas Sumatera Utara


8

tinggi pada bagian basis dan frekwensi rendah pada bagian apeks,
dengan skala frekwensi diatur sedemikian rupa di sepanjang membrana
basilaris (Gacek, 2009).
Diatas membrana basilaris terdapat struktur gelatinosa yang biasa
disebut dengan membrana tektoria. Dibawah membrana tektoria ini
terdapat organ korti, tepat diatas membrana basilaris yang terdiri dari
barisan sel rambut dan bermacam-macam sel-sel penunjang juga ujung
syaraf (Plack, 2005). Pada bagian ujung atas sel rambut luar terdapat
stereosilia seperti yang terlihat pada gambar 2.3. Stereosilia ini berkontak
langsung dengan membrana tektoria (Gacek, 2009).
Organ korti merupakan organ sensoris yang kompleks yang terdiri dari
sel rambut luar, sel rambut dalam serta sel-sel penunjang di sepanjang
membrana basilaris, dengan ujung bersilia pada sel rambut menjulur ke
dalam atau ke dekat membrana tektoria. Bagian apikal dari sel rambut
tertanam pada lempeng kutikular, dengan stereosilia menjulur melewati
lempeng kutikular. Stereosilia pada sel rambut luar bersinggungan dengan
membrana tektoria, sedangkan stereosilia dari sel rambut dalam terletak
bebas pada ruangan endolimfatik yang berada pada bagian inferior dari
membrana tektoria (Gacek, 2009 ; Weber & Khariwala, 2014).

Gambar 2.3 Sel rambut dalam dan sel rambut luar


Terdapat satu baris sel rambut dalam dan tiga hingga lima baris sel
rambut luar seperti yang terlhat pada gambar 2.4. Sel-sel ini dapat

Universitas Sumatera Utara


9

dibedakan secara morfologi, sel rambut dalam berbentuk botol dan


dikelilingi oleh sel-sel penunjang serta memiliki stereosilia yang tersusun
secara linear, sedangkan sel rambut luar berbentuk silinder dan tidak
sepenuhnya dikelilingi oleh sel falang ataupun sel-sel penunjang hanya di
bagian permukaan dan bawah. Stereosilia dari sel rambut luar membentuk
W terbalik, dan badan basis menunjukkan suatu kinosilium yang belum
sempurna terletak pada sisi ligamen spiral dari berkas silia (Gacek, 2009 ;
Weber & Khariwala, 2014).

Gambar 2.4 Gambaran sel rambut dalam dan sel rambut luar dilihat dengan
mikroskop elektron (Weber & Khariwala 2014)

Sel rambut dalam disokong oleh sel interfalang, sedangkan sel rambut
luar disokong oleh sel Deiters di bagian inferior dan sel Hensen di bagian
lateral. Membrana tektoria pada bagian medialnya tertanam pada limbus
dan pada bagian lateral melekat pada sel Hensen melalui jaringan fibrosa.
Membrana basilaris dan membrana tektoria berpindah secara vertikal oleh
pergerakan gelombang yang ditimbulkan oleh energi suara dan
dihantarkan ke tingkap lonjong. Karena titik tumpu kedua struktur ini
terpisah, terjadi pergerakan meluncur secara horizontal ketika terjadi
stimulasi, akibat dari pergeseran antara membrana tektoria dan lempeng
kutikular. Akibat dari pergeseran pada stereosilia menginisiasi peristiwa
elektris pada sel rambut (Gacek, 2009).

Universitas Sumatera Utara


10

Organ korti terdiri dari berkisar 15.500 sel rambut, dimana sekitar 3.500
merupakan sel rambut dalam dan 12.000 merupakan sel rambut luar. Sel
rambut ini dipersyarafi oleh syaraf eferen dan aferen. Syaraf aferen pada
organ sensoris pendengaran merupakan syaraf bipolar merujuk kepada
sel ganglion spiral yang terletak pada kanalis Rosenthal pada mediolus.
Sedangkan syaraf eferen sejalan dengan jalur syaraf aferen pendengaran,
merupakan jalur yang berasal dari korteks auditori dan berakhir pada
organ target. Berkisar 30.000 sel ganglion spiral mempersyarafi organ
korti manusia. 90-95% dari syaraf ganglion spiral merupakan neuron tipe I,
yang besar dan bermyelin serta memproyeksikan dendrit tunggal
langsung ke sel rambut dalam. Sekitar 10 hingga 20 sel ganglion spiral
tipe I mempersyarafi satu sel rambut dalam. Sel ganglion tipe I memburuk
dengan cepat apabila telah terjadi cedera pada dendrit. Sisa 5% dari
syaraf aferen pada ganglion spiral merupakan neuron tipe II,
mempersyarafi sel rambut luar, yang lebih kecil dan tidak bermyelin dan
memiliki prosesus distal yang sangat tipis (Gacek, 2009 ; Weber &
Khariwala, 2014).

2.2 Fisiologi Pendengaran

Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh


daun telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau
tulang ke koklea. Getaran tersebut menggetarkan membran timpani
diteruskan ke telinga tengah melalui rangkaian tulang pendengaran yang
akan mengamplifikasi getaran melalui daya ungkit tulang pendengaran
dan perkalian perbandingan luas membran timpani dan tingkap lonjong.
Energi getar yang telah diamplifikasi akan diteruskan ke stapes yang
menggetarkan tingkap lonjong sehingga perilimfa pada skala vestibuli
bergerak. Getaran diteruskan melalui membran Reissner yang mendorong
endolimfa, sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara membran

Universitas Sumatera Utara


11

basilaris dan membran tektoria. Proses ini merupakan rangsangan


mekanik yang menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut
(Bashiruddin & Soetirto, 2011).
Sel-sel rambut memiliki stereosilia. Stereosilia tertanam dalam
membran tektorial yang memiliki struktur seperti gelatin dan ukurannya
semakin panjang pada sisi yang menjauhi modiolus. Setiap stereosilia
berikatan dengan stereosilia disampingnya yang lebih panjang oleh
filamen-filamen tipis. Sel-sel rambut bergerak naik turun sewaktu
membran basilaris bergetar. Oleh karena rambut-rambut dari sel reseptor
terbenam di dalam membran tektorial yang kaku dan stasioner, rambut-
rambut tersebut akan membengkok ke depan dan belakang sewaktu
membran basilaris menggeser posisinya terhadap membran tektorial.
Diketahui juga, titik sumbu rotasi yang berbeda antara membran tektorial
dan membran basilaris, dimana membran tektorial pada bibir atas limbus
dan membran basilaris pada lamina spiralis osseus. Sebagai hasilnya,
pergerakan kedua membran akan menyebabkan gaya geser pada
stereosilia. Defleksi sel-sel rambut luar terjadi akibat pergerakan relatif
membran retikular dengan membran tektorial, sedangkan defleksi sel
rambut dalam terjadi karena aliran cairan endolimfe yang diakibatkan dari
pergerakan membran basilaris atau pergerakan stereosilia sel rambut luar.
Pada saat terjadi pembengkokan stereosilia ke arah stereosilia yang lebih
panjang dan menjauhi modiolus, maka stereosilia yang lebih pendek akan
tertarik dan membuka 200 sampai 300 saluran penghantar kation dan
menimbulkan gerakan cepat dari K+ untuk memasuki stereosilia dan
menyebabkan depolarisasi. Jika yang terjadi sebaliknya, dimana
stereosilia yang rendah menjauhi stereosilia yang lebih panjang dan
mendekati modiolus maka akan menyebabkan hiperpolarisasi dari sel-sel
rambut. Secara umum, jika membran basilaris berbelok ke arah skala
vestibuli, maka akan menyebabkan sel-sel rambut mengalami
depolarisasi, dan jika membran basilaris berbelok ke arah skala timpani
akan menyebabkan sel-sel rambut mengalami hiperpolarisasi. Perubahan

Universitas Sumatera Utara


12

potensial sel-sel rambut ini akan mengeksitasi serabut-serabut saraf yang


bersinaps pada dasar sel-sel rambut dan menghantarkannya ke
sepanjang saraf-saraf pendengaran (Liston dan Duvall, 1997; Sherwood,
2001; Lonsbury, Martin dan Luebke, 2003; Moller, 2003; Couloigner,
Sterkers dan Ferrary, 2006; Ricci, et al., 2006).

2.3 Bising

Secara umum bising adalah bunyi yang tidak dikehendaki dan dapat
mengganggu kesehatan, kenyamanan serta dapat menimbulkan ketulian.
Secara audiologik bising adalah campuran bunyi nada murni dengan
berbagai frekuensi. Untuk mengetahui intensitas bising di lingkungan
kerja, digunakan Sound Level Meter. Bising yang intensitasnya 85 dB atau
lebih dapat mengakibatkan kerusakan pada reseptor pendengaran korti di
telinga dalam. Yang sering mengalami kerusakan adalah alat korti untuk
reseptor bunyi yang berfrekuensi 3000 Hz sampai dengan 6000 Hz dan
yang terberat kerusakan alat korti untuk reseptor bunyi yang berfrekuensi
4000 Hz (Atmaca, Peker & Altin, 2005 ; Buchari, 2007 ; Pouryaghoub,
Mehrdad & Mohammadi, 2007 ; Seidman & Standring, 2010 ; Bashiruddin,
2011).
Bising dapat dibagi menjadi bising berdasarkan sifat dan spektrum
frekuensi bunyi serta bising berdasarkan pengaruhnya terhadap manusia.
Berdasarkan sifat dan frekuensi bunyi dapat dibagi atas :
1. Bising yang kontinyu dengan spektrum frekuensi yang luas. Bising
ini relatif tetap dalam batas kurang lebih 5 dB untuk periode 0,5
detik berturut-turut.
2. Bising yang kontinyu dengan spektrum frekuensi yang sempit.
Bising ini juga relatif tetap, akan tetapi ia hanya mempunyai
frekuensi tertentu saja (pada frekuensi 500, 1000 dan 4000 Hz)
3. Bising terputus-putus (intermitten). Bising disini tidak terjadi secara
terus menerus, melainkan ada periode relatif tenang

Universitas Sumatera Utara


13

4. Bising Impulsif. Bising jenis ini memiliki perubahan tekanan suara


melebihi 40 dB dalam waktu sangat cepat dan biasanya
mengejutkan pendengaran
5. Bising impulsif berulang. Sama dengan bising impulsif, hanya saja
disini terjadi secara berulang-ulang (Buchari, 2007).

pengaruhnya terhadap manusia, bising dapat dibagi atas :


1. Bising yang mengganggu (Irritating Noise). Intensitas tidak terlalu
keras
2. Bising yang menutupi (Masking Noise). Merupakan bunyi yang
menutupi pendengaran yang jelas. Secara tidak langsung bunyi ini
akan membahayakan kesehatan dan keselamatan tenaga kerja,
karena teriakan atau isyarat tanda bahaya dapat tertutupi oleh
bising jenis ini
3. Bising yang merusak (Damaging / Injurious Noise). Adalah bunyi
yang intensitasnya melampaui Nilai Ambang Batas (NAB). Bunyi
jenis ini akan merusak atau menurunkan fungsi pendengaran
(Buchari, 2007).

Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 51 tahun 1999 tentang nilai


ambang batas faktor fisik dalam lingkungan kerja, termasuk didalamnya
tentang kebisingan seperti pada Tabel1. (KEPMEN, 1999).

Universitas Sumatera Utara


14

Tabel1. Intensitas bunyi dan waktu paparan yang diperkenankan sesuai


dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja :KEP-51/MEN/1999
Intensitas Bising Waktu paparan perhari
(dB) (jam)
85 8
87,5 6
90 4
92,5 3
95 2
100 1
105 ½
110 ¼

2.4 Gangguan Pendengaran Akibat Bising

Gangguan pendengaran adalah perubahan pada tingkat pendengaran


yang mengakibatkan kesulitan dalam melaksanakan kehidupan normal,
terutama dalam hal memahami pembicaraan. Gangguan Pendengaran
akibat bising (GPAB) ialah gangguan pendengaran yang disebabkan
akibat terpajan oleh bising yang cukup keras dalam jangka waktu yang
cukup lama dan biasanya diakibatkan oleh bising lingkungan kerja. Sifat
ketuliannya adalah tuli sensorineural tipe koklea dan umumnya terjadi
pada kedua telinga. Banyak hal yang mempermudah seorang menjadi tuli
akibat terpajan bising, antara lain paparan terhadap suara itu sendiri yaitu
intensitas bising yang lebih tinggi, berfrekuensi tinggi, lebih lama terpapar
bising, dan juga karakteristik individual yang menyebabkan individual
tersebut lebih rentan mengalami GPAB yaitu mendapat pengobatan yang
bersifat racun terhadap telinga (obat ototoksik) dan lain-lain. Berdasarkan
hal tersebut dapat dimengerti bahwa jumlah pajanan energi bising yang
diterima akan sebanding dengan kerusakan yang didapat (Buchari, 2007 ;
Kujawa, 2009 ; Bashiruddin & Soetirto, 2011 ; Muyassaroh & Habibi,
2011).

Universitas Sumatera Utara


15

GPAB sering dijumpai pada pekerja industri di negara maju maupun


negara berkembang, terutama negara industri yang belum menerapkan
sistem perlindungan pendengaran dengan baik. Indonesia sebagai negara
yang sedang berkembang dalam upaya meningkatkan pembangunan
banyak menggunakan peralatan industri yang dapat membantu dan
mempermudah pekerjaan. Sebagai akibatnya, timbul bising lingkungan
kerja yang dapat berdampak buruk terhadap para pekerja. Menurut OSHA
(Occupational Safety & Health Administration) batas aman pajanan bising
bergatung pada lama pajanan, frekuensi dan intensitas bising serta
kepekaan individu dan beberapa faktor lain. Di Indonesia khususnya dan
di negara lain umumnya, pajanan bising yang dianggap cukup aman
adalah pajanan rata-rata sehari dengan intensitas bising yang tidak
melebihi 85 dB selama 8 jam sehari atau 40 jam seminggu (Tana et al.,
2002 ; Lee, 2008 ; Bashiruddin, 2010).
GPAB adalah penyakit akibat kerja yang sering dijumpai pada banyak
pekerja industri. GPAB biasanya bilateral akan tetapi tidak jarang terjadi
secara unilateral. Gangguan biasanya mengenai nada tinggi dan terdapat
takik di frekuensi 4000 Hz pada gambaran audiogramnya. Pada tahap
awal gangguan ini hanya dapat dideteksi dengan menggunakan
audiometri. GPAB dapat terjadi mulai ringan sampai berat akibat pajanan
bising yang berlangsung lama, yang menyebabkan kerusakan pada sel-
sel rambut juga terjadi bertahap, secara perlahan-lahan sehingga tidak
disadari oleh para pekerja (Bashiruddin et al., 2008 ; Lee, 2008 ; Dhingra,
2010 ; Bashiruddin, 2010).
GPAB merupakan hal yang umum terjadi dan pengaruhnya pada
komunikasi juga pada kualitas hidup sangatlah signifikan. Secara teori
GPAB dapat dicegah, pada prakteknya, paparan terhadap suara yang
tinggi merupakan salah satu penyebab paling sering yang mengakibatkan
gangguan pendengaran permanen, tuli sensorineural dan kerusakan
telinga dalam. GPAB biasanya merupakan akumulasi bertahap dari
paparan yang berulang terhadap suara tinggi, walaupun sebenarnya satu

Universitas Sumatera Utara


16

paparan trauma akustik dapat dengan segera menyebabkan gangguan


dan bersifat permanen. Meskipun sejumlah usaha dilakukan untuk
mengatur paparan bising dan untuk mengedukasi masyarakat, akan tetapi
ada kekhawatiran bahwa GPAB ini semakin meningkat dan mencapai usia
muda (Kujawa, 2009).
Kemajuan dalam bidang teknologi sejak tiga dekade terahir ini
menyebabkan peningkatan bahaya bising baik dalam jumlah, intensitas,
kecepatan dan jumlah orang yang terpajan bising, terutama di negara
industri dan negara maju. Beberapa sumber bising yang menjadi
penyebab polusi suara adalah gemuruh mesin produksi pada beberapa
pabrik, desing mesin jet, gemuruh mesin turbin pada beberapa kapal laut,
letusan senjata genggam dan senjata panggul, bising dari alat bantu kerja
seperti mesin pemotong rumput, bising alat pemecah beton atau aspal,
bising alat penghisap debu elektrik sampai pada bising dari kendaraan
alat angkutan atau transportasi dengan sistem gas buang dan suspensi
yang buruk (Bashiruddin, 2010 ; Abbasi, Marri & Nebhwani, 2011).
Penelitian-penelitian yang dilakukan secara terpisah-pisah
menunjukkan prevalensi terjadinya GPAB di tempat kerja berkisar antara
10-30%. Masalah yang dihadapi adalah banyak perusahaan sebagai
sektor formal yang belum melakukan Program Konservasi Pendengaran,
sebagai perlindungan terhadap pekerjanya, sehingga resiko terjadinya
gangguan pendengaran pada pekerja akan meningkat. Hal ini disebabkan
oleh berbagai kendala, antara lain adalah kurangnya kesadaran para
pekerja tentang bahaya timbulnya GPAB di tempat kerja. Pimpinan
perusahaan yang belum memprioritaskan kesehatan para pekerjanya.
Kurangnya biaya perusahaan yang dialokasikan untuk kesehatan para
pekerjanya (Bashiruddin, 2010).
Bising berpengaruh terhadap tenaga kerja, sehingga dapat
menimbulkan berbagai gangguan kesehatan secara umum, antara lain
gangguan pendengaran atau disebut juga pengaruh auditorial, gangguan
fisiologi serta gangguan psikologi, dua hal terakhir termasuk dalam

Universitas Sumatera Utara


17

pengaruh non auditorial. Gangguan fisiologi dapat berupa peningkatan


tekanan darah, percepatan denyut nadi, peningkatan metabolisme basal,
vasokonstriksi pembuluh darah, penurunan peristaltik usus serta
peningkatan ketegangan otot. Efek fisiologi tersebut disebabkan oleh
peningkatan rangsang sistem saraf otonom. Keadaan ini sebenarnya
merupakan mekanisme pertahanan tubuh terhadap keadaan bahaya yang
terjadi secara spontan. Gangguan psikologi dapat berupa stres tambahan
apabila bunyi tersebut tidak diinginkan dan menganggu, sehingga
menimbulkan perasaan tidak menyenangkan dan melelahkan. Hal
tersebut diatas dapat menimbulkan gangguan sullit tidur, emosional,
gangguan komunikasi dan ganguan konsentrasi yang secara tidak
langsung dapat membahayakan keselamatan tenaga kerja (Atmaca,
Peker & Altin, 2005 ; Bashiruddin, 2010 ; Dobie, 2014).
Pengaruh bising pada timbulnya gangguan pendengaran telah banyak
diteliti. Untuk melindungi tenaga kerja terhadap bahaya yang disebabkan
faktor bising, perlu dibuat suatu kriteria risiko dengan tujuan untuk
menentukan tingkat bunyi maksimum yang diperkenankan selama periode
waktu tertentu, yang bila tidak dilampaui hanya akan menimbulkan sedikit
perubahan pendengaran pekerja yang terpajan bising pada jangka waktu
yang lama (Atmaca, Peker & Altin, 2005 ; Bashiruddin, 2010 ; Dobie,
2014).

2.5 Patogenesis dan Histopatologi

Pajanan bising pada organ pendengaran dapat menimbulkan


peningkatan ambang dengar sementara (Temporary Threshold Shift) dan
peningkatan ambang dengar menetap (Permanent Threshold Shift)
(Dobie, 2014).

Universitas Sumatera Utara


18

2.5.1 Peningkatan Ambang Dengar Sementara


Paparan terhadap suara yang keras dalam beberapa detik hingga
beberapa jam dapat menyebabkan tuli sensorineural sementara yang
dapat sembuh mendekati sempurna dalam 24 jam. Besarnya peningkatan
ambang dengar sementara ini dapat diperkirakan melalui parameter
akustik dari bunyi : intensitasnya, spektrum dan pola temporal.
Seyogianya, semakin intens suara maka akan menyebabkan peningkatan
yang lebih besar. Nada murni yang menyebabkan peningkatan ambang
dengar sementara adalah yang terbesar dan sedikit diatas frekuensi nada
paparan. Seperti yang diperkirakan, frekuensi terbaik yang dapat kita
dengar juga merupakan frekuensi yang rentan terhadap peningkatan
ambang dengar sementara. Oleh karena suara dengan frekuensi tinggi
biasanya lebih berbahaya dibandingkan dengan suara dengan frekuensi
yang rendah pada intensitas yang sama , resiko tidak dapat diperkirakan
hanya dari pengukuran desibel (dB) Sound Pressure Level (SPL). Untuk
menghindari sukarnya pengukuran resiko dari setiap oktaf suara, maka
dibuat konsensus internasional yang memperkirakan bahaya dari tuli
sensorineural berdasarkan penghitungan desibel pada skala A (dbA)
(Dobie, 2014).
Efek dari pola temporal lebih kompleks. Paparan yang lebih lama
mengarah kepada meningkatnya peningkatan ambang dengar sementara,
akan tetapi paparan yang terputus-putus menyebabkan lebih sedikit
peningkatan ambang dengar sementara dibandingkan paparan yang
terus-menerus pada durasi yang sama. Agaknya, penyembuhan terjadi
selama interval istirahat (Dobie, 2014).

2.5.2 Peningkatan Ambang Dengar Menetap


Setelah paparan berulang bising yang menyebabkan peningkatan
ambang dengar sementara, pekerja mengalami perubahan ambang yang
tidak dapat sembuh. Ini disebut dengan peningkatan ambang dengar
menetap akibat bising. Dari penelitian yang dilakukan, peneliti

Universitas Sumatera Utara


19

menetapkan peningkatan ambang dengar menetap akibat bising


diakibatkan oleh paparan 100 dB selama 10 tahun (Dobie, 2014).
Konsensus dari kebanyakan ahli adalah bahwa peningkatan ambang
dengar menetap akibat bising tidak mengalami kemajuan setelah
penghentian dari paparan. Tepatnya, orang dengan peningkatan ambang
dengar menetap akibat bising yang bertambah tua yang awalnya sudah
terpapar bising, gangguan pendengaran mereka tidak bertambah lebih
cepat dibandingkan dengan gangguan pendengaran pada orang yang
tidak terpapar bising (Dobie, 2014).
Meskipun refleks akustik (kontraksi dari otot stapedius sebagai respon
terhadap suara yang keras) meningkat pada suara senjata api dan bising
industrial, kemungkinan ini merupakan perlindungan terhadap
peningkatan ambang dengar menetap akibat bising, paling tidak pada
frekuensi di bawah 2 kHz, dimana refleks akustik efektif untuk
melemahkan suara. Borg et al. telah menunjukkan penelitiannya pada
hewan percobaan dan manusia dengan Bell palsy bahwa peningkatan
ambang pendengaran menetap dan peningkatan ambang pendengaran
sementara meningkat drastis pada frekuensi rendah ketika refleks
stapedius tidak aktif (Dobie, 2014).
Frekuensi yang sensitif terletak diantara 1 hingga 5 kHz, yang paling
sensitif merupakan 4 kHz, refleks akustik memiliki proteksi terhadap suara
dengan frekuensi yang rendah dan kenyataanya sifat perlindungan
terhadap suara yang terputus-putus terdapat pada frekuensi yang rendah.
Akhir-akhir ini alasan lain ditambahkan, yaitu : sel rambut luar pada bagian
basal koklea mudah terkena stres oksidatif (Seidman & Standring, 2010 ;
Dobie, 2014).

2.5.3 Histopatologi Gangguan Pendengaran Akibat Bising


Penilaian terhadap histopatologi paparan bising mengungkapkan
bahwa banyak tipe sel pada koklea yang dapat terlibat oleh karena
paparan suara yang berlebihan. Stereosilia dari sel rambut mengalami

Universitas Sumatera Utara


20

kerusakan, pembengkakan dan vakuolisasi pada area sel rambut dalam,


hilangnya sel rambut, kolaps sel penyokong, terancamnya daerah strial,
hilangnya fibrosit, dan hilangnya sel yang bersifat neuronal, semuanya
dapat diidentifikasi pada GPAB yang dapat dilihat pada gambar 2.5.
Walaupun ada tumpang tindih dalam dasar-dasar histologi pada saat
terjadinya pergeseran ambang dengar sementara dan pergeseran
ambang dengar menetap, mekanisme yang mendasari pergeseran yang
besar akan tetapi bersifat reversibel, misalnya 12 jam setelah pemaparan
40 dB dan dibandingkan dengan 2 minggu setelah pemaparan 40 dB,
secara luas diketahui berbeda pada dasarnya, dan keinginan untuk
memprediksikan hasilnya yang telah dilakukan para peneliti membawa
hasil yang mengecewakan (Kujawa, 2009).
Pada paparan jangka pendek, pemeriksaan histopatologi mengungkapk
an perubahan stereosilia pada sel rambut. Defleksi stereosilia mengubah
tegangan tip-link, membuka pintu jalur transduksi secara mekanik. Suara
level tinggi dapat menyebabkan ikatan stereosilia menjadi berantakan,
bersatunya elemen-elemen tersebut dan dapat merusak tip-link.
Kerusakan stereosilia atau hilangnya stereosilia berpengaruh dalam
pendengaran dan bahaya fungsional, diketahui dengan mengukur ambang
dengar (Kujawa, 2009).
Sinaps aferen diantara sel rambut dalam dan terminal periferal dari sel
ganglion spiral adalah glutamatergik, dan jenis dari eksitotoksisitas
glutamat tampak menjadi aspek yang banyak terjadi pada respon akut
koklea terhadap kebisingan. Paparan suara yang berakibat pada
keluarnya transmiter secara masif dapat membebani reseptor post
sinaptik dan mekanisme bersihan glutamat yang mengarah kepada tanda
klasik eksitotoksisitas glutamat. Apabila telinga memperbaiki diri 0-12 jam
setelah pemaparan akustik yang berlebihan, selalu ada bukti
pembentukan vakuola dan pembengkakan dendrit aferen dibawah sel
rambut dalam dan pembengkakan dari sel ganglion spiral dan/atau
selubung sel satelit mereka di dalam kanal Rosenthal. Bukti histologis

Universitas Sumatera Utara


21

untuk eksitotoksisitas terlihat apakah paparan hanya menghasilkan


pergeseran ambang sementara, atau keduanya, baik komponen
sementara dan menetap, dan dapat muncul walaupun sel rambut dalam
tidak hilang. Trauma eksitotoksisitas akut kemungkinan mempunyai akibat
jangka panjang. Puel et al. mempunyai pemikiran bahwa perubahan
seperti yang disebutkan diatas dapat mendasari degenerasi neuronal
yang terlihat pada telinga manusia penderita presbikusis (Kujawa, 2009 ;
Seidman & Standring, 2010).
Pembengkakan pada stria vaskularis merupakan suatu akibat akut dari
paparan bising dengan akibat fungsional yang belum jelas. Stria
vaskularis, seperti namanya, merupakan jaringan yang banyak
mengandung vaskular terletak pada dinding lateral koklea. Memainkan
peran penting dalam mempertahankan lingkungan ionik dan potensial
endokoklear yang mana sangat penting untuk proses tranduksi normal
dari sel rambut. Kontribusi pokok pada fungsi koklea normal memberi
kesan bahwa paparan bising yang membahayakan untuk stria seharusnya
memiliki akibat fungsional. Walaupun potensial endokoklear pulih dengan
cepat terhadap efek kebisingan, degenerasi marginal strial dan sel
interdental kemungkinan mengakibatkan terjadi pergeseran ambang pada
kondisi steady state (Kujawa, 2009).
Kolapsnya sel penunjang dapat menjadi bukti periode akut setelah
pemaparan, dan komponen reversibel dari perubahan struktural tersebut
telah dikaitkan dengan efek reversibel dalam potensial endokoklear pada
guinea pigs dan chinchillas. Survey baru-baru ini terhadap paparan bising
pada tikus didapatkan perubahan pada arsitektur sel penunjang
(setidaknya pada tingkatan yang paling tinggi dalam paparan) juga terlihat
pada telinga dengan pergeseran ambang dengar sementara (Kujawa,
2009).
Bukti histopatologi dalam hitungan minggu hingga bulan setelah
paparan dapat sedikit berbeda dari yang terlihat pada periode akut setelah
paparan. Kerusakan sel akibat bising dapat berdegenerasi lebih cepat.

Universitas Sumatera Utara


22

Kerusakan sel rambut selama paparan , sebagai contoh, dapat


berdegenerasi, digantikan oleh sel nonsensori (penunjang) yang dimana
berasal dari parut sel falang pada permukaan dari epitel sensorial koklea
(Kujawa, 2009).
Diketahui bahwa bahwa sel rambut, terutama sel rambut luar, secara
jelas rentan terhadap paparan bising dan bahaya ini merupakan akibat
utama pada perubahan fungsi setelah paparan. Sel rambut luar
memperkuat pola pergerakan, meningkatkan respon mekanikal koklea
terhadap sinyal level rendah. Sel rambut dalam sebagai reseptor sensorik
tradisional. Hilangnya sel rambut luar akibat terpapar bising meningkatkan
ambang dengar. Hilangnya sel rambut dalam akibat paparan bising
menyingkirkan semua komunikasi koklea dengan syaraf aferen, sebagai
hasilnya terdapat daerah yang kurang respon (Kujawa, 2009).
Gambaran histopatologi akibat terpapar bising biasanya berasal dari
kerusakan dan kehilangan sel rambut luar yang fokal, dan untuk paparan
yang lebih sigifikan, membahayakan sel rambut dalam dan sel penunjang.
Degenerasi dari neuron aferen bermyelin dan sel ganglion spiralis dapat
terjadi sebagai akibat sekunder terhadap hilangnya sel rambut dalam,
meskipun ini dapat juga terjadi pada telinga yang tidak mengalami
gangguan. Pergeseran ambang pada ukuran ini dapat dijelaskan
sepenuhnya oleh kerusakan stereosilia. Pada tikus percobaan, kerusakan
stereosilia yang terlihat ada fase akut biasanya menetap dan kebanyakan
struktur penting berubah menyebabkan pergerseran ambang dengar
menetap (Kujawa, 2009).

Universitas Sumatera Utara


23

Gambar 2.5. Kerusakan organ korti karena paparan bising: (a) organ korti
normal; (b) sel rambut luar tampak menghilang; (c) sel rambut luar dan dalam
menghilang dan struktur penunjang kolaps; (d) Keseluruhan organ korti kolaps
(Maltby 2005)

Signifikansi fungsional dari perubahan seluler yang pasti dan jelas dari
gambaran setelah pemaparan pada spesies yang berbeda masih dalam
penelitian. Hilangnya fibrosit pada ligamen spiralis, sebagai contoh, umum
terlihat pada telinga tikus yang terpapar bising. Hilangnya sel ini baru-baru
ini diketahui sebagai efek yang tidak diketahui dari sensitivitas auditori,
telinga yang mengalami banyak kehilangan fibrosit dapat menunjukkan
pergeseran ambang minimal dan sebaliknya. Ini mengindikasikan bahwa
fibrosit dari dinding lateral kemungkinan terlibat dalam jalur daur ulang K +
endolimfe yang jelas sangat penting selama stimulasi akustik yang
berlebihan. Dalam hal ini, ion K+ masuk dan meninggalkan sel rambut luar
dan kemudian keluar-masuk melalui fibrosit dan akhirnya kembali ke stria
vaskularis (Kujawa, 2009).

Universitas Sumatera Utara


24

2.6 Gejala Gangguan Pendengaran Akibat Bising

Kurang pendengaran disertai tinitus (berdenging di telinga) atau tidak.


Bila sudah cukup berat disertai dengan keluhan sukar menangkap
percakapan dengan kekerasan biasa dan bila sudah lebih berat
percakapan yang keras pun sukar dimengerti. Secara klinis pajanan bising
pada organ pendengaran dapat menimbulkan reaksi adaptasi,
peningkatan ambang dengar sementara dan peningkatan ambang dengar
menetap (Bashiruddin & Soetirto, 2011).
1. Reaksi adaptasi merupakan respon kelelahan akibat rangsangan
oleh bunyi dengan intensitas 70 dB SPL atau kurang, keadaan ini
merupakan fenomena fisiologis pada syaraf telinga yang terpajan
bising.
2. Peningkatan ambang dengar sementara, merupakan keadaan
terdapatnya peningkatan ambang dengar akibat pajanan bising
dengan intensitas yang cukup tinggi. Pemulihan dapat terjadi dalam
beberapa menit atau jam. Jarang terjadi pemulihan dalam satuan
hari.
3. Peningkatan ambang dengar menetap, merupakan keadaan
dimana terjadi peningkatan ambang dengar menetap akibat
pajanan bising dengan intensitas sangat tinggi berlangsung singkat
(eksplosif) atau berlangsung lama yang menyebabkan kerusakan
pada berbagai struktur koklea, antara lain kerusakan organ korti,
sel-sel rambut, stria vaskularis dan lain-lain (Bashiruddin &
Soetirto, 2011).
Derajat ketulian menurut ISO:
1. Normal : peningkatan ambang batas antara 0 - 25 dB
2. Tuli ringan : peningkatan ambang batas antara 26 - 40 dB
3. Tuli sedang : peningkatan ambang batas antara 41 - 55 dB
4. Tuli sedang berat : peningkatan ambang batas antara 56 - 70 dB
5. Tuli berat : peningkatan ambang batas antara 71 - 90 dB

Universitas Sumatera Utara


25

6. Tuli sangat berat : peningkatan ambang batas antara > 90 dB (Soetirto,


2011).

2.7 Pengaruh paparan bising

Apabila pekerja menyatakan bahwa tempat kerjanya cukup bising


sehingga mereka harus berbicara dengan sangat keras atau bahkan
berteriak agar terdengar pada jarak pembicaraan normal, bahkan tanpa
alat penghitung sound level dapat disimpulkan bahwa kemungkinan
kebisingan diatas 80 dB (Dobie, 2014).
Secara umum pengaruh paparan bising dibagi menjadi dua yaitu
pengaruh auditorial dan pengaruh non auditorial. Pengaruh Auditorial
berupa tuli akibat bising, umunya terjadi dalam lingkungan kerja dengan
tingkat kebisingan yang tinggi (Anggraeni, 2006 ; Dobie, 2014).
Pengaruh non auditorial dapat bermacam-macam, antara lain
gangguan komunikasi, gelisah, rasa tidak nyaman, gangguan tidur,
perubahan fisiologik (peningkatan tekanan darah, sekresi katekolamin,
dan lain-lain) dan lain sebagainya. Hal ini masih kontroversial (Dobie,
2014).

2.8 Penatalaksanaan dan Pencegahan

Sesuai dengan penyebab ketulian, penderita sebaiknya dipindahkan


kerjanya dari lingkungan bising. Bila tidak mungkin dipindahkan dapat
dipergunakan alat pelindung telinga terhadap bising, seperti sumbat
telinga, tutup telinga dan pelindung kepala. Oleh karena tuli akibat bising
adalah tuli sensorineural koklea yang bersifat menetap, bila gangguan
pendengaran sudah mengakibatkan kesulitan berkomunikasi dengan
volume percakapan biasa, dapat dicoba penggunaan Alat Bantu Dengar
(ABD). Sekarang ini, ABD merupakan bentuk terapi yang paling umum
digunakan pada manajemen tuli sensorineural permanen yang timbul

Universitas Sumatera Utara


26

akibat dari paparan bising. Banyak individu yang dapat menyadari


keuntungan dari alat bantu dengar. Ada beberapa orang, yang merasakan
keuntungan dari alat bantu dengar ini terbatas (Kujawa, 2009 ; Dewi &
Agustian, 2012 ; Dobie, 2014).
Apabila pendengarannya telah sedemikian buruk, sehingga dengan
menggunakan ABD pun tidak dapat berkomunikasi dengan adekuat perlu
dilakukan psikoterapi agar dapat menerima keadaannya. Latihan
pendengaran agar dapat menggunakan sisa pendengarannya secara
efisien dibantu dengan membaca ucapan bibir (Kujawa, 2009).
Bising dengan intensitas lebih dari 85 dB dalam waktu tertentu dapat
mengakibatkan ketulian, oleh karena itu bising lingkungan kerja harus
diusahakan lebih rendah dari 85 dB. Program Pencegahan Gangguan
Pendengaran (HLPP / Hearing Loss Prevention Program) merupakan
suatu program yang diterapkan di lingkungan tempat kerja untuk
mencegah terjadinya gangguan pendengaran akibat terpajan kebisingan
pada pekerja. Program ini terdiri dari tujuh komponen, yaitu : identifikasi
dan analisis sumber bising, kontrol kebisingan dan kontrol administrasi,
tes audiometri berkala, Alat Pelindung Diri (APD) Motivasi dan edukasi
pekerja, pencatatan dan pelaporan data serta evaluasi program
(Anggraeini, 2006 ; Kujawa, 2009 ; Dewi & Agustian, 2012 ; Dobie, 2014).
Identifikasi dan analisis sumber bising dilakukan dengan alat Sound
Level Meter (SLM) yang dapat mengukur kebisingan secara sederhana,
sedangkan Octave Band Analyzer mengukur kebisingan secara lebih
detail pada tiap frekuensi, sehingga dapat dibuat peta kebisingan di setiap
tempat kerja yang dicurigai ada pajanan bising (Kujawa, 2009).
Indikator kesuksesan program ini dapat diukur dengan beberapa
parameter, antara lain kepatuhan pelaksanaan program, terkontrolnya
tingkat kebisingan di lingkungan kerja dan angka kejadian kasus GPAB
(Kujawa, 2009).

Universitas Sumatera Utara


27

2.9 Audiometri Nada Murni

Audiometri nada murni merupakan suatu pemeriksaan sensitivitas/


ketajaman pendengaran seseorang dengan menggunakan stimulus nada
murni (bunyi yang hanya mempunyai satu frekuensi). Secara umum ada 3
metode yang digunakan yaitu (a) manual audiometry (conventional
audiometry); (b) automatic audiometry (Bekesy audiometry); dan (c)
computerized audiometry (ASHA, 2005; Margolis RH, 2008).

Prinsip dari suatu audiometer memberikan signal bunyi pada intensitas


yang bervariasi dengan frekuensi yang berbeda (250Hz, 500Hz, 1000Hz,
2000Hz, 4000Hz, dan 8000Hz) ke dalam headphones yang digunakan
untuk pemeriksaan pendengaran. Hal yang harus diperhatikan antara lain
kalibrasi peralatan, dan digunakan pada ruangan yang sesuai sehingga
didapat hasil tes yang akurat (ASHA, 2005 ; HSA, 2007).

2.9.1 Penentuan Ambang Dengar

Ambang dengar adalah bunyi nada murni yang terlemah pada frekuensi
tertentu yang masih dapat didengar oleh telinga seseorang

Persiapan
Karyawan perlu diberitahu akan rencana pemeriksaan audiometri,
sehingga mereka dapat memiliki waktu istirahat untuk menghindari
lingkungan bising (kelab malam, konser musik dll) minimal 16 jam
sebelum pemeriksaan. Namun pada kenyataannya hal ini akan sulit.
Sebelum melakukan tes audiometri secara umum dilakukan wawancara
ada tidaknya riwayat kelainan pada telinga, kemudian pemeriksaan
otoskopi. Pemeriksaan dimulai pada telinga yang lebih baik
pendengarannya. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terhadap
penilaian ambang dengar manual antara lain (a) instruksi kepada

Universitas Sumatera Utara


28

karyawan, (b) respon terhadap arahan, dan (c) interpretasi audiologist


terhadap sikap respon karyawan selama pemeriksaan (ASHA, 2005).

2.9.2 Prosedur Pemeriksaan Ambang Pendengaran

Prosedur dasar untuk menentukan ambang terdiri dari:


(a) familiarisasi (membiasakan diri) terhadap signal pemeriksaan. Hal ini
bertujuan untuk memastikan audiologis bahwa pasien mengerti dan dapat
merespon arahan yang diberikan dengan cara memberikan signal dengan
intensitas yang cukup menimbulkan respon yang jelas.

(b) Penentuan ambang dengar


Prosedur standar yang direkomendasikan pada pemeriksaan dengan
menggunakan audiometri nada murni secara bertahap yang dimulai
dengan signal yang tidak dapat didengar. Stimulus nada murni diberikan
selama 1 – 2 detik. Ambang dengar didapat dengan menentukan bunyi
nada murni yang terlemah pada frekuenasi tertentu yang masih dapat
didengar oleh telinga pasien (ASHA 2005 ; Bashiruddin et al. 2008).

2.9.3 Karakteristik Audiometri pada Tuli Akibat Bising


Pada pemeriksaan audiometrik, tuli akibat bising memberikan
gambaran yang khas yaitu notch (takik) berbentuk „V‟ atau „U‟ sering
diawali pada frekuensi 4000 Hz seperti yang terlihat pada gambar4., tapi
kadang-kadang 6000 Hz, yang kemudian secara bertahap semakin dalam
dan selanjutnya akan menyebar ke frekuensi didekatnya. Dan khasnya
didapati perbaikan pada 8000 Hz, hal ini yang membedakannya dari
prebiaskusis (HSA, 2007).

Universitas Sumatera Utara


29

Gambar 2.6 Audiogram pada penderita Gangguan Pendengaran Akibat Bising

2.10 Rokok

Setiap batang rokok mengandung lebih dari 4.000 bahan kimia toksik
dan 43 bahan penyebab kanker. Sari (2012) yang mengutip dari Golding
(1995), bahwa setiap dalam asap rokok mengandung berbagai bahan
kimia antara lain nikotin, karbon monoksida, tar dan eugenol untuk rokok
kretek yang merupakan salah satu sumber polusi udara. Asap rokok
mengandung berkisar 4.000 bahan kimia yang dikelompokkan menjadi
dua komponen, yaitu komponen gas dan komponen padat atau partikel. Di
dalam asap rokok terdapat kira-kira 10% komponen padat, termasuk
diantaranya tar dan nikotin. Dan komponen gas terdapat kira-kira 90% di
dalam asap rokok. Gas utama yang ditemui adalah CO (Ferrite &
Santana, 2005).
Selain komponen padat dan komponen gas, asap mainstream dan
sidestream juga penting. Asap mainstream adalah asap yang dihirup
kemudian dihembuskan melalui hidung ataupun mulut oleh perokok.
Sedangkan asap sidestream adalah asap yang langsung keluar dari
pembakaran akhir rokok dan bercampur dengan udara sekitar.
Pembakaran akhir rokok biasanya tidak cukup panas untuk menghasilkan

Universitas Sumatera Utara


30

kombusio yang komplit. Oleh karena banyak bahan kimia yang


dikeluarkan dari proses pembakaran yang inkomplit ini, asap sidestream
yang tidak berdilusi ini berisi konsentrasi beberapa bahan kimia yang lebih
tinggi dibandingkan asap mainstream yang dihirup oleh perokok. Oleh
karena itu dapat disimpulkan bahwa asap sidestream mempunya dampak
yang lebih merugikan dibandingkan dengan asap mainstream (Lee,
Taneja & Vassallo, 2012).
Di Indonesia, dari Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 ( Riskesdas)
didapatkan proporsi terbanyak perokok aktif setiap hari pada umur 30-34
tahun sebesar 33,4%, sedangkan proporsi perokok setiap hari pada laki-
laki lebih banyak dibandingkan perokok perempuan yaitu 47,5% banding
1,1%. Berdasarkan pekerjaan, petani/nelayan/buruh adalah proporsi
perokok aktif setiap hari yang terbesar yaitu 44,5%. Rerata batang rokok
yang dihisap perhari per orang di Indonesia adalah 12,3 batang (setara
dengan 1 bungkus) (RISKESDAS, 2013 ; WHO, 2014).
Mohammad Effendy, dikutip dari tulisan Amelia tahun 2009,
membedakan perokok menjadi empat jenis berdasarkan banyaknya rokok
yang dikonsumsinya dalam sehari, yaitu perokok ringan, sedang, berat
dan sangat berat. Perokok ringan merupakan perokok yang merokok
kurang dari satu bungkus (kurang dari 10 batang) dalam sehari. Perokok
sedang merupakan perokok yang merokok lebih dari satu bungkus dalam
sehari, biasanya satu setengah bungkus (11-21 batang) dalam sehari.
Perokok berat merupakan perokok yang merokok lebih dari satu stengah
sampai 2 bungkus (21-30 batang) dalam sehari. Sedangkan perokok
sangat berat merupakan perokok yang merokok lebih dari 2 bungkus
(lebih dari 30 batang) dalam sehari (Amelia, 2009).
Pada tahun 2005 dilakukan studi terhadap tikus putih yang diberi
paparan asap rokok dan didapatkan bahwa asap rokok berpengaruh pada
kerusakan integritas histologis koklea. Kerusakan koklea pada kelompok
pajanan asap rokok lebih besar dibandingkan kelompok kontrol dengan
Relative Risk (RR) sebesar 3,5 (Rianto, Sugicharto & Soewito, 2005).

Universitas Sumatera Utara


31

2.11 Gangguan Pedengaran akibat Bising dan Merokok

Ada beberapa mekanisme yang mengarah kepada adanya hubungan


antara merokok dan gangguan pendengaran. Merokok dilaporkan dapat
berperan sebagai ototoksik langsung (efek nikotin) dan sebagai pemicu
terjadinya iskemia koklea melalui mekanisme produksi
karboksihemoglobin, vasospasme, meningkatkan viskositas darah dan
kerjanya yang berhubungan dengan arteriosklerosis pembuluh darah serta
menyebabkan disfungsi endotelial (Carmelo et al., 2010 ; Fabry et al.,
2011 ; Pamukcu et al., 2011 ; Durante et al., 2013 ; Tao et al., 2013).
Seperti yang telah disebutkan diatas nikotin merupakan salah satu
komponen pada rokok. Salah satu sifat nikotin adalah meningkatkan
agregasi platelet yang memainkan peran penting pada proses
perkembangan arterosklerosis (Uchida et el., 2003).
Gas CO adalah sejenis gas yang tidak memiliki bau. Unsur ini
dihasilkan oleh pembakaran yang tidak sempurna dari unsur zat arang
atau karbon. Gas CO ini dapat dihirup oleh siapa saja, baik oleh orang
yang merokok maupun oleh orang yang terdekat dengan perokok ataupun
orang yang berada satu ruangan dengan perokok. Gas CO mempunyai
kemampuan mengikat Hemoglobin (Hb), yang terdapat pada sel darah
merah, kemampuan mengikat Hb pada gas CO lebih kuat dibandingkan
oksigen. CO yang berikatan dengan Hb akan menghasilkan
karboksihemoglobin. Apabila sel tubuh mengalami kekurangan oksigen,
maka tubuh akan berusaha meningkatkan oksigen yaitu melalui
kompensasi pembuluh darah dengan jalan spasme atau menciut. Bila
proses spasme berlangsung lama dan terus menerus maka pembuluh
darah akan mudah rusak dengan terjadinya arteriosklerosis. Hal seperti ini
berlaku juga pada pembuluh darah yang terdapat di koklea. Akan tetapi,
karena anatomis pembuluh darah yang menyuplai darah ke koklea, yaitu
arteri auditiva atau arteri labirintin yang tidak mempunyai kolateral, maka

Universitas Sumatera Utara


32

tidak memberikan alternatif suplai darah melalui jalur lain (Uchida et al.,
2003 ; Ferrite & Santana, 2005 ; Moller, 2006 ; Soesilorini, 2011).
Kebiasaan merokok sendiri tanpa paparan bising lingkungan secara
signifikan mempengaruhi gangguan pendengaran terutama pada
frekuensi tinggi. Penelitian yang dilakukan pada tahun 2014 mendapatkan
bahwa perokok mempunyai resiko gangguan pendengaran 1,15 kali lebih
besar dibanding bukan perokok (Dawes et al., 2014). Penelitian yang
sama dilakukan di Banglades pada tahun 2015 didapatkan bahwa resiko
perokok mengalami gangguan pendengaran 5,04 kali lebih besar
dibandingkan dengan bukan perokok (Sumit et al. 2015). Efek kombinasi
dari kebiasaan merokok dan paparan bising merupakan efek adiksi. Pada
pekerja yang terpapar bising lebih dari 85 dB, resiko gangguan
pendengaran pada frekuensi tinggi meningkat sejalan dengan
meningkatnya jumlah rokok yang dikonsumsinya (Uchida et al., 2003 ;
Pouryaghoub, Mehrdad & Mohammadi, 2007).
Pada tahun 2003 dilakukan penelitian terhadap 4624 pekerja pabrik
baja di Jepang yang menyatakan bahwa efek kombinasi dari merokok dan
terpapar bising di lingkungan kerja kemungkinan bersifat adiktif terhadap
GPAB (Mizoue, Miyamoto & Shimizu, 2003). Penelitian serupa dilakukan
oleh Mohammadi dkk. tahun 2010 terhadap tenaga kerja perusahaan
produksi gerbong kereta api di Iran, didapatkan kejadian GPAB sebanyak
26,9% pada kelompok perokok dan 6,2% pada kelompok bukan perokok,
hal ini berarti kemungkinan terjadi GPAB pada kelompok perokok yang
terpapar bising adalah 5,6 kali lebih besar dibandingkan kelompok yang
tidak merokok (Mohammadi et al., 2010).
Dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya tidak dapat
diambil kesimpulan apakah bising atau rokok yang lebih cepat
menyebabkan gangguan pendengaran dikarenakan perbedaan lama
pemberian paparan antara kedua faktor tersebut. Penelitian yang
dilakukan Rianto, Sugicharto dan Soewito pada tahun 2005 pada hewan
coba tikus yang diberikan paparan asap rokok selama 1 jam sebanyak 2

Universitas Sumatera Utara


33

kali sehari dalam rentang waktu 6 bulan setiap hari kerja didapatkan
perubahan secara histopatologis pada potongan koklea yaitu 7 dari 9 ekor
(77,77%) dan yang mengalami kerusakan sel rambut sebanyak 2 ekor
(11,1%). Sedangkan penelitian lain dilakukan oleh Wang et al. pada tahun
2011 pada 16 hewan coba tikus yang diberi paparan bising selama 6 jam
sehari dalam rentang waktu 1 bulan didapatkan bahwa terjadi kerusakan
sel rambut pada seluruh hewan coba (Rianto, Sugicharto & Soewito, 2005
; Wang et al. , 2011).

2.12 Kerangka Konsep

Bising Merokok

Kerusakan Sel Rambut Berkurangnya Perfusi


Koklea Koklea

Gangguan Pendengaran
(Tuli Sensorineural)

= Variabel independen

= Variabel dependen

Gambar 2.7 Kerangka konsep penelitian

Universitas Sumatera Utara


34

Keterangan kerangka konsep :

Pemaparan bising diatas 85 dB dalam waktu tertentu akan menyebabkan


kerusakan sel-sel rambut pada koklea. Kerusakan pada sel-sel rambut
koklea ini pada akhirnya akan mempengaruhi pendengaran dan biasanya
dapat menyebabkan tuli sensorineural. Disisi lain, salah satu dampak
kebiasaan merokok yang tidak baik terhadap telinga adalah merokok
dapat mengurangi perfusi koklea. Berkurangnya perfusi koklea ini juga
pada akhirnya akan menyebabkan gangguan pendengaran yang biasanya
bersifat tuli sensorineural.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai