TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Koklea
Koklea, terletak pada telinga bagian dalam, adalah ruangan yang berisi
cairan. Koklea merupakan tabung yang tipis dengan panjang sekitar 3,5
cm, dengan diameter berkisar antara 2 mm, meskipun demikian diameter
koklea bervariasi sepanjang badan koklea. Didapati diameter yang paling
lebar pada bagian basis atau bagian yang paling dekat dengan tingkap
lonjong dan diameter yang paling sempit pada bagian apeks atau bagian
puncaknya. Namun koklea bukanlah berbentuk tabung lurus, melainkan
berbentuk tabung yang melingkar sekitar 2,5 hingga 2,75 putaran yang
menyerupai cangkang siput dengan pusat putaran yang disebut mediolus
seperti yang terlihat pada gambar 2.1. Mediolus ini berisi pembuluh darah
dan syaraf (Plack, 2005 ; Moller, 2006 ; Dhingra, 2010).
Koklea terbagi atas skala vestibuli, skala media dan skala timpani.
Skala vestibuli dan skala timpani berisi perilimfe, cairan yang menyerupai
cairan ekstraselular yaitu tinggi natrium dan rendah kalium. Skala media
berisi endolimfe, cairan yang menyerupai cairan intraseluler yaitu tinggi
kalium dan rendah natrium. Skala vestibuli dan skala timpani dihubungkan
oleh helikotrema pada bagian apeks (Bashiruddin, 2011 ;
Weber & Khariwala, 2014).
Pada irisan melintang koklea terlihat struktur penting pada organ
sensoris ini. Skala media atau duktus koklearis tampak seperti bangun
segitiga pada potongan melintang dengan membrana basilaris sebagai
dinding horizontal di bagian inferiornya, membrana Reissner sebagai
dinding superiornya dan stria vaskularis dengan ligamen spiral sebagai
sisi vertikalnya seperti yang terlihat pada gambar 2.2 (Gacek, 2009).
Gambar 2.2 Irisan melintang duktus koklearis (Weber & Khariwala, 2014)
tinggi pada bagian basis dan frekwensi rendah pada bagian apeks,
dengan skala frekwensi diatur sedemikian rupa di sepanjang membrana
basilaris (Gacek, 2009).
Diatas membrana basilaris terdapat struktur gelatinosa yang biasa
disebut dengan membrana tektoria. Dibawah membrana tektoria ini
terdapat organ korti, tepat diatas membrana basilaris yang terdiri dari
barisan sel rambut dan bermacam-macam sel-sel penunjang juga ujung
syaraf (Plack, 2005). Pada bagian ujung atas sel rambut luar terdapat
stereosilia seperti yang terlihat pada gambar 2.3. Stereosilia ini berkontak
langsung dengan membrana tektoria (Gacek, 2009).
Organ korti merupakan organ sensoris yang kompleks yang terdiri dari
sel rambut luar, sel rambut dalam serta sel-sel penunjang di sepanjang
membrana basilaris, dengan ujung bersilia pada sel rambut menjulur ke
dalam atau ke dekat membrana tektoria. Bagian apikal dari sel rambut
tertanam pada lempeng kutikular, dengan stereosilia menjulur melewati
lempeng kutikular. Stereosilia pada sel rambut luar bersinggungan dengan
membrana tektoria, sedangkan stereosilia dari sel rambut dalam terletak
bebas pada ruangan endolimfatik yang berada pada bagian inferior dari
membrana tektoria (Gacek, 2009 ; Weber & Khariwala, 2014).
Gambar 2.4 Gambaran sel rambut dalam dan sel rambut luar dilihat dengan
mikroskop elektron (Weber & Khariwala 2014)
Sel rambut dalam disokong oleh sel interfalang, sedangkan sel rambut
luar disokong oleh sel Deiters di bagian inferior dan sel Hensen di bagian
lateral. Membrana tektoria pada bagian medialnya tertanam pada limbus
dan pada bagian lateral melekat pada sel Hensen melalui jaringan fibrosa.
Membrana basilaris dan membrana tektoria berpindah secara vertikal oleh
pergerakan gelombang yang ditimbulkan oleh energi suara dan
dihantarkan ke tingkap lonjong. Karena titik tumpu kedua struktur ini
terpisah, terjadi pergerakan meluncur secara horizontal ketika terjadi
stimulasi, akibat dari pergeseran antara membrana tektoria dan lempeng
kutikular. Akibat dari pergeseran pada stereosilia menginisiasi peristiwa
elektris pada sel rambut (Gacek, 2009).
Organ korti terdiri dari berkisar 15.500 sel rambut, dimana sekitar 3.500
merupakan sel rambut dalam dan 12.000 merupakan sel rambut luar. Sel
rambut ini dipersyarafi oleh syaraf eferen dan aferen. Syaraf aferen pada
organ sensoris pendengaran merupakan syaraf bipolar merujuk kepada
sel ganglion spiral yang terletak pada kanalis Rosenthal pada mediolus.
Sedangkan syaraf eferen sejalan dengan jalur syaraf aferen pendengaran,
merupakan jalur yang berasal dari korteks auditori dan berakhir pada
organ target. Berkisar 30.000 sel ganglion spiral mempersyarafi organ
korti manusia. 90-95% dari syaraf ganglion spiral merupakan neuron tipe I,
yang besar dan bermyelin serta memproyeksikan dendrit tunggal
langsung ke sel rambut dalam. Sekitar 10 hingga 20 sel ganglion spiral
tipe I mempersyarafi satu sel rambut dalam. Sel ganglion tipe I memburuk
dengan cepat apabila telah terjadi cedera pada dendrit. Sisa 5% dari
syaraf aferen pada ganglion spiral merupakan neuron tipe II,
mempersyarafi sel rambut luar, yang lebih kecil dan tidak bermyelin dan
memiliki prosesus distal yang sangat tipis (Gacek, 2009 ; Weber &
Khariwala, 2014).
2.3 Bising
Secara umum bising adalah bunyi yang tidak dikehendaki dan dapat
mengganggu kesehatan, kenyamanan serta dapat menimbulkan ketulian.
Secara audiologik bising adalah campuran bunyi nada murni dengan
berbagai frekuensi. Untuk mengetahui intensitas bising di lingkungan
kerja, digunakan Sound Level Meter. Bising yang intensitasnya 85 dB atau
lebih dapat mengakibatkan kerusakan pada reseptor pendengaran korti di
telinga dalam. Yang sering mengalami kerusakan adalah alat korti untuk
reseptor bunyi yang berfrekuensi 3000 Hz sampai dengan 6000 Hz dan
yang terberat kerusakan alat korti untuk reseptor bunyi yang berfrekuensi
4000 Hz (Atmaca, Peker & Altin, 2005 ; Buchari, 2007 ; Pouryaghoub,
Mehrdad & Mohammadi, 2007 ; Seidman & Standring, 2010 ; Bashiruddin,
2011).
Bising dapat dibagi menjadi bising berdasarkan sifat dan spektrum
frekuensi bunyi serta bising berdasarkan pengaruhnya terhadap manusia.
Berdasarkan sifat dan frekuensi bunyi dapat dibagi atas :
1. Bising yang kontinyu dengan spektrum frekuensi yang luas. Bising
ini relatif tetap dalam batas kurang lebih 5 dB untuk periode 0,5
detik berturut-turut.
2. Bising yang kontinyu dengan spektrum frekuensi yang sempit.
Bising ini juga relatif tetap, akan tetapi ia hanya mempunyai
frekuensi tertentu saja (pada frekuensi 500, 1000 dan 4000 Hz)
3. Bising terputus-putus (intermitten). Bising disini tidak terjadi secara
terus menerus, melainkan ada periode relatif tenang
Gambar 2.5. Kerusakan organ korti karena paparan bising: (a) organ korti
normal; (b) sel rambut luar tampak menghilang; (c) sel rambut luar dan dalam
menghilang dan struktur penunjang kolaps; (d) Keseluruhan organ korti kolaps
(Maltby 2005)
Signifikansi fungsional dari perubahan seluler yang pasti dan jelas dari
gambaran setelah pemaparan pada spesies yang berbeda masih dalam
penelitian. Hilangnya fibrosit pada ligamen spiralis, sebagai contoh, umum
terlihat pada telinga tikus yang terpapar bising. Hilangnya sel ini baru-baru
ini diketahui sebagai efek yang tidak diketahui dari sensitivitas auditori,
telinga yang mengalami banyak kehilangan fibrosit dapat menunjukkan
pergeseran ambang minimal dan sebaliknya. Ini mengindikasikan bahwa
fibrosit dari dinding lateral kemungkinan terlibat dalam jalur daur ulang K +
endolimfe yang jelas sangat penting selama stimulasi akustik yang
berlebihan. Dalam hal ini, ion K+ masuk dan meninggalkan sel rambut luar
dan kemudian keluar-masuk melalui fibrosit dan akhirnya kembali ke stria
vaskularis (Kujawa, 2009).
Ambang dengar adalah bunyi nada murni yang terlemah pada frekuensi
tertentu yang masih dapat didengar oleh telinga seseorang
Persiapan
Karyawan perlu diberitahu akan rencana pemeriksaan audiometri,
sehingga mereka dapat memiliki waktu istirahat untuk menghindari
lingkungan bising (kelab malam, konser musik dll) minimal 16 jam
sebelum pemeriksaan. Namun pada kenyataannya hal ini akan sulit.
Sebelum melakukan tes audiometri secara umum dilakukan wawancara
ada tidaknya riwayat kelainan pada telinga, kemudian pemeriksaan
otoskopi. Pemeriksaan dimulai pada telinga yang lebih baik
pendengarannya. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terhadap
penilaian ambang dengar manual antara lain (a) instruksi kepada
2.10 Rokok
Setiap batang rokok mengandung lebih dari 4.000 bahan kimia toksik
dan 43 bahan penyebab kanker. Sari (2012) yang mengutip dari Golding
(1995), bahwa setiap dalam asap rokok mengandung berbagai bahan
kimia antara lain nikotin, karbon monoksida, tar dan eugenol untuk rokok
kretek yang merupakan salah satu sumber polusi udara. Asap rokok
mengandung berkisar 4.000 bahan kimia yang dikelompokkan menjadi
dua komponen, yaitu komponen gas dan komponen padat atau partikel. Di
dalam asap rokok terdapat kira-kira 10% komponen padat, termasuk
diantaranya tar dan nikotin. Dan komponen gas terdapat kira-kira 90% di
dalam asap rokok. Gas utama yang ditemui adalah CO (Ferrite &
Santana, 2005).
Selain komponen padat dan komponen gas, asap mainstream dan
sidestream juga penting. Asap mainstream adalah asap yang dihirup
kemudian dihembuskan melalui hidung ataupun mulut oleh perokok.
Sedangkan asap sidestream adalah asap yang langsung keluar dari
pembakaran akhir rokok dan bercampur dengan udara sekitar.
Pembakaran akhir rokok biasanya tidak cukup panas untuk menghasilkan
tidak memberikan alternatif suplai darah melalui jalur lain (Uchida et al.,
2003 ; Ferrite & Santana, 2005 ; Moller, 2006 ; Soesilorini, 2011).
Kebiasaan merokok sendiri tanpa paparan bising lingkungan secara
signifikan mempengaruhi gangguan pendengaran terutama pada
frekuensi tinggi. Penelitian yang dilakukan pada tahun 2014 mendapatkan
bahwa perokok mempunyai resiko gangguan pendengaran 1,15 kali lebih
besar dibanding bukan perokok (Dawes et al., 2014). Penelitian yang
sama dilakukan di Banglades pada tahun 2015 didapatkan bahwa resiko
perokok mengalami gangguan pendengaran 5,04 kali lebih besar
dibandingkan dengan bukan perokok (Sumit et al. 2015). Efek kombinasi
dari kebiasaan merokok dan paparan bising merupakan efek adiksi. Pada
pekerja yang terpapar bising lebih dari 85 dB, resiko gangguan
pendengaran pada frekuensi tinggi meningkat sejalan dengan
meningkatnya jumlah rokok yang dikonsumsinya (Uchida et al., 2003 ;
Pouryaghoub, Mehrdad & Mohammadi, 2007).
Pada tahun 2003 dilakukan penelitian terhadap 4624 pekerja pabrik
baja di Jepang yang menyatakan bahwa efek kombinasi dari merokok dan
terpapar bising di lingkungan kerja kemungkinan bersifat adiktif terhadap
GPAB (Mizoue, Miyamoto & Shimizu, 2003). Penelitian serupa dilakukan
oleh Mohammadi dkk. tahun 2010 terhadap tenaga kerja perusahaan
produksi gerbong kereta api di Iran, didapatkan kejadian GPAB sebanyak
26,9% pada kelompok perokok dan 6,2% pada kelompok bukan perokok,
hal ini berarti kemungkinan terjadi GPAB pada kelompok perokok yang
terpapar bising adalah 5,6 kali lebih besar dibandingkan kelompok yang
tidak merokok (Mohammadi et al., 2010).
Dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya tidak dapat
diambil kesimpulan apakah bising atau rokok yang lebih cepat
menyebabkan gangguan pendengaran dikarenakan perbedaan lama
pemberian paparan antara kedua faktor tersebut. Penelitian yang
dilakukan Rianto, Sugicharto dan Soewito pada tahun 2005 pada hewan
coba tikus yang diberikan paparan asap rokok selama 1 jam sebanyak 2
kali sehari dalam rentang waktu 6 bulan setiap hari kerja didapatkan
perubahan secara histopatologis pada potongan koklea yaitu 7 dari 9 ekor
(77,77%) dan yang mengalami kerusakan sel rambut sebanyak 2 ekor
(11,1%). Sedangkan penelitian lain dilakukan oleh Wang et al. pada tahun
2011 pada 16 hewan coba tikus yang diberi paparan bising selama 6 jam
sehari dalam rentang waktu 1 bulan didapatkan bahwa terjadi kerusakan
sel rambut pada seluruh hewan coba (Rianto, Sugicharto & Soewito, 2005
; Wang et al. , 2011).
Bising Merokok
Gangguan Pendengaran
(Tuli Sensorineural)
= Variabel independen
= Variabel dependen