Anda di halaman 1dari 9

A.

Bentuk-bentuk Perikatan Islam dalam Kegiatan Usaha


Dilihat dari berbagai litratur. Akad terdiri dari beraneka bentuk, berdasarkan
kegiatan usaha yang sering dilakukan saat ini terdapat tiga bentuk : yaitu pertukaran,
kerja sama, pemberian kepercayaan.
1. Pertukaran
Akad pertukaran dibagi menjadi dua, yaitu :
a. Pertukaran barang yang sejenis terbagi dua pula, yaitu pertukaran uang dengan
uang (sharf) dan pertukaran barang dengan barang(barter).
b. Pertukaran barang yang tidak sejenis terbagi menjadi dua, yaitu pertukaran
uang dengan barang, misalnya jual beli (buyu’) dan pertukaran barangdengan
uang, misalnya sewa (ijarah).1

Pertukaran barang yang sejenis

a. As –sharf (pertukaran uang dengan uang)

Secara harfiah sharf adalah penambahan, penukaran, penghindaran,


atau transaksi jual beli.misalnya jual beli rupiah dengan dollar amerika serikat
atau dengan mata uang asing lainnya.

Rukun dan syarat

Menurut para ulama, syarat yang dipenuhi dalam jual beli mata uang sbagai
berikut :

1. Pertukaran tersebut harus dilakukan secara tunai (spot), artinnya


masing-masing pihak harus menerima/menyerahkan masing-masing
mata uang pada saat yang bersamaan.
2. Harus dihindari jual beli bersyarat, Transaksi berjangka harus
dilakukan dengan pihak-pihak yang diyakini mampu menyediakan
valuta asing yang dipertukarkan.
3. Tidak dibenarkan menjual barang yang belum dikuasi, atau jual beli
tanpa hak kepemilikan (Bai’ al-alfudhuli).
4. Dalam kompilasi KHES ketentuan tentang as sharf ini belum diatur.
Kebijakan pelaksanaan as sharf ini diserahkan menurut kebiasaan yang
berlaku di kalangan bisnis valuta asing yang sudah berjalan selama
tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah.2
b. Barter

1 Gemala Dewi,dkk.Hukum Perikatan Islam di Indonesia,(Jakarta : KENCANA,2005),hal.97


2 Gemala Dewi,dkk.Hukum Perikatan Islam di Indonesia.(Depok : Prenadamedia Group,2018)Hal.90-91
Islam pada prinsipnya membolehkan terjadinnya pertukaran barang
dengan barang (barter).

Dalam KHES ketentuan tentang barter ini tidak diatur. Hal tersebut
mungkin dikarenakan barter merupakan transaksi yang jarang sekali dilakukan
untuk kegiatan bisnis dewasa ini. Dalam pandangan islam pun barter tidaklah
dianjurkan karena mengandung ketidakjelasan ukuran dan timbangannya
sehingga dapat menyebabkan terjadinnya riba.

Pertukaran barang yang tidak sejenis

a. Jual beli (al Bay’/al Buyu’)


1. Jual beli pada umumnya

Jual beli adalah pertukaran harta atas dasar saling rela atau
memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan (berupa alat tukar
yang sah).

Dasar hukumnya di dalam al quran surat an nisa’ (4) :29.

Rukun dan syarat jual beli

1) Penjual dan pembeli (syaratnya adalah sama dengan syarat subjek akad
pada umumnya)
2) Uang dan benda yang dibeli (syaratnya suci, ada manfaatnya, barang itu
dapat diserahkan, barang tersebut merupakan kepunyaan si
penjual/kepunyaan yang diwakilinnya/yang mengusahakan, barang
tersebut diketahui oleh si penjual dan si pembeli (seperti zat, bentuk, kadar
(ukuran) dan sifat-sifatnya jelas )
3) Lafal ijab dan qabul

Bentuk jual beli

Para ulama membagi jual beli dari segi sah atau tidaknya menjadi tiga
bentuk yaitu: jual beli shahih, jual beli batal, jual beli fasik.

1) Jual beli shahih

Jual beli ini dikatakan sohih apabila memenuhi rukun dan sarat yang di
tentukan.namun jual beli yang sah dapat juga di larang dalam syariat bila melanggar
ketentuan pokok berikut: seperti menyakiti si penjual,pembeli atau orang
lain.Menyempitkan pergerakan pasar dan merusak ketentraman umum.

2) Jual beli batal

Jual beli ini tidak sah apabila salah satu atau seluruh rukunya tidak di penuhi, atau
jual beli itu dasar dan sifatnya tidak sesuai dengan sarat, seperti jual beli yang di lakukan
anak-anak, orang gila, atau barang yang di jual di larang syariat. Jual beli fasid

3) Apabila kerusakan pada jual beli menyangkut harga barang dan boleh diperbaiki,
maka dinamakan jual beli fasid.
2. Jual beli dalam bentuk khusus
1. Murabahah (jual beli di atas harga pokok)

Pembelian oleh satu pihak untuk kemudian dijual kepada pihak lain yang
telah mengajukan permohonan pembelian terhadap satu barang dengan
keuntungan atau tambahan harga yang transparan.

2. As salam/as salaf (jual beli dengan pembayaran dimuka)

Merupakan pembelian barang yang diserahkan kemudian hari


sementara pembayaran dilakukan di muka. Jadi , salam merupakan jual bli
utang dari pihak penjual, dan kontan dari pihak pembeli karena uangnya telah
dibayarkan sewaktu akad.

Dasar hukum

- Al quran suart al baqarah (2):282.


3. Al istishna’ (jual beli dengan pesanan)

Istishna’ merupakan salah satu bentuk dari jual beli salam, hanya saja
objek yang diperjanjikan berupa manufacture order atau kontrak produksi.3

4. Jual beli dalam KHES


1) Ijarah (sewa menyewa)
transaksi terhadap suatu manfaat dengan imbalan.

Dasar hukum

3 Gemala Dewi,dkk.Hukum Perikatan Islam di Indonesia,(Jakarta : KENCANA,2005),hal.115


- Al quran suart az zukhruf(43):32, QS,at thalaq(65):6, QS. Al qashas(28):26,
QS.al baqarah(2):233, QS.an nisa’ (4):29.
- Ijtihad : para ulama fiqh tidak membolehkan ijarah terhadap nilai tukar
uang karena menyewakan itu menghabiskan materinya. Sedangkan dalam
ijarah yang dituju hanyalah manfaat dari suatu benda. Selain itu
menyewakan uang berarti adanyaa kelebihan pada barang ribawi yang
cenderung kepada riba yang jelas diharamkan.
Pengaturan tentang ijarah dalam KHES terdapat dalam Bab X.
Pengaturan tentang ijarah dibagi menjadi 10 bagian, yang terdiri atas rukun
ijarah (psl. 251-256);syarat pelaksanaan dan penyelesaian ijarah(psl.257-
262);uang ijarah dan cara pembayarannya (psl.263-264);penggunaan objek
ijarah (psl.265-267); pemeliharaan objek ijarah, tanggung jawab kerusakan
dan nilai serta jangka waktu ijarah(psl.268-270);harga dan jangka waktu ijarah
(psl.271-273); jenis barang yang diijarahkan dan pengambilan objek ijarah
(psl.274-275); pengambilan objek ijarah (psl.276-277);
2. Kerja sama (syirkah)
yaitu pencampuran anatara sesuatu dengan yang lainnya, sehingga sulit
dibedakan. Secara terminologi, yaitu ikatan kerja sama antara orang-orang yang
berserikat dalam hal modal dan keuntungan. Dasar hukumnya terdapat dalam Al
quran : QS.as shad (38):24, dan QS.an nisa’ (4):12.
a. Bentuk syirkah
1. Syirkah ibadah, yaitu persekutuan hak semua orang untuk dibolehkan
menikmati manfaat sesuatu yang belum ada di bawah kekuasaan seseorang.
2. Syirkah amlak (milik), yaitu persekutuan antara 2/ lebih orang untuk
memiliki suatu benda. Syirkah amlak (milik) terbagi menjadidua yaitu :
a. Syirkah milik jabariyah
b. Syirkah milik ikhtiyariyah
3. Syirkah akad, yaitu persekutuan antara 2/lebih orang yang timbul dengan
adannya perjanjian. Syirkah ini terbagi menjadi empat yaitu :
a. Syirkah anwal, yaitu persekutuan antara 2/lebih orang dalam
modal/harta
b. Syirkah ‘amal/’abdaan (persekutuan kerja/fisik),yaitu persekutuan
2/lebih orang untuk menerima pekerjaan dari pihak ketiga yang akan
dikerjakan bersama dengan ketentuan upah dibagi diantara para
anggotannya sesuai dengaan kesepakatan mereka.
c. Syirkah wujuh, yaitu persekutuan 2/lebih orang dengan modal harta dari
pihak luar untuk pengelolaan dengan bmembagi keuntungan sesuai
dengan kesepakatan.
d. Syirkah mudharabah (Qirah), yaitu Perjanjian bagi hasil disebut juga
syirkah mudhrabah. Bila terjadi kerugian maka ketentuannya
berdasarkan syara’ bahwa kerugian dibebnkan kepada harta, dan tidak
dibebankan sedikit pun kepada pengelola yang bekerja.
Syirkah dalam KHES

Diatur dalam buku kedua pada Bab 6 dan Bab 7. Pada Bab 6
pengaturan tentang syirkah dibagi menjadi 6 bagian, yang terdiri atas;
ketentuan umum syirkah (psl.134-145); syirkah al amwal (psl.146-147);
syirkah abdan (psl.148-164); syirkah mufawadhah(psl.165-172); syirkah ‘inan
9psl.173-177); syirkah musytarakah (psl.178-186). Pada Bab 7 khusus
membahas tentang mudharabah, terbagi menjadi 2 bagian, yaitu tentang syarat
mudharabah (psl.187-193) dan ketentuan mudharabah (psl.94-210).4

1. Pemberian kepercayaan
a. Wadi’ah (titipan)5

wadi’ah adalah menitipkan sesuatu harta atau barang pada orang yang
dapat dipercaya untuk menjagannya.

Dasar hukum

- Al quran : QS. An nisa’ (4) :58, QS. Al baqarah(2) : 283


- Hadits rasul : “ serahkanlah amanat orang yang memercayai engkau, dan
jangan kamu mengkhianati orang yang telah mngkianati engkau.”(HR.abu
daud., at tirmidzi, dan al hakim)
- Ijtihad : para ulama fiqh sepakat bahwa akad wadi’ah boleh dan
disunahkan, dalam rangka saling menolong antara sesama manusia.

Wadi’ah dalam KHES

Yaitu diatur pada Buku kedua dalam Bab 14. Pada Bab 14 ini,
pengaturanya dibagi menjadi 4 bagian yang meliputi : Rukun dan syarat
Wadi’ah (psl.370-373); Macam akad wadi’ah (psl.374-375);penyimpanan dan
pmeliharaan wadi’ah bih (psl.376-384); dan pengembalian wadi’ah bih (psl.
385-390).
4 Gemala Dewi,dkk.Hukum Perikatan Islam di Indonesia.(Depok : Prenadamedia Group,2018)Hal.116

5 Fakultas Syariah dan Hukum UIN,Syarif Hidayatullah Jakarta bekerjasama dengan Direktor Hukum Bank
Indonesia.Op.cit.,70-80
b. Rahn (barang jaminan)
Secara etimologi, kata ar rahn berarti tetap, kekal, dan jaminan. Akad
rahn dalam istilah hukum positif disebut dengan barang jaminan/agunan.
Rahn dalam KHES
Diatur dalam KHES pada buku kedua bab 13. Pada Bab 13 ini,
pengaturan tentang rahn dibagi menjadi 8 bagian, yang terdiri atas : rukun
dan syarat rahn (psl.329-332); penambahan dan penggantian harta rahn
(psl 323-336); pembatalan akad rahn (psl.337-341)
c. Wakalah (perwakilan)

wakalah adalah pemberian kewenangan/kuasa kepada pihak lain


tentang apa yang harus dilakukannya dan ia (pemberi kuasa) secara syar’i
menjadi pengganti pemberi kuasa selama batas waktu yang ditentukan.

Wakalah dalam KHES

Diatur juga dalam Buku kedua pada Bab XVII. Pengaturan tentang
wakalah ini dibagi menjadi 7 bagian,yaitu teridiri atas rukun dan macam
wakalah (psl.457-461);syarat wakalah (psl.462-464); ketentuan umum tentang
wakalah (psl. 465-474); pemberian kuasa dan untuk pembelian (psl.475-491);
pemberian kuasa untuk penjualan (psl.492-512); pemberian kuasa untuk
gugatan (psl. 513-515); dan pencabutan kuasa (psl.516-525).

d. Kafalah (tanggungan)

Menurut bahasa, al adhaman (jaminan), hamalah(beban), dan


za’amah(tanggungan). Sedangkan menurut istilah, menurut madzhab maliki,
syafi’i dan hambali, kafalah adalah menjadikaan seseorang penjamin ikut
bertanggung jawab atas tanggung jawaab seseorang dalam pelunasan atau
pembayaran utang, dan dengan demikian keduannya dipandang berutang.

Ketentuan Kafalah ada 2 macam yaitu :

a. Kafalah dengan jiwa yaitun kesediaan pihak penjamin untuk


menghadirkan orang yang ia tanggung kepada yang ia janjikan
taanggungan.
b. Kafalah dengan harta dibagi menjadi 3 macam yaitu :
- Kafalah bi al dayn yaitu kewajiban membayar utang yang
menjadi beban orang lain.
- Kafalah dengan penyerahan benda, yaitu kewajiban dengan
menyerahkan benda-benda tertentu yang ada ditangan orang lain.
- Kafalah dengan aib yaitu,jaminan jika barang yang dijual
ternyata mengndung cacat , karena waktu yaang telah lama atau
karena hal lainnya.

Kafalah dalam KHES

Diatur dalam Bab XI. Pada bab XI pengaturan tentang kafalah dibagi
menjadi 4 bgian, yang terdiri atas rukun dan syarat kafalah (psl.291-297);
kafalah muthlaqah dan muqayyadah (psl.298-302); kafalah atas diri dan
harta (psl.303-310);dan pembebasan dari akad kafalah (psl.311-317).
e. Hiwalah (pengalihan utang) yaitu Akad pemindahan utang piutang satu pihak
kepada pihak lain. Ada tiga hal yang terlibat, muhil atau madin, pihak yang
memberi utang(muhal atau da’in), dan pihak yang menerima pemindahan
(muhal a’alih). Ditinjau dari segi obyek akad, hanafi membagi 2 bentuk
hiwalah, yaitu :
a. Hiwalah al haq (pemindahan hak)
b. Hiwalah ad dain (pemindahan utang)
Ditinjau dari sisi lain hiwalah terbagi menjadi 2 pula yaitu :
a. Hiwalah muqayad (pemindahan bersyarat)
b. Hiwalah muthlaqah (pemindahan mutlak)

Hiwalah dalam KHES

Diatur pada Bab XII. Pengaturan tentang hiwalah ini dibagi menjadi 2
bagian, yang terdiri atas; rukun dan syarat hiwalah (psl.318-321) dan akibat
hawalah (psl.322-328).

f. Al ariyah (pinjam meminjam) merupakan sarana tolong-menolong antara


orang yang mampu dengan yang tidak mampu.

‘Ariyah dalam KHES

Tentang ariyah, KHES tidak mengaturnya. Kebijakan pelaksanaan


ariyah diserahkan menurut kebiasaan yang berlaku dikalangan bisnis selama
tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah.6

6 Gemala Dewi,dkk.Hukum Perikatan Islam di Indonesia.(Depok : Prenadamedia Group,2018)Hal.135


B. Penggolongan akad
Para ulama fiqh mengemukakan, bahwa akad dapat diklasifikasikan dalam
berbagai segi. Antara lain dilihat dari penjelasan berikut ini.
1. Apabila dari segi keabsahan menurut syara’, maka akad terbagi dua , yaitu :
a. Akad shahih, yaitu akad yang telah memenuhi rukun dan syarat-syaratnya.
Hukum akad ini berlaku seluruh akaibat hukum yang bditimbulkan akad itu
dan mengikat bagi pihak-pihak yang berakad. Akad ini terbagi menjadi dua
macam yaitu :
- Akad nafiz
- Akad mawquf
b. Akad yang tidak shahih, yaitu akad yang terdapat kekurangan pada rukun atau
syarat-syaratnya, sehingga seluruh akibat hukum akad itu tidak berlaku dan
tidak mengikat pihak-pihak yang berakad. Ada 2 macam yaitu :
- Akad batil
- Akad fasid
2. Dilihat dari segi penamaanya, ada dua macam yaitu :
a. Akad musammah, yaitu akad yang ditentukan namanya oleh syara’ serta
dijelaskan hukum-hukumnya.
b. Akad ghairu musammah, yaitu akad yang penamaannya ditentukan oleh
masyarakat sesuai dengan keperluan mereka disepanjang zaman dan tempat.
3. Dilihat dari segi disyariatkannya akad atau tidak, terbagi dua yaitu :
a. Akad musyara’ah, yaitu akad-akad yang dibenarkan syara’.
b. Akad mamnu’ah, yaitu akad yang dilarang syara’.
4. Dilihat dari sifat bendanya, akad dibagi dua, yaitu :
a. Akad ‘ainiyah, yakni akad yang disyaratkan kesempurnaannya dengan
melaksanakan apa yang diakadkan itu.
b. Akad ghairu ‘ainiyah, yaitu akad yang hasilnya semata-mata berdasarkan akad
itu sendiri.
5. Dilihat dari segi bentuk dan cara melakukan akad. Terbagi dua yaitu :
a. Akad-akad yang harus dilaksanakan dengan tata cara tertentu
b. Akad-akad yag tidak memerlukan tata cara.
6. Dilihat dari dapat tidaknya dibatalkan akad, ada empat macam :
a. Akad yang tidak dapat dibatalkan, yaitu seperti akad nikah tak dapat dicaput,
meskipun terjadinnya dengan persetujuan kdua belah pihak. Karena hanya
dapat di akhiri dengan jalan-jalan yang ditetapkan oleh syari’at.
b. Akad yang dapat dibatalkan atas persetujuan kedua belah pihak.
c. Akad yang dapat dibatalkan tanpa menunggu persetujuan pihak pertama.
d. Akad yang dapat dibatalkan tanpa menunggu persetujuan pihak yang kedua.
7. Dilihat dari segi tukar-menukar hak. Dibagi menjadi tiga, yaitu :
a. Akad mu’awadhah, yaitu akad-akad yang berlaku atas dasar timbal balik.
b. Akad tabarru’at, yaitu akad-akad yang berdasarkan pemberian ndan
pertolongan.
c. Akad yang mengandung tabarru’ pada permulaan tetapi menjadi mu’awadhah
pada akhirnya.
8. Dilihat dari keharusan membayar ganti dan tidak,maka dibagi tiga golongan:
a. Akad dhamanah, yaitu tanggung jawab pihak kedua ssudah barang-barang itu
diterimannya, jika rusak sebelum diserahkannya, maka tanggung jawab
dipikul pihak pertama.
b. Akad amanah, yaitu tanggung jawab dipikul oleh yang empunya, bukan oleh
yang memegang barang.
c. Akad yang dipengaruhi oleh beberapa unsur, dari satu segi yang
mengharuskan dhamanah dan dari segi lain merupakan amanah.
9. Dilihat dari segi tujuan, akad dibagi menjadi 4 golongan :
a. Yang tujuangnnya tamlik. Seperti jual beli, mudharabah.
b. Yang tujuanya mengokohkan kepercayaan saja.
c. Yang tujuannya menyerahkankekuasaan.
d. Yang tujuanya memelihara, yaitu wadi’ah.
10. Dilihat dari segi waktu berlakunya, terbagi dua yaitu:
a. Akad fauriyah, yaitu akad-akad yang pelaksanaanya tidak memerlukan waktu
yang lama.
b. Akad mustamirah, dinamakan juga akad zamaniyah, yaitu akad yang
pelaksanaanya memerlukan waktu yang menjadi unsur asasi dalam
pelaksanaanya.
11. Dilihat dari ketergantungan dengan yang lain, akad ini dibagi dua yaitu :
a. Akad asliyah, yaitu akad yang berdiri sendiri, tidak memerlukan adannya
sesuatu yang lain.
b. Akad tab’iyah, yaitu akad yang tidak dapat berdiri sendiri karena memerlukan
sesuatu yang lain.
12. Dilihat dari maksud dan tujuannya, akad terbagi menjadi dua , yaitu :
a. Akad tabarru’, yaitu akad yang dimaksud untuk menolong dan murni semata-
mata karena mengharap ridho dan pahala dari Allah, sama sekali tidak ada
unsur mencari return ataupun motif.
b. Akad tijari, yaitu akad yang dimaksud untuk mencari dan mendapatkan
keuntungan dimana rukun dan syarat telah dipenuhi semuannya.7

7 Gemala Dewi,dkk.Hukum Perikatan Islam di Indonesia,(Jakarta : KENCANA,2005),hal.150-156

Anda mungkin juga menyukai