Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. Judul Praktikum :
Pemeriksaan Indera

B. Waktu, Tanggal Praktikum :

Kamis, 29 November 2018. Pukul 15.30 – 17.30

C. Tujuan Praktikum
1. Mahasiswa mampu memahami pemeriksaan fungsi pendengaran, fungsi
penghidu, dan keseimbangan.
2. Mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan refraksi pada seseorang
serta mengoreksi kelainan yang ditemukan memeriksa luas lapang
pandang beberapa macam warna dengan menggunakan kampimeter
serta melakukan pemeriksaan tes buta warna.

D. Dasar Teori

1. Pendengaran
Telinga adalah organ pendengaran. Saraf yang melayani indra ini adalah
saraf kranial kedelapan atau nervus auditorius. Telinga terdiri atas tiga
bagian: telinga luar, telinga tengah, dan rongga telinga dalam. (Pearce,
2013).
Telinga luar terdiri atas aurikel atau pina, yang pada binatang rendahan
berukuran besar serta dapat bergerak dan membantu mengumpulkan
gelombang suara; dan meatus auditorius eksterna yang menjorok ke dalam
menjauhi pina, serta menghantarkan getaran suara menuju membran
timpani (Pearce, 2013).

1
Teling tengah atau rongga timpani adalah bilik kecil yang mengandung
udara. Rongga itu terletak sebelah dalam membran timpani atau gendang
telinga, yang memisahkan rongga itu dari meatus auditorius eksterna.
Rongga itu sempit serta memiliki dinding tulang dan dinding membranosa,
sementara pada bagian belakangnya bersambung dengan antrum mastoid
dalam prosesus mastoideus pada tulang temporalis, melalui sebuah celah
yang disebut aditus (Pearce, 2013).
Tulang – tulang pendengaran adalah tiga tulang kecil yang tersusun pada
rongga telinga tengah seperti rantai yang bersambung dari membran timpani
menuju rongga telinga dalam. Terdiri dari maleus, inkus, dan stapes.
Rangkaian tulang – tulang ini berfungsi mengalirkan getaran suara dari
gendang telinga menuju rongga telinga dalam (Pearce, 2013).
Rongga telinga dalam berada dalam bagian os petrosum tulang
temporalis. Rongga telinga dalam itu terdiri atas berbagai rongga yang
meyerupai saluran – saluran dalam tulang temporalis. Rongga – rongga itu
disebut labirin tulang dan dilapisi membran sehingga membentuk labirin
membranosa. Saluran –saluran bermembran ini mengandung cairan dan
ujung – ujung akhir saraf pendengaran dan keseimbangan (Pearce, 2013).
Gangguan pendengaran atau tuli merupakan salah satu masalah yang
cukup serius dan banyak terjadi di seluruh negara di dunia. Gangguang
pendengaran adalah hilangnya kemampuan untuk mendengar bunyi dalam
cakupan frekuensi yang normal untuk didengar (Beatrice, 2013). Gangguan
pendengaran dapat disebabkan oleh gangguan transmisi suara di telinga luar
maupun telinga tengah atau yang dikenal dengan tuli konduksi/hantaran dan
kerusakan pada sel rambut maupun jalur sarafnya atau yang disebut juga tuli
saraf. Gangguan pendengaran yang disebabkan oleh gangguan konduksi
dan berlanjut menjadi gangguan saraf, kemudian terkena infeksi otitis media
yang disebut tuli campuran (Ganong, 2008).
Faktor yang menyebabkan ketulian ada dua yaitu faktor internal dan
eksternal. Faktor internal misalnya, yang disebabkan oleh kelainan genetik
yang gejalanya sudah ada sejak baru lahir dan proses penuaan. Faktor
eksternal dapat diakibatkan oleh keadaan tertentu seperti mendengarkan

2
musik keras, orang yang bekerja di pabrik yang bising, trauma kepala,
infeksi dan obat ototoksik (Pearce, 2013).
Untuk mendiagnosa gangguan pendengaran ada 3 pemeriksaan yaitu tes
tutur, tes penala, dan tes audiometer. Tes tutur adalah tes yang memakai kata
– kata yang sudah disusun dalam silabus. Pasien diminta untuk mengulangi
kata – kata yang didengar dengan jarak 6 meter. Jika pasien tidak
mendengar, maka maju 1 meter dan ulangi pemeriksaannya. Kesimpulan
pemeriksaan yaitu 6 meter (normal), 5 – 4 meter (tuli ringan), 3 – 2 meter
(tuli sedang), 2 – 1 meter (tuli berat) (Pearce, 2013).
Tes penala atau garpu tala itu ada 3 yaitu tes rinne, tes weber, dan tes
schwabach. Tes rinne adalah tes untuk membandingkan hantaran melalui
udara dan hantaran melalui tulang pada telinga yang diperiksa. Cara
pemeriksaannya adalah penala digetarkan, tangkainya diletakkan di
prosesus mastoid, setelah tidak terdengar penala dipegang di depan telinga
kira – kira 21/2 cm. Bila masih terdengar disebut rinne positif, bila tidak
terdengar disebu rinne negatif. Tes weber adalah tes pendengaran untuk
membandingkan hantaran tulang telinga kiri dengan telinga kanan. Cara
pemeriksaannya adalah penala digetarkan dan tangkai penala diletakkan di
garis tengah kepala. Apabila bunyi penala terdengar lebih keras pada salah
satu telinga disebut weber lateralisasi pada telinga tersebut. Bila tidak dapat
dibedakan disebut weber tidak ada lateralisasi. Tes schwabach adalah
membandingkan hantaran tulang orang yang diperiksa dengan pemeriksa
yang pendengarannya normal. Cara pemeriksaannya adalah penala
digetarkan, tangkai penala diletakkan pada prosesus mastoideus sampai
tidak tedengar bunyi. Kemudian tangkai penala segera dipindahkan pada
prosesus mastoideus telinga pemeriksa. Bila pemeriksa masih dapat
mendengar disebut shawabach memendek, bila pasien masih dapat
mendengar bunyi disebut schwabach memanjang, dan jika pasien dan
pemeriksa kira – kira sama mendengarnya disebut normal (Pearce, 2013).

3
2. Penglihatan
Saraf optikus atau saraf kranial kedua adalah saraf sensorik untuk
penglihatan. Saraf ini timbul dari sel – sel ganglion dalam retina yang
bergabung membentuk saraf optikus. Saraf ini bergerak kebelakang secara
medial dan melintasi kanalis optikus memasuki rongga kranium, lantas
menuju kiasma optikum. Saraf penglihatan memiliki tiga pembungkus yang
serupa dengan yang ada pada meningen otak. Lapisan luarnya kuat dan
fibrus serta bergabung dengan sklera. Lapisan tengah halus seperti araknoid,
sementara lapisan dalam adalah vakuler (Pearce, 2013).
Mata adalah suatu struktur sferis berisi cairan yang dibungkus oleh tiga
lapisan. Dari luar ke dalam, lapisan – lapisan tersebut adalah : (1)
sklera/kornea, (2) koroid/iris, dan (3) retina (Ilyas, 2004). Struktur mata
manusia berfungsi utama untuk memfokuskan cahaya ke retina. Semua
komponen – komponen yang dilewati cahaya sebelum sampai ke retina
mayoritas berwarna gelap untuk meminimalisir pembentukan bayangan
gelap dari cahaya. Kornea dan lensa berguna untuk mengumpulkan cahaya
yang akan difokuskan ke retina, cahaya ini akan menyebabkan perubahan
kimiawi pada sel fotosensitif di retina (Fajar, 2009).
Visus atau ketajaman penglihatan adalah kemampuan mata untuk
melihat dengan jelas dan tegas. Secara fisiologis hal ini ditentukan oleh daya
pembiasan mata. Jenis pemeriksaan visus ada empat yaitu visus optotype
snelen/straub, visus hitung jari, visus gerakan lambaian tangan, visus gelap
dan terang. Visus optotype snelen/straub, penderita bisa membaca huruf
pada optotipe pada jarak 5 m yang seharusnya dapat dibaca oleh orang
normal pada jarak 5 m. Visus hitung jari, penderita hanya bisa menghitung
jari pada jarak 1 meter yang seharusnya orang normal pada jarak 60 m.
Visus gerakan lambaian tangan, penderita hanya bisa melihat gerakan
lambaian tangan pada jarak 1 m yang seharusnya bisa dilihat orang normal
pada jarak 300 m. Visus gelap dan terang, penderita hanya bisa
membedakan gelap dan terang. Perlu diperiksa apakah masih dapat
membedakan arah datangnya sinar dan membedakan warna merah dan hijau
(Pearce, 2013).

4
Refraksi adalah perubahan arah yang terjadi pada berkas cahaya yang
melintas secara miring melalui suatu medium dan menuju ke medium yang
lain yang memiliki indeks bias yang berbeda. Kelainan refraksi ada 3 yaitu
miopia, hipermetropia, dan astigmatisma. Pada miopia panjang bola mata
anteroposterior dapat terlalu besar. Pasien miopia akan menyatakan melihat
jelas bila dekat, kabur bila jauh. Hipermetropia adalah keadaan gangguan
kekuatan pembiasan mata yaitu sejajar jauh tidak cukup dibiaskan sehingga
titik fokusnya terletak dibelakang retina. Astigmatisma adalah kelainan
refraksi karena kelengkungan kornea yang tidak teratur (Siregar, 2008).
Buta warna merupakan penyakit kelainan pada mata yang ditentukan
oleh gen resesif pada kromosom seks, khususnya terpaut pada kromosom X
atau kondisi ketika sel – sel retina tidak mampu merespon warna dengan
semestinya. Tes buta warna dilakukan dengan tes ishihara yang
dikembangkan oleh Dr. Shinobu Ishihara pada tahun 1917. Tes metode
ishihara adalah tes yang digunakan untuk mendeteksi gangguan persepsi
warna, berupa tabel warna khusu berupa lembaran pseudoisokromatik yang
disusun oleh titik – titik dengan kepadatan warna berbeda yang dapat dilihat
dengan mata normsl, tapi tidak bisa dilihat oleh mata yang mengalami
defisiensi sebagian warna (Dhika et al., 2014).

E. Metode Pemeriksaan
a. Pemeriksaan Pendengaran
- Tes Tutur
- Garpu Tala : Metode Rinne, Weber dan Schwabach
b. Pemeriksaan Penglihatan
- Metode Snellen Chart
- Metode Hitung Jari
- Metode Lambaian Tangan
- Metode Gelap Terang
- Metode Buku Ishihara untuk Buta Warna

F. Alat Bahan
a. Garpu Tala
b. Snellen Chart
c. Buku Ishihara

5
G. Cara Kerja

a. Pemeriksaan Pendengaran dengan Tes Tutur


- Penderita duduk tidak berhadapan dengan pemeriksa sejauh 6 m,
tetapi menyamping dengan telinga yang ditest ke arah pemeriksa
supaya pasien tidak membaca bibir pemeriksa.
- Telinga yang tidak di test ditutup atau ditekan pada tragusnya.
- Suara atau kata bisik ialah bisikan yang dikeluarkan setelah kita
melakukan eskpirasi maksimal.
- Dipakai kata bisik terdiri dari 2 suku kata, contohnya yaitu ‘makan
bakso’ ‘sapi bunting’ dan sebagainya.
- Setiap pasien tidak mendengar, maju 1 meter.

b. Pemeriksaan Pendengaran dengan Garpu Tala


1. Metode Rinne
- Garpu tala di getarkan pada punggung tangan atau siku, dengan
tujuan supaya tidak terlalu keras.
- Tekankan ujung tangkai garpu tala pada tulang belakang telinga
atau os. mastoid dengan tangan pemeriksa tidak boleh menyentuh
jari-jari garpu tala.
- Tanyakan pada pasien apakah ia mendengar bunyi mendengung
di telinga yang di periksa. Bila mendengar pasien disuruh
mengacungkan jari telunjuk dan jika sudah tidak mendengar, jari
telunjuk diturunkan.
- Pada saat itu (ketika pasien sudah tidak mendengar dengungan
garpu tala) pemeriksa mengangkat garpu tala dari os. Mastoid
dan mendekatkannya ke depan daun telinga pasien. Tanyakan
apakah pasien mendengar dengungan garpu tala atau tidak.

6
2. Metode Weber
- Garpu tala di getarkan pada punggung tangan atau siku, dengan
tujuan supaya tidak terlalu keras.
- Tekankan ujung garpu tala pada dahi pasien di garis median
dengan tangan pemeriksa tidak boleh menyentuh jari-jari garpu
tala.
- Tanyakan kepada pasien apakah ia mendengar dengungan bunyi
garpu tala sama kuat di kedua telinganya atau terjadi lateralisasi
(bunyi dengungan lebih kuat pada salah satu telinga).

3. Metode Schwabach
- Garpu tala di getarkan pada punggung tangan atau siku, dengan
tujuan supaya tidak terlalu keras.
- Tekankan ujung tangkai garpu tala pada tulang belakang telinga
atau os. mastoid dengan tangan pemeriksa tidak boleh menyentuh
jari-jari garpu tala.
- Tanyakan pada pasien apakah ia mendengar bunyi mendengung
di telinga yang di periksa. Bila mendengar pasien disuruh
mengacungkan jari telunjuk dan jika sudah tidak mendengar, jari
telunjuk diturunkan.
- Pada saat itu (ketika pasien sudah tidak mendengar dengungan
garpu tala) pemeriksa mengangkat garpu tala dari os. Mastoid
pasien dan memindahkannya pada os. Mastoid pemeriksa.

7
c. Pemeriksaan Indera Penglihatan
1. Metode Visus Snellen Chart
- Pasien berdiri pada jarak 6 meter menghadap pada Snellen chart
- Pemeriksa menunjuk pada salah satu huruf yang ada pada snellen
chart dan pasien menyebutkan huruf yang dilihatnya.
- Jika pasien tidak bisa melihat pada jarak 6 meter maka ia dapat
maju 1 meter, jika tetap tidak terlihat maju lagi 1 meter dan
seterusnya.

2. Metode Visus Hitung Jari


Jika pasien tidak dapat melihat menggunakan snellen chart maka
pemeriksaan dilanjutkan menggunakan perhitungan jari.
- Pasien berdiri pada jarak 6 meter menghadap pada pemeriksa.
- Pemeriksa menunjukkan jarinya dan menyuruh pasien untuk
menghitung berapa jari yang ditunjukkan oleh pemeriksa.
- Jika pasien tidak bisa melihat pada jarak 6 meter maka ia dapat
maju 1 meter, jika tetap tidak terlihat maju lagi 1 meter dan
seterusnya.

3. Metode Visus Lambaian Tangan


Jika pasien tidak dapat melihat hitungan jari oleh pemeriksa maka
pemeriksaan dilanjutkan menggunakan lambaian tangan.
- Pasien berdiri pada jarak 6 meter menghadap pada pemeriksa.
- Pemeriksa melambaikan tangan pada pasien dan menyuruh
pasien untuk mengikuti arah gerakan lambaian tanganya.
- Jika pasien tidak bisa melihat pada jarak 6 meter maka ia dapat
maju 1 meter, jika tetap tidak terlihat maju lagi 1 meter dan
seterusnya.
4. Metode Visus Gelap Terang
Jika pasien tidak dapat melihat dengan lambaian tangan oleh
pemeriksa maka pemeriksaan dilanjutkan menggunakan gelap terang
dengan menggunakan senter atau flash pada handphone.

5. Metode Buku Ishihara (untuk pemeriksaan buta warna)


- Pasien melihat gambar pada buku ishihara dan menyebutkan
gambar, huruf, atau angka yang tertera pada buku ishihara.

8
BAB II
ISI DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

1. Fungsi Pendengaran

a. Tes Tutur
No. Jarak Tes Dengar Tidak Interpretasi
1. 6 meter  normal
2. 5 meter
3. 4 meter
4. 3 meter
5. 2 meter
6. 1 meter
7. Detrik pada jam tangan

b. Tes Garpu Tala


 Rinne
Hasil AC ;BC Interpretasi
AC lebih besar sama dengan BC (rinne +) Normal

 Weber
Hasil Lateralis Interpretasi
AD=AS - Normal AD/AS

 Schwabah
Hasil Interpretasi
BC penderita=BC pemeriksa Normal

2. Fungsi Penglihatan

a. Pengukuran dan Koreksi Visus


Tes Hasil Interpretasi
Mata kanan 6/6 Normal
Mata kiri 6/6 Normal

b. Buta Warna
Hasil Interpretasi
Penderita dapat menyebutkan Tidak ditemmukan kelainan/buta
angka pada buku ishihara warna

9
B. Pembahasan
 Pemeriksaan Pendengaran dengan Metode Tutur
Dari hasil pemeriksaan yang telah dilakukan menggunakan metode
tutur yang dilakukan oleh pemeriksa dengan membisikkan beberapa
kata yang tediri dari 2 suku kata sejauh 6 meter dan dengan suasan
ruangan yang sepi, pasien dapat menebak seluruh kata yang dibisikkan
oleh pemeriksa, sehingga dapat diinterpretasikan bahwa pasien yang
melakukan tes tersebut memiliki fungsi pendengaran normal.

 Pemeriksaan Pendengaran dengan Metode Garpu Tala


Untuk melihat ada tidaknya gangguan fungsi pendengaran pada OP
adalah dengan menggunakan garpu tala. Test garpu tala digunakan
untuk pengukuran kualitatif, idealnya menggunakan garpu tala dengan
frekuensi 512, 1024, dan 2048 Hz. Beberapa tes menggunakan garpu
tala yang dilakukan pada praktikum ini adalah:
a.Tes Rinne
Tes Rinne dilakukan dengan menggetarkan garpu tala dan
menekankan gagang penala yang bergetar pada Processus Mastoideus
ke telinga yang diperiksa. Setelah OP menandakan bunyi dengungan
menghilang segera mungkin mendekatkan ujung penala pada telinga
yang diperiksa, test ini digunakan untuk membandingkan hantaran
melalui udara dan hantaran melalui tulang. Dari hasil percobaan
didapatkan bahwa hantaran udara lebih bagus daripada hantaran
tulang. Hal ini menunjukkan bahwa pendengaran pasien normal. Pada
orang normal hantaran udara lebih baik daripada hantaran tulang
karena suara yang digetarkan lewat udara menuju gendang telinga
memiliki kekuatan lebih baik jika dibandingkan dengan hantaran
tulang.
b.Test weber
Test Weber pada umumnya merupakan test pendengaran yang
digunakan untuk membandingkan hantaran tulang telinga kiri dengan
telinga kanan. Tes ini dilakukan dengan cara menggetarkan garpu tala
dan menempelkannya pada bagian meridian tepat diatas kepala. Dari
hasil percobaan didapatkan hasil normal pada OP. Pada tuli sensori
neural (SNHL) suara akan terdengar lebih keras pada telinga yang
sehat. Hal ini terjadi karena pada CHL,hantaran tulang lebih baik
daripada hantaran udara, dan pada SNHL, hantaran udara lebih baik
daripada tulang.

10
c.Test Scwabah
Pemeriksaan ini dilakukan dengan menggetarkan garpu tala
dan meletakkannya pada Processus Mastoideus OP. Setelah bunyi
menghilang OP segera member tanda dan pemeriksa meletakkan garpu
tala tersebut pada Processu Mastoideusnya. Dari hasil percobaan
didapatkan hasil normal, tidak didapatkan pemendekan atau
pemanjangan suara. Pada penderita tuli sensori neural (SNHL) dan
suara yang dihasilkan akan memendek. Kelemahan dari sistem ini
bersifat subyektif karena menganggap pemeriksa dalam kondisi
normal.

 Pemeriksaan Visus dengan Metode Snellen Chard


Berdasarkan kegiatan praktikum Anatomi dan Fisiologi Manusia
yang telah dilaksanakan mengenai test Visus, maka diperoleh hasil
bahwa semua pasien yang telah diuji memiliki mata normal. Hal ini
terlihat setelah pasien di test dengan menggunakan Test Visus Optotype
menggunakan Snelen Card bahwa pasien memiliki visus dimata kanan
6/6 yang menunjukan normal. Juga pasien memiliki hasil visus dimata
kiri 6/6 dimana angka tersebut menunjukan normal.
Visus sendiri adalah kemampuan mata untuk melihat dengan jelas
dan tegas. Dalam test visus ada 4 jenis pemeriksaan visus. Yang pertama
menggunakan Snelen card. Dimana penderita harus dapat membaca
huruf yang berjarak 6 meter dari penderita. Pada orang normal dapat
membaca huruf dengan jarak 6 meter secara jelas. Ketika pasien tidak
dapat membaca tulisan dengan jelas maka pasien di arahkan untuk maju
kedepan 1 meter. Ketika pasien masih tidak dapat melihat tulisan pada
snelen card tersebut maka dilakukan test yang kedua yaitu Hitung jari,
test ini dilakukan dengan cara menghitung jari pemeriksa dengan jarak
60 meter dimana 60 meter adalah jarak orang normal dapat mengjitung
jari pada kejauhan. Lalu pada jenis pemeriksaan visus yang ketiga
adalah Gerakan lambaian tangan. Dimana pada orang normal dapat
melihat gerakan lambaian tangan pada jarak 300 meter. Dan jenis
pemeriksaan visus yang keempat adalah Visus gelap terang. Dimana
pada orang normal dapat membedakan arah datangnya sinar dan
membedakan warna merah dan hijau, namun pada kasus tertentu
probindus tidak dapat melihat sama sekali, pada kasus ini probindus di
diagnosis memiliki Buta total.

11
 Pemeriksaan Visus dengan Metode Hitung Jari
Tidak dilakukan pemeriksaan dengan metode ini karena ketika
menggunakan metode Snellen Chard hasil sudah bisa didapatkan. Salah
satu syarat digunakannya metode Hitung Jari adalah ketika tidak
didapatkannya hasil melalui tes dengan metode Snellen Chard.

 Pemeriksaan Visus dengan Metode Lambaian Tangan


Tidak dilakukan pemeriksaan menggunakan metode ini karena
ketika menggunakan metode Snellen Chart hasil sudah bisa didapatkan.
Syarat dapat dilakukannya pemeriksaan menggunakan metode ini
adalah ketika tidak didapatkannya hasil melalui tes dengan metode
Snellen Chard dan metode Hitung Jari.

 Pemeriksaan Visus dengan Metode Gelap Terang


Tidak dilakukan pemeriksaan dengan metode ini karena ketika
menggunakan metode Snellen Chard hasil sudah bisa didapatkan. Syarat
untuk dapat dilakukannya pemeriksaan menggunakan metode ini adalah
ketika tidak didapatkannya hasil melalui tes dengan metode Snellen
Char, Hitung Jari, maupun Lambaian Tangan.

 Pemeriksaan Buta Warna dengan Buku Ishihara


Berdasarkan kegiatan praktikum Anatomi dan Fisiologi Manusia
yang telah dilaksanakan mengenai Tes Buta Warna, maka diperoleh
hasil bahwa semua pasien yang telah diuji memiliki mata yang normal.
Hal ini terlihat setelah probandus di tes menggunakan tes buta warna
dengan metode ishihara dimana probandus dapat menyebutkan semua
pola warna yang terdapat pada buku Ishihara.
Perlu kita ketahui bahwa buta warna ini disebabkan oleh jumlah
banyak tidaknya sel kerucut dalam mata. Buta warna bervariasi, mulai
dari yang parsial (sebagian) hingga buta warna total. Buta warna
parsial artinya penderita tidak dapat membedakan antara warna merah
dengan hijau, antara warna hijau dengan biru. hijau dan biru sangat
sedikit. Buta warna total artinya penderita tidak memiliki sel kerucut
merah, hijau dan biru sehingga warna yang bisa di lihat hanya warna
hitam dan putih.

12
Lebih jelasnya, buta warna merupakan gangguan herediter yang
lazim di derita pria daripada wanita. Buta warna bervariasi antara buta
satu warna tertentu (buta warna parsial) sampai buta warna total.
Terjadinya buta warna ini di sebabkan oleh tidak adanya atau ada
tetapi sedikit sel kerucut warna merah dan hijau. Bila tidak ada sel
kerucut merah, maka warna merah akan nampak hijau. Bila sel kerucut
hijau tidak ada, maka benda hiaju akan nampak merah. Bila ketiga
macam sel kerucut (warna merah, hijau dan biru) tidak ada, maka
semua benda akan nampak hitam dan seseorang akan menderita buta
warna total (Basoeki, 2003).

C. Aplikasi Klinis
Tes Pendengaran
- Untuk mengetahui apakah normal, SNHL (sensori neural hearing
lost), ataupun CHL (conduction hearing lost).
- Dalam bidang kedokteran untuk mengetahui adakah kelainan
pendengaran.

Tes Penglihatan

- Untuk tes menggunakan kacamata minus, plus, maupun silindris.


- Dalam bidang kedokteran digunakan untuk mengukur ketajaman
penglihatan pasien.

13
BAB III

KESIMPULAN

 Telinga terdiri dari 3 bagian yaitu telinga luar, telinga tengah, dan telinga
dalam. Telinga luar dan telinga tengah berfungsi menyalurkan gelombang
suara dari udara ke telinga dalam. Telinga dalam yang tediri dari 2 sistem
saraf sensoris, koklea yang mengandung banyak reseptor-reseptor untuk
mengubah gelombang suara menjadi impuls-impuls saraf, dan apparatus
vestibularis yang berperan penting dalam menjaga keseimbangan.
 Fisiologi pendengaran : gelombang suara - daun telinga – MAE (mratus
auditorius externa) – membran timfani – tiga tulang pendengaran (malleus,
incus, stapes) – voramen ovale – koklea – membran reisner – nervus 8 –
otak.
 Kekurangan pendengaran terdiri dari tuli konduksi, tuli syaraf, dan tuli
campuran.
 Pemeriksaan pendengaran dapat dilakukan dengan 3 cara yaitu tes tutur, tes
garpu tala, dan tes audiometer.
Pada pemeriksaan menggunakan metode Tutur, didapatkan hasil normal
karena pasien dapat mendengar sejauh 6 meter.
Pada pemeriksaan menggunakan garpu tala dengan metode Rinne
didapatkan hasil AC > BC jadi diinterpretasikan normal.
Pada pemeriksaan menggunakan garpu tala dengan metode Weber
didapatkan hasil AD = AS yang berarti tidak ada laterisasi, jadi
diinterpretasikan normal.
Pada pemeriksaan menggunakan garpu tala dengan metode Schwabach
didapatkan hasil BC pm = BC pd yang berarti tidak ada pemanjangan
maupun pemendekan getaran, jadi diinterpretasikan normal.
 Fisiologi penglihatan : cahaya – kornea – humor aquos – pupil – lensa –
corpus vitreous – retina – nervus 2 – otak.
 Refraksi adalah pembelokan berkas cahaya dari satu medium ke medium
lain yang berbeda.

14
Kelain refraksi antara lain Hipermetropi (rabun dekat), Miopi (rabun jauh),
dan astigmatisma (silindris).
 Visus atau ketajaman penglihatan adalah kemampuan mata untuk melihat
dengan jelas dan tegas.
Pemeriksaan visus dapat dilakukan dengan 4 metode yaitu menggunakan
Snellen Chard, hitung jari, lambaian tangan, dan gelap terang. Pemeriksaan
dilakukan sesuai dengan urutan, posisi awal 6 meter jika tidak bisa melihat
maka maju satu meter sampai satu meter didepan pemeriksa, jika masih
tidak bisa melihatnya maka dapat dilakukan tes selanjutnya begitu pula
seterusnya hingga tes gelap terang. Jika pada tes gelap terang tetap tidak
bisa melihat maka bisa diinterpretasikan bahwa pasien buta total.
Pada percobaan pemeriksaan visus menggunakan metode Snellen Chard,
pasien sudah dapat melihat huruf dari yang terbesar hingga terkecil,
sehingga dapat diinterpretasikan bahwa penglihatan pasien tersebut normal.
Karena sudah didapatkan hasil dari tes menggunakan metode snellen chard
maka tidak perlu lagi tes menggunakan metode yang lain.
 Buta warna adalah ketidakmampuan mata untuk membedakan warna yang
ada. Buta warna dapat dibedakan menjadi buta warna parsial, dan buta
warna total.
Pemeriksaan buta warna dilakukan menggunakan buku Ishihara. Pada
pemeriksaan yang telah dilakukan, pasien dapat membedakan angka dan
mengikuti alur yang ada pada buku ishihara tersebut, maka dapat
diinterpretasikan bahwa pasien tersebut normal (tidak mengalami buta
warna).

15
Daftar Pustaka

Basoeki, soedjono. 2003. JICA: Malang.


Dhika, R.V., Ernawati., dan Andreswari, Desi. 2014. Aplikasi Tes Buta Warna
dengan Metode Ishihara pada Smartphone Android. Jurnal Pseudocode.
1(1). PP, 51-59.
Ganong, William F. 2008. Fisiologi Kedokteran. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Ilyas, S. 2004. Ilmu Penyakit Mata Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Pearce, Evelyn C. 2013. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Siregar, N.H. 2008. Kelainan Refraksi yang Menyebabkan Glaucoma. Skripsi.

16

Anda mungkin juga menyukai