Anda di halaman 1dari 2

Nama : Wahyu Pattipeilohy

Nim : 031531576

FUNGSI PARTAI POLITIK PADA ERA REFORMASI

Ketika para elit partai belakangan ini “heboh” dengan melakukan ekspansi ke berbagai institusi negara,
mereka melupakan hal penting yang berkaitan dengan fungsi-fungsi partai yang mengakibatkan
melemahnya fungsi partai. Dimulai dari fungsi rekrutmen, saat ini banyak partai politik melakukan cara
instan dalam menentukan kader yang akan diusung dalam pemilu padahal itu akan merusak proses
kaderisasi internal. Dan ini dapat merusak citra partai politik sebagai mesin yang menghasilkan calon
pemimpin. Saat pemilu 2009 tidak sedikit orang-orang popular dan ber-uang yang bukan lahir dari
kaderisasi partai politik yang memenuhi daftar caleg, sementara itu kader-kader partai yang mengikuti
proses secara serius dalam kerja-kerja politik dalam partai malah “tertimbun”. Ini terjadi karena tujuan
yang ada hanya untuk memenangkan posisi (baca:kekuasaan) maka bukan menjadi hal yang aneh jika
kinerja dewan legislative yang terhormat semakin menurun. Beberapa partai politik bahkan ada yang
menjaring calegnya melalui iklan penjaringan di media cetak nasional. Hal ini menunjukan ketidaksiapan
organisasi partai politik untuk menghasilkan kader-kader melalui proses kaderisasi internal. Kasus-kasus
ini ditemukan terutama pada partai politik baru yang didirikan hanya sekedar memenuhi kuota
komposisi caleg.

Fungsi berikutnya komunikasi politik dan pemandu kepentingan, dapat dikatakan fungsi ini sebagai
intermediary karena menghubungkan rakyat ke pemerintah dan pemerintah ke masyarakat. Partai
bertugas menyalurkan berbagai macam aspirasi rakyat dan melakukan penggabungan aspirasi atau
kepentingan yang sejenis kemudian merumuskan kepentingan (interest articulation) setelah itu
menjadikannya sebagai usulan kebijakan kepada pemerintah agar dapat dijadikan kebijakan public. Disisi
lain partai politik juga menyebarluaskan rencana dan kebijakan-kebijakan pemerintah kepada rakyat.
Namun yang terjadi bukan lah seperti itu, partai politik sebagai representasi rakyat tidak menyuarakan
kepentingan rakyat malah mendahulukan kepentingan partai politik dan oligarkinya sehingga kebijakan-
kebijakan yang dikeluarkan tidak mengena pada kepentingan rakyat. Hal seperti ini menjadikan citra
partai politik buruk dimata rakyat. Partai politik aharus dijadikan dan menjadi sarana perjuangan rakyat
dalam turut menentukan bekerjanya sistem pemerintahan sesuai aspirasi mereka. Karena itu, elit partai
hendaklah berfungsi sebagai pelayan aspirasi dan kepentingan bagi konstituennya.

Selanjutnya fungsi pengendali konflik, seperti sudah disampaikan sebelumnya, nilai-nilai (values) dan
kepentingan-kepentingan (interests) yang tumbuh dalam kehidupan masyarakat sangat beraneka ragam,
rumit, dan cenderung saling bersaing dan bertabrakan satu sama lain. Jika partai politiknya banyak,
berbagai kepentingan yang beraneka ragam itu dapat disalurkan melalui polarisasi partai-partai politik
yang menawarkan ideologi, program, dan altrernatif kebijakan yang berbeda-beda satu sama lain.
Namun yang “aneh”nya konflik bahkan terjadi dalam partai politik itu sendiri, dalam sebuah partai
terdapat beberapa kubu seperti partai Golkar dan bahkan dari salah satu kubu berinisiatif mendirikan
partai politik. Yang lebih mirisnya pertikaian dalam partai politik tersebut dipertontonkan ketengah
khalayak. Bagaimana partai politik akan mampu mengontrol konflik ditengah rakyat Indonesia yang
sangat banyak ini jika mereka tidak mampu mengontrol konflik internal mereka.

Fungsi sosialisasi politik sebagai salah satu fungsi partai politik ini tentu memiliki “target kongkrit”
tertentu. Namun di sisi ini, dalam konteks Indonesia persoalan yangcukup pelik adalah tentang perilaku
pemilih yang masih sangat “aneh”. Perilaku pemilih yang masih emosional dan tradisional ini tentu akan
menghasilkan lembaga-lembaga dan inprastruktur politik yang tradisional pula. Sehingga sesungguhnya
output dari sosialisasi politik itu harus dapat memperbarui konstruksi perilaku politik masyarakat dalam
memilih. Sosialisasi politik yang dilakukan partai politik biasanya hanya pada saat menjelang pemilu saja
seharusnya dilakukan secara berkelanjutan agar kekhawatiran akan terbentuknya lembaga politik yang
“tradisional” terminimalisir.

Sementara itu, Partai politik yang diharapkan bisa bertindak optimal dalam menjalankan perannya
sebagai intermediary, “penghubung” kepentingan “rakyat” terhadap negara hampir tidak efektif lagi.
Partai politik telah terjebak pada persoalan mereka sendiri yang bagai lingkaran setan, dan juga mereka
(baca: partai politk-partai politik) saling intrik, bahkan saling serang dalam menjerumuskan lawan-lawan
politik yang ada di partai politik lain. Selain itu juga mulai menampakkan tanda-tanda pergeseran
fungsinya. Partai yang seharusnya bisa membawa suara rakyat kepada pemerintah berkuasa malahan
bergeser fungsi menjadi suatu kendaraan politik untuk menguntungkan diri pribadi atau pun kelompok
nya serta oligarkinya. Dengan begitunya partai politik tidak akan mampu mencapai tujuan partai politik
seperti yang dituangkan dalam pasal 10 Undang –Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik.

Anda mungkin juga menyukai