Anda di halaman 1dari 24

Pendekatan Klinis pada Penderita Dispepsia Fungsional

Dicky Kurniawan
102015090 / A5
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Alamat Korespondensi: Jl. Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510
Email: dicky.2015fk090@civitas.ukrida.ac.id

Abstrak
Dyspepsia fungsional merupakan salah sartu gejala klinis yang cukup sering terjadi. Prevalensi
cukup tinggi dengan dipengaruhi oleh berbagai factor seperti usia, makanan, obat, psikologis,
dan sebagainya. Dyspepsia fungsional merujuk kepada suatu keadaan tidak enak pada daerah
epigastrium, nyeri, rasa terbakar, rasa cepat penuh, rasa kembung, dan sebagainya dengan tidak
didapatkannya kelainan structural pada sistem pencernaan bagian atas. Kelainan ini terjadi oleh
karena berbagai factor, seperti factor hormone, motilitas, sel pemacu pada lambung, gangguan
axis saraf, hipersensitivitas mukosa dan sebagainya. Berbagai manifestasi klinis pun
menyerupai dyspepsia pada umumnya, yaitu rasa nyeri pada epigastrium, rasa terbakar pada
epigastrium, rasa kembung, rasa tidak enak pada epigastrium, mual, muntah, dan sebagainya.
Beberapa diagnosis diferensial yang memungkinkan adalah dyspepsia organic, seperti gastritis,
tukak lambung dan duodenum, dan sebagainya, batu empedu, NERD, dan GERD. Terapi yang
dapat diberikan pada pasien dengan dyspepsia fungsional adalah dengan menggunakan
berbagai regimen seperti proton pump inhibitor, antagonis H2 reseptor, prokinetic, dan
sebagainya. Tidak ada pengobatan pasti untuk dyspepsia fungsional dikarenakan kausal yang
sangat bervariasi. Oleh karena itu diperlukan komunikasi yang baik antara pasien dan dokter
untuk mengetahui penggunana obat terefektif pada pasien.
Kata Kunci: dyspepsia fungsional, mual, muntah, kembung, PPI, H2 reseptor, prokinetik

Abstract
Functional dyspepsia is voted the clinical symptoms are quite common. The prevalence is high
enough with is affected by various factors such as age, diet, medication, psychological, etc.
Functional Dyspepsia refers to a state of pain in epigastrium,, burning-like feeling, taste full
rapid bloating, etc. with no structural abnormality obtained at the upper digestive system. This
disorder occurs due to various factors, such as factor hormone, motility, cell boosters at the
stomach, hypersensitivity disorder nerve axis, mucosa and so on. A variety of clinical
manifestations of matter resembling dyspepsia in General, i.e. pain in the epigastrium, a sense
of burning in epigastrium bloated, taste, bad taste in the epigastrium, nausea, vomiting, and
so on. Some differential diagnosis that allows dyspepsia is organic, such as gastritis, peptic
ulcers and duodenal ulcers, etc., gallstones, NERD, and GERD. The therapy can be
administered in patients with functional dyspepsia is to use various regimens such as proton
pump inhibitors, H2 receptor antagonists, prokinetic, and so on. There is no definite treatment
for functional dyspepsia due to causal vary widely. Therefore it takes good communication
between patients and doctors to find out penggunana terefektif drugs in patients.
Keywords: functional dyspepsia, nausea, vomiting, bloating, PPI, H2 receptors, prokinetic
Pendahuluan
Kehidupan manusia adalah kehidupan yang kompleks dimana banyak faktor yang dapat
mempengaruhi kehidupan itu sendiri. Salah satu faktor yang mempengaruhi kehidupan
manusia adalah faktor dari tubuh manusia itu sendiri. seperti yang telah kita ketahui, tubuh
manusia tersusun dari bermilyar-milyar sel yang memiliki bentuk dan fungsi yang berbeda-
beda.1-3 Semua sel-sel itu akan menyusun suatu bentuk yang lebih kompleks yang dinamakan
sebagai sebuah jaringan.4 Semua jaringan itu akan membentuk suatu organ, yang pada akhirnya
semua organ itu akan saling berkolaborasi dalam suatu sistem yang sangat teliti dan terampil
dalam menjalankan proses kehidupan.4,5
Homeostasis adalah suatu istilah yang merupakan keadaan stasis dan seimbang dimana
keadaan inilah yang dapat dianggap sebagai patokan dalam menentukan apakah seseorang
dapat dikatakan sehat dan tidak. Keadaan seimbang ini dicapai dengan cara mengkolaborasikan
berbagai jenis sistem organ yang kompleks dalam tubuh manusia yang menunjang kehidupan
manusia yang bersangkutan.1-3
Sesuai dengan pengertian homeostasis pada umumnya, tentunya terdapat berbagai
faktor yang dapat mengganggu homeostasis itu sendiri, baik yang berasal dari dalam atau luar
tubuh. Salah satu seperti yang disebutkan dalam skenario adalah keluhan nyeri pada daerah ulu
hati sejak 3 hari yang lalu, Oleh karena itu, diperlukan suatu intervensi medik dalam rangka
mengembalikan keadaan tersebut ke keadaan semula, yang dalam hal ini adalah
menghilangkan rasa nyeri tersebut.
Berdasarkan skenario, yaitu seorang perempuan berusia 25 tahun mengalami nyeri pada
daerah ulu hati sejak 3 hari yang lalu. Untuk dapat mendiagnosis sesuai dengan skenario, maka
terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu anamnesis yang baik, dimana anamnesis
akan memberikan data-data yang diperlukan mengenai penyakit tersebut. Kemudian dari hasil
anamnesis tersebut kita dapat memperkirakan penyakit yang diderita pasien. Informasi yang
dapat diambil tidak hanya dari pembicaraan secara verbal saja, namun dapat pula diambil dari
aspek nonverbal, seperti gaya bicara pasien, mimic wajah, dan sebagainya. 6-7 Kemudian akan
dilakukan berbagai pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang apabila perlu yang akan
membantu memastikan diagnosis penyakit yang diderita tersebut. Oleh karena itu, penulis akan
membahas lebih dalam lagi mengenai berbagai langkah-langkah diagnosis penyakit sesuai
dengan skenario dan berbagai hal terkait.
Anamnesis
Mengumpulkan data-data dalam anamnesis biasanya ialah hal yang pertama dan sering
merupakan hal yang terpenting dari interaksi dokter dengan pasien. Dokter mengumpulkan
banyak data yang menjadi dasar dari diagnosis, dokter belajar tentang pasien sebagai manusia
dan bagaimana mereka telah mengalami gejala-gejala dan penyakit, serta mulai membina suatu
hubungan saling percaya. Anamnesis dapat diperoleh sendiri (auto-anamnesis) dan atau
pengantarnya disebut allo-anamnesis.
Ada beberapa cara untuk mencapai sasaran ini. Cobalah untuk memberikan lingkungan
yang bersifat pribadi, tenang, dan bebas dari gangguan. Dokter berada pada tempat yang dapat
diterima oleh pasien, dan pastikan bahwa pasien dalam keadaan nyaman.
Dengan anamnesis yang baik dokter dapat memperkirakan penyakit yang diderita pasien.
Anamnesis yang baik harus lengkap, rinci, dan akurat sehingga dokter bkan saja dapat
mengenali organ atau sistem apa yang terserang penyakit, tetapi kelainan yang terjadi dan
penyebabnya.
Anamnesis dilakukan dan dicatat secara sistematis. Ia harus mencakup semua hal yang
diperkirakan dapat membantu untuk menegakkan diagnosis. Ada beberapa point penting yang
perlu ditanyakan pada saat anamnesis, antara lain:
1. Identitas Pasien : Nama lengkap pasien, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, alamat,
pendidikan, pekerjaan, suku bangsa dan agama.
2. Keluhan Utama: Pasien perempuan berusia 25 tahun mengalami nyeri pada daerah ulu hati
sejak 3 hari yang lalu.
3. Riwayat Penyakit Sekarang
- Waktu dan lama keluhan berlangsung: muncul sejak 3 hari yang lalu
- Keluhan penyerta: tidak ada
4. Riwayat Penyakit Dahulu
- Menanyakan apakah pasien pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya? Cari
tahu riwayat penyakit dahulu dari kondisi medis apapun yang signifikan.
- Menanyakan pernahkah mengalami masalah nyeri dengan karakteristik yang sama
sebelumnya.
5. Riwayat Penyakit Keluarga
- Menanyakan apakah ada keluarga yang menderita penyakit yang sama dengan yang
dialami oleh pasien.
6. Riwayat Sosial dan Pribadi
- Tidak ada

Secara ringkas hasil anamnesis yang didapatkan sebagai berikut. Seorang perempuan
berusia 25 tahun datang dengan keluhan nyeri pada daerah ulu hati sejak 3 hari yang lalu.
Berdasarkan hasil anamnesis didapatkan informasi bahwa nyeri tersebut hilang timbul sejak 1
tahun yang lalu. Pada saat minum obat, gejalanya akan menghilang, tapi pada saat terlambat
makan, gejalanya muncul kembali. Tidak didapatkan penurunan berat badan. Perut kembung
positif.

Pemeriksaan Fisik
Hasil dari pemeriksaan fisik adalah sebagai berikut. Tingkat kesadaran pasien adalah
kompos mentis dengan keadaan umum sakit ringan. Terdapat nyeri tekan epigastrium. Hasil
pemeriksaan tanda-tanda vital dalam batas normal. Pada pemeriksaan laboratorium, semuanya
dalam batas normal.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan adalah dengan melakukan endoskopi
SCBA, pemeriksaan radiologi, ataupun dengan pemeriksaan laboratorium.

Diagnosis Kerja
Diagnosis kerja yang paling tepat untuk kasus ini adalah uninvestigated dyspepsia.

Diagnosis Banding
Deformitas Gejala Klinis Investigasi Banding

Dyspepsia organik Dyspepsia dengan gejala Pemeriksaan radiologi,


yang hampir sama dengan endoskopi SCBA, dan
dyspepsia fungsional, namun laboratorium.
bedanya adalah telah
diketahui penyebab dari
dyspepsia, misalnya tukak
lambung, tukak duodenum,
GERD, dan sebagainya.
Dyspepsia fungsional Kumpulan gejala seperti Pemeriksaan radiologi,
mual, kembung, cepat endoskopi SCBA, dan
kenyang, nyeri pada laboratorium.
epigastrium ataupun rasa
terbakar, namun tidak
terdapat kelainan organic
setelah berbagai
pemeriksaan.
GERD Suatu kelainan berupa tidak Endoskopi SCBA, tes
berkontraksipenuhnya LES Bernstein, manometri
(lower esophageal sphincter) esophagus.
saat dalam keadaan istirahat
sehingga terjadi reflux isi
gaster ke esophagus,
menimbulkan trias gejala
yaitu heartburn, disfagia,
dan regurgitasi.
Pankreatitis Kronik Peradangan pada pancreas Pemeriksaan kadar
yang bersifat akut, yang amilase dan lipase
ditandai dengan adanya rasa menunjukkan
nyeri hebat pada regio peningkatan, normal,
epigastrium dan dapat ataupun menurun, USG,
menyebar ke daerah CT scan, ataupun radiologi
punggung, kadang disertai konvensional.
dengan demam. Apabila hal
ini terjadi Karena sumbatan
pada ductus choledocus,
maka kemungkinan dapat
terjadi icterus. Triasnya
adalah terjadi kalsifikasi
pada pancreas, steatorea, dan
diabetes melitus.

Definisi
Dyspepsia adalah suatu kelainan pada saluran cerna bagian atas yang memberikan
gambaran gejala seperti nyeri atau rasa tidak nyaman pada epigastrium, mual, muntah,
kembung, cepat kenyang, rasa perut penuh, dan sendawa. Berdasarkan konsensus Rome II
tahun 2000, disepakati bahwa definisi dyspepsia adalah suatu kelainan yang memiliki gejala
seperti rasa sakit dan ketidaknyamanan yang berpusat pada daerah atas abdomen. Dyspepsia
ini dibagi menjdi dua golongan, yaitu dyspepsia organic dan dyspepsia fungsional.
Berdasarkan konsensus Rome III tahun 2006 yang khusus membicarakan tentang kelainan
gastrointestinal fungsional, dyspepsia fungsional didefinisikan sebagai: 1) adanya satu atau
lebih gejala keluhan rasa penuh setelah makan, cepat kenyang, nyeri ulu hati ataupun rasa
terbakar pada daerah ulu hati. 2) tidak adanya bukti kelainan structural (termasuk pemeriksaan
endoskopi SCBA yang dapat menerangkan kelainan structural tersebut. 3) keluhan ini terjadi
selama 3 bulan dalam waktu 6 bulan terakhir sebelum diagnosis ditegakkan.6-8
Dispepsia fungsional dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan kriteria Rome III 2006,
yaitu post prandial distress syndrome, dimana pasien merasa penuh setelah makan dalam porsi
biasanya, atau rasa cepat kenyang sehingga tidak bias menghabiskan porsi makanan regular,
dan yang kedua adalah epigastric pain syndrome dimana pasien mengeluh rasa nyeri dan
terbakar, hilang timbul, dan berpusat di daerah epigastrium. Rasa nyeri ini terbatas pada daerah
epigastrium dan tidak terdapat pada lokasi lainnya.6,7
Etiologi
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, dyspepsia fungsional adalah suatu kumpulan
gejala seperti rasa penuh setelah makan, rasa kembung, atapun rasa terbakar pada daerah
epigastrium atau rasa nyeri pada epigastrium dengan onset minimal 3 bulan dalam 6 bulan
terakhir. Kriteria selanjutnya yang harus dipenuhi adalah tidak terdapatnya kelainan structural
pada pemeriksaan endoskopi SCBA, radiologi, ataupun pemeriksaan laboratorium, yang
mengindikasikan terdapat suatu kelainan yang etiologinya belum diketahui atau yang biasa
disebut sebagai dyspepsia fungsional.6

Anatomi dan Fisiologi Saluran Cerna Bagian Atas


Saluran cerna bagian atas tersusun atas mulut, orofaring, esofagus, dan lambung. Mulut
adalah rongga tempat makanan masuk untuk pertama kalinya dan pada mulut terdapat berbagai
struktur yang dapat menunjang system pencernaan. Mulai dari gigi, dimana gigi adalah suatu
struktur keras yang tersusun terutama oleh kalsium yang berfungsi untuk menghancurkan
makanan sampai struktur makanan tersebut menjadi cukup lunak untuk masuk ke dalam system
pencernaan. Dibantu oleh gerakan lidah yang volunteer, makanan tersebut diaduk dan
dicampur dengan saliva yang berasal dari 3 kelenjar saliva utama, yaitu glandula parotis,
glandula submandibularis, dan glandula sublingualis. Glandula parotis akan mengeluarkan
saliva yang melewati ductus salivarius stenoniasus sampai ke papilla salivaria buccinatoria
setinggi gigi molar 2 atas. Sedangkan kelenjar sublingualis dan submandibularis akan bermuara
di caruncula sublingualis yang terletak di bawah lidah.11,12
Untuk sistem perdarahannya, rongga mulut diperdarahi terutama dari cabang-cabang
A. lingualis, A. maxillaris, dan A. facialis. Untuk sistem persarafan, dimana rongga mulut
dipersarafi oleh N V, N VII, dan N XII. Struktur rongga mulut secara anatomis diperlihatkan
pada Gambar 1.11

Gambar 1. Rongga Mulut11


Struktur kedua adalah orofaring. Orofaring adalah daerah dibelakang lidah yang
berbatas atas pada daerah nasofaring, dan berbatas bawah pada setinggi epiglottis. Daerah
orofaring hanya berfungsi sebagai transit makanan dari mulut sampai ke daerah esofagus. Otot
pada daerah ini bersifat volunteer dimana otot-otot seperti M constrictor pharingis superior,
media, dan inferior, serta M. cricopharyngeus akan berkontraksi secara volunter ataupun
involunter karena regangan yang memicu kontraksi sehingga makanan tertelan. Saat menelan,
epiglottis dan tulang laring akan terangkat ke atas sehingga makanan dicegah masuk ke saluran
napas, dan masuk ke esofagus.11
Struktur ketiga adalah esofagus. Esofagus adalah suatu saluran berotot yang
menghubungkan orofaring ke lambung. Esofagus dibagi menjadi 2 bagian, yaitu pars cervicalis
(segmen C6-C7) dan pars thoracalis (Th1-Th10).11,12 Esofagus 1/3 bagian atas, dipersarafi oleh
saraf kranial X (vagus) dan bersifat volunter serta tersusun dari otot lurik. Teraktivasinya otot
esofagus 1/3 bagian atas, dipicu oleh regangan spontan oleh makanan yang melewatinya
ataupun oleh karena rangsangan motoric volunteer dari otak. 1/3 bagian tengah esofagus,
dipersarafi oleh saraf volunter dan involunter secara bersama-sama yang merupakan transit
otonom dan volunter otot-otot yang berada di lokasi tersebut. 1/3 bagian bawah esofagus,
dipersarafi oleh plexus mienterikus yang teraktifkan oleh regangan oleh makanan dan bersifat
involunter. Otot yang terdapat pada lokasi inipun sudah berbeda, yaitu otot polos dengan tonus
otot yang rendah kontinu yang mempertahankan kontraksi esofagus pada intensitas yang
rendah.11-13 Posisi anatomis esofagus dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Struktur Anatomis Esofagus11


Struktur selanjutnya adalah lambung. Sebelum memasuki lambung, makanan harus
melewati LES atau katup esofagus bawah yang berfungsi sebagai “pintu penjaga” makanan
yang akan masuk ke lambung. Struktur ini memiliki peranan penting, karena berfungsi sebagai
barrier utama esofagus dari zat asam di lambung yang dapat mengiritasi esofagus. Gaster,
adalah suatu struktur berongga yang merupakan tempat pencernaan makanan selanjutnya
setelah transit di esofagus. Lambung memiliki berbagai enzim yang dihasilkan, seperti pepsin,
renin, dan berbagai enzim lainnya yang berfungsi untuk menguraikan zat yang terdapat dalam
makanan. Kandungan asam lambung yang tinggi pun berfungsi untuk menguraikan lemak dan
mendenaturasi protein dalam makanan disamping fungsi utamanya adalah untuk mencegah
pertumbuhan bakteri dan mikroba pathogen lainnya. Struktur anatomis gaster, dimana gaster
adalah suatu organ yang terletak di rongga abdomen sebelah kiri. Gaster tersusun dari tiga lapis
otot, yaitu oblik, sirkular, dan longitudinal. Sistem pendarahan gaster didapatkan dari A.
gastrica sinistra yang berasal dari trikus haleri, juga dari A. gastrica dekstra yang berasal dari
A. hepatica communis, juga dari A.gastroepiploica sinistra dan A. gastrica brevis yang berasal
dari A. lienalis, dan yang terakhir adalah A. gastroepiploica dekstra yang berasal dari
A.gastroduodenale.6-13

Gambar 3. Struktur Anatomis Gaster11


Gambar 4. Sistem Vaskularisasi Gaster11

Epidemiologi
Prevalensi untuk dyspepsia fungsional sangat bervariasi, tergantung dari sudut pandang
mana prevalensi tersebut dinilai. Dengan menggunakan studi “upper abdominal pain” sebagai
dasarnya, maka prevalensi dari uninvestigated dyspepsia berkisar dari 7 sampai 42 %.11
Dispepsia sendiri, apabila dilihat dari definisi “upper gastrointestinal symptoms” berkisar
antara 23 - 45 % kasus.14,15
Beberapa factor yang dapat mempengaruhi dyspepsia sangat bervariasi, mulai dari usia,
gender, etnis, infeksi, makanan, merokok, alcohol, penggunaan NSAID, factor social ekonomi,
factor psikologik, dan kualitas hidup pasien.15
Salah satu factor terpenting adalah factor diet. Makanan yang dikonsumsi sangat
berpengaruh, seperti makanan-makanan peningkat kadar asam lambung, seperti teh, kopi, dan
sebagainya. Makanan pedas dan makanan yang “prepared outside” juga telah diteliti dan
berkontribusi dalam peningkatan gejala dyspepsia.15
Factor penting lainnya adalah penggunaan obat-obatan yang dapat merangsang asam
lambung, seperti aspirin dan NSAID. Mekanisme kerja kedua obat ini yang menghambat
sekresi prostaglandin, dapat menyebabkan penurunan efek sitoprotektif lambung.15

Patogenesis dan Patofisiologi


Pathogenesis dan patofisiologi dyspepsia fungsional masih belum dipahami. Namun,
terdapat hipotesis yang paling mungkin berperan dalam kasus ini adalah terjadinya perubahan
sensitivitas visceral sebagai salah satu factor fisiologis.14
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya lambung adalah suatu organ muscular yang
berfungsi sebagai penampung makanan yang dimakan. Terdapat dua mekanisme, yaitu respons
relaksasi reseptif dan respon akomodasi. Kedua respons ini diperantarai oleh N. vagus. Sekilas
mengenai kedua respon ini, adalah respon yang menyebabkan lambung semakin melakukan
relaksasi sehingga struktur rugae menjadi semakin landau dan pada akhirnya mendatar pada
saat lambung terisi maksimal. Hal ini tentunya sangat menguntungkan karena lambung
berfungsi sebagai penyimpan makanan, disamping makanan tersebut juga dicerna, terutama
pada bagian distal. Apabila lambung telah terisi penuh tetapi masih terus diisi, maka akan
terjadi peningkatan tekanan intralambung, dimana akan terjadi eksitasi reseptor pada lambung,
menyebabkan respon tubuh untuk mengeluarkan sebagian makanan yang diartikan sebagai
perasaan mual.14
Aktivitas motoric, sensorik dan sekresi pada seluruh sistem gastrointestinal bekerja
sebagai hasil dari interaksi sistem saraf pusat, saraf otonom, dan sistem saraf enteric yang
bekerja sebagai suatu axis. Hipotesis lain menunjukkan adanya ketidakseimbangan axis ini
menyebabkan terjadinya gejala dyspepsia fungsional. Penelitian yang banyak dilakukan
menunjukkan adanya hubungan stress dan emosi yang memicu perubahan pada sistem saraf
pusat yang dapat mempengaruhi kinerja saluran cerna bagian atas dan menyebabkan timbulnya
kelainan non-organik seperti dyspepsia fungsional.14
Terjadinya perubahan pada respon relaksasi reseptif dan respon akomodasi didapatkan
pada pasien pasca vagotomi, memicu berbagai kelainan gastrointestinal bagian atas, seperti
dyspepsia fungsional, achalasia, dan GERD. Hal ini dapat terjadi oleh karena penghilangan
rangsangan vagus, dapat menyebabkan penurunan sekresi asam lambung, dan penurunan
koordinasi dalam pencernaan makanan, menyebabkan ketidakseimbangan. Hal ini tentunya
merupakan efek samping dari vagotomy yang tidak diharapkan. Hal ini menunjukkan adanya
hubungan antara dyspepsia fungsional dengan N. vagus.14
Penurunan motilitas pada antrum dan pengosongan lambung diartikan sebagai suatu
kelainan motilitas dan tidak terkoordinasinya antrum, pylorus, dan duodenum proksimal yang
menyebabkan perubahan pada timing pengosongan lambung. Makanan yang akan masuk ke
duodenum harus dihaluskan terlebih dahulu khususnya pada daerah antrum dan pylorus
sehingga menjadi cukup halus untuk masuk ke duodenum. Apabila terjadi gangguan pada
koordinasi pengosongan lambung, maka hal ini akan menyebabkan terjadinya “rasa penuh
setelah makan” yang muncul pada salah satu tipe dyspepsia fungsional yaitu postprandial
distress syndrome. Telah dibuktikan bahwa 78% pasien dengan dyspepsia fungsional memiliki
keterlambatan pengosongan lambung.6,14

Kelainan pada ritme sel pemacu peristaltic dan retropulsi pada lambung juga
berkontribusi pada kelainan ini. Sebagai catatan, bahwa terdapat sel pemacu Cajal pada daerah
fundus lambung yang akan tereksitasi menggunakan potensial gelombang lambat dengan
frekuensi 3 kali per menit. Gelombang ini akan mengeksitasi otot lambung secara berurutan
mulai dari fundus, korpus, antrum, dan pilorius. Bergantung dari ketebalan ototnya, maka
antrum akan menghasilkan kontraksi terkuat pada lambung karena memiliki serat otot
terbanyak pada lambung. Sel pemacu Cajal yang memiliki kelainan akan menghasilkan
gelombang pemacu yang tidak bersinkronisasi, sehingga makanan yang dihancurkan oleh
kontraksi antrum menjadi lebih sedikit. Kelainan seperti ini dapat dilihat dengan menggunakan
kurva gammagrafik pada pasien dyspepsia. Akibatnya, makanan yang masuk ke duodenum
akan menjadi lebih sedikit, dan tertahan di lambung. Hal ini juga tentunya akan berkontribusi
pada peningkatan tekanan intralambung yang menyebabkan rasa mual pada dyspepsia
fungsional.14

Selain kelainan yang telah disebutkan diatas, juga terdapat kelainan persepsi sensorik,
yaitu hipersensitivitas terhadap distensi visceral yang biasanya dikaitkan dengan perasaan nyeri
pada epigastrium, bersendawa, dan penurunan berat badan. Hal ini merupakan sesuatu yang
sesuai dengan pasien dyspepsia fungsional, dimana yang terjadi sebenarnya adalah penurunan
ambang sensitivitas visceral pada pasien dyspepsia fungsional, sehingga menyebabkan
kelainan pada pada sensorik dan motoric, yang diartikan sebagai nyeri pada epigastrium.14

Sebuah penelitian pada pasien dengan hipersensitivitas visceral yang stimulusnya


bukan karena peregangan berlebih memberikan hasil bahwa masukkan asam berlebih ke
duodenum pada pasien dyspepsia akan menyebabkan peningkatan sensitivitas pada gaster
terhadap peregangan sehingga menyebabkan gangguan pada respon relaksasi reseptif dan
akomodasi sehingga menyebabkan rasa mual dan nyeri pada epigastrium pada pasien dyspepsia
fungsional.14

Seperti yang telah dikatakan sebelumnya, bahwa stress dan emosi juga dapat
menyebabkan gangguan pada sistem GI tract bagian atas yang memicu dyspepsia fungsional.
Hal ini disebabkan karena emosi dan kecemasan memodifikasi persepsi sensoris pada pasien
melalui proses abnormal stimulus nosiseptif ke sistem saraf pusat dan mencapai saluran cerna
bagian atas melalui saraf vagus. Oleh karena itu hal ini disebut sebagai “stress release center”.6

Gangguan hormonal juga merupakan salah satu hipotesis terjadinya dyspepsia


fungsional. Salah satu hormone, yaitu motilin, yang disekresikan oleh sel M pada mukosa
duodenum dan jejunum, merangsang motilitas gaster dan meningkatkan aktivitas motoric
lambung. Gangguan pada hormone ini dapat menyebabkan gangguan seperti dyspepsia
fungsional.14

Sebagai konklusi, dyspepsia fungsional diartikan sebagai suatu gangguan pada saluran
cerna bagian atas, yang terjadi oleh karena gangguan motilitas dan persepsi sensorik serta tidak
ditemukannya gangguan organic seperti ulkus, erosi, infeksi, ataupun penyakit metabolic dan
sistemik lainnya yang dapat menjelaskan dyspepsia. Kelainan mencakup kelainan koordinasi
otak, sistem saraf enteric dan otonom, gangguan motilitas dan kontraktilitas pada lambung,
hipomotilitas antrum, gangguan ritme kontraksi lambung, ataupun kelainan persepsi sensorik
seperti hipersensitivitas terhadap regangan ataupun non-regangan, dan proses abnormal
stimulus nosiseptif.6,14
Gambar 5. Skema Patofisiologi Terjadinya Dyspepsia Fungsional15

Manifestasi Klinis
Berdasarkan uraian sebelumnya, jelas bahwa terdapat banyak penyebab terjadinya
dyspepsia fungsional. Oleh akrena itu gejala-gejala yang timbul oleh karena ketidaksesuaian
salah satu factor hipotesis yang telah disebtkan sebelumnya menyebabkan gejala yang
bervariasi pula. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengelompokan terhadap disepsia fungsional
untuk mempermudah terapi dan tatalaksana.6

Penunjang Diagnostik
Pada dasarnya, penunjang diagnostic berfungsi untuk menyingkirkan gangguan organic
atau kimiawi. Pemeriksaan laboratorium (gula darah, fungsi tiroid, fungsi pancreas dan
sebagainya), radiologi (barium meal, USG, endoskopi ultrasonografi) dan endoskopi
merupakan langkah yang paling penting untuk mengeksklusi penyebab organic atau
biokimiawi. Untuk menilai patofisiologinya, dlam rangka mencari terapi kausatif, berbagai
pemeriksaan dapat dilakukan, namun masih merupakan kontroversi, misalnya pemeriksan pH-
metri untuk menilai sekresi lambung, manometri untuk menilai adanya gangguan fase III
Migrating Motor Complex elektrogastrografi, dan sebagainya.6
Apabila diagnosis utama sebelum menentukan bahwa kasus ini adalah dyspepsia
fungsional, maka kasus ini dinamakan uninvestigated dyspepsia. Algoritma penatalaksanaan
pertama untuk kasus ini adalah sebagai berikut.

Gambar 6. Algoritma Tatalaksana Uninvestigated Dyspepsia


Sumber: http://s3.gi.org/physicians/guidelines/dyspepsia.pdf

Diagnosis Diferensial
Diagnosis deferensial untuk kasus dyspepsia fungsional adalah dyspepsia organic
dengan berbagai kausal, seperti gastritis, tukak lambung, duodenum dan GERD. Semua
gangguan ini memiliki berbagai gejala yang mirip dengan dyspepsia fungsional.

Yang pertama adalah gastritis. Definisi gastritis adalah proses inflamasi pada mukosa
dan submukosa lambung. Infeksi kuman Helicobacter pylori dan OAINS merupakan kausa
gastritis yang sangat penting. Gastritis dibagi menjadi dua berdasarkan lama perjalanan
penyakitnya, yaitu gastritis akut dan kronik. Gastritis akut ditandai dengan adanya peradangan
mukosa lambung yang bias bersifat erosive dan non erosive. Beberapa factor penyebab
terjadinya gastritis adalah penggunaan NSAID, alcohol, kokain, dan lain-lain. Penyebab lain
terjadinya gastritis akut adalah adanya infeksi H. pylori.6 Bakteri ini akan menembus mukosa
protektif lambung, dan merusak lapisan tersebut sehingga timbul kontak antar epitel lambung
dan menyebabkan kerusakan mukosa lambung. Apabila terjadi erosi terus-menerus dapat
menyebabkan pembuluh darah rupture dan menyebabkan hematemesis pada gastritis akut.
Penyebab lainnya adalah adanya stress berat pada organ yang memicu terjadinya “stress
associated gastritis”. Stress disini merujuk kepada stress organ seperti yang terjadi pada shock,
sepsis, multiple organ failure, trauma hebat, dan sebagainya. Hal ini dapat terjadi dikarenakan
aliran darah pada daerah gaster akan menurun pada saat stress dan menyebabkan keadaan
iskemia pada jaringan sekaligus penurunan pertahanan mukosa lambung oleh karena asam
lambung, walaupun asam lambung itu sendiri menurun pada saat terjadinya stress organ.16

Perjalanan alamiah gastritis kronik akibat infeksi kuman Helicobacter pylori secara
garis besar dibagi menjadi gastritis kronik non atropi predominasi antrum dan gastritis kronik
atropi multifokal. Ciri khas gastritis kronik non atropi predominasi antrum adalah inflamasi
moderat sampai berat mukosa antrum, sedangkan inflamasi di korpus ringan atau tidak sama
sekali. Antrum tidak mengalami atropi atau metaplasia. Pasien-pasien seperti ini biasanya
asimptomatis, tetapi mempunyai resiko menjadi tukak duodenum. Gastritis kronik atrofi
multifokal mempunyai ciri-ciri khusus sebagai berikut : terjadi inflamasi pada hampir seluruh
mukosa, seringkali sangat berat berupa atropi atau metaplasia setempat-setempat pada daerah
antrum dan korpus. Gastritis kronik atropi multifokal merupakan faktor resiko terpenting
displasia epitel mukosa dan karsinoma gaster. Infeksi Helicobacter pylori juga sering
dihubungkan dengan limfoma MALT. Gastritis kronik atrofi predominasi korpus atau sering
disebut gastritis kronik autoimun setelah beberapa dekade kemudian akan dikuti anemia
pernisiosa dan defisiensi besi.6

Kebanyakan gastritis tanpa gejala. Mereka yang mempunyai keluhan biasanya berupa
keluhan yang tidak khas. Keluhan yang sering dihubung-hubungkan dengan gastritis adalah
nyeri panas dan pedih di ulu hati disertai mual kadang-kadang sampai muntah. Keluhan-
keluhan tersebut sebenarnya tidak berkorelasi baik dengan gastritis. Keluhan-keluhan tersebut
juga tidak dapat digunakan sebagai alat evaluasi keberhasilan pengobatan. Pemeriksaan fisik
juga tidak dapat memberikan informasi yang dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan endoskopi dan histopatologi. Sebaiknya biopsi
dilakukan dengan sistematis sesuai dengan update Sydney System yang mengharuskan
mencantumkan topografi. Gambaran endoskopi yang dapat dijumpai adalah eritema, eksudatif,
flat-erosion, raised erosion, perdarahan, edematous rugae. Perubahan-perubahan histopatologi
selain menggambarkan perubahan morfologi sering juga dapat menggambarkan proses yang
mendasari, misalnya autoimun atau respon adaptif mukosa lambung. Perubahan – perubahan
yang terjadi berupa degradasi epitel, hyperplasia foveolar, infiltrasi neutrofil, inflamsai sel
mononuklear, folikel limpoid, atropi, intestinal metaplasia, hyperplasia sel endokrin, kerusakan
sel parietal. Pemeriksaan histopatologi sebaiknya juga menyertakan pemeriksaan kuman
Helicobacter pylori.6 Cara menyingkirkan gastritis dari diagnosis kerja adalah dengan
melakukan endoskopi ataupun melakukan pemeriksaan khusus terhadap kemungkinan adanya
H. pylori dengan menggunakan Urea Breath Test serta memeriksa antibody secara serologic
untuk mengkonfirmasi. Untuk gastritis yang terkait stress, maka anamnesis dan pemeriksaan
fisik yang baik serta pengamatan yang baik akan membantu menyingkirkan diagnosis ini.
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, stress yang dimaksud adalah syok, sepsis, multiple
organ failure, dan sebagainya.16(lihat Gambar 7)

Gambar 7. Gastritis Akut pada Endoskopi


Sumber: http://www.medscape.com/viewarticle/407966_4

Diagnosis diferensial kedua adalah tukak lambung dan duodenum. Tukak atau yang
biasa disebut sebagai ulcer adalah terbentuknya ulkus pada dinding gaster atau duodenum
sebagai hasil dari terpaparnya enzim pepsin dan asam lambung pada mukosa. Terbentuknya
ulkus ini akan memberikan gambaran gejala pada pasien seperti rasa nyeri pada daerah
epigastrium segera setelah makan atau sampai 2-3 jam setelah makan. Gastritis yang
berkepanjangan akan menyebabkan terbentuknya ulkus karena terjadi erosi yang terus-
menerus. Kemudian, pada tukak lambung, asam lambung yang berkontak pada sel epitel akan
mengerosi sel epitel tersebut, dan dapat menyebabkan perdarahan. Perdarahan tersebut juga
merupakan hasil dari erosi sekaligus berfungsi sebagai protector tambahan dinding lambung,
karena darah mengandung ion bikarbonat, terutama pada daerah sekitar lambung yang
menerima ion bikarbonat dari hasil pompa ion, akan membantu menetralkan asam lambung.
Sebagai hasilnya, akan ditemukan hematemesis pada pasien tersebut. Prostaglandin juga
berfungsi sebagai salah satu proteksi pada dinding lambung, karena prostaglandin
meningkatkan sekresi bikarbonat dan mukus ke dinding epitel sebagai lini pertama pertahanan
mukosa lambung, sekaligus menurunkan produksi H+ sehingga membantu melindungi dinding
gaster.17
Berbeda dengan tukak duodenum, biasanya terjadi oleh akrena sekresi bikarbonat
mukosa duodenum yang tidak seimbang. Peningkatan sekresi asam lambung yang masuk ke
duodenum dengan penurunan sekresi bikarbonat di duodenum berkontribusi menyebabkan
ulkus duodenum. Beberapa factor yang ikut mempengaruhi adalah infeksi H. pylori, NSAID,
gaya hidup, stress psikologik, dan beberapa penyakit lain yang menurunkan proteksi
duodenum.6,9,17 Cara menyingkirkan diagnosis ini adalah dengan menggunakan
esofagogastroduodenoskopi untuk melihat adanya tukak atau ulkus pada gaster dan duodenum,
oleh karena gejalanya sangat mirip dengan gastritis.17-19 (lihat Gambar 8 dan 9)

Gambar 8. Tukak Lambung17


Gambar 9. Tukak Duodenum pada Pasien yang Mengonsumsi NSAID
Berkepanjangan17
Diferensial diagnosis selanjutnya adalah GERD. GERD adalah suatu gangguan yang
terjadi oleh karena refluxnya isi lambung ke dalam esofagus yang juga dikarenakan
melemahnya tonus sfingter esofagus bawah. Sfingter ini normalnya dalam kontraksi penuh
dalam keadaan istirahat untuk mencegah refluks. Refluks tersebut menyebabkan esofagus
“dibasahi” dengan asam lambung, menyebabkan terjadinya iritasi pada mukosa esofagus,
memberikan gejala khas, yaitu heartburn. Trias gejala GERD adalah terjadinya regurgitasi,
disfagia, dan terjadinya sensasi heartburn. Pemeriksaan yang bisa dilakukan adalah dengan
melakukan endoskopi untuk melihat struktur esofagus yang diduga mengalami masalah,
manometri dan pemeriksaan pH esofagus selama 24 jam untuk melihat kadar asam di
esofagus.18(lihat Gambar 10)

Gambar 10. Erosi Esofagus pada Penderita GERD


Sumber: http://emedicine.medscape.com/article/176595-workup#c12
Diagnosis diferensial terakhir adalah colelitiasis atau batu empedu. Gejalanya mirip
dengan dyspepsia, yaitu nyeri pada daerah epigatrium, atau kuadran kanan atas, kadang-kadang
terdapat nyeri posprandial, dan gejala-gejala lain yang mirip seperti dyspepsia pada umumnya.
Untuk menyingkirkan diagnosis ini, maka dilakukan beberapa pemeriksaan, yaitu CBC,
dengan leukositosis dengan neutrofilia, ataupun dengan radiografi untuk melihat adanya batu
empedu dengan gambaran radioopak apaila batunya adalah batu kalsium karbonat, dan
sebagainya.20 (lihat Gambar 11)

Gambar 11. Colelithiasis20

Terapi
Berdasarkan uraian sebelumnya, dikarenakan etiopatogenesis dan patofisiologinya
yang sangat bervariasi, menyebabkan kesulitan dalam terapi dyspepsia fungsional. Hal ini
tentunya akan lebih mudah apabila etiologic penyakit diketahui dengan jelas. Oleh akrena itu
diperlukan anamnesis yang baik dan komunikasi yang baik dengan pasien untuk mengetahui
lebih jauh tentang apa yang dialami pasien tersebut. Dikarenakan penyakit ini bersifat kronik,
maka pasien tentunya sudah mencoba berbagai obat-obatan dan mendapatkan hasil tertentu
yang kemudian secara tidak langsung harus diketahui dokter. Ini akan membantu dokter dalam
memberikan terapi berdasarkan pengalaman pasien. Nasihat untuk menghindari makanan
tertentu yang mencetuskan gejala juga diberikan. Beberapa obat yang dianjurkan untuk
mengobati dyspepsia fungsional adalah sebagai berikut.6
Obat golongan pertama adalah antasida. Dengan adanya keluhan nyeri pada daerah
epigastrium dan adanya nyeri pada ulu hati, kemungkinan besar adalah karena sekresi lambung
yang sedikit berlebih ataupun karena peningkatan sensitivitas mukosa terhadap asam lambung.
Oleh karena itu dapat diberikan terapi antasida sebagai terapi. Namun berdasarkan penelitian,
obat ini tidak lebih unggul dibandingkan dengan placebo. Salah satu contoh obatnya adalah
Al(OH)2 atau aluminium hidroksida yang secara langsung menetralkan asam lambung untuk
meringankan gejala pasien dyspepsia fungsional yang kausanya adalah hipersensitivitas
terhadap asam lambung ataupun karena peningkatan sekresi asam lambung karena gangguan
hormonal atau saraf.6
Obat golongan kedua adalah antagonis reseptor H2. Berdasarkan mekanisme kerja obat
ini, yaitu sebagai inhibitor kompetitif reseptor histamin, dapat menurunkan sekresi asam
lambung oleh karena rangsangan histamin. Berdasarkan penelitian, obat golongan ini dapat
menurunkan gejala nyeri pada ulu hati, tapi tidak gejala lainnya. Obat golongan ini, yaitu
simetidin, ranitidine, famotidine, dan nizatidine juga efektif untuk menurunkan sekresi asam
lambung pada malam hari. Hal ini dikarenakan sekresi lambung pada malam hari banyak
dipengaruhi oleh histamin yang dapat dihambat menggunakan obat golongan ini.6

Obat golongan ketiga adalah PPI (proton pump inhibitor). Berdasarkan mekanisme
kerja obat ini, yaitu untuk menghambat pompa proton atau H+ yang berefek pada penurunan
asam lambung, memiliki efektivitas yang lebih superior dari placebo. Namun, sama seperti
antagonis H2, obat golongan PPI juga hanya untuk dyspepsia fungsional et causa
hipersensitivitas terhadap asam lambung dan peningkatan sekresi asam lambung, dan tidak
terlalu menimbulkan efek terapi pada kausal lainnya.6

Obat golongan keempat adalah obat golonga prokinetic. Obat golongan ini dapat
meningkatkan peristaltic melalui jalur rangsangan reseptor serotonin, asetilkolin, dopamine,
dan motilin. Beberapa yang digunakan adalah domperidone dan metoclopramide.
Metoclopramide adalah suatu antagonis reseptor D2 dan antagonis reseptor 5-HT3 tetapi
memiliki efek samping ekstrapiramidal seperti dystonia dan tardive dyskinesia. Domperidone
juga merupakan antagonis reseptor D2 yang tidak melewati sawar darah otak sehingga efek
samping ekstrapiramidal tidak ada. Agonis motilin, yaitu eritromisin, bekerja sebagai agonis
motilin yang meningkatkan motilitas lambung melalui jalur hormone motilin.6

Prognosis
Dyspepsia fungsional yang ditegakkan setelah pemeriksaan klinis dan penunjang yang
akurat, mempunyai prognosis yang baik apabila diterapi sesuai dengan kausalnya. Karena
kausal penyakit ini sangat bervariasi dan bersifat kronik, maka perlu dilakukan komunikasi
yang baik dengan pasien sehingga dokter tahu efek terbaik penggunaan obat pada pasien dan
dapat memperkirakan kausal dyspepsia fungsional pasiennya sehingga memberikan efek terapi
yang baik dan tepat sasaran.

Kesimpulan
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang maka
pasien didiagnosis dengan dyspepsia fungsional karena tidak didapatkan kelainan structural
pada pasien tersebut.
Daftar Pustaka
1. Ramadhani D, Ong HO, editors. Fisiologi manusia: Dari sel ke sistem. 8th ed.
Diterjemahkan dari: Sherwood L. Introduction to human physiology. 8th ed. Jakarta: EGC;
2012. P. 4-6. P.326-38.
2. Albert B, Johnson A, Lewis J, Morgan D, Raff M, Robert K, et al. Molecular biology of
the cell. 6th ed. New York: Garland Science; 2015. P. 1-4, 963-6.
3. Goodman SR. Medical cell biology. 3rd ed. California: Elsevier; 2012. P. 1-6.
4. Clark DP, Pazdernik NJ. Molecular biology. 2nd ed. Oxford: Elsevier; 2013. P. 3-9.
5. Karp G. Cell and molecular biology. Concepts and experiments. Oxford. P. 19.
6. Djojoningrat D. Dispepsia fungsional. Diambil dari: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 6th
ed. Jakarta: Interna Publishing; 2015.
7. Tack J, Masaoka T, Janssen P. Functional dyspepsia. Curr Opin Gastroenterol. 2011; 27(6):
549-57.
8. Randal CW, Zaga-Galante J, Vergara-Suarez A. Non-ulcer dyspepsia: A review of the
pathophysiology, evaluation, and current management strategies. Intern Med. 2014.
9. Hasler WL. Nausea, vomiting, and indigestion. From: Harrison’s principal of internal
medicine. 19th ed. USA: Mc Graw-Hill; 2015.
10. Functional dyspepsia/ downloaded from: http://www.aafp.org/afp/2004/0701/p107.html
11. Netter FH. Atlas of human anatomy. 6th ed. Philadelphia: Saunders; 2014
12. Paulsen F, Washcke J. Sobotta, General Anatomy and Musculoskeletal System. 23rd ed.
Munchen: EGC; 2010.
13. Sherwood L. Human Physiology; From Cells to Systems. 9th ed. Boston: Cengage
Learning; 2016.
14. Kumar A, Patel J, Sawant P. Epidemiology of functional dyspepsia. Supplement to JAPI.
2012 Mar; 60: 9-12.
15. Bestene JA. Visceral sensitivity and functional dyspepsia: or much more than this?. Rev
Col Gastroenterol. 2012; 25(3). Downloaded from:
http://www.scielo.unal.edu.co/scielo.php?script=sci_arttext&pid=S0120-
99572010000300014&lng=pt&nrm=&tlng=en.
16. Clarke RC. Stress-induced gastritis. Downloaded from:
http://emedicine.medscape.com/article/176319-overview#a5.
17. Anand BS. Peptic ulcer disease. Downloaded from:
http://emedicine.medscape.com/article/181753-overview#a6.
18. DR SUSANA
19. Chen MY. David J. Clark HP. Gelfand DW. Gastritis: classification, pathology, and
radiology. Downloaded from: http://www.medscape.com/viewarticle/410726_2
20. Heuman DM. gallstones (Cholelithiasis). Downloaded from:
http://emedicine.medscape.com/article/175667-workup#c10

Anda mungkin juga menyukai