Anda di halaman 1dari 8

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

PENGARUH CARA PEMBERIAN TERHADAP MULA KERJA OBAT

Kelompok: III

Nama:

Kemas Bramantya 021811133112 Anindita Aisyah P. 021811133118


Afrida Fania R. 021811133113 Agnes Nathania U. 021811133119
Annisa Sabrina I. 021811133114 Richard Kevin S. 021811133120
Yassir Ahmad A. 021811133115 Manuel Raynaldy S. 021811133121
Catya Kinanti N. 021811133116 Marselina Sesaria P. 021811133122
Rasendriya C. 021811133117

DEPARTEMEN BIOLOGI ORAL


FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2019
1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Pada umumnya, sebagian besar penyakit seringkali menimbulkan rasa nyeri.
Walaupun nyeri ini sering berfungsi untuk mengingatkan dan melindungi serta
memudahkan diagnosis, namun pasien merasakannya sebagai hal yang tidak
mengenakkan dan bahkan menyiksa, sehingga berusaha untuk bebas darinya (Mutschler,
1991).

Rasa nyeri kerap kali membuat orang merasa tidak nyaman, tersiksa. Rangsangan
yang dapat menimbulkan nyeri meliputi rangsangan mekanis, kimiawi, dan fisika (listrik
dan kalor). Rangsangan tersebut menimbulkan kerusakan pada jaringan dan melepaskan
zat-zat tertentu (mediator-mediator nyeri) seperti prostaglandin, bradikinin, serotonin,
leukotrien, dan histamin. Mediator–mediator nyeri tersebut dilepas dari sel-sel yang rusak
(Tan & Rahardja, 2008).

Berbagai cara digunakan untuk mengurangi rasa nyeri tersebut, salah satunya dengan
pemberian obat yang berkhasiat sebagai analgesik. Analgesik merupakan kelompok obat
yang memiliki aktivitas menekan atau mengurangi rasa nyeri tanpa mempengaruhi
kesadaran. Pengaruh kerja obat analgesik tergantung dari cara pemberian obat tersebut.
Pada penelitian ini akan dilakukan percobaan membandingkan hasil dari efek kerja obat
Analgesik dengan cara per-oral dan cara injeksi.
Hewan coba yang digunakan adalah mencit (Mus musculus) galur Swiss Webster
karena memiliki beberapa keuntungan yaitu, lebih ekonomis, ukuran kecil, dan dasar
fisiologisnya mendekati manusia yaitu sama-sama mamalia.

1.2 Tujuan
1. Mengetahui cara pemberian obat (per-oral, parenteral)
2. Membandingkan mula kerja obat antara pemberian per-os parenteral
3. Menjelaskan perbedaan yang terjadi antara beberapa cara pemberian obat

1
2. CARA KERJA
1. Pada percobaan ini digunakan dua mencit sebagai hewan coba.
2. Mencit pertama (merah) diberi Diazepam dengan cara per-oral.

Gambar ... Pemberian obat secara per-oral.

3. Mencit kedua (hitam) diberi Diazepam dengan cara intra-peritoneal.

Gambar ... Pemberian obat secara intra-peritoneal.

4. Catat waktu pemberian obat dan amati efek obat yang terjadi pada kedua mencit
tersebut.

2
3. HASIL PRAKTIKUM

No. Keterangan Sedatif Hipnotik


1. Mencit yang diberi Diazepam per-oral 3 menit -
2. Mencit yang diberi Diazepam intra-peritoneal 2 menit 11 menit

Penjelasan:
Mencit yang diberi Diazepam secara peroral mencapai fase sedatif pada menit ke-3
setelah diberi obat. Namun, hingga praktikum selesai mencit tidak menunjukkan tanda-tanda
hipnotik. Mencit yang diberi diazepam secara parenteral mencapai fase sedatif pada menit ke-
2 setelah diberi obat dan mencapai fase hipnotik pada menit ke-11.
Dari kedua hasil tersebut, diketahui bahwa mencit yang diberi Diazepam secara
parenteral lebih cepat mengabsorbsi obat daripada mencit yang diberi Diazepam secara per-
oral. Terbukti dari tercapainya fase hipnotik pada mencit yang diberi diazepam dengan cara
parenteral.

4. PEMBAHASAN

Pada praktikum kali ini kita mempelajari tentang cara pemberian obat per-oral dan
parenteral serta membandingkan pula. Menurut teori, cara pemberian obat menentukan
kecepatan obat yang masuk ke dalam tubuh, sehingga merupakan penentu keberhasilan terapi
atau kemungkinan timbulnya efek yang merugikan. Dalam hal ini, hewan coba yang
digunakan adalah mencit. Mencit dipilih sebagai hewan coba dikarenakan mulai dari
karakteristik genetik, biologi, dan perilaku mereka semua sangat mirip dengan manusia.
Banyak kondisi gejala pada manusia yang dapat direplikasi pada tikus dan mencit. Untuk
obat yang digunakan yaitu Diazepam yang merupakan obat sedatif.
Pada percobaan pertama, mencit diberi Diazepam dengan cara per-oral. Dibutuhkan
waktu sekitar 3 menit untuk mencit masuk ke fase sedatif, sedangkan untuk fase hipnotik
tidak didapatkan hasil. Pada percobaan kedua, mencit diberi Diazepam dengan cara intra-
peritoneal. Dibutuhkan waktu sekitar 2 menit untuk mencit masuk ke fase sedatif, sedangkan
untuk fase hipnotik dibutuhkan waktu sekitar 11 menit.

3
Pemberian obat dengan cara per-oral bereaksi lebih lama dibandingkan dengan cara
intra-peritoneal dikarenakan obat harus melalui saluran pencernaan terlebih dahulu. Berbeda
halnya dengan cara intra-peritoneal, rongga peritoneum mempunyai permukaan absorpsi
yang sangat luas sehingga obat dapat masuk ke sirkulasi sistemik secara cepat.

5. PERTANYAAN
1. Sebutkan keuntungan dan kerugian pemberian obat per-oral?
Keuntungan :
- Sangat menyenangkan
- Biasanya harganya terjangkau
- Aman, tidak merusak pertahanan kulit
- Pemberian biasanya tidak menyebabkan stress
Kerugian
- Sulit bagi yang enggan menelan obat
- Rasa cenderung pahit
- Proses cenderung lama
- Bioavailabilitasnya banyak dipengaruhi oleh bebrapa faktor

2. Sebutkan keuntunga dan kerugian pemberian obat parenteral?


Keuntungan:
- Kerja obat lebih cepat dari pemberian oral
- Dapat menghindari kerusakan obat di saluran cerna dan hati
- Dosis ekonomis
Kerugian:
- Harus menggunakan teknik steril karena merusak barier kulit
- obat yang sudah diberikan tidak dapat ditarik kembali, sehigga efek toksik lebih
mudah terjadi
- Diberikan hanya dalam jumlah kecil
- Lebih lambat dari pemberian intaramuscular
- Lebih mahal dari obat oral, beberapa obat dapat mengiritasi jaringan kulit dan
menyebabkan nyeri
- Dapat menimbulkan kecemasan
3. Apa yang dimaksud “first pass metabolism”?

4
Kecepatan absorbsi terutama tergantung pada bentuk dan cara pemberian serta sifat fisik
kimia dari obat. Obat yang diabsorbsi tidak semua mencapai sirkulasi sistemik, sebagian akan
dimetabolisme oleh enzim di dinding usus atau mengalami metabolisme eliminasi lintas
pertama (first pass metabolism or elimination). (Ganiswarna, 2007).

4. Apa gunanya mengetahui T1/2 (waktu paruh) suatu obat?


- merupakan ukuran bagaimana obat dieliminasi dari dalam tubuh
- tidak tergantung kepada dosis
- tidak tergantung kepada cara pemberian obat
- spesifik untuk setiap obat
- merupakan faktor penentuan dalam perhitungan dosis obat

5. Apa yang dimaksud dengan bioavailabilitas obat?


Bioavailabilitas adalah jumlah dan kecepatan obat yang diabsorpsi melalui jalur pemberian
tertentu masuk ke sirkulasi sistemik (Batubara, 2008)

6. Sebutkan factor factor yang mempengaruhi absorbs obat?


Menurut Siswandono dan Soekardjo (2000) Adapun faktor–faktor yang mempengaruhi
proses absorpsi obat di saluran cerna antara lain:

- Bentuk sediaan obat, meliputi ukuran partikel bentuk sediaan, adanya bahan-bahan
tambahan dalam sediaan.
- Sifat kimia fisika obat, misalnya: bentuk garam, basa, amorf, kristal.
- Faktor biologis, seperti: gerakan saluran cerna, luas permukaan saluran cerna, waktu
pengosongan lambung, banyaknya pembuluh darah dalam usus, aliran (perfusi) darah
dari saluran cerna.
- Faktor-faktor lain, seperti: usia, interaksi obat dengan makanan, interaksi obat dengan
obat lain, penyakit tertentu.

7. Jelaskan bagaimana obat dapat menimbulkan respon?


Efek obat terjadi karena adanya interaksi fisiko-kimiawi antara obat atau metabolit aktif
dengan reseptor atau bagian tertentu dari tubuh. Obat tidak dapat menimbulkan fungsi baru

5
dalam jaringan tubuh atau organ, tetapi hanya dapat menambah atau mempengaruhi fungsi
dan proses fisiologi (Batubara, 2008).

Untuk dapat mencapai tempat kerjanya, banyak proses yang harus dilalui obat. Proses itu
terdiri dari 3 fase, yaitu fase farmasetik, fase farmakokinetik, dan fase farmakodinamik. Fase
farmasetik merupakan fase yang dipengaruhi oleh cara pembuatan obat, bentuk sediaan obat,
dan zat tambahan yang digunakan (Batubara, 2008). Fase selanjutnya yaitu fase
farmakokinetik, merupakan proses kerja obat pada tubuh (Katzung, 2007). Suatu obat selain
dipengaruhi oleh sifat fisika kimia obat (zat aktif), juga dipengaruhi oleh sifat fisiologi tubuh,
dan jalur atau rute pemberian obat (Batubara, 2008).

Fase selanjutnya yaitu fase farmakodinamik. Proses ini merupakan pengaruh tubuh
pada obat (Katzung, 2007). Fase ini menjelaskan bagaimana obat berinteraksi
dengan reseptornya ataupun pengaruh obat terhadap fisiologi tubuh. Fase
farmakodinamik dipengaruhi oleh struktur kimia obat, jumlah obat yang sampai pada
reseptor, dan afinitas obat terhadap reseptor dan sifat ikatan obat dengan reseptornya
(Batubara, 2008).

6
DAFTAR PUSTAKA

Katzung B. G. 2007. Basic and Clinical Pharmacology. 10th ed. Boston: McGrawHill.
Siswandono dan Soekardjo, B., 2000, Kimia Medisinal, Edisi 2, 228- 232, 234, 239,
Airlangga University Press, Surabaya.

Batubara, P. L. 2008. Farmakologi Dasar, edisi II. Jakarta:Lembaga Studi dan


Konsultasi Farmakologi.

Usu press. 2015. “Farmakokinetika Klinis” . Edisi IX. Medan:Art Design, Publishing &
Printing.

Ganiswara. 2007. “Farmakologi dan Terapi”. Edisi V. Fakultas Kedokteran. Universitas


Indonesia.

Nastity, Gemy. Farmakologi. Cakrawala Publishing; Yogyakarta. 2009. hlm.

Anda mungkin juga menyukai