Laprak Farmako Cara Obat
Laprak Farmako Cara Obat
Kelompok: III
Nama:
Rasa nyeri kerap kali membuat orang merasa tidak nyaman, tersiksa. Rangsangan
yang dapat menimbulkan nyeri meliputi rangsangan mekanis, kimiawi, dan fisika (listrik
dan kalor). Rangsangan tersebut menimbulkan kerusakan pada jaringan dan melepaskan
zat-zat tertentu (mediator-mediator nyeri) seperti prostaglandin, bradikinin, serotonin,
leukotrien, dan histamin. Mediator–mediator nyeri tersebut dilepas dari sel-sel yang rusak
(Tan & Rahardja, 2008).
Berbagai cara digunakan untuk mengurangi rasa nyeri tersebut, salah satunya dengan
pemberian obat yang berkhasiat sebagai analgesik. Analgesik merupakan kelompok obat
yang memiliki aktivitas menekan atau mengurangi rasa nyeri tanpa mempengaruhi
kesadaran. Pengaruh kerja obat analgesik tergantung dari cara pemberian obat tersebut.
Pada penelitian ini akan dilakukan percobaan membandingkan hasil dari efek kerja obat
Analgesik dengan cara per-oral dan cara injeksi.
Hewan coba yang digunakan adalah mencit (Mus musculus) galur Swiss Webster
karena memiliki beberapa keuntungan yaitu, lebih ekonomis, ukuran kecil, dan dasar
fisiologisnya mendekati manusia yaitu sama-sama mamalia.
1.2 Tujuan
1. Mengetahui cara pemberian obat (per-oral, parenteral)
2. Membandingkan mula kerja obat antara pemberian per-os parenteral
3. Menjelaskan perbedaan yang terjadi antara beberapa cara pemberian obat
1
2. CARA KERJA
1. Pada percobaan ini digunakan dua mencit sebagai hewan coba.
2. Mencit pertama (merah) diberi Diazepam dengan cara per-oral.
4. Catat waktu pemberian obat dan amati efek obat yang terjadi pada kedua mencit
tersebut.
2
3. HASIL PRAKTIKUM
Penjelasan:
Mencit yang diberi Diazepam secara peroral mencapai fase sedatif pada menit ke-3
setelah diberi obat. Namun, hingga praktikum selesai mencit tidak menunjukkan tanda-tanda
hipnotik. Mencit yang diberi diazepam secara parenteral mencapai fase sedatif pada menit ke-
2 setelah diberi obat dan mencapai fase hipnotik pada menit ke-11.
Dari kedua hasil tersebut, diketahui bahwa mencit yang diberi Diazepam secara
parenteral lebih cepat mengabsorbsi obat daripada mencit yang diberi Diazepam secara per-
oral. Terbukti dari tercapainya fase hipnotik pada mencit yang diberi diazepam dengan cara
parenteral.
4. PEMBAHASAN
Pada praktikum kali ini kita mempelajari tentang cara pemberian obat per-oral dan
parenteral serta membandingkan pula. Menurut teori, cara pemberian obat menentukan
kecepatan obat yang masuk ke dalam tubuh, sehingga merupakan penentu keberhasilan terapi
atau kemungkinan timbulnya efek yang merugikan. Dalam hal ini, hewan coba yang
digunakan adalah mencit. Mencit dipilih sebagai hewan coba dikarenakan mulai dari
karakteristik genetik, biologi, dan perilaku mereka semua sangat mirip dengan manusia.
Banyak kondisi gejala pada manusia yang dapat direplikasi pada tikus dan mencit. Untuk
obat yang digunakan yaitu Diazepam yang merupakan obat sedatif.
Pada percobaan pertama, mencit diberi Diazepam dengan cara per-oral. Dibutuhkan
waktu sekitar 3 menit untuk mencit masuk ke fase sedatif, sedangkan untuk fase hipnotik
tidak didapatkan hasil. Pada percobaan kedua, mencit diberi Diazepam dengan cara intra-
peritoneal. Dibutuhkan waktu sekitar 2 menit untuk mencit masuk ke fase sedatif, sedangkan
untuk fase hipnotik dibutuhkan waktu sekitar 11 menit.
3
Pemberian obat dengan cara per-oral bereaksi lebih lama dibandingkan dengan cara
intra-peritoneal dikarenakan obat harus melalui saluran pencernaan terlebih dahulu. Berbeda
halnya dengan cara intra-peritoneal, rongga peritoneum mempunyai permukaan absorpsi
yang sangat luas sehingga obat dapat masuk ke sirkulasi sistemik secara cepat.
5. PERTANYAAN
1. Sebutkan keuntungan dan kerugian pemberian obat per-oral?
Keuntungan :
- Sangat menyenangkan
- Biasanya harganya terjangkau
- Aman, tidak merusak pertahanan kulit
- Pemberian biasanya tidak menyebabkan stress
Kerugian
- Sulit bagi yang enggan menelan obat
- Rasa cenderung pahit
- Proses cenderung lama
- Bioavailabilitasnya banyak dipengaruhi oleh bebrapa faktor
4
Kecepatan absorbsi terutama tergantung pada bentuk dan cara pemberian serta sifat fisik
kimia dari obat. Obat yang diabsorbsi tidak semua mencapai sirkulasi sistemik, sebagian akan
dimetabolisme oleh enzim di dinding usus atau mengalami metabolisme eliminasi lintas
pertama (first pass metabolism or elimination). (Ganiswarna, 2007).
- Bentuk sediaan obat, meliputi ukuran partikel bentuk sediaan, adanya bahan-bahan
tambahan dalam sediaan.
- Sifat kimia fisika obat, misalnya: bentuk garam, basa, amorf, kristal.
- Faktor biologis, seperti: gerakan saluran cerna, luas permukaan saluran cerna, waktu
pengosongan lambung, banyaknya pembuluh darah dalam usus, aliran (perfusi) darah
dari saluran cerna.
- Faktor-faktor lain, seperti: usia, interaksi obat dengan makanan, interaksi obat dengan
obat lain, penyakit tertentu.
5
dalam jaringan tubuh atau organ, tetapi hanya dapat menambah atau mempengaruhi fungsi
dan proses fisiologi (Batubara, 2008).
Untuk dapat mencapai tempat kerjanya, banyak proses yang harus dilalui obat. Proses itu
terdiri dari 3 fase, yaitu fase farmasetik, fase farmakokinetik, dan fase farmakodinamik. Fase
farmasetik merupakan fase yang dipengaruhi oleh cara pembuatan obat, bentuk sediaan obat,
dan zat tambahan yang digunakan (Batubara, 2008). Fase selanjutnya yaitu fase
farmakokinetik, merupakan proses kerja obat pada tubuh (Katzung, 2007). Suatu obat selain
dipengaruhi oleh sifat fisika kimia obat (zat aktif), juga dipengaruhi oleh sifat fisiologi tubuh,
dan jalur atau rute pemberian obat (Batubara, 2008).
Fase selanjutnya yaitu fase farmakodinamik. Proses ini merupakan pengaruh tubuh
pada obat (Katzung, 2007). Fase ini menjelaskan bagaimana obat berinteraksi
dengan reseptornya ataupun pengaruh obat terhadap fisiologi tubuh. Fase
farmakodinamik dipengaruhi oleh struktur kimia obat, jumlah obat yang sampai pada
reseptor, dan afinitas obat terhadap reseptor dan sifat ikatan obat dengan reseptornya
(Batubara, 2008).
6
DAFTAR PUSTAKA
Katzung B. G. 2007. Basic and Clinical Pharmacology. 10th ed. Boston: McGrawHill.
Siswandono dan Soekardjo, B., 2000, Kimia Medisinal, Edisi 2, 228- 232, 234, 239,
Airlangga University Press, Surabaya.
Usu press. 2015. “Farmakokinetika Klinis” . Edisi IX. Medan:Art Design, Publishing &
Printing.