Anda di halaman 1dari 19

Laporan Kasus

Cedera Kepala

Pembimbing:
dr. Ali Rachman, Sp.B

Oleh:
dr. Vincent Wijaya

KOMITE INTERNSIP DOKTER INDONESIA


KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
RSUD AJI MUHAMAD PARIKESIT
2018
LAPORAN KASUS
Cedera Kepala

Oleh
dr. Vincent Wijaya

Menyetujui
Komisi Pembimbing Dokter Internsip
Rumah Sakit Umum Daerah Aji Muhammad Parikesit

Pembimbing 1 Pembimbing 2

dr. Ibnoe Soedjarto, M.Si.Med.Sp.S dr. Nurindah Isty Rachmawati, Sp.KFR

2018
RSUD A.M Parikesit
Tenggarong, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur

Pembimbing Kasus Presenter Kasus

dr. Ali Rachman, Sp.B dr. Vincent Wijaya


KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
kasih-Nya kepada penyusun sehingga laporan kasus ini dapat diselesaikan sesuai dengan
rencana yang diharapkan.
Tujuan penyusunan laporan ini adalah sebagai laporan kasus untuk menambah
pengetahuan bagi penulis dan pembaca khusus dalam ilmu bedah.
Penyusun menyadari bahwa laporan ini jauh dari sempurna. Kritik dan saran membangun
dari pembimbing klinik dan pembaca sangat diharapkan demi perbaikan laporan ini. Atas
perhatian terhadap laporan ini penyusun mengucapkan banyak terima kasih.
Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi pembaca khususnya di bidang
kedokteran.

Tenggarong, 2018

Penyusun,
dr. Vincent Wijaya
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Cedera kepala merupakan kejadian yang sering terjadi dan ditemukan pada instalasi gawat
darurat. Cedera kepala juga merupakan penyebab kematian tertinggi pada kecelakaan. Pasien
dengan cedera kepala sering memiliki sisa-sisa defisit neurologis yang akan mengganggu
kualitas hidupnya. Pada negara dengan kendaraan roda dua yang masih banyak angka kejadian
cedera kepala karena kecelakaan juga akan tinggi.
Tujuan utama dari terapi cedera kepala berat adalah mencegah terjadinya cedera otak
sekunder. Cara terpenting untuk mencegah cedera otak sekunder pada pasien dengan cedera
kepala adalah memastikan adanya oksigenasi otak yang adekuat. Oksigenasi ini dapat dicapai
dengan pemberian suplementasi oksigen dan menjaga tekanan darah agar dapat memberikan
suplai ke otak yang adekuat. Computed Tomography Scan (CT Scan) tidak boleh ditunda pada
pasien dengan cedera kepala dengan indikasi CT scan.
1.2. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan cedera kepala?
2. Apa saja yang menjadi penyebab dan gejala-gejala herniasi cedera kepala?
3. Bagaimana cara mendiagnosa cedera kepala?
4. Bagaimana cara penanganan bagi penderita cedera kepala?
5. Saran apa yang bisa diberikan bagi penderita cedera kepala?

1.3. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian tentang cedera kepala
2. Untuk mengetahui penyebab dan gejala-gejala cedera kepala
3. Untuk mengetahui cara mendiagnosa cedera kepala
4. Untuk mengetahui cara-cara penanganan cedera kepala
5. Untuk dapat memberikan saran yang baik bagi penderita cedera kepala

1
1.4. Manfaat
1. Teoritis
Laporan kasus ini diharapkan mampu memberikan tambahan pengetahuan dan
landasan teori mengenai cedera kepala.
2. Praktis
Laporan kasus ini diharapkan mampu memberikan landasan ilmiah dalam
penanganan pasien dengan cedera kepala.

2
BAB II
STATUS PENDERITA

(LAMPIRAN)

3
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

Cedera kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan derajatnya, yaitu ringan, sedang dan berat.
Pengklasifikasian derajat cedera kepala ini berdasarkan oleh Glasgow Coma Scale (GCS).
Pembagianya adalah cedera kepala ringan dengan GCS 13 – 15, cedera kepala sedang dengan
GCS 9 – 12 dan GCS 3 - 8

Pada pasien yang mengalami cedera kepala dapat terjadi 3 kerusakan utama yang terjadi
baik pada tengkorak maupun pada otak. Kerusakan pada tengkorak dapat berupa fraktur
sementara pada otak dapat berupa kerusakan fokal atau diffuse brain injury.

Fraktur Tengkorak

Kerusakan dari tengkorak yang membutuhkan biomekanik yang hebat. Dapat menyebabkan
atau tidak menyebabkan kerusakan otak. Fraktur dari tengkorak ini bukan merupakan penyebab
langsung munculnya defisit neurologis

Fraktur dari tengkorak ini dapat dibagi menjadi 3 yaitu fraktur linier, fraktur depresi
dan fraktur basis cranii.

Kerusakan Fokal

Kerusakan fokal adalah kerusakan yang dapat terlihat dengan jelas memiliki batas yang tegas.
Sebagai contohnya adalah kontusio pada korteks dan subdural, epidural dan intraserebral
hemorrhage. Kerusakan fokal ini terjadi pada hampir 50% pasien dengan cedera kepala berat

4
dan berkontribusi pada dua per tiga kematian pada kematian yang berkaitan dengan cedera
kepala.

Coup contusion dapat terjadi karena fraktur atau cedera


area di bawah trauma yang disebabkan oleh benda keras.
Fenomena ini membuat jaringan di bawahnya dapat
berdarah. Kerusakan terjadi karena efek rebound ketika
otak menerima tabrakan dari benda keras dan
menyebabkan tegangan yang berlebihan sehingga
merobek pembuluh darah.

Countercoup contusion terjadi berdasarkan dua


teori, yang pertama cavitation. Teori ini beranggapan
bahwa ketika terjadi trauma otak akan bergerak ke area
trauma dan terjadi area negatif yang berlawanan pada
lokasi trauma sehingga tekanan negatif akan membuat
robeknya pembuluh darah dari lokasi yang berlawanan
dengan lokasi trauma. Teori kedua karena adanya gaya
inersia yang menyebabkan bergeraknya otak dan terjadi
robekan pembuluh darah pada area yang berlawanan
dengan gaya, tidak harus pada area terjadinya trauma.

5
Epidural hemorrhage (EDH) merupakan kerusakan yang
terjadi bila pembuluh darah di bawah dura tersobek dan
terjadi perdarahan di ruang epidural. Perdarahan ini
terjadi karena ruptur arteri dan memiliki tekanan yang
dapat memberikan efek massa dan herniasi. Ada juga
yang mengatakan bahwa EDH terjadi karena
tersobeknya arteri meningea media di bawah pterion
karena ada sulkus di tengkorak tempat lewatnya arteri
meningea media.

Subdural hemorrhage dapat terjadi bila terjadi


guncangan otak dan terjadi robekan pada bridging vein
otak. Lokasi yang paling sering terjadi adalah
parasagital bridging vein dikarenakan lokasinya yang
terluar menyebabkanya rentan terhadap gaya yang terjadi
akibat trauma kepala. Pada subdural hemorrhage ini
biasanya terjadi apabila kepala membentur permukaan
yang keras dan luas. SDH dapat juga terjadi karena lesi
sekunder apabila lesi primer ini menyebabkan efek masa
dan toleransi vaskuler bridging vein terlampaui dan dapat
menyebabkan kompresi otak. Fenomena ini biasa disebut complicated subdural hemorrhage.
Complicated subdural hemorrhage ini biasa disertai dengan kerusakan otak luas juga yang
disebut diffuse axonal injury.

6
Intracerebral hemorrhage (ICH) biasanya jarang terjadi
dan bila terjadi akan kecil dan berkaitan dengan
kontusio korteks pada pasien dengan cedera kepala.

Perdarahan yang terjadi diantara arachnaoid mater dan


piamater. Perdarahan ini akan mengiri sulcus pada otak.

Difuse Brain Injury

Diffuse brain injury terjadi kurang lebih pada 40% pasien dengan cedera kepala berat. Diffuse
brain injury berbeda dengan fraktur tengkorak atau kerusakan fokal karena pada diffuse brain
injury kerusakan yang terjadi tidak dapat terlihat secara makroskopis melainkan terjadi secara
luas.

Cerebral concussion merupakan disfungsi neurologis sementara dan reversibel yang terjadi
karena trauma. Pada pemeriksaan computed tomography scan (CT scan) tidak terlihat kelainan
dikarenakan gaya yang diberikan tidak cukup untuk memberikan kerusakan yang tergambarkan
melalui CT scan.

Diffuse axonal injury (DAI) merupakan kondisi patologis terjadinya koma pada pasien cedera
kepala tanpa efek massa. DAI dianggap sebagai kondisi yang lebih berat dari cerebral

7
concussion dan seperti cerebral concussion, DAI disebabkan karena rotasi dan akselerasi yang
terjadi. DAI biasa terjadi pada rotasi dan akselerasi yang terjadi lebih lama dibandingkan
dengan subdural hemorrhage. Jadi dapat juga ditemukan pasien dengan subdural hemorrhage
minimal tetapi dapat mengalami penurunan kesadaran.

Pengawasan pada Pasien dengan Cedera Kepala Berat

Pengawasan perlu dilakukan pada pasien dengan cedera kepala berat. Monitoring yang dibahas
pada Guidelines for the Management of Severe Traumatic Brain Injury, Fourth Edition dari
Brain Trauma Foundation berkaitan dengan tekanan darah, tekanan intra kranial dan terkanan
perfusi serebri. Pengawasan yang dilakukan ini tidak akan memberikan perubahan prognosis
pada pasien dengan cedera kepala berat, tetapi menggunakan informasi dari hasil monitoring
ini yang diginakan untuk melanjutkan tata laksana yang akan meningkatkan prognosis pada
pasien dengan cedera kepala berat. Penanganan pada pasien cedera kepala berat dengan
informasi yang didapatkan dari pengawasan tekanan intra kranial dan tekanan perfusi serebri
direkomendasikan untuk mengurangi lama di rumah sakit dan mortalitas 2 minggu setelah
trauma. Pengawasan tekanan intrakranial harus dilakukan pada pasien dengan GCS 3 sampai
8 setelah resusitasi dan pada CT scan yang mengalami kelainan (hemorrhage, kontusio, edema,
herniasi atau kompresi dari basal cisterns). Tetapi pada pasien dengan CT scan yang normal
bila ditemukan 2 atau lebih dari kondisi ini wajib dilakukan (usia diatas 40 tahun, postur tubuh
abnormal yang terjadi unilateral atau bilateral atau tekanan darah sistolik dibawah 90 mm Hg).

Ada nilai batas yang didapatkan dari hasil pengawasan pasien dengan cedera kepala berat untuk
melakukan intervensi. Untuk tekanan darah, menjaga tekanan darah sistolik ≥ 100 mm Hg pada
pasien dengan usia 50 sampai 69 tahun atau ≥ 110 mm Hg pada pasien usia 15 sampai 49 tahun
atau > 70 tahun dapat menurunkan mortalitas dan meningkatkan prognosis. Nicardipine
sebagai obat untuk menurunkan tekanan darah dapat diberikan.

Peningkatan tekanan intrakranial < 22 mm Hg di rekomendasikan karena tekanan intra kranial


> 22 mm Hg dikaitkan dengan meningkatnya mortalitas.

Tekanan perfusi serebri yang direkomendasikan adalah 60 sampai 70 mm Hg. Apakah 60


sampai 70 mm Hg merupakan nilai minimum optimal untuk tekanan perfusi serebri masih
belum jelas tergantung dari status autoregulasi pasien, tetapi untuk menjaga tekanan perfusi
serebri > 70 mm Hg secara agresif tidak direkomendasikan karena meningkatkan risiko gagal
nafas.

8
Terapi pada Pasien dengan Cedera Kepala Berat

Secara umum terapi pada pasien dengan cedera kepala berat berupa terapi cairan, koreksi
elektrolit (terutama natrium), kontrol gula darah, profilaksis untuk stress ulcer, pencegahan
iskemia serebri, dekompresi kraniektomi, drainase cairan serebrospinal (CSF), terapi
hiperventilasi, penggunaan cairan hiperosmolar, penggunaan sedatif dan pemberian nutrisi.
Pemberian steroid tidak disarankan dan pemberian dosis tinggi merupakan kontraindikasi.
Profilaksis anti kejang juga tidak direkomendasikan.

Terapi cairan dan elektrolit perlu pada pasien dengan cedera kepala. Cairan harian yang
diberikan berupa NaCl 0.9% diberikan 35 ml/kg setiap harinya. Kelainan elektrolit sering
terjadi pada pasien dengan cedera kepala. Natrium merupakan elektrolit yang sering
mengalami kelainan pada pasien dengan cedera kepala.

Pasien dengan sindrom hiponatremia harus dipertimbangkan. 2 diagnosis banding pada pasien
hiponatremia yang harus dipikirkan adalah syndrome of inappropriate antidiuretic hormone
(ADH) secretion (SIADH) dan cerebral salt wasting. Diagnosis pada SIADH ditegakan
dengan (1) hyponatremia (serum natrium < 135 mEq/L), (2) hypo-osmolarity (serum
osmolarity < 280 mOsm/L), (3) osmolaritas urin lebih besar daripada pada serum, (4) natrium
pada urin yang tinggi (>40 mEq/L). Pasien dengan SIADH dapat normovolemik atau sedikit
hipervolemik. Berbanding terbalik dengan pasien dengan cerebral salt wasting yang akan
dalam keadaan hipovolemik. Pada pasien dengan cerebral salt wasting terjadi juga natrium
pada urin yang tinggi (>40 mEq/L). Pada pasien dengan SIADH terapi utamanya adalah
restriksi cairan. Asupan cairan 800 sampai 1000 mL/hari dapat menyebabkan kenaikan
konsentrasi natrium yang stabil. Bila tidak terjadi kenaikan konsentrasi natrium penggunaan
antibiotik Demeclocycline dapat diberikan, mengingat efek sampingnya menghambat sekresi
ADH di duktus kolektivus ginjal menghasilkan diuresis air. Pada pasien dengan hiponatremia
berat atau gejala yang bermakna seperti kejang atau peningkatan TIK pemberian NaCl 3%
dapat diberikan secara perlahan. Pemberian NaCl 3% dapat juga disertai furosemide untuk
mencegah terjadinya hipervolemia. Pada pasien dengan cerebral salt wasting pemberian NaCl
0.9% untuk menggantikan volume intravaskular merupakan tata laksana awal. Defisit natrium
harus terus dikoreksi dengan pemberian NaCl 0.9% atau NaCl 3%.

Yang biasanya terjadi pada pasien hipernatrmia berupa diabetes insipidus (DI).
Hypernatremia-Diabetes Insipidus dapat terjadi karena kurangnya sirkulasi hormon ADH yang

9
berakibat ketidakmampuan membuat urin pekat. Air yang keluar akan membuat kondisi tubuh
menjadi hipovolemik dan hipernatremia. DI biasa terjadi pada gangguan hipotalamus-pituitary
(HPA) axis, yang bila terjadi apda pasien dengan cedera kepala berat biasanya merupakan
tanda prognosis yang buruk. Penatalaksanaan pada kondisi ini merupakan pertimbangan yang
sulit karena koreksi natrium dan hipovolemia dengan agresif dapat menyebabkan kenaikan
tekanan intrakranial. Pemberian 2 sampai 4 μg desmopressin dapat mengurangi keluarnya air
dalam 8 sampai 12 jam.

Hiperglikemia juga merupakan respon yang sering terjadi pada pasien dengan cedera kepala
berat. Peningkatan kadar gula darah sering dikaitkan dengan prognosis yang buruk pada pasien
dengan cedera kepala berat. Hiperglikemia dikaitkan dengan prognosis karena hiperglikemia
merupakan respon stress tubuh pada cedera dan mencerminkan kondisi cedera yang lebih berat.
Kontrol gula darah yang direkomendasikan < 180 mg/dL dapat menurunkan mortalitas,
berdasarkan NICE-SUGAR trial.

Profilaksis untuk stress ulcer juga perlu diberikan, karena stress ulcer merupakan komplikasi
tersering pada pasien dengan sakit berat. Penggunaan H2 Blocker meningkatkan kejadian
thrombositopenia. Pemberian Proton Pump Inhibitor (PPI) dan sucralfate lebih
direkomendasikan. Sucralfate, yang terdiri dari kompleks sukorsa, sulfat dan aluminiun
hidroksida, memiliki efek menguatkan mukosa gaster dan meningkatkan aliran darah mukosa
gaster

Pencegahan iskemia serebri dapat dilakukan dengan memberi oksigen pada pasien. Pemberian
oksigen pada pasien ini ditujukan untuk meningkatkan pemberian oksigen ke otak, yang
tergantung dari 2 parameter yaitu kandungan oksigen dalam darah dan cerebral blood flow
(CBF). Kandungan oksigen dalam darah berkaitan dengan tekanan parsial oksigen (Po2) dalam
darah dan hemoglobin. Kadar hemoglobin yang paling optimal adalah 10 mg/dL. Pemberian
oksigen ini dapat meningkatkan kandungan oksigen di jaringan otak dan menurunkan
konsentrasi laktat di otak. Cara lain untuk mencegah iskemia serebri adalah dengan
meningkatkan CBF. Untuk memperbaiki CBF harus dengan meningkatkan cerebral perfusion
pressure (CPP). Pada area iskemia autoregulasi otak biasanya akan rusak sehingga perfusi
jaringan tergantung dari CPP. CPP bergantung dari 2 faktor, yaitu tekanan intra kranial dan
tekanan darah. Faktor yang paling mudah dimanipulasi pada pasien adalah tekanan darah.
Pemberian agen-agen vasopressor dapat dipertimbangkan untuk pasien dengan cedera kepala
untuk memperbaiki perfusi ke jaringan otak. Dopamin dosis rendah <2 μg/kg/min tidak

10
direkomendasikan karena dapat meningkatkan tekanan intra kranial tetapi tidak merubah CBF.
Tetapi pada pemberian 2 - 6 μg/kg/min memang meningkatkan tekanan intrakranial, tetapi
juga meningkatkan CBF. Jadi pemberian dopamine dengan dosis tersebut dapat
dipertimbangkan.

Terapi hiperventilasi dianjurkan sebagai terapi sementara pada pasien dengan tekanan
intrakranial yang meningkat, tetapi hiperventilasi harus dihindari pada 24 jam pertama setelah
kejadian ketika CBF turun drastis. Hiperventilasi yang berkepanjangan sehingga PaCO2 ≤ 25
mm Hg tidak direkomendasikan.

Pemberian mannitol sebagai cairan hiperosmolar dengan dosis 0.25 sampai 1 gram/kg berat
badan terbukti efektif mengontrol tekanan intrakranial yang meningkat. Pemberian mannitol
pada pasien dengan hipotensi arterial (SBP < 90 mm Hg) harus dihindari.

Penggunaan agen sedatif (propofol) dapat menurunkan tekanan intrakranial tetapi penggunaan
propofol pada dosis tinggi (> 5mg/kg) meningkatkan mortalitas. Pemberian propofol dapat
dimulai dengan loading dose 1 – 2 mg/kg dilanjutkan dengan maintenance dose 5 – 50
μg/kg/min.

Pemberian nutrisi pada pasien untuk mendapatkan pengganti kalori basal minimal pada hari ke
5 dan maksimal hari ke 7 setelah trauma terbukti menurunkan mortalitas.

Pemberian steroid pada pasien dengan cedera kepala berat tidak direkomendasikan, pemberian
methylprednisolone dosis tinggi dikaitkan dengan meningkatnya mortalitas dan
dikontraindikasikan.

Pemberian anti kejang pada pasien dengan cedera kepala berat tidak direkomendasikan.
Fenitoin sebagai profilaksis kejang dapat diberikan bila keuntunganya melebihi kerugianya,
tetapi kejang awal setelah trauma (dalam 7 hari setelah trauma) tidak berkaitan dengan
prognosis yang lebih buruk.

11
Pilihan Tata Laksana pada Pasien dengan Perdarahan Otak karena Trauma

Kondisi Tata Laksana

Epidural Hemorrhage

Volume > 30 ml Evakuasi perdarahan dengan operasi

Volume < 30 ml dan ketebalan < 15 mm dan < 5mm Konservatif dengan pengawasan
midline shift dan GCS > 8 tanpa defisit neurologis intensif dan CT Scan berkala

Subdural Hemorrhage

Ketebalan > 10 mm atau pergeseran garis tengah > 5 Evakuasi perdarahan dengan operasi
mm

Ketebalan < 10 mm dan pergeseran garis tengah < 5 Evakuasi perdarahan dengan operasi
mm DAN GCS < 9 dengan ≥ 2 penurunan GCS
DAN/ATAU disfungsi pupil DAN/ATAU tekanan
intra kranial > 20 mm Hg

GCS < 9 Pengawasan tekanan intrakranial

Intracerebral Hemorrhage

Defisit neurologis yang sesuai lesi, tekanan Evakuasi perdarahan dengan operasi
intrakranial refrakter dengan medikamentosa atau
efek masa pada CT scan

Volume > 50 Ml Evakuasi perdarahan dengan operasi

Kontusio frontal atau temporal > 20 mL DAN GCS Evakuasi perdarahan dengan operasi
6 – 8 DAN pergeseran garis tengah ≥ 5 mm
DAN/ATAU kompresi basal cistern pada CT scan

Tidak ditemukan defisit neurologis DAN tekanan Konservatif dengan pengawasan


intrakranial terkontrol DAN tidak diteukan efek intensif dan CT Scan berkala
massa yang signifikan pada CT scan

12
Dekompresi kraniektomi frontotemporoparietal luas (tidak lebih dari 12 x 15 cm atau diameter
15 cm) lebih direkomendasikan dibandingkan dekompresi yang kecil. Dekompresi luas dapat
terbukti menurunkan mortalitas dan defisit neurologis dibandingkan dekompresi kecil.

Drainase CSF dengan extraventricular drainage (EVD) yang dipasang terus menerus dapat
memperbaiki prognosis dibandingkan yang intermittent. Drainase CSF pada 12 jam setelah
kejadian pada pasien dengan GCS awal < 6 dapat dipertimbangkan. Kateter yang direndam
denagn cairan antimikroba dapat dipertimbangkan untuk mencegah infeksi terkait kateter
ketika EVD.

13
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Cedera kepala merupakan penyakit yang cukup sering ditemukan di IGD. Perlu
dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang holistik untuk menunjang diagnosis cedera
kepala. Perlu diatasi kegawat daruratan pada pasien cedera kepala sebagai penanganan
pertama.
Dalam melakukan tatalaksana, penting untuk mengatasi kegawatdaruratan sebagai tata
laksana awal pada pasien dengan cedera kepala. Pada pasien dengan indikasi CT scan harus
langsung dilakukan tanpa penundaan. Target utama dari terapi pasien dengan cedera kepala
adalah mencegah terjadinya kerusakan otak sekunder.

Di Indonesia, kasus cedera kepala masih sering ditemukan, dikarenakan banyaknya


penggunaan kendaraan beroda dua. Oleh karena itu, semua hal diatas penting untuk
diperhatikan dengan maksud dapat mengurangi angka mortalitas dan morbiditas.

14
Referensi

1. Winn HR, Youmans JR, editors. Youmans and Winn neurological surgery: fully,
searchable text online. Seventh edition. Philadelphia, PA: Elsevier; 2017.

2. Carney N, Totten AM, O’Reilly C, Ullman JS, Hawryluk GWJ, Bell MJ, et al. Guidelines
for the Management of Severe Traumatic Brain Injury. :244. 2018

3. Guideline for Concussion/Mild Traumatic Brain Injury & Persistent Symptoms


Healthcare Professional Version Adults (18+ years of age). Third Edition. 2018

15
Lampiran

Anda mungkin juga menyukai