Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Teologi sebagaimana diketahui membahas ajaran-ajaran dasar yang dari


suatu agama. Mempelajari teologi akan memberi seseorang keyakinan.
Keyakinan yang berdasarkan pada landasan kuat, yang tidak mudah diombang-
ambing oleh peredaran zaman. Teologi dalam Islam disebut ilmu tauhid yang
mengandung arti satu, esa dan keesaan dalam pandangan Islam sebagai agama
monotheisme, merupakan sifat yang terpenting diantara sifat-sifat Tuhan. yang
dalam konteks keindonesiaan diperkenal dengan istilah : Teologi
pembangunan, teologi transformatife, teologi perdamaian bukan dalam istilah
kalam pembangunan, kalam transformatife, dan kalam perdamaian.1

Teologi Islam disebut juga ‘Ilm al-Kalam. Kalam adalah kata-kata. Kalau
dimaksud dengan kalam ialah sabda Tuhan maka teologi dalam Islam disebut
ilmu kalam, karena soal kalam sabda Tuhan atau al-Qur’an pernah
menimbulkan pertentangan-pertentangan keras di kalangan umat Islam di abad
ke IX dan X Masehi, sehingga timbul penganiayaan dan pembunuhan-
pembunuhan terhadap semua sesame Muslim di waktu itu.

Sudah dalam abad pertama Islam, komunitas awal (generasi sahabat) telah
dihadapkan dengan sejumlah persoalan dan pertanyaan tentang hubungan
antara keaslian al-Qur’an dan legitimasi kekuasaan politik.2

B. Rumusan Masalah
1. Apa Sebab-Sebab Kemunculan Ilmu Kalam?

1
M. Amin Abdullah, Filsafah Kalam di Era Postmodernisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009,
hal. 79
2
Sayyed Hosein Nasr, Intelektual Islam., Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009, hal. 5

1
2. Bagaimana Faktor Internal dan Eksternal Apakah Yang Menyebabkan
Kemunculan Ilmu Kalam?

C. Tujuan Masalah
1. Bisa Mengetahui Sebab-Sebab Kemunculan Ilmu Kalam.
2. Mengetahui Faktor Internal Dan Eksternal Yang Menyebabkan
MunculNya Ilmu Kalam.
3. Dapat Menyelesaikan Salah Satu Tugas Ilmu Kalam.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sebab-Sebab Kemunculan Ilmu Kalam

Ilmu kalam sebagai ilmu yang berdiri sendiri belum dikenal pada masa
Nabi Muhammad SAW., maupun pada masa sahabat-sahabatNya. Akan
tetapi baru dikenal pada masa berikutNya, setelah ilmu-ilmu keislaman
yang lain satu per satu muncul dan setelah orang banyak membicarakan
tentang kepercayaan alam gaib (metafisika).3

Dikatakan bahwa dalam Islam, sebagai agama, persoalan yang pertama


kali timbul adalah dalam bidang politik bukan dalam bidang teologi. Tetapi
persoalan politik ini segera meningkat menjadi persoalan teologi. Agar hal
ini menjadi jelas perlulah kita terlebih dahulu kembali sejenak ke dalam
sejarah Islam, tegasNya ke dalam fase perkembanganNya yang pertama.4

Ketika Muhammad SAW lahir dengan status utama sebagai Nabi dan
Rasul, untuk mengemban misi atau risalah menyampaikan dan menjelaskan
Islam kepada umat manusia. Di awal misi kenabian dan kerasulannya, 13
tahun pertama para periode Mekkah, Muhammad SAW memusatkan
dakwahnya menyeru umat kepada akidah tauhid, mengajak kaumnya agar
beriman dan menyembah hanya kepada Allah SWT.

Dalam kondisi yang demikian, posisi Rasulullah SAW dan sahabat


terasa sangat lemah. Kondisi ini pula, barangkali, yang menyebabkan
dakwah dan perjuangan Nabi Muhammad SAW selama periode Mekkah
kurang berhasil bahkan, jika boleh dikatakan gagal. Selama kurang lebih 13
tahun Nabi Muhammad SAW berdakwah dan berjuangan, sejumlah

3
Ahmad Hanafi, Teologi Islam (Ilmu Kalam), Jakarta: PT Bulan Bintang, 2010, Cet. 13, hal. 7
4
Harun Nasution, Teologi Islam, Jakarta: UI-Press, 2002, Cet. 1, hal. 3

3
pemeluk Islam dapat dikatakan sangat tidak sebanding dengan waktu yang
berlalu, ditambah penderitaan yang dialami oleh Muslimin di setiap waktu.5

Kekuasaan sebenarnya terletak dalam tangan kaum pedaganng tinggi.


Kaum pedagang tinggi ini, untuk menjaga kepentingan-kepentingan
mereka, mempunyai perasaan solidaritas kuat yang kelihatan efeknya dalam
perlawanan mereka terhadap Nabi Muhammad SAW, sehingga beliau dan
pengikut-pengikut beliau terpaksa meninggalkan Mekkah pergi ke Yastrib
di tahun 622 M.6 Kini Rasulullah SAW dan para sahabat pun sampai sudah
berada di Madinah. Dan berbeda ktika di Mekkah, ditempat yang baru ini
beliau langsung diberi kepercayaan dan harapan mengendalikan kekuatan
sosial-politik. Dengan demikian, di samping sebagai Nabi dan Rasul
pemimpin agama, Nabi Muhammad SAW sekaligus menjadi pemimpin
temporal, pendiri dan pemimpin negara Madinah.7

Suasana masyarakat di Yastrib berlainan dengan suasana di Mekkah.


Kota ini bukanlah kota pedagang, tetapi kota petani. Masyarakatnya tidak
homogen, tetapi terdiri dari bangsa Arab dan bangsa Yahudi. Bangsa
Arabnya tersusun dari dua suku bangsa, al-Khajraj dan al-‘Aus, antara
kedua suku bangsa ini senantiasa terdapat persaingan untuk menjadi kepala
dalam masyarakat Madinah. Keadaan disana tidak menjadi aman dan untuk
mengatasi persoalan dan pertengkaran mereka yang telah berlarut-larut itu,
mereka menginginkan seorang hakam, yaitu pengantara yang netral.

Ketika beliau wafat tahun 632 M daerah kekuasaan Madinah bukan


hanya terbatas pada kota itu saja, tetapi boleh dikatakan meliputi seluruh
Semenanjung Arabia. Negara Islam di waktu itu, seperti digambarkan oleh
W.M. Watt, telah merupakan kumpulan suku-suku bangsa Arab, yang
mengikat tali persekutuan dengan (Nabi) Muhammad dalam berbagai

5
Suryan A. Jamrah, Studi Ilmu Kalam, Jakarta: PT Kharisma Putra Utama, 2015, Cet. 1, hal. 2
6
Harun Naution, Teologi Islam, Jakarta: UI-Press, 2002, Cet. 1, hal. 4
7
Suryan A. Jamrah, Studi Ilmu Kalam, Jakarta: PT Kharisma Putra Utama, 2015, Cet. 1, hal. 4

4
bentuk, dengan masyarakat Madinah dan mungkin juga masyarakat Mekkah
sebagai intinya. Jadi tidak mengherankan kalau masyarakat Madinah pada
waktu wafatnya Nabi Muhammad Saw sibuk memikirkan pengganti beliau
untuk mengepalai negara yang baru lahir itu, sehingga penguburan Nabi
merupakan soal kedua bagi mereka. Timbulah soal khilafah, soal pengganti
Nabi Muhammad SAW sebagai kepala negara. Sebagai Nabi atau Rasul,
Nabi tentu tak dapat digantikan. Sejarah meriwayatkan bahwa Abu Bakr-
lah yang disetujui oleh masyarakat Islam di waktu itu menjadi pengganti
atau khalifah Nabi dalam mengepalai negara mereka. Kemudian Abu Bakar
digantikan oleh ‘Umar Ibn al-Khattab dan ‘Umar oleh ‘Usman Ibn ‘Affan.8

Tindakan-tindakan politik yang dijalankan ‘Usman ini menimbulkan


reaksi yang tidak menguntungkan bagi dirinya. Sahabat-sahabat Nabi yang
pada mulanya menyokong ‘Usman, ketika melihat tindakan yang kurang
tepat itu, mulai meninggalkan khalifah yang ketiga ini. Orang-orang yang
semula ingin menjadi khalifah atau yang ingin calonnya menjadi khalifah
mulai pula menangguk di air keruh yang timbul pada waktu itu. Perasaan
yang tidak senang muncul didaerah-daerah. Dari Mesir, sebagai reaksi
terhadap dijatuhkannya ‘Umar Ibn al-‘As yang digantikan oleh ‘Abdullah
Ibn-Sa’d Ibn Abi-Sarh, salah satu anggota kaum keluarga ‘Usman, sebagai
Gubernur Mesir, lima ratus pemberontakkan berkumpul dan kemudian
bergerak ke Madinah. Perkembangan suasana di Madinah selanjutnya
membawa pada pembunuhan ‘Usman oleh pemuka-pemuka
pemberontakkan dari Mesir ini.

Setelah ‘Usman wafat ‘Ali, sebagai calon terkuat, menjadi khalifah yang
keempat. Tetapi segera ia mendapat tantangan dari pemuka-pemuka yang
ingin pula menjadi khalifah, terutama Talhah dan Zubeir dari Mekkah yang
mendapat sokongan dari ‘Aisyah. Tantangan dari ‘Aisyah-Talhah-Zubeir

8
Harun Naution, Teologi Islam, Jakarta: UI-Press, 2002, Cet. 1, hal. 5

5
ini dipatahkan ‘Ali dalam pertempuran yang terjadi di Irak tahun 656.
Talhah dan Zubeir mati terbunuh dan ‘Aisyah dikirim kembali ke Mekkah.

Tantangan kedua datang dari Mu’awiyah, Gubernur Damaskus dan


keluarga yang dekat bagi ‘Usman. Sebagaimana halnya Thalhah dan Zubeir,
ia tak mau mengakui ‘Ali sebagai khalifah. Ia menuntut kepada ‘Ali supaya
menghukum pembunuh-pembunuh ‘Usman, bahkan ia menuduh ‘Ali turut
campur dalam soal pembunuhanitu. Salah seorang pemuka pemberontak-
pemberontak Mesir, yang datang ke Madinah dan kemudian membunuh
‘Usman adalah9 Muhammad Ibn Abi Bakr, anak angkat dari ‘Ali Ibn Abi
Thalib. Dan pula ‘Ali tidak mengambil tindakan keras terhadap
pemberontak-pemberontak itu, bahkan Muhammad Ibn Abi Bakr diangkat
menjadi Gubernur Mesir.

Dalam pertempuran yang terjadi antara golongan ini di Siffin, tentara


‘Ali dapat mendesak tentara Mu’awiyah sehingga yang tersebut akhir ini
bersiap-siap untuk lari. Tetapi tangan kanan Mu’awiyah, ‘Amr Ibn al-‘As
yang terkenal sebagai orang licik, minta berdamai dengan mengangkat al-
Qur’an ke atas. Qurra’ yang berada di pihak ‘Ali mendesak ‘Ali supaya
menerima tawaran itu dan demikian dicarilah perdamaian dengan
mengadakan arbitase. Sebagai pengantara diangkat dua orang: ‘Amr Ibn al-
‘As dari pihak Mu’awiyah dan Abu Musa Al-Asy’ari dari pihak ‘Ali. Dalam
pertemuan mereka, kelicikan ‘Amr mengalahkan perasaan takwa Abu
Musa. Sejarah mengatakan antara keduanya terdapat kemufakatan untuk
menjatuhkan kedua pemuka yang bertentangan, ‘Ali dan Mu’awiyah.
Tradisi menyebut bahwa Abu Musa al-Asy’ari, sebagai yang tertua, terlebih
dahulu berdiri mengumumkan kepada orang ramai putusan menjatuhkan
kedua pemuka yang bertentangan itu. Berlainan dengan apa yang disetujui,
Amr Ibn al-‘As, mengumumkan hanya menyetujui penjatuhan ‘Ali yang
telah diumumkan al-Asy’ari, tetapi menolak penjatuhan Mu’awiyah.

9
Ibid, hal. 6

6
Bagaimanapun peristiwa ini merugikan bagi ‘Ali dan menguntungkan
bagi Mu’awiyah. Yang legal menjadi khalifah sebenarnya hanyalah ‘Ali,
sedangkan Mu’awiyah kedudukannya tak lebih dari Gubernur daerah yang
tak mau tunduk kepada ‘Ali sebagai khalifah. Dengan adanya arbitrase ini
kedudukannya telah naik menjadi khalifah yang tidak resmi. Tidak
mengherankan kalau keputusan ini ditolak ‘Ali dan tak mau meletakkan
jabatannya, sampai ia mati terbunuh di tahun 661 M.10

Persoalan-persoalan yang terjadi dalam lapangan politik sebagai


digambarkan di atas inilah yang akhirnya membawa kepada timbulnya
persoalan-persoalan teologi. Timbulah persoalan siapa yang kafir dan siapa
yang bukan kafir dalam arti siapa yang keluar dari Islam dan siapa yang
masih tetap dalam Islam.

Khawarij memandang bahwa ‘Ali, Mu’awiyah, Amr Ibn al-‘As, Abu


Musa al-Asy’ari dan lain-lain yang menerima arbitrase adalah kafir, karena
al-Qur’an mengatakan:

َ ‫اوڵئِ َك ُهم ٱل‬


. َ‫ڪافِ ُرون‬ ‫َو َمن لَم َيح ُكم ِب َمآ اَنزَ َل ه‬
ُ َ‫ّللاُ ف‬
Dari ayat inilah mereka mengambil semboyan La hukma illa lillah.
Karena pemuka Islam di atas telah dipandang kafir dalam arti bahwa mereka
telah keluar dari Islam, yaitu murtad atau apostate, mereka mesti dibunuh.
Maka kaum Khawarij mengambil keputusan11 untuk membunuh mereka
berempat, tetapi menurut sejarah hanya orang yang dibebani membunuh
‘Ali Ibn Abi Talib yang berhasil dalam tugasnya.

Lambat laun kaum Khawarij pecah menjadi beberapa sekte. Konsep


kafir turut pula mengalami perubahan. Yang dipandang kafir bukan lagi
hanya orang yang tidak menentukan hukum dengan al-Qur’an, tetapi orang

10
Ibid, hal. 7
11
Ibid, hal. 8

7
yang berbuat dosa besar, yaitu murtakib al-kaba’ir atau capital sinners, juga
dipandang kafir.

Persoalan orang yang berbuat dosa inilah kemudian yang mempunyai


pengaruh besar dalam pertumbuhan teologi selanjutnya dalam Islam.
Persoalannya ialah: masihkah ia dipandang orang mukmin ataukah ia sudah
menjadi kafir karena berbuat dosa besar?

Persoalan ini menimbulkan tiga aliran teologi dalam Islam. Pertama


aliran Khawarij yang mengatakan bahwa orang yang berdosa besar adalah
kafir, dalam arti keluar dari Islam tegasnya murtad dan oleh karena itu ia
wajib dibunuh.

Aliran kedua ialah aliran Murji’ah yang menegaskan bahwa orang yang
berbuat dosa besar tetap masih mukmin bukan kafir. Adapun soal dosa yang
dilakukannya, terserah kepada Allah SWT untuk mengampuni atau tidak
mengampuninya.

Kaum Mu’tazilah sebagai aliran ketiga tidak menerima pendapat-


pendapat di atas. Bagi mereka orang yang berdosa besar bukan kafir tetapi
pula bukan mukmin. Orang yang serupa ini kata mereka mengambil posisi
diantara kedua posisi mukmin dan kafir yang dalam bahasa Arabnya
terkenal dengan istilah almanzilah bain almanzilitain (posisi diantara dua
posisi).

Dalam pada itu timbul pula dalam Islam dua aliran dalam teologi yang
terkenal dengan nama al-qadariyah dan al-jabariyah. Menurut qadariya
manusia mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya,
dalam istilah Inggrisnya free will dan free act. Jabariyah, sebaliknya,
berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam
kehendak dan perbuatannya. Manusia dalam segala tingkah lakunya,
menurut paham jabariyah, bertindak dengan paksaan dari Tuhan. segala

8
gerak-gerik manusia ditentukan oleh Tuhan. paham inilah yang disebut
paham predestination atau fatalism, dalam istilah Inggris.12

Aliran Mu’tazilah yang bercorak rasional ini mendapat tantangan keras


dari golongan tradisional Islam, terutama golongan Hambali, yaitu
pengikut-pengikut mazhab Ibn Hambal. Politik menyiarkan aliran
Mu’tazilah secara kekerasan berkurang setelah al-Ma’mun meninggal pada
tahun 833, dan akhirnya aliran Mu’tazilah sebagai mazhab resmi dari negara
dibatalkan oleh Khalifah al-Mutawwakil pada tahun 856 M. dengan
demikian kaum Mu’tazilah kembali kepada kedudukan mereka semula,
tetapi kini mereka telah mempunyai lawan yang bukan sedikit di kalangan
umat Islam.13

Perlawanan ini kemudian mengambil bentuk aliran teologi tradisional


yang disusun oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari (935 M). al-Asy’ari sendiri pada
mulanya adalah seorang Mu’tazilah, tetapi kemudian, menurut riwayatnya
setelah melihat dalam mimpi bahwa ajaran-ajaran Mu’tazilah dicap Nabi
Muhammad sebagai ajaran-ajaran yang sesat, al-Asy’ari meninggalkan
ajaran-ajaran itu dan membentuk ajaran-ajaran baru yang kemudian terkenal
dengan nama teologi al-Asy’ariyah atau al-Asya’irah.

Di samping aliran al-Asy’ariah timbul pula di Samarkand suatu aliran


yang bermaksud juga menentang aliran Mu’tazilah dan didirikan oleh Abu
Mansur Muhammad al-Maturidi (w.944 M). aliran ini kemudian terkenal
dengan nama teologi al-Maturidiah, yang sebagaimana akan terlihat nanti
tidaklah bersifat setradisional aliran Asy’ariyah, akan tetapi tidak pula
bersifat seliberal Mu’tazilah. Sebenarnya aliran ini terbagi dalam dua
cabang Samarkand yang bersifat agak liberal dan cabang Bukhara yang
bersifat tradisional.14

12
Ibid, hal. 9
13
Ibid, hal. 10
14
Ibid, hal. 11

9
Kita tidak akan dapat memahami persoalan-persoalan ilmu kalam
sebaik-baikNya kalo kita tidak mempelajari faktor-faktor yang
mempengaruhi timbulNya, kejadian-kejadian politisi dan historis yang
menyertai pertumbuhanNya. Faktor itu sebenarNya banyak, akan tetapi
dapat digolongkan kepada dua bagian, yaitu faktor-faktor yang datang dari
dalam Islam dan kaum Muslimin sendiri dan faktor-faktor yang datang dari
luar mereka, karena adanya kebudayaan-kebudayaan lain dan agama-agama
yang bukan Islam. Ada dua Faktor yang menyebabkan munculnya ilmu
kalam diantaranya:

1. Faktor Internal
a. Perbedaan Ta’wil dan Nash-Nash Agama

Quran sendiri disamping ajakannya kepada tauhid dan


mempercayai kenabian dan hal-hal lain yang berhubungan dengan
itu, menyinggung pula golongan-golongan dan agama-agama yang
ada pada masa Nabi Muhammad saw.,yang mempunyai
kepercayaan-kepercayaan yang tidak benar. Quran tidak
membenarkan kepercayaan mereka dan membantah alasan-
alasannya, antara lain:

1) Golongan yang mengingkari agama dan adanya Tuhan dan


mereka mengatakan bahwa yang menyebabkan kebinasaan
dan kerusakan hanyalah waktu saja (lihat, Q.S. Al-Jasiyah,
45-24).
2) Golongan-golongan syirik, yang menyembah bintang, bulan,
matahari (lihat, Q.S. Al-An’am, 6:76-78), yang
mempertuhankan Nabi Isa As dan ibunya (lihat, Q.S. Al-
Maidah, 5:116), yang menyembah berhala-berhala (lihat,
Q.S. Al-An’am, 6:74; dan Asy-Syu’ara, 26:71).
3) Golongan-golongan yang tidak percaya akan keutusan nabi-
nabi (lihat, Q.S. Al-Isra’, 17:94), dan tidak mempercayai

10
kehidupan kembali di akhirat nanti (lihat, Q.S. Al-Anbiya’,
21:38).
4) Golongan yang mengatakan bahwa semua yang terjadi di
dunia ini adalah perbuatan Tuhan semuanya dengan tidak
ada campur tangan manusia (yaitu orang-orang munafik;
lihat, Q.S. Ali-Imran, 3:154).
Tuhan membantah alasan-alasan dan perkataan mereka semua
dan juga memerintahkan Nabi Muhammad saw. untuk tetep
menjalankan dakwahnya sambil menghadapi alasan-alasan mereka
yang tidak percaya dengan cara yang halus. Firman Tuhan:
“Ajaklah mereka kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan
nasihat-nasihat yang baik-baik dan bantahlah mereka itu dengan
jalan yang lebih baik.” (Q.S. An-Nahl, 16:125)
Adanya golongan-golongan tersebut di samping adanya perintah
Tuhan di ayat ini sudah barang tentu membuka jalan bagi kaum
Muslimin untuk mengemukakan alasan-alasan kebenaran ajaran-
ajaran agamanya di samping menunjukkan kesalahan-kesalahan
golongan-golongan yang menentang kepercayaan-kepercayaan itu,
dan dari kumpulan-kumpulan alasan itulah berdiri ilmu kalam.15

b. Perbedaan Politik Kaum Muslimin


Para ahli memainkan peran yang sangat besar dalam
‘Masalah Politik Intern’, bahkan terbesar dalam
melatarbelakangi lahirnya ilmu kalam di dunia Islam.
Sepeninggalan Rosulullah SAW, umat Muslim segera
memperbincangkan mengenai masalah politik sekitar khilafah,
yaitu tentang pengganti Rasulullah untuk memimpin negara
Islam yang baru ditinggal pendirinya.

15
Ahmad Hanafi, Teologi Islam (Ilmu Kalam), Jakarta: PT Bulan Bintang, 2010, Cet. 13, hal. 7-8

11
Persoalan politik ini dapat diselesaikan dengan terpilihnya
Abu Bakar sebagai khalifah pertama. Ketika pemerintahan
dipegang oleh khalifah Usman, suasana politik dunia Islam
mulai bergolak yang mengakibatkan kematian sang khalifah.
Ketika jabatan diduduki oleh Ali ibn Thalib, khalifah keempat
Muslimin telah terpecah menjadi beberapa kelompok
kepentingan politik. Pembangkangan Mu’awiyah terhadap
Khalifah Ali berakibat bentrok militer di medan Perang Shiffin.
Upaya damai dilakukan melalui majlis tahkim atau arbitrase.
Namun hasil takhim yang dinodai oleh kelicikan politik
menyebabkan sebagian pengikut Ali tidak puas dan menyatakan
keluar dari barisan khalifah. Mereka membentuk kelompok
sendiri yang terkenal dengan nama kaum Khawarij. Kelompok
ini yang pertama kali memunculkan persoalan kalam di tengah-
tengah perselisihan politik, dengan menyebut kafir para lawan
politiknya yang terlibat dalam tahkim. Sejak itulah persoalan
kalam muncul dalam perbincangan umat, yang pada gilirannya
melahirkan ilmu kalam.16

2. Faktor Eksternal
a. Paham Agama Lain
Paham dan metode agama lain ini masuk atau terbawa umat
agama lain, yang berkonversi kepada Islam, seperti Yahudi dan
Kristen. Di tengah-tengah keberagaman mereka di dalam Islam,
ada kalanya ajaran dan metode pemahaman agama sebelumnya,
terutama yang berkaitan dengan akidah, secara tidak disengaja
mereka munculkan dalam konteks keislaman yang tidak jarang
memancing munculnya persoalan-persoalan yang lain.

16
Suryan A Jamrah, Studi Ilmu Kalam, Jakarta: PRENADAMEDIA GROUP, 2015, hal 32

12
b. Kontak dengan Umat Agama Lain
Pertemuan umat Islam dengan umat agama kain, terutama
Yahudi danKristen, tidak jarang menimbulkan diskusi dan
perdebatan agama. Karena umat agama lain tersebut
menggunakan argument filosofis, maka untuk mengimbanginya,
umat Islam pun harus menggunakan argument serupa.
Keharusan Muslimin membela dan menyebarkan agama Islam
di hadapan orang-orang yang terbiasa menggunakan argument
rasional ini, banyak ikut mendorong lahirnya ilmu kalam di
dunia Islam. Ilmu kalam lebih tepat dikatakan bahwa kahir
sebagai hasil perenungan Muslimin terhadap akidah Islam itu
Sendiri, yang mengacu kepada kandungan Al-Qur’an. Hanya
saja di dalam pembahasan rasionalnya ilmu unu meminjam,
tidak seluruhnya, metode mantik dan filsaafat.
Sebelum berargumen secara rasional para mutakalimin
sudah mempunyai keyakinan yang kuat terhadap kebenaran
tema kalam yang didapat dari keterangan sumber Islam tersebut.
Argument rasional yang digunakan lebih dimaksudkan sebagai
penguat terhadap apa yang telah diyakini.17

17
Ibid, hal. 33

13
BAB III

KESIMPULAN

Ilmu Teologi dalam Islam muncul ketika tejadi persoalan politik setelah
sepeninggalan Rasulallah SAW. Ada beberapa aliran Teolog dalam Islam seperti
Syi’ah, Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah, Jabariyyah, dan Qadariyyah.

Ada dua faktor yang menjadi lahirnya Ilmu Kalam atau teolog di dalam
agama Islam yakni :

1. Faktor Internal
Dalam Faktor internal terjadi perbedaan Nash dan Ta’wil
serta perbedaan Paham politik dalam agama Islam saat itu.

2. Faktor Eksternal

Dalam faktor ini terjadi karena masuknya paham agama lain


serta terjadi kontak dengan umat agama lain yang tidak jarang
menimbulkan perdebatan di dalamnya.

14
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Amin. Filsafah Kalam di Era Postmodernisme.


Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2009
Anwar, Rosihon dan Abdul Rozak. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka
Setia. 2001
Hanafi, Ahmad M,A. Teologi Islam (Ilmu Kalam). Jakarta: PT
Bulan Bintang. 2010
Hosein Nasr, Sayyed. Intelektual Islam.Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. 2009
Jamrah, Suryan A. Dr, M,A. Studi Ilmu Kalam. Jakarta:
Prenadamedia Group. 2015
Nasution, Harun. Teologi Islam. Jakarta: UI-Press. 2002

15

Anda mungkin juga menyukai