Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada zaman yang sudah modern seperti sekarang ini,
kehalalan memang masih menjadi kebutuhan umat muslim, tetapi
sesuatu yang sifatnya menyenangkan dapat menggoyahkan prinsip
seorang muslim, apalagi dengan dukungan dari berbagai aspek
seperti makanan yang enak, murah, dan sedang hits. Maka tidak
heran hal tersebut sering sekali dilakukan tanpa mempertimbangkan
atau menelusuri kehalalannya.
Dalam ajaran islam menghindari hal-hal yang belum pasti
kehalalannya disebut wara’, tetapi apa dampak yang akan
berpengaruh dalam mental seseorang yang menghindari hal-hal
demikian.
Dalam makalah ini penulis akan mencoba menguraikan
dampak apa yang terjadi pada kesehatan mental seseorang yang
menghindari hal-hal yang syubhat.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertisn wara’?
2. Bagaimana tingkatan wara’?
3. Apa hubungan wara’ dengan kesehatan mental?

C. Tujuan Pembuatan Makalah


1. Agar pembaca dapat memahami apa yang disebut wara’
2. Agar dapat mengetahui bahkan mengamalkan tingkatan wara”
3. Agar pembaca dapat mengetahui hubungannya, dan mungkin
dapat mengamalkannya.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Wara’
Wara’ berarti berpantang, maksudnya berpantang atau
meninggalkan hal-hal yang syubhat dan yang tidak bermanfaat.
Berusaha menjauhkan diri dari sesuatu yang tidak bisa dihalalkan
atau diharamkan secara mutlak. Meninggalkan hal-hal yang tidak
bermanfaat, apa lagi yang haram, adalah dalam rangka
mengendalikan hawa nafsu, mencapai kesolehan dan keseimbangan
batiniah untuk mendekatkan diri pada Tuhan.1 Syekh Abu Nashr as-
Sarraj rahimahullah berkata: kedudukan spritual wara’ adalah
kedudukan spiritual (maqam) mulia.

Rasulullah saw bersabda:

ُ ‫َمالَكُ ِد ْينِ ُك ُم ْال َو َر‬


‫ع‬

Tiang penyanggah agamamu adalah wara’.” (H.R. Bazzar,


ath-Thabrani dan as-suyuthi dari Hudzaifah).2

Dalam kajian tentang tasawuf wara’ biasanya disebut sesudah


zuhud. Karena wara’ adalah tingkat tertinggi dalam sikap zuhud.
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa zuhud adalah meninggalkan
hal-hal yang haram, kemudian meninggalkan hal-hal yang syubhat,
dan akhirnya meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat walaupun
halal.
Wara’ harus dilakukan secara ikhlas. Kalau tidak ikhlas, maka
tidak disebut wara’ tetapi namanya ria.3

1
Sudirman. Tebba, Bekerja Dengan Hati, (Tangerang: Pustaka Irvan, 2009), cet. Ke2, hal. 101.
2
Wasmukan. dkk , al-Luma’, (Surabaya: Risalaha Gusti, 2002), Hal. 92.

2
B. Tingkatan-tingkatan Wara’
Tingkatan Pertama, wara’ Al-udul (wara’ orang-orang yang
memiliki kelayakan moralitas), yaitu setiap hal yang oleh fatwa
harus diharamkan diantara hal yang masuk kedalam kategori haram
mutlak yang bila dilanggar maka pelanggarnya dinilai melakukan
kefasikan dan kemaksiatan.
Tingkatan Kedua, (wara’ orang-orang yang shalih) setiap
syubhat yang tidak wajib diajuhi tetapi dianjurkan untuk diajuhi.
Sedangkan apa yang wajib dijauhi dimasukan kedalam yang haram,
diantaranya apa yang dibenci untuk dijauhi karena sikap wara’ ini
merupakan orang-orang yang was-was, seperti orang yang tidak mau
berburu karena takut buruannya itu sudah menjadi milik orang lain
atau lepas dari pengawasan pemiliknya.
Tingkata Ketiga, wara’ al-muttaqien (wara’ orang-orang
yang bertaqwa), yaitu meninggalkan perbuatan yang sebenarnya
halal tetapi dikhawatirkan terbawa kepada yang haram.
Tingkata keempat, wara’ as-shidiqin, halal disisi mereka
adalah setiap hal yang di dalam sebab-sebanya tidak didahului oleh
kemaksiatan, tidak dipegunakan untuk kemaksiatan, dan tidak pula
dimaksudkan untuk melampiaskan kebutuhan, baik sekarang
maupun di masa yang akan datang, tetapi dimakan semat-mata
karena Allah dan untuk memperkuat ibadah kepadanya dan
mempertahankan kehidupan karenanya.
Ini adalah tingkatan muwahhidin (orang-orang yang
bertauhid) yang telah terhindar dari tuntutan nafsu mereka, dan
memurnikan tujuan hanya kepada Allah. Tidak diragukan bahwa
orang yang menghindari hal yang bisa membawanya kepada

3
Ibid, hal. 102-103.

3
kemaksiatan pasti menghindari hal yang menyertai kemaksiatan
dengan sebab usahanya.4
C. Manfaat Wara’
1. Terhindar dari adzab Allah SWT, pikiran menjadi tenang dan
hati menjadi tentram.
2. Menahan diri dari hal yang dilarang.
3. Tidak menggunakan waktu untuk hal-hal yang tidak bermanfaat.
4. Mendatangkan cinta Allah SWT. karena Allah SWT mencintao
orang-orang yang wara’.
5. Membuat doa dikabulkan, karena manusia jika mensucikan
makanan, minuman dan bersikap wara’, lalu mengangkat kedua
tangannya untuk berdoa, maka doanya akan segera dikabulkan.
6. Mendapatkan keridhaan Allah SWT dan bertambahnya
kebaikan.
7. Terdapat perbedaan tingkatan manusia di dalam surga sesuai
dengan perbedaan tingkatan wara’ mereka.
D. Hubungannya dengan kesehatan mental
Wara’ adalah menjauhkan diri dari perbuatan dosa.
Pembinaan mentalnya dengan menjaga diri dari yang
mempengaruhi stabilitas mental dan jiwa dari ganguan eksternal
maupun internal, maksudnya ialah menjaga dari segala aktivitas
yang tidak dapat menggangu stabilitas jiwa. Hal ini berupa perilaku
seperti makanan yang haram atau subhat.5

4
Hawa. Dkk, Mensucikan jiwa (konsep tazkiyatun nafs), (Jakarta: Robbani press, 1998), hal. 434-
436
5
Muhammad Hasyim, Dialog Antara Tasawuf dan Psikilogi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002),
hal. 31.

4
Dimensi dan Indikator Wara’
Dimensi Indikator
Fisik  Menghindarkan diri dari harta yang syubhat
 Menghindarjan diri dari harta yang halal dan
sebagian bercampur garam
 Menghindarkan dir dari yang halal karena takut
berakibat kemaksiatan
Psikis  Membersihkan qalbu dari segala kotoran
 Meninggalakan perbuatan yang sia-sia
 Menjauhkan qalb dari segala perbuatan yang
masih diragukan.6

6
Abdul Mujib, teori kepribadian perspektif psikologi islam, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada,
2017), hal. 294.

5
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Psikologi dan tasawuf memiliki perbedaan dalam memandang


manusia. Psikologi memandang manusia dalam bentuk fisik dan psikis.
Sedangkan tasawuf memandang manusia tidaklah suatu bentuk sederhana
yang hanya terdiri dsri fisik dan psikis. Salah satu bentuk harmonisasi
psikologi dan tasawuf adalah konseling sufistik. Menggunakan
pendekatamn yang berdasar pada pendekatan psikologi dan pendekatan
tasawuf.

6
DAFTAR PUSTAKA

 Tebba, Sudirman. Bekerja Dengan Hati. 2009. Tangerang: Pustaka


Irvan. cet Ke-2.
 Wasmukan, dkk . Al-Luma’. 2002. Surabaya: Risalah Gusti.
 Hawa, dkk. Mensucikan Jiwa (Konsep Tazkiyatun Nafs). 1998.
Jakarta: Robbani press.
 Hasyim, Muhammad. Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi. 2002.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
 Mujib, Abdul. Teori Kepribadian Perspektif Psikologi Islam. 2017.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Anda mungkin juga menyukai