Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Kolangitis akut merupakan kondisi akibat inflamasi akut yang terjadi dalam duktus

koledokus (common bile duct, CBD). Proses inflamasi ini di dahului adanya proliferasi bakteri

dan peningkatan tekanan intraluminal CBD. Tekanan yang tinggi dalam CBD menyebabkan

aliran balik bakteri dan endotoksin ke dalam sirkulasi darah. Kolangitis akut memerlukan

penanganan yang adekuat. Bila tidak mendapatkan penanganan yang adekuat, dapat

menyebabkan mortalitas 1,2.

Lee, et al, menyebutkan angka mortalitas pada kolangitis mencapai 5%-10%. Angka

ini dapat meningkat secara signfikan menjadi 88%-100% akibat terjadinya gagal organ. Data

rekam medik di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung (RSHS) sepanjang tahun 2014

menunjukkan angka mortalitas akibat kolangitis akut yang cukup tinggi, yaitu sebesar 27%.

Mengenai penyebab tingginya angka mortalitas ini, masih perlu dilakukan penelitian lebih

lanjut. Beberapa dugaan awal diantaranya sebagian besar kunjungan kasus kolangitis akut

merupakan derajat sedang dan berat (72%), adanya keterlambatan dalam melakukan drainase

bilier atau keadaan undertreatment kasus yang seharusnya dikelola sebagai kolangitis berat

namun terjustifikasi sebagai kolangitis derajat yang lebih rendah3.

Batu saluran bilier merupakan penyebab kolangitis akut terbanyak. Data terbaru

menunjukkan insidensi kolangitis akut meningkat pada obstruksi bilier maligna, sclerosing

cholangitis, dan instrumentasi bilier. Dilaporkan 10-30% obstruksi bilier maligna disertai

dengan kolangitis akut4. Diketahui dari data rekam medis RSHS tahun 2014, terdapat 65%

kolangitis akut disebabkan oleh batu CBD sedangkan sisanya (35%) merupakan obstruksi bilier

malignan.

1
Diagnosis secara klinis dapat ditegakan dengan trias Charcot, yaitu adanya demam,

ikterus dan nyeri perut kanan atas. Pemeriksaan yang dapat dilakukan meliputi pemeriksaan

darah rutin, fungsi hati (aspartate transaminase & alinine transaminase), alkali fosfatase, dan

bilirubin serum, dan kultur bakteri dari sampel darah. Studi pencitraan juga dapat membantu

dalam menegakan diagnosis kolangitis akut. 4

Terapi kolangitis akut terdiri dari pemberian antibiotik dan drainase bilier. Derajat

kolangitis akut menetukan perlu tidaknya pasien dirawat di rumah sakit. Bila klinis penyakitnya

ringan, dapat berobat jalan, terutama jika kolangitis akut ringan yang berulang.5

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimanakah karakteristik pasien dengan kolangitis akut di rumah sakit hasan sadikin

pada periode januari 2017 – januari 2019.

1.3 Tujuan Penelitian

Mengetahui karakteristik pasien kolangitis akut di RSHS periode januari 2017 – januari

2019.

1.4 Kegunaan Penelitian

1.4.1 Kegunaan Ilmiah

Diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi ilmiah mengenai karakteristik

januari 2017- januari 2019 di RSHS.

1.4.2 Kegunaan Praktis

Diharapkan dari penelitian ini akan diperoleh suatu informasi yang mendasar yang

dapat dijadikan sebagai bahan penelitian lebih lanjut.

2
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Kolangitis akut adalah keadaan inflamasi akut akibat infeksi dalam saluran bilier.

Patofisiologi kolangitis melibatkan 2 hal, yaitu : (1) adanya bakteri dalam saluran bilier, serta

(2) adanya peningkatan tekanan dalam saluran bilier, menyebabkan translokasi bakteri dan

endotoksin kedalam sirkulasi sistemik dan sistem limfatik (cholangio-venous/lymphatic

reflux). Secara patoanatomis, saluran bilier dipengaruhi oleh perubahan tekanan intraduktal.

Kolangitis disertai tekanan tinggi intraduktal menyebabkan saluran bilier lebih permeable lagi

terhadap translokasi bakteri dan toksin. Bila prosess ini berlanjut akan berakhir dengan infeksi

yang fatal, seperti terbentuknya abses hepar dan sepsis 2,4.

Pada tahun 1887, pertama kalinya Charcot menyatakan istilah hepatic fever. Istilah ini

menunjukkan suatu keadaan demam yang intermiten disertai badan menggigil, nyeri perut

bagian kanan atas serta badan menjadi kuning. Tiga faktor ini dikenal dengan charcot’s triad.

Tahun 1959, Reynold dan Dargan menyebutkan istilah acute obstructive cholangitis (AOC).

Istilah ini merujuk pada sindrom yang terdiri dari kondisi letargi atau perubahan status mental

serta syok yang menyertai 3 keluhan yang disebutkan terdahulu oleh Charcot, serta diketahui

penyebabnya adalah obstruksi bilier. Reynold juga menyebutkan bahwa satu-satunya prosedur

untuk menangani kondisi acute obstructive cholangitis ini dengan melakukan dekompresi

bilier darurat melalui pembedahan. Lima kumpulan gejala yang disebutkan diatas dikenal

dengan Reynold’s Pentad 1.

3
2.2 Anatomi

Kandung empedu bentuknya seperti kantong, organ berongga yang panjangnya sekitar

10 cm, terletak dalam suatu fosa yang menegaskan batas anatomi antara lobus hati kanan dan

kiri.4,5 Kandung empedu merupakan kantong berongga berbentuk bulat lonjong seperti buah

advokat tepat di bawah lobus kanan hati. Kandung empedu mempunyai fundus, korpus, dan

kolum. Fundus bentuknya bulat, ujung buntu dari kandung empedu yang sedikit memanjang

di atas tepi hati. Korpus merupakan bagian terbesar dari kandung empedu. Kolum adalah

bagian yang sempit dari kandung empedu yang terletak antara korpus dan daerah duktus

sistika.6

Empedu yang disekresi secara terus-menerus oleh hati masuk ke saluran empedu yang

kecil dalam hati. Saluran empedu yang kecil bersatu membentuk dua saluran lebih besar yang

keluar dari permukaan bawah hati sebagai duktus hepatikus kanan dan kiri yang segera bersatu

membentuk duktus hepatikus komunis. Duktus hepatikus bergabung dengan duktus sistikus

membentuk duktus koledokus.1,6

2.3 Epidemiologi

Prevalensi batu empedu di dunia sekitar 20-35% dan resiko terjadinya kolangitis akut

simtomatik dilaporkan sekitar 0.2%. Kolangitis akut dapat pula disebabkan adanya batu primer

di saluran bilier, keganasan dan striktur.1,6 Dilaporkan angka kematian sekitar 13-88%.

Kolangitis ini dapat ditemukan pada semua ras. Berdasarkan jenis kelamin, dilaporkan

perbandingan antara laki-laki dan perempuan tidak ada yang dominan diantara keduanya.1

Berdasarkan usia dilaporkan terjadi pada usia pertengahan sekitar 50-60 tahun.3

4
Insidensi terjadinya kolangitis akut pada batu empedu asimptomatik sebesar 0,3-1,6%.

Angka insidensi kolangitis berat (sesuai TG07) sebanyak 12,3%; proporsi terjadinya syok

sebanyak 7-25,5%; proporsi terjadinya perubahan status mental sebanyak 7-22,2%; serta 3,5-

7,7% mengalami Reynold’s pentad. Pasien paska ERCP memiliki resiko untuk terjadi

kolangitis sebesar 0,5-2,4%. Pasien paska ERCP juga beresiko mengalami komplikasi dengan

insidensi 0,8-12,1%. Komplikasi yang paling sering adalah pancreatitis, sedangkan insidensi

mortalitas pada pasien paska ERCP adalah 0,0023-1,5% 4.

Di Amerika Serikat, kolangitis cukup jarang terjadi. Biasanya terjadi bersamaan dengan

penyakit lain yang menimbulkan obstruksi bilier dan infeksi bakteri empedu (misal: setelah

prosedur ERCP, 1-3% pasien mengalami kolangitis).7 Resiko tersebut meningkat apabila

cairan pewarna diinjeksikan secara retrograd. Insidensi Internasional kolangitis adalah sebagai

berikut: kolangitis pyogenik rekuren, kadangkala disebut sebagai kolangio hepatitis iriental,

endemik di Asia Tenggara. Kejadian ini ditandai oleh infeksi saluran bilier berulang,

pembentukan batu empedu intrahepatik dan ekstrahepatik, abses hepar, dan dilatasi dan striktur

dari saluran empedu intra dan ekstrahepatik.6

Trias Charcot terdiri dari nyeri abdomen kanan atas, demam dan ikterik, dapat

digunakan untuk mendiagnosa kolangitis akut secara klinis. Umumnya pasien-pasien dengan

kolangitis akut menunjukan respon dan terjadi resolusi dengan antibiotik, namun demikian

pembersihan saluran bilier secara endoskopi pada akhirnya tetap diperlukan untuk mengatasi

terapi penyebab obstruksi Meskipun umumnya pasien dapat berespon dengan terapi antibiotik

dan drainase bilier, penelitian-penelitian melaporkan angka morbiditas dari kolangitis akut

mencapai 10% .

5
2.4 Etiologi

Kolangitis akut terjadi sebagai hasil dari obstruksi saluran bilier dan pertumbuhan

bakteri dalam empedu (infeksi empedu). Kolangitis akut membutuhkan kehadiran dua

faktor:1,4

(1) obstruksi bilier

(2) pertumbuhan bakteri dalam empedu (bakterobilia)

Cairan empedu biasanya normal pada individu yang sehat dengan anatomi bilier yang

normal. Bakteri dapat menginfeksi sistem saluran bilier yang steril melalui ampula vateri

(karena adanya batu yang melewati ampula), sfingterotomi atau pemasangan sten (yang disebut

kolangitis asending) atau bacterial portal, yaitu terjadinya translokasi bakteri melalui sinusoid-

sinusoid hepatik dan celah disse. Bakterobilia tidak dengan sendirinya menyebabkan kolangitis

pada individu yang sehat karena efek bilasan mekanik aliran empedu, kandungan antibakteri

garam empedu, dan produksi IgA. Namun demikian, obstruksi bilier dapat mengakibatkan

kolangitis akut karena berkurangnya aliran empedu dan produksi IgA, menyebabkan gangguan

fungsi sel kupffer dan rusaknya celah membran sel sehingga menimbulkan refluks

kolangiovena.1

Penyebab paling sering obstruksi bilier adalah koledokolitiasis, stenosis bilier jinak,

striktur anastomosis empedu, dan stenosis dengan penyakit ganas. Koledokolitiasis digunakan

untuk menjadi penyebab paling sering, tetapi baru-baru ini kejadian kolangitis akut yang

disebabkan oleh penyakit ganas, sklerosis kolangitis, dan instrumentasi non-bedah saluran

empedu telah meningkat. Hal ini dilaporkan bahwa penyakit ganas sekitar 10-30%

menyebabkan kasus akut kolangitis.2

6
Berikut adalah beberapa penyebab terjadinya kolangitis akut, antara lain:2,4

 Kolelitiasis

 Benign biliary stricture

 Faktor kongenital

 Faktor post-operatif (kerusakan ductus bilier, strictured choledojejunostomy,


etc.)

 Faktor inlamasi

 Oklusi keganasan

 Tumor duktus bilier

 Tumor kandung empedu

 Tumor ampula

 Tumor pankreas

 Tumor duodenum

 Pankreatitis

 Tekanan eksternal

 Fibrosis papila

 Divertikulum duodenal

 Bekuan darah

 Faktor iatrogenic

 Parasit yang masuk ke duktus bilier (Biliary ascariasis)

 Sump syndrome setelah anastomosis enterik bilier

2.5 Faktor Resiko

Empedu dari subyek sehat umumnya bersifat aseptik. Namun, kultur empedu positif

mengandung mikroorganisme pada 16% dari pasien yang menjalani operasi non-bilier, 72%

dari pasien kolangitis akut, 44% dari pasien kolangitis kronis, dan 50% dari mereka dengan

obstruksi bilier.5 Bakteri dalam empedu teridentifikasi pada 90% pasien dengan

koledokolitiasis disertai dengan ikterus.8

7
Pasien dengan obstruksi tidak lengkap dari saluran empedu menyajikan tingkat kultur empedu

positif yang lebih tinggi dibandingkan dengan obstruksi lengkap dari saluran empedu. Faktor

resiko untuk bakterobilia mencakup berbagai faktor, seperti dijelaskan di atas. Faktor resiko

lain terjadinya kolangitis yang disebut riwayat infeksi sebelumnya, usia >70 tahun dan

diabetes.7,8

2.6 Patofisiologi

Dalam keadaan normal sistem bilier steril dan aliran cairan empedu tidak mengalami

hambatan sehingga tidak terdapat aliran balik ke sistem bilier. Kolangitis terjadi akibat adanya

stasis atau obstruksi di sistem bilier yang disertai oleh bakteria yang mengalami multiplikasi.

Obstruksi terutama disebabkan oleh batu common bile duct (CBD), striktur, stenosis, atau

tumor, serta manipulasi endoskopik CBD. Dengan demikian aliran empedu menjadi lambat

sehingga bakteri dapat berkembang biak setelah mengalami migrasi ke sistem bilier melalui

vena porta, sistem limfatik porta ataupun langsung dari duodenum.3,4

Oleh karena itu akan terjadi infeksi secara ascenden menuju duktus hepatikus, yang

pada akhirnya akan menyebabkan tekanan intrabilier yang tinggi dan melampaui batas 250

mmH20. Oleh karena itu akan terdapat aliran balik empedu yang berakibat terjadinya infeksi

pada kanalikuli biliaris, vena hepatika dan limfatik perihepatik, sehingga akan terjadi

bakteriemia yang bisa berlanjut menjadi sepsis (25-40%). Apa bila pada keadaan tersebut

disertai dengan pembentukan pus maka terjadilah kolangitis supuratif.9

Terdapat berbagai bentuk patologis dan klinis kolangitis, yaitu:1,8

1. Kolangitis dengan kolesistitis

Pada keadaan ini tidak ditemukan obstruksi pada sistem bilier, maupun
pelebaran dari duktus intra maupun ekstra hepatal.

8
Keadaan ini sering disebabkan oleh batu CBD yang kecil, kompresi oleh
vesica felea /kelenjar getah bening/inflamasi pankreas, edema/spasme
sfinkter Oddi, edema mukosa CBD, atau hepatitis.

2. Kolangitis non-supuratif akut

Terdapat bakterobilia tanpa pus pada sistem bilier yang biasanya


disebabkan oleh obstruksi parsial.

3. Kolangitis supuratif akut

Pada CBD berisi pus dan terdapat bakteria, namuntidak terdapat obstruksi
total sehingga pasien tidak dalam keadaan sepsis.

4. Kolangitis supuratif akut dengan obstruksi

Di sini terjadi obstruksi total sistem bilier sehingga melampaui tekanan


normal pada sistem bilier yaitu melebihi 250mm H20 sehingga terjadi
bakterimia akibat reflluk cairan empedu yang disertaidengan influks
bakteri ke dalam sistem limfatik dan vena hepatika.

5. Syok sepsis

Apabila bakteriemia berlanjut maka akan timbul berbagai komplikasi yaitu


sepsis berlarut, syok septik, gagal organ ganda yang biasanya didahului oleh
gagal ginjal yang disebabkan oleh sindroma hepatorenal, abses hati
piogenik (sering multipel) dan bahkan peritonitis. Jika sudah terdapat
komplikasi, maka prognosisnya menjadi lebih buruk.

2.7 Diagnosis

Diagnosis kolangitis akut dapat ditegakan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik

serta melalui pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis penderita kolangitis secara klinis dapat

ditemukan trias Charcot yaitu adanya keluhan demam, ikterus, dan sakit pada perut kanan atas.

9
Beberapa penderita hanya mengalami dingin dan demam dengan gejala perut yang minimal.

Ikterus atau perubahan warna kuning pada kulit dan mata didapatkan pada sekitar 80%

penderita. 1,4

Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan adanya demam, hepatomegali, ikterus,

gangguan kesadaran (delirium), sepsis, hipotensi dan takikardi. Adanya tambahan syok septis

dan delirium pada trias Charcot dikenal sebagai Pentad Reynold.3

Morbiditas dari kolangitis akut dikaitkan dengan terjadinya cholangiovenous dan

cholangiolymphatic refluks bersama dengan tekanan tinggi di saluran empedu dan infeksi

empedu akibat obstruksi saluran empedu yang disebabkan oleh batu dan tumor. Kriteria

diagnostik menurut Tokyo Guideline 2013 (TG13) kolangitis akut adalah kriteria untuk

menegakkan diagnosis ketika kolestasis dan peradangan berdasarkan tanda-tanda klinis atau

tes darah di samping manifestasi empedu berdasarkan pencitraan yang hadir.9,10

2.8 Pemeriksaan Penunjang

2.8.1 Pemeriksaan Laboratorium

Kriteria untuk diagnosis definitif kolangitis akut adalah sebagai berikut : adanya trias

Charcot atau bila tidak lengkap, adanya 2 unsur trias Charcot ditambah adanya bukti

laboratorium terjadinya respons inflamasi (leukosit yang abnormal, meningkatnya CRP atau

perubahan-perubahan lain yang mengindikasikan adanya inflamasi), test fungsi hati abnormal

(Alkaline Phosphatase/ALP, Gamma Glutamil Transpeptidase/GGT, Aspartate

Transaminase.AST/SGOT, Alanine Transaminase/ALT/SGPT) dan temuan-temuan

pencitraan dilatasi bilier atau bukti etiologi (misalnya adanya batu, striktur atau stenosis).

10
TG18 mendefinisikan suatu diagnosis suspek kolangitis akut bila terdapat 2 atau lebih dari

salah satu kriteria berikut: riwayat penyakit bilier, demam dan/atau menggigil, ikterik dan nyeri

abdomen bagian atas atau kanan atas. Pedoman tersebut menunjukkan adanya kemajuan dan

suatu upaya yang jarang dalam standarisasi definisi kolangitis kaut, namun pedoman tersebut

dirasakan kurang teliti. Misalnya tidak definiskannya berapa tingkat demam atau ikterik, begitu

juga nyeri abdomen kuadran kanan atas.11

Pada TG18 mendefinisikan kolangitis akut dalam kategori ringan (merespon terhadap

terapi suportif dan antibiotik), sedang (tidak merespon terhadap terapi medikal namun tidak

terjadi disfungsi organ), atau berat (adanya paling tidak 1 tanda disfungsi organ). Tanda tanda

disfungsi organ meliputi hipotensi, sehingga memerlukan pemberian dobutamin atau

dopamine, delirium, rasio PaO2/FiO2 <300, kreatinin serum >1,5mg/dl, INR >1.5 atau kadar

trombosit <100000/µl.11,12

Adapun kriteria diagnosis kolangitis akut apat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Kriteria diagnosis kolangitis akut12

A. Inflamasi sistemik
A-1. Demam

A-2. Hasil pemeriksaan laboratorium, menunjukan adanya respom


inflamasi

B. Kolestasis

B-1. Ikterus

B-2. Hasil laboratorium menunjukan tes fungsi hati yang abnormal

11
Tingkat keparahan kolangitis akut dibagi kedalam tiga kelompok12 :

1. Derajat ringan, yaitu kolangitis fase awal yang tidak memenuhi kriteria
derajat sedang maupun berat.

12
2. Derajat sedang, yaitu kolangitis yang diikuti dua dari empat gejala yaitu:

a. Jumlah leukosit yang abnormal (>12.000/mm3, <4.000/mm3 )

b. Demam > 39c

c. Usia > 75 tahun

d. Hyperbilirubinemia (Bilirubin Total ≥ 5mg/dl)

e. Hypoalbuminemia (< STDx 0.7)

3. Derajat berat, yaitu kolangitis akut yang diikuti minimal satu disfungsi
organ lainya yaitu

a. Disfungsi kardiovaskular

b. Disfungsi neurologi

c. Disfungsi respiratori

d. Disfungsi renal

e. Disfungsi hepatik

f. Disfungsi hematologi

2.8.2 Pemeriksaan penunjang Lainnya

Pemeriksaan penunjang untuk diagnostik kolangitis akut dapat dilakukan dengan

mendeteksi dilatasi bilier dan pemeriksaan penyebab kolangitis akut adalah EUS (endoscopic

ultrasonography), MRCP (magnetic resonance cholangiopancreotography) dan ERCP

(endoscopic retrograde cholangiopancreotography). Diantara semuanya hanya MRCP yang

tidak bersifat invasif, namun tidak praktis hanya dapat digunakan pada pasien yang dapat

dibawa keruang radiologi, umumnya studi menunjukkan sensivitas >90% untuk MRCP dalam

mendeteksi batu di CBD dan sensivitasnya makin berkurang untuk batu yang kecil.

13
ERCP selain memiliki sensivitas untuk mendeteksi juga memiliki potensi untuk

terapeutik, dalam mendiagnosis batu CBD, EUS lebih baik dari ERCP, dalam hal keganasan

EUS sama dengan ERCP. Dilatasi intrahepatik tanpa adanya dilatasi CBD, menunjukkan kesan

suatu striktur jinak, sindrom mirri atau lesi di daerah hilus duktus biliaris seperti tumor

ganas.11,13

Sebaliknya dilatasi CBD dengan atau tanpa dilatasi intrahepatik konsisten dengan

obstruksi distal seperti batu CBD atau kanker pancreas. Mengetahui penyebab dilatasi

meminimalisai kebutuhan injeksi kontras yang dapat meningkatkan tekanan bilier cukup kuat

untuk menimbulkan refluks cairan bilier kedalam sirkulasi sistemik dan menghindarkan resiko

injeksi yang tidak diinginkan kedalam segmen yang tidak terdrainase (misalnya pasien dengan

striktur daerah hilus yang kompleks) yang secara potensial dapat menyebabkan terjadinya

kolangitis berat. MRCP dapat meberikan informasi serupa dengan EUS dan ERCP, namun

kurang akurat untuk mendeteksi batu ukuran kecil dan harus dilakukan sebagai prosedur

terpisah. Meskipun USG transabdominal relatif tidak sensitif untuk mendeteksi batu CBD

(biasanya <30%), namun tersedia mudah dan dapat membantu bila batu atau tumor ditemukan.

CT scan lebih sensitive dari USG transabdominal untuk mendeteksi batu CBD, dan sensitivitas

helical CT tampaknya sebanding dengan MRCP atau EUS pada beberapa studi. Namun EUS

lebih sensitif dari CT dan MRCP untuk mendiagnosis batu dengan diameter <1cm.12,13

2.8.3 Penatalaksanaan

Pada semua pasien kolangitis akut, hidrasi agresif harus diberikan segera setelah akses

vena didapatkan untuk koreksi kekurangan volume/dehidrasi dan menormalkan tekanan darah.

Terapi kolangitis akut terdiri dari pemberian antibiotik dan drainase bilier. Beratnya kolangitis

akut menetukan perlu tidaknya pasien dirawat di rumah sakit.

14
Bila klinis penyakitnya ringan, dapat berobat jalan, teruma jika kolangitis akut ringan

yang kambuh/berulang (misalnya pada pasien dengan batu intrahepatik). Namun demikian

umumnya dokter menyarankan perawatan rumah sakit pada kasus kolangitis akut. Kolangitis

ringan sampai sedang dapat ditatalaksana di ruangan umum, akan tetapi pada kolangitis berat

sebaiknya dirawat di ICU (Intensive Care Unit)3,12,13

Terapi Antibiotik

Terapi antibiotik intravena harus diberikan sesegera mungkin. Pedoman pemberian

antibiotik sebaiknya berdasarkan pola infeksi spesifik dan resistensi lokal rumah sakit.

Beberapa panduan menyarankan pada kolangitis akut ringan sebaiknya pemberian jangka

pendek 2-3 hari dengan sefalosporin generasi pertama atau kedua, penisilin dan penghambat β

laktam. Sedangkan kolangitis sedang sampai berat sebaiknya pemberian antibiotik minimal 5-

7 hari dengan sefalosporin generasi ketiga atau keempat, non baktam dengan atau tanpa

metronidazol untuk kuman anaerob, atau karbapenem.

15
Rekomendasi lain menyarankan regimen berikut pada pasien kolangitis akut ringan

sampai sedang atau community acquired: (misalnya Ampisilin sulbactam iv 3 gram setiap 6

jam, atau ertepenem 1gram sekali sehari, atau ampisilin iv 2 gram setiap 6 jam plus gentamicin

iv 1.7 mg/kgbb setiap 8 jam atau golongan fluorokuinolon (misalnya siprofloksasin iv 400 mg

setiap 12 jam, levofloksasin iv 500 mg sekali sehari, atau moxiflokasain iv atau oral 400 mg

sekali sehari) ditambah metronidazol iv 500mg setiap 6-8 jam untuk bakteri anaerob. Untuk

pasien kolangitis akut berat atau nosokomial (hospital acquired), direkomendasikan pemberian

antibiotik sebagai berikut: piparisilin-tazobaktam (3.375 gr iv stiap 6 jamatau 4.5 gr iv setiap

8 jam), stau 3.1 gr iv tikarsilin-klavulanat setiap 6 jam, atau tigesilin (100 mg iv bolus,

diteruskan 50 mg iv sekali sehari) atau sefalosporin generasi ketiga (misalnya seftriakson 1-2

gr sekali sehari atau cefepim 1-2 gr setiap 12 jam) dengan metronidazol iv 500 mg setiap 6-8

jam untuk bakteri anaerob. 11,12,13

Pada pasien yang resiko tinggi terkena pathogen resistensi antibiotik dapat diberikan

imipenem iv 500 mg setiap 6 jam, meropenem iv 1 gr setiap 8 jam atau doripenem iv 500 mg

setiap 8 jam. Pengecualian terdapat pada semua panduan, misalnya sefalosporin generasi

pertama tidak mencakup infeksi enterococcus spp. Walaupun cefazolin disetujui untuk terapi

kolangitis akut. Karena itu pemilihan terapi antibiotik sebaiknya berdasarkan sejumlah faktor

meliputi sensitivitas antibiotik, beratnya penyakit, adanya disfungsi ginjal atau hati, riwayat

pemakaian antibiotik sebelumnya, pola resistensi kuman lokal dan penetrasi bilier dari

antibiotik. Pilihan antibiotik harus disesuaikan dengan hasil kultur darah dan cairan empedu

begitu diperoleh, namun pemberian antibotik tidak boleh terhambat/tertunda karena menunggu

hasil kultur. Pada akhirnya yang lebih penting dari pemilihan terapi antibiotik adalah drainase

bilier efektif, karena adanya obstruksi menghambat ekskresi bilier antibiotik.

16
Pada suatu studi, dimana pasien mendapat satu antibiotik (ceftazime, cefoperazone,

imipenem, netilmisin atau siprofloksasin), hanya siproflokasasin diekskresi kedalam sistem

bilier yang obstruksi dan hanya 20% dari konsentrasi serum.10.11.12

Drainase bilier

Drainase bilier biasanya diperlukan pada pasien kolangitis akut untuk menghilangkan

sumber infeksi dan juga karena obstruksi dapat menurunkan ekskresi bilier antibiotik. Beratnya

penyakit menetukan dan menegaskan saatnya untuk dilakukan drainase. Drainase dapat

dilakukan secara elektif pada pasien kolangitis akut ringan, dalam 24-28 jam pada pasien

kolangitis sedang, dan segera (dalam beberapa jam) pada pasien kolangitis berat karena tidak

akan merespon dengan pemberian antibiotik saja. Beratnya kolangitis ditentukan oleh respon

klinik terhadap terapi medical sebagaimana diuraikan dalam TG13, sehingga penggolangan

derajat beratnya penyakit kolangitis akut menuntut observasi untuk mengetahui pasien-pasien

mana akan respons baik terhadap terapi. Pada suatu studi didapatkaan bahwa sekitar 80%

pasien kolangitis akut merespon terhadap terapi medical saja dan resolusi infeksi.11,12 Namun

semua pasien tersebut akhirnya memerlukan tindakan pembersihan saluran bilier untuk

mencegah kekambuhan kolangitis. Suatu studi dari Hongkong melakukan ERCP emergency

pada 225 pasien kolangitis. 13

17
Frekuensi denyut jantung >100 x/menit, kadar albumin <30 g/l, kadar bilirubin >50

µmol/l dan masa protrombin > 14 detik pada saat masuk rumah sakit signifikan berkaitan

dengan diperlukannya ERCP, serta menunjukkan terapi endoskopi lebih aman dibandingkan

18
pembedahan dalam tatalaksana kolangitis akut, sehingga dekompresi surgical tidak

mempunyai peranan dalam managemen kolangitis akut. Sebuah studi secara random

mengalokasikan 82 pasien dengan kolangitis akut berat kedalam 2 grup, endoskopi atau

dekompresi bilier surgical, kelompok surgical signifikan lebih banyak mengalami komplikasi

dan mortalitas selama di rumah sakit dibandingkan kelompok endoksopi (66% vs 34%, p >0.05

dan 32% vs 10%, p<0.03 secara berurutan). Dengan demikian, pasien dengan kolangitis akut

sebaiknya masuk dirawat diruangan medical untuk terapi antibiotik intravena dan dekompresi

endoskopi. Dekompresi bilier surgical sebaiknya dihindari pada pasien kolangitis akut.12

ERCP lebih jadi pilihan dibandingkan PTBD (percutaneus biliary drainage) karena

lebih tidah invasif, lebih aman, dapat dilakukan bedside dan dapat membersihkan batu saluran

empedu, tidak perlu koreksi koagulopati dan dapat dilakukan tanpa paparan radiasi jika perlu

(pada pasien yang hamil). Keberhasilan ERCP lebih tinggi dibandingkan PTBD untuk

tatakasana obstruksi CBD, namun PTBD dipertimbangkan pada obstruksi hilar, bila ahli

endoskopi tidak tersedia. PTBD biasanya dilakukan pada pasien yang gagal dengan ERCP

awal atau bila terdapat anatomi yang abnormal akibat prosedur pembedahan sebelumnya

seperti koledokoyeyunostomi, kecuali bila ahli endsokopi utntuk tatalaksana pasien seperti itu

ada.13,14

Pasien dengan kolangitis akut dimana kontras tidak terdrainase setelah gagal ERCP

dapat memerlukan drainase bilier perkutan mendesak untuk menghindari perburukan sepsis.

Kolangitis akut yang terjadi stelah manipulasi saluran bilier merupakan faktor resiko prognosis

buruk pada kolangitis akut. Karena itu tidak direkomendasikan injeksi kontras tanpa terlebih

dahulu menempatkan guidwire kedalam sistem bilier. Pada umumnya pusat endoskopi,

keberhasilan ERCP untuk drainase bilier lebih dari 90%, jika tidak demikian sebaiknya dirujuk

pada unit/pusat layanan endoskopi yang lebih baik. EUS terbatas, bila tersedia sebaiknya

19
dilakukan sebelumnya untuk evaluasi dilatasi saluran bilier intrahepatik dan ekstrahepatik,

adanya batu, massa pankreas atau hilus atau batu kandung empedu.

Aspirasi jarum halus pada suatu massa sebaiknya dilakukan hanya jika pasien stabil dan tidak

memerlukan dekompresi bilier mendesak.13,14

20
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Subjek Penelitian

3.1.1 Pemilihan Subjek

Subjek penelitian adalah seluruh pasien kolangitis akut yang datang ke RSHS

pada periode januari 2017 – januari 2019.

3.1.2 Kriteria Inklusi

1) Pasien yang didiagnosis kolangitis akut di RSHS.

2) Usia 18 tahun atau lebih.

3.1.3 Kriteria Eksklusi

1) Pasien yang menderita kolangitis akut dengan komplikasi.

3.1.4 Metoda Sampling

Pengambilan sampel dilakukan dengan metoda total sampling berdasarkan

kedatangan pasien (total sampling), yang berdasarkan anamnesis, pemeriksaan

laboratorium dan imaging didiagnosis kerja awal sebagai kolangitis akut.

3.2 Metode Penelitian

3.2.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, data diambil secara cross

sectional dari rekam medis pasien .


3.2.3 Definisi Operasional

3.2.3.1 Kolangitis Akut

Kolangitis akut merupakan kondisi klinis terjadinya inflamasi akut pada

saluran bilier. Merujuk pada TG13, kolangitis akut ditegakkan berdasarkan adanya:

(1) Tanda inflamasi sistemik, yaitu demam yang disertai atau tidak dengan

menggigil, atau adanya bukti inflamasi secara laboratorik

(2) Tanda kolestasis, yaitu ikterik, atau adanya bukti kolestasis secara laboratorik

(gangguan tes fungsi hati)

(3) Temuan pencitraan yang menunjukkan dilatasi bilier atau ditemukan

etiologinya dari pencitraan tersebut (adanya striktur, batu, stent, dll)

Diagnosis pasti kolangitis bila ditemukan salah satu dari masing-masing prediktor

diatas positif.

3.2.3.2 Usia

Usia responden adalah lama hidup responden dari lahir hingga pada saat pasien

didiagnosis pertama kali dengan kolangitis akut di RSHS

3.2.3.3 Jenis Kelamin

Jenis kelamin adalah karakteristik biologis yang dilihat dari penampilan luar.

3.2.3.4 Riwayat Cholelitihiasis

Riwayat cholelithiasis adalah kejadian pada masa lampau pasien yang dinyatakan

mengalami batu empedu yang ditegakan menggunakan hasil USG yang telah lalu.

2
3.2.3.5 Riwayat Cholecystitis

Riwayat Cholecystitis adalah kejadian pada masa lampau pasien yang dinyatakan

mengalami radang kantung empedu yang ditegakan berdasar rekam medis

terdahulu pasien.

3.2.3.6 Riwayat Diabetes Mellitus

Riwayat Diabetes mellitus adalah kejadian diabetes mellitus yang dialami pasien

dari awal kejadian hingga saat ini yang ditegakan dengan rekam medis terdahulu

pasien

3.2.4 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan pada periode Januari 2017 – Janua 2016 pada Divisi

Bedah Digestif, Departemen Ilmu Bedah, Laboratorium Patologi Klinik RSUP Dr.

Hasan Sadikin, Bandung

3
DAFTAR PUSTAKA

1. Fauzi A. Kolangitis Akut. Dalam: Rani A, Simadibrata M, Syam AF,


Editor.Buku ajar Gastroenterohepatologi. Edisi-1. Jakarta: Interna
Publishing;2011:579-90.

2. Leung JW,et al. Bacteriologic Analysis of Bile and Brown Pigment


Stones in Patients with Acute Cholangitis. Gastrointest Endosc.
2001;54:340-5

3. Kimura Y, Takada T, Karawada Y, Nimura Y, Hirata K, Sekiomto


M,et al. Defenitions, Pathophysiology, and Epidemiology of Acute
Cholangitis and Cholecystitis: Tokyo Guidelines. J Hepatobiliary
Pancreat Surg. 2007;14:15-26

4. Satapathy SK, Shifteh A, Kadam J, Friedman B, Cerulli M A, Yang


SS. Acute Cholangitis Secondary to Biliary Ascariasis, A Case
Report. Practical Gastroenterology. Maret 2011:44-46

5. Gomi H, Solomkin JS, Takada T, Strasberg SM, Pitt HA, Yoshida


M. TG13 Antimicrobial Therapy for Acute Cholangitis and
Cholecystitis. J Hepatobiliary Pancreat Sci. 2013;20:60–70

6. Kimura Y, Takada T, Strasberg SM, Pitt HA, Dirk J. Gouma, et al.


TG13 Current Terminology, Etiology, and Epidemiology of Acute
Cholangitis and Cholecystitis. J Hepatobiliary Pancreat Sci.
2013;20:8–23

7. Attasaranya S, Fogel EL, Lehman GA, Choledocholithiasis,


Ascending Cholangitis, and Gallstone Pancreatitis. Med Clin N
Am. 2008;92:925–960

4
8. Higuchi R, Takada T, Strasberg SM, Pitt HA, Gouma DJ, Garden
OJ. TG13 Miscellaneous Etiology of Cholangitis and Cholecystitis.
J Hepatobiliary Pancreat Sci. 2013;20:97–105

9. Sung JY, Costerton JW, Shaffer EA. Defense system in the biliary
tract against bacterial infection. Dig Dis Sci. 1992; 37:689.

10. Miura F, Takada T, Strasberg MS, Solomkin JS, Pitt HA, Gouma
DJ, TG13 flowchart for the management of acute cholangitis and
cholecystitis. J Okamoto K, Takada T, Strasberg SM, Solomkin JS,
Pitt HA, Garden OJ. TG13 management bundles for acute
cholangitis and cholecystitis. J Hepatobiliary Pancreat Sci.
2013;20:55–59

11. Takada T, Strasberg SM, Solomkin JS, Pitt HA, Gomi H, Yoshida
M, Mayumi T. TG13: Updated Tokyo Guidelines for the
management of acute cholangitis and cholecystitis. J Hepatobiliary
Pancreat Sci. 2013;20:1–7

12. Kiriyama S, Takada T, Strasberg SM, Solomkin JS, Mayumi T, Pitt


HA,et al. TG13 Diagnostic criteria and severity grading of acute
cholangitis. Tokyo Guidline. J Hepatobiliary Pancreat Sci.
2018;20:24-34

13. Brunicardi F, Andersen D, Billiar T, dkk. Cholangitis in Schwartz


Principles of Surgery, Eight edition, New York ; McGraw-Hill,
2012, p : 1203-1213

Anda mungkin juga menyukai