PENDAHULUAN
Kolangitis akut merupakan kondisi akibat inflamasi akut yang terjadi dalam duktus
koledokus (common bile duct, CBD). Proses inflamasi ini di dahului adanya proliferasi bakteri
dan peningkatan tekanan intraluminal CBD. Tekanan yang tinggi dalam CBD menyebabkan
aliran balik bakteri dan endotoksin ke dalam sirkulasi darah. Kolangitis akut memerlukan
penanganan yang adekuat. Bila tidak mendapatkan penanganan yang adekuat, dapat
Lee, et al, menyebutkan angka mortalitas pada kolangitis mencapai 5%-10%. Angka
ini dapat meningkat secara signfikan menjadi 88%-100% akibat terjadinya gagal organ. Data
rekam medik di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung (RSHS) sepanjang tahun 2014
menunjukkan angka mortalitas akibat kolangitis akut yang cukup tinggi, yaitu sebesar 27%.
Mengenai penyebab tingginya angka mortalitas ini, masih perlu dilakukan penelitian lebih
lanjut. Beberapa dugaan awal diantaranya sebagian besar kunjungan kasus kolangitis akut
merupakan derajat sedang dan berat (72%), adanya keterlambatan dalam melakukan drainase
bilier atau keadaan undertreatment kasus yang seharusnya dikelola sebagai kolangitis berat
Batu saluran bilier merupakan penyebab kolangitis akut terbanyak. Data terbaru
menunjukkan insidensi kolangitis akut meningkat pada obstruksi bilier maligna, sclerosing
cholangitis, dan instrumentasi bilier. Dilaporkan 10-30% obstruksi bilier maligna disertai
dengan kolangitis akut4. Diketahui dari data rekam medis RSHS tahun 2014, terdapat 65%
kolangitis akut disebabkan oleh batu CBD sedangkan sisanya (35%) merupakan obstruksi bilier
malignan.
1
Diagnosis secara klinis dapat ditegakan dengan trias Charcot, yaitu adanya demam,
ikterus dan nyeri perut kanan atas. Pemeriksaan yang dapat dilakukan meliputi pemeriksaan
darah rutin, fungsi hati (aspartate transaminase & alinine transaminase), alkali fosfatase, dan
bilirubin serum, dan kultur bakteri dari sampel darah. Studi pencitraan juga dapat membantu
Terapi kolangitis akut terdiri dari pemberian antibiotik dan drainase bilier. Derajat
kolangitis akut menetukan perlu tidaknya pasien dirawat di rumah sakit. Bila klinis penyakitnya
ringan, dapat berobat jalan, terutama jika kolangitis akut ringan yang berulang.5
Bagaimanakah karakteristik pasien dengan kolangitis akut di rumah sakit hasan sadikin
Mengetahui karakteristik pasien kolangitis akut di RSHS periode januari 2017 – januari
2019.
Diharapkan dari penelitian ini akan diperoleh suatu informasi yang mendasar yang
2
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Kolangitis akut adalah keadaan inflamasi akut akibat infeksi dalam saluran bilier.
Patofisiologi kolangitis melibatkan 2 hal, yaitu : (1) adanya bakteri dalam saluran bilier, serta
(2) adanya peningkatan tekanan dalam saluran bilier, menyebabkan translokasi bakteri dan
reflux). Secara patoanatomis, saluran bilier dipengaruhi oleh perubahan tekanan intraduktal.
Kolangitis disertai tekanan tinggi intraduktal menyebabkan saluran bilier lebih permeable lagi
terhadap translokasi bakteri dan toksin. Bila prosess ini berlanjut akan berakhir dengan infeksi
Pada tahun 1887, pertama kalinya Charcot menyatakan istilah hepatic fever. Istilah ini
menunjukkan suatu keadaan demam yang intermiten disertai badan menggigil, nyeri perut
bagian kanan atas serta badan menjadi kuning. Tiga faktor ini dikenal dengan charcot’s triad.
Tahun 1959, Reynold dan Dargan menyebutkan istilah acute obstructive cholangitis (AOC).
Istilah ini merujuk pada sindrom yang terdiri dari kondisi letargi atau perubahan status mental
serta syok yang menyertai 3 keluhan yang disebutkan terdahulu oleh Charcot, serta diketahui
penyebabnya adalah obstruksi bilier. Reynold juga menyebutkan bahwa satu-satunya prosedur
untuk menangani kondisi acute obstructive cholangitis ini dengan melakukan dekompresi
bilier darurat melalui pembedahan. Lima kumpulan gejala yang disebutkan diatas dikenal
3
2.2 Anatomi
Kandung empedu bentuknya seperti kantong, organ berongga yang panjangnya sekitar
10 cm, terletak dalam suatu fosa yang menegaskan batas anatomi antara lobus hati kanan dan
kiri.4,5 Kandung empedu merupakan kantong berongga berbentuk bulat lonjong seperti buah
advokat tepat di bawah lobus kanan hati. Kandung empedu mempunyai fundus, korpus, dan
kolum. Fundus bentuknya bulat, ujung buntu dari kandung empedu yang sedikit memanjang
di atas tepi hati. Korpus merupakan bagian terbesar dari kandung empedu. Kolum adalah
bagian yang sempit dari kandung empedu yang terletak antara korpus dan daerah duktus
sistika.6
Empedu yang disekresi secara terus-menerus oleh hati masuk ke saluran empedu yang
kecil dalam hati. Saluran empedu yang kecil bersatu membentuk dua saluran lebih besar yang
keluar dari permukaan bawah hati sebagai duktus hepatikus kanan dan kiri yang segera bersatu
membentuk duktus hepatikus komunis. Duktus hepatikus bergabung dengan duktus sistikus
2.3 Epidemiologi
Prevalensi batu empedu di dunia sekitar 20-35% dan resiko terjadinya kolangitis akut
simtomatik dilaporkan sekitar 0.2%. Kolangitis akut dapat pula disebabkan adanya batu primer
di saluran bilier, keganasan dan striktur.1,6 Dilaporkan angka kematian sekitar 13-88%.
Kolangitis ini dapat ditemukan pada semua ras. Berdasarkan jenis kelamin, dilaporkan
perbandingan antara laki-laki dan perempuan tidak ada yang dominan diantara keduanya.1
Berdasarkan usia dilaporkan terjadi pada usia pertengahan sekitar 50-60 tahun.3
4
Insidensi terjadinya kolangitis akut pada batu empedu asimptomatik sebesar 0,3-1,6%.
Angka insidensi kolangitis berat (sesuai TG07) sebanyak 12,3%; proporsi terjadinya syok
sebanyak 7-25,5%; proporsi terjadinya perubahan status mental sebanyak 7-22,2%; serta 3,5-
7,7% mengalami Reynold’s pentad. Pasien paska ERCP memiliki resiko untuk terjadi
kolangitis sebesar 0,5-2,4%. Pasien paska ERCP juga beresiko mengalami komplikasi dengan
insidensi 0,8-12,1%. Komplikasi yang paling sering adalah pancreatitis, sedangkan insidensi
Di Amerika Serikat, kolangitis cukup jarang terjadi. Biasanya terjadi bersamaan dengan
penyakit lain yang menimbulkan obstruksi bilier dan infeksi bakteri empedu (misal: setelah
prosedur ERCP, 1-3% pasien mengalami kolangitis).7 Resiko tersebut meningkat apabila
cairan pewarna diinjeksikan secara retrograd. Insidensi Internasional kolangitis adalah sebagai
berikut: kolangitis pyogenik rekuren, kadangkala disebut sebagai kolangio hepatitis iriental,
endemik di Asia Tenggara. Kejadian ini ditandai oleh infeksi saluran bilier berulang,
pembentukan batu empedu intrahepatik dan ekstrahepatik, abses hepar, dan dilatasi dan striktur
Trias Charcot terdiri dari nyeri abdomen kanan atas, demam dan ikterik, dapat
digunakan untuk mendiagnosa kolangitis akut secara klinis. Umumnya pasien-pasien dengan
kolangitis akut menunjukan respon dan terjadi resolusi dengan antibiotik, namun demikian
pembersihan saluran bilier secara endoskopi pada akhirnya tetap diperlukan untuk mengatasi
terapi penyebab obstruksi Meskipun umumnya pasien dapat berespon dengan terapi antibiotik
dan drainase bilier, penelitian-penelitian melaporkan angka morbiditas dari kolangitis akut
mencapai 10% .
5
2.4 Etiologi
Kolangitis akut terjadi sebagai hasil dari obstruksi saluran bilier dan pertumbuhan
bakteri dalam empedu (infeksi empedu). Kolangitis akut membutuhkan kehadiran dua
faktor:1,4
Cairan empedu biasanya normal pada individu yang sehat dengan anatomi bilier yang
normal. Bakteri dapat menginfeksi sistem saluran bilier yang steril melalui ampula vateri
(karena adanya batu yang melewati ampula), sfingterotomi atau pemasangan sten (yang disebut
kolangitis asending) atau bacterial portal, yaitu terjadinya translokasi bakteri melalui sinusoid-
sinusoid hepatik dan celah disse. Bakterobilia tidak dengan sendirinya menyebabkan kolangitis
pada individu yang sehat karena efek bilasan mekanik aliran empedu, kandungan antibakteri
garam empedu, dan produksi IgA. Namun demikian, obstruksi bilier dapat mengakibatkan
kolangitis akut karena berkurangnya aliran empedu dan produksi IgA, menyebabkan gangguan
fungsi sel kupffer dan rusaknya celah membran sel sehingga menimbulkan refluks
kolangiovena.1
Penyebab paling sering obstruksi bilier adalah koledokolitiasis, stenosis bilier jinak,
striktur anastomosis empedu, dan stenosis dengan penyakit ganas. Koledokolitiasis digunakan
untuk menjadi penyebab paling sering, tetapi baru-baru ini kejadian kolangitis akut yang
disebabkan oleh penyakit ganas, sklerosis kolangitis, dan instrumentasi non-bedah saluran
empedu telah meningkat. Hal ini dilaporkan bahwa penyakit ganas sekitar 10-30%
6
Berikut adalah beberapa penyebab terjadinya kolangitis akut, antara lain:2,4
Kolelitiasis
Benign biliary stricture
Faktor kongenital
Empedu dari subyek sehat umumnya bersifat aseptik. Namun, kultur empedu positif
mengandung mikroorganisme pada 16% dari pasien yang menjalani operasi non-bilier, 72%
dari pasien kolangitis akut, 44% dari pasien kolangitis kronis, dan 50% dari mereka dengan
obstruksi bilier.5 Bakteri dalam empedu teridentifikasi pada 90% pasien dengan
7
Pasien dengan obstruksi tidak lengkap dari saluran empedu menyajikan tingkat kultur empedu
positif yang lebih tinggi dibandingkan dengan obstruksi lengkap dari saluran empedu. Faktor
resiko untuk bakterobilia mencakup berbagai faktor, seperti dijelaskan di atas. Faktor resiko
lain terjadinya kolangitis yang disebut riwayat infeksi sebelumnya, usia >70 tahun dan
diabetes.7,8
2.6 Patofisiologi
Dalam keadaan normal sistem bilier steril dan aliran cairan empedu tidak mengalami
hambatan sehingga tidak terdapat aliran balik ke sistem bilier. Kolangitis terjadi akibat adanya
stasis atau obstruksi di sistem bilier yang disertai oleh bakteria yang mengalami multiplikasi.
Obstruksi terutama disebabkan oleh batu common bile duct (CBD), striktur, stenosis, atau
tumor, serta manipulasi endoskopik CBD. Dengan demikian aliran empedu menjadi lambat
sehingga bakteri dapat berkembang biak setelah mengalami migrasi ke sistem bilier melalui
Oleh karena itu akan terjadi infeksi secara ascenden menuju duktus hepatikus, yang
pada akhirnya akan menyebabkan tekanan intrabilier yang tinggi dan melampaui batas 250
mmH20. Oleh karena itu akan terdapat aliran balik empedu yang berakibat terjadinya infeksi
pada kanalikuli biliaris, vena hepatika dan limfatik perihepatik, sehingga akan terjadi
bakteriemia yang bisa berlanjut menjadi sepsis (25-40%). Apa bila pada keadaan tersebut
Pada keadaan ini tidak ditemukan obstruksi pada sistem bilier, maupun
pelebaran dari duktus intra maupun ekstra hepatal.
8
Keadaan ini sering disebabkan oleh batu CBD yang kecil, kompresi oleh
vesica felea /kelenjar getah bening/inflamasi pankreas, edema/spasme
sfinkter Oddi, edema mukosa CBD, atau hepatitis.
Pada CBD berisi pus dan terdapat bakteria, namuntidak terdapat obstruksi
total sehingga pasien tidak dalam keadaan sepsis.
5. Syok sepsis
2.7 Diagnosis
Diagnosis kolangitis akut dapat ditegakan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik
serta melalui pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis penderita kolangitis secara klinis dapat
ditemukan trias Charcot yaitu adanya keluhan demam, ikterus, dan sakit pada perut kanan atas.
9
Beberapa penderita hanya mengalami dingin dan demam dengan gejala perut yang minimal.
Ikterus atau perubahan warna kuning pada kulit dan mata didapatkan pada sekitar 80%
penderita. 1,4
gangguan kesadaran (delirium), sepsis, hipotensi dan takikardi. Adanya tambahan syok septis
cholangiolymphatic refluks bersama dengan tekanan tinggi di saluran empedu dan infeksi
empedu akibat obstruksi saluran empedu yang disebabkan oleh batu dan tumor. Kriteria
diagnostik menurut Tokyo Guideline 2013 (TG13) kolangitis akut adalah kriteria untuk
menegakkan diagnosis ketika kolestasis dan peradangan berdasarkan tanda-tanda klinis atau
Kriteria untuk diagnosis definitif kolangitis akut adalah sebagai berikut : adanya trias
Charcot atau bila tidak lengkap, adanya 2 unsur trias Charcot ditambah adanya bukti
laboratorium terjadinya respons inflamasi (leukosit yang abnormal, meningkatnya CRP atau
perubahan-perubahan lain yang mengindikasikan adanya inflamasi), test fungsi hati abnormal
pencitraan dilatasi bilier atau bukti etiologi (misalnya adanya batu, striktur atau stenosis).
10
TG18 mendefinisikan suatu diagnosis suspek kolangitis akut bila terdapat 2 atau lebih dari
salah satu kriteria berikut: riwayat penyakit bilier, demam dan/atau menggigil, ikterik dan nyeri
abdomen bagian atas atau kanan atas. Pedoman tersebut menunjukkan adanya kemajuan dan
suatu upaya yang jarang dalam standarisasi definisi kolangitis kaut, namun pedoman tersebut
dirasakan kurang teliti. Misalnya tidak definiskannya berapa tingkat demam atau ikterik, begitu
Pada TG18 mendefinisikan kolangitis akut dalam kategori ringan (merespon terhadap
terapi suportif dan antibiotik), sedang (tidak merespon terhadap terapi medikal namun tidak
terjadi disfungsi organ), atau berat (adanya paling tidak 1 tanda disfungsi organ). Tanda tanda
dopamine, delirium, rasio PaO2/FiO2 <300, kreatinin serum >1,5mg/dl, INR >1.5 atau kadar
trombosit <100000/µl.11,12
A. Inflamasi sistemik
A-1. Demam
B. Kolestasis
B-1. Ikterus
11
Tingkat keparahan kolangitis akut dibagi kedalam tiga kelompok12 :
1. Derajat ringan, yaitu kolangitis fase awal yang tidak memenuhi kriteria
derajat sedang maupun berat.
12
2. Derajat sedang, yaitu kolangitis yang diikuti dua dari empat gejala yaitu:
3. Derajat berat, yaitu kolangitis akut yang diikuti minimal satu disfungsi
organ lainya yaitu
a. Disfungsi kardiovaskular
b. Disfungsi neurologi
c. Disfungsi respiratori
d. Disfungsi renal
e. Disfungsi hepatik
f. Disfungsi hematologi
mendeteksi dilatasi bilier dan pemeriksaan penyebab kolangitis akut adalah EUS (endoscopic
tidak bersifat invasif, namun tidak praktis hanya dapat digunakan pada pasien yang dapat
dibawa keruang radiologi, umumnya studi menunjukkan sensivitas >90% untuk MRCP dalam
mendeteksi batu di CBD dan sensivitasnya makin berkurang untuk batu yang kecil.
13
ERCP selain memiliki sensivitas untuk mendeteksi juga memiliki potensi untuk
terapeutik, dalam mendiagnosis batu CBD, EUS lebih baik dari ERCP, dalam hal keganasan
EUS sama dengan ERCP. Dilatasi intrahepatik tanpa adanya dilatasi CBD, menunjukkan kesan
suatu striktur jinak, sindrom mirri atau lesi di daerah hilus duktus biliaris seperti tumor
ganas.11,13
Sebaliknya dilatasi CBD dengan atau tanpa dilatasi intrahepatik konsisten dengan
obstruksi distal seperti batu CBD atau kanker pancreas. Mengetahui penyebab dilatasi
meminimalisai kebutuhan injeksi kontras yang dapat meningkatkan tekanan bilier cukup kuat
untuk menimbulkan refluks cairan bilier kedalam sirkulasi sistemik dan menghindarkan resiko
injeksi yang tidak diinginkan kedalam segmen yang tidak terdrainase (misalnya pasien dengan
striktur daerah hilus yang kompleks) yang secara potensial dapat menyebabkan terjadinya
kolangitis berat. MRCP dapat meberikan informasi serupa dengan EUS dan ERCP, namun
kurang akurat untuk mendeteksi batu ukuran kecil dan harus dilakukan sebagai prosedur
terpisah. Meskipun USG transabdominal relatif tidak sensitif untuk mendeteksi batu CBD
(biasanya <30%), namun tersedia mudah dan dapat membantu bila batu atau tumor ditemukan.
CT scan lebih sensitive dari USG transabdominal untuk mendeteksi batu CBD, dan sensitivitas
helical CT tampaknya sebanding dengan MRCP atau EUS pada beberapa studi. Namun EUS
lebih sensitif dari CT dan MRCP untuk mendiagnosis batu dengan diameter <1cm.12,13
2.8.3 Penatalaksanaan
Pada semua pasien kolangitis akut, hidrasi agresif harus diberikan segera setelah akses
vena didapatkan untuk koreksi kekurangan volume/dehidrasi dan menormalkan tekanan darah.
Terapi kolangitis akut terdiri dari pemberian antibiotik dan drainase bilier. Beratnya kolangitis
14
Bila klinis penyakitnya ringan, dapat berobat jalan, teruma jika kolangitis akut ringan
yang kambuh/berulang (misalnya pada pasien dengan batu intrahepatik). Namun demikian
umumnya dokter menyarankan perawatan rumah sakit pada kasus kolangitis akut. Kolangitis
ringan sampai sedang dapat ditatalaksana di ruangan umum, akan tetapi pada kolangitis berat
Terapi Antibiotik
antibiotik sebaiknya berdasarkan pola infeksi spesifik dan resistensi lokal rumah sakit.
Beberapa panduan menyarankan pada kolangitis akut ringan sebaiknya pemberian jangka
pendek 2-3 hari dengan sefalosporin generasi pertama atau kedua, penisilin dan penghambat β
laktam. Sedangkan kolangitis sedang sampai berat sebaiknya pemberian antibiotik minimal 5-
7 hari dengan sefalosporin generasi ketiga atau keempat, non baktam dengan atau tanpa
15
Rekomendasi lain menyarankan regimen berikut pada pasien kolangitis akut ringan
sampai sedang atau community acquired: (misalnya Ampisilin sulbactam iv 3 gram setiap 6
jam, atau ertepenem 1gram sekali sehari, atau ampisilin iv 2 gram setiap 6 jam plus gentamicin
iv 1.7 mg/kgbb setiap 8 jam atau golongan fluorokuinolon (misalnya siprofloksasin iv 400 mg
setiap 12 jam, levofloksasin iv 500 mg sekali sehari, atau moxiflokasain iv atau oral 400 mg
sekali sehari) ditambah metronidazol iv 500mg setiap 6-8 jam untuk bakteri anaerob. Untuk
pasien kolangitis akut berat atau nosokomial (hospital acquired), direkomendasikan pemberian
8 jam), stau 3.1 gr iv tikarsilin-klavulanat setiap 6 jam, atau tigesilin (100 mg iv bolus,
diteruskan 50 mg iv sekali sehari) atau sefalosporin generasi ketiga (misalnya seftriakson 1-2
gr sekali sehari atau cefepim 1-2 gr setiap 12 jam) dengan metronidazol iv 500 mg setiap 6-8
Pada pasien yang resiko tinggi terkena pathogen resistensi antibiotik dapat diberikan
imipenem iv 500 mg setiap 6 jam, meropenem iv 1 gr setiap 8 jam atau doripenem iv 500 mg
setiap 8 jam. Pengecualian terdapat pada semua panduan, misalnya sefalosporin generasi
pertama tidak mencakup infeksi enterococcus spp. Walaupun cefazolin disetujui untuk terapi
kolangitis akut. Karena itu pemilihan terapi antibiotik sebaiknya berdasarkan sejumlah faktor
meliputi sensitivitas antibiotik, beratnya penyakit, adanya disfungsi ginjal atau hati, riwayat
pemakaian antibiotik sebelumnya, pola resistensi kuman lokal dan penetrasi bilier dari
antibiotik. Pilihan antibiotik harus disesuaikan dengan hasil kultur darah dan cairan empedu
begitu diperoleh, namun pemberian antibotik tidak boleh terhambat/tertunda karena menunggu
hasil kultur. Pada akhirnya yang lebih penting dari pemilihan terapi antibiotik adalah drainase
16
Pada suatu studi, dimana pasien mendapat satu antibiotik (ceftazime, cefoperazone,
Drainase bilier
Drainase bilier biasanya diperlukan pada pasien kolangitis akut untuk menghilangkan
sumber infeksi dan juga karena obstruksi dapat menurunkan ekskresi bilier antibiotik. Beratnya
penyakit menetukan dan menegaskan saatnya untuk dilakukan drainase. Drainase dapat
dilakukan secara elektif pada pasien kolangitis akut ringan, dalam 24-28 jam pada pasien
kolangitis sedang, dan segera (dalam beberapa jam) pada pasien kolangitis berat karena tidak
akan merespon dengan pemberian antibiotik saja. Beratnya kolangitis ditentukan oleh respon
klinik terhadap terapi medical sebagaimana diuraikan dalam TG13, sehingga penggolangan
derajat beratnya penyakit kolangitis akut menuntut observasi untuk mengetahui pasien-pasien
mana akan respons baik terhadap terapi. Pada suatu studi didapatkaan bahwa sekitar 80%
pasien kolangitis akut merespon terhadap terapi medical saja dan resolusi infeksi.11,12 Namun
semua pasien tersebut akhirnya memerlukan tindakan pembersihan saluran bilier untuk
mencegah kekambuhan kolangitis. Suatu studi dari Hongkong melakukan ERCP emergency
17
Frekuensi denyut jantung >100 x/menit, kadar albumin <30 g/l, kadar bilirubin >50
µmol/l dan masa protrombin > 14 detik pada saat masuk rumah sakit signifikan berkaitan
dengan diperlukannya ERCP, serta menunjukkan terapi endoskopi lebih aman dibandingkan
18
pembedahan dalam tatalaksana kolangitis akut, sehingga dekompresi surgical tidak
mempunyai peranan dalam managemen kolangitis akut. Sebuah studi secara random
mengalokasikan 82 pasien dengan kolangitis akut berat kedalam 2 grup, endoskopi atau
dekompresi bilier surgical, kelompok surgical signifikan lebih banyak mengalami komplikasi
dan mortalitas selama di rumah sakit dibandingkan kelompok endoksopi (66% vs 34%, p >0.05
dan 32% vs 10%, p<0.03 secara berurutan). Dengan demikian, pasien dengan kolangitis akut
sebaiknya masuk dirawat diruangan medical untuk terapi antibiotik intravena dan dekompresi
endoskopi. Dekompresi bilier surgical sebaiknya dihindari pada pasien kolangitis akut.12
ERCP lebih jadi pilihan dibandingkan PTBD (percutaneus biliary drainage) karena
lebih tidah invasif, lebih aman, dapat dilakukan bedside dan dapat membersihkan batu saluran
empedu, tidak perlu koreksi koagulopati dan dapat dilakukan tanpa paparan radiasi jika perlu
(pada pasien yang hamil). Keberhasilan ERCP lebih tinggi dibandingkan PTBD untuk
tatakasana obstruksi CBD, namun PTBD dipertimbangkan pada obstruksi hilar, bila ahli
endoskopi tidak tersedia. PTBD biasanya dilakukan pada pasien yang gagal dengan ERCP
awal atau bila terdapat anatomi yang abnormal akibat prosedur pembedahan sebelumnya
seperti koledokoyeyunostomi, kecuali bila ahli endsokopi utntuk tatalaksana pasien seperti itu
ada.13,14
Pasien dengan kolangitis akut dimana kontras tidak terdrainase setelah gagal ERCP
dapat memerlukan drainase bilier perkutan mendesak untuk menghindari perburukan sepsis.
Kolangitis akut yang terjadi stelah manipulasi saluran bilier merupakan faktor resiko prognosis
buruk pada kolangitis akut. Karena itu tidak direkomendasikan injeksi kontras tanpa terlebih
dahulu menempatkan guidwire kedalam sistem bilier. Pada umumnya pusat endoskopi,
keberhasilan ERCP untuk drainase bilier lebih dari 90%, jika tidak demikian sebaiknya dirujuk
pada unit/pusat layanan endoskopi yang lebih baik. EUS terbatas, bila tersedia sebaiknya
19
dilakukan sebelumnya untuk evaluasi dilatasi saluran bilier intrahepatik dan ekstrahepatik,
adanya batu, massa pankreas atau hilus atau batu kandung empedu.
Aspirasi jarum halus pada suatu massa sebaiknya dilakukan hanya jika pasien stabil dan tidak
20
BAB III
METODE PENELITIAN
Subjek penelitian adalah seluruh pasien kolangitis akut yang datang ke RSHS
saluran bilier. Merujuk pada TG13, kolangitis akut ditegakkan berdasarkan adanya:
(1) Tanda inflamasi sistemik, yaitu demam yang disertai atau tidak dengan
(2) Tanda kolestasis, yaitu ikterik, atau adanya bukti kolestasis secara laboratorik
Diagnosis pasti kolangitis bila ditemukan salah satu dari masing-masing prediktor
diatas positif.
3.2.3.2 Usia
Usia responden adalah lama hidup responden dari lahir hingga pada saat pasien
Jenis kelamin adalah karakteristik biologis yang dilihat dari penampilan luar.
Riwayat cholelithiasis adalah kejadian pada masa lampau pasien yang dinyatakan
mengalami batu empedu yang ditegakan menggunakan hasil USG yang telah lalu.
2
3.2.3.5 Riwayat Cholecystitis
Riwayat Cholecystitis adalah kejadian pada masa lampau pasien yang dinyatakan
terdahulu pasien.
Riwayat Diabetes mellitus adalah kejadian diabetes mellitus yang dialami pasien
dari awal kejadian hingga saat ini yang ditegakan dengan rekam medis terdahulu
pasien
Penelitian dilakukan pada periode Januari 2017 – Janua 2016 pada Divisi
Bedah Digestif, Departemen Ilmu Bedah, Laboratorium Patologi Klinik RSUP Dr.
3
DAFTAR PUSTAKA
4
8. Higuchi R, Takada T, Strasberg SM, Pitt HA, Gouma DJ, Garden
OJ. TG13 Miscellaneous Etiology of Cholangitis and Cholecystitis.
J Hepatobiliary Pancreat Sci. 2013;20:97–105
9. Sung JY, Costerton JW, Shaffer EA. Defense system in the biliary
tract against bacterial infection. Dig Dis Sci. 1992; 37:689.
10. Miura F, Takada T, Strasberg MS, Solomkin JS, Pitt HA, Gouma
DJ, TG13 flowchart for the management of acute cholangitis and
cholecystitis. J Okamoto K, Takada T, Strasberg SM, Solomkin JS,
Pitt HA, Garden OJ. TG13 management bundles for acute
cholangitis and cholecystitis. J Hepatobiliary Pancreat Sci.
2013;20:55–59
11. Takada T, Strasberg SM, Solomkin JS, Pitt HA, Gomi H, Yoshida
M, Mayumi T. TG13: Updated Tokyo Guidelines for the
management of acute cholangitis and cholecystitis. J Hepatobiliary
Pancreat Sci. 2013;20:1–7