Disusun Oleh :
Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena limpahan rahmat dan
hidayah-Nya kami diberi kemampuan, kesempatan waktu dan kesehatan jasmani dan
rohani Sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang SEJARAH MUNCUL DAN
PERKEMBANGAN USHUL FIQH yang menjadi tugas mata kuliah Ushul Fiqh.Tak luput
juga salawat dan salam untuk junjungan Nabi besar kita, Nabiyallah Muhammad
SAW beserta keluarga, para sahabat, dan para tabi‟-tabi‟innya.
Makalah yang merupakan aplikasi dari penulis selain untuk memenuhi tugas
mata kuliah tersebut, juga untuk memberikan pengetahuan tentang sejarah awal dan
perkembangan ushul fiqh. Bagaimana cikal bakal atau embrio dari tumbuhnya ushul
fiqh dan bagaimana perkembangan ushul fiqh yang terjadi dalam sejarah, hal ini yang
akan dipaparkan dalam pembahasan makalah ini.
Penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat dan memberi gambaran atau pun
menjadi referensi kita dalam mengenal dan mempelajari sejarah dan perkembangan
ushul fiqh. Dalam makalah ini penulis menyadari masih jauh dari kesempurnaan, untuk
itu segala saran dan kritik guna perbaikan dan kesempurnaan sangat kami nantikan.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan para pembaca pada
umumnya.
Penyusun
BAB I: PENDAHULUAN
A. KESIMPULAN ......................................................................................
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari uraian permasalahan di atas, maka yang menjadi rumusan
masalah adalah:
1. Bagaimana sejarah munculnya Ushul Fiqh ?
2. Bagaimana perkembangan Ushul Fiqh ?
C. Tujuan Makalah
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan makalah adalah:
1. Mengetahui sejarah munculnya ushul fiqh
2. Mengetahui perkembangan ushul fiqh
BAB II
PEMBAHASAN
Ushul fiqh tidaklah tumbuh kecuali pada abad kedua hijiriah, karena pada abad
satu hijiriah ilmu tersebut belum diperlukan, dimana Rasulullah SAW berfatwa dan
menjatuhkan keputusan (hukum) menurut ajaran al-Qur‟an di wahyukan kepadanya dan
menurut sunnah yang diturunkan kepadanya.1
Pada mulanya, para ulama terlebih dahulu menyusun ilmu fiqh sesuai dengan Al-
Qur an, Hadits, dan Ijtihad para Sahabat. Setelah Islam semakin berkembang, dan mulai
banyak negara yang masuk kedalam daulah Islamiyah, maka semakin banyak
kebudayaan yang masuk, dan menimbulkan pertanyaan mengenai budaya baru ini yang
tidak ada di zaman Rasulullah. Maka para Ulama ahli usul Fiqh menyusun kaidah sesuai
dengan gramatika bahasa Arab dan sesuai dengan dalil yang digunakan oleh Ulama
penyusun ilmu Fiqh.
1
Abdul Wahab Kallaf, Kaidah-Kaidah hukum islam; Ilmu Ushul Fiqih (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002),Cet.
VIII., hlm. 10.
kaidah itu dikuatkan dengan dalil dan keterangan atau uraian yang mendalam (serius)
ialah al-Imam Muhammad bin Idris al-Syafi‟i.
Dalam pentadwihan (kodifikasi) itu telah ditulis kitab Risalah Ushuliyyah,
yang telah diriwayatkan oleh pengikutnya ar-Robi‟ al-Murodi. Kitab itulah sebagai
kodifikasi yang pertama kali dalam ilmu ini, dan itulah satu-satunya yang sampai
kepada kita sepanjang pengetahuan kita. Karena itu dipopulerkan di kalangan para
ulama, bahwa pendasar ilmu fiqh adalah Imam Syafi‟i.
Karya Imam Syafi‟i, yaitu al-Risalah, adalah kitab ushul fiqh yang pertama
ditulis. Kitab tersebut men jadi tonggak bagi perkembangan ushul fiqh sebagai bidang
ilmu yang mandiri. Para ahli ushul menganggap Imam Syafi‟i sebagai Bapak dan
Pendiri ilmu ushul fiqh.
Di kalangan madzhab Hanafi ada yang menolak bahwa Imam Syafi‟i sebagai
pendiri ushul fiqh. Mereka menyatakan bahwa Imam Abu Hanifah dan dua muridnya:
Imam Abu Yusuf Ibnu Abi Laila dan Muhammad bin Hasan al-Syaybani adalah peletak
ilmu ushul fiqh. Sejarah memang mencatat bahwa Imam Syafi‟i pernah berguru kepada
Imam Muhammad bin Hasan al-Syaybani.
Usaha pertama dilakukan oleh Imam Syafi'i dalam kitabnya Ar-Risalah. Dalam
kitab ini ia membicarakan tentang Qur'an, kedudukan hadits, Ijma, Qiyas dan pokok-
pokok peraturan mengambil hukum. Usaha Imam Syafi'i ini merupakan batu pertama
dari ilmu ushul fiqh yang kemudian dilanjutkan oleh para ahli ushul fiqh sesudahnya.
Iman Syafi‟i pantas disebut sebagai orang pertama yang menyusun sistem
metodologi berpikir tentang hukum islam, yang kemudian populer dengan sebutan
Ushul Fiqh sehingga tidak salah ucapan seorang orientalis inggris N.J Coulson yang
mengatakan bahwa Iman Syafi‟i adalah arsitek Ushul Fiqh.2
Hal ini bukanlah berarti beliau merintis dan mengembangkan ilmu tersebut.
Jauh sebelumnya mulai dari para sahabat, Tabi‟in bahkan dikalangan Imam Mujtahid
seperti Abu Hanifah, Imam Malik dan juga dikalangan ulama Syiah Muhammad al
Baqir dan Jafar as-Shiddiq sudah menemukan dan menggunakan metodologi dalam
perumusan fiqh.Tetapi mereka belum menyusun ilmu itu secara sistematis sehingga
dapat disebut sebagai ilmu yang berdiri sendiri. Namun para ulama ushul fiqh setelah
2
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih., (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), jilid I,. Cet. I, hlm. 38.
Imam Syafi‟i dalam pembahasannya mengenai ushul fiqh tidak selalu sama, baik
tentang istilah-istilah maupun tentang jalan pembicaraannya. Maka dari itu terdapat dua
golongan yaitu; golongan Mutakallimin dan golongan Hanafiyah.
1. Aliran Mutakallimin
Aliran mutakallimin disebut juga dengan aliran Syafi‟iyyah. Alasan penamaan
tersebut bisa dipahami mengingat karya-karya ushul fiqh aliran mutakallimin banyak
lahir dari kalangan Syafi‟iyyah, seperti al-Luma‟ karya al-Syirazi, al-Mustashfa karya
al-Ghazali, al-Mahsul karya Fakhruddin al-Razi, al-Burhan dan al-Waraqat karya al-
Juwayni, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam karya al-Amidi, Minhaj al-Wushul ila Ilm a‟-
Ushul karya al-Baidlawi dan sebagainya. Karya al-Ghazali, al-Razi, dan al-Amidi
banyak dirujuk oleh para ahli ushul fiqh dari madzhab non-Syafi‟i. Kitab Rawdlah al-
Nadzir wa Jannah al-Munadzir karya tokoh Hanabilah Ibnu Qudamah al-Maqdisi,
misalnya, dipandang sebagai ringkasan dari al-Mustashfa karya al-Ghazali dan kitab
Muntaha al-Wushul (al-Sul)wa al-Amal fi Ilmay al-Ushul wa al-Jadal karya Ibnu Hajib
dipandang sebagai ringkasan kitab al-Ihkam fi ushul al-Ahkam karya al-Amidi.
Meskipun demikian, penulis-penulis ushul fiqh model mutakallimin hanya orang
Asy‟ariyyah. Penulis ushul fiqh aliran mutakallimin bersifat lintas madzhab. Ada
penulis dari kalangan Hanbali, seperti Abu Ya‟la (pengarang al-Uddah), Ibnu Qudamah
(pengarang Rawdlah al-Nadzir wa Jannah al-Munadzir), keluarga Ibnu Taimiyyah:
Majduddin, Taqi al-Din, dan Ibnu Taimiyyah beserta ayah dan kakeknya (karangan
ketiganya tercakup dalam kitab al-Musawwadah), Najm al-Din al-Thufi pengarang
Mukhtashar al-Rawdlah dan Syarh Mukhtashar al-Rawdlah).
Ada penulis dari kalangan Maliki, seperti: Ibnu Hajib (pengarang Muntaha al-
Wushul (al-Sul) wa al-Alam fi Ilmay al-Ushul wa al-Jadal). Ada pula penulis dari
kalangan Dzahiriyyah, seperti:Ibnu Hazm al-Andalusi (pengarang kitab al-Ihkam fi
Ushul al-Ahkam). Sebutan mutakallimin adalah sesuai dengan karakteristik
penulisannya. Kaum mutakallimin adalah orang-orang yang banyak bergulat dengan
pembahasan teologis dan banyak memanfaatkan pemikiran deduktif, termasuk logika
Yunani. Orang-orang seperti Qadli Abdul Jabbar adalah seorang teolog Mu‟tazilah.
Imam Abu al-Husayn al-Bashri pun termasuk dalam aliran Mu‟tazilah. Sementara itu,
Imam Abu Bakar al-Baqillani, yang menulis buku al-Taqrib wa al-Irsyad dan diringkas
oleh Imam al-Juwayni, dipandang sebagai Syaikh al-Ushuliyyin. Imam al-Juwayni
sendiri, Imam al-Ghazali, dan Fakhruddin al-Razi adalah di antara tokoh-tokoh besar
Asy‟ariyyah penulis ushul fiqh. Ada pula penulis yang tidak menunjukkan kejelasan
afiliasi teologis, tetapi menulis dengan pola mutakallimin, seperti Imam Abu Ishaq al-
Syirazi.
2. Aliran Hanafiyah.
Aliran Hanafiyah atau aliran Fukaha adalah aliran yang diikuti oleh para ulama
madzhab Hanafi. Madzhab Hanafi adalah madzhab yang sejak semula memiliki
pengembangan metodologis yang baik. Hal itu dibuktikan dengan pengaruh
perkembangan ilmu qawaid fiqh di kalangan Syafi‟iyyah yang dipengaruhi oleh qawaid
fiqh Hanafi. Karena itu, mereka mengembangkan sendiri model penulisan ushul fiqh
yang khas madzhab Hanafi. Ciri khas penulisan madzhab Hanafi adalah berangkat dari
persoalan-persoalan hukum yang furu yang dibahas oleh para imam mereka, lalu
membuat kesimpulan metodologis berdasarkan pemecahan hukum furu tersebut. Jadi,
kaidah-kaidah dibuat secara induktif dari kasus-kasus hukum. Kaidah-kaidah tersebut
bisa berubah dengan munculnya kasus-kasus hukum yang menuntut pemecahan hukum
yang lain. Karena itu, ushul fiqh Hanafi dipenuhi dengan persoalan hukum yang nyata.
Ilmu ushul fiqh bersamaan munculnya dengan ilmu fiqh meskipun dalam
penyusunannya ilmu fiqh dilakukan lebih dahulu dari usul fiqh. Sebenarnya keneradaan
fiqh harus didahului oleh ushul fiqh, karena ushul fiqh itu adalah ketentuan atau kaidah
yang harus berkembang mujtahid pada waktu menghasilkan fiqh. Namun perumusnya
ushul fiqh datang belakangan. Perumusan fiqh sebenarnya sudah dimulai langsung
sesudah nabi wafat, yaitu periode sahabat. Pemikiran pada ushul fiqh telah ada pada
3
waktu perumusan fiqh itu.
Perkembangan ushul fiqh tidak terlepas dari perkembangan hukum islam. Sejak
zaman Rasulullah SAW sampai pada masa tersusunnya ushul fiqh sebagai salah satu
bidsng ilmu pada abad kedua hijiriah.4
3
Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih.,(Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2014). Cet. V. Jilid I. hlm. 42.
4
Nasrun Haroen, Ushul Fiqih I (Jakarta: Logos Publishing House, 1996), hlm.6
Ada pun perkembangan ushul fiqh yaitu:
Sedang surat al- Baqarah ayat 234, menyatakan: “Orang-orang yang meninggal
dunia di antaramu dengan meninggalakan, hendaklah para istri beriddah empat bulan
sepuluh hari.
Ia menganggap bahwa surat al-Baqarah ayat 234 turun lebih dahulu dari pada at-
Thalaq ayat 4, atau di anggap „am. Hal ini menunjukkan bahwa Ibn Mas‟ud memakai
dasar nasikh dan mansukh atau takhshish.
3. Pada Masa Tabi‟in
Tabi‟in adalah generasi setelah sahabat. Mereka bertemu dengan sahabat dan
belajar kepada sahabat. Patut dicatat bahwa para sahabat ketika Islam menyebar turut
pula menyebar ke berbagai daerah, seperti Ibnu Mas‟ud ada di Iraq, Umayyah ada di
Syam, Ibnu Abbas di Makkah, Umar bin Khattab, Aisyah, dan Ibnu Umar, dan Abu
Hurairah di Madinah, dan Abdullah bin Amru bin Ash di Mesir. Para sahabat tersebut
berperan dalam penyebaran ajaran Islam dan menjadi tempat masyarakat masing-
masing daerah meminta fatwa. Mereka pun memiliki murid-murid di daerah-daerah
tersebut. Murid-murid sahabat itulah yang kemudian menjadi tokoh hukum di
daerahnya masing-masing.
Murid-murid para sahabat tidak hanya dari kalangan orang-orang Arab,
melainkan juga dari kalangan muslim non-Arab (mawali). Banyak pemberi fatwa yang
terkenal di kalangan tabi„in adalah non-Arab, seperti Nafi , Ikrimah, Atha‟ bin Rabbah
(para ahli hukum Makkah), Thawus (ahli hukum Yaman), Ibrahim al-Nakha„i (ahli
hukum Kufah), Hasan al-Bashri dan Ibnu Sirin (para ahli hukum Bashrah), Yahya ibn
Katsir.
Kecenderungan berpikir sahabat turut mempengaruhi pola pemikiran ushul fiqh
di masing-masing daerah. Ibnu Mas‟ud, misalnya, dikenal sebagai tokoh yang memiliki
kemampuan ra‟yu yang baik. Tidak mengherankan apabila murid-muridnya di Iraq
(Kufah) juga dikenal dengan ahl al-ra‟yi, meskipun ada faktor lain yang tentunya
berpengaruh. Karena itulah, metode istimbath tabi‟in umumnya tidak berbeda dengan
metode istimbath sahabat. Hanya saja pada masa tabi‟in
mulai muncul dua fenomena penting seperti pemalsuan hadis dan perdebatan mengenai
penggunaan ra‟yu yang memunculkan kelompok Iraq (ahl al-ra‟yi) dan kelompok
madinah (ahl al-hadis).
Dengan demikian muncul bibit-bibit perbedaan metodologis yang lebih jelas
yang sertai dengan perbedaan kelompok ahli hukum (fukaha) berdasarkan wilayah
geografis. Dua hal tersebut, ditambah munculnya para ahli hukum non-Arab,
melahirkan wacana pemikiran hukum yang nantinya melahirkan madzhab-madzhab
hukum Islam. Masing-masing madzhab hukum memiliki beberapa aspek metode yang
khas, yang membedakannya dengan madzhab yang lain.
Pada masa tabi‟in penggunaan ushul fiqh ini lebih luas. Sebagai contoh Sa‟ad
ibn Musayyah di madinah atau al-Qannah dan Ibrahim al –Nakha‟iy di Irak Di antara
mereka ada yang menggunakan mashlahah dan ada juga yang mengunakan qiyas
apabila mereka tidak mendapat suatu nash sebagai dasar hukum.
Secara garis besarnya, ushul fiqh dapat di bagi dalam tiga tahapan yaitu:
Akan tetapi tidak bisa diingkari bahwa pintu ijtihad pada periode ini telah
tertutup, akibatnya dalam perkembangan fiqh Islam adalah sebagai berikut:
a) Kegiatan para ulama terbatas terbatas dalam menyampaikan apa yang telah ada,
mereka cenderung hanya mensyarahkan kitab-kitab terdahulu atau memahami
dan meringkasnya.
b) Menghimpun masalah-masalah furu yang sekian banyaknya dalam uaraian yang
singkat.
c) Memperbanyak pengandaian-pengandaian dalam beberapa masalah
permasalahan.
Ada beberapa hal yang menjadi ciri khas dalam perkembangan ushul fiqh pada
abad 4 H yaitu munculnya kitab-kitab ushul fiqh yang membahas ushul fiqh secara utuh
dan tidak sebagian-sebagian seperti yang terjadi pada masa-masa sebelumnya. Kalaupun
ada yang membahas hanya kitab-kitab tertentu, hal itu semata-mata untuk menolak atau
memperkuat pandangan tertentu dalam masalah itu. Selain itu Materi berpikir dan
penulisan dalam kitab-kitab yang ada sebelumnya dan menunjukan bentuk yang lebih
sempurna, sebagaimana dalam kitab fushul-fi al-ushul karya abu baker ar-razi hal ini
merupakan corak tersendiri corak tersendiri dalam perkembangan ilmu ushul fiqh pada
awal abad 4 H., juga tampak pula pada abad ini pengaruh pemikiranyang bercorak
filsafat, khususnya metode berfikir menurut ilmu manthiq dalam ilmu ushul fiqh.
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Ilmu Ushul fiqh tidaklah tumbuh kecuali pada abad kedua hijiriah, karena pada
abad satu hijiriah ilmu tersebut belum diperlukan, dimana Rasulullah SAW berfatwa
dan menjatuhkan keputusan (hukum) menurut ajaran al-Qur‟an diwahyukan kepadanya
dan menurut sunnah yang diturunkan kepadanya. Pada mulanya, para ulama terlebih
dahulu menyusun ilmu fiqh sesuai dengan Al-Qur an, Hadits, dan Ijtihad para Sahabat.
Setelah Islam semakin berkembang, dan mulai banyak negara yang masuk kedalam
daulah Islamiyah, maka semakin banyak kebudayaan yang masuk, dan menimbulkan
pertanyaan mengenai budaya baru ini yang tidak ada di zaman Rasulullah. Maka para
Ulama ahli usul Fiqh menyusun kaidah sesuai dengan gramatika bahasa Arab dan
sesuai dengan dalil yang digunakan oleh Ulama penyusun ilmu Fiqh. Perkembangan
ushul fiqh dimulai pada Rasulullah SAW, masa sahabat, masa tabi‟in dan masa periode
imam mahzab. Secara garis besar, tahap perkembangan ushul fiqh terbagi atas 3 periode
yakni tahap awal (abad 3H), tahap perkembangan (abad 4H) dan tahap penyempurnaan
(abad 5-6 abad).
DAFTAR PUSTAKA
Kallaf, Wahabb, Abdul, Kaidah-Kaidah hukum islam; Ilmu Ushul Fiqih., Jakarta: Raja
Syarifuddin amir, Ushul Fiqih jilid I, Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2014.