Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

“Sejarah Ushul Fiqh”

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqh.


Dosen pengampu: Dr. La Jamaa, MHI.,

Disusun Oleh :

Isra Saifudin Salan (160301004)

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI AMBON
2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena limpahan rahmat dan
hidayah-Nya kami diberi kemampuan, kesempatan waktu dan kesehatan jasmani dan
rohani Sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang SEJARAH MUNCUL DAN
PERKEMBANGAN USHUL FIQH yang menjadi tugas mata kuliah Ushul Fiqh.Tak luput
juga salawat dan salam untuk junjungan Nabi besar kita, Nabiyallah Muhammad
SAW beserta keluarga, para sahabat, dan para tabi‟-tabi‟innya.

Makalah yang merupakan aplikasi dari penulis selain untuk memenuhi tugas
mata kuliah tersebut, juga untuk memberikan pengetahuan tentang sejarah awal dan
perkembangan ushul fiqh. Bagaimana cikal bakal atau embrio dari tumbuhnya ushul
fiqh dan bagaimana perkembangan ushul fiqh yang terjadi dalam sejarah, hal ini yang
akan dipaparkan dalam pembahasan makalah ini.

Penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat dan memberi gambaran atau pun
menjadi referensi kita dalam mengenal dan mempelajari sejarah dan perkembangan
ushul fiqh. Dalam makalah ini penulis menyadari masih jauh dari kesempurnaan, untuk
itu segala saran dan kritik guna perbaikan dan kesempurnaan sangat kami nantikan.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan para pembaca pada
umumnya.

Penyusun

Ambon, 07 Maret 2017


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...............................................................................................

DAFTAR ISI .............................................................................................................

BAB I: PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG ............................................................................


B. RUMUSAN MASALAH .......................................................................
C. TUJUAN MAKALAH ...........................................................................

BAB II: PEMBAHASAN

A. SEJARAH MUNCUL USHUL FIQH ....................................................


B. SEJARAH PERKEMBANGAN USHUL FIQH ....................................
C. TAHAP PERKEMBANGAN USHUL FIQH ........................................

BAB III: PENUTUP

A. KESIMPULAN ......................................................................................

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Segala sesuatu kejadian yang membutuhkan hukumyang terjadi pada masa


Rasulullah SAW langsung diselesaikan oleh Rasul melalui wahyu. Tapi bila tidak
terdapat pada wahyu Nabi menyelesaikannya dengan sunnah atau hadits melalui
petunjuk al-Qur‟an. Setelah Rasul wafat apabila ada kejadian yang membutuhkan
hokum tapi tidak ada dalam al-Qur‟an dan sunnah Nabi, maka akan diselesaikan melalui
kesepakatan para sahabat. Dan pada masa Thabi‟in diselesaikan oleh para mujtahid
melalui petunjuk al-Qur‟an dan sunnah Nabi.
Penyusunan ushul fiqh dibuat untuk menerapkan kaidah-kaidah dan
pembahasannya terhadap dalil terinci untuk mendatangkan hokum syariat islam yang
diambil dari dalil-dalil tersebut agar dapat dipahami nash syariyah dan hukum yang
dikandungnya oleh masyarakat islam.
Pada makalah ini penulis akan menjelaskan tentang sejarah dan perkembangan
ushul fiqh melalui berbagai macam buku-buku yang mengenai tentang ushul fiqh.

B. Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari uraian permasalahan di atas, maka yang menjadi rumusan
masalah adalah:
1. Bagaimana sejarah munculnya Ushul Fiqh ?
2. Bagaimana perkembangan Ushul Fiqh ?

C. Tujuan Makalah
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan makalah adalah:
1. Mengetahui sejarah munculnya ushul fiqh
2. Mengetahui perkembangan ushul fiqh
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Ushul Fiqh

Ushul fiqh tidaklah tumbuh kecuali pada abad kedua hijiriah, karena pada abad
satu hijiriah ilmu tersebut belum diperlukan, dimana Rasulullah SAW berfatwa dan
menjatuhkan keputusan (hukum) menurut ajaran al-Qur‟an di wahyukan kepadanya dan
menurut sunnah yang diturunkan kepadanya.1

Pada mulanya, para ulama terlebih dahulu menyusun ilmu fiqh sesuai dengan Al-
Qur an, Hadits, dan Ijtihad para Sahabat. Setelah Islam semakin berkembang, dan mulai
banyak negara yang masuk kedalam daulah Islamiyah, maka semakin banyak
kebudayaan yang masuk, dan menimbulkan pertanyaan mengenai budaya baru ini yang
tidak ada di zaman Rasulullah. Maka para Ulama ahli usul Fiqh menyusun kaidah sesuai
dengan gramatika bahasa Arab dan sesuai dengan dalil yang digunakan oleh Ulama
penyusun ilmu Fiqh.

Muncullah para Imam Mujtahid, khususnya Imam yang empat, yaitu:


a. Abu Hanif ah atau Imam Hanafi
b. Imam Malik
c. Imam syafi‟i
d. Ahmad bin Hanbal atau Imam Hanbali

Imam Hanafi menyusun metode Istinbat dengan urutan al-Qur‟an, Sunnah,


Fatwa para Sahabat yang menjadi kesepakatan mereka. Sedangkan Imam Malik
nmengemukakan pendapatnya dengan banyak berpegang pada amalan ahli madinah. Ia
juga mengkritik beberapa hadis yang menurutnya bertentangan dengan al-Qur‟an.
Orang yang pertama kali menghimpun kaidah yang bercerai-cerai di dalam satu
himpunan adalah Imam Abu Yusuf pengikut Abu Hanifah. Sedangkan orang yang
pertama kali mengadakan kodifikasi kaidah-kaidah dan bahasan-bahasan ilmu ini,
sehingga merupakan kumpulan tersendiri secara tertib (sistematis) dan masing-masing

1
Abdul Wahab Kallaf, Kaidah-Kaidah hukum islam; Ilmu Ushul Fiqih (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002),Cet.
VIII., hlm. 10.
kaidah itu dikuatkan dengan dalil dan keterangan atau uraian yang mendalam (serius)
ialah al-Imam Muhammad bin Idris al-Syafi‟i.
Dalam pentadwihan (kodifikasi) itu telah ditulis kitab Risalah Ushuliyyah,
yang telah diriwayatkan oleh pengikutnya ar-Robi‟ al-Murodi. Kitab itulah sebagai
kodifikasi yang pertama kali dalam ilmu ini, dan itulah satu-satunya yang sampai
kepada kita sepanjang pengetahuan kita. Karena itu dipopulerkan di kalangan para
ulama, bahwa pendasar ilmu fiqh adalah Imam Syafi‟i.
Karya Imam Syafi‟i, yaitu al-Risalah, adalah kitab ushul fiqh yang pertama
ditulis. Kitab tersebut men jadi tonggak bagi perkembangan ushul fiqh sebagai bidang
ilmu yang mandiri. Para ahli ushul menganggap Imam Syafi‟i sebagai Bapak dan
Pendiri ilmu ushul fiqh.
Di kalangan madzhab Hanafi ada yang menolak bahwa Imam Syafi‟i sebagai
pendiri ushul fiqh. Mereka menyatakan bahwa Imam Abu Hanifah dan dua muridnya:
Imam Abu Yusuf Ibnu Abi Laila dan Muhammad bin Hasan al-Syaybani adalah peletak
ilmu ushul fiqh. Sejarah memang mencatat bahwa Imam Syafi‟i pernah berguru kepada
Imam Muhammad bin Hasan al-Syaybani.
Usaha pertama dilakukan oleh Imam Syafi'i dalam kitabnya Ar-Risalah. Dalam
kitab ini ia membicarakan tentang Qur'an, kedudukan hadits, Ijma, Qiyas dan pokok-
pokok peraturan mengambil hukum. Usaha Imam Syafi'i ini merupakan batu pertama
dari ilmu ushul fiqh yang kemudian dilanjutkan oleh para ahli ushul fiqh sesudahnya.
Iman Syafi‟i pantas disebut sebagai orang pertama yang menyusun sistem
metodologi berpikir tentang hukum islam, yang kemudian populer dengan sebutan
Ushul Fiqh sehingga tidak salah ucapan seorang orientalis inggris N.J Coulson yang
mengatakan bahwa Iman Syafi‟i adalah arsitek Ushul Fiqh.2
Hal ini bukanlah berarti beliau merintis dan mengembangkan ilmu tersebut.
Jauh sebelumnya mulai dari para sahabat, Tabi‟in bahkan dikalangan Imam Mujtahid
seperti Abu Hanifah, Imam Malik dan juga dikalangan ulama Syiah Muhammad al
Baqir dan Jafar as-Shiddiq sudah menemukan dan menggunakan metodologi dalam
perumusan fiqh.Tetapi mereka belum menyusun ilmu itu secara sistematis sehingga
dapat disebut sebagai ilmu yang berdiri sendiri. Namun para ulama ushul fiqh setelah

2
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih., (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), jilid I,. Cet. I, hlm. 38.
Imam Syafi‟i dalam pembahasannya mengenai ushul fiqh tidak selalu sama, baik
tentang istilah-istilah maupun tentang jalan pembicaraannya. Maka dari itu terdapat dua
golongan yaitu; golongan Mutakallimin dan golongan Hanafiyah.

1. Aliran Mutakallimin
Aliran mutakallimin disebut juga dengan aliran Syafi‟iyyah. Alasan penamaan
tersebut bisa dipahami mengingat karya-karya ushul fiqh aliran mutakallimin banyak
lahir dari kalangan Syafi‟iyyah, seperti al-Luma‟ karya al-Syirazi, al-Mustashfa karya
al-Ghazali, al-Mahsul karya Fakhruddin al-Razi, al-Burhan dan al-Waraqat karya al-
Juwayni, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam karya al-Amidi, Minhaj al-Wushul ila Ilm a‟-
Ushul karya al-Baidlawi dan sebagainya. Karya al-Ghazali, al-Razi, dan al-Amidi
banyak dirujuk oleh para ahli ushul fiqh dari madzhab non-Syafi‟i. Kitab Rawdlah al-
Nadzir wa Jannah al-Munadzir karya tokoh Hanabilah Ibnu Qudamah al-Maqdisi,
misalnya, dipandang sebagai ringkasan dari al-Mustashfa karya al-Ghazali dan kitab
Muntaha al-Wushul (al-Sul)wa al-Amal fi Ilmay al-Ushul wa al-Jadal karya Ibnu Hajib
dipandang sebagai ringkasan kitab al-Ihkam fi ushul al-Ahkam karya al-Amidi.
Meskipun demikian, penulis-penulis ushul fiqh model mutakallimin hanya orang
Asy‟ariyyah. Penulis ushul fiqh aliran mutakallimin bersifat lintas madzhab. Ada
penulis dari kalangan Hanbali, seperti Abu Ya‟la (pengarang al-Uddah), Ibnu Qudamah
(pengarang Rawdlah al-Nadzir wa Jannah al-Munadzir), keluarga Ibnu Taimiyyah:
Majduddin, Taqi al-Din, dan Ibnu Taimiyyah beserta ayah dan kakeknya (karangan
ketiganya tercakup dalam kitab al-Musawwadah), Najm al-Din al-Thufi pengarang
Mukhtashar al-Rawdlah dan Syarh Mukhtashar al-Rawdlah).
Ada penulis dari kalangan Maliki, seperti: Ibnu Hajib (pengarang Muntaha al-
Wushul (al-Sul) wa al-Alam fi Ilmay al-Ushul wa al-Jadal). Ada pula penulis dari
kalangan Dzahiriyyah, seperti:Ibnu Hazm al-Andalusi (pengarang kitab al-Ihkam fi
Ushul al-Ahkam). Sebutan mutakallimin adalah sesuai dengan karakteristik
penulisannya. Kaum mutakallimin adalah orang-orang yang banyak bergulat dengan
pembahasan teologis dan banyak memanfaatkan pemikiran deduktif, termasuk logika
Yunani. Orang-orang seperti Qadli Abdul Jabbar adalah seorang teolog Mu‟tazilah.
Imam Abu al-Husayn al-Bashri pun termasuk dalam aliran Mu‟tazilah. Sementara itu,
Imam Abu Bakar al-Baqillani, yang menulis buku al-Taqrib wa al-Irsyad dan diringkas
oleh Imam al-Juwayni, dipandang sebagai Syaikh al-Ushuliyyin. Imam al-Juwayni
sendiri, Imam al-Ghazali, dan Fakhruddin al-Razi adalah di antara tokoh-tokoh besar
Asy‟ariyyah penulis ushul fiqh. Ada pula penulis yang tidak menunjukkan kejelasan
afiliasi teologis, tetapi menulis dengan pola mutakallimin, seperti Imam Abu Ishaq al-
Syirazi.

2. Aliran Hanafiyah.
Aliran Hanafiyah atau aliran Fukaha adalah aliran yang diikuti oleh para ulama
madzhab Hanafi. Madzhab Hanafi adalah madzhab yang sejak semula memiliki
pengembangan metodologis yang baik. Hal itu dibuktikan dengan pengaruh
perkembangan ilmu qawaid fiqh di kalangan Syafi‟iyyah yang dipengaruhi oleh qawaid
fiqh Hanafi. Karena itu, mereka mengembangkan sendiri model penulisan ushul fiqh
yang khas madzhab Hanafi. Ciri khas penulisan madzhab Hanafi adalah berangkat dari
persoalan-persoalan hukum yang furu yang dibahas oleh para imam mereka, lalu
membuat kesimpulan metodologis berdasarkan pemecahan hukum furu tersebut. Jadi,
kaidah-kaidah dibuat secara induktif dari kasus-kasus hukum. Kaidah-kaidah tersebut
bisa berubah dengan munculnya kasus-kasus hukum yang menuntut pemecahan hukum
yang lain. Karena itu, ushul fiqh Hanafi dipenuhi dengan persoalan hukum yang nyata.

B. Sejarah Perkembangan Ushul Fiqh

Ilmu ushul fiqh bersamaan munculnya dengan ilmu fiqh meskipun dalam
penyusunannya ilmu fiqh dilakukan lebih dahulu dari usul fiqh. Sebenarnya keneradaan
fiqh harus didahului oleh ushul fiqh, karena ushul fiqh itu adalah ketentuan atau kaidah
yang harus berkembang mujtahid pada waktu menghasilkan fiqh. Namun perumusnya
ushul fiqh datang belakangan. Perumusan fiqh sebenarnya sudah dimulai langsung
sesudah nabi wafat, yaitu periode sahabat. Pemikiran pada ushul fiqh telah ada pada
3
waktu perumusan fiqh itu.
Perkembangan ushul fiqh tidak terlepas dari perkembangan hukum islam. Sejak
zaman Rasulullah SAW sampai pada masa tersusunnya ushul fiqh sebagai salah satu
bidsng ilmu pada abad kedua hijiriah.4

3
Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih.,(Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2014). Cet. V. Jilid I. hlm. 42.
4
Nasrun Haroen, Ushul Fiqih I (Jakarta: Logos Publishing House, 1996), hlm.6
Ada pun perkembangan ushul fiqh yaitu:

1. Pada Masa Nabi Muhammad


Pada masa ini berlangsung pada saat nabi Muhammad SAW masih hidup yaitu
pada masa 610-633 M (Tahun 1-10 H). Pada masa ini masalah yang dihadapi umat
islam, langsung di selesaikan oleh Nabi , baik melalui wahyu yang diterimanya dari
Allah SWT maupn melalui sunnahnya, yang selalu dibimbing oleh wahyu. Dengan
demikian pada masa ini semua hukum didasarkan pada wahyu.
Nabi Muhammad SAW telah menaklukkan Madinah dan Mekkah dan beberapa
tahun terakhir dari kehidupannaya, beliau sendiri memikul tugas perundang-undangan.
Sebagian besar dari ayat-ayat hukum dalam al-Qur‟an difirmankan pada waktu itu dan
banyak keputusan-kepututsan hukum serta tradisi-tradisi beliau terpenting yang dicatat
pada zaman ini.
Pada periode ini dalil hukum islam kembali pada al-Qur‟an dan sunnah Rasul-
Nya. Ijtihad sahabat yang terjadi pada waktu itu mempunyai nilai sunnah yaitu masuk
kepada jenis taqriry, karena mendapat penetapan dari nabi, baik berupa pembenaran
maupun berupa koreksi pembetulan terhadap apa yang dilakukan sahabat tersebut.
Nabi Muhammad SAW menetapkan hukum dan undang-undang hidup
pergaulan berangsur-angsur berdasarkan putusan roda hidup masyarakat yang kian hari
kian maju. Kaum muslimin pada waktu itu apabila menghadapi suatu problema atau
kejadian yang diperlukan hukumnya, segera ditanyakan hukum tersebut kepada
rasulullah, maka nabi menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakan kepadanya
dengan:

a. Berdasarkan al-qur‟an atau wahyu yang diturunkan kepadanya.


b. Nabi Muhammad SAW sendiri menetapkan (Hadis Rasul) kadang-kadang
dijelaskan dengan praktek, kadang-kadang seorang sahabat mengerjakan
dibiarkan nabi Muhammad SAW.

Nabi Muhammad menerima wahyu Allah dan menyampaikannya kepada umat


serta menjelaskan maksud-maksud wahyu dengan sunahhya yakni menjelaskan
mujmalnya mengaitkan muthlaqnya dan menta‟wilkan musykilnya.
2. Pada Masa Sahabat
Meninggalnya Rasulullah memunculkan tantangan bagi para sahabat.
Munculnya kasus-kasus baru menuntut sahabat untuk memecahkan hukum dengan
kemampuan mereka atau dengan fasilitas khalifah. Sebagian sahabat sudah dikenal
memiliki kelebihan di bidang hukum, di antaranya Ali bin Abi Thalib, Umar bin
Khattab, Abdullah Ibnu Mas‟ud, Abdullah Ibn Abbas, Abdullah bin Umar. Karir
mereka berfatwa sebagian telah dimulai pada masa Rasulullah sendiri.
Pada masa ini berlangsung pada tahun 632-662 M atau 11-41 H. Pada masa ini
penyelesaian masalah yang dihadapi umat islam diselesaikan berdasarkan al-Qur‟an dan
Sunnah Nabi. Sedang terhadap masalah yang belum ada dalam al-Qur‟an dan Sunnah
diselesaikan dengan ijtihad para sahabat baik ijtihad jama’iy maupun fardy, dengan
tetap berpedoman kepada al-Qur‟an dan sunnah nabi. Dengan demikian dalil hukum
pada masa ini kembali pada al-Qur‟an, Sunnah nabi dan ijtihad sahabat.
Contoh cikal bakal ushul fiqh yang terdapat pada masa Rasulullah dan masa sahabat,
antara lain, berkaitan dengan ketentuan urutan penggunannya sumber dan dalil hukum,
sebagai bagian dari ushul fiqh, misalnya dapat terlihat dari informasi tentang dialog
antara Rasulullah dan Mu‟az bin Jabal, ketika Rasulullah mengutus Mu‟az ke Yaman.
“Ketika Rasulullah SAW bermaksud mengutus Mu’az ke Yaman, beliau
bertanya: “bagaimana kamu memutuskan bila suatu kasus diajukan kepadamu? Ia
menjawab: “saya akan putuskan berdasarkan kitab Allah” beliau bertanya lagi: “jika
kamu tidak menemukannya dalam kitab Allah? ia menjawab: “ saya yakan putuskan
berdasarkan sunah Rasulullah SAW ” beliau bertanya lagi: “jika kamu tidak
menemukannya dalam kitab Allah maupun sunnah Rasulullah? Ia menjawab: “saya
akan berijtihad, namun saya tidak akan ceroboh.” beliau berkata sambil menepuk dada
Mu’az : “segala puji bagi Allah yang telah memberikan taufiq utusan Rasulullah
kepada apa yang di ridhai Rasul itu.”

Langkah-langkah yang ditempuh para sahabat apabila menghadapi persoalan


hukum ialah, menelusuri ayat-ayat Al-quran yang berbicara tentang masalah tersebut.
Apabilah tidak di temukan hukumanya dalam Al-quran, maka mereka mencarinya di
dalam sunnah. Apabila di dalam sunnah pun tidak ditemukan, barulah mereka
berijtihad. Tidak jarang ijtihad yang mereka lakukan adalah dengan cara musyawarah di
antara mereka (ijtihad damai) hasil kesepakatan ijtihad melalui musyawarah ini
kemudian dikenal dengan istilah ijma’ ash-shahabi (kesepakatan sahabat). Akan tetapi,
sebagaimana pola musyawarah, acapkali juga ijtihad memecahkan persoalan-persoalan
hukum itu mereka lakukan secara sendiri-sendiri (ijtihad fardi). Hasil ijtihad ini
kemudian dikenal dengan istilah ijtihad ash-shahabi (ijtihad sahabat) atau fatwa ash-
shahabi(fatwa sahabat) atau qaul ash-shahabi(pendapat sahabat).
Dua hal yang nyata dalam zaman ini adalah pelanjutan dengan taatnya dari
kebiasaan-kebiasaan lama dengan semboyan mentaati sunnah, dan kedua pengumpulan
dan penyusunan ayat-ayat al-Qur‟an. Para sahabat seperti Umar ibn al-Khattab, Ali ibn
Abi Thalib dan ibn mas‟ud telah menggunakan cara-cara penggalian hukum ini. Akan
tetapi, masa itu metode tersebut belum dikenal sebagai ushul fiqh. Berikut ini akan
diuraikan beberapa contoh penggunaan metode untuk mengeluarkan hukum dari dalil
yang dilakukan oleh beberapa sahabat yaitu:
1. Ali bin Abi Thalib memberikan sanksi kepada peminum khamar dengan
hukuman yang sama dengan hukuman bagi penuduh pezina dengan alasan:
“Sesungguhnya apabila orang itu minum khamar dia mengigau, dan
apabila dia mengigau dia menuduh”
Jadi, sanksi bagi peminum khamar bagi Ali bin Abi Thalib sama dengan sanksi
penuduh pezina, yaitu 80 kali jilid. Dalam hal ini Ali menggunakan qiyas (analogi).
2. Ibn Mas‟ud menetapkan iddah wanita hamil yang ditinggalkan mati suaminya
sampai melahirkan, dengan dasar: “Dan perempuan-perempuan yang hamil,
waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. ( Al-
Thalaq :4)

Sedang surat al- Baqarah ayat 234, menyatakan: “Orang-orang yang meninggal
dunia di antaramu dengan meninggalakan, hendaklah para istri beriddah empat bulan
sepuluh hari.

Ia menganggap bahwa surat al-Baqarah ayat 234 turun lebih dahulu dari pada at-
Thalaq ayat 4, atau di anggap „am. Hal ini menunjukkan bahwa Ibn Mas‟ud memakai
dasar nasikh dan mansukh atau takhshish.
3. Pada Masa Tabi‟in

Tabi‟in adalah generasi setelah sahabat. Mereka bertemu dengan sahabat dan
belajar kepada sahabat. Patut dicatat bahwa para sahabat ketika Islam menyebar turut
pula menyebar ke berbagai daerah, seperti Ibnu Mas‟ud ada di Iraq, Umayyah ada di
Syam, Ibnu Abbas di Makkah, Umar bin Khattab, Aisyah, dan Ibnu Umar, dan Abu
Hurairah di Madinah, dan Abdullah bin Amru bin Ash di Mesir. Para sahabat tersebut
berperan dalam penyebaran ajaran Islam dan menjadi tempat masyarakat masing-
masing daerah meminta fatwa. Mereka pun memiliki murid-murid di daerah-daerah
tersebut. Murid-murid sahabat itulah yang kemudian menjadi tokoh hukum di
daerahnya masing-masing.
Murid-murid para sahabat tidak hanya dari kalangan orang-orang Arab,
melainkan juga dari kalangan muslim non-Arab (mawali). Banyak pemberi fatwa yang
terkenal di kalangan tabi„in adalah non-Arab, seperti Nafi , Ikrimah, Atha‟ bin Rabbah
(para ahli hukum Makkah), Thawus (ahli hukum Yaman), Ibrahim al-Nakha„i (ahli
hukum Kufah), Hasan al-Bashri dan Ibnu Sirin (para ahli hukum Bashrah), Yahya ibn
Katsir.
Kecenderungan berpikir sahabat turut mempengaruhi pola pemikiran ushul fiqh
di masing-masing daerah. Ibnu Mas‟ud, misalnya, dikenal sebagai tokoh yang memiliki
kemampuan ra‟yu yang baik. Tidak mengherankan apabila murid-muridnya di Iraq
(Kufah) juga dikenal dengan ahl al-ra‟yi, meskipun ada faktor lain yang tentunya
berpengaruh. Karena itulah, metode istimbath tabi‟in umumnya tidak berbeda dengan
metode istimbath sahabat. Hanya saja pada masa tabi‟in
mulai muncul dua fenomena penting seperti pemalsuan hadis dan perdebatan mengenai
penggunaan ra‟yu yang memunculkan kelompok Iraq (ahl al-ra‟yi) dan kelompok
madinah (ahl al-hadis).
Dengan demikian muncul bibit-bibit perbedaan metodologis yang lebih jelas
yang sertai dengan perbedaan kelompok ahli hukum (fukaha) berdasarkan wilayah
geografis. Dua hal tersebut, ditambah munculnya para ahli hukum non-Arab,
melahirkan wacana pemikiran hukum yang nantinya melahirkan madzhab-madzhab
hukum Islam. Masing-masing madzhab hukum memiliki beberapa aspek metode yang
khas, yang membedakannya dengan madzhab yang lain.
Pada masa tabi‟in penggunaan ushul fiqh ini lebih luas. Sebagai contoh Sa‟ad
ibn Musayyah di madinah atau al-Qannah dan Ibrahim al –Nakha‟iy di Irak Di antara
mereka ada yang menggunakan mashlahah dan ada juga yang mengunakan qiyas
apabila mereka tidak mendapat suatu nash sebagai dasar hukum.

4. Periode Imam Mazhab


Setelah berlalunya periode tabi’in, maka perkembangan ushul fiqh disusul oleh
periode Imam Mazhab. Mengingat ada perbedaan sejarah yang signifikat, maka sejarah
perkembangan ilmu ushul fiqh periode Imam Mazhab ini lebih jauh dapat dirinci
menjadi tiga bagian, yaitu: masa sebelumnya dan ketika tampilnya imam asy-syafi’i,
serta masa sesudah Imam Asy-Syafi’i.
a. Masa Sebelum Imam Asy-Syafi‟i
Masa sebelum Imam Asy-syafi‟i ditandai dengan munculnya Imam Abu Hanifa
bin Nu‟man (w.150 h), pendiri Mazhab Hanafi.Ia tingal dan berkembang di Irak.
Dibanding masa tabi’in, metode ijtihad Imam Abu Hanifah sudah semakin jelas
polanya.Ia sangat dikenal banyak menggunakan qiyas dan isthisan.
Langkah-langkah ijtihadnya ialah, secara berurutan, merujuk pada Al-quran,
sunnah, fatwa sahabat yang berbeda-beda dalam satu kasus hukum.
Apabila Imam Abu Hanafiyah banyak menggunakan qiyas dan istisan dalam
berijtihad, maka sebaliknya Imam Maliki banyak menggunakan mashlahah muralah,
belakangan metode mashlahah Imam Maliki ini berkembang sangat jauh, sehingga
salah seorang ulama yang bernama Najmuddin Ath-Thufi(657-719) dituduh sesat oleh
sebagai ulama lainya, karena dipandang telah mengembangkan metode ini dengan cara
yang sangat liberal.

b. Masa Imam Asy-Syafi‟i


Masa kedua dari periode imam mazhab adalah ketika tampilnya Imam Muhamad
Idris Asy-Asyafi‟i (150-204). Berbeda dengan masa sbelumnya duman metode ushul
fiqh belum tersusun dalam suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri dan belum
dibukukan, maka masa ini ditandai dengan lahirnya karya imam asy-syafi‟I yang
bernama ar-risalah. Sebagaimana layaknya proses lahir dan perkembangan suatu
disiplin ilmu, Asy-Syafi‟i mewarisi pengetahuan yang mendalam sebagai hasil proses
panjang perkembangan ilmu dari perkembangan ilmu dari para pendahulunya.

c. Masa Sesudah Imam Asy-Syafi‟i


Setelah berlalunya masa Imam Asy-syafi‟i, perkembangan ilmu ushul fiqh
semakin menunjukan tingkat kesempurnannya. Pada masa ini (masih dalam abad
ketiga) lahir beberapa karya dalam bidang ushul fiqh, antara lain, an-nasikh wa al-
mansukh, karya Ahmad bin Hanbal(164-214), pendiri Mazhab Hanbali, dan ibthalal-
qiyas, karya Dawud Azh-Zhahiri(200-270H), pendiri Mazhab Azh-Zhahiri. Kitab
terakhir ini merupakan antitensis terhadap pemikiran Imam Asy-Syafi‟i yang sangat
mengunggulkan qiyas dalam ber ijitahad.

C. Tahap Perkembangan Ushul Fiqh

Secara garis besarnya, ushul fiqh dapat di bagi dalam tiga tahapan yaitu:

1. Tahap Awal (abad 3 H)


Pada abad 3 H di bawah pemerintahan Abassiyah wilayah Islam semakin
meluas kebagian timur. Khalifah-khalifah yang berkuasa dalam abad ini adalah: Al-
Ma‟mun(w.218H), Al-Mu‟tashim(w.227H), Al-Wasiq(w.232H) dan Al-
Mutawakil(w.247H) pada masa mereka inilah terjadi suatu kebangkitan ilmiah
dikalangan Islam yang dimulai dari kekhalifahan Arrasyid. Salah satu hasil dari
kebangkitan berfikir dan semangat keilmuan Islam ketika itu adalah berkembangnya
bidang fiqh yang pada giliranya mendorong untuk disusunnya metode berfikir fiqh yang
disebut ushul fiqh.
Seperti telah dikemukakan, kitab ushul fiqh yang pertama-tama tersusun secara
utuh dan terpisah dari kitab-kitab fiqh ialah Ar-Risalah karangan As-Syafi‟i.kitab ini
dinilai oleh para ulama sebagai kitab yang bernilai tinggi. Ar-Razi berkata “kedudukan
As-Syafi‟i dalam ushul fiqh setingkat dengan kedudukan Aristo dalam ilmu Manthiq
dan kedudukan Al-Khalil Ibnu Ahmad dalam ilmu Ar-rud”.
Ulama sebelum As-Syafi‟i berbicara tentang masalah-masalah ushul fiqh dan
menjadikanya pegangan, tetapi mereka belum memperoleh kaidah-kaidah umum yang
menjadi rujukan dalam mengetahui dalil-dalil syari‟at dan cara memegangi dan cara
mentarjih kanya: maka datanglah Al-Syafi‟i menyusun ilmu ushul fiqh yang merupakan
kaidah-kaidah umum yang dijadikan rujukan-rujukan untuk mengetahui tingkatan-
tingkatan dalil syar‟i, kalaupun ada orang yang menyusun kitab ilmu ushul fiqh sesudah
As-Syafi‟i, mereka tetap bergantung pada Asy-Syafi‟i karena Asy-Syafi‟ilah yang
membuka jalan untuk pertama kalinya.
Selain kitab Ar-Risalah pada abad 3 H telah tersusun pula sejumlah kitab ushul
fiqh lainya. Isa Ibnu Iban(w.221H\835 M) menulis kitab Itsbat Al-Qiyas. Khabar Al-
Wahid, ijtihad ar-ra‟yu. Ibrahim Ibnu Syiar Al-Nazham (w.221H\835M) menulis kitab
An-Nakl dan sebagainya.
Namun perlu diketahui pada umumnya kitab ushul-fiqh yang ada pada abad 3 H
ini tidak mencerminkan pemikiran-pemikiran ushul fiqh yang utuh dan mencakup
segala aspeknya kecuali kitab Ar-Risalah itu sendiri. Kitab Ar-Risalahlah yang
mencakup permasalahan-permasalahan ushuliyah yang menjadi pusat perhatian Para
Fuqoha pada zaman itu.
Disamping itu, pemikiran ushuliyah yang telah ada, kebanyakan termuat dalam
kitab-kitab fiqh, dan inilah salah satu penyebab pengikut ulama-ulama tertentu
mengklaim bahwa Imam Madzhabnya sebagai perintis pertama ilmu ushul fiqh tersebut.
Golongan Malikiyah misalnya mengklaim imam madzhabnya sebagai perintis pertama
ushul fiqh dikarenakan Imam Malik telah menyinggung sebagian kaidah-kaidah
ushuliyyah dalam kitabnya Al Muwatha. Ketika ia ditanya tentang kemungkinan adanya
dua hadits shoheh yang berlawanan yang datang dari Rasulluloh pada saat yang sama,
Malik menolaknya dengan tegas, karena ia berperinsip bahwa kebenaran itu hanya
terdapat dalam satu hadits saja.

2. Tahap perkembangan (abad 4 H)


Pada masa ini abad (4H) merupakan abad permulaan kelemahan Dinasty
abasiyah dalam bidang politik. Dinasty Abasiyah terpecah menjadi daulah-daulah kecil
yang masing-masing dipimpin oleh seorang sultan. Namun demikian tidak berpengaruh
terhadap perkembangan semangat keilmuan dikalangan para ulama ketika itu karena
masing-masing penguasa daulah itu berusaha memajukan negerinya dengan
memperbanyak kaum intelektual.
Khusus dibidang pemikiran fiqh Islam pada masa ini mempunyai karakteristik
tersendiri dalam kerangka sejarah tasyri‟ Islam. Pemikiran liberal Islam berdasarkan
ijtihad muthlaq berhenti pada abad ini. Mereka mengangagap para ulama terdahulu
mereka suci dari kesalahan sehingga seorang faqih tidak mau lagi mengeluarkan
pemikiran yang khas, terkecuali dalam hal-hal kecil saja, akibatnya aliran-aliran fiqh
semakin mantap exsitensinya, apa lagi disertai fanatisme dikalangan penganutnya. Hal
ini ditandai dengan adanya kewajiban menganut madzhab tertentu dan larangan
melakukan berpindahan madzhab sewaktu-waktu.
Namun demikian, keterkaitan pada imam-imam terdahulu tidak dikatakan taqlid,
karena masing-masing pengikut madzhab yang ada tetap mengadakan kegiatan ilmiah
guna menyempurnakan apa yang dirintis oleh para pendahulunya.dengan melakukan
usaha antara lain:
a) Memperjelas ilat-ilat hukum yang di istinbathkan oleh para imam mereka
mereka disebut ulama takhrij
b) Mentarjihkan pendapat-pendapat yang berbeda dalam madzhab baik dalam segi
riwayat dan dirayah.
c) Setiap golongan mentarjihkanya dalam berbagai masalah khilafiyah. Mereka
menyusu kitab al-khilaf

Akan tetapi tidak bisa diingkari bahwa pintu ijtihad pada periode ini telah
tertutup, akibatnya dalam perkembangan fiqh Islam adalah sebagai berikut:
a) Kegiatan para ulama terbatas terbatas dalam menyampaikan apa yang telah ada,
mereka cenderung hanya mensyarahkan kitab-kitab terdahulu atau memahami
dan meringkasnya.
b) Menghimpun masalah-masalah furu yang sekian banyaknya dalam uaraian yang
singkat.
c) Memperbanyak pengandaian-pengandaian dalam beberapa masalah
permasalahan.

Keadaan tersebut sangat, jauh berbeda di bidang ushul fiqh.Terhentinya ijtihad


dalam fiqh dan adanya usaha-usaha untuk meneliti pendapat-pendapat para ulama
terdahulu dan mentarjihkanya.Justru memainkan peranan yang sangat besar dalam
bidang ushul fiqh.
Sebagai tanda berembangnya ilmu ushul fiqh dalam abad 4 H ini ditandai
dengan munculnya kitab-kitab ushul fiqh yang merupakan hasil karaya ulama-ulama
fiqh diantara kitab yan terekenal adalah:
 Kitab Ushul Al-Kharkhi, ditulis oleh Abu Al-Hasan Ubaidillah Ibnu Al-Husain
Ibnu Dilal Dalaham Al-Kharkhi,(w.340H.)
 Kitab Al –Fushul Fi-Fushul Fi-Ushul, ditulis oleh Ahmad Ibnu Ali Abu Baker
Ar-Razim yang juga terkenal dengan Al-Jasshah (305H.)
 Kitab Bayan Kasf Al-Ahfazh, ditulis oleh abu Muhammad Badr Ad-Din
Mahmud Ibnu Ziyad Al-Lamisy Al-Hanafi.

Ada beberapa hal yang menjadi ciri khas dalam perkembangan ushul fiqh pada
abad 4 H yaitu munculnya kitab-kitab ushul fiqh yang membahas ushul fiqh secara utuh
dan tidak sebagian-sebagian seperti yang terjadi pada masa-masa sebelumnya. Kalaupun
ada yang membahas hanya kitab-kitab tertentu, hal itu semata-mata untuk menolak atau
memperkuat pandangan tertentu dalam masalah itu. Selain itu Materi berpikir dan
penulisan dalam kitab-kitab yang ada sebelumnya dan menunjukan bentuk yang lebih
sempurna, sebagaimana dalam kitab fushul-fi al-ushul karya abu baker ar-razi hal ini
merupakan corak tersendiri corak tersendiri dalam perkembangan ilmu ushul fiqh pada
awal abad 4 H., juga tampak pula pada abad ini pengaruh pemikiranyang bercorak
filsafat, khususnya metode berfikir menurut ilmu manthiq dalam ilmu ushul fiqh.

3. Tahap Penyempurnaan (abad 5-6 H )


Kelemahan politik di Baghdad, yang ditandai dengan lahirnya beberapa daulah
kecil, membawa arti bagi perkembangan peradaban dunia Islam. Peradaban Islam tak
lagi berpusat di Baghdad, tetapi juga di kota-kota seperti Cairo, Bukhara, Ghaznah, dan
Markusy. Hal itu disebabkan adanya perhatian besar dari para sultan, raja-raja penguasa
daulah-daulah kecil itu terhadap perkembangan ilmu dan peradaban.
Hingga berdampak pada kemajuan dibidang ilmu ushul fiqh yang menyebabkan
sebagian ulama memberikan perhatian khusus untuk mendalaminya, antara lain Al-
Baqilani, Al-Qhandi, abd.Al-jabar, abd. Wahab Al-Baghdadi, Abu Zayd Ad Dabusy,
Abu Husain Al Bashri, Imam Al-Haramain, Abd. Malik Al-Juwani, Abu Humaid Al
Ghazali dan lain-lain. Mereka adalah pelopor keilmuan Islam di zaman itu. Para
pengkaji ilmu keislaman di kemudian hari mengikuti metode dan jejak mereka, untuk
mewujudkan aktivitas ilmu ushul fiqh yang tidak ada bandinganya dalam penulisan dan
pengkajian keislaman , itulah sebabnya pada zaman itu, generasi Islam pada kemudian
hari senantiasa menunjukan minatnya pada produk-produk ushul fiqh dan menjadikanya
sebagi sumber pemikiran.
Dalam sejarah pekembangan ilmu ushul fiqh pada abad 5 H dan 6 H ini
merupakan periode penulisan ushul fiqh terpesat yang diantaranya terdapat kitab-kitab
yang menjadi kitab standar dalam pengkajian ilmu ushul fiqh selanjutnya.
Kitab-kitab ushul fiqh yang ditulis pada zaman ini, di samping mencerminkan
adanya kitab ushul fiqh bagi masing-masing madzhabnya, juga menunjukan adanya
aliran ushul fiqh, yakni aliran hanafiah yang dikenal dengan aliran fuqoha, dan aliran
Mutakalimin.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Ilmu Ushul fiqh tidaklah tumbuh kecuali pada abad kedua hijiriah, karena pada
abad satu hijiriah ilmu tersebut belum diperlukan, dimana Rasulullah SAW berfatwa
dan menjatuhkan keputusan (hukum) menurut ajaran al-Qur‟an diwahyukan kepadanya
dan menurut sunnah yang diturunkan kepadanya. Pada mulanya, para ulama terlebih
dahulu menyusun ilmu fiqh sesuai dengan Al-Qur an, Hadits, dan Ijtihad para Sahabat.
Setelah Islam semakin berkembang, dan mulai banyak negara yang masuk kedalam
daulah Islamiyah, maka semakin banyak kebudayaan yang masuk, dan menimbulkan
pertanyaan mengenai budaya baru ini yang tidak ada di zaman Rasulullah. Maka para
Ulama ahli usul Fiqh menyusun kaidah sesuai dengan gramatika bahasa Arab dan
sesuai dengan dalil yang digunakan oleh Ulama penyusun ilmu Fiqh. Perkembangan
ushul fiqh dimulai pada Rasulullah SAW, masa sahabat, masa tabi‟in dan masa periode
imam mahzab. Secara garis besar, tahap perkembangan ushul fiqh terbagi atas 3 periode
yakni tahap awal (abad 3H), tahap perkembangan (abad 4H) dan tahap penyempurnaan
(abad 5-6 abad).
DAFTAR PUSTAKA

Kallaf, Wahabb, Abdul, Kaidah-Kaidah hukum islam; Ilmu Ushul Fiqih., Jakarta: Raja

Grafindo Persada, 2002.

Haroen Nasrun, Ushul Fiqih I, Jakarta: Logos Publishing House, 1996.

Syarifuddin amir, Ushul Fiqih jilid I, Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2014.

Anda mungkin juga menyukai