Anda di halaman 1dari 36

PENDIDIKAN POLITIK DAN DEMOKRASI

UJIAN AKHIR SEMESTER

Peran Pendidikan Kewarganegaraan Dalam Mencegah Korupsi

Dosen Pengampu:

Dr. Nasiwan, M.Si

Disusun Oleh :

Ariyanti Devi Novitasari

15416244004

PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

2017

1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut Bank Dunia korupsi merupakan pemanfaatan kekuasaan
untuk mendapat keuntungan pribadi. Berdasarkan definisi tersebut, dapat
dilihat bahwa tanggung jawab sebagai salah satu elemen yang penting dari
terbentuknya suatu pemerintahan yang sehat yang menjadi tujuan dari
pendidikan kewarganegaraan telah dilecehkan oleh sikap penguasa yang
memanfaatkan kekuasaannya untuk memperoleh keuntungan pribadi.
Korupsi merupakan suatu penghianatan terhadap kepercayaan masyarakat,
kelompok sosial dan badan pemerintah. Walaupun berbagai kebijakan
telah dilaukan untuk memberantas korupsi namun pada kenyataannya
belum cukup untuk mencegah terjadinya korupsi di negeri ini.
Pendidikan Kewarganegaraan merupakan salah satu bidang kajian
yang mengemban misi nasional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa
Indonesia melalui koridor “value-based education” yaitu untuk membina
dan mengembangkan kemampuan dan ketrampilan berpikir aktif warga
negara, terutama generasi muda dalam berpartisipasi dan bertanggung
jawab dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pendidikan
Kewarganegaraan menjadi sangat strategis di tengah upaya pemerintah
dalam membangun karakter bangsa melalui jenjang pendidikan mulai dari
jenjang sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Kestrategisan Pendidikan
Kewarganegaraan untuk menanamkan nilai-nilai dapat dimaksimalkan
sebagai transmisi pembentukan sikap anti korupsi dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Hal tersebut menjadi suatu yang penting karena pada dasarnya
Pendidikan Kewarganegaraan tidak hanya mengajarkan bagaimana warga
negara menjadi individu yang good citizen tetapi juga harus menjadi
individu yang anti terhadap perilaku korupsi, kolusi dan nepotisme agar
tercipta generasi yang mempunyai moral dan karakter yang sesuai dengan

2
Pancasila. Maka dari itu, makalah ini mengambil judul “Peran Pendidikan
Kewarganegaraan dalam Pencegahan Korupsi”.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian korupsi?
2. Apa saja jenis-jenis korupsi?
3. Apa saja faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi?
4. Apa dampak yang ditimbulkan dari adanya korupsi?
5. Mengapa sikap koruptor tidak merasa bersalah setelah melakukan
korupsi?
6. Bagaimana praktik-praktik korupsi di Indonesia?
7. Bagaimana tanggapan pemerintah dan rakyat terhadap adanya korupsi?
8. Bagaimana tindak pidana korupsi menurut hukum Islam?
9. Apa saja UU yang mengatur tentang pemberantasan korupsi?
10. Bagaimana peran serta pemerintah dalam memberantas korupsi?
11. Bagaimana peran serta masyarakat dalam upaya pemberantasan
korupsi?
12. Bagaimana langkah-langkah strategis dalam memerangi korupsi?
13. Bagaimana saran yang tepat untuk penanggulangan korupsi?
14. Bagaimana kendala-kendala yang dihadapi dalam pemberantasan
korupsi di Indonesia?
15. Bagaimana peran Pendidikan Kewarganegaraan dalam mencegah
korupsi?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian korupsi.
2. Untuk mengetahui jenis-jenis korupsi
3. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi.
4. Untuk mengetahui dampak yang ditimbulkan dari adanya korupsi.
5. Untuk mengetahui sikap koruptor tidak merasa bersalah setelah
melakukan korupsi.
6. Untuk mengetahui praktik-praktik korupsi di Indonesia?

3
7. Untuk mengetahui tanggapan pemerintah dan rakyat terhadap adanya
korupsi.
8. Untuk mengetahui tindak pidana korupsi menurut hukum Islam.
9. Untuk mengetahui UU yang mengatur tentang pemberantasan korupsi.
10. Untuk mengetahui peran serta pemerintah dalam memberantas korupsi.
11. Untuk mengetahui peran serta masyarakat dalam upaya pemberantasan
korupsi.
12. Untuk mengetahui langkah-langkah strategis dalam memerangi
korupsi.
13. Untuk mengetahui saran yang tepat untuk penanggulangan korupsi.
14. Untuk mengetahui kendala-kendala yang dihadapi dalam
pemberantasan korupsi di Indonesia.
15. Untuk mengetahui peran Pendidikan Kewarganegaraan dalam
mencegah korupsi.

4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Korupsi
Perilaku korupsi dengan mengikuti pernyataan Peter Schroder,
sudah dikenal sejak dahulu kala. Korupsi dapat ditelusuri sampai pada
bentuk-bentuk masyarakat terorganisir atau negara yang paling awal yang
ada. Bukti-bukti dari tahun 1000 SM telah menunjukkan adanya praktek
suap di kalangan pejabat tinggi, contohnya di masyarakat Mesir Kuno,
Babylonia, Ibrani, India Kuno, dan Cina Kuno.
Korupsi berasal dari kata Latin Corruptio atau Corruptus.
Kemudian, muncul dalam bahasa Inggris dan Prancis Corruption, dalam
bahasa Belanda Korruptie, selanjutnya dalam bahasa Indonesia dengan
sebutan Korupsi. Menurut Bank Dunia korupsi adalah pemanfaatan
kekuasaan untuk mendapat keuntungan pribadi. Ini merupakan definisi
yang sangat luas dan mencakup tiga unsur korupsi yang digambarkan
dalam akronim KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) (N. Kusuma dan
Fitria Agustina, 2003 dalam Mansyur Semma, 2008: 33). Secara harfiah,
pengertian korupsi dapat berarti:
a. Kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan dan
ketidakjujuran.
b. Perbuatan yang buruk seperti pengelapan uang, penerimaan uang
sogok, dan sebagainya.
Menurut Transparency International mendefinisikan korupsi sebagai
perbuatan menyalahgunakan kekuasaan dan kepercayaan publik untuk
keuntungan pribadi. Dalam definisi tersebut terdapat tiga unsur, yaitu:
a. Menyalahgunakan kekuasaan.
b. Kekuasaan yang dipercayakan (baik dalam sektor publik maupun
swasta).
c. Keuntungan pribadi (dalam konteks ini, pribadi dapat pula
dimaksudkan kepada keluarga atau teman-temannya).

5
Dalam ilmu politik, korupsi merupakan penyalahgunaan jabatan
dan administrasi, ekonomi atau politik, baik yang disebabkan oleh diri
sendiri maupun orang lain yang ditujukan untuk memperoleh keuntungan
pribadi, sehingga menimbulkan kerugian bagi masyarakat umum,
perusahaan atau pribadi lainnya. Sedangkan menurut ahli-ahli ekonomi,
bagi para pihak yang terlibat korupsi merupakan pertukaran yang
menguntungkan (antara prestasi dengan kontraprestasi, imbalan materi
atau non-materi), yang terjadi secara diam-diam dan sukarela, yang
melanggar norma-norma yang berlaku, dan setidaknya merupakan
penyalahgunaan jabatan atau wewenang yang dimiliki salah satu pihak
yang terlibat dalam bidang umum atau swasta (Robert C. Brooks, 1910
dalam Toni Andrianus Pito, 2013: 405). Dapat disimpulkan bahwa korupsi
merupakan penyalahgunaan jabatan publik demi keuntungan pribadi
dengan merugikan orang lain atau banyak orang.
Perilaku korupsi memang sudah menggejala di mana-mana. Entah,
antara pengusaha dan pejabat birokrat yang mempunyai kekuasaan, atau
antara warga masyarakat yang bertaraf ekonomi menengah ke bawah.
Dalam berbagai perbincangan mengenai beragam topik, hampir tak aneh
bila orang-orang sering mendengar kata korupsi. Seolah menjadi bahasa
lumrah dalam setiap perbincangan bila ada selingan mengenai korupsi.
Menurut Syed Hussein Alatas korupsi bercirikan (1) suatu
pengkhianatan terhadap kepercayaan, (2) penipuan terhadap badan
pemerintah, lembaga swasta atau masyarakat umumnya, (3) dengan
sengaja melalaikan kepentingan umum untuk kepentingan khusus, (4)
dilaukan dengan rahasia, kecuali dalam keadaan di mana orang-orang yang
berkuasa atau bawahannya menganggapnya tidak perlu, (5) melibatkan
lebih dari satu orang atau pihak, (6) adanya kewajiban dan keuntungan
bersama, dalam bentuk uang atau yang lain, (7) terpusatnya kegiatan
(korupsi) pada mereka yang menghendaki keputusan yang pasti dan
mereka yang dapat mempengaruhinya, (8) adanya usaha untuk menutupi
perbuatan korup dalam bentuk-bentuk pengesahan hukum, dan (9)

6
menunjukkan fungsi ganda yang kontradiktif pada mereka yang melaukan
korupsi.
B. Jenis-jenis Korupsi
Menurut UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, ada tiga puluh jenis tindakan yang bisa dikategorikan sebagai
tindak pidana korupsi. Namun secara ringkas tindakan-tindakan itu bisa
dikelompokkan menjadi:
1. Kerugian keuntungan negara
2. Suap-menyuap (istilah lain: sogokan atau pelicin)
3. Penggelapan dalam jabatan
4. Pemerasan
5. Perbuatan curang
6. Benturan kepentingan dalam pengadaan
7. Gratifikasi (istilah lain: pemberian hadiah)
Selanjutnya, Hussein Alatas (Pito, Toni Andrianus, dkk, 2013:407)
mengemukakan ada tujuh (7) jenis korupsi yaitu:
1. Korupsi otogenik adalah suatu bentuk korupsi yang tidak melibatkan
orang lain dan pelakunya hanya seorang saja.
2. Korupsi transaktif, korupsi ini disebabkan oleh adanya kesepakatan
timbal balik antara pihak pemberi dan pihak penerima demi
keuntungan kedua belah pihak dan secara aktif mereka mengusahakan
keuntungan tersebut.
3. Korupsi yang memeras, jenis korupsi dimana pihak pemberi dipaksa
untuk menyuap guna mencegah kerugian yang mengancam dirinya,
kepentingannya, atau orang-orang, dan hal-hal yang dihargainya.
4. Korupsi defensif, pelaku korban korupsi dengan pemerasan.
Korupsinya dalam rangka mempertahankan diri.
5. Korupsi investif, pemberian barang atau jasa tanpa ada pertalian
langsung dengan keuntungan tertentu, selain keuntungan yang
dibayangkan akan diperoleh di masa yang akan datang.

7
6. Korupsi perkerabatan, adalah penunjukkan yang tidak sah terhadap
teman atau sanak saudara untuk memegang jabatan dalam
pemerintahan, atau tindakan yang memberikan perlakuan yang
mengutamakan dalam bentuk uang atau bentuk lain, kepada mereka
secara bertentangan dengan norma dan peraturan yang berlaku.
7. Korupsi dukungan, korupsi yang dilakukan untuk melindungi atau
memperkuat korupsi yang sudah ada maupun yang akan dilaksanakan
Menurut Todung Mulya Lubis (Pito, Toni Andrianus, dkk,
2013:408) menyatakan tentang adanya korupsi yang maha dahsyat terjadi
dalam dunia politik, yaitu Korupsi politik (istilah yang dipergunakan di
Indonesia money politics). Korupsi politik ini hanya tumbuh subur di
negara yang tidak demokratis. Kontrol publik yang kuat akan menghambat
atau setidaknya mengurangi korupsi politik. Fenomena korupsi politik tak
lepas dari belum mapannya sistem politik, kehancuran yang akan terjadi
akibat korupsi politik sangat besar, karena korupsi politik menghancurkan
harapan negara-negara berkembang untuk mencapai kemakmuran dan
stabilitas, dan merusak ekonomi secara global. Selain itu korupsi politik
ini merampas anggaran yang seyogyanya dicadangkan untuk fasilitas
pelayanan publik, atau setidaknya menurunkan kuantitas dan kualitas
fasilitas itu. Dirampoknya fasilitas ini membuat rakyat putus asa sehingga
lahirlah konflik dan kekerasan, serta kriminalitas pun merajalela.
C. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Korupsi
Situasi yang sering dianggap mendukung korupsi, yaitu: (Pito, Toni
Andrianus, dkk, 2013: 409)
1) Kedekatan sistem dan kontak yang intensif antara ekonomi dan
administrasi
2) Arus informasi yang masuk tidak menyolok.
3) Pemusatan kompetensi pada pekerja ahli tertentu dengan ruang gerak
yang memungkinkan mereka mengambil keputusan.
4) Batasan yang kabur antara hal-hal yang dapat diterima secara sosial
dan perbuatan yang melanggar hukum

8
5) Kurangnya kesadaran korban (pihak yang dirugikan) bahwa mereka
diperlakukan tidak adil.
Bagian-bagian yang dianggap sebagai pemicu utama korupsi
adalah bagian-bagian yang berhubungan dengan pemberian ijin, dana serta
pengadaan. Resiko korupsi jelas meningkat di tempat-tempat dimana
mekanisme pengawasan dalam bidang admnistrasi sangat dibatasi atau
tidak dapat berfungsi. Dapat dipastikan bahwa korupsi dimungkinkan di
tempat-tempat yang mempertaruhkan sejumlah besar dana di mana
terdapat ketergantungan eksternal. Hal ini dapat terjadi, di mana:
1) Direncanakan proyek besar yang terkait dengan modal yang besar.
2) Penyandang dana internasional (IMF, Bank Dunia, Uni Eropa, dsb)
memulai proyek-proyek pembangunan yang besar, sementara negara
penerima belum siap.
3) Negara merupakan satu-satunya penerima atau konsumen produk
tertentu, misalnya perlengkapan militer.
Penelitian yang dilakukan oleh World Bank (dalam Semma,
Mansyur. 2008: 38) menyebutkan faktor lainnya yang ikut menyumbang
pada berlangsungnya korupsi terutama di Indonesia yaitu sebagai berikut :
1) Pemerintahan kolonial. Bahkan korupsi tidak hanya ada pada
pemerintahan kolonial, tetapi juga terus berkembang sebagai pengaruh
tidak langsung oleh hasutan kaum nasionalis melawan pemerintah.
2) Pemicu korupsi lainnya ialah bertambahnya jumlah pegawai negeri
secara cepat dengan akibat gaji mereka menjadi sangat kurang. Hal ini
mengakibatkan perlunya pendapatan tambahan serta bertambah
luasnya kekuasaan dan kesempatan birokrasi dibarengi dengan
lemahnya pengawasan dari atas dan pengaruh partai-partai politik.
3) Di sisi lain faktor-faktor yang berasal dari masa silam dan masih
melekat pada suatu masyarakat, seperti solidaritas kekeluargaan dan
kebiasaan saling memberi hadiah dianggap sebagai sebab korupsi,
disamping perubahan-perubahan mendadak dalam sejarah.

9
4) Bila analisis fenomenologis terhadap korupsi dibuat, akan didapati
unsur-unsur yang ada pada korupsi adalah penipuan dan pencurian.
Bila bentuknya pemerasan, ia berarti pencurian dan pemaksaan
terhadap korban. Bila bentuknya penyuapan terhadap pejabat, ia berarti
membantu terjadinya pencurian. Bila korupsi terjadi dalam penentuan
kontrak korupsi, ini adalah pencurian keputusan dan sekaligus juga
uang yang merupakan hasil keputusan.
5) Adanya kesempatan untuk korupsi dan persaingan partai pada
beberapa negara juga dapat menjadi dasar bagi meningkatnya korupsi
secara menyolok.
Korupsi yang mewabah di berbagai negara yang sedang
berkembang adalah karena tidak cukupnya gaji pegawai negeri.
Ketidakcukupan ini kemungkinan besar disebabkan oleh adanya
perencanaan yang buruk. Kondisi-kondisi struktural dan lingkungan
adalah sarana bagi koruptor untuk melaksanakan perbuatannya. Mereka
yang telah terbiasa melakukan korupsi kerap menciptakan lingkungan dan
kondisi yang cocok bagi korupsi. Pengaruhnya merusak masyarakat dan
akan berlangsung selama berabad-abad. Mereka dapat hidup dengan
suburnya pada semua sistem dan di segala waktu.
Fenomena korupsi menjadi lebih menarik ditelaah bila
dihubungkan dengan struktur kenegaraan dan peta perpolitikan suatu
bangsa. Terjadinya sentralisasi kekuasaan di pusat terhadap daerah, bagi
beberapa elite politik adalah surga. Hal ini jelas adalah lahan basah bagi
terjadinya tindak korupsi. Terjadinya sentralitas kekuasaan, dapat
mengakibatkan korupsi dari beragam sisi. Baik dari pusat yang melakukan
fungsi kontrol pada daerah yang terpisah darinya, maupun oleh daerah
bawahan yang menggunakan hierarkinya atas anam pusat. Bila sentralitas
kekuasaan ini mengalami keterlambatan dan gangguan atas akses pusat
atau posisi pengatur pada daerah, kemungkinan praktik korupsi memiliki
peluang yang besar untuk dapat terjadi. Bahkan berjalan dengan mulus dan
tanpa hambatan.

10
Peter Schroder menyatakan bahwa korupsi terdapat hampir di tiap
sistem politik. Korupsi terutama berkembang dalam masyarakat yang
kondisi organisasi negaranya masih lemah atau bahkan sama sekali tidak
terbina (Pito, Toni Andrianus,dkk, 2013: 409). Yang dimaksud dengan
kondisi organisasi di sini adalah adanya pembagian kekuasaan,
berfungsinya/dipatuhinya putusan hukum, proses administrasi yang jelas,
dan terutama masyarakat sipil yang memiliki organisasinya sendiri seperti
pers, serikat buruh perhimpunan (perlindungan) konsumen, dsb. Tapi
korupsi juga muncul di negara-negara yang telah mengambil tindakan-
tindakan preventif.
Sumber Penyebab Sikap yang Korup
1) Kurangnya tanggungjawab dan transparansi. Apabila setiap orang tahu
bahwa ia tidak harus mempertanggungjawabkan sikapnya yang korup,
maka ia akan merasa bahwa tidak ada yang mencegahnya untuk
berbuat demikian. Apabila tidak ada transparansi yang digalakkan
melalui sebuah pengawasan yang efektif maka akan ada banyak orang
yang memanfaatkan ketertutupan ini untuk mengambil keuntungan.
2) Sentralisasi pemerintahan yang berlebihan. Apabila tindakan-tindakan
yang akan diambil perlu diputuskan oleh pusat, maka instansi yang
perlu dilalui sebelum mencapai tingkat pusat juga semakin banyak, hal
ini akan memperluas kemungkinan untuk korupsi.
3) Intervensi melalui pengaturan yang berlebihan atau intervensi
pemerintah lainnya. Semakin banyak peraturan yang ada, semakin
banyak pula izin yang perlu diberikan. Hal ini berarti bahwa jumlah
kasus yang bersentuhan dengan negara juga semakin besar, sehingga
kemungkinan untuk bersikap korup juga meningkat.
4) Penghasilan/gaji pegawai pemerintah terlalu kecil. Apabila pegawai
pemerintah mendapat gaji yang terlalu kecil, maka mereka akan
semakin berusaha untuk meningkatkan pemasukan sampingan yang
diperoleh dalam ruang-ruang pengambilan keputusan/kebijakan.

11
5) Kurangnya peran serta/keterlibatan dan tanggungjawab moral. Apabila
pimpinan politik dan pimpinan lainnya tidak menunjukkan keterlibatan
atau keinginan untuk mengambil tindakan-tindakan memerangi
korupsi, maka para pelaku korupsi yang potensial akan merasa aman
dalam menjalankan korupsi.
6) Penegakan hukum dan ketentuan yang tidak efektif. Semakin sedikit
hukum yang ditegakkan dan ketentuan yang diberlakukan, dan
semakin sedikit pengawasan terhadap pelaksanaannya, korupsi akan
semakin meluas, dan karenanya ia menjadi sesuatu yang lazim seperti
layaknya sebuah hukum atau ketentuan yang baru (Pito, Toni
Andrianus, dkk, 2013:419).
D. Dampak Korupsi
Dalam pandangan Schroder (Pito, Toni Andrianus, dkk, 2013:420),
korupsi memiliki pengaruh yang berbeda-beda. Dalam setiap kasus
korupsi akan ada kerugian yang harus ditanggung oleh umum atau pribadi.
Kerugian ini biasanya merupakan kerugian material, misalnya
penggelapan uang, penggelapan barang, dsb. Korupsi sangat merugikan
masyarakat dan seringkali merupakan sumber penyebab terhambatnya
perkembangan, dan perkembangan menuju arah yang salah.
Bagaimanapun semua bentuk korupsi memiliki pengaruh dalam
penghancuran budaya politik, institusi politik, dan kepercayaan warga
terhadap pimpinan dan pemerintah.
Korupsi tidak saja akan menggeremus struktur kenegaraan secara
perlahan. Tetapi juga menghancurkan segenap sendi-sendi penting yang
terdapat dalam negara. Korupsi muncul dari struktur birokrasi dan akan
berimbas dengan menggerogoti struktur birokrasi tempat korupsi
berlangsung. Akibat paling nyata menurut Mochtar Lubis (Semma,
Mansyur. 2008: 203) dari fenomena korupsi adalah hilangnya kesadaran
rakyat banyak tentang hak mereka sebagai warga negara dan
ketidakpeduliannya pada sistem kenegaraan suatu bangsa di mana korupsi
berlangsung.

12
Akibat korupsi yang lain yang dinyatakan oleh Mochtar Lubis
(Semma, Mansyur. 2008: 204) bahwa perilaku korupsi betapapun kecilnya
akan menghambat laju pembangunan di Indonesia. Tindakan korupsi juga
secara nyata akan berdampak langsung pada banyak rakyat yang lemah,
yang tidak mempunyai kekuasaan politik, yang tidak memiliki hak
demokrasi Pancasila, yang tidak mengeluarkan suara dan protesnya. Hal
demikian akan bertambah parah, jika pers yang ada tidak dapat berfungsi
dengan wajar menjaga dan mengawal kepentingan umum. Korupsi di
tingkat elite juga berdampak langsung pada moral para pejabat tinggi yang
memegang kekuasaan. Jadi, menurut Mochtar Lubis korupsi akan
berakibat pada keruntuhan kekuasaan itu sendiri.
Dampak korupsi terhadap negara-negara maju, baik sosialis
maupun kapitalis, tidak membawa bencana sedemikian hebatnya bila
dibanding dengan dampak yang ditimbulkannya terhadap negara-negara
terbelakang, baik sosialis maupun non sosialis. Hal ini mungkin karena
masyarakat yang sudah maju pada hakikatnya adalah masyarakat
berteknologi dan efisiensi yang melekat pada mereka, membantu
menyeimbangkan akibat buruk korupsi yang ganas di perusahaan swasta.
Di masyarakat terbelakang seperti Indonesia, sebaliknya korupsi
mempunyai sifat yang keras yang sebagian karena seluruh sistem tidak
benar-benar efisien.
E. Sikap Koruptor yang Tidak Merasa Bersalah
Rasa tidak bersalah ini menurut Haryatmoko, disebabkan: (Pito, Toni
Andrianus, dkk, 2013:426)
1) Banyak orang melakukannya atau suatu bentuk banalisasi korupsi.
Kalau banyak orang melakukannya menjadikan kejahatan ini sesuatu
yang biasa.
2) Kebiasaan membungkam rasa bersalah, dalam hal korupsi kalau orang
bisa hidup enak dari korupsi, dan banyak orang melakukannya, tidak
perlu lagi berpikir, mengambil jarak, mempertanyakan makna dari
tindakannya.

13
3) Banyak koruptor menikmati impunity (tiadanya sanksi hukum).
Kemungkinan ketahuan sangat kecil karena lemah dan tidak efektifnya
pengawasan.
4) Korban korupsi tak berwajah. Bahwa korban korupsi sering tidak
langsung tampak sebagai pribadi, terutama yang terkait dengan
penyelewengan uang negara atau rakyat. Siapa yang dirugikan tidak
langsung terlihat, berbeda dengan penodongan atau perampokan.
5) Mekanisme silih atas kejahatan. Uang korupsi tidak dimakan sendiri,
tetapi juga dinikmati oleh banyak orang lain, untuk kepentingan partai,
lembaga amal, rumah yatim, membangun rumah ibadat, membantu
korban banjir dan sebagainya.
F. Praktik-praktik Korupsi di Indonesia
Sejak masa penjajahan Belanda dan Jepang hingga saat
kemerdekaan, sebagian besar rakyat Indonesia adalah tani dan proletar
tanpa harta benda.maka muncullah dorongan yang kuat di tengah
masyarakatuntuk menaikkan taraf kehidupan dan memperbaiki status
sosial, khususnya terdapat di kalangan para pemimpin.
Di tengah gejolak ambisi yang meluap-luap itu tidak sedikit tokoh
pemimpin yang dihinggapi obsesi (dorongan paksaan yang amat kuat)
untuk cepat menjadi makmur dan lekas menjadi kaya. Dengan segala
upaya orang berlomba menduduki kursi pimpinan yang renes atau basah,
untuk cepat menjadi kaya dan makmur, dengan cara yang paling mudah
dan bea yang paling murah. Sehingga berkembang pola konsumsi mewah
dan pola hidup “jet-set”, tingkah laku menyeleweng, korupsi dan tindak
pidana. Korupsi demikian cepat berkembang, karena masa transisi itu
mengandung banyak kelemahan di bidang hukum, sehingga memberikan
banyak kesempatan bagi usaha-usaha penyelewengan dan perbuatan ilegal.
Setiap kesempatan, tiap jabatan dan fungsi formal dipakai sebagai alat
untuk memperkaya diri. Maka deviasi situasional berkembang menjadi
deviasi endemis ataupun deviasi sistematis.

14
Praktik-praktik korupsi dalam bentuk pemerasan dan intimidasi
banyak dilakukan oleh pejabat dan penguasa setempat. Penodongan
tersebut ditujukan kepada usaha-usaha setengah legal, seperti perjudian,
pelacuran, perdagangan bahan narkotik, dan minuman keras, serta
perusahaan-perusahaan yang belum disahkan. Baik kaum politisi, maupun
polisi, para penegak hukum, pejabat-pejabat sipil dan militer, tidak sedikit
yang terlibat dalam praktik semacam ini. Maka, usaha-usaha tidak legal
atau setengah legal itu dijadikan sumber untuk mengeduk kekayaan bagi
oknum-oknum yang korup.
Bank-bank juga bisa menjadi sumber penghasilan bagi pejabat-
pejabat lokal, dengan cara memberikan fasilitas pendiriannya. Bahkan juga
memberikan pengamanan dan perlindungan fisik dengan imbalan bayaran
uang justru dengan jalan setengah pemerasan dan paksaan. Penyuapan,
penyogokan, pembelian, dan barter semua menjadi alat infiltrasi bagi
kelas-kelas ekonomi baru yang tengah menanjak (kaum OKB) untuk
membeli kekuasaan politik dan status sosial, agar mereka dapat
digolongkan dalam kelas elite. Maka kursi-kursi dan jabatan-jabatan di
bidang legislatif, eksekutif, dan yudikatif adakalanya diperjualbelikan
(Kartini, Kartono. 2013: 106).
G. Tanggapan Pemerintah dan Rakyat terhadap Korupsi
Di Indonesia, korupsi berkembang subur di segala bidang
pemerintahan dan sektor kehidupan.rakyat kecil yang tidak mempunyai
alat pemukul guna melakukan koreksi dan memberikan sanksi, pada
umumnya bersikap acuh tak acuh. Sebaliknya, para mahasiswa
menanggapi korupsi dengan emosi yang meluap-luap dan protes-protes
terbuka. Oleh aspirasi sosialnya yang sehat dan tidak memiliki vested
interest, tidak henti-hentinya mereka melontarkan kritik. Kritik-kritik dan
oposisi mahasiswa pada umumnya bersumber dari adanya rasa
ketidakpuasan terhadap pemerintah, di dorong oleh kemajuan dan ide
modernisasi, dan oleh keinginan untuk berpartisipasi dalam usaha
rekonstruksi terhadap masyarakat dan sistem pemerintah secara

15
menyeluruh. Tidak mengherankan bahwa kritik-kritik dan demonstrasi
mahasiswa di satu pihak mampu menumbuhkan dan menularkan
kesadaran politik di lapisan rakyat.
Tanggapan pemerintah terhadap korupsi juga cukup serius. Sejak
tahun 60-an dilancarkan tim-tim Pemberantasan Korupsi, Undang-undang
Korupsi, Komisi Empat dan OPSTIB (Operasi Tertib) Pusat dan Daerah.
Secara maraton OPSTIB memeriksa peristiwa-peristiwa korupsi, baik
yang berlangsung di daerah maupun di pusat pemerintahan.
Perkembangan sumber-sumber kekayaan dan kekuasaan yang baru
itu memang memberikan banyak celah untuk berlangsungnya tindak
korup, terutama korupsi materiil dari kelas-kelas sosial menengah dan
tinggi. Namun, korupsi itu menjadi tanda pengukur bagi:
(1) Tidak adanya perkembangan politik yang efektif
(2) Tidak adanya partisipasi politik dari sebagian besar rakyat Indonesia,
khususnya rakyat miskin dan masyrakat di daerah pedesaan. Ahli lain
Herbert McClocky (Cholisin dan Nasiwan, 2012: 146), menyatakan
bahwa partisipasi politik adalah kegiatan sukarela dari warga
masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses
pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung dalam
proses pembentukan kebijakan umum.
(3) Tidak adanya badan hukum dan sanksi yang mempunyai kekuatan riil.
(Kartini, Kartono. 2013: 132).

H. Tindak Pidana Korupsi Menurut Hukum Islam

Tindak pidana korupsi sangat identik dengan penyalahgunaan


jabatan yang didefinisikan sebagai perbuatan khianat dalam perspektif
Islam. Karena jabatan yang telah disandang oleh seseorang adalah sebuah
kepercayaan dari rakyat yang telah terlanjur menaruh harapan padanya.
Atau jabatan yang langsung dibebankan atas nama negara yang tentunya
bertujuan untuk menjalankan berbagai program yang bermuara kepada
kesejahteraan rakyat. Terlebih lagi jika amanat itu menyentuh pada ranah

16
hukum seperti pegawai pada bidang kepolisian, kejaksaan, kehakiman, dll
yang berbasis kepada keadilan yang diinginkan oleh semua pihak. Amanat
yang telah diemban itulah yang tentunya wajib untuk dilaksanakan sebaik-
baiknya. Sehingga apabila kewajiban yang tidak ditunaikan, tentunya
terdapat keharaman dan hukuman yang mengiringinya.

Al-Qur’an menjelaskan mengenai keharaman melakukan suap atau


korupsi dan juga sabda Rasulullah saw mengenai pelaku suap menyuap,
yaitu:
ً۬ ُ ‫َّام ِلت َۡأ‬
Ÿ ‫اس‬ ِ َّ‫ڪلُواْ فَ ِريقا ِم ۡن أ َ ۡم َوٲ ِل ٱلن‬ ِ ‫َو ََل ت َۡأ ُكلُ ٓواْ أ َ ۡم َوٲلَ ُكم بَ ۡينَ ُكم ِب ۡٱل َب ٰـ ِط ِل َوت ُ ۡدلُواْ ِب َها ٓ ِإلَى ۡٱل ُحڪ‬
َ‫َوأَنت ُ ۡمت َعۡ لَ ُمون‬ ‫ٱۡل ۡث ِم‬
ِ ۡ ‫ِب‬
Artinya : “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian
yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu
membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan
sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat)
dosa.

Tindak pidana korupsi pun dikategorikan sebagai perbuatan


penipuan (al-gasysy) yang secara tegas disabdakan oleh Rasulullah saw
bahwa Allah mengharamkan surga bagi orang-orang yang melakukan
penipuan. Secara umum, korupsi dalam hukum Islam lebih ditunjukkan
sebagai tindakan kriminal yang secara prinsip bertentangan dengan moral
dan etika keagamaan, karena itu tidak terdapat istilah yang tegas
menyatakan istilah korupsi. Dengan demikian, sanksi pidana atas tindak
pidana korupsi adalah takzir, bentuk hukuman yang diputuskan
berdasarkan kebijakan lembaga yang berwenang dalam suatu masyarakat.
Hadis-hadis yang terdapat dalam Al Qur’an tidak secara tegas
menyebutkan bentuk sanksi yang dapat dijatuhkan kepada pelaku korupsi.
Nash-nash tersebut hanya menunjukkan adanya keharaman atas perbuatan
korupsi yang meliputi suap menyuap, penyalahgunaan jabatan atau
kewenangan, dsb. Sehingga ayat dan hadis dalam Al Qur’an hanya
menunjukkan kepada sanksi akhirat. Hal ini mengingat bahwa syariat

17
Islam memang multidimensi, yaitu meliputi dunia dan akhirat. Untuk
menjerat para koruptor agar dapat merasakan pedihnya sanksi pidana,
maka dapat dijatuhi sanksi takzir sebagai alternatif ketika sebuah kasus
pidana tidak ditentukan secara tegas hukumannya oleh nash.

18
I. Undang-Undang Pemberantasan Korupsi
Pada hakikatnya, korupsi merupakan tindakan kriminal. Di
samping itu, kegiatan pemberantasan korupsi sudah di atur dalam Undang-
undang pada:
1. Undang-undang No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara
yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
2. Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
3. Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2000 Tentang Tata Cara
Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan
Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
4. Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
5. Undang-undang No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.

Undang-undang No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak


Pidana Korupsi.

J. Peran Serta Pemerintah dalam Memberantas Korupsi


Partisipasi dan dukungan dari masyarakat sangat dibutuhkan dalam
mengawali upaya-upaya pemerintah memberantas korupsi melalui KPK
(Komisi Pemberantasan Korupsi) dan aparat hukum lain.
KPK yang ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk
mengatasi, menanggulangi, dan memberantas korupsi, merupakan komisi
independen yang diharapkan mampu menjadi “senjata” bagi para pelaku
tindak KKN.
Tujuan pembentukan komisi tersebut adalah meningkatkan daya
guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.
Serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana
korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan,

19
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan
peran serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku disebut pemberantasan tindak pidana korupsi. Dalam tugas-
tugasnya, KPK bekerja sama dengan Tim Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (Timtas Tipikor), Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggaraan
Negara (KPKPN), dan Komisi Ombusman Nasional.
Komisi Pemberantasan Korupsi berkedudukan di ibukota negara
Republik Indonesia dan wilayah kerjanya meliputi seluruh wilayah negara
Republik Indonesia. Komisi Pemberantasan Korupsi dapat membentuk
perwakilan di daerah provinsi. Komisi Pemberantasan Korupsi
bertanggungjawab kepada publik atas pelaksanaan tugasnya dan
menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada Presiden
Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan
Badan Pemeriksa Keuangan.
Struktur Komisi Pemberantasan Korupsi terdiri atas pimpinan yang
terdiri atas lima anggota, pegawai yang bertugas sebagai pelaksana tugas,
dan tim penasehat yang terdiri atas empat anggota. Pimpinan Komisi
Pemberantasan Korupsi di susun atas ketua merangkap anggota dan empat
orang wakil ketua, masing-masing merangkap anggota.
Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas sebagai berikut :
a. Supervisi terhadap instansi yang berwenang dalam melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi.
b. Koordinasi dengan instansi yang berwenang dalam melakukan tindak
pidana korupsi.
c. Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak
pidana korupsi.
d. Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang
berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.
e. Mengoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak
pidana korupsi.
f. Memonitor penyelenggaraan pemerintahan negara.

20
g. Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana
korupsi.
h. Penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana
korupsi.
i. Tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi.
j. Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana
korupsi kepada instansi yang terkait.
Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, KPK melakukan
penindakan dengan tujuan meningkatkan penyelesaian perkara tindak
pidana korupsi. Strategi penindakan tersebut dijabarkan dalam sejumlah
kegiatan berikut :
a. Pengembangan mekanisme, sistem, dan prosedur supervisi oleh KPK
atas penyelesaian perkara tindak pidana korupsi yang dilaksanakan
oleh kepolisian dan kejaksaan.
b. Pemetaan aktivitas-aktivitas yang berindikasikan tindak pidana
korupsi.
c. Pelaksanaan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan perkara tindak
pidana korupsi.
d. Identifikasi kelemahan undang-undang dan konflik antar undang-
undang yang berkaitan dengan pemberantasan korupsi.
e. Pengembangan sistem dan prosedur peradilan pidana korupsi yang
ditangani langsung oleh KPK.
Untuk mewujudkan visi pemberantasan korupsi Indonesia yang
bebas dari korupsi maka diperlukan strategi pencegahan tindak pidana
korupsi yang handal, seperti:
a. Penyusunan sistem pelaporan, pengaduan masyarakat, dan sosialisasi.
b. Peningkatan efektivitas sistem pelaporan kekayaan penyelenggaraan
negara.
c. Penyusunan sistem pelaporan grativikasi dan sosialisasi.
d. Pengkajian dan penyampaian saran perbaikan atas sistem administrasi
pemerintahan dan pelayanan masyarakat yang berindikasikan korupsi.

21
e. Penelitian dan pengembangan teknik dan metode yang mendukung
pemberantasan korupsi.
K. Peran Serta Masyarakat dalam Upaya Pemberantasan Korupsi
Bentuk-bentuk peran serta masyarakat dalam pemberantasan tindak pidana
korupsi menurut UU No. 31 Tahun 1999 antara lain sebagai berikut:
1. Hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan
tindak pidana korupsi
2. Hak untuk memperoleh layanan dalam mencari, memperoleh, dan
memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana
korupsi kepada penegak hukum.
3. Hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggungjawab
kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana
korupsi.
4. Hak memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang
diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30 hari.
5. Hak untuk memperoleh perlindungan hukum
6. Penghargaan dari pemerintah kepada masyarakat apabila ada
masyarakat yang mengungkap adanya tindak pidana korupsi.
L. Langkah-langkah Strategis dalam Memerangi Korupsi
1. Langkah Umum
Langkah umum yang dapat dilakukan yaitu dengan mewujudkan
transparansi, ruang pengambilan keputusan juga dibatasi, dan
pertanggungjawaban baik secara politis maupun hukum diperkuat.
2. Check And Balances: Mekanisme untuk Mengamankan
Tanggungjawab
Titik berat dalam memerangi korupsi pertama-tama perlu diletakkan
pada penetapan institusi-institusi nasional yang kritis. Struktur-struktur
ini mencakup sebuah peradilan yang independen, parlemen yang
berfungsi dengan benar dan bebas dari pengaruh luar serta dari tekanan
pihak eksekutif dan partai yang berkuasa, pers yang independen dan
kritis, dan penguasa yang harus memberikan pertanggungjawaban.

22
3. Mekanisme Pengawasan Eksternal
Keberhasilan implementasi tanggungjawab politik dan hukum
membutuhkan dukungan dan pengawasan dari orang-orang luar aparat
pemerintahan. Selain itu dibutuhkan kemungkinan untuk memperoleh
akses terhadap informasi dan membicarakannya secara terbuka. Jadi
transparansi dan kebebasan berbicara merupakan prasyarat umum
dalam memerangi korupsi.
4. Aksi Pencegahan
Menurut Mohammad Yasin Kara (Pito, Toni Andrianus, dkk, 2013:
435) aksi pencegahan untuk mengatasi korupsi terbagi menjadi lima
yaitu:
1) Pemberantasan korupsi harus dilakukan oleh sebuah tim yang
secara moral memiliki komitmen sungguh-sungguh untuk
memberantas korupsi.
2) Di balik penanganan kasus korupsi itu ada “sistem” mafia
peradilan yang berjalan linier dengan upaya pemberantasannya.
Karena itu diperlukan mekanisme dan sistem yang cukup baik
untuk menjerat perilaku sosial seperti ini.
3) Melihat dan meneliti ulang tentang mekanisme delik dalam KUHP.
4) Para penegak hukum dan DPR bekerjasama melakukan atau
membuat konsep pemberantasan korupsi yang memadai.
5) Pemerintah dan DPR memberlakukan hukuman mati bagi para
koruptor.
6) Langkah rekonsiliasi pemerintah Afrika Selatan bisa dijadikan
contoh. Pemerintah Afrika Selatan mengumumkan sebuah
peraturan yang menjamin kehidupan yang lebih baik bagi para
koruptor. Mereka akan diampuni dosanya dengan sejumlah catatan,
yaitu:
- Para koruptor akan dikurangi hukumannya 20% bila berani
mengaku disertai bukti-bukti bahwa dirinya telah melakukan
korupsi dan berjanji tidak akan mengulangi perbutannya di

23
depan pengadilan serta mengembalikan sejumlah uang yang
telah dikorupsi. Bahkan hukuman bisa menjadi nol apabila bisa
menunjuk orang lain yang juga melakukan korupsi disertai
bukti-bukti otentik di pengadilan.
- Bila dalam batas waktu yang ditentukan para koruptor tidak
melaporkan dirinya melakukan korupsi, jika penyidikan oleh
lembaga berwenang misal KPK menemukan bukti dia korupsi,
hukumannya menjadi berlipat ganda.
- Bagi mereka yang mengakui kesalahannya, pemerintah
memberi fasilitas kehidupan yang layak untuk satu periode,
satu keturunan hidup dan keluarganya.
5. Membangun Zona Bebas Korupsi
Salah satu cara yang patut dipertimbangkan utuk menghambat laju
praktek korupsi menurut Saldi Isra (Pito, Toni Andrianus, dkk, 2013:
436) adalah dengan membangun zona (jejaring) antikorupsi di setiap
institusi negara. Salah satu institusi negara yang paling potensial
membangun zona bebas korupsi adalah DPR. Dasar pemikirannya,
sebagai perwakilan rakyat, DPR menjadi titik sentral pusaran
mekanisme ketatanegaraan.
6. Partisipasi Publik
Dalam pandangan Muhtadi (Pito, Toni Andrianus, dkk, 2013: 437),
agar pemberantasan korupsi efektif diperlukan pemberian ruang yang
seluas-luasnya bagi partisipasi publik sebagi kontrol atau pengawasan
terhadap penyelenggaraan pemerintahan dalam pengelolaan dana
publik. Partisipasi publik menjadi penting setidaknya karena dua hal,
yakni:
1) Institusi-institusi formal yang bertugas melakukan pengawasan
masih kurang perannya dalam rangka pemberantasan korupsi
tersebut.
2) Partisipasi publik dapat memberikan dorongan moral bagi institusi
formal yang berwenang melakukan pemberantasan korupsi.

24
Dalam hal partisipasi publik dalam pemberantasan korupsi tidak akan
bisa berdiri sendiri tanpa didukung setidaknya dua hal, yaitu:
1) Keberadaan undang-undang perlindungan saksi.
2) Pemberian penghargaan bagi individu/mereka yang memberikan
informasi tentang adanya kasus-kasus korupsi di semua level
pemerintahan.
7. Dengan Magnifikasi Sumpah
Menurut Mochtar Pabottingi (Pito, Toni Andrianus, dkk, 2013: 439)
usaha menggerus praktek korupsi dilakukan dengan magnifikasi
sumpah. Cara kerjanya, yaitu ada pengakuan universal pada suatu daya
adikodrati yang paling menentukan hidup dan nasib hidup manusia.
Magnifikasi sumpah baru akan tumpul jika pelaku kejahatan adalah
kategori ateis, agnoistik, atau yang sama sekali tak percaya pada alam
gaib.
8. Penanganan Korupsi Pada Kelas Teri
Korupsi kelas teri yakni praktek korupsi yang dilakukan oleh pegawai
rendahan yang memiliki akses dan peran menentukan atas lancar atau
tidaknya pelayanan publik. Akibat korupsi ini, secara kuantitas
kerugian negara tidak terlalu besar. Namun korupsi ini juga berdampak
negatif pada kualitas pelayanan publik. Masyarakat langsung
merasakan sendiri dampaknya, yakni buruknya kualitas pelayanan
yang diberikan birokrasi. Motif jenis ini sangat sederhana, yakni
bagaimana meningkatkan taraf ekonomi diri dan keluarganya.
9. Pendidikan Antikorupsi
Pendidikan antikorupsi dapat dilaukan menggunakan jalur formal
maupun informal. Jalur formal menunjuk pada pengadaan pendidikan
antikorupsi melalui kurikulum pendidikan sekolah, dari level
menengah ke perguruan tinggi. Sedangkan jalur informal bisa melalui
pendidikan dengan model pembelajaran kelompok belajar paket A dan
B. Hasil akhir dari pendidikan antikorupsi adalah pembatasan
penyebaran praktek korupsi sekaligus pencegahan dari proses

25
penyelenggaraan pemerintahan melalui mekanisme pengawasan dari
dan oleh masyarakat.
10. Kampanye Negatif dalam Membongkar Korupsi
Menurut Adnan Topan Husodo. Kampanye negatif dengan
membongkar kasus-kasus para politikus justru memiliki nilai strategis
untuk mengeliminasi kandidat pejabat publik yag tidak memiliki
integritas. Kampanye negatif juga sekaligus mendorong adanya
rasionalitas pemilih dalam berhadapan dengan elite politik. Dengan
demikian, kampanye negatif merupakan sarana efektif untuk
menggeser paradigma masyarakat pemilih dalam kehidupan politik,
yakni dari tendensi emosional menuju rasionalitas pemilih ditandai
dengan semakin kritis dalam menentukan siapa kandidat yang layak
untuk jadi pemimpin.
M. Saran-saran Penanggulangan Korupsi
Untuk memberantas korupsi yang sudah mengakar dalam sendi-
sendi masyarakat Indonesia, diperlukan adanya partisipasi segenap lapisan
rakyat. Tanpa partisipasi dan dukungan mereka segala usaha, undang-
undang, dan komisi-komisi akan terbentur pada kegagalan. Beberapa saran
yang dikemukakan di sini antara lain, sebagai berikut : (Kartini, Kartono,
2013: 135)
1) Adanya kesadaran rakyat ikut memikul tanggung jawab guna
melakukan partisipasi politik dan kontrol sosial, dan tidak bersikap
apatis acuh tak acuh. Kontrol sosial baru bisa efektif, apabila bisa
dilaksanakan oleh dewan-dewan perwakilan yang benar-benar
representatif dan otonom, pada taraf desa sampai taraf pusat/nasional.
2) Menanamkan aspirasi nasional yang positif. Yaitu mengutamakan
kepentingan nasional, kejujuran serta pengabdian pada bangsa dan
negara, melalui sistem pendidikan formal, non-formal, dan pendidikan
agama.

26
3) Para pemimpin dan pejabat memberikan teladan, baik dengan
mematuhi pola hidup sederhana dan memiliki rasa tanggung jawab
susila.
4) Adanya sanksi dan kekuatan (force) untuk menindak, memberantas
dan menghukum tindak korupsi. Tanpa kekuatan riil dan berani
bertindak tegas, semua undang-undang, tim, komisi dan operasi
menjadi mubazir, menjadi “penakut burung” belaka.
5) Reorganisasi dan rasionalisasi dari organisasi pemerintahan, melalui
penyederhanaan jumlah departemen beserta jawatan-jawatan
sebawahannya. Adanya koordinasi antar departemen yang lebih baik,
disertai sistem kontrol yang teratur terhadap administrasi pemerintah,
baik di pusat maupun di daerah.
6) Adanya sistem penerimaan pegawai berdasarkan prinsip achievement
atau ketrampilan teknis bukan berdasarkan norma ascription, sehingga
memberikan keluasaan bagi berkembangnya nepotisme.
7) Adanya kebutuhan pada pegawai-pegawai negeri yang non-politik,
demi kelancaran administrasi pemerintah. Ditunjang oleh gaji yang
memadai bagi para pegawai dan ada jaminan masa tua, sehingga
berkuranglah kecenderungan untuk melakukan korupsi.
8) Menciptakan aparatur pemerintahan yang jujur.
9) Sistem budget dikelola oleh pejabat-pejabat yang mempunyai
tanggung jawab etis tinggi dibarengi sistem kontrol yang efisien.
10) Pencatatan ulang terhadap kekayaan perorangan yang menyolok,
dengan pengenaan pajak yang tingggi.
Tindakan korup itu merupakan tindak pidana yang sangat
merugikan bangsa dan negara, dan menjadi hambatan utama bagi
pembangunan. Walaupun demikian, korupsi juga mempunyai fungsi yang
positif, yaitu: (1) mencegah meluasnya ketidakpuasan karena adanya
distribusi kekuasaan dan kekayaan yang tidak merata; (2) sekaligus juga
menjadi pentil-pengaman bagi munculnya revolusi sosial, khususnya
mencegah keresahan dan revolusi di daerah urban.

27
Salah satu tugas negara ialah menghadapi bahaya-bahaya subversi
dan ancaman dari luar dengan sarana angkatan bersenjata. Maka tugas
lainnya yang teramat penting ialah mampu menyusun task force/kekuatan
riil untuk menanggulangi bahaya dari dalam yaitu korupsi.
N. Kendala-kendala yang Dihadapi dalam Pemberantasan Korupsi di
Indonesia
Korupsi dapat terjadi di negara maju maupun negara berkembang
seperti Indonesia. Adapun hambatan/kendala-kendala yang dihadapi
Bangsa Indonesia dalam memberantas korupsi berdasarkan analisis
beberapa teori dan kejadian di lapangan antara lain adalah:
1. Penegakan hukum di Indonesia yang tidak konsisten dan cenderung
setengah-setengah dalam memberantas korupsi.
2. Struktur birokrasi yang berorientasi ke atas (pejabat-pejabat tinggi dan
orang-orang yang berkuasa).
3. Kurang optimalnya fungsi komponen-komponen pengawas atau
pengontrol, sehingga tidak ada check and balance.
4. Banyaknya celah/lubang-lubang yang dapat dimasuki tindakan korupsi
pada sistem politik dan sistem administrasi negara Indonesia.
5. Kesulitan dalam merumuskan perkara, sehingga dari contoh-contoh
kasus yang terjadi para pelaku korupsi begitu gampang mengelak dari
tuduhan yang diajukan oleh jaksa.
6. Taktik-taktik koruptor untuk mengelabuhi aparat pemeriksa,
masyarakat, dan negara yang semakin canggih.
7. Kurang kokohnya landasan moral untuk mengendalikan diri dalam
menjalankan amanah yang diemban.

O. Peran Pendidikan Kewarganegaraan dalam Mencegah Korupsi

Indonesia dikenal sebagai salah satu negara paling korup di Asia


bahkan di dunia. Di level ASEAN Indonesia menduduki urutan kelima
dari sepuluh negara. Hal tersebut menunjukkan bahwa korupsi masih
menjadi penyakit kronis dan pemberantasan korupsi masih jauh dari

28
harapan. Menyadari hal tersebut, pemerintah saat ini gencar melakukan
pemberantasan dan pencegahan korupsi. Pemberantasan korupsi ditempuh
dengan melakukan penegakkan hukum terhadap para koruptor sedangkan
dalam hal pencegahan korupsi, salah satu cara yang dapat dilakukan
adalah melalui jalur pendidikan, yaitu dengan mata pelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan yang lebih lanjut disingkat dengan PKn.

Pendidikan Kewarganegaraan merupakan salah satu mata pelajaran


yang wajib dimuat dalam kurikulum pendidikan pada semua satuan
pendidikan. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2003, Pasal 37 ayat 1 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Visi mata
pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan adalah terwujudnya suatu mata
pelajaran yang berfungsi sebagai sarana pembinaan watak bangsa, dan
pemberdayaan warga Negara. Sedangkan misi mata pelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan (PKn) adalah membentuk warga Negara yang baik,
yakni warga Negara yang sanggup melaksanakan hak dan kewajiban
dalam kehidupan bernegara, dilandasi oleh kesadaran politik, kesadaran
hukum dan moral.

Menurut Udin. S Winataputra (2013:21) Pendidikan


Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang memiliki salah satu
misinya sebagai pendidikan nilai. Dalam proses pendidikan nasional PKn
pada dasarnya merupakan wahana pedagogis pembangunan watak dan
karakter bangsa. Berdasarkan hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa
PKn merupakan pendidikan kebangsaan atau pendidikan karakter.

Dari sisi karakteristik, PKn berisi pengetahuan, keterampilan, dan


karakter kewarganegaraan serta tentunya juga membina karakter warga
negara melalui penanaman nilai kejujuran sebagai ruh sikap dan perilaku
antikorupsi. Dari sisi sasaran, PKn mengarah pada terbentuknya manusia
yang cerdas, terampil, kreatif, menaati peraturan yang berlaku,
berpartisipasi secara aktif, bertanggung jawab, berpikir kritis, inovatif, dan
mampu memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari, menjadi

29
warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab serta mendorong
sikap antikorupsi.

Berdasarkan Permendiknas No. 22 tahun 2006 ruang lingkup mata


pelajaran PKn adalah sebagai berikut:

a. Persatuan dan Kesatuan Bangsa


b. Norma, Hukum, dan Peraturan
c. Hak Asasi Manusia (HAM)
d. Kebutuhan warga Negara
e. Konstitusi Negara
f. Kekuasaan dan politik
g. Pancasila
h. Globalisasi

Sedangkan tujuan dari mata pelajaran PKn adalah sebagai berikut:

a. Berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu


kewarganegaraan

b. Berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak


secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara, serta antikorupsi

c. Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri


berdasarkan karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup
bersama dengan bangsa-bangsa lainnya

d. Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara


langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi
informasi dan komunikasi.

Idealisme pembentukan watak dan peradaban bangsa yang


bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
menjadikan manusia sebagai warga negara yang demokratis dan
bertanggungjawab secara filosofis, sosoi-politis dan psikopedagogis

30
menurut Winataputra (2013) merupakan misi suci dari Pendidikan
Kewarganegaraan.

Jadi, civic education adalah suatu mata pelajaran dasar di sekolah


yang di rancang untuk mempersiapkan warganegara muda, agar kelak
setelah dewasa dapat berperan aktif dalam masyarakat. Menurut Sapriya
dan Winataputra (2013: 2), Pendidikan Kewarganegaraan mengemban tiga
fungsi pokok sebagai pendidikan demokrasi, yaitu mengembangkan
kecerdasan warga negara, membina tanggung jawab warga negara, dan
mendorong partisipasi warga negara. Ketiganya akan menciptakan kriteria
warga negara yang baik (good citizen) dan orang yang baik (good man).

Kemudian, dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang


Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa pendidikan
kewarganegaraan merupakan nama mata pelajaran wajib untuk kurikulum
pada semua jenjang pendidikan mulai dari pendidikan dasar hingga
perguruan tinggi (Pasal 37). Ketentuan ini diperkuat lagi pada pasal 37
bagian Penjelasan dari Undang-Undang tersebut, maka kedudukan
pendidikan kewarganegaraan sebagai studi tentang bagaimana warga
negara itu berperan baik sebagai individu atau kelompok untuk berpikir
merasakan, bertindak dan percaya terhadap suatu sistem dalam organisasi
masyarakat semakin jelas dan mantap. Sehingga masalah korupsi dapat
dicegah dan diminimalisir perkembangannya di Indonesia.

Hal yang paling utama yang harus dilakukan setelah mengetahui


dan memahami korupsi yakni mempelajari lebih lanjut mengenai
Pendidikan Kewarganegaraan, terutama dalam pengamalannya, dengan
cara: (Mochammad Emir Sasmita, 2013: 5-6).

1) Menunjukkan sikap positif terhadap norma-norma yang berlaku dalam


kehidupan bermasyarkat, berbangsa, dan bernegara.

Implementasinya dalam ranah politik:

a) Membuat kebijakan didasarkan pada kepentingan umum/bersama.

31
b) Melaksanakan kebijakan didasari pada sikap menjunjung tinggi
kebenaran.

c) Melaksanakan pengawasan kebijakan secara tidak tebang pilih.

Implementasinya dalam ranah sosial:

a) Tidak ingkar janji atau menepati janji

b) Tidak diskriminatif dalam memberikan layanan

c) Tidak nepotisme

d) Tidak kolusi atau bersekongkol untuk berbuat jahat dan curang

Implementasinya dalam ranah ekonomi

a) Melakukan persaingan secara sehat

b) Tidak melakukan suap

c) Tidak melakukan pemborosan sumber daya

d) Tidak melakukan penyimpangan alokasi dan distribusi barang,


jasa, maupun dana

Implementasinya dalam ranah hukum:

a) Tidak melakukan penggelapan dana, pajak, dan barang

b) Tidak melakukan pemalsuan

c) Tidak melakukan pencurian dan disiplin dalam melakukan segala


hal

d) Tidak melakukan penipuan terhadap pihak lain

e) Tidak melakukan persekongkolan dalam membuat keputusan

f) Tidak melakukan perusakan barang/fasilitas negara

g) Tidak memberikan atau menerima gratifikasi

h) Tidak menyalahi atau melanggar aturan yang ada

2) Menampilkan sikap positif terhadap perlindungan dan penegakan Haak


Asasi manusia (HAM). Menurut UU RI Nomor 39 Tahun 1999,

32
dinyatakan pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan
yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi,
dan atau mencabut hak asasi manusia (aspek hukum). Dalam
kehidupan sehari-hari dapat ditemukan pelanggaran hak asasi manusia
baik di Indonesia maupun di belahan dunia lain.

3) Memahami hakikat dan arti penting hukum bagi warga negara. Secara
singkat dapat disimpulkan dalam poin sebagai berikut:

a) Memahami pengertian hukum

b) Mempelajari hakikat hukum bagi warga negara Indonesia

c) Mengetahui unsur-unsur hukum

d) Mengerti sumber-sumber hukum

e) Memahami tujuan dibuatnya hukum

f) Mengerti tata urutan hukum

g) Memahami pentingnya hukum bagi warga negara

h) Diberikan contoh perilaku pelanggaran hukum sebagai bagian


tindakan korupsi.

4) Menerapkan norma-norma, kebiasaan, adat istiadat dan peraturan yang


berlaku dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Orang yang melakukan korupsi berarti melanggar hukum,


melanggar HAM, melanggar kepentingan umum, dan tidak
bertanggungjawab. Sikap dan perilaku antikorupsi merupakan hal yang
sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Dengan demikian dengan
terselenggaranya mata pelajaran Pendidikan kewarganegaraan di lembaga
pendidikan formal, para peserta didik yang merupakan generasi penerus
bangsa dapat mendorong sikap anti korupsi dengan memahami nilai-nilai
yang terdapat pada Pancasila dan UUD 1945.

33
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Korupsi merupakan penyalahgunaan jabatan publik demi
keuntungan pribadi dengan merugikan orang lain atau banyak orang.
Menurut UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, ada tiga puluh jenis tindakan yang bisa dikategorikan sebagai
tindak pidana korupsi. Namun secara ringkas tindakan-tindakan itu bisa
dikelompokkan menjadi (1) kerugian keuntungan negara, (2) suap-
menyuap (istilah lain: sogokan atau pelicin), (3) penggelapan dalam
jabatan, (4) pemerasan, (5) perbuatan curang, (6) benturan kepentingan
dalam pengadaan, (7) gratifikasi (istilah lain: pemberian hadiah).
Ada beberapa sikap yang menjadi penyebab terjadinya korupsi
antara lain kurangnya tanggungjawab dan transparansi, sentralisasi
pemerintahan yang berlebihan, intervensi melalui pengaturan yang
berlebihan atau intervensi pemerintah lainnya, penghasilan/gaji pegawai
pemerintah terlalu kecil, kurangnya peran serta/keterlibatan dan
tanggungjawab moral, penegakan hukum dan ketentuan yang tidak efektif.
Korupsi sangat merugikan masyarakat dan seringkali merupakan sumber
penyebab terhambatnya pembangunan nasional. Korupsi dapat dicegah
manakala rule of law, partisipasi dan kontrol sosial dari pers dan warga
negara dalam hidup bernegara yang bertanggungjawab makin
ditingkatkan. Sehingga apabila korupsi dapat diberantas maka
pembangunan nasional dapat tercapai. dan diharapkan generasi muda
Indonesia memiliki mentalitas anti korupsi untuk mewujudkan Indonesia
bersih tanpa korupsi.
B. Saran

Memberantas korupsi tidak mungkin hanya dilakukan melalui jalur


hukum saja, melainkan dapat ditambah dengan jalur pendidikan yaitu
dengan cara menghadirkan Pendidikan Kewarganegaraan pada semua
jenjang pendidikan sebagai mata pelajaran yang menjadi wahana bagi

34
pembentukan watak dan karakter yang baik sesuai dengan nilai-nilai
Pancasila dan UUD 1945. Dengan demikian dengan terselenggaranya
mata pelajaran Pendidikan kewarganegaraan di lembaga pendidikan
formal, para peserta didik yang merupakan generasi penerus bangsa dapat
mendorong sikap anti korupsi dengan memahami nilai-nilai yang terdapat
pada Pancasila dan UUD 1945. Selain itu untuk mengantisipasi korupsi
oleh pejabat publik perlu diadakannya pendidikan politik untuk
meningkatkan kesadaran politik warga negara, agar warga negara dengan
bekal informasi dan pengetahuannya tentang masalah kehidupan politik
kenegaraan memungkinkan warga negara tersebut berpartisipasi secara
aktif dalam kegiatan politik. Sehingga dengan adanya pendidikan politik
dan kewarganegaraan

35
DAFTAR PUSTAKA
Irfan, Nurul. 2011. Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam. Jakarta: Amzah.
Kartini, Kartono. 2013. Patologi Sosial Jilid I. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
KPK. Undang-Undang Pendukung Pemberantasan Korupsi. Link:
http://bit.ly/Zy0CgT
Pito, Andrianus Toni, dkk. 2013. Mengenal Teori-teori Politik Dari Sistem Politik
Sampai Korupsi. Bandung: Nuansa Cendekia.
Semma, Mansyur. 2008. Negara dan Korupsi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-undang No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
Winataputra, Udin S. 2013. Pendidikan Kewarganegaraan dalam Perspektif
Pendidikan untuk Mencerdaskan Kehidupan Bangsa (gagasan, Instrumentasi, dan
Praksis). Bandung: Widya Aksara Press.
Mochammad Emir Sasmita. 2013. Peranan Pendidikan Kewarganegaraan dalam
Mengantisipasi Korupsi. P2K. STMIK Muhammadiyah Jakarta.
Cholisin dan Nasiwan. 2012. Dasar-dasar Ilmu Politik. Yogyakarta: Ombak

36

Anda mungkin juga menyukai