Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN KASUS

PANSTRIKTUR URETRA DENGAN


FISTEL PENOSKROTAL DAN RETARDASI MENTAL

Oleh:
Mochammad Syaruz Rachmansyah
NIM 192011101018

Dokter Pembimbing:
dr. Ogi Bahaurini Gumilar, Sp.U

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
SMF/LAB ILMU BEDAH
RSD dr. SOEBANDI JEMBER
2019
ii

LAPORAN KASUS
PANSTRIKTUR URETRA DENGAN
FISTEL PENOSKROTAL DAN RETARDASI MENTAL

disusun untuk melaksanakan tugas Kepaniteraan Klinik Madya


KSM Ilmu Bedah RSD dr. Soebandi Jember

Oleh:
Mochammad Syaruz Rachmansyah
NIM 192011101018

Dokter Pembimbing:
dr. Ogi Bahaurini Gumilar, Sp.U

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
SMF/LAB ILMU BEDAH
RSD dr. SOEBANDI JEMBER
2019
iii

DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN SAMPUL ................................................................................ ii
DAFTAR ISI ............................................................................................... iii
BAB 1 PENDAHULUAN ........................................................................... 1
BAB 2 LAPORAN KASUS ........................................................................ 3
BAB 3 TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 12
3.1 Definisi .............................................................................................. 12
3.2 Epidemiologi ..................................................................................... 12
3.3 Faktor Risiko ..................................................................................... 13
3.4 Anatomi Uretra .................................................................................. 13
3.5 Etiologi .............................................................................................. 15
3.6 Patofisiologi ...................................................................................... 18
3.7 Gejala ................................................................................................ 19
3.8 Diagnosis ........................................................................................... 20
3.9 Tata Laksana ..................................................................................... 23
3.10Uretroplasti ........................................................................................ 24
3.11Perawatan Pasca Operasi ................................................................... 32
3.12Komplikasi ........................................................................................ 32
BAB 4 KESIMPULAN ................................................................................ 33
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 34
BAB 1. PENDAHULUAN

Sistem urinaria atau disebut juga sebagai sistem ekskretori adalah sistem
organ yang memproduksi, menyimpan, dan mengalirkan urin. Pada manusia
normal, organ ini terdiri dari ginjal beserta sistem pelvikalises, ureter, buli-buli, dan
uretra. Pada umumnya, organ urinaria terletak di rongga retroperitoneal dan
terlindung oleh organ lain yang berada disekitarnya, kecuali uretra 1). Urin mengalir
dari ginjal ke buli-buli sepanjang saluran berbentuk tabung yang disebut ureter.
Kemudian, buli-buli menahan urin sampai dikeluarkan saat miksi. Ketika miksi,
buli-buli dikosongkan dan urin mengalir keluar melalui uretra 2).
Uretra merupakan tabung yang menyalurkan urin keluar dari buli-buli
melalui proses miksi. Panjang uretra wanita kurang lebih 3-5 cm, sedangkan uretra
pria dewasa kurang lebih 23-25 cm 1). Proses penyaluran urin seringkali terganggu
akibat adanya penyempitan lumen uretra. Penyempitan tersebut menyebabkan
bendungan dan stasis urin. Hal ini meningkatkan resiko terjadinya infeksi pada
uretra 3).
Striktur uretra merupakan penyempitan abnormal pada uretra akibat fibrosis
di sekitar korpus spongiosum. Penyebab striktur uretra paling sering, yaitu idiopatik
dan diikuti oleh penyebab iatrogenik seperti reseksi transuretra, kateterisasi uretra,
4)
perawatan kanker prostat, dan riwayat operasi hipospadia . Striktur uretra juga
dapat disebabkan oleh infeksi kronis kuman gonokokus, trauma tumpul pada
selangkangan (straddle injury), dan fraktur tulang pelvis 1). Pasien dengan striktur
uretra dapat asimtomatik tergantung pada derajat obstruksi dan kronisitas striktur.
Gejala yang ditimbulkan seperti nyeri panggul, mual, muntah, hematuria, infeksi
saluran kemih, atau batu saluran kemih 5).
Prevalensi penyakit striktur uretra di Amerika Serikat diperkirakan sekitar
200 per 100.000 pada pria dengan usia kurang dari 65 tahun dan 600 per 100.000
pada pria dengan usia lebih dari 65 tahun. Prevalensi penyakit striktur uretra di
Inggris diperkirakan sekitar 10 per 100.000 pada pria dengan usia kurang dari 65
tahun dan 100 per 100.000 pada pria dengan usia lebih dari 65 tahun. Meskipun
2

insiden sebenarnya masih belum diketahui secara pasti, namun data dari layanan
Medicare di Amerika Serikat menyatakan bahwa insidensi striktur uretra sebesar
0,9% pada tahun 2001. Selain itu, semua data menunjukkan peningkatan tajam
insiden setelah usia 65 tahun 6).
Proses radang akibat trauma atau infeksi pada uretra akan menyebabkan
terbentuknya jaringan sikatriks pada uretra. Jaringan sikatriks pada lumen uretra
menimbulkan hambatan aliran urin hingga retensi urin. Aliran urin yang terhambat
mencari jalan keluar di tempat lain (di sebelah proksimal striktura) dan akhirnya
mengumpul di rongga periuretra. Jika terinfeksi dapat menimbulkan abses
periuretra yang kemudian pecah membentuk fistula uretrokutan. Pada keadaan
tertentu dijumpai banyak sekali fistula sehingga disebut fistula seruling 1).
Biaya tahunan karena striktur uretra di Amerika Serikat sekitar 200 juta
dolar dengan sekitar 5000 kunjungan rawat inap baru setiap tahunnya. Selain itu,
terdapat 700 uretroplasti dan 16.000 uretrotomi di Inggris setiap tahunnya. Biaya
yang dikeluarkan oleh pasien dapat diperparah dengan komplikasi yang
ditimbulkan seperti Infeksi Saluran Kemih (ISK), inkontinensia urin, dan
kekambuhan striktur 4). Oleh karena itu, striktur uretra harus didiagnosis dengan
tepat agar tidak menimbulkan komplikasi yang lebih jauh dan meminimalisir biaya
yang dikeluarkan pasien. Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk
menjelaskan mengenai striktur uretra.
3

BAB 2. LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : Tn.S
Tanggal Lahir : 12-07-1999
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Botolinggo-Bondowoso
Agama : Islam
Suku Bangsa : Madura
Pekerjaan : Tidak Bekerja
No. Rekam Medis : 253451
Tanggal Masuk RS : 15 Oktober 2019
Tanggal Keluar RS : 19 Oktober 2019
Tanggal Pemeriksaan : 17 Oktober 2019 – 19 Oktober 2019

2.2 Anamnesis
 KU : Tidak bisa kencing post sistostomi
 RPS :
Pasien mengeluh tidak bisa kencing setelah kateter sistostomi tercabut sendiri
tanggal 15 Oktober 2019. Kencing keluar sedikit dan merembes melalui
lubang sistosomi. Keluarga pasien mengatakan ketika kencing pasien terlihat
kesakitan. Kencing darah (-) pus (-) keluar batu saat kencing (-).
 RPD :
HT disangkal, DM disangkal. Riwayat trauma disangkal, riwayat minum jamu
jangka panjang disangkal, riwayat gatal dan bercak di genital disangkal.
Pasien sejak bayi kencing dengan pancaran kecil dan deras seperti jarum.
 RPK :
Tidak ada keluarga dengan riwayat penyakit yang sama
 RPO:
Pasien ketika bayi usia 40 hari dilakukan sirkumsisi untuk mengatasi kencing
kecil dan deras namun tidak membaik. Pada usia 4 tahun timbul benjolan di
4

inguinal kanan berisi nanah dan pecah dengan sendirinya (hanya ditutup
kassa di mantri). Pada tanggal 13 Mei 2019 pasien dioperasi di RSD dr.
Soebandi karena terdapat benjolan berisi nanah di skrotum. Pasien juga tidak
dapat dipasang kateter dc kateter sehingga dilakukan pemasangan kateter
sistosomi. Pada tanggal 15 Mei 2019 pasien datang ke IGD RSD dr. Soebandi
dengan keluhan tidak bisa kencing sejak 2 hari yang lalu dan kadang kencing
merembes melalui sela-sela sistosomi (sistostomi macet). Pada tanggal 19
pasien dilakukan revisi sistostomi + jahit primer skrotum ec malfungsi
sistostomi + wound dehiscence. Pada tanggal 28 Juni 2019 pasien dilakukan
foto radiologis dan didiagnosis terdapat batu uretra posterior (direncanakan
operasi panendoskopi-dorong batu-litotripsi pada tanggal 24 Oktober 2019).

2.3 Pemeriksaan Fisik


 Tanggal : 17 Oktober 2019
 Keadaan Umum : lemah
 Tanda-Tanda Vital
Tensi : 120/70 mmHg
HR : 76 x/m
RR : 18 x/m
Tax : 36,6 0C
 Status Generalis :
Kepala : Tak tampak masa dan tak teraba adanya masa di kepala
Mata : Sklera  tidak didapatkan ikterus
Konjungtiva  tidak didapatkan anemis
Telinga : tidak didapatkan sekret dan darah
Hidung : tidak didapatkan sekret dan darah, tidak didapatkan
pernafasan cuping hidung
Mulut : tidak didapatkan perdarahan, tidak sianosis
Thorax :
Cor : iktus cordis tidak tampak dan teraba di ICS V MCL Sinistra
batas jantung tidak melebar
5

S1S2 tunggal e/g/m = -/-/-


Pulmo : Gerak dada simetris, ketertinggalan gerak -/-, sonor +/+,
Vesikuler +/+, Rhonki -/- , Wheezing -/-
Abdomen :
Inspeksi : cembung
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani, pekak hepar (+) normal, hepatosplenomegali (-)
Palpasi : soepel, nyeri tekan (-)
Extremitas : Akral Hangat di keempat ekstremitas
Edema tidak didapatkan di keempat ekstremitas

 Status Urologi :
Regio flank : nyeri tekan (-/-) nyeri ketok CVA (-/-)
Regio supra pubic : nyeri tekan (+), kesan VU penuh (+), massa (-)
Regio genital : nyeri (-), MUE letak normal, teraba batu (-)

2.4 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Foto Polos Abdomen Tanggal 24-04-2019
6

Pemeriksaan USG Abdomen Tanggal 30-04-2019

Bacaan:
o Ginjal kanan dan kiri : bentuk dan ukuran normal, intensitas echo
parenkimal normal, batas echo cortex medulla jelas, tampak ektasis sedang
system pelviocalyceal, tak tampak batu kista/massa
o Bladder : terisi cukup urine, tak tampak penebalan dinding, tak tampak batu
o Tak tampak gambaran cairan bebas di cavum abdomen dan cavum pleura
Kesan:
o Hidronefrosis sedang bilateral
7

Pemeriksaan BOF dan Foto Polos Abdomen Tanggal 20-06-2019


8

Laboratorium (16 Oktober 2019)


Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
Hematologi Lengkap
Hemoglobin 13,3 13.5-17,5 gr/dL
Leukosit 8,4 4,5-11 109 / L
Hematokrit 39,1 41-53 %
Trombosit 338 150-450 109 / L
Elektrolit
Natrium 141 135-155 mmol/L
Kalium 3,43 3.5-5.0 mmol/L
Chlorida 104,8 90-110 mmol/L
Calcium 2,59 2,15-2,57 mmol/L
Faal ginjal
Kreatinin serum 0,9 0.6-1.3 mg/dL
BUN 7 6-20 mg/dL
Urea 16 12-43 mg/dL
Asam Urat 4,5 3,4-7 mg/dL
Gula Darah
Glukosa Sewaktu 101 <200 mg/dL
Faal Hati
Albumin 4,2 3,4-4,8 gr/dL

2.5 Diagnosa
Batu Uretra Posterior + RM

2.6 Planning
Pro Panendoskopi + dorong batu + litotripsi
Inf RD5 1500 cc/24 jam
Ceftriaxone 2x1
9

2.7 Prognosis
Ad Vitam : Dubia Ad bonam
Ad Functionam: Dubia Ad malam
Ad Sanationam: Dubia Ad malam

2.8 Follow Up

Jum’at, 18 Oktober 2019 Sabtu, 19 Oktober 2019


S KU: Nyeri post op KU: Nyeri post op
O KU: cukup KU: cukup
Kes: compos mentis Kes: compos mentis
TD: 110/70mmHg TD: 100/80mmHg
N: 88x/mnt N: 76x/mnt
RR: 20x/mnt RR: 20x/mnt
o
Tax: 36.5 C Tax: 36.7oC
K/L:a/i/c/d: -/-/-/- K/L:a/i/c/d: -/-/-/-
Th: c/ S1S2 tunggal e/g/m -/-/- Th: c/ S1S2 tunggal e/g/m -/-/-
p/ ves+/+ rho +/+ whe -/- p/ ves+/+ rho +/+ whe -/-
Abd: flat, BU (+), timpani, soepel Abd: flat, BU (+), timpani, soepel
Ext: AH di keempat akral, edema -/- Ext: AH di keempat akral, edema -/-
Status urologi: Status urologi:
R.flank : nyeri tekan (-/-) nyeri ketok R.flank : nyeri tekan (-/-) nyeri ketok
CVA (-/-) CVA (-/-)
R.suprapubic: nyeri tekan (+), kesan R.suprapubic: nyeri tekan (+), kesan
VU penuh (-), kateter sistostomi (+), VU penuh (-), kateter sistostomi (+),
dressing (+), rembesan darah (+) dressing (+), rembesan darah (+) pus
pus (-) (-)
R.genital : nyeri (+), MUE letak R.genital : nyeri (+), MUE letak
normal, dressing (+), fistula normal, dressing (+), fistula
penoscrotal (+), rembesan darah (-) penoscrotal (+), rembesan darah (-)
pus (-) pus (-)
10

UT : 600cc/12 jam kuning jernih UT : 650cc/12 jam kuning jernih

A Panstriktur uretra + Fistel Penoskrotal Panstriktur uretra + Fistel Penoskrotal


+ Retardasi Mental post Open + Retardasi Mental post Open
Sistostomi H1 Sistostomi H2
P  Inf RD5 1500 cc/24 jam  Acc KRS
 Ceftriaxone 2x1  Cefixime 2x1
 Ketorolac 3x1  Albuforce (Ekstrak Ikan Gabus)
 Asam Tranexamat 3x1 2x1
 Asam Mefenamat 3x1
 Kontrol poli tanggal 22 Oktober
2019Rujuk RSSA

2.9 Laporan Operasi (17-10-2019)

Tindakan operasi : Open Sistostomi


Persiapan Operasi KIE, Informed Consent,
Antibitoik Profilaksis Ceftriaxon 2 gram
Posisi Pasien SistostomySupine
Desinfeksi Povidone iodine, tidak bisa masuk ke fistel
Insisi Kulit dan pembukaan Insisi tubuler open sistostomi
lapangan operasi
Pendapatan pada eksplorasi Diperdalam lapis demi lapis
Uraian/Deskripsi operasi Identifikasi bulites buli (+)keluar urine
11

Bulidilakukan open sistostomipasang kateter


18 Fr ssudah dipotongkeluar urin ± 450 cjahit
buli
Jahit lapis demi lapis
Fiksasi kateter di dua tempat
Apa yang dikerjakan Open Sistostomi
(Nama Operasi)
Komplikasi tidak ada
Penutupan Lapang operasi Jahit lapis demi lapis
Hasil operasi Urin keluar lewat sistostomi
Pengiriman jaringan Tidak ada
operasi
Jumlah perdarahan dan ± 100 cc
Jumlah transfusi
12

BAB 3. TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Striktur uretra adalah penyempitan lumen uretra karena fibrosis pada
dindingnya. Penyempitan lumen ini disebabkan karena dindingnya mengalami
fibrosis dan pada tingkat yang lebih parah terjadi fibrosis korpus spongiosum 1).
Penyempitan progresif ini disebut spongiofibrosis yang dapat menimbulkan gejala
dan tanda obstruksi pada penderita striktur uretra. Tingkat keparahan striktur uretra
dapat diukur berdasarkan jumlah kerusakan pada korpus spongiosum dan lapisan
pembuluh darah uretra 6).
Istilah striktur uretra lebih disukai pada penyempitan abnormal lumen uretra
anterior yang dikaitkan dengan spongiofibrosis. Oleh karena itu, striktur uretra
terjadi pada lumen yang dikelilingi korpus spongiosum mulai pada uretra pars
bulbosa sampai meatus uretra eksterna. Penyempitan lumen uretra posterior yang
tidak memiliki korpus spongiosum disekitarnya dengan demikian disebut sebagai
stenosis uretra. Stenosis uretra terjadi pada uretra pars prostatika sampai uretra pars
membranasea. Stenosis uretra tidak progresif seperti striktur uretra dan umumnya
terjadi akibat trauma atau iatrogenik 6).

3.2 Epidemiologi
Prevalensi penyakit striktur uretra di Amerika Serikat diperkirakan sekitar 200
per 100.000 pada pria dengan usia kurang dari 65 tahun dan 600 per 100.000 pada
pria dengan usia lebih dari 65 tahun. Prevalensi penyakit striktur uretra di Inggris
diperkirakan sekitar 10 per 100.000 pada pria dengan usia kurang dari 65 tahun dan
100 per 100.000 pada pria dengan usia lebih dari 65 tahun. Meskipun insiden
sebenarnya masih belum diketahui secara pasti, namun data dari layanan Medicare
di Amerika Serikat menyatakan bahwa insidensi striktur uretra sebesar 0,9% pada
tahun 2001. Selain itu, semua data menunjukkan peningkatan tajam insiden setelah
usia 65 tahun 6).
13

3.3 Faktor Risiko


Faktor risiko striktur uretra yang umum, yaitu riwayat pembedahan
transuretral, trauma pelvis dan perineal, kateterisasi uretra, pengobatan kanker
prostat, perbaikan hipospadia, dan Lichen Sclerosus (LS). Tindakan endoskopi
berulang dapat meningkatkan risiko spongiofibrosis dan mempersulit uretroplasti
definitif 4). Beberapa data menunjukkan bahwa orang Amerika berkulit hitam lebih
berisiko menderita striktur uretra daripada orang Amerika berkulit putih. Faktor
risiko yang berhubungan dengan pasien termasuk merokok, diabetes melitus, dan
insufisiensi ginjal 7).

3.4 Anatomi Uretra


Uretra merupakan tabung yang menyalurkan urine ke luar dari buli-buli melalui
proses miksi. Secara anatomis uretra dibagi menjadi 2 bagian, yaitu uretra posterior
dan uretra anterior. Pada pria, organ ini berfungsi juga dalam menyalurkan cairan
mani. Uretra diperlengkapi dengan sfingter uretra interna yang terletak pada
perbatasan buli-buli dan uretra, serta sfingter uretra eksterna yang terletak pada
perbatasan uretra anterior dan posterior. Sfingter uretra interna terdiri atas otot
polos yang dipersarafi oleh sistem simpatetik sehingga pada saat buli-buli penuh,
sfingter ini terbuka. Sfingter uretra eksterna terdiri atas otot bergaris yang
dipersarafi oleh sistem somatik. Aktivitas sfingter uretra eksterna ini dapat
diperintah sesuai dengan keinginan seseorang. Pada saat kencing sfingter ini
terbuka dan tetap tertutup pada saat menahan kencing. Panjang uretra wanita kurang
lebih 3-5 cm, sedangkan uretra pria dewasa kurang lebih 23-25 cm. Perbedaan
panjang inilah yang menyebabkan hambatan pengeluaran urin lebih sering terjadi
pada pria 1). Gambar anatomi uretra dapat dilihat pada Gambar 2.1 sebagai berikut:
14

Gambar 2.1 Anatomi Uretra

Uretra posterior pada pria terdiri atas 1) pars prostatika, yakni bagian uretra
yang dilingkupi oleh kelenjar prostat, dan 2) uretra pars membranasea. Di bagian
posterior lumen uretra prostatika, terdapat suatu tonjolan verumontanum, dan di
sebelah proksimal dan distal dari verumontanum ini terdapat krista uretralis. Bagian
akhir dari vas deferens, yaitu kedua duktus ejakulatorius, terdapat di pinggir kiri
dan kanan verumontanum. Sekresi kelenjar prostat bermuara di dalam duktus
1)
prostatikus yang tersebar di uretra prostatika . Gambar uretra prostatika dapat
dilihat pada Gambar 2.2 sebagai berikut:

Gambar 2.2 Uretra Prostatika


15

Uretra anterior adalah bagian uretra yang dibungkus oleh korpus spongiosum
penis. Uretra anterior terdiri atas 1) pars bulbosa, 2) pars pendularis, 3) fossa
navikularis, dan 4) meatus uretra eksterna. Di dalam lumen uretra anterior terdapat
beberapa muara kelenjar yang berfungsi dalam proses reproduksi, yaitu kelenjar
Cowperi yang berada di dalam diafragma urogenitalis dan bermuara di uretra pars
bulbosa, serta kelenjar Littre, yaitu kelenjar parauretralis yang bermuara di uretra
pars pendularis 1).
Panjang uretra wanita lebih kurang 4 cm dengan diameter 8 mm. Berada di
bawah simfisis pubis dan bermuara di sebelah anterior vagina. Di dalam uretra
bermuara kelenjar periuretra, di antaranya adalah kelenjar Skene. Kurang lebih
sepertiga medial uretra, terdapat sfingter uretra eksterna yang terdiri atas otot
bergaris. Tonus otot sfingter uretra eksterna dan tonus otot Levator ani berfungsi
mempertahankan agar urin tetap berada di dalam buli-buli pada saat perasaan ingin
miksi. Miksi terjadi jika tekanan intravesika melebihi tekanan intrauretra akibat
kontraksi otot detrusor, dan relaksasi sfingter uretra eksterna 1).

3.5 Etiologi
Striktur uretra dibagi menjadi empat etiologi utama: Idiopatik, iatrogenik,
inflamasi, dan traumatis. Penyebab idiopatik dan iatrogenik untuk striktur uretra
lebih sering pada negara maju, dan masing-masing menyumbang 33% dari pasien,
masing-masing. Penyebab inflamasi dan trauma masing-masing menyumbang 15%
dan 19% 6). Letak striktur uretra memberikan petunjuk penyebab terjadinya striktur
uretra dapat dilihat pada Gambar 2.3 sebagai berikut:
16

Gambar 2.3 Letak dan Penyebab Striktur Uretra

Penyebab idiopatik lebih sering terjadi pada uretra bulbar dan lebih sering pada
pasien yang lebih muda dibandingkan yang lebih tua (48% vs 23%). Hal ini
mungkin timbul akibat trauma pada masa kanak-kanak yang tidak dikenal atau
anomali bawaan dalam perkembangan uretra. Pada pasien yang lebih tua
diperkirakan terdapat penurunan pasokan darah jaringan sehingga menyebabkan
iskemia. Di uretra posterior, stenosis idiopatik lebih jarang terjadi dan terjadi pada
0-2,7% pasien 6).
Striktur uretra iatrogenik dapat ditemukan mulai dari meatus uretra eksterna
hingga bladder neck. Pada pasien yang lebih muda, penyempitan ini terjadi pada
penile uretra atau meatus dan merupakan komplikasi dari operasi hipospadia yang
terjadi pada 10% pasien. Pada pasien yang lebih tua, penyebabnya adalah
pembedahan transuretral atau penggunaan kateter uretra yang lama. Stenosis uretra
posterior terjadi pada 5-10% pasien dan merupakan hasil dari operasi prostat atau
intervensi untuk kanker prostat. Studi terbaru menunjukkan bahwa 25% stenosis
uretra posterior adalah hasil dari intervensi iatrogenik, dan 93% di antaranya
disebabkan oleh prostatektomi atau terapi radiasi 6).
Striktur akibat inflamasi mengacu pada reaksi inflamasi post-infeksi di mana
lumen uretra menyempit. Striktur akibat inflamasi menyumbang sekitar 15% dari
striktur uretra di dunia industri. Penyebab striktur inflamasi lebih sering terjadi di
17

negara-negara Barat akibat lichen sclerosus dan merupakan sumber dari 5-14%
striktur uretra. Inflamasi terbatas pada uretra anterior dan bukan merupakan sumber
stenosis uretra posterior 6).
Cedera traumatis menyumbang sekitar 19% dari striktur atau stenosis uretra.
Segmen uretra anterior yang paling sering cedera adalah bulbar uretra. Hal ini
terjadi akibat trauma tumpul selangkangan (straddle) yang menekan uretra dengan
simfisis pubis. Stenosis uretra traumatis terjadi karena cedera uretra akibat fraktur
panggul (PFUI). Lebih dari 70% stenosis uretra posterior berhubungan dengan
fraktur pelvis, walaupun hanya 3-25% fraktur pelvis yang berhubungan dengan
cedera uretra 6).
Beberapa etiologi striktur uretra pada 2302 pasien yang dirawat di RS pusat
rujukan pada bulan Juni 1978 sampai Juli 2014 8). Gambar etiologi striktur uretra
dapat dilihat pada Tabel 2.1 sebagai berikut:

Tabel 2.1 Etiologi Striktur Uretra

Etiologi idiopatik merupakan penyebab utama sebanyak 870 pasien


(37,8%). Hal ini disusul dengan kegagalan repair hipospadia sebanyak 394 pasien
(17,1%), trauma sebanyak 315 pasien (13,8%), tindakan kateterisasi sebanyak 243
18

pasien (10,5%), dan instrumentasi sebanyak 237 pasien (10,3%). Mengenai lokasi
striktur, uretra bulbar merupakan lokasi striktur paling sering dengan penyebab
idiopatik (88,4%), tindakan kateterisasi (72,8%), instrumentasi (69,6%), dan trauma
(40,9%). Namun, striktur uretra bulbar akibat kegagalan repair hipospadia dan
Lichen Sclerosus hanya sebesar 4,1% dan 0,6% 8).

3.6 Patofisiologi
Striktur uretra dapat disebabkan karena suatu infeksi, trauma pada uretra,
dan kelainan bawaan. Infeksi yang paling sering menimbulkan striktur uretra adalah
infeksi kuman gonokokus yang telah menginfeksi uretra beberapa tahun
sebelumnya. Keadaan ini sekarang jarang dijumpai karena banyak pemakaian
antibiotika untuk memberantas uretritis 1). Selain itu, Lichen Sclerosis (LS) dapat
menyebabkan striktur meskipun mekanismenya masih belum jelas. Namun,
diperkirakan karena LS menyebabkan inflamasi progresif kelenjar periuretral 7).
Trauma yang menyebabkan striktur uretra adalah trauma tumpul pada
selangkangan (straddle injury), fraktur tulang pelvis, dan instrumentasi atau
tindakan transuretra yang kurang hati-hati. Tindakan yang kurang hati-hati pada
pemasangan kateter dapat menimbulkan salah jalan (false route) yang
menimbulkan kerusakan uretra dan menyisakan striktura dikemudian hari.
Demikian pula fiksasi kateter yang tidak benar pada pemakaian kateter menetap
menyebabkan penekanan kateter pada perbatasan uretra bulbo-pendulare yang
mengakibatkan penekanan uretra terus menerus, menimbulkan hipoksia uretra
daerah tersebut, yang pada akhirnya menimbulkan fistula atau striktur uretra 1).
Proses radang akibat trauma atau infeksi pada uretra akan menyebabkan
terbentuknya jaringan sikatriks pada uretra. Jaringan sikatriks pada lumen uretra
menimbulkan hambatan aliran urin hingga retensi urin. Aliran urin yang terhambat
mencari jalan keluar di tempat lain (di sebelah proksimal striktura) dan akhirnya
mengumpul di rongga periuretra. Jika terinfeksi dapat menimbulkan abses
periuretra yang kemudian pecah membentuk fistula uretrokutan. Pada keadaan
tertentu dijumpai banyak sekali fistula sehingga disebut fistula seruling 1).
19

Striktur uretra dibagi menjadi 3 tingkatan berdasarkan derajat penempitan


lumennya 1). Beberapa derajat penyempitan uretra dapat dilihat pada Gambar 2.4
sebagai berikut:

Gambar 2.4 Derajat penyempitan uretra

1. Ringan : jika oklusi kurang dari 1/3 diameter lumen uretra.


2. Sedang : jika terdapat oklusi 1/3 sampai dengan ½ diameter lumen uretra.
3. Berat : jika terdapat oklusi lebih besar dari ½ diameter lumen uretra. Pada
penyempitan derajat berat kadang kala teraba jaringan keras di korpus
spongiosum yang dikenal dengan spongiofibrosis.

3.7 Gejala
Striktur uretra dapat menyebabkan banyak gejala dan tanda mulai dari
yang ringan sampai yang parah. Gejala striktur uretra yang sering muncul, yaitu
20

pancaran urin yang lemah, disuria, gangguan pengosongan buli, infeksi saluran
4)
kemih, dan perasaan tidak puas saat miksi . Gejala urologis lain meliputi
pengurangan volume urin, urgensi urin, nyeri saat miksi, inkontinensia urin, nyeri
di daerah panggul atau perut bagian bawah, discharge pada uretra, pembengkakan
penis, hematuria atau hematospermia, dan urin berwarna gelap 8).

3.8 Diagnosis
 Anamnesis
Diagnosis adanya striktur uretra dimulai dari wawancara dengan dengan
keluhan Lower Urinary Tract Symptoms (LUTS). Apabila ditemukan gejala
LUTS, maka striktur uretra harus dimasukkan dalam diagnosis banding 9).
Keluhan ini dirasakan pada saat miksi dari mekanisme penyimpanan
(storage) urin yang dulu dikenal sebagai gejala iritasi, pengeluaran
(voiding) urin yang dulu dikenal sebagai keluhan obstruksi, dan keluhan
pasca miksi. Keluhan storage meliputi urgensi, polakisuria atau frekuensi,
nokturia, dan disuria; keluhan voiding meliputi hesitansi, harus mengejan
saat miksi, pancaran urin melemah, dan intermitensi. Adapun keluhan pasca
miksi meliputi perasaan tidak puas setelah miksi serta masih terasa ada sisa
urin setelah miksi. Selain iu keluhan miksi yang sering diungkapkan pasien
adalah inkontinensia urin dan eneuresis 1). Pasien juga harus digali faktor
risiko striktur uretra seperti riwayat pembedahan transuretra, trauma pelvis
dan perineum, kateterisasi uretra, pengobatan kanker prostat, riwayat
perbaikan hipospadia, dan riwayat Lichen Sclerosus 4).
 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik umumnya tidak terlalu berpengaruh kecuali ada
riwayat penyakit atau pembedahan. Hal ini dikarenakan hanya meatus uretra
eksterna yang dapat dilihat. Selain itu, umumnya striktur tidak dapat diraba.
Meskipun demikian, penis harus diperiksa dengan teliti untuk melihat
tanda-tanda Lichen Sclerosus yang mungkin sangat kecil dan hanya terbatas
pada warna putih disekitar tepi meatur uretra 7).
Pada regio flank dilakukan pemeriksaan untuk melihat adanya massa di
21

ginjal (massa ginjal/hidronefrosis) dan nyeri tekan pada ginjal (obstruksi


batu). Pada regio suuprapubik untuk melihat adanya massa di suprapubik
(retensi kandung kemih atau tumor). Pada genitalia diperiksa meatus uretra
eksterna untuk melihat adanya stenosis, fimosis, dan memastikan sumbatan
bukan karena kanker penis (massa dalam tubuh atau kelenjar). Pada
pemeriksaan colok dubur dievaluasi ukuran dan konsistensi prostat untuk
membedakan dengan BPH 10).
 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan awal pada pasien yang diduga memiliki striktur uretra yaitu,
penilaian riwayat pasien, urinalisis, uroflowmetri untuk menentukan
keparahan obstruksi, dan USG volume residu pasca miksi untuk
9)
mengidentifikasi retensi urin . Uroflowmetri dapat mengetahui pola
pancaran urin secara obyektif dengan cara sederhana. Derasnya pancaran
dapat diukur dengan membagi volume urin yang dikeluarkan pada saat
miksi dibagi dengan lama proses miksi. Kecepatan pancaran pada pria
normal adalah 20 ml/detik. Jika kecepatan pancaran kurang dari 10 ml/detik
1)
menandakan adanya obstruksi . Selain itu, pemeriksaan ultrasonografi
residu pasca miksi dapat mendeteksi gangguan pengosongan buli-buli.
Adanya gejala dan penurunan pancaran urin yang mengarah ke striktur
uretra mengindikasikan pemeriksaan penunjang tambahan seperti
sistoskopi, uretrografi, atau ultrasonografi uretra 9).
Untuk melihat letak penyempitan dan besarnya penyempitan uretra
dibuat foto uretrografi. Lebih lengkap lagi mengenai panjang striktur adalah
dengan membuat foto bipolar sisto-uretrografi dengan cara memasukkan
bahan kontras secara antegrad dari buli-buli dan secara retrograd dari uretra
1)
. Foto bipolar sisto-uretrografi berfungsi apabila terdapat penyulit
retrogard uretrografi seperti oklusi total lumen uretra 9). Hasil pemeriksaan
bipolar sisto-uretrografi striktur uretra dapat dilihat pada Gambar 2.5
sebagai berikut:
22

Gambar 2.5 Bipolar Sisto-Uretrografi Striktur Uretra

Melihat penyumbatan uretra secara langsung dilakukan melalui


1)
uretroskopi , yaitu melihat striktur transuretra . Uretroskopi dapat
mengidentifikasi dan melokalisasi striktur uretra, namun panjang striktur
9)
dan striktur uretra proksimal tidak dapat dinilai dalam beberapa kasus .
Jika diketemukan striktur langsung diikuti dengan uretrotomi interna
(sachse) yaitu memotong jaringan fibrotik dengan memakai pisau sachse 1).
Selain itu, dapat digunakan ultrasonografi uretra untuk menentukan panjang
striktur, diameter, dan derajat spongiofibrosis dengan sensitivitas yang lebih
besar 6). Hasil pemeriksaan ultrasonografi striktur uretra dapat dilihat pada
Gambar 2.6 sebagai berikut:
23

Gambar 2.6 Ultrasonografi Striktur Uretra

3.9 Tata Laksana


Jika pasien datang karena retensi urin, secepatnya dilakukan sistostomi
suprapubik untuk mengeluarkan urin 1). Jika dijumpai abses periuretra dilakukan
insisi dan pemberian antibiotika. Tindakan khusus yang dilakukan terhadap striktur
uretra adalah:
1)
a) Businasi (dilatasi) dengan busi logam yang dilakukan secara hati-hati .
Tujuan dilatasi uretra adalah untuk meregangkan bekas luka tanpa merobek
mukosa sehingga memungkinkan pembesaran bertahap di lumen uretra 6).
Tindakan yang kasar dapat menambah kerusakan uretra sehingga
menimbulkan luka baru yang pada akhirnya menimbulkan striktur lagi yang
lebih berat. Tindakan ini dapat menimbulkan salah jalan (false route) 1).
b) Uretrotomi interna, yaitu memotong jaringan sikatriks uretra dengan pisau
Otis atau dengan pisau Sachse. Otis dikerjakan jika belum terjadi striktur
total, sedangkan pada striktur yang lebih berat, pemotongan striktur
1)
dekerjakan secara visual dengan memakai pisau Sachse . Komplikasi
uretrotomi interna yang paling umum adalah perdarahan uretra, hematoma
perineum, disfungsi seksual, dan kekambuhan striktur 6).
c) Uretrotomi eksterna, yaitu operasi terbuka berupa pemotongan jaringan
fibrosis, kemudian dilakukan anastomosis di antara jaringan uretra yang
masih sehat 1).
d) Uretroplasti, dilakukan pada striktur yang panjang dan buntu total,
24

seringkali diperlukan beberapa tahapan operasi, yakni tahap pertama dengan


membelah uretra dan membiarkan untuk epitelisasi (Johanson I) dan
1)
dilanjutkan pada tahap dengan membuat neouretra (Johanson II) .
Uretroplasti telah dianggap berbagai pakar sebagai gold standard dalam
6)
penanganan striktur atau stenosis uretra . Uretroplasti memiliki tingkat
keberhasilan jangka panjang yang lebih tinggi daripada perawatan
endoskopi, berkisar antara 80-95%. Uretroplasti dapat ditawarkan sebagai
pengobatan awal untuk striktur uretra bulbar pendek dengan tingkat
keberhasilan yang lebih tinggi dari perawatan endoskopi. Namun, perlu
pertimbangan terhadap peningkatan kebutuhan anestesi, biaya, dan
morbiditas urethroplasti yang lebih tinggi 9).

3.10 Uretroplasti
Prosedur uretroplasti dapat dikategorikan ke dalam anastomosis uretroplasti/
Excision Primary Anastomosis (EPA) dan substitusi uretroplasti yang
11)
menggunakan skin graft atau skin flap . Prosedur EPA dilakukan dengan cara
transeksi uretra dan membuang segmen uretra yang menyempit dilanjutkan dengan
9)
anastomosis dua ujung uretra yang sehat . Prosedur EPA bergantung pada
panjang, lokasi striktur, ukuran, dan elastisitas segmen uretra. Prosedur EPA
digunakan pada striktur uretra bulbar pendek (maksimal 1 cm) yang berada di
sebelah distal uretra. Untuk striktur yang lebih panjang, pemotongan segmen uretra
yang menyempit dan membuat anastomosis menyebabkan ketegangan pada uretra
dan beresiko menyebabkan chordae 11).
Prosedur substitusi uretroplasti dikategorikan dalam single-stage procedure dan
multi-stage procedure. Pemilihan prosedur berdasarkan lokasi, jumlah, lebar lumen
11)
uretra, derajat spongiofibrosis, dan etiologi striktur uretra . Single-stage
procedure membentuk uretra dengan mentransfer jaringan dalam bentuk graft atau
flap 9). Ada tiga pilihan dalam single-stage procedure, yaitu:
a) Onlay Augmentation Procedureinsisi striktur dan penempelan skin graft
b) Augmented Anastomotic Procedureeksisi striktur, anastomosis, dan
penutupan dengan skin graft
25

c) Tube Augmentationeksisi striktur dan penempelan skin graft secara


melingkarresiko tinggi kekambuhan sehingga jarang digunakan

Multi-stage procedure umumnya dilakukan pada striktur uretra penile yang


disebabkan oleh Lichene Sclerosus, kegagalan repair hipospadia, dan kegagalan
uretroplasti. Prosedur ini terdiri dari penempelan graft dan retubularisasi neouretra
11)
6 bulan kemudian . Multi-stage procedure memiliki kelemahan, yakni
menyebabkan perasaan tidak nyaman dan waktu tunggu antar stage yang cukup
12)
lama . Alur penanganan striktur uretra dapat dilihat pada Gambar 2.7 sebagai
berikut:

Gambar 2.7 Alur Penanganan Striktur Uretra

Kebanyakan striktur uretra bulbar yang tidak dapat dilakukan EPA


direkonstruksi dengan One-Step Onlay Augmentation. Uretroplasti Onlay Ventral
dan Onlay Dorsal merupakan uretroplasti substitusi yang paling populer. Berbagai
posisi graft (ventral atau dorsal) tidak menunjukkan perbedaan dalam tingkat
keberhasilan uretroplasti bulbar. Ketika terjadi striktur berat dengan jumlah
spongiofibrosis yang tinggi, tindakan graft atau flap beresiko tinggi untuk
mengalami kegagalan karena ketegangan yang terlalu tinggi pada saat anastomosis.
26

Salah satu solusi yaitu dengan kombinasi dari EPA, anastomosis primer, dan onlay
augmentation yang disebut Augmented Anastomotic Procedure. Solusi lain yaitu
dengan menggunakan dua cangkok yang ditanam pada bagian dorsal dan ventral
uretra sehingga lumen lebih adekuat tanpa tindakan transeksi uretra (Two-Sided
Dorsal Plus Ventral Onlay Urethroplasty/ Palminteri Technique).
Ventral Onlay Urethroplasty dilakukan dengan cara insisi garis tengah corpus
spongiosum daerah striktura. Kemudian dilakukan penempelan graft pada lumen
uretra dan dilakukan penutupan corpus spongiosum agar vaskularisasi jaringan
tercukupi. Keuntungan Ventral Onlay Urethroplasty termasuk terbatasnya
mobilisasi uretra sehingga resiko mencederai pembuluh darah lebih kecil, waktu
operasi yang lebih pendek, dan teknik yang lebih mudah dibandingkan dengan
prosedur Dorsal Onlay Urethroplasty.

Gambar 2.8 Ventral Onlay Urethroplasty

Dorsal Onlay Urethroplasty dilakukan dengan cara mobilisasi uretra dan rotasi
uretra sebesar 180° agar uretrotomi striktur uretra bagian dorsal dapat dilakukan.
Kemudian graft ditempelkan pada corpus cavernosum dan dijahit ke kedua ujung
uretrotomi dengan memutar kembali uretra ke posisi semula untuk menutupi area
graft. Keuntungan Dorsal Onlay Urethroplasty, yaitu lebih stabil, vaskularisasi
jaringan graft lebih baik, dan kemungkinan terjadi sakulasi lebih kecil.
27

Gambar 2.9 Dorsal Onlay Urethroplasty

Eksisi segmen striktur dengan melakukan anastomosis mustahil dilakukan tanpa


menyebabkan tarikan berlebihan. Oleh karena itu, prosedur EPA jangka panjang
dapat menyebabkan chordae. Augmented Anastomotic Urethroplasty
menggabungkan dua pendekatan eksisi konvensional dengan teknik onlay
augmentation procedure dan EPA. Segmen striktur dieksisi dan dilakukan
strikturotomi pada sisi proksimal atau distal uretra yang sehat. Baik dinding ventral
ataupun dorsal kemudian dianastomosis dan defek diperbaiki dengan pengempelan
graft.

Gambar 2.10 Augmented Anastomotic Urethroplasty


28

Pada striktur uretra yang sangat sempit, umumnya dilakukan transeksi. Namun,
prosedur transeksi mungkin dapat merusak sebagian fungsi seksual sebagai
konsekuensi atas kerusakan pembuluh darah dan pemendekan uretra. Oleh karena
itu, Palminteri memperkenalkan konsep Two-Dorsal Plus Ventral Onlay
Urethroplasty (Palminteri Technique) dimana graft tunggal tidak cukup untuk
melebarkan lumen uretra tanpa prosedur transeksi. Pada prosedur ini, striktur
dibuka secara ventral dan midline uretra diinsisi. Selanjutnya dilakukan
penempelan dua graft pada bagian dorsal dan ventral. Dengan teknik ini tidak perlu
dilakukan mobilisasi, rotasi, dan transeksi uretra.

Gambar 2.11 Two-Sided Dorsal Plus Ventral Onlay Urethroplasty (Palminteri


Technique)

Perbaikan striktur penile uretra tergantung pada etiologi dan riwayat pengobatan
sebelumnya. Pada negara berkembang, LS dan kegagalan repair hipospadia menjadi
29

penyebab utama striktur penile uretra. Perbaikan striktur penile uretra lebih
kompleks dan mungkin membutuhkan single-stage procedure atau multi-stage
procedure dibandingkan striktur bulbar uretra. Korpus spongiosum pada penile
uretra lebih kecil untuk pengaplikasian graft dibandingkan dengan korpus
spongiosum bulbar uretra. Kurangnya topangan dari korpus spongiosum
menyebabkan kurangnya kelangsungan hidup graft dan meningkatkan resiko
terbentuknya balon dan pengumpulan urin. Mobilisasi penile uretra berlebihan
dapat mengurangi suplai darah kritis pada striktur iskemik yang panjang. Oleh
karena itu, diperlukan prosedur yang berbeda dengan single-stage procedure.
Alternatif pertama dilakukan Dorsal Inlay dengan ventral sagital uretrotomi tanpa
diseksi uretra (Asopa Technique) dan alternatif kedua dilakukan One-Side
Dorsolateral Onlay Procedure (Kulkarni Technique).
Dorsal Inlay Urethroplasty (Asopa Technique) menggunakan graft bebas dengan
pendekatan ventral sagital uretrotomi tanpa mobilisasi uretra. Uretra dibuka dengan
melakukan insisi midline pada bagian ventral. Celah tersebut dibiarkan terbuka dan
dilakukan insisi midline pada bagian dorsal sehingga menyediakan area elips untuk
tempat graft. Selanjutnya dilakukan penempelan graft pada bagian dorsal sehingga
didapatkan lebar lumen uretra yang adekuat. Keuntungan Asopa Technique yaitu
ruang graft dibuat tanpa mobilisasi uretra sehingga menghindari kerusakan
pembuluh darah.
30

Gambar 2.12 Dorsal Inlay Urethroplasty (Asopa Technique)

One-Side Dorsolateral Onlay Procedure (Kulkarni Technique) tidak


membutuhkan mobilisasi uretra sehingga menjaga supply pembuluh darah lateral
dan saraf ke uretra. Prosedur ini minimal invasif dan digunakan sebagai alternatif
Dorsal Onlay Urethroplasty. Uretra didiseksi dari salah satu sisi korpus kavernosa
dan sedikit diputar. Kemudian dilakukan insisi pada bagian dorsolateral uretra.
Graft kemudian dijahit pada tunika albuginea dan uretra diputar kembali ke posisi
aslinya.
31

Gambar 2.13 Dorsolateral Onlay Urethroplasty (Kulkarni Technique)

Pada pasien dengan striktur kompleks dengan LS atau yang disebabkan oleh
kegagalan repair hipospadi,terdapat masalah pada lempeng uretra dan jaringan
sekitar sehingga diperlukan pengangkatan dan penggantian lengkap dengan graft
pada tahap pertama dan penutupan neouretra pada tahap kedua. Tahap pertama
substitusi uretroplasti dengan melakukan eksisi pada striktur dan menempelkan
graft ke korpus kavernosa. Selain itu dilakukan uretrotomi proksimal untuk
pengalihan urin. Graft kemudian dibiarkan terbuka untuk proses healing untuk
tahap kedua. Tahap kedua setelah healing selama 6 bulan dilakukan mobilisasi dari
tepi kulit untuk memungkinkan tubularisasi neouretra melalui kateter 11).

Gambar 2.14 Multi-stage Urethroplasty


32

3.11 Perawatan Pasca Operasi


Kateter urin harus dipasang setelah penanganan striktur uretra untuk
mengalihkan urin dari tempat intervensi dan mencegah ekstravasasi urin. Baik
kateter uretra maupun sistostomi suprapubik merupakan pilihan yang
memungkinkan. Kateter uretra dianggap optimal karena dapat berfungsi sebagai
stent dimana tempat intervensi uretra dapat sembuh. Selain itu, pemasangan
kateter mempermudah intervensi endoskopi daripada rekonstruksi uretra
terbuka 9).
Uretrografi atau voiding sistografi biasanya dilakukan dua hingga tiga
minggu setelah rekonstruksi uretra terbuka. Hal ini untuk menilai tingkat
penyembuhan uretra. Penggantian kateter urin direkomendasikan dalam
pengaturan kebocoran uretra persisten untuk menghindari komplikasi inflamasi
jaringan, urinoma, abses, dan fistula urethrocutaneous. Kebocoran uretra akan
sembuh di hampir semua keadaan dengan durasi drainase kateter yang lebih
lama 9).

3.12 Komplikasi
Penyakit striktur uretra membebani kesehatan dan kualitas hidup pria.
Beberapa penelitian melaporkan bahwa 90% pria dengan penyakit striktur uretra
mengalami komplikasi 8). Beberapa komplikasi striktur uretra, yaitu:
a) Keluhan pengeluaran (voiding) dan penyimpanan (storage) urin
b) Hematuria
c) Infeksi Saluran Kemih
d) Retensi urin akut
e) Karsinoma uretra
f) Gagal ginjal
g) Fournier’s gangrene
h) Kegagalan kontraksi kandung kemih
33

BAB 4. KESIMPULAN

Striktur uretra adalah penyempitan lumen uretra karena fibrosis pada


dindingnya. Penyempitan lumen ini disebabkan karena dindingnya mengalami
fibrosis dan pada tingkat yang lebih parah terjadi fibrosis korpus spongiosum.
Striktur uretra dibagi menjadi empat etiologi utama: Idiopatik, iatrogenik,
inflamasi, dan traumatis. Gejala striktur uretra yang sering muncul, yaitu pancaran
urin yang lemah, disuria, gangguan pengosongan buli, infeksi saluran kemih, dan
perasaan tidak puas saat miksi. Pengobatan striktur uretra dengan cara dilatasi,
uretrotomi interna, uretrotomi eksterna, dan uretroplasti.
34

DAFTAR PUSTAKA

1)
Purnama, B. B. 2015. Dasar-dasar Urologi. Edisi Ketiga. Malang: CV Sagung
Seto.
2)
Naser, S. S. A dan M. Z. Shaath. 2016. Expert system urination problems
diagnosis. World Wide Journal of Multidisciplinary Research and
Development.
3)
De Jong dan Sjamsuhidajat. 2016. Buku Ajar Ilmu Bedah Sistem Organ dan
Tindak Bedahnya (3). Jakarta: EGC.
4)
Bayne, D. B., T. W. Gaither, M. A. Awad, G. P. Murphy, E. C. Osterberg, dan B.
N. Breyer. 2016. Guidelines of guidelines: a review of urethral stricture
evaluation, management, and follow-up. Transl Androl Urol 6(2):288-294.
5)
Lucas, J. W., E. Ghiraldi, J. Ellis, dan J. I. Friedlander. 2018. Endoscopic
Management of Ureteral Strictures: an Update. Current Urology Reports 19:
24.
6)
Smith T. G. 2016. Current management of urethral stricture disease. Indian
journal of urology 32(1):27–33.
7)
Alwaal, A., S. D. Blaschko, J. W. McAninch, dan B. N. Breyer. 2014.
Epidemiology of urethral strictures. Transl Androl Urol 3(2):209-213.
8)
Lazzeri, M., S. Sansalone, G. Guazzoni, dan G. Barbagli. 2016. Incidence,
Causes, and Complications of Urethral Stricture Disease. European Urology
Supplements 15:2-6.
9)
Wessels, H., K. W. Angermeier, S. P. Elliott, C. M. Gonzales, R. T. Kodama, A.
C. Peterson, J. Reston, K. Rourke, J. T. Stoffel, A. Vanni, B. Voelzke, L.
Zhao, dan R. A. Santucci. 2016. Male Urethral Stricture: AUA Guideline.
American Urological Association Education and Research.
10)
Goonewardene, S. S., P. Pietrzak, dan D. Albala. 2019. Diagnostic pathway for
urethral stricture. Basic Urological Management 75-78.
11)
Horiguchi, A. 2017. Substitution urethroplasty using oral mucosa graft for male
anterior urethral stricture disease: Current topics and reviews. International
Journal of Urology 24(7): 493-503.
12)
Hoy, N. Y., D. W. Chapman, dan K. F. Rourke. 2019. Better defining the optimal
management of penile urethral strictures: A retrospective comparison of
single-stage vs. two-stage urethroplasty. Can Urol Assoc J 13(12).

Anda mungkin juga menyukai