DOSEN PENGAMPU :
TRI DEWANTARI, M.Pd
DI SUSUN OLEH:
Kelompok Kelas (1)
Eti Kristina Rusdi (1611080310)
Heni Pertiwi (1611080347)
Syifaurrahmah (1611080312)
Wafi Hibatullah (1611080340)
KELAS F
2018
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, penyusun panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang
telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayahnya kepada penyusun, sehingga
penyusun dapat menyelesaikan makalah ini sebatas pengetahuan dan kemampuan
yang dimiliki. Dan juga penyusun berterima kasih kepada Ibu Tri Dewantari,
M.Pd, selaku Dosen mata kuliah Isu-Isu BK dan Permasalahan Komunitas yang
telah memberikan tugas ini kepada penyusun.
Penyusun
DAFTAR ISI
COVER
BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................
B. Rumusan Masalah .....................................................................................
C. Tujuan Pembahasaan .................................................................................
A. Kesimpulan ...............................................................................
BAB I
PENDHULUAN
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Pembahasan
1. Mengetahui tantangan yang dapat menjangkau beragam populasi klien
2. Mengetahui kode etik dari prespektif keberagaman
3. Mengetahui nilai budaya dan asumsi dalam terapi
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam masyarakat Indonesia yang majemuk itu, ada dua istilah yang
penting dipahami yaitu kemajemukan (pluralitas) dan keanekaragaman
(heterogenitas). Pluralitas sebagai kontraposisi dari singularitas
mengindikasikan adanya suatu situasi yang terdiri dari kejamakan, dan bukan
ketunggalan (Kusumohamidjojo, 2000, p. 45). Artinya, dalam “masyarakat
Indonesia” dapat dijumpai berbagai subkelompok masyarakat yang tidak bisa
disatukelompokkan satu dengan yang lainnya. Adanya tidak kurang dari 500
suku bangsa di Indonesia menegaskan kenyataan itu. Demikian pula halnya
dengan kebudayaan mereka. Sementara heterogenitas yang merupakan
kontraposisi dari homogenitas mengindikasikan suatu kualitas dari keadaan
yang menyimpan ketidaksamaan dalam unsur-unsurnya (Kusumohamidjojo,
2000, p. 45). Artinya, masing-masing subkelompok masyarakat itu beserta
kebudayaannya bisa sungguh-sungguh berbeda satu dari yang lainnya. Dalam
tulisan ini, pluralitas dan heterogenitas akan dipakai secara bergantian sebagai
kebhinnekaan.
Istilah etika digunakan pertama kali oleh Filusuf Yunani, yaitu Aristoteles
dalam menunjukan filsafat moral. Secara etimologis, menurut K. Bartens, etika
ialah suatu ilmu yang biasa dilakukan dalam adat kebiasaan. Kebangsaan
diartikan sebagai ciri-ciri yang menandai suatu golongan bangsa. Jadi istilah
Etika Kebangsaan ialah suatu tingkah laku dan tutur kata dari suatu golongan
bangsa berdasarkan kesamaan norma-norma, nilai-nilai dan prinsip dasar yang
telah diwariskan. Dalam hal ini etika kebangsaan dapat dijabarkan ke dalam
empat poin, yaitu;
a. ideas,
b. activities, dan
c. artifact,
Koentjaraningrat (1990, p. 186; 1994, p. 5) berpendirian bahawa
kebudayaan itu memiliki tiga wujud, yaitu:
1. wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-
nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya.
2. wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktifitas kelakuan berpola dari
manusia dalam masyarakat.
3. wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Ketiga wujud kebudayaan tersebut di masyarakat tidak dapat dipisahkan
satu sama lain, sehingga sebagai kesatuan yang utuh, kebudayaan itu
memberikan arah terhadap pikiran, tindakan, dan hasil karya masyarakat.
Kebudayaan ideal bersifat abstrak, ia merupakan kompleks dari ide-ide,
gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan-peraturan dan sebagainya, yang
berfungsi sebagai pengatur, pengendali, dan pemberi arah kepada kelakuan dan
perbuatan manusia dalam masyarakat. Wujud kebudayaan pertama ini sering
disebut sebagai sistem budaya (cultural sistem).
Wujud kebudayaan sebagai sistem sosial (social sistem) bersifat konkret,
karena terdiri dari aktifitas-aktifitas manusia yang berinteraksi, berhubungan
serta bergaul satu dengan yang lain dengan mengikuti pola-pola tertentu.
Sedangkan wujud kebudayaan fisik (physical culture atau material culture)
merupakan seluruh total hasil fisik dari aktifitas perbuatan, dan karya semua
manusia dalam masyarakat, oleh karena itu sifatnya jauh lebih konkret.
Locke (1992) dan Jackson & Wasson (2003) mengemukakan bahwa untuk
mencapai kesadaran multikultural, seseorang terlebih dahulu harus mengenali
buadanya sendiri. Jackson dan Wasson (2003) menjelaskan lebih lanjut, bahwa
mengenali budaya sendiri bukan berkenaan dengan cara membina hubungan
dengan dunia yang memiliki keragaman budaya, tapi lebih pada cara membina
budaya individu itu sendiri yang beragam dengan dunia lainnya yang juga
beragam. Lebih lanjut, Locke (1992) memaparkan bahwa proses tercapainya
kesadaran akan keragaman budaya melalui kontinum budaya, dimana
seseorang terlebih.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan