Anda di halaman 1dari 13

Tugas Kelompok

PRESPEKTIF MULTIKULTURAL DAN ISU KEBERAGAMAN


(Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Isu-Isu BK dan Permasalahan Komunitas)

DOSEN PENGAMPU :
TRI DEWANTARI, M.Pd

DI SUSUN OLEH:
Kelompok Kelas (1)
Eti Kristina Rusdi (1611080310)
Heni Pertiwi (1611080347)
Syifaurrahmah (1611080312)
Wafi Hibatullah (1611080340)

KELAS F

BIMBINGAN DAN KOSELING PENDIDIKAN ISAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UIN RADEN INTAN LAMPUNG

2018

KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, penyusun panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang
telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayahnya kepada penyusun, sehingga
penyusun dapat menyelesaikan makalah ini sebatas pengetahuan dan kemampuan
yang dimiliki. Dan juga penyusun berterima kasih kepada Ibu Tri Dewantari,
M.Pd, selaku Dosen mata kuliah Isu-Isu BK dan Permasalahan Komunitas yang
telah memberikan tugas ini kepada penyusun.

Penyusun berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah


wawasan serta mengetahuan kita mengenai materi ini. Penyusun juga menyadari
sepenuhnya bahwa di dalam tugas ini terdapat kekurangan-kekurangan dan jauh
dari apa yang penyusun harapkan. Untuk itu, penyusun berharap adanya kritik,
saran dan usulan demi perbaikan dimasa yang akan datang, mengigat tidak ada
sesuatu yang sempurna tanpa sarana yang membangun.

Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang


membacanya. Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi
penyusun sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya penyusun
mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang berkenan dan penyusun
mohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.

Bandar Lampung, 28 Februari 2018

Penyusun

DAFTAR ISI
COVER

KATA PENGANTAR ......................................................................................... i


DAFTAR ISI ........................................................................................................ ii

BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................
B. Rumusan Masalah .....................................................................................
C. Tujuan Pembahasaan .................................................................................

BAB II: PEMBAHASAN

A. Tantangan Menjangkau Beragam Populasi Klien ...................................


B. Kode Etik dalam Prespektif Keberagaman ..............................................
C. Nilai Budaya dan Asumsi dalama Terapi .................................................

BAB III: PENUTUP

A. Kesimpulan ...............................................................................
BAB I

PENDHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kelompok manusia mengisyaratkan suatu kehidupan yang selanjutnya


ditampilkan dalam bentuk kebersamaan komunitas masyarakat tertentu sesuai
keberadaannya di belahan dunia. Indonesia menjadi salah satu bagian dari
belahan dunia tersebut, dan terdapat bangsa lain yang menempati belahan
lainnya. Suatu bangsa dan bangsa lainnya saling mempengaruhi dalam
berbagai segmen kehidupan, sehingga sangat memungkinkan saling
ketergantungan antara satu bangsa dan bangsa lainnya. Keterkaitan tersebut
dapat bermuara pada dua kemungkinan, yaitu hal-hal yang bernilai positif dan
hal-hal yang bernilai negatif. Kedua hal tersebut dapat memberi pengaruh
terhadap keberadaan suatu bangsa pada era globalisasi saat ini, dimungkinkan
terjadinya benturan antar peradaban yang dapat disebabkan oleh faktor
ekonomi, politik, sosial, budaya, hukum, bahasa, dan agama.

Kesenjangan antara harapan dan realitas tentang bingkai harmonisasi yang


tercipta dalam suatu keragaman menjadi penting untuk diperbincangkan hingga
tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Kondisi tersebut membutuhkan perekat
atau wadah persatuan dan persamaan ide, gagasan, pendapat, dan bahkan
perlakuan yang terlihat saling menghargai melalui kondisi multikultural
tersebut. Pelaksanaan pendidikan memegang peran penting dalam mewujudkan
wadah persatuan berbasis multikultural, mengingat bahwa perbedaan tidak
seharusnya menjadi pembeda atau hambatan melainkan dijadikan sebagai
tumpuan untuk saling memahami keberadaan masing-masing. Jelas saja,
Indonesia dalam profil ini membutuhkan model pendidikan yang dapat
mengakomodir keragaman budaya, khususnya bahasa sebagai alat komunikasi
dalam kemajemukan tersebut.

Bangsa Indonesia memiliki keanekaragaman budaya yang biasa disebut


dengan masyarakat multikultural. Pada kondisi ini, dibutuhkan orang-orang
yang mampu berkomunikasi antar budaya dan mempunyai pengetahuan
tentang perbandingan pola-pola budaya, serta komunikasi lintas budaya. Hal
ini dikarenakan keragaman masyarakat berpotensi menimbulkan segmentasi
kelompok, struktur yang terbagi-bagi, konsensus yang lemah, sering terjadi
konflik, integrasi yang dipaksakan, dan adanya dominasi kelompok, yang pada
akhirnya dapat melemahkan gerak kehidupan masyarakat itu sendiri.

Adapun komunikasi lintas budaya maupun antar budaya yang beroperasi


dalam masyarakat multikultural mengandung lima unsur penting, yakni:
pertemuan berbagai kultur dalam waktu dan tempat tertentu; pengakuan
terhadap multikulturalisme dan pluralisme serta perubahan perilaku individu.
Oleh karena itu, proses dan praktik komunikasi antar budaya maupun lintas
budaya sangat dibutuhkan yang berfungsi sebagai solusi atas permasalahan
tersebut. Proses dan praktik komunikasi yang efektif sangat ditentukan oleh
tingkat pengetahuan seseorang tentang jenis, derajat dan fungsi, bahkan makna
perbedaan antar budaya. Semakin tinggi tingkat pengetahuan sosial budaya
seseorang tentang perbedaan varian pola-pola budaya, semakin besar pula
peluang untuk dapat berkomunikasi antar budaya. Sebaliknya, semakin
rendah tingkat pengetahuan tentang perbedaan varian pola-pola budaya,
semakin kecil pula peluang untuk berkomunikasi antar budaya.

B. Rumusan Masalah

1. Apa saja tantangan yang dapat menjangkau beragam populasi klien?


2. Apa saja kode etik dari prespekrif keberagaman?
3. Apa saja nilai budaya dan asumsi dalam terapi?

C. Tujuan Pembahasan
1. Mengetahui tantangan yang dapat menjangkau beragam populasi klien
2. Mengetahui kode etik dari prespektif keberagaman
3. Mengetahui nilai budaya dan asumsi dalam terapi
BAB II

PEMBAHASAN

A. Tantangan Menjangkau Beragam Populasi Klien

Terbentuknya populasi yang berkomunitas bernama masyarakat adalah


implikasi logis dari realisasi kemanusiaan dengan fitrahnya sebagai homo
socious (makhluk bermasyarakat). Hubungan antar individu dengan keinginan
dan tujuan yang sama pada akhirnya membentuk sebuah sistem sosial yang
dinamakan masyarakat. Dalam pandangan (Koentjaraningrat, 1990, p. 138),
masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu
sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kolektif dimana manusia itu bergaul
dan berinteraksi. Interaksi antar individu dengan keinginan dan tujuan yang
sama tersebut pada akhirnya melahirkan kebudayaan. Masyarakat adalah suatu
organisasi manusia yang saling berhubungan satu sama lain, sementara
kebudayaan adalah suatu sistem norma dan nilai yang terorganisasi yang
menjadi pegangan bagi masyarakat tersebut. Melalui kebudayaan, manusia
menciptakan tatanan kehidupan yang ideal di muka bumi.

Secara harfiah, kata kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta


buddhayah, ialah bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal.
Demikian kebudayaan itu dapat diartikan hal-hal yang bersangkutan dengan
budi dan akal (Koentjaraningrat, 1994, p. 9). Mempertegas pendapatnya,
(Koentjaraningrat, 1990, p. 181) mengemukakan adanya sarjana lain yang
mengupas kata budaya sebagai perkembangan dari majemuk budi-daya, yang
berarti daya dari budi. Karena itu mereka membedakan budaya dari
kebudayaan. Demikianlah budaya adalah daya dari budi yang berupa cipta,
karsa dan rasa itu.

Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dikemukakan bahwa kebudayaan


adalah segala sesuatu yang dipelajari dan dialami bersama secara sosial oleh
para anggota suatu masyarakat. Hal tersebut dipertegas oleh pendapat Soekanto
yang menyatakan bahwa budaya terdiri dari segala sesuatu yang dipelajari dari
pola-pola perilaku yang normatif, yang mencakup segala cara atau pola-pola
berfikir, merasakan dan bertindak (Soekanto, 2003).

Secara empirik, masyarakat Indonesia adalah sebuah masyarakat yang


majemuk. Dalam kajian Furnival (Hefner, 2007, p. 16; Nasikun, 2007, p. 33)
masyarakat majemuk (plural society) adalah masyarakat yang terdiri dari dua
atau lebih elemen atau tatanan sosial yang hidup berdampingan, namun tanpa
membaur dalam satu unit politik yang tunggal. Bahkan (Hefner, 2007)
memperkuat pernyataan Furnival di atas dengan menggambarkan tantangan
pluralisme budaya yang dimiliki Indonesia secara lebih mencolok dan
dianggap sebagai lokus klasikbagi bentukan masyarakat majemuk.

Clifford Geertz (1996) sebagaimana ditulis (Hardiman, 2002) mengakui


sulit melukiskan anatomi Indonesia secara persis. Negara ini, bukan saja
multietnis (seperti Dayak, Kutai, Makasar, Bugis, Jawa, Sunda, Batak, Aceh,
Flores, Bali, dan seterusnya), tetapi juga menjadi medan pertarungan pengaruh
multimental dan ideologi (seperti India, Cina, Belanda, Portugis, Hinduisme,
Budhisme, Konfusianisme, Islam, Kristen, Kapitalisme, dan seterusnya).
Geertz juga melukiskan Indonesia sebagai sejumlah ‘bangsa’ dengan ukuran,
makna dan karakter yang berbeda-beda yang melalui sebuah narasi agung yang
bersifat historis, ideologis, religius atau semacam itu disambung-sambung
menjadi sebuah struktur ekonomis dan politis bersama.

Dalam masyarakat Indonesia yang majemuk itu, ada dua istilah yang
penting dipahami yaitu kemajemukan (pluralitas) dan keanekaragaman
(heterogenitas). Pluralitas sebagai kontraposisi dari singularitas
mengindikasikan adanya suatu situasi yang terdiri dari kejamakan, dan bukan
ketunggalan (Kusumohamidjojo, 2000, p. 45). Artinya, dalam “masyarakat
Indonesia” dapat dijumpai berbagai subkelompok masyarakat yang tidak bisa
disatukelompokkan satu dengan yang lainnya. Adanya tidak kurang dari 500
suku bangsa di Indonesia menegaskan kenyataan itu. Demikian pula halnya
dengan kebudayaan mereka. Sementara heterogenitas yang merupakan
kontraposisi dari homogenitas mengindikasikan suatu kualitas dari keadaan
yang menyimpan ketidaksamaan dalam unsur-unsurnya (Kusumohamidjojo,
2000, p. 45). Artinya, masing-masing subkelompok masyarakat itu beserta
kebudayaannya bisa sungguh-sungguh berbeda satu dari yang lainnya. Dalam
tulisan ini, pluralitas dan heterogenitas akan dipakai secara bergantian sebagai
kebhinnekaan.

Sehingga dalam menghadapi berbagi tantangan populasi yang akan di


hadapi oleh klien atau konseli, seperti yang sudah dijelaskan diatas. Dalam
keberagaman yang ada di dalam populasi dan komunitas terkhusus bangsaa
Indonesia yang dikenal dengan keberagamannya maka konsep Bhenika
Tunggal Ika dapat menjadi pemersatu sebuah tantangan keberagaman dalam
populasi baik itu dalam budaya, adat istiadat, agama, sosial maupun politik.
terhadap populasi luar atau bangsa lain maka adanya HAM dapat menciptakan
sebuah konsep toleransi dalam sebuah populasi sehingga tantangan
keberagaman dapat menjangkau sebuah tujuan yang kelak dapat
mempersatukan segala perbedaan dan keberagaman dalam suatu populasi suatu
komunitas bermasyarakat.

Kesulitan yang lain adalah terkait pengidentifikasian bagian-bagian dari


keanekaragaman budaya. Terkait dengan hal ini, terminologi ‘budaya’,
‘peradaban’, dan ‘masyarakat’ memiliki konotasi yang berbeda tergantung dari
konteks, contohnya konteks ilmu pengetahuan atau politik. Apabila ‘budaya’
mengacu pada entitas yang cenderung tidak bisa lepas dari hubungannya
dengan manusia lain

Keanekaragaman budaya semakin menjadi masalah sosial yang besar,


terkait dengan semakin tumbuhnya keanekaragaman aturan sosial di dalam dan
di antara masyarakat (yang berbeda). Ketika berhadapan dengan
keanekaragaman aturan dan tampilan tersebut, Negara terkadang bingung
dalam bagaimana menyikapi atau menempatkan keanekaragaman budaya
sebagai kepentingan bersama. Untuk dapat menanggapi secara spesifik situasi
seperti ini, laporan ini berupaya menyediakan suatu kerangka kerja berdasarkan
pemahaman terkini akan berbagai tantangan yang terkandung dalam
keanekaragaman budaya, dengan mengidentifikasi beberapa kendala teoretis
dan politis yang tak terpisahkan darinya.

B. Kode Etik dalam Prespektif keberagaman

Banyak kalangan yang meninjau keanekaragaman melalui beragam bentuk


representasi budaya, khususnya karakterisasi etnis dan bahasa, untuk
memahami budaya mereka yang heterogen. Tantangan yang pertama adalah
meneliti berbagai kebijakan yang terkait tanpa melupakan topik yang
sesungguhnya, yaitu keanekaragaman budaya dan bukan representasinya yang
terkadang melemahkan. Salah satu solusinya adalah dengan mengadopsi
definisi budaya yang paling luas, yang sejalan dengan kesepakatan UNESCO
dalam Deklarasi Mexico City tentang Kebijakan Budaya 1982.

Mendefinisikan keberagaman adalah komponen budaya sebagai perpaduan


menyeluruh dari berbagai fitur spiritual, material, intelektual, dan emosional
yang masing-masing memiliki karakter tersendiri yang membedakan suatu
masyarakat atau kelompok sosial termasuk di dalamnya tidak hanya seni dan
huruf, tetapi juga cara-cara hidup, hak-hak asasi manusia, sistem nilai, tradisi,
dan kepercayaan. Definisi ini memiliki kelebihan karena tidak mengadopsi
definisi budaya yang terlalu sempit maupun yang hanya memusatkan perhatian
pada aspek tertentu saja (misalnya: agama) dalam upaya mendefinisikan
budaya.

Istilah etika digunakan pertama kali oleh Filusuf Yunani, yaitu Aristoteles
dalam menunjukan filsafat moral. Secara etimologis, menurut K. Bartens, etika
ialah suatu ilmu yang biasa dilakukan dalam adat kebiasaan. Kebangsaan
diartikan sebagai ciri-ciri yang menandai suatu golongan bangsa. Jadi istilah
Etika Kebangsaan ialah suatu tingkah laku dan tutur kata dari suatu golongan
bangsa berdasarkan kesamaan norma-norma, nilai-nilai dan prinsip dasar yang
telah diwariskan. Dalam hal ini etika kebangsaan dapat dijabarkan ke dalam
empat poin, yaitu;

1. mengurangi terjadinya konflik/kekerasan pada kaum minoritas.


2. meningkatnya nilai-nilai kebangsaan dan tali persaudaraan.
3. menghargai ( toleransi) pendapat dari pemeluk umat beragama dan
4. terciptannya perdamaian dan kenyamanan yang dapat dirasakan di seluruh
lapisan masyarakat.
C. Nilai Budaya dan Asumsi dalam Terapi

Dengan merujuk pendapat J.J. Honigmann yang membedakan tiga gejala


kebudayaan, yaitu:

a. ideas,
b. activities, dan
c. artifact,
Koentjaraningrat (1990, p. 186; 1994, p. 5) berpendirian bahawa
kebudayaan itu memiliki tiga wujud, yaitu:
1. wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-
nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya.
2. wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktifitas kelakuan berpola dari
manusia dalam masyarakat.
3. wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Ketiga wujud kebudayaan tersebut di masyarakat tidak dapat dipisahkan
satu sama lain, sehingga sebagai kesatuan yang utuh, kebudayaan itu
memberikan arah terhadap pikiran, tindakan, dan hasil karya masyarakat.
Kebudayaan ideal bersifat abstrak, ia merupakan kompleks dari ide-ide,
gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan-peraturan dan sebagainya, yang
berfungsi sebagai pengatur, pengendali, dan pemberi arah kepada kelakuan dan
perbuatan manusia dalam masyarakat. Wujud kebudayaan pertama ini sering
disebut sebagai sistem budaya (cultural sistem).
Wujud kebudayaan sebagai sistem sosial (social sistem) bersifat konkret,
karena terdiri dari aktifitas-aktifitas manusia yang berinteraksi, berhubungan
serta bergaul satu dengan yang lain dengan mengikuti pola-pola tertentu.
Sedangkan wujud kebudayaan fisik (physical culture atau material culture)
merupakan seluruh total hasil fisik dari aktifitas perbuatan, dan karya semua
manusia dalam masyarakat, oleh karena itu sifatnya jauh lebih konkret.

Secara umum komponen kebudayaan adalah: alam pikiran ideologis dan


religius, bahasa, hubungan sosial, perekonomian, ilmu pengetahuan dan
teknologi, kesenian, politik dan pemerintahan, pewarisan kebudayaan dan
pendidikan. Kebudayaan mempunyai tanda atau ciri-ciri yang spesifik. Ciri
khas yang melekat pada kebudayaan ialah komunikatif, dinamis, dan
disfertif. Namun, walaupun kebudayaan itu komunikatif, kebudayaan
merupakan lapisan-lapisan atau stratifikasi. Sifat komunikatif kebudayaan
disebabkan adanya unsur-unsur lama dan baru dalam pertumbuhan dan
perkembangan kebudayaan. Hal ini jelas pada historiografi kebudayaan.

Jadi, kebudayaan mempunyai sifat kompleks, banyak seluk beluknya dan


merupakan totalitas, serta keseluruhan, yang meliputi pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, moral, hukum, custom, kapabilitas dan kebijaksanaan
yang diperoleh manusia dalam masyarakat. Pencipta kebudayaan adalah
manusia, sedangkan fokus kebudayaan adalah masyarakat. Selain itu, dalam
kebudayaan terdapatpenegasan bahwa kebudayaan dapat dikomunikasikan
dan ditundukkan, sebab kebudayaan merupakan social heritage, yakni
sebagai warisan sosial yang bersifat totalitas dan kompleks.

Calon konselor merupakan mahasiswa bimbingan dan konseling yang


berada pada situasi dimana ketika nanti terjun ke lapangan harus memahami
dan mempersiapkan diri dan belajar banyak tentang multibudaya yang ada di
Indonesia. Tantangan konselor di era global bertambah dengan adanya media
social dan banyaknya video serta foto yang menyangkut tentang budaya
masing-masing daerah. Rasa kental masing masing budaya yang ada
ditimbulkan oleh siswa yang berada dalam lingkup yang berbeda.

Locke (1992) dan Jackson & Wasson (2003) mengemukakan bahwa untuk
mencapai kesadaran multikultural, seseorang terlebih dahulu harus mengenali
buadanya sendiri. Jackson dan Wasson (2003) menjelaskan lebih lanjut, bahwa
mengenali budaya sendiri bukan berkenaan dengan cara membina hubungan
dengan dunia yang memiliki keragaman budaya, tapi lebih pada cara membina
budaya individu itu sendiri yang beragam dengan dunia lainnya yang juga
beragam. Lebih lanjut, Locke (1992) memaparkan bahwa proses tercapainya
kesadaran akan keragaman budaya melalui kontinum budaya, dimana
seseorang terlebih.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Anda mungkin juga menyukai