Anda di halaman 1dari 8

Wawancara Klinis Menggunakan Multi Representasi Pada Kesulitan Siswa

Dalam Penjumlahan Pecahan Di SMP

Oleh :
Ika Nurhidayati

Pembimbing :
Sugiatno
Dwi Astuti

Fakultas KIP Universitas Tanjungpura

Abstrak : Penelitian ini bertujuan mengungkap dampak wawancara


klinis berbantuan LKS berbasis scaffolding menggunakan multi
representasi di kelas VII D SMP Kemala Bhayangkari 1 Kubu Raya
dalam mengatasi kesulitan siswa pada penjumlahan pecahan. Metode
penelitian yang digunakan adalah deskriptif. Bentuk penelitian yang
digunakan adalah studi kasus. Subjek penelitian adalah 4 orang siswa
kelas VII D SMP Kemala Bhayangkari 1 Kubu Raya yang mengalami
kesulitan pada penjumlahan pecahan. Hasil analisis data menunjukkan
bahwa setelah diberikan wawancara klinis, setiap subjek penelitian
mendapat nilai di atas standar KKM ( ≥ 60), kesalahan-kesalahan yang
dilakukan dalam menyelesaikan soal pre test dapat diminimalisir
(dilihat dari hasil post test) dan waktu yang diperlukan masing-masing
subjek penelitian untuk memahami konsep pecahan kurang dari waktu
yang ditentukan (< 90 menit).

Kata kunci : Wawancara Klinis, scaffolding, multi representasi


PENDAHULUAN
Wawacara klinis merupakan satu di antara pendekatan yang bermanfaat untuk
mengatasi kesulitan belajar matematika. Wawancara klinis menurut Ginsburg,
Kossan, Schwartz, dan Swanson (1983) dan Heirdsfield (2005) memiliki beberapa
kelebihan, antara lain pemikiran matematika siswa dapat terungkap secara efektif karena
cara yang digunakan bersifat personal dan adaptif terhadap kebutuhan psikologis siswa.
Selain itu, Schorr dan Gisburg (2000) dan Buschman (2001) berpendapat bahwa
wawancara klinis dapat digunakan untuk memperlengkap pengajaran individual
dalam mengatasi kesulitan matematika yang dialami siswa. Wawancara klinis juga
terbukti memenuhi kebutuhan personal siswa (Buschman, 2001).
Penelitian sebelumnya mengenai wawancara klinis, antara lain dilakukan
Jayanti (2010), Lusiana (2011), dan Yanti (2011). Namun demikian, wawancara
klinis yang dilakukan mereka belum ada yang memanfaatkan scaffolding dengan
multi representasi untuk membantu kesulitan belajar matematika siswa. Selain itu,
hasil studi pendahuluan peneliti di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Kemala
Bhayangkari 1 Kubu Raya tahun pelajaran 2012/2013 menunjukkan bahwa di kelas
bukan hanya multi representasi yang belum digunakan guru untuk menyajikan
pelajaran matematika, tetapi wawancara klinis juga belum banyak dikenal oleh guru
(Nurhidayati, 2012). Kecenderungan yang terjadi di kelas, guru mengatasi kesulitan
matematika siswa hanya dengan pengajaran ulang dan dilakukan secara klasikal
(Jayanti, 2010; Lusiana, 2011). Potensi potensi reprentasi matematis siswa secara
personal terkesan kurang diberdayakan di dalam pengajaran matematika.
Oleh karena kecenderungan pengajaran matematika yang seperti itu, rasional
jika beberapa materi pelajaran, antara lain penjumlahan pecahan menjadi satu di
antara materi pelajaran yang tetap menyulitkan siswa SMP. Kesulitan mereka
cenderung berulang dari waktu ke waktu. Kondisi seperti inilah yang memotivasi
peneliti untuk mengatasi kesulitan penjumlahan pecahan di SMP, yaitu
menggunakan wawancara klinis dengan scaffolding melalui Lembar Kerja Siswa
(LKS) berbantuan multi representasi matematis.
METODE
Metode penelitian yang digunakan untuk mengatasi kesulitan penjumlahan
pecahan siswa SMP adalah tindakan pedagogis. Metode penelitian ini dipandang
sesuai, karena berorientasi pada pemecahan masalah yang bertujuan untuk
mendeskripsikan upaya yang dilakukan guru dalam mengatasi masalah
pembelajarannya (Sulipan, 2010).
Desain penelitian studi kasus dipandang sesuai dengan tindakan pedagogis
yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan personal dalam mempelajari
penjumlahan pecahan. Bagan dari desain studi kasus adalah sebagai berikut.
• Mengeksplorasi siswa yang mengalami kesulitan penjumlahan pecahan;
• Menentukan siswa yang menjadi klien untuk diberi tindakan pedagogis
melalui wawancara klinis dengan LKS berbasis scaffolding berbantuan
Pretest multi representasi.

• Secara personal klien diwawancarai klinis dengan LKS berbasis


scaffolding berbantuan multi representasi.
Treatment

• Mengases efek dari perlakuan berupa wawancara klinis dengan LKS


berbasis scaffolding berbantuan multi representasi terhadap klien.
Post-test

Bagan 1 Desain Studi Kasus

Sebanyak 24 siswa yang terlibat dalam tes awal. Setelah dieksplorasi ada 4
siswa yang mengalami kesulitan paling banya dalam materi penjumlahan pecahan.
Keempat siswa tersebut, yaitu AP, DB, JR dan MD dijadikan klien untuk
diwawancarai secara klinis dengan LKS berbasis scaffolding berbantuan multi
representasi. Wawancara klinis untuk masing-masing klien diberikan secara
berbeda. Perbedaannya, dapat disajikan melalui Tabel 1.

Tabel 1 Pemberian LKS berbasis Scaffolding dengan Multi Representasi


Siswa Jenis LKS berbasis Scaffolding
AP Verbal-Figural
DB Verbal-Simbolik
JR Figural-Simbolik
MD Verval-Figural-Simbolik
Setelah diberi wawancara klinis seperti pada Tabel 1, maka untuk mengenai efek
pemberian wawancara klinis tersebut kepada keempat subjek diberi post-test.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil pre-test menunjukkan bahwa subjek AP, DB, JR, dan MD termasuk ke
dalam kelompok siswa yang paling rendah mendapat skor penjumlahan pecahan.
Namun setelah diberi wawancara klinis dan diberi post-test diperoleh hasil seperti
bagan berikut.

0 20 40 60 80 100

31.25
AP 93.75

25.00
DB 78.13

31.25
JR 84.38

40.63
MD 87.50

Hasil Pre Test Hasil Post Test

Bagan 2 Hasil Pretest dan Post-test


Berdasarkan Bagan 2, perubahan hasil pret-test dan post-test keempat subjek
terjadi disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, dikarenakan adanya wawancara
klinis. Dari hasil beberapa penelitian menunjukkan bahwa wawancara klinis dapat
digunakan untuk mengatasi kesulitan matematika siswa (Robeka, 2012 dan
Christianti, 2012). Teratasinya kesulitan matematika siswa dikarenakan wawancara
klinis menjadi sarana untuk guru memahami siswa secara individu (Schoor, 2001;
Arias, Schoor, dan Warner, 2010).
Kedua, di dalam penelitian ini kelebihan wawancara klinis diperkuat oleh
sajian multi representasi. Menurut pendapat beberapa ahli, setiap anak memiliki
perbedaan gaya belajar untuk memperoleh pengetahuan, sehingga dalam proses
pembelajaran guru perlu melakukan beberapa representasi di kelas untuk
meningkatkan pemahaman siswa (Hwang, 2002; Ainsworth, 2002; Amato, 2004;
Hwang, Chen, Dung & Yang, 2007; Gagatsis, 2004). Penggunaan multi
representasi memberikan pengaruh yang positif terhadap pemahaman konsep
siswa. Hal ini didukung oleh beberapa penelitian terdahulu, yaitu Muharni (2010),
Hudiono (2007).
Ketiga, dalam pelaksanaan wawancara klinis, peneliti memberi LKS untuk
mempermudah proses wawancara. LKS tersebut memuat penyajian konsep
menggunakan multi representasi, contoh soal, alternatif jawaban dan soal-soal
latihan. Ketika subjek kesulitan dalam memahami konsep, peneliti memberi
bantuan yang berupa petunjuk dalam memecahkan masalah, dorongan, peringatan,
menguraikan masalah ke dalam pemecahan masalah, memberikan contoh,
memahami permasalahan dan kesulitan siswa, memahami kecerdasan dan gaya
belajar siswa dan tindakan-tindakan lain yang memungkinkan siswa itu belajar
mandiri. Secara singkat bantuan semacam ini disebut dengan scaffolding (Taylor
dalam Sugiatno, 2010 dan Vygotsky dalam Ellis, 2008). Beberapa penelitian
terdahulu menunjukkan penggunaan scaffolding dalam pembelajaran matematika
memberikan hasil yang memuaskan (Machmud, 2011; Inayati, 2009).
Pada saat proses wawancara klinis, hal yang dilakukan peneliti terhadap
setiap subjek berbeda-beda. Untuk subjek AP, sebelum diberikan wawancara klinis
AP mengalami hambatan pada tahap konseptual untuk setiap butir soal (soal nomor
1, 2, 3, 4, 5, 6,7 dan 8). Pada saat wawancara klinis, dilakukan beberapa hal yaitu:
(1) Peneliti menscaffolding AP untuk memahami konsep pecahan menggunakan
LKS dengan penyajian konsep secara gabungan verbal dan figural; (2) Peneliti
menscaffolding AP untuk memahami konsep penjumlahan pecahan biasa
berpenyebut sama dan tak sama menggunakan LKS dengan penyajian konsep
secara gabungan verbal dan figural; (3) Peneliti mengingatkan AP jika akan
menyelesaikan soal berbentuk cerita, maka dituliskan apa yang diketahui, ditanya,
prosedur penyelesaian dan kesimpulan.
Untuk subjek DB, sebelum diberikan wawancara klinis DB mengalami
hambatan pada tahap konseptual (soal nomor 5, 6,7 dan 8). Pada saat wawancara
klinis, dilakukan beberapa hal yaitu: (1) Peneliti menscaffolding DB untuk
memahami konsep pecahan menggunakan LKS dengan penyajian konsep secara
gabungan verbal dan simbolik; (2) Peneliti menscaffolding DB untuk memahami
konsep penjumlahan pecahan biasa berpenyebut sama dan tak sama menggunakan
LKS dengan penyajian konsep secara gabungan verbal dan simbolik; (3) Peneliti
mengingatkan DB jika akan menyelesaikan soal berbentuk cerita, maka dituliskan
apa yang diketahui, ditanya, prosedur penyelesaian dan kesimpulan; (4) Peneliti
mengingatkan DB jika akan menyelesaikan suatu soal harus teliti, setelah dijawab
harus dicek kembali untuk memeriksa apakah ada yang keliru atau salah tulis.
Untuk subjek JR, sebelum diberikan wawancara klinis JR mengalami
hambatan pada tahap konseptual untuk setiap butir soal (soal nomor 1, 2, 3, 4, 5,
6,7 dan 8). Pada saat wawancara klinis, dilakukan beberapa hal yaitu: (1) Peneliti
menscaffolding JR untuk memahami konsep pecahan menggunakan LKS dengan
penyajian konsep secara gabungan figural dan simbolik; (2) Peneliti menscaffolding
JR untuk memahami konsep penjumlahan pecahan biasa berpenyebut sama dan tak
sama menggunakan LKS dengan penyajian konsep secara gabungan figural dan
simbolik; (3) Peneliti mengingatkan JR jika akan menyelesaikan soal berbentuk
cerita, maka dituliskan apa yang diketahui, ditanya, prosedur penyelesaian dan
kesimpulan; (4) Peneliti mengingatkan JR bahwa apapun hasil pekerjaan kita
sendiri akan lebih dihargai daripada menjiplak hasil pekerjaan orang lain.
Untuk subjek MD, sebelum diberikan wawancara klinis MD mengalami
hambatan pada tahap konseptual untuk setiap butir soal (soal nomor 1, 2, 3, 4, 5,
6,7 dan 8). Pada saat wawancara klinis, dilakukan beberapa hal yaitu: (1) Peneliti
menscaffolding MD untuk memahami konsep pecahan menggunakan LKS dengan
penyajian konsep secara gabungan verbal, figural dan simbolik; (2) Peneliti
menscaffolding MD untuk memahami konsep penjumlahan pecahan biasa
berpenyebut sama dan tak sama menggunakan LKS dengan penyajian konsep
secara gabungan verbal, figural dan simbolik; (2) Peneliti mengingatkan MD jika
akan menyelesaikan soal berbentuk cerita, maka dituliskan apa yang diketahui,
ditanya, prosedur penyelesaian dan kesimpulan; (3) Peneliti mengingatkan MD jika
akan menyelesaikan suatu soal harus teliti, setelah dijawab harus dicek kembali
untuk memeriksa apakah ada yang keliru atau salah tulis.
Pada pelaksanaan wawancara klinis tahap treatment, setiap subjek dapat
memahami konsep penjumlahan pecahan tidak melampaui waktu yang ditentukan,
yaitu 90 menit. Masing-masing subjek (AP, DB, JR, dan MD) memerlukan waktu
berturut-turut: 74 menit, 71 menit, 62 menit, dan 58 menit.
Meskipun setiap subjek penelitian diberikan sajian yang berbeda-beda pada
saat pelaksanaan wawancara klinis, namun memberikan hasil yang melampaui nilai
60 dan bervariasi. Hasil ini didukung oleh beberapa studi mengenai wawancara
klinis dan studi mengenai multi representasi. Bervariasinya nilai tersebut didukung
oleh hasil penelitian Hudiono (2007) dan Muharni (2010). Sedangkan penggunaan
wawancara klinis didukung oleh Jayanti (2010), Lusiana (2011) dan Yanti (2011).

SIMPULAN
Wawancara klinis berbantuan LKS berbasis scaffolding menggunakan multi
representasi ternyata dapat mengatasi kesulitan penjumlahan pecahan pada siswa
kelas VII D SMP Kemala Bhayangkari 1 Kubu Raya. Hal ini ditandai dengan
adanya peningkatan dari hasil pre-test dan post-test serta waktu yang digunakan
untuk memahami konsep penjumlahan pecahan kurang dari 2 jam pelajaran.

SARAN
Pembelajaran individual melalui wawancara klinis menggunakan multi
representasi perlu dipertimbangkan sebagai salah satu alternatif dalam upaya
perbaikan mutu pembelajaran matematika.

DAFTAR RUJUKAN

Buschman, L. 2001. Using student interviews to guide classroom instruction: An


action research project. Teaching Children Mathematics.
Confrey, Jere. 1980. Clinical interviewing: Its potential to reveal insight in
mathematics education. Proceedings of the 4th International Conference
for PME. Berkeley, CA: University of California Press.
Ellis, Jeanne Ormrod. 2008. Psikologi Pendidikan Membantu Siswa Tumbuh Dan
Berkembang. Jakarta. PT Gelora Aksara Pratama.

Fakhrurrozi, M & Dermawan. 2009. Wawancara Klinis. Artikel: (online)


http://maonepsi.wordpress.com/2009/10/09/wawancara-klinis/ (Tanggal
akses 13 April 2011, pukul 12.45).

Schoor, R. Y., Ginsburg, H. P. 2000. Using clinical interviews to promote pre-


service teachers’ understanding of children’s mathematical thinking.
Proceedings of the 22nd Annual Meeting of the North American Chapter of
the International Group for the Psychology of Mathematics Education.
Tucson, Arizona, USA.

Robeka, 2012 (skripsi STKIP) Mengatasi kesulitan siswa dalam menentukan nilai
akar kuadrat suatu bilangan melalui wawancara klinis di kelas VII SMP
Negeri 2 Mandor kecamatan mandor kabupaten landak.

Tarsila Christianti, 2012 (skripsi STKIP) mengatasi kesulitan siswa dalam


menyelesaiakn limit fungsi aljabar menggunakan wawancara klinis di kelas
XI SMA Benesiktus Pahauman.

Lusiana (2012), Mengatasi kesulitan siswa pada sub materi limit fungsi rasional
melalui wawancara klinis berbantuan recheck menggunakan teorema
l’hopital di kelas XI SMA Negeri 1 sambas. FKIP UNTAN

MISAL AP, MEMRLUKN waktu berapa menit. konsep yang dapat diatasi
bagaimana ,,,apa yang tejadi (variasinya
jawaban (cara mereka menjawab) dari contoh dimasukkan.
penggalan wawancara klinis setiap subjek.

Anda mungkin juga menyukai