Anda di halaman 1dari 5

2.

Asas Kedua : Pengelolaan Kepemilikan ( At Tasharruf Fi Al Milkiyah)

Pengelolaan kepemilikan adalah sekumpulan tatacara yang berupa hukum-hukum syara’


yang wajib dipegang seorang muslim tatkala memanfaatkan harta yang dimilikinya. Secara garis
besar, pengelolaan kepemilikan mencakup dua kegiatan yaitu :

1. Pembelanjaan Harta (Infaqul Mal)

Dalam pembelanjaan harta milik individu, islam memberikan tuntunan bahwa harta tersebut
haruslah dimanfaatkan untuk nafkah wajib seperti nafkah keluarga, infak fi sabilillah dan
membayar zakat. Syariah telah memberikan panduan kepada kita dalam berinfaq atau
membelanjakan harta. Allah dalam banyak ayat dan Rasul SAW dalam banyak hadis telah
memerintahkan kita agar menginfaqkan (membelanjakan) harta yang kita miliki. Allah juga
memerintahkan agar seseorang membelanjakan harta untuk dirinya sendiri (QS at-Taghabun: 16)
serta untuk menafkahi istri dan keluarga menurut kemampuannya (QS ath-Thalaq: 7).

‫ط ْعت ُ ْم َوا ْس َمعُوا َوأ َ ِطيعُوا َوأَن ِفقُوا َخ ْي ًرا ِِّلَنفُ ِس ُك ْم‬
َ َ ‫َّللاَ َما ا ْست‬
َّ ‫فَاتَّقُوا‬

َ‫ش َّح نَ ْف ِس ِه فَأُولَئِ َك ُه ُم ْال ُم ْف ِل ُحون‬


ُ َ‫َو َمن يُوق‬

Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta
taatlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. Dan barangsiapa yang dipelihara dari
kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS. At-Taghabun : 16)

Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang
yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah
kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah
berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.
(QS ath-Thalaq: 7).

2) Pengembangan Harta

Pengembangan harta (tanmiyatul mal) adalah kegiatan memperbanyak jumlah harta yang
telah dimiliki. Seorang muslim yang ingin mengembangkan harta yang telah dimiliki, wajib
terikat dengan ketentuan Islam berkaitan dengan pengembangan harta. Secara umum Islam telah
memberikan tuntunan pengembangan harta melalui cara-cara yang sah seperti jual-beli, kerja
sama syirkah yang Islami dalam bidang pertanian (Zira’ah) , perindustrian (Shina’ah) maupun
perdagangan (Tijarah). Selain itu, Islam juga melarang pengembangan harta yang terlarang
seperti :
1. Berjudi

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, sesunggunya meminum khamar, berjudi,


berkorban untuk berhala dan mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan-perbuatan keji
yang termasuk perbuatan syaitan.Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat
keberuntungan.Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan
kebencian diantara kamu lantaran meminum khamar dan berjudi itu dan menghalangi kamu dari
mengingat Allah dan shalat.Maka berhentilah kamu mengerjakan perbuatan itu”.
2. Riba
Secara bahasa, riba berarti ziyadah yaitu ‘tambahan’ dan dilihat dari sudut pandang
tehnis, riba adalah pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Sedangkan
dari segi istilah, menurut Dr. Yusuf Al-Qardhawi riba adalah ‘Setiap pinjaman yang di dalamnya
disyaratkan adanya tambahan tertentu.’ Sedangkan menurut ulama Hambali, riba adalah
‘kelebihan suatu harta tanpa penggantian di dalam suatu kontrak pertukaran harta dengan harta.
Sebagai tambahan, Syekh Muhammad Abduh mendefiniskan riba dengan; ‘penambahan-
penambahan yang diisyaratkan oleh orang yang memiliki harta kepada orang yang meminjam
hartanya karena pengunduran janji pembayaran oleh peminjam dari waktu telah ditentukan
(Syarief, 2011)

Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari hadits Abu Hurairah bahwa Nabi Shallallahu
‘alahi wa sallam bersabda:

{ ‫ق َوأ َ ْك ُل‬ ِ ِ ‫َّللا ُ إِ ََّّل بِ ْال َح‬


َّ ‫سِحْ ُر َوقَتْ ُل النَّ ْف ِس الَّتِي َح َّر َم‬
ِ ‫اَّلل ِ َوال‬َّ ِ‫ش ِْركُ ب‬ ِ ‫َّللاِ َو َما ه َُّن قَا َل ال‬
َّ ‫سو َل‬ ِ ‫س ْب َع ْال ُموبِقَا‬
ُ ‫ت قَالُوا يَا َر‬ َّ ‫ا ْجتَنِبُوا ال‬
ِ ‫ت ْالغَافِ ََل‬
‫ت‬ ِ ‫ت ْال ُمؤْ ِمنَا‬ ِ ‫صنَا‬ َ ْ‫ف ْال ُمح‬ ُ ْ‫ف َوقَذ‬ ِ ْ‫الزح‬َّ ‫الربَا َوأ َ ْك ُل َما ِل ْاليَتِ ِيم َوالت َّ َو ِلِي يَ ْو َم‬
ِ }

“Hindarilah tujuh hal yang membinasakan.” Ada yang bertanya: “Apakah tujuh hal itu wahai
Rasulullah?” Beliau menjawab: “Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa dengan cara
yang haram, memakan riba, memakan harta anak yatim, kabur dari medan perang, menuduh
berzina wanita suci yang sudah menikah karena kelengahan mereka. “

3. Rekayasa yang keterlaluan

Berdagang harus dengan keuntungan yang wajar tetapi tidak boleh keterlaluan. Standar
keuntungan harus mengikuti kondisi ekonomi dimasyarakat tersebut. Termasuk pula tidak boleh
menyembunyikan aib suatu barang yang akan dijual kepada pembeli. Biarlah pembeli
mengetahui kondisi yang sebenarnya dari suatu barang yang dijual sehingga pembeli mempunyai
hak untuk membeli atau tidak barang tersebut.
4. Menimbun Kekayaan
Ihtikar merupakan tindakan menyimpan harta atau menimbun barang yang
mengakibatkan melonjaknya harga pasar secara drastis disebabkan persediaan terbatas
atau stok barang yang hilang sama sekali dari pasar, sementara masyarakat sangat
membutuhkannya. Melakukan ihtikar merupakan ketamakan untuk menumpuk kekayaan
dan bukti keburukan moral lain. Untuk itu Rasul melarang menimbun barang-makanan
pokok-dengan ungkapan yang sangat keras.
“Dari Ma’mar bin Abdullah bin Nadhlah, ia berkata : tidak akan menimbun barang
kecuali orang yang bersalah (orang yang berbuat dosa).(H.R.Muslim)”.
5. Penetapan Harga oleh Permerintah(AT-TAS’IR AL-JABARI)
Nabi tidak bersedia menetapkan harga-harga walaupun pada saat harga- harga itu
membumbung tinggi. Ketidaksediaan itu didasarkan atas prinsip tawarmenawar secara sukarela
dalam perdagangan yang tidak memungkinkan pemaksaan cara-cara tertentu agar penjual
menjual barang-barang mereka dengan harga lebih rendah dari pada pasar selama perubahan-
perubahan harga itu disebabkan oleh faktor-faktor nyata dalam permintaan dan penawaran yang
tidak diikuti dengan dorongan-dorongan monopoli.

- negara, karena negara adalah wakil ummat. Meskipun menyerahkan kepada negara untuk
mengelolanya, namun Allah SWT telah melarang negara untuk mengelola kepemilikan
umum tersebut dengan jalan menyerahkan penguasaannya kepada orang tertentu.
Sementara mengelola dengan selain dengan cara tersebut diperbolehkan, asal tetap
berpijak kepada hukum-hukum yang telah dijelaskan oleh syara’.
- Adapun pengelolaan kepemilikan yang berhubungan dengan kepemilikan negara dan
kepemilikan individu nampak jelas dalam hukum-hukum baitul mal serta hukum-hukum
muamalah, seperti jual-beli, gadai (rahn), dan sebagainya. As Syari’ juga telah
memperbolehkan negara dan individu untuk mengelola masing-masing kepemilikannya,
dengan cara tukar menukar (mubadalah) atau diberikan untuk orang tertentu ataupun
dengan cara lain, asal tetap berpijak kepada hukum-hukum yang telah dijelaskan oleh
syara’.
1. Asas Ketiga : Distribusi Kekayaan di Tengah-tengah Manusia
Karena distribusi kekayaan termasuk masalah yang sangat penting, maka Islam
memberikan juga berbagai ketentuan yang berkaitan dengan hal ini. Mekanisme distribusi
kekayaan terwujud dalam sekumpulan hukum syara’ yang ditetapkan untuk menjamin
pemenuhan barang dan jasa bagi setiap individu rakyat. Mekanisme ini dilakukan dengan
mengikuti ketentuan sebab-sebab kepemilikan (misalnya, bekerja) serta akad-akad muamalah
yang wajar (misalnya jual-beli dan ijarah). Namun demikian, perbedaan potensi individu dalam
masalah kemampuan dan pemenuhan terhadap suatu kebutuhan, bisa menyebabkan perbedaan
distribusi kekayaan tersebut di antara mereka. Selain itu perbedaan antara masing-masing
individu mungkin saja menyebabkan terjadinya kesalahan dalam distribusi kekayaan. Kemudian
kesalahan tersebut akan membawa konsekuensi terdistribusikannya kekayaan kepada segelintir
orang saja, sementara yang lain kekurangan, sebagaimana yang terjadi akibat penimbunan alat
tukar yang fixed, seperti emas dan perak. Allah juga telah mengharamkan penimbunan emas dan
perak (harta kekayaan) meskipun zakatnya tetap dikeluarkan. Dalam hal ini Allah SWT
berfirman :
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah,
maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.” (QS.
At-Taubah : 34)

Syarief, M. Ibnu. 2011. Konsep Riba dalam Alquran dan Literatur Fikih. Al-Iqtishad 3(2)

Anda mungkin juga menyukai