A. Pengertian
Cedera kepala yang sinonimnya adalah trauma kapitis = head
injury = trauma kranioserebral = traumatic brain injury merupakan
trauma mekanik terhadap kepala baik secara langsung ataupun tidak
langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologis yaitu
gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik bersifat temporer
maupun permanent (PERDOSSI, 2006 dalam Musliha, 2010).
Menurut Pedoman Penanggulangan Gawat Darurat Ems 119
Jakarta (2008) dalam Musliha (2010), menyatakan bahwa trauma
atau cedera kepala ( Brain Injury ) adalah salah satu bentuk trauma
yang dapat mengubah kemampuan otak dalam menghasilkan
keseimbangan fisik, intelektual, emosional, sosial dan pekerjaan atau
dapat dikatakan sebagai bagian dari gangguan traumatik yang dapat
menimbulkan perubahan-perubahan fungsi otak.
Cidera kepala yaitu adanya deformasi berupa penyimpangan
bentuk atau penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan
dan perlambatan (accelerasi-decelerasi) yang merupakan perubahan
bentuk dipengaruhi oleh perubahan peningkatan pada percepatan
faktor dan penurunan kecepatan, serta notasi yaitu pergerakan pada
kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat perputaran pada
tindakan pencegahan (Donna, 2014).
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa,
trauma kepala adalah trauma pada kulit kepala, tengkorak dan otak
yang terjadi baik secara langsung maupun tidak langsung pada
kepala yang dapat mengakibatkan terjadinya penurunan kesadaran
bahkan sampai dapat menyebabkan kematian.
B. Etiologi
Cidera kepala biasanya disebabkan karena adanya:
1. Kecelakaan Lalu Lintas
2. Jatuh
3. Pukulan
4. Kejatuhan Benda
5. Kecelakaan Kerja
6. Cidera Lahir
7. Luka Tembak (Rosjidi, 2007)
C. Klasifikasi
Klasifikasi umum yang sering kita temui ada 3 bentuk :
1. Komotio Cerebri
Gangguan fungsi neurologik ringan yang terjadi sesaat dengan
gejala hilangnya kesadaran biasanya kurang dari 10 menit
dengan atau tanpa disertai amnesia retrograde, mual, muntah,
nyeri kepala, vertigo dan tanpa adanya kerusakan struktur otak.
2. Kontusio Cerebri
Gangguan fungsi neurologik dengan hilangnya kesadaran lebih
dari 10-15 menit disertai kerusakan otak tetapi kontinuitas otak
masih utuh.
3. Laseratio Cerebri
Gangguan fungsi neurologik disertai kerusakan otak yang berat
dengan fraktur tengkorak terbuka. Masa otak terkelupas keluar
dari rongga intracranial (Rosjidi, 2007)
Klasifikasi yang mendekati keadaan klinis adalah berdasarkan
nilai GCS yang dikeluarkan oleh The Traumatic Coma Data Bank
(Hudak dan Gallo, 1996 dalam Rosjidi, 2007). Kategori penentuan
Keparahan Cedera Kepala berdasarkan Nilai Skala Koma Glasglow:
F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Hb, leukosit, diferensiasi sel
Penelitian di RSCM menunjukkan bahwa leukositosis
dapat dipakai sebagai salah satu indikator pembeda antara
kontusio (CKS) dan komosio (CKR). Leukosit>17.000
merujuk pada CT scan otak abnormal, sedangkan angka
leukositosis >14.000 menunjukkan kontusio meskipun secara
klinis lama penurunan kesadaran <10 menit dan nilai SKG
13-15 adalah acuan klinis yang mendukung ke arah komosio.
b. Gula darah sewaktu (GDS)
Hiperglikemia reaktif dapat merupakan faktor risiko
bermakna untuk kematian dengan OR 10,07 untuk GDS 201-
220mg/dL dan OR 39,82 untuk GDS >220 mg/dL.
c. Ureum dan kreatinin
Pemeriksaan fungsi ginjal perlu karena manitol
merupakan zat hiperosmolar yang pemberiannya berdampak
pada fungsi ginjal. Pada fungsi ginjal yang buruk, manitol
tidak boleh diberikan.
d. Analisis gas darah
Dikerjakan pada cedera kranioserebral dengan kesadaran
menurun. pCO2 tinggi dan pO2 rendah akan memberikan
luaran yang kurang baik. pO2 dijaga tetap >90 mm Hg,
SaO2>95%, dan pCO2 30-35 mmHg.
e. Elektrolit (Na, K, dan Cl)
Kadar elektrolit rendah dapat menyebabkan penurunan
kesadaran.
f. Albumin serum (hari 1)
Pasien CKS dan CKB dengan kadar albumin rendah (2,7-
3,4g/dL) mempunyai risiko kematian 4,9 kali lebih besar
dibandingkan dengan kadar albumin normal.
g. Trombosit, PT, aPTT, fi brinogen
Pemeriksaan dilakukan bila dicurigai ada kelainan
hematologis. Risiko late hematomas perlu diantisipai.
Diagnosis kelainan hematologis ditegakkan bila trombosit
<40.000/mm3, kadar fibrinogen <40mg/mL, PT >16
detik, dan aPTT >50 detik
2. CT-Scan
Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikuler, dan
perubahan jaringan otak.
3. MRI
Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
4. Cerebral Angiography
Menunjukkan anormali sirkulasi cerebral, seperti : perubahan jaringan
otak sekunder menjadi edema, perdarahan dan trauma.
5. Serial EEG
Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
6. X-ray
Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis
(perdarahan/edema), fragmen tulang.
7. BAER
Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
8. PET
Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
9. CSF : Lumbal Punksi
Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid.
10. ABGs
Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenasi)
jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
11. Kadar Elektrolit
Untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan
tekanan intrakranial.
12. Screen Toxicologi
Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan penurunan
kesadaran (Musliha, 2012).
H. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian Primer
a. Airway dan Cervical Control
Jalan napas dibebaskan dari lidah yang turun ke
belakang dengan posisi kepala ekstensi. Jika perlu dipasang
pipa orofaring atau pipa endotrakheal. Bersihkan sisa
muntahan, darah, lendir atau gigi palsu. Jika muntah, pasien
dibaringkan miring. Isi lambung dikosongkan melalui pipa
nasogastrik untuk menghindari aspirasi muntahan.
b. Breathing dan Ventilation
Gangguan pernapasan dapat disebabkan oleh kelainan
sentral atau perifer. Kelainan sentral disebabkan oleh
depresi pernapasan yang ditandai dengan pola pernapasan
Cheyne Stokes, hiperventilasi neurogenik sentral, atau
ataksik. Kelainan perifer disebabkan oleh aspirasi, trauma
dada, edema paru, emboli paru, atau infeksi. Tata laksana:
Oksigen dosis tinggi, 10-15 liter/menit intermiten, cari dan
atasi faktor penyebab, jika diperlukan pakai ventilator.
c. Circulation dan Hemoragic Control
Hipotensi dapat terjadi akibat cedera otak. Hipotensi
dengan tekanan darah sistolik <90 mm Hg yang terjadi
hanya satu kali saja sudah dapat meningkatkan risiko
kematian dan kecacatan. Hipotensi kebanyakan terjadi
akibat faktor ekstrakranial, berupa hipovolemia karena
perdarahan luar atau ruptur alat dalam, trauma dada disertai
tamponade jantung/pneumotoraks, atau syok septik. Tata
laksananya dengan cara menghentikan sumber perdarahan,
perbaikan fungsi jantung, mengganti darah yang hilang, atau
sementara dengan cairan isotonik NaCl 0,9%.
d. Disability dan Ecposure and Environment Control
Setelah pengkajian ABC, dilakukan pemeriksaan fisik
yang meliputi kesadaran, tensi, nadi, pola dan frekuensi
respirasi, pupil (besar, bentuk dan reaksi cahaya), defi sit
fokal serebral dan cedera ekstrakranial. Hasil pemeriksaan
dicatat dan dilakukan pemantauan ketat pada hari-hari
pertama. Bila terdapat perburukan salah satu komponen,
penyebabnya dicari dan segera diatasi.
2. Pemeriksaan radiologi
Dilakukan foto kepala dan leher, bila didapatkan fraktur
servikal, neck collar yang telah terpasang tidak dilepas. Foto
ekstremitas, dada, dan abdomen dilakukan atas indikasi. CT
scan otak dilakukan bila ada fraktur tulang tengkorak atau bila
secara klinis diduga ada hematoma intrakranial.
3. Tindakan di ruang perawatan
DAFTAR PUSTAKA
Rosjidi, Cholik Harun dan Saiful Hidayat. 2007. Trauma Kepala: Asuhan
Keperawatan Klien Dengan Cidera Kepala. Yogyakarta: Ardana
Media