Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami
tidak akan mampu untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Penulis juga sangat
berterima kasih kepada pihak yang telah membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini.
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan
kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi
makalah yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini
penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.
i
DAFTAR ISI
3.1 Kesimpulan..................................................................................................... 25
ii
BAB I PENDAHULUAN
Akad perkawinan dalam hukum Islam adalah bukan perkara perdata semata,
melainkan ikatan suci (mitsaqan ghalidzan) yang terkait dengan keyakinan dan keimanan
kepada Allah. Dengan demikian ada dimensi ibadah dalam perkawinan. Untuk itu
perkawinan harus dipelihara dengan baik
Muculnya pandangan hidup yang berbeda antara suami dan istri, timbulnya
perselisihan pendapat antara keduanya, berubahnya kecenderungan hati pada masing-
masingnya memungkinkan timbulnya krisis rumah tangga yang merubah suasana harmonis
menjadi percekcokan, persesuaian menjadi pertikaian, kasih sayang menjadi kebencian,
semuanya merupakan hal-hal yang harus ditampung dan diselesaikan. Mengenai hal tersebut,
berikut penulis akan memaparkan bagaimana putusnya perkawinan dan bagaimana
penyelesaiannya.
iii
1.2 Rumusan Masalah
iv
BAB II PEMBAHASAN
Pada prinsipnya tujuam perkawinan menurut membentuk keluarga yang bahagia dan
kekal. Pasal 1 Undang-undang No.1 Tahun 1974 menegaskan : “Perkawinan ialah ikatan lahir
batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang
berbahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Untuk itu penjelasan umum poin
4 huruf a menyatakan, suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing
dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai keejahteraan spiritual dan
material. Karena itu, undang-undang ini juga menganut asas atau prinsip mempersukar terjadinya
perceraian. Perceraian hanya bisa dilakukan jika ada alasan-alasan tertentu serta dilakukan di
depan sidang pengadilan.1
Dalam islam pada prinsipnya perceraian dilarang, ini dapat dilihat pada isyarat Rasullah
Saw, bahwa talak atau perceraian adalah perbuatan halal yang paling dibenci Allah SWT. Talak
atau perceraian merupakan alternative terakhir sebagai ‘pintu darurat’ yang boleh ditempuh,
manakala bahtera kehidupan rumah tangga tidak dapat lagi dipertahankan keutuhan dan
kesinambungannya. Karena kebolehan talak adalah sebagai alternative terakhir, islam
menunjukan agar sebelum terjadinya talak atau perceraian ditempuh usaha-usaha perdamaian
antara kedua belah pihak, baik melalui hukum dari kedua belah pihak atau melalui langkah
lainya.
a. Kematian;
b. Perceraian;
c. Keputusan pengadilan
1 Amiur Naruddin, Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia (Studi Kritis Perkembangan Hukum
Islam dari Fiqih, UU No.1/1975 sampai KHI). (Jakarta : Kencana, 2004). hlm 213.
1
2.2 Macam dan Cara Pemutusan Hubungan Perkawinan
1) Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi
salah satu sebab putusnya perkawinan.
2) Talak raj'i adalah talak kesatu atau kedua, dalam talak ini suami berhak rujuk
selama istri dalam masa ‘iddah.
3) Talak ba'inshugra. adalah talak yang tidak boleh dirujuk tetapi boleh akad nikah
baru dengan bekas suaminya meskipun dalam ‘iddah.
Talak ba'in kubra adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak jenis ini
tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali, kecuali apabila
pernikahan itu dilakukan setelah bekas istri menikahdengan orang lain dan
kemudian terjadi perceraianba’daad-dukhul dan habis masa ‘iddahnya.
4) Talak sunni adalah talak yang dibolehkan yaitu talak yang dijatuhkan terhadap
istri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut.
5) Talak bid'i adalah talak yang dilarang, yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu
istri dalam keadaan haid, atau istri dalam keadaan suci tetapi sudah dicampuri
pada waktu suci tersebut.
6) Perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan
sidang pengadilan.
7) Khuluk, merupakan penyerahan harta yang dilakukan oleh istri ntuk menebus
dirinya dari ikatan suaminya.
8) Li’an menyebabkan putusnya perkawinan antara suami istri untuk selama-
lamanya (pasal 125 KHI). Li’an terjadi karena suami menuduh istri berbuat zina
dan atau mengingkari anak dalam kadungan atau yang sudah lahir dari istrinya
sedang istri menolak tuduhan atau pengingkaran (pasal 126 KHI).2
9) Ila’
Arti daripada ila’ ialah bersumpah untuk tidak melakukan suatu pekerjaan. Dalam
kalangan bangsa Arab jahiliyah perkataan ila’ mempunyai arti khusus dalam
hukum perkawinan mereka, yakni suami bersumpah untuk tidak mencampuri
isterinya, waktunya tidak ditentukan dan selama itu isteri tidak ditalak ataupun
2
diceraikan. Sehingga kalau keadaan ini berlangsung berlarut-larut, yang menderita
adalah pihak isteri karena keadaannya tekatung-katung dan tidak berketentuan.
a. Suami yang mengila’ isterinya batasnya paling lama hanya empat bulan.
b. Kalau batas waktu itu habis maka suami harus kembali hidup sebagai suami-
isteri atau mentalaknya.
Bila sampai batas waktu empat bulan itu habis dan suami belum mentalak
isterinya atau meneruskan hubungan suami-isteri, maka menurut Imam Abu
Hanifah suami yang diam saja itu dianggap telah jatuh talaknya satu kepada
isterinya.
a. Memberi makan sepuluh orang miskin menurut makan yang wajar yang biasa
kamu berikan untuk keluarga kamu, atau
Pembayaran kafarah ini pun juga harus dilaksanakan apabila suami mentalak
isterinya dan merujuknya kembali pada masa ‘iddah atau dalam perkawinan baru
setelah masa ‘iddah habis.
3
10) Zhihar
Zhihar adalah prosedur talak, yang hampir sama dengan ila’. Arti zhihar ialah seorang
suami yang bersumpah bahwa isterinya itu baginya sama dengan punggung ibunya.
Dengan bersumpah demikian itu berarti suami telah menceraikan isterinya. Masa
tenggang serta akibat zhihar sama dengan ila’. Ketentuan mengenai zhihar ini diatur
dalam Al-Quran surat Al-Mujadilah ayat 2-4, yang isinya:
a. Zhihar ialah ungkapan yang berlaku khusus bagi orang Arab yang artinya suatu
keadaan di mana seorang suami bersumpah bahwa bagi isterinya itu sama denagn
punggung ibunya, sumpah ini berarti dia tidak akan mencampuri isterinya lagi.
b. Sumpah seperti ini termasuk hal yang mungkar, yang tidak disenangi oleh Allah dan
sekaligus merupakan perkataan dusta dan paksa.
c. Akibat dari sumpah itu ialah terputusnya ikatan perkawinan antara suami-isteri. Kalau
hendak menyambung kembali hubungan keduanya, maka wajiblah suami membayar
kafarahnya lebih dulu.
d. Bentuk kafarahnya adalah melakukan salah satu perbuatan di bawah ini dengan berurut
menurut urutannya menurut kesanggupan suami yang bersangkutan, yakni:
4
2.3 Akibat putusnya perkawinan
Akibat yang muncul ketika putus ikatan perkawinan antara seorang suami dengan
seorang istri dapat dilihat beberapa garis hukum, baik yang tercantum dalam undang-undang
perkawinan maupun yang tertulis dalam KHI. Putusnya ikatan perkawinan dimaksud, dapat
dikelompokkan menjadi 5 (lima) yaitu:
a. Akibat talak
Ikatan perkawinan yang putus karena suami mentalak istrinya mempunyai beberapa
akibat hukum berdasarkan pasal 149 KHI, yakni sebagai berikut :
a.) Memberikan mut’ah (sesuatu) yang layak pada bekas istrinya, baik berupa uang atau
benda, kecuali istri tersebut qabla al-dukhul.
b.) Memberi nafkah , makan dan kiswah (tempat tinggal dan pakaian) kepada istri
selama dalam iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talakba’in atau nusyuz dan dalam
keadaan tidak hamil.
c.) Melunasi mahar yang masih terutang seluruhnya dan separuh apabilaqabla al-
dukhul.
d.) Memberikan biaya hadlanah (pemeliharaan anak) untuk anak yang belum mencapai
21 tahun.
Ketentuan pasal 149 KHI tersebut bersumber dari surat Al-Baqarah ayat 235 dan 236
sebagai berikut :
5
Artinya :
“Dan tidak ada dosa bagimu meminang perempuan-perempuan itu dengan sindiran atau
kamu sembunyikan (keinginanmu) dalam hati. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-
nyebut kepada mereka. Tetapi janganlah kamu membuat perjanjian (untuk menikah) dengan
mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan kata-kata yang baik. Dan janganlah kamu
menetapkan akad nikah, sebelum habis masa iddahnya. Ketahuilah bahwa Allah mengetahui apa
yang ada dalam hatimu, maka takutlah kepada-Nya. Dan ketahuilah bahwa Allah maha
pengampun, maha penyantun”
“Tidak ada dosa bagimu jika kamu menceraikan istri-istri kamu yang belum kamu sentuh
(campuri) atau belum kamu tentukan maharnya. Dan hendaklah kamu beri mereka mut’ah. Bagi
yang mampu menurut kemampuanya dan bagi yang tidak mampu menurut kesanggupannya,
yaitu pemberian dengan cara yang patut, yang merupakan kewajiban bagi orang-orang yang
berbuat kebaikan” (QS. Al-Baqarah : 235-236).
Cerai gugat yaitu seorang istri menggugat suaminya untuk bercerai melalui pengadilan,
yang kemudian pihak pengadilan mengabulkan gugatan yang dimaksud, sehingga putus
hubungan penggugat (istri) dengan tergugat (suami) perkawinan. Cerai gugat berdasarkan hadits
Nabi Muhammad SAW :
Artinya :
“seorang perempuan berkata pada Rasulullah SAW : wahai Rasulullah SAW. Saya yang
mengandung anak ini, air susuku yang diminumya, dan dibilikku tempat kumpulnya
(bersamaku), ayahnya telah menceraikanku dan dia ingin memisahkannya dariku” maka
Rasulullah bersabda : “kamu lebih berhak (memeliharanya) selama kamu tidak menikah” (HR
Ahmad, Abu Dawud, dan Hakim menshahihkanya)
6
Pasal 156 KHI mengatur mengenai putusnya perkawinan sebagai akibat perceraian (cerai
gugat). Hal itu diungkapkan sebagai berikut :
a. Anak yang belum mumayiz berhak mendapatkan hadanah dari ibunya, kecuali bila
ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukan diganti oleh :
2. Ayah
b. Anak yang sudah mumayiz berhak memilih untuk mendapat hadanah dari ayah atau
ibunya.
d. Semua biaya hadanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut
kemampuanya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus
diri sendiri (21 tahun).
e. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadanah dan nafkah anak, putusan hadanah
memberi putusanya berdasarkan huruf (a), (b), (c), dan (d).
7
c. Akibat khulu’
Perceraian yang terjadi akibat khulu’, yaitu suatu ikatan perkawinan yang putus karena
pihak istri telah memberikan hartanya untuk membebaskan dirinya dari ikatan perkawinan.
Selain itu, khulu’ adalah perceraian yang terjadi atas permintaan istri dengan memberikan
tebusan atau uang iwad kepada dan atas persetujuan suaminya. Oleh karena itu, khulu’ adalah
perceraian yang terjadi dalam bentuk mengurangi jumlah talak dan tidak dapat dirujuk. Hal ini
berdasarkan pasal 161 KHI yang berbunyi “perceraian dengan khulu’ mengurangi jumlah talak
dan tidak dapat dirujuk”
d. Akibat li’an
Perceraian yang terjadi akibat li’an, yaitu ikatan perkawinan yang putus selama-lamanya.
Dengan putusnya perkawinan dimaksud, anak yang dikandung oleh istri dinasabkan kepadanya
(ibu anak) sebagai akibat li’an. Pasal 162 KHI merumuskan garis hukum sebagai berikut :
Bila mana li’an terjadi maka perkawinan itu putus untuk selamanya dan anak yang
dikandung dinasabkan kepada ibunya, sedang suaminya terbebas dari kewajiban memberi
nafkah.
Kalau perkawinan putus sebagai akibat meninggalnya suami, maka sitri menjalani masa
iddah dan bertanggung jawab terhadap pemeliharaan anak-anaknya serta mendapat bagian harta
warisan dari suaminya. Karena itu pasal 157 KHI, harta bersama dibagi menurut ketentuan
sebagaimana disebut dalam pasal 96 dan 97. Pasal 96 KHI menjelaskan ikatan perkawinan yang
putus karena salah seorang pasangan suami istri meninggal sehingga pembagian harta bersama
dibagikan oleh ahli waris berdasarkan proporsi, termasuk bagian pasangan yang masih hidup.
Pembagian harta bersama dimaksud, dilakukan oleh ahli waris bila harta itu ada. Namun, bila
harta bersama belum ada, karena kelangsungan ikatan perkawinan sangat singkat, maka pihak
yang masih hidup tidak dapat bagian. Sebaliknya, bila perkawinan itu putus sebagai akibat cerai
8
hidup, maka pasal 97 KHI menjelaskan bahwa janda atau duda cerai masing-masing berhak
seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
Selain itu, perlu juga dijelaskan bahwa untuk mementukan hilangnya salah seorang suami
istri, baik istri atau suami yang hilang adalah pembuktian autentik yang dapat diterima oleh
berbagai pihak secara hukum.
Perceraian dalam ikatan perkawinan adalah sesuatu yang dibolehkan dalam ajaran agama
Islam. Apabila sudah ditempuh berbagai cara untuk mewujudkan kerukunan, kedamaian,
kebahagiaan, namun harapan dalam tujuan perkawinan tidak akan terwujud atau tercapai
sehingga yang terjadi adalah perceraian. Perceraian diatur dalam undang-undang Nomor 7 Tahun
1989 (selanjutnya disebut UUPA) dan pasal 115 KHI.
Tatacara perceraian bila dilihat dari subjek hukum atau pelaku yang mengawali
terjadinya perceraian dapat dibagi dalam dua aspek yaitu :
(1) Seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan istrinya mengajukan
permohonan kepada pengadilan untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak.
(2) Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) diajukan kepada
pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman termohon kecuali apabila
termohon dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman yang ditentukan bersama tanpa
izin pemohon.
(3) Dalam hal termohon bertempat kediaman di luar negri, permohonan diajukan kepada
pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman pemohon.
9
(4) Dalam hal pemohon dan termohon bertempat kediaman di luar negri, maka
permohonan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat
perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada pengadilan agama Jakarta pusat.
(5) Permohonan soal penguasa anak, nafkah anak, nafkah istri, dan harta bersama suami
istri dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan cerai talak ataupun sesudah ikrar
talak diucapkan.
Pasal 68
(1) Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan oleh majlis hakim selambat-
lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah berkas atau surat permohonan cerai talak
didaftarkan di kepaniteraan.
(1) Pengadilan agama yang bersangkutan mempelajari permohonan dimaksud pasal 129
dan dalam waktu selambat-lambatnya tiga puluh hari memanggil pemohon dan istrinya
untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud
menjatuhkan talak.
(2) Setelah pengadilan agama tidak berhasil menasihati kedua belah pihak dan ternyata
cukup alasan untuk menjatuhkan talak serta yang bersangkutan tidak mungkin lagi hidup
rukun dalam rumah tangga, pengadilan agama menjatuhkan keputusanya tentang izin
bagi suami untuk mengikrarkan talak.
(3) Setelah keputusan mempunyai kekuatan hukum tetap, suami mengikrarkan talaknya
didepan sidang pengadilan agama, disaksikan oleh istri atau kuasanya.
10
(4) Bila suami tidak mengucapkan ikrar talak dalm tempo 6 (enam) bulan terhitung
sejak putusan pengadilan agama tentang izin ikrar talak baginya mempunyai kekuatan
hukum yang tetap, maka hak suami untuk mengikrarkan talak gugur dan ikatan
perkawinan tetap utuh.
(5) Setelah sidang penyaksian ikrar talak, pengadilan agama membuat penetapan
tentang terjadinya talak rangkap empat yang merupakan bukti perceraian bagi bekas
suami dan istri. Helai pertama beserta surat ikrar talak dikirimkan kepada Pengawai
Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami untuk diadakan pencatatan, helai
kedua dan ketiga masing-masing diberikan kepada suami istri, dan helai keempat
disimpan oleh pengadilan agama.
Cerai gugat adalah ikatan perkawinan yang putus sebagai akibat permohonan yang
diajukan oleh istri kepengadilan agama, yang kemudian termohon (suami) menyetujuinya,
sehingga pengadilan agama mengabulkan permohonan dimaksud. Oleh karena itu khulu’
termasuk cerai gugat. Khulu’adalah perceraian yang terjadi atas permintaan istri dengan
memberikan tebusan atau uang iwad kepada dan atas persetujuan suaminya. Sebagaimana
disebutkan dalam :
Pasal 73 UUPA
(1) Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada pengadilan yang daerah
hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat, kecuali apabila penggugat dengan
sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat.
(2) Dalam hal penggugat bertempat kediaman diluar negri, gugatan perceraian diajukan
kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.
(3) Dalam hal penggugat dan tergugat bertempat kediaman diluar negri maka gugatan
diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi perkawinan mereka
dilangsungkan atau kepengadilan agama Jakarta pusat.
11
Mengenai alasan perceraian dan alat bukti untuk mengajukan gugatan :
a. Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan salah satu pihak mendapat
pidana penjara, maka untuk memperoleh putusan perceraian, sebagai bukti penggugat
cukup menyampaikan salinan keputusan pengadilan yang berwenang yang memutuskan
perkara disertai keterangan yang menyatakan bahwa putusan itu telah memperoleh
kekuatan hukum tetap (Pasal 74 UUPA). Akan tetapi jika gugatan diajukan atas alasan
tersebut ternyata putusan pidananya belum memiliki kekuatan hukum tetap maka
dikatakan masih terlampau “premature” artinya belum saatnya alasan tersebut dapat
diajukan sebagai dasar gugat perceraian. Penggugat harus sabar menunggu sampai
putusan pidana mempunyai hukum tetap, gugatan dinyatakan tidak diterima.
b. Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan bahwa tergugat mendapat cacat
badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami,
maka hakim dapat memerintahkan tergugat untuk memeriksakan diri kedokter (Pasal 75
UUPA).
Pengadilan setelah mendengar keterangan saksi tentang sifat persengketaan antara suami
istri dapat mengangkat seorang atau lebih dari keluarga masing-masing pihak ataupun orang lain
untuk menjadi hakim. (Pasal 76 ayat (2) UUPA ).
b. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak.
12
c. Menemukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang
menjadi hak bersama suami istri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau
barang-barang yang menjadi hak istri Pasal (78 UUPA).
Gugatan tersebut gugur apabila suami atau istri meninggal sebelum adanya putusan
pengadilan mengenai gugatan perceraian itu. Namun, bila terjadi perdamaian, tidak dapat
diajukan gugatan perceraian baru berdasarkan alasan yang ada dan telah diketahui oleh
penggugat sebelum perdamaian tercapai. Upaya perdamaian dimaksudkan memungkinkan
terjadi, mengingat ia tidak dibatasi pada sebelum pemeriksaan perkara, namun dapat diupayakan
setiap kali sidang. Lain halnya bila tidak tercapai perdamaian, pemeriksaan gugatan perceraian
dilakukan dalam sidang tertutup.
(1) Dalam penetapan waktu sidang gugatan perceraian, perlu diperhatikan tenggang
waktu pemanggilan dan diterimanya panggilan tersebut oleh penggugat maupun tergugat
atau kuasa mereka.
(2) Apabila tergugat berada dalam keadaan seperti ini dalam keadaan seperti dalam
Pasal 20 ayat (3), sidang pemeriksaan gugatan perceraian diterapkan sekurang-kurangnya
6 bulan terhitung sejak dimasukkannya gugatan perceraian pada kepaniteraan agama.
13
Selain salinan putusan dikirim kepada suami istri tersebut dijelaskan dalam pasal 84
UUPA :
(1) Panitera pengadilan atau pejabat pengadilan yang ditunjuk berkewajiban selambat-
lambatnya 30 (tiga puluh) hari mengirimkan satu helai salinan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap, tanpa bermaterai kepada pegawai pencatat
nikah yang wilayahnya meliputi tempat kediaman penggugat dan tergugat, untuk
mendaftarkan putusan perceraian dalam sebuah daftar yang disediakan untuk itu.
(2) Apabila perceraian dilakukan di wilayah yang berbeda dengan wilayah pegawai
pencatat nikah tempat perkawinan dilangsungkan, maka satu helai salinan putusan
sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap tanpa bermaterai dikirimkan pula kepada pegawai pencatat nikah ditempat
perkawinan dilangsungkan dan oleh pegawai pencatat nikah tersebut dicatat pada bagian
pinggir daftar catatan perkawinan.
(3) Apabila perkawinan dilangsungkan diluar negri, maka satu helai salinan putusan
sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) disampaikan pula kepada pegawai pencatat
nikah ditempat didaftarkannya perkawinan mereka di Indonesia.
(4) Panitera berkewajiban memberikan akta cerai sebagai surat bukti cerai kepada para
pihak selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari terhitung setelah putusan yang memperoleh
kekuatan hukum tetap tersebut diberitahukan kepada para pihak.
Pencatatan dan pengawasan talak amat penting untuk kedudukan hukum seseorang
disamping pencatatan kelahiran, kematian serta pencatatan-pencatatan lainnya.
Adapun pada BAB IV bagian kedua, paragraph 4 terdapat pada pasal 87 dan 88 UUPA
mengatur tata cara pemeriksaan perkara perceraian dengan alasan zina. Tata cara diatur dalam
14
paragraph ini meliputi perkara cerai talak maupun cerai gugat dan difokuskan pada tata cara
pembuktian dalil zina dalam pemeriksaan sidang pengadilan. Upaya pembuktian yang
bagaimana dan cara bagaimana menerapkan pembuktian tersebut oleh para pihak :
Pasal 87 UUPA
(1) Apabila permohonan atau gugatan cerai diajukan alasan atau gugatan cerai diajukan
atas alasan salah satu pihak melakukan zina, sedangkan pemohon atau penggugat tidak
dapat melengkapi bukti-bukti dan termohon atau tergugat menyanggah alasan tersebut,
dan hakim berpendapat bahwa permohonan atas gugatan itu bukan tiada pembuktian
sama sekali serta upaya peneguhan alat bukti tidak mungkin lagi diperoleh baik dari
pemohon atau penggugat ataupun termohon atau tergugat, maka hakim karena jabatanya
dapat menyuruh pemohon atau penggugat untuk bersumpah.
(2) Pihak termohon atau tergugat diberi kesempatan pula untuk meneguhkan
sanggahannya dengan cara yang sama.
َش َهادَة ا أَبَداا َوأُولَئِكَ ُه ُم ْالفَا ِسقُون ُ ت ث ُ َّم لَ ْم يَأْتُوا بِأ َ ْربَعَ ِة
َ ش َهدَا َء فَا ْج ِلدُو ُه ْم ث َ َمانِينَ َج ْلدَة ا َوَل ت َ ْقبَلُوا لَ ُه ْم َ َْوالَّذِينَ يَ ْر ُمونَ ْال ُمح
ِ صنَا
Artinnya :
“Dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik (berbuat zina) dan
mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu)
delapan puluh kali, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka untuk selama-lamanya.
Mereka itulah orang-orang yang fasik”. (QS. An-Nur : 4)
15
saksi yang bersangkutan harus benar-benar menyaksikan peristiwa zina yang dilakukan oleh
orang yang didakwa berada dalam keadaan “tertangkap basah” sedang berhubungan kelamin
secara fisik dan biologis.
Apabila ayat tersebut dianalisis, dapat diketahui bahwa sanksi hukum bagi orang yang
menuduh zina tanpa disertai saksi sangat tipis perbedaanya dengan pelaku zina itu bila terbukti
berbuat zina yang disaksikan oleh empat orang saksi. Namun apabila tuduhan itu dilakukan
terhadap istri sendiri, walaupun istri juga tergolong dalam pengertian al-muhsanat pada ayat
tersebut, dan tidak dapat menghadirkan empat orang saksi, maka ancaman hukumannya tidak
berupa hukuman dera, melainkan talak ba’in kubra yang antara keduanya tidak boleh menikah
lagi untuk selama-lamanya. Pembuktianya adalah mengucapkan sumpah empat kali, dan kelima
ikrar yang menyatakan kesediaanya untuk menerima laknat Allah, apabila tuduhannya itu
bohong. Demikian juga pihak istri, diberikan kesempatan untuk menyanggah tuduhan suaminya
itu dengan mengucapkan empat kali sumpah dan kelimanya menerima laknat Allah apabila
tuduhan suaminya benar. Cara inilah yang disebut dengan li’an (mula’anah). Sanksi hukuman
yang lain adalah hukuman moral kepribadianya, yaitu persaksianya tidak diterima untuk selama-
lamanya. Sebab ia termasuk orang fasik, bila ia tidak membuktikan tuduhanya.
Secara bahasa, kata ‘iddah berasal dari bahasa Arab yang diambil dari kata ‘adda-
ya‘uddu, yang berarti ‘menghitung sesuatu’ (ihsha’uasy-syay’i). Adapun kata ‘iddah memiliki
arti seperti kata al-‘adad,yaitu ukuran dari sesuatu yang dihitung atau jumlahnya. dan al-ihsha’
yang berarti bilangan, yakni sesuatu yang dihitung oleh perempuan (istri) dari hari-harinya dan
masa bersihnya hitungan dari haid atau suci atau hitungan bulan.Menurut al-Jaziri, kata ‘iddah
mutlak digunakan untuk menyebut hari-hari haid perempuan atau hari-hari sucinya.
Secara istilah, para ahli fiqh merumuskan definisi ‘iddah dengan berbagai ungkapan.
Dalam redaksi yang berbeda, berbagai ungkapan tersebut memiliki kesamaan secara garis
besarnya. Menurut al-Jaziri,‘iddah secara syar’i memiliki makna yang lebih luas daripada makna
bahasa, yaitu masa tunggu seorang perempuan yang tidak hanya didasarkan pada masa haid atau
16
sucinya, tetapi juga didasarkan pada bulan atau dengan melahirkan. Selama masa tersebut,
seorang (perempuan) dilarang untuk menikah dengan laki-laki lain. Abu Yahya Zakariyya al-
Ansari memberikan definisi ‘iddah sebagai masa tunggu seorang perempuan untuk mengetahui
kebersihan rahim, untuk beribadah, atau untuk berkabung (tafajju’) atas kematian suaminya.
Muhammad Zaid al-Ibyani menjelaskan bahwa ‘iddah memiliki tiga makna secara
bahasa, secara syar’i, dan dalam istilah para ahli fikih. Menurut bahasa, ‘iddah berarti
menghitung. Secara syar’i, ‘iddah adalah masa tunggu yang diwajibkan bagi perempuan maupun
laki-laki ketika ada sebab. Adapun dalam istilah para ahli fikih, yaitu masa tunggu yang
diwajibkan bagi perempuan ketika putus perkawinan atau karena perkawinannya syubhat.
Dari berbagai definisi ‘iddah yang telah dikemukakan di atas, maka dapat diketahui
bahwa dalam pandangan para ahli fikih, sebagaimana yang terdapat dalam berbagai kitab fikih
konvensional. Kewajiban ‘iddah hanya berlaku bagi perempuan dengan tujuan untuk mengetahui
kebersihan rahim, beribadah (ta’abbud) maupun berkabung (tafajju’) atas kematian suaminya,
yang selama masa tersebut perempuan (istri) dilarang menikah dengan laki-laki lain.3
Ada dua macam 'iddah, yaitu 'iddah karena perceraian dan 'iddah karena kematian suami.
‘Iddah karena perceraian memiliki dua kategori yang masing-masing memiliki hukum
sendiri. Penjelasannya sebagai berikut.
Dia tidak wajib menjalani masa 'iddah. Allah Swt. berfirman, Wahai orang-orang yang
beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan mukmin, kemudian kamu ceraikan
mereka sebelum kamu mencampurinya maka tidak ada masa ‘iddah atas mereka yang perlu
3Indar, ‘Iddah Dalam Keadilan Gender, Jurnal Studi Gender & Anak,Vol.5, No.1, 2010, hlm.108-109
17
kamu perhitungkan. Namun, berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara
yang sebaik-baiknya (A- Ahzáb[33]: 49).
Bagi perempuan yang dalam kategori seperti ini, dia memiliki dua keadaan, yaitu :
1. Perempuan itu dalam keadaan hamil. Masa 'iddah baginya adalah sampai melahirkan
kandungannya. Allah Swt. berfirman, Dan perempuan-perempuan yang hamil maka
‘iddah mereka adalah sampai mereka melahirkan kandungannya (Al-Thalâq [65]: 4).
Ketentuan ini didasarkan sebuah riwayat Zubair ibnal-‘Awwåm yang memiliki istri
bernama Ummu Kultsum bint‘Uqbah. Saat hamil, istrinya berkata, "Senangkanlah hatiku
dengan menceraikanku." Zubair pun menjatuhkan talak satu. Zubair kemudian keluar
rumah untuk shalat di masjid. Selesai shalat, dia mendengar kabar bahwa istrinya telah
melahirkan. Dia berkata, "Mengapa dia tega menipuku? Semoga Allah balas menipunya."
Zubair lantas bergegas menemui dan mengadukan hal itu kepada Nabi. Rasulullah saw.
bersabda, "Sesungguhnya ketentuan Allah telah berlalu. Oleh karena itu, pinanglah
kembali dirinya." (HR Ibnu Májah)
2. Perempuan itu tidak dalam keadaan hamil. Dalam keadaan seperti ini, dia tidak luput
dari dua kemungkinan. Pertama, dia masih menstruasi. Dalam keadaan ini, ‘iddahnya
adalah tiga kali menstruasi. Allah berfirman, Wanita-wanita yang ditalak hendaklah
menahan diri (menunggu) tiga kali qurû’(Al-Baqarah [2]: 228). Kata qurû’ di sini lebih
tepat diartikan dengan menstruasi, bukan suci. Makna ini dikuatkan sebuah hadis
'A'isyah. A'isyah menceritakan, Ummu Habibah tengah mengalami menstruasi. Dia lalu
bertanya kepada Rasulullah saw., dan beliau menyuruhnya untuk meninggalkan shalat
pada hari-hari menstruasinya. Kedua, dia tidak mengalami masa-masa menstruasi, seperti
anak kecil yang belum menstruasi atau perempuan dewasa yang sudah menopause. Masa
‘iddah bagi perempuan seperti ini adalah selama tiga bulan. Allah berfirman, Perempuan-
perempuan yang tidak haid lagi di antara istri-istrimu (menopause) jika kamu ragu-ragu
(tentang masa ‘iddahnya) maka ‘iddahnya adalah tiga bulan; dan begitu (pula)
perempuan-perempuan yang tidak haid (Al-Thalaq [65]:4).
18
b. Iddah Karena Kematian
Adapun jenis 'iddah yang kedua adalah ‘iddah karena kematian suami. Dalam kasus ini,
ada dua kemungkinan yang bisa terjadi.
1. Perempuan yang ditinggal mati suaminya itu tidak dalam keadaan hamil
Masa ‘iddah baginya adalah empat bulan sepuluh hari, baik dia telah melakukan
hubungan badan dengan suaminya yang telah meninggal itu maupun belum. Allah Swt.
berfirman, Dan orang-orang yang meninggal dunia di antara kamu yang meninggalkan istri-istri
hendaklah mereka (istri-istri) menunggu empat bulan sepuluh hari (Al-Baqarah [2]: 234).
Masa 'iddah baginya adalah sampai dia melahirkan kandungannya. Allah Swt telah
berfirman, Perempuan-perempuan yang hamil, waktu ‘iddah mereka itu adalah sampai mereka
melahirkan kandungannya (Al-Thalâq [65]: 4). Ketentuan hukum ini didasarkan pada riwayat
dari al-Miswar ibnMakhramah tentang Subai’ahal-Aslamiyyah yang tengah dalam keadaan nifas
setelah ditinggal mati oleh suaminya. Subai’ah lalu menemui Rasulullah saw. dan meminta izin
pada beliau untuk menikah lagi. Beliau lantas mengizinkannya, dan dia pun kemudian menikah.4
Syariat Islam telah menentukan tiga larangan yang tidak boleh dilanggar oleh perempuan
saat menjalani masa ‘iddah. Ketiga larangan tersebut sekaligus tidak berlaku lagi ketika masa
‘iddah telah selesai. Ketiga larangan tersebut adalah sebagai berikut :
Seorang perempuan yang sedang menjalani masa 'iddah--baik karena dicerai, fasakh,
maupun ditinggal mati oleh suami--tidak boleh menikah selain dengan laki-laki yang telah
meninggalkan atau menceraikannya itu. Jika dia menikah maka pernikahannya dianggap tidak
sah, dan jika dia melakukan hubungan badan maka dia terkena hukuman al-hadd.
4Abdul QadirManshur, Buku Pintar Fikih Wanita, (Tanggerang: Zaman), 2012, hlm. 130-132
19
Meminang dengan sindiran kepada perempuan yang sedang menjalani masa 'iddah juga
dilarang (haram), baik sindiran itu berasal dari sang perempuan maupun dari laki-laki lain. Tapi
perlu diingat, ketentuan ini hanya berlaku bagi perempuan yang menjalani masa 'iddah karena
perceraian atau fasakh, bukan karena kematian suami. Adapun hukum meminang secara terang-
terangan terhadap perempuan yang sedang menjalani masa 'iddah, apa pun sebabnya, adalah
haram. Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu
menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu
akan menyebut-nyebut mereka dan karena itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan
mereka secara rahasia, kecuali sekadar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang makruf.
Dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk berakad nikah, sebelum habis 'iddahnya.
Dan ketahuilah bahwa Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu. Oleh karena itu, takutlah
kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun (Al-Baqarah
[2): 235).
Ketentuan-ketentuan di atas berlaku bagi semua laki-laki selain suami yang telah
menyebabkan terjadinya talak (perceraian). Seorang suami boleh menjalin hubungan lagi dengan
mantan istrinya selama masih dalam masa 'iddah. Dia boleh menikahinya lagi setelah terjadi
talak raj’i (talak satu), atau menikahinya dengan akad yang baru setelah terjadi talak bā'in kecil
(talak satu atau talak dua yang telah habis masa "iddahnya) atau fasakh. Namun, jika terjadi talak
bā'in besar (talak tiga) maka dia tidak boleh menikahinya, baik dalam masa 'iddah maupun
setelahnya. Dia baru boleh menikahinya lagi jika mantan istrinya itu telah menikah dengan laki-
laki lain, lalu diceraikan atau ditinggal mati, dan masa 'iddahnya telah selesai.
Perempuan yang sedang menjalani masa 'iddah tidak boleh keluar dari rumah yang
ditinggali bersama suaminya sebelum bercerai. Dia baru boleh keluar jika ada keperluan
mendesak, seperti membeli kebutuhan pokok atau obat-obatan. Selain itu, sang suami juga tidak
boleh memaksanya keluar rumah kecuali jika dia telah melakukan perbuatan terlarang, seperti
perzinaan. Allah Swt. berfirman, Wahai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka
hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menjalani) ‘iddahnya (yang
20
wajar), dan hitunglah waktu ‘iddah itu, serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah
kamu keluarkan mereka dari rumahnya dan janganlah (diizinkan) keluar rumah jika mereka
mengerjakan perbuatan keji yang jelas. Itulah hukum-hukum Allah, dan barang siapa melanggar
hukum-hukum Allah maka dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak
mengetahui barangkali setelah itu Allah mengadakan suatu ketentuan yang baru (Al-Thalâq[65]:
1).
Perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya wajib melakukan ihdād (menahan diri)
sampai habis masa 'iddahnya. Kata ihdād berarti tidak memakai perhiasan, wewangian, pakaian
bermotif, pacar, dan celak mata. Hal ini didasarkan pada sebuah hadis riwayat Ummu ‘Athiyyah
yang berkata, "Kami dilarang ber-ihdād selama lebih dari tiga hari karena kematian seseorang,
kecuali untuk suami sela 4 bulan 10 hari. Selama itu kami tidak memakai celak dan wewangian,
tidak memakai pakaian bermotif kecuali pakaian yang biasa kami pakai sehari-hari. Dan ketika
suci pun, kami hanya diperbolehkan memakai sedikit wewangian setelah mandi besar. Kami juga
dilarang mengantarkan jenazah ke pemakaman."
Diriwayatkan dari Ummu Salámah, Rasulullah saw, bersabda, "Seorang perempuan yang
ditinggal mati oleh suaminya tidak boleh memakai pakaian bermotif, tidak memakai perhiasan,
tidak memacari kuku, dan tidak bercelak mata." (HR AbûDâwud dan al-Nasâ'i)5
21
2.8 Pengertian Rujuk
Rujuk berasal dari bahasa Arab raja’a - yarji’u – ruju’, bentuk mashdar,artinya kembali.
Istilah ini kemudian dibakukan dalam hukum perkawinan di Indonesia. Secara terminologis,
rujuk adalah kembalinya suami kepada hubungan nikah dengan istri yang telah dicerai dan
dilaksanakan selama istri masih dalam masa iddah.6
Rujuk dapat dikategorikan sebagai tindakan hukum yang terpuji, karena setelah pasangan
suami istri itu mengalami masa-masa kritis konflik di antara mereka yang diakhiri perceraian,
timbul kesadaran baru dan napas baru untuk merajut tali perkawinan yang pernah putus guna
merenda hari esok yang lebih baik lagi. Mereka kembali pada keutuhanikatan perkawinan yang
disemangati oleh hasil koreksi terhadap kekurangan masing-masing dan bertekad untuk
memperbaikinya.
Masalah rujuk ini tidak diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan maupun dalam PP No.9 Tahun 1975. Sementara dalam kompilasi dijelaskan pada
BAB XVIII Pasal 163,164,165 dan 166.
Pasal 163
Melakukan rujuk tidak berbeda dengan akad nikah artinya, istri yang akan dirujuknya
menyetujuinya dan disaksikan oleh dua orang saksi. Pasal 164, kompilasi menegaskan :
“Seorang wanita dalam iddah taklak raj’I berhak mengajukan keberatan atas kehendak rujuk dari
bekas suaminya di hadapan pengawai pencatat nikah disaksikan dua orang saksi”. Oleh karena
itu, rujuk yang dilakukan tanpa persetujuan istri , dapat dinyatakan tidak sah dengan putusan
pengadilan agama (Ps. 165 KHI)
6 Ahmad Rofiq. Hukum Perdata Islam di Indonesia. (Jakarta : PT.Grafindo Persada, 2015), hlm. 253.
22
Satu hal yang perlu diketahui bahwa rujuk yang dilakukan dalam masa iddah itu,
statusnya sama dengan nikah baru, setelah habis masa iddah. Artinya talak raj’I itu sudah
mengurangi jumlah talak yang menjadi hak suami. Apakah suami merujuknya selama dalam
masa iddah atau membiarkan masa iddah istrinya habis kemudian suami menikahinya dengan
akad yang baru. Sekiranya iddah raj’I itu dibiarkan habis dan dibiarkan juga menikah dengan
laki laki lain, kemudian mereka bercerai dan nikah kembali dengan bekas suaminya yang
pertama, maka jumlah talak yang menjadi hak suami, tinggal sisanya. Jadi misalnya suami telah
menalak raj’I satu kali, maka tinggal memiliki hak dua kali.
Adapun hikmah atau tujuan diisyaratkannya rujuk antara lain adalah sebagai berikut :
Tata cara dan prosedur rujuk telah diatur dalam peraturan menteri agama RI Nomor 3
tahun 1975 tentang kewajiban pegawai pencatat nikah dan tata kerja pengadilan agama dalam
melaksanakan peraturan perundang-undangan perkawinan bagi yang beragama islam pasal
167,168, dan 169. Dalam permenag RI tersebut, rujuk diatur dalam pasal 32,33,34, dan 38.
1. Suami yang hendak merujuk istrinya datang bersama-sama istrinya ke pegawai pencatat
nikah atau pembantu pegawai pencatat nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami istri
23
dengan membawa penetapan tentang terjadinya talak dan surat keterangan lain yang
diperlukan.
2. Rujuk dilakukan dengan persetujuan istri dihadapan pengawai pencatat nikah.
3. Pengawai pencatat nikah memeriksan dan menyelidiki apakah suami yang akan merujuk
itu memenuhi syarat-syarat merujuk menurut hukum munahakatm apakah rujuk yang
dilakukan itu masih dalam iddah raj’I, apakah perempuan yang akan rujuk itu adalah
istrinya.
4. Setelah itu suami mengucapkan rujuknya dan masing-masing yang bersangkutan beserta
saksi-saksi menandatangani buku pendaftaran rujuk.
5. Setelah rujuk itu dilaksanakan, pegawai pencatat nikah menasihati suami istri tentang
hukum-hukum dan kewajiban mereka yang berhubungan dengan rujuk.
1. Pegawai pencatat nikah membuat surat keterangan tentang terjadinya rujuk dan
pengirimannya kepada pengadilan agama di tempat berlangsungnya talak yang
bersangkutan, kepada pengadilan agama ditempat berlangsungnya talak yang
bersangkutan, dan kepada suami-istri masing-masing diberikan kutipan bukti
pendaftaran rujuk menurut contoh yang ditetapkan meteri agama.
2. Suami istri atau kuasanya dengan membawa kutipan buku pendaftaran rujuk tersebut
dating ke pengadilan agama di tempat berlangsungnya talak dahulu untuk mengurus dan
mengambil kutipan akta nikah masing-masing yang bersangkutan setelah diberi catatan
oleh pengadilan agama dalam ruang yang telah tersedia pada kutipan akta nikah tersebut,
bahwa yang bersangkutan telah rujuk.
3. Catatan yang dimaksud ayat (2) berisi tempat terjadinya rujuk, tanggal rujuk diikrarkan,
nomor, tanggal kkutipan buku pendaftaran rujuk dan tanda tangan penitera.7
24
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
Putus perkawinan adalah ikatan antara seorang pria dengan seorang wanita sudah putus.
Perkawinan dapat putus karena: kematian, perceraian, keputusan pengadilan. Akibat yang
muncul ketika putus ikatan perkawinan antara seorang suami dengan seorang istri dapat dilihat
beberapa garis hukum, baik yang tercantum dalam undang-undang perkawinan maupun yang
tertulis dalam KHI, seperti pemberian nafkah kepada istri dan anak, pemeliharaan anak
(hadlanah), dan waris mewarisi antara seorang apabila putusnya perkawinan tersebut akibat
kematian salah satu pihak. Tatacara perceraian bila dilihat dari subjek hukum atau pelaku yang
mengawali terjadinya perceraian dapat dibagi dalam dua aspek yaitu cerai talak (yang diajukan
oleh pihak suami) dan cerai gugat (yang diajukan oleh pihak istri) yang masing-masng diatur
dalam pasal 66 dan 68 UUPA dan pasal 131 KHI untuk cerai talak dan diatur dalam Pasal 73,
74-78 UUPA untuk cerai gugat, Adapun pada pasal 87 UUPA menjelaskan perceraian yang
berdasarkan alasan zina.
3.2 Saran
Dapat diketahui perceraian merupakan satu perbuatan yang sangat dibenci oleh Allah
SWT karena dampak negative yang ditimbulkannya baik kepada suami atau istri maupun
terhadap anak-anaknya bagi yang telah memiliki anak, sebaliknya, perdamaian atau rujuk
merupakan perbuatan yang sangat disukai oleh islam. Maka dari itu, kita sebagai umat yang taat
kepada Allah SWT, sebaiknya menjauhi hal-hal yang dibenci oleh Allah SWT. Selain itu,
diharapkan pembaca mampu menyelesaikan permasalahannya tanpa ada konflik dikemudian
harinya.
25
DAFTAR PUSTAKA
Naruddin, Amiur. 2004. Hukum Perdata Islam di Indonesia (Studi Kritis Perkembangan
Hukum Islam dari Fiqih, UU No.1/1975 sampai KHI). (Jakarta : Kencana).
Indar. 2010.‘Iddah Dalam Keadilan Gender. Jurnal Studi Gender & Anak. Vol.5, No.1.,
Hlm. 103-127
Manshur, Abdul Qadir. 2012. Buku Pintar Fikih Wanita. (Tanggerang: Zaman)
Rofiq, Ahmad. 2015. Hukum Perdata Islam di Indonesia. (Jakarta : PT.Grafindo
Persada).
Ali, Zainuddin. 2006. Hukum Perdata Islam Indonesia. (Jakarta : Sinar Grafika)
26