Anda di halaman 1dari 13

Tari Topeng Sidakarya Sebagai Wujud Seni dan Pelestarian

Budaya

Disusun Oleh :

I Dewa Ayu Ketut Ning Sastriyani

1207618049

Rombel 2

Program Studi Pendidikan Tari

Fakultas Bahasa dan Seni

Universitas Negeri Jakarta


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, Atas Asung Kertha Wara
Nugraha-NYA penulis dapat menyelesaikan Artikel ini tepat pada waktunya. Tema yang
diangkat dari Artikel ini ada;ah Seni Tari dalam perspektif Agama Hindu. Sumber
referensi artikel ini adalah pengamatan sendiri yang dilakukan oleh penulis dan juga
dari situs internet.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang membantu penyusunan
artikel ini baik langsung maupun tidak langsung.

Jakarta, 07 Januari 2018

Penulis,
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Bali adalah sebuah pulau di Indonesia yang terletak di antara Pulau Jawa dan
Pulau Lombok dengan Ibukota provinsinya ialah Denpasar. Mayoritas penduduk Bali
adlah pemeluk agama Hindu. Di dunia, Bali terkenal sebagai tujuan pariwisata dengan
keunikan berbagai hasil seni-budaya, berupa tarian. Tari Bali merupakan suatu cabang
seni pertunjukan yang mengandung serta dijiwai oleh nilai budaya Hindu-Bali. Dilihat
dari fungsinya dalam aspek kehidupan ritual dan sosial masyarakat setempat. Tari Bali
secara umum dapat digolongkan menjadi dua yaitu 1. Seni upacara atau seni wali dan
bebali, 2. Seni tontonan/hiburan atau balih-balihan. Pakar seni tari Bali I Made Bandem
pada awal tahun 1980-an pernah menggolongkan tari-tarian Bali tersebut antara lain
yang tergolong ke dalam wali misalnya berutuk, Sang Hyang Dedari, Rejang, dan Baris
Gede, bebali antara lain ialah Gambuh, Topeng Pajegan, dan Wayang Wong, sedangkan
balih-balihan antara lain ialah Legong, Parwa, Arja, Prembon, dan Joged, serta berbagai
koreografi tari modern lainnya .

Kesenian dalam perspektif Hindu di Bali yang universal identik dengan


kehidupan religi masyarakatnya sehingga mempunyai kedudukan yang sangat
mendasar. Para penganutnya dapat mengekspresikan keyakinan terhadap Hyang Maha
Kuasa. Maka banyak muncul kesenian yang dikaitkan dengan pemujaan tertentu atau
sebagai pelengkap pemujaan tersebut. Realisasi ajaran agama Hindu di Bali salah satunya
di wujudkan dengan pelaksanaan upacara yadnya. Dalam Agama Hindu dikenal dengan
Panca Yajnya yaitu lima macam korban suci yang dipersembahkan kepada Dewa, Rsi,
Manusia, Leluhur, dan Butha (Mahluk alam bawah), yang dikenal dengan Dewa Yajnya, Rsi
Yajnya, Pitra Yajnya, Manusa Yajnya, dan Butha Yajnya. Kemunculan Panca yajnya sendiri
didasari oleh keberadaan manusia yang diliputi oleh Rna (hutang) yang telah dibawa
semenjak manusia lahi(Kiswara, 2018) . Bentuk yajnya yang dilaksanakan tersebut
dituangkan dalam tatanan Upacara dan Upakara yang dipersembahkan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan beberapa
permasalahan sebagai berikut :
1. Apa saja jenis Tari dalam perspektif agama Hindu?
2. Bagaimanakah Sejarah Tari Topeng Sidakarya?
3. Apa makna dari Topeng Tunggal itu sendiri?
4. Apa fungsi Tari Topeng Tunggal pada upacara keagamaan?

1.3 Tujuan Penulisan


Tujuan dari pembuatan paper ini adalah
1.4 Manfaat Penulisan
1. Kita dapat mengetahui sejarah Tari Topeng Sidakarya
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Jenis-jenis Tari dalam Agama Hindu

Seni tari tentunya hal yang tidak asing lagi bagi kita, sekarang malah banyak sekali
macam-macam tarian baik yang tradisional maupun yang modern. Seni tari merupakan
suatu karya seni yang ditampilkan melalui media gerak sehingga menimbulkan daya
pesona. Mengingat dalam perkembangannya sekarang, begitu banyak macam tari maka
umat Hindu mengelompokan seni tari menjadi tiga kategori, yaitu :

1. Seni Tari yang Termasuk Wali

Tari sakral adalah tari-tarian yang di Pulau Bali dikenal dengan nama tari wali. Tari-tarian ini
dalam pementasannya selalu dihubungkan dengan suatu upacara keagamaan dan merupakan
salah satu bagian dari suatu upacara, dalam hal ini kesuciannya terletak pada :

1. Peralatan yang digunakan, misalnya: Tari Pendet dengan canang sarinya, pasepan
dan tetabuhan yang dibawa oleh penari. Tari Rejang dengan gelungan-nya serta
benang penuntun yang dililitkan pada tubuh si penari (khususnya Rejang Renteng).
Topeng Sidakarya dengan beras sekar ura-nya yang di taburkan pada saat menari
(Renawati, 2015).
2. Pada Penari atau pelaksananya. Umumnya syarat kesucian penari memegang
peranan penting di samping peralatan yang dibawa atau digunakan. Penari-penari
tarian wali sepatutnya dilaksanakan oleh orang-orang yang sudah mawinten atau
disucikan secara ritual, atau kalau tidak sedemikian penari bersangkutan adalah
masih seorang gadis ataupun jejaka, dalam arti mereka yang belum kawin, atau
bisa juga orang-orang tua yang sudah habis masa haidnya (Renawati, 2015).

Penjelasan di atas sebagai syarat untuk menarikan tarian sakral yang sudah menjadi
aturan bagi setiap desa di pulau ini. Terkait dengan hal itu jelas bahwa tari wali biasanya
ditarikan sebelum atau mengawali prosesi upacara.
2. Seni Tari yang Termasuk Bebali

Tari Bebali merupakan tarian semi sakral atau seremonial yang biasanya digelar di
jaba tengah (halaman tengah pura. Walau genre ini juga dipertunjukkan dalam kaitan Odalan
atau upacara religius, tetapi terdapat perbedaan jika dibandingkan dengan kelompok tari Wali,
terutama pada tingkat kesucian genre Bebali sedikit lebih rendah dari genre Wali. Beberapa
jenis tarian yang bisa dikategorikan sebagai tari Bebali, antara lain Seni pewayangan, Tari
Gambuh, Topeng Pajegan, dan Tari Baris. Tari Baris yang dipentaskan di bagian tengah Pura
berfungsi untuk mengiringi upacara agama (Yana, n.d.).

Tari Bebali termasuk sebagai pengiring upacara dan mengandung lakon.


Contohnya : Tari Wayang Lemah, Tari Gambuh, dan Tari Topeng.

3. Seni Tari yang Termasuk Balih-balihan

Genre tari Balih-balihan adalah murni dipertunjukkan untuk menghibur penonton.


Bandem & deBoer menyatakan bahwa seringkali tari-tarian sekuler dikelola secara
profesional untuk mendapatkan uang. Tari Balih-balihan dipertunjukkan di halaman pura
ketiga yang disebut Jaba atau halaman paling luar Pura. Secara primer fungsi areal itu adalah
tempat hiburan bagi umat hindu di pura (Yana, n.d.). Seni tari yang termasuk Balih-balihan
adalah seni tari yang diciptakan berdasarkan tuntunan budi luhur dan berfungsi untuk
hiburan. Contoh : tari cak, tari janger, tari legong keraton, tari kebyar duduk, tari manuk
rawa, tari puspa wresti, tari puspanjali, dan masih banyak lagi termasuk seni drama dan
tari atau Sendratari.

2.2 Sejarah Tari Topeng Sidakarya


Kisahnya dimulai terjadi pada pemerintahan Dalem Waturenggong di Gelgel,
tatkala beliau mengadakan upacara besar di Pura Besakih. Banyak pandita yang
diundang untuk muput upacara ini. Tersebutlah pandita (brahmana) sakti dari
Keling, yang tidak diundang dalam upacara itu, tetapi ingin terlibat muput karya.
Niatnya ini karena didasarkan pada hubungan kekerabatan antara Keling di Jawa dan
Gelgel di Bali karena itu beliau datang. Sayangnya, karena perjalanan yang jauh dan
berhari-hari, Pandita Keling sampai di Gelgel dalam keadaan kumal, bajunya
compang-camping, mirip seorang pengemis. Dalam pakaian seperti itu, tak ada
seorang pun staf kerajaan yang percaya kalau tamu tanpa diundang ini seorang
pandita. Maka, Pandita Keling diusir dengan paksa, setelah sebelumnya sempat
dihina.
Pandita Keling pergi dengan dendam. Di sebuah tempat yang sepi, dia
melakukan perlawanan dengan mengucapkan mantra yang berisi sumpah yadnya
yang diselenggarakan oleh Dalem Waturenggong tidak akan membawa berkah/tidak
berhasil, malahan menimbulkan bencana. Semua banten menjadi busuk dan tikus-
tikus pun mengerubungi banten busuk itu. Tikus semakin banyak sampai merusak
tanaman petani. Rakyat menjadi resah. Raja Waturenggong dalam samadinya tahu
siapa yang mengutuk upacara besarnya itu. Dia lantas mengutus Arya Tangkas untuk
menjemput pandita yang masih tinggal di tempat sepi (suung) itu. Raja meminta
maaf dan mempersilakan Pandita Keling untuk ikut muput upacara bahkan menjadi
pamuput paling akhir sehingga karya itu menjadi sida (diberkahi). Prosesi ini bagi
masyarakat kebanyakan lantas disebut pamuput Sidakarya.
Dari legenda itu masyarakat Hindu di Bali lantas membuat Topeng Sidakarya.
Wujudnya berwajah jelek dengan gigi merangas sebagai simbol dari pandita yang
wajahnya mirip gelandangan. Karena itu, penari Topeng Sidakarya biasanya lebih
banyak menutup wajah — terutama mulut — dengan kain putih yang dibawanya.
Namun, mantra yang diucapkan sangat bertuah karena dilakukan dengan ngider
buwana (ke segala arah). Itu sebabnya, tidak semua penari topeng mampu menarikan
Dalem Sidakarya. Kebanyakan masyarakat Bali yang tidak mementaskan Topeng
Sidakarya untuk muput yadnya beralasan lain lagi, yakni tak ingin memanggil sekaa
topeng. Pengeluaran bertambah dengan mementaskan topeng. Namun, Topeng
Sidakarya sendiri sesungguhnya bisa dipentaskan tanpa ”pementasan topeng”.
Artinya, yang didatangkan hanya seorang penari topeng yang sudah berhak (secara
ritual) membawakan topeng Dalem Sidakarya itu.
Terkait dengan moksartham, ada jalan sebagai petunjuk untuk menuju moksa tersebut,
ada tiga bentuk moksa yang telah dijalani oleh orang yang telah mencapai moksa yaitu Moksa,
Adhi Moksa, dan Parama Moksa. Moksa dibedakan berdasarkan proses moksa yang dijalani ketika
atman meninggalkan badannya. Bila moksa yang dicapai masih meninggalkan badan jasmani
disebut Moksa, bila ketika moksa hanya meninggalkan abu dari badan jasmaninya yang telah
dibakar oleh kekuatan yoganya disebut Adhi Moksa. Dan ketika moksa yang dilakukan tidak lagi
meninggalkan dari bekas badan jasmaninya disebut Parama Moksa. Ketiga hal ini merupakan
suatu proses untuk pencapaian moksa tingkat tinggi. Jalan moksa yang dicapai dari moksa, adhi
moksa dan parama moksa merupakan jenjang tingkatan moksa, namun bagi jiwa yang telah
terbebas dari segala ikatan karma maupun ikatan keduniawian memilih cara moksa sesuai dengan
kehendaknya. Orang yang telah memiliki kuasa Atmannya telah memancarkan jati dirinya sebagai
Tuhan yang ada dalam diri, dapat menentukan sendiri kapan dikehendaki untuk meninggalkan
dunia ini dan menentukan sendiri cara meninggalnya (Renawati, 2015).
Gamelan pengiring tidak menjadi masalah, bisa gong gede, angklung, maupun
gender biasa, disesuaikan dengan gamelan yang ada pada penyelenggaraan yadnya.
Dalam hal ini penari Topeng Sidakarya disebut ”Topeng Pajegan”, karena dia harus
menarikan berbagai peran. Dalem Sidakarya hanya muncul pada saat akhir yakni
ketika membuat tirtha. Karena itu sebelumnya ”penari pajegan” ini melakukan
improvisasi dan monolog untuk mengantar pada kemunculan Dalem Sidakarya.
Penari bisa membanyol, bisa pula memberikan semacam dharma wacana, tergantung
siapa penarinya. Sebagai seni ritual (seni wali) Topeng Sidakarya perlu
dikembangkan dan dipopulerkan. Tentu fungsi utamanya ditambah, bukan hanya
untuk mentradisikan legenda pamuput akhir dari yadnya, tetapi untuk media dharma
wacana. Sekarang ini bukan hanya hama tikus yang meresahkan tetapi juga
terjadinya kemerosotan moral pada generasi muda. Nah, siapa tahu Topeng Sidakarya
bisa menjadi media perlawanan dalam mengatasi masalah moral ini dan bisa menjadi
tongkak untuk menguatkan kesenian di bali khususnya seni tari wali ini.

Ritual pembuatan

Tak hanya sang penari, proses pembuatannya pun tak bisa sembarangan karena
memang tak dipakai untuk sembarangan. Topeng Sidakarya ini lain dengan topeng-
topeng yang dibuat dan dijual secara massal, seperti di pasar-pasar kerajinan atau pasar
oleh-oleh. Perbedaannya bisa mulai dari pemilihan bahan kayu, ritual memulai
memahat, pengawetannya, hingga ritual penghidupan topeng tersebut. Namun, jangan
salah paham dengan adanya ritual penghidupan topeng ini. Penghidupan ini bukannya
topeng tersebut kemudian bisa berbicara, melainkan dimaksudkan terasa lebih hidup
dan menyatu dengan sang penarinya, yakni proses inisiasi (penyucian) dan pesupati
(menghidupkan). Biasanya, si penari topeng Sidakarya yang telah mewinten memiliki
satu topeng khusus untuk dirinya ngayah. Satu hal lagi, pembuat topengnya pun
melewati tahapan mewinten. penyakralan pada pembuatan topeng ini mampu menahan
manusia untuk tidak semena-mena terhadap alam, khususnya pepohonan. Karena itu,
dari pemilihan kayu hingga penebangannya pun harus disesuaikan dengan musim serta
hari baiknya dengan tujuan agar alam tidak murka. Namun, ketika topeng sudah
menjadi kerajinan yang dibuat secara massal, manusia menjadi rakus tanpa memilih
kayu itu sudah cukup umur sampai tanpa pemilihan musim yang tepat pula. Semua
demi kepentingan uang, bahkan pariwisata. Wajar jika kemudian alam menjadi murka.
Inilah salah satu pesan topeng Sidakarya tentang alam.

Karya kriya ini bermakna pada aktivitas kesenian di Bali terutama tari topeng
Sidakarya yang selalu berkorelasi dengan pelaksanaan upacara Agama Hindu, dengan
demikian seni, budaya dan agama Hindu merupakan satu kesatuan yang tak dapat
terpisahkan dari kesenian (Wiyasa, 2007).

Waktu pembuatan topeng sakral ini pun bervariasi, tergantung dari mood sang
pengukirnya, bisa hanya tiga hari atau sebulan. Hal yang unik selama pembuatan topeng
sakral, antara lain, adalah pengawetannya yang harus direbus dengan kuah bumbu
genep (bumbu dapur lengkap) selama 12 jam tanpa putus. Awet dan tidaknya topeng
juga tetap tidak lepas dari awal pencarian kayu cendana, pole, atau batang kamboja,
termasuk pemilihan tanggal penebangannya. Dari puluhan tahun lalu, semua
pembuatan topeng menggunakan ilmu logika dan pertimbangan penuh. Inilah seni lokal
genius. Sayangnya, bahan pengawetan alami ini tidak diikuti dengan pewarnaan alami.
Pewarnaan alami tidak lagi memiliki kualitas sama kuat antara puluhan tahun lalu dan
sekarang. Karena itu, terpaksa digantikan dengan cat kimia dengan pemilihan kualitas
nomor wahid. Topeng sakral selain topeng Sidakarya di Pulau Dewata, juga ada topeng
yang sengaja disakralkan dan biasanya disimpan di pura-pura, seperti Rangda, Barong,
dan Irarung. Pementasannya pun tidak setiap saat karena memiliki hari atau waktu
pementasan sendiri. Semua topeng sakral ini pun diberikan banten dan doa-doa,
terutama ketika tumpek wayang, sebagai persembahan kepada Dewa Iswara.

2.3 Fungsi Tari Topeng Sidakarya


1. Fungsi Religius
Religius berarti Agama, Agama dalam hal ini sebagai pedoman yang mengarahkan
tindakan manusia. Kaitannya dengan Topeng Sidakarya dalam Upacara Dewa Yadnya
pada kehidupan beragama senantiasa menanamkan nilai-nilai keberagamaan (Kiswara,
2018).
2. Fungsi Spiritual
Seni tradisional seperti tari Topeng Sidakarya ini merupakan sebuah kesenian
yang juga mengandung nilai-nilai ketuhanan atau spiritualitas hanya saja
pesan dari hal tersebut tidak disampaikan secara langsung, oleh karena itu seni
tradisional tidak dapat dikatakan sebagai seni sacral yang jelas mengandung
term ketuhanan akan tetapi seni tradisional dapat dimaknai sebagai salah satu
bentuk seni sacral (Kiswara, 2018).
3. Fungsi Pendidikan Agama Hindu
Pendidikan agama Hindu dalam penelitian ini adalah suatu pendidikan melalui
ajaran Agama Hindu dengan tujuan untuk meningkatkan Sradha dan Bhakti
anak terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa, meningkatkan kecerdasan,
ketrampilan, dalam menjalankan ajaran agama, mempertinggi Bhudi pekerti,
memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan dan cinta
tanah air. Pendidikan tidak hanya berlangsung pada bangku belajar semata,
namun juga dalam tiap aspek kehidupan terlebih ilmu-ilmu yang dipergunakan
dalam kemasyarakatan. Kehadiran torpeng Sidakarya dalam upacara Dewa
Yadya dalam rangkaian menyampaikan makna dalam berupacara juga
merupakan proses transformasi ilmu guna mendewasakan masyarakat. Hal
inilah yang memberikan fungsi bahwa kehadiran topeng sida karaya juga
sebagai media pendidikan agama Hindu (Kiswara, 2018).

Topeng Sidhakarya seakan-akan disamakan dengan Topeng Pajegan. Pengertian itu


terjadi bahwa Topeng Pajegan itu dilakoni oleh hanya seorang penari (pragina), dengan
memainkan sejumlah karakter topeng. Tetapi kenyataannya dewasa ini tidak selamanya
“nopeng sidhakarya” itu diperankan tokoh-tokohnya hanya oleh seorang pelaku. Sering
dua atau lebih penari topeng, menarikan pada bagian lakonnya, hanya pada hadirnya
topeng sidhakarya, dilakukan oleh seorang diantara mereka itu.

Kata Topeng mempunyai pengertian, yaitu :

1. Topeng merupakan suatu benda penutup muka. Di sini dimaksud “tutup” yang
dipakai untuk menutupi muka manusia. Topeng mengandung pengertian suatu
benda yang ditekankan pada muka, yaitu tapel. Jadi disamping tapel, make up
pun bisa disebut topeng, karena ia menimbulkan perubahan muka dari wujudnya
semula.
2. Kata topeng berasal dari kata “tup” yang berarti tutup. Karena gejala bahasa yang
disebut pembentukan kata, kata “tup” ditambah saja dengan kata “eng“, yang
kemudian menjadi “tupeng“. Tupeng kemudian mengalami perubahan sehingga
menjadi topeng.

3. Di Bali kata topeng berarti tutup atau tapel. Oleh karena itu pula bahwa tari
topeng dikatakan sebagai tari yang memakai tapel untuk menutupi mukanya.

Akhirnya dari pengertian tersebut di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa
topeng di Bali adalah suatu tarianyang penarinya memakai tapel atau topeng dan
memakai sejarah atau babad sebagai lakon.

Sedangkan istilah Sidhakarya (Sidakarya : Bali), berasal dari kata “sida” dan “karya“.
Kata “sida” dalam bahasa Sansekerta, dari urat kata “siddh” artinya mencapai. Dalam
pembentukannya menjadi kata siddha/siddhya, yang artinya berhasil, tercapai,
terlaksana, sempurna. Sedangkan kata “karya“, memiliki pengertian
tugas, tujuan, kerja/pekerjaan, ritual/upacara. Kedua kata itu menjadi kosa kata dalam
bahasa Jawa Kuno (Bahasa Kawi) “Siddhakarya” dan dalam bahasa Bali “Sidakarya“,
yang mempunyai arti yang sama, yakni pekerjaan yang berhasil atau). Jadi Topeng
Sidakarya, merupakan sebuah pernyataan bahwa pekerjaan/karya yang digelar sudah
selesai dengan sempurna(Kiswara, 2018).

2.4Kaitan Topeng Sidakarya Dengan Upacara Keagamaan

Pada setiap upacara keagamaan Hindu di Bali, terutama dalam tingkatan yang lebih
besar, wali Sidakarya tidak dapat dilupakan. Dalam bentuk sederhana dibuat banten
sesayut Sidakarya. Dengan demikian, pertunjukan Topeng Sidakarya sebagai pelengkap
dalam upacara mengandung arti sebagai berikut:

1. Sesuai dengan nama Topeng Sidakarya, ada tujuan supaya pekerjaan atau
upacara berlangsung serta selesai dengan baik dan selamat. Selesai dengan baik
mengandung arti bahwa upacara berlangsung sebagaimana mestinya lengkap
terdiri dari upacara sesuai dengan tingkatan upacara. Selamat mengandung arti
upacara terhindari dari segala mara bahaya. Hal ini dapat dihubungkan dengan
ekspresi Topeng Sidakarya yakni tipe pelawak tersenyum, membangkitkan rasa
kengerian.
2. Untuk menghubungkan umat dengan Sang Hyang Widhi dan leluhur melalui
lakon yang dipentaskan memberi uraian tentang arti suatu upacara yang sedang
digelar.
3. Upacara tersebut tidak hanya dipimpin dan diselesaikan atau di-puput oleh
pendeta (sulinggih), tetapi pertunjukan topeng ikut memberi pengukuhan
suksesnya serta sempurnanya sebuah upacara. Anugerah kesempurnaan dan
kemakmuran dapat disaksikan pada akhir pertunjukan Topeng Sidakarya yakni
secara simbolis peranan Sidakarya menghambur-hamburkan uang kepeng dan
beras kuning (sekarura) (Wiyasa, 2007).

Demikian pentingnya pertunjukan Topeng Sidakarya keterkaitannya dengan upacara


keagamaan dalam segala yadnya yang digelar di keluarga maupun di pura-pura besar
perlu kiranya disikapi dengan arif sehingga tujuan inti ber-yadnya lebih meningkatkan
kemantapan pencapaian spiritual. Di samping sebagai pelengkap dalam upacara agama
Hindu, Topeng Sidakrya adalah seni kebudayaan Hindu yang dapat mengungkap sejarah
(Wiyasa, 2007).
DAFTAR PUSTAKA

Kiswara, K. A. T. (2018). Agama, Adat Seni dan Sejarah Di Zaman Milenial. In I. G. A.


Suasthi & I. G. K. Widana (Eds.), Pementasan Topeng Sidakarya Pada Upacara Dewa
Yadnya Di Pura Desa Desa Tinggarsari Kecamatan Busungbiu Kabupaten Buleleng.
Denpasar: UNHI PRESS.

Renawati, P. W. (2015). Dasar Sukses ber-Yadnya dalam Tari Topeng Sidakarya di Bali.
Jurnal Lektur Keagamaan, 12(1), 297–318.

Wiyasa, I. N. N. (2007). Topeng Sidakarya. Denpasar.

Yana, I. B. C. (n.d.). Gerak Tari Baris Tungga; Dalam Fotografi Ekspresi Menggunakan
Teknik Strombo Light. 2014.

Anda mungkin juga menyukai