Budaya
Disusun Oleh :
1207618049
Rombel 2
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, Atas Asung Kertha Wara
Nugraha-NYA penulis dapat menyelesaikan Artikel ini tepat pada waktunya. Tema yang
diangkat dari Artikel ini ada;ah Seni Tari dalam perspektif Agama Hindu. Sumber
referensi artikel ini adalah pengamatan sendiri yang dilakukan oleh penulis dan juga
dari situs internet.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang membantu penyusunan
artikel ini baik langsung maupun tidak langsung.
Penulis,
BAB I
PENDAHULUAN
Seni tari tentunya hal yang tidak asing lagi bagi kita, sekarang malah banyak sekali
macam-macam tarian baik yang tradisional maupun yang modern. Seni tari merupakan
suatu karya seni yang ditampilkan melalui media gerak sehingga menimbulkan daya
pesona. Mengingat dalam perkembangannya sekarang, begitu banyak macam tari maka
umat Hindu mengelompokan seni tari menjadi tiga kategori, yaitu :
Tari sakral adalah tari-tarian yang di Pulau Bali dikenal dengan nama tari wali. Tari-tarian ini
dalam pementasannya selalu dihubungkan dengan suatu upacara keagamaan dan merupakan
salah satu bagian dari suatu upacara, dalam hal ini kesuciannya terletak pada :
1. Peralatan yang digunakan, misalnya: Tari Pendet dengan canang sarinya, pasepan
dan tetabuhan yang dibawa oleh penari. Tari Rejang dengan gelungan-nya serta
benang penuntun yang dililitkan pada tubuh si penari (khususnya Rejang Renteng).
Topeng Sidakarya dengan beras sekar ura-nya yang di taburkan pada saat menari
(Renawati, 2015).
2. Pada Penari atau pelaksananya. Umumnya syarat kesucian penari memegang
peranan penting di samping peralatan yang dibawa atau digunakan. Penari-penari
tarian wali sepatutnya dilaksanakan oleh orang-orang yang sudah mawinten atau
disucikan secara ritual, atau kalau tidak sedemikian penari bersangkutan adalah
masih seorang gadis ataupun jejaka, dalam arti mereka yang belum kawin, atau
bisa juga orang-orang tua yang sudah habis masa haidnya (Renawati, 2015).
Penjelasan di atas sebagai syarat untuk menarikan tarian sakral yang sudah menjadi
aturan bagi setiap desa di pulau ini. Terkait dengan hal itu jelas bahwa tari wali biasanya
ditarikan sebelum atau mengawali prosesi upacara.
2. Seni Tari yang Termasuk Bebali
Tari Bebali merupakan tarian semi sakral atau seremonial yang biasanya digelar di
jaba tengah (halaman tengah pura. Walau genre ini juga dipertunjukkan dalam kaitan Odalan
atau upacara religius, tetapi terdapat perbedaan jika dibandingkan dengan kelompok tari Wali,
terutama pada tingkat kesucian genre Bebali sedikit lebih rendah dari genre Wali. Beberapa
jenis tarian yang bisa dikategorikan sebagai tari Bebali, antara lain Seni pewayangan, Tari
Gambuh, Topeng Pajegan, dan Tari Baris. Tari Baris yang dipentaskan di bagian tengah Pura
berfungsi untuk mengiringi upacara agama (Yana, n.d.).
Ritual pembuatan
Tak hanya sang penari, proses pembuatannya pun tak bisa sembarangan karena
memang tak dipakai untuk sembarangan. Topeng Sidakarya ini lain dengan topeng-
topeng yang dibuat dan dijual secara massal, seperti di pasar-pasar kerajinan atau pasar
oleh-oleh. Perbedaannya bisa mulai dari pemilihan bahan kayu, ritual memulai
memahat, pengawetannya, hingga ritual penghidupan topeng tersebut. Namun, jangan
salah paham dengan adanya ritual penghidupan topeng ini. Penghidupan ini bukannya
topeng tersebut kemudian bisa berbicara, melainkan dimaksudkan terasa lebih hidup
dan menyatu dengan sang penarinya, yakni proses inisiasi (penyucian) dan pesupati
(menghidupkan). Biasanya, si penari topeng Sidakarya yang telah mewinten memiliki
satu topeng khusus untuk dirinya ngayah. Satu hal lagi, pembuat topengnya pun
melewati tahapan mewinten. penyakralan pada pembuatan topeng ini mampu menahan
manusia untuk tidak semena-mena terhadap alam, khususnya pepohonan. Karena itu,
dari pemilihan kayu hingga penebangannya pun harus disesuaikan dengan musim serta
hari baiknya dengan tujuan agar alam tidak murka. Namun, ketika topeng sudah
menjadi kerajinan yang dibuat secara massal, manusia menjadi rakus tanpa memilih
kayu itu sudah cukup umur sampai tanpa pemilihan musim yang tepat pula. Semua
demi kepentingan uang, bahkan pariwisata. Wajar jika kemudian alam menjadi murka.
Inilah salah satu pesan topeng Sidakarya tentang alam.
Karya kriya ini bermakna pada aktivitas kesenian di Bali terutama tari topeng
Sidakarya yang selalu berkorelasi dengan pelaksanaan upacara Agama Hindu, dengan
demikian seni, budaya dan agama Hindu merupakan satu kesatuan yang tak dapat
terpisahkan dari kesenian (Wiyasa, 2007).
Waktu pembuatan topeng sakral ini pun bervariasi, tergantung dari mood sang
pengukirnya, bisa hanya tiga hari atau sebulan. Hal yang unik selama pembuatan topeng
sakral, antara lain, adalah pengawetannya yang harus direbus dengan kuah bumbu
genep (bumbu dapur lengkap) selama 12 jam tanpa putus. Awet dan tidaknya topeng
juga tetap tidak lepas dari awal pencarian kayu cendana, pole, atau batang kamboja,
termasuk pemilihan tanggal penebangannya. Dari puluhan tahun lalu, semua
pembuatan topeng menggunakan ilmu logika dan pertimbangan penuh. Inilah seni lokal
genius. Sayangnya, bahan pengawetan alami ini tidak diikuti dengan pewarnaan alami.
Pewarnaan alami tidak lagi memiliki kualitas sama kuat antara puluhan tahun lalu dan
sekarang. Karena itu, terpaksa digantikan dengan cat kimia dengan pemilihan kualitas
nomor wahid. Topeng sakral selain topeng Sidakarya di Pulau Dewata, juga ada topeng
yang sengaja disakralkan dan biasanya disimpan di pura-pura, seperti Rangda, Barong,
dan Irarung. Pementasannya pun tidak setiap saat karena memiliki hari atau waktu
pementasan sendiri. Semua topeng sakral ini pun diberikan banten dan doa-doa,
terutama ketika tumpek wayang, sebagai persembahan kepada Dewa Iswara.
1. Topeng merupakan suatu benda penutup muka. Di sini dimaksud “tutup” yang
dipakai untuk menutupi muka manusia. Topeng mengandung pengertian suatu
benda yang ditekankan pada muka, yaitu tapel. Jadi disamping tapel, make up
pun bisa disebut topeng, karena ia menimbulkan perubahan muka dari wujudnya
semula.
2. Kata topeng berasal dari kata “tup” yang berarti tutup. Karena gejala bahasa yang
disebut pembentukan kata, kata “tup” ditambah saja dengan kata “eng“, yang
kemudian menjadi “tupeng“. Tupeng kemudian mengalami perubahan sehingga
menjadi topeng.
3. Di Bali kata topeng berarti tutup atau tapel. Oleh karena itu pula bahwa tari
topeng dikatakan sebagai tari yang memakai tapel untuk menutupi mukanya.
Akhirnya dari pengertian tersebut di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa
topeng di Bali adalah suatu tarianyang penarinya memakai tapel atau topeng dan
memakai sejarah atau babad sebagai lakon.
Sedangkan istilah Sidhakarya (Sidakarya : Bali), berasal dari kata “sida” dan “karya“.
Kata “sida” dalam bahasa Sansekerta, dari urat kata “siddh” artinya mencapai. Dalam
pembentukannya menjadi kata siddha/siddhya, yang artinya berhasil, tercapai,
terlaksana, sempurna. Sedangkan kata “karya“, memiliki pengertian
tugas, tujuan, kerja/pekerjaan, ritual/upacara. Kedua kata itu menjadi kosa kata dalam
bahasa Jawa Kuno (Bahasa Kawi) “Siddhakarya” dan dalam bahasa Bali “Sidakarya“,
yang mempunyai arti yang sama, yakni pekerjaan yang berhasil atau). Jadi Topeng
Sidakarya, merupakan sebuah pernyataan bahwa pekerjaan/karya yang digelar sudah
selesai dengan sempurna(Kiswara, 2018).
Pada setiap upacara keagamaan Hindu di Bali, terutama dalam tingkatan yang lebih
besar, wali Sidakarya tidak dapat dilupakan. Dalam bentuk sederhana dibuat banten
sesayut Sidakarya. Dengan demikian, pertunjukan Topeng Sidakarya sebagai pelengkap
dalam upacara mengandung arti sebagai berikut:
1. Sesuai dengan nama Topeng Sidakarya, ada tujuan supaya pekerjaan atau
upacara berlangsung serta selesai dengan baik dan selamat. Selesai dengan baik
mengandung arti bahwa upacara berlangsung sebagaimana mestinya lengkap
terdiri dari upacara sesuai dengan tingkatan upacara. Selamat mengandung arti
upacara terhindari dari segala mara bahaya. Hal ini dapat dihubungkan dengan
ekspresi Topeng Sidakarya yakni tipe pelawak tersenyum, membangkitkan rasa
kengerian.
2. Untuk menghubungkan umat dengan Sang Hyang Widhi dan leluhur melalui
lakon yang dipentaskan memberi uraian tentang arti suatu upacara yang sedang
digelar.
3. Upacara tersebut tidak hanya dipimpin dan diselesaikan atau di-puput oleh
pendeta (sulinggih), tetapi pertunjukan topeng ikut memberi pengukuhan
suksesnya serta sempurnanya sebuah upacara. Anugerah kesempurnaan dan
kemakmuran dapat disaksikan pada akhir pertunjukan Topeng Sidakarya yakni
secara simbolis peranan Sidakarya menghambur-hamburkan uang kepeng dan
beras kuning (sekarura) (Wiyasa, 2007).
Renawati, P. W. (2015). Dasar Sukses ber-Yadnya dalam Tari Topeng Sidakarya di Bali.
Jurnal Lektur Keagamaan, 12(1), 297–318.
Yana, I. B. C. (n.d.). Gerak Tari Baris Tungga; Dalam Fotografi Ekspresi Menggunakan
Teknik Strombo Light. 2014.