Anda di halaman 1dari 25

TEORI BELAJAR BEHAVIORISME DAN LANDASAN

FILOSOFINYA

DISUSUN OLEH KELOMPOK 3:


SALMITRIANI (A1K1 19 064)
ELDA AMELIA GUSMAN (A1K1 19 032)
IASRIP BUDI DWITAMA (A1K1 19 090)
ERVINA (A1K1 19 004)

JURUSAN PENDIDIKAN FISIKA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS HALU OLEO KENDARI
KATA PENGANTAR

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Puji syukur penulis
panjatkan ke hadirat-Nya, yang telah memberikan keluasan waktu dan kesehatan
kepada penulis untuk dapat menyelesaikan tugas mata kuliah Belajar dan
Pembelajaran yang diampuh oleh Bapak La Sahara, S.Pd, M.Pd. Jenis tugas yang
diberikan adalah membuat makalah. Perincian makalah yang diberikan adalah
menyusun makalah tentang Teori Belajar Behaviorisme dan Landasan
Filosofinya.
Melalui penugasan ini diharapkan semua pembaca dapat memahami tentangTeori
Belajar Behaviorisme dan Landasan Filosofinya yang pada gilirannya dapat
diterapkan dalam kegiatan pembelajaran. Selain itu manfaat yang dapat
dirasakan adalah meningkatnya kompetensi pembelajaran para pembaca yang
sebagian besar merupakan mahasiswa.
Penulis menyadari, bahwa makalah ini belum sempurna. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk kesempurnaan makalah
ini. Mudah-mudahan makalah ini bermanfaat bagi penulis sendiri, maupun siapa
saja yang memerlukannya.

Kendari, 16 September 2019

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………… …i
DAFTAR ISI………………………………………………………………........ii

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang…..……………………………………………

B. Perumusan Masalah….……………………………………… 2

BAB 2 PEMBAHASAN

A. Pengertian Teori Belajar Behaviorisme…………………….... 3

B. Tokoh-tokoh dalam Teori Behaviorisme .……………………. 3

1. Ivan Petrovich Pavlov…………….…………………..... 3

2. John Watson ………………………………………......... 5

3. Edward Lee Thorndike….…...…………………………. 6

4. B.F Skinner……………………………………………... 8

C. Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran….

D. Kelebihan dan Kelemahan Teori Belajar Behaviorisme……… 12

BAB 3 PENUTUP

A. Kesimpulan……..……………………………………….……. 14

B. Saran …….……...……………………………………….……. 14

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Teori belajar merupakan landasan terjadinya suatu proses belajar


yang menuntun terbentuknya kondisi untuk belajar. Teori belajar dapat
didefenisikan sebagai integrasi prinsip-prinsip yang menuntun di dalam
merancang kondisi demi tercapainya tujuan pendidikan. Dengan adanya
teori belajar akan memberikan kemudahan bagi guru dalam menjalankan
model-model pembelajaran yang akan dilaksanakan. Banyak telah
ditemukan teori belajar yang pada dasarnya menitik beratkan ketercapaian
perubahan tingkah laku setelah proses pembelajaran.

Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik


dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran merupakan
bantuan yang diberikan pendidik agar dapat terjadi proses perolehan ilmu
dan pengetahuan, penguasaan kemahiran dan tabiat, serta pembentukan
sikap dan kepercayaan pada peserta didik. Dengan kata lain, pembelajaran
adalah proses untuk membantu peserta didik agar dapat belajar dengan baik.

Di sisi lain pembelajaran mempunyai pengertian yang mirip


dengan pengajaran, tetapi sebenarnya mempunyai konotasi yang berbeda.
Dalam konteks pendidikan, guru mengajar agar peserta didik dapat belajar
dan menguasai isi pelajaran hingga mencapai sesuatu objektif yang
ditentukan (aspek kognitif), juga dapat memengaruhi perubahan sikap
(aspek afektif), serta keterampilan (aspek psikomotor) seorang peserta didik,
namun proses pengajaran ini memberi kesan hanya sebagai pekerjaan satu
pihak, yaitu pekerjaan pengajar saja. Sedangkan pembelajaran menyiratkan
adanya interaksi antara pengajar dengan peserta didik.

Pembelajaran yang berkualitas sangat tergantung dari motivasi


pelajar dan kreatifitas pengajar. Pembelajar yang memiliki motivasi tinggi
ditunjang dengan pengajar yang mampu memfasilitasi motivasi tersebut
akan membawa pada keberhasilan pencapaian target belajar. Target belajar
dapat diukur melalui perubahan sikap dan kemampuan siswa melalui proses
belajar. Desain pembelajaran yang baik, ditunjang fasilitas yang memandai,
ditambah dengan kreatifitas guru akan membuat peserta didik lebih mudah
mencapai target belajar.

Anda telah melihat individu mengalami pembelajaran, melihat


individu berperilaku dalam cara tertentu sebagai hasil dari pembelajaran,
1 mayoritas dari Anda) telah
dan beberapa dari Anda (bahkan saya rasa
"belajar" dalam suatu tahap dalam hidup Anda. Dengan perkataan lain, kita
dapat menyimpulkan bahwa pembelajaran telah terjadi ketika seorang
individu berperilaku, bereaksi, dan merespon sebagai hasil dari pengalaman
dengan satu cara yang berbeda dari caranya berperilaku sebelumnya.

B. Perumusan Masalah

Karena pembahasan tentang teori behaviorisme sanagt luas, maka pada


pembahasan makalah ini penulis akan menitik beratkan pada poin-poin
dibawah ini:

1. Siapakah tokoh-tokoh yang mendukung teori belajar behaviorisme?


2. Bagaimana aplikaasi teori belajar behaviorisme dalam pendidikan di
Indonesia?
3. Apa kelemahan dan kelebihan dari teori belajar behaviorisme?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Teori Belajar Behaviorisme

Behavior dalam psikologi atau juga disebut behaviorisme adalah teori


pembelajaran yang didasarkan pada tingkah laku yang diperoleh dari
pengkondisisan lingkungan.
Pengkondisian terjadi melalui interaksi dengan lingkungan. Teori ini dapat
dipelajari secara sistematis dan dapat diamati dengan tidak
mempertimbangkan dari seluruh keadaan mental.

Behaviorisme atau Aliran Perilaku (juga disebut Perspektif Belajar)


adalah filosofi dalam psikologi yang berdasar pada proposisi bahwa semua
yang dilakukan organisme termasuk tindakan, pikiran, atau perasaan dapat
dan harus dianggap sebagai perilaku. Aliran ini berpendapat bahwa perilaku
demikian dapat digambarkan secara ilmiah tanpa melihat peristiwa fisiologis
internal atau pikiran. Behaviorisme beranggapan bahwa semua teori harus
memiliki dasar yang bisa diamati tapi tidak ada perbedaan antara proses
yang dapat diamati secara publik (seperti tindakan) dengan proses yang
diamati secara pribadi (seperti pikiran dan perasaan).

Menurut teori belajar tingkah laku, belajar adalah perubahan dalam


tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respon.
Seseorang telah dikatakan sudah mengalami proses belajar jika telah mampu
bertingkah laku dengan cara baru sebagai hasil interaksi antara stimulus
yang berupa proses dan materi pembelajaran dengan respon atau tanggapan
yang diberikan oleh pebelajar.

Misalnya; seorang pelajar belum dapat dikatakan berhasil dalam belajar


Ilmu Pengetahuan Sosial jika dia belum bisa/tidak mau melibatkan diri
dalam kegiatan-kegiatan sosial di masyarakat,seperti; ikut berpartisipasi
dalam kegiatan pemilu, kerja bakti, ronda dll
Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk
diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat
diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh
guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh pebelajar (respon) harus dapat
diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran
merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan
tingkah laku tersebut.

B. Tokoh-tokoh dalam Teori Behaviorisme

1. Ivan Petrovich Pavlov

Classic conditioning (pengkondisian atau persyaratan klasik)


adalah proses yang ditemukan Pavlov melalui percobaannya
terhadap anjing, dimana perangsang asli dan netral dipasangkan
dengan stimulus bersyarat secara berulang-ulang sehingga
memunculkan reaksi yang diinginkan.

Ia menemukan bahwa ia dapat menggunakan stimulus netral,


seperti sebuah nada atau sinar untuk membentuk perilaku (respons).
Eksperimen-eksperimen yangdilakukan Pavlov dan ahli lain
tampaknya sangat terpengaruh pandangan behaviorisme, dimana
gejala-gejala kejiwaan seseorang dilihat dari perilakunya.

Hal ini sesuai dengan pendapat Bakker bahwa yang paling


sentral dalam hidup manusia bukan hanya pikiran, peranan maupun
bicara, melainkan tingkah lakunya. Pikiran mengenai tugas atau
rencana baru akan mendapatkan arti yang benar jika ia berbuat
sesuatu.Bertitik tolak dari asumsinya bahwa dengan menggunakan
rangsangan-rangsangan tertentu, perilaku manusia dapat berubah
sesuai dengan apa yang di inginkan. Kemudian Pavlov mengadakan
eksperimen dengan menggunakan binatang (anjing) karena ia
menganggap binatang memiliki kesamaan dengan manusia. Namun
demikian, dengan segala kelebihannya, secara hakiki manusia
berbeda dengan binatang.

Makanan adalah rangsangan wajar, sedangkan lonceng rangsangan


netral, disebut stimulus netral karena pada awalnya tidak
menyebabkan anjing tersebut mengeluarkan air liur . Ternyata kalau
perbuatan yang demikian dilakukan berulang-ulang, rangsangan
buatan ini akan menimbulkan syarat (kondisi) untuk timbulnya air
liur pada anjing tersebut. Dari eksperimen tersebut, setelah
pengkondisian atau pembiasaan, dapat di ketahui bahwa makanan
yang menjadi stimulus alami dapat di gantikan oleh lonceng sebagai
stimulus yang dikondisikan (conditioned stimulus). Ketika lonceng
di bunyikan ternyata air liur anjing keluar sebagai respon-nya. Bunyi
lonceng menjadi stimulus dengan pengkondisian, dan keluarnya air
liur anjing disebut respons dengan pengkondisian.

Apakah situasi ini bisa diterapkan pada manusia? Ternyata


dalam kehidupan sehari-hari ada situasi yang sama pada anjing.
Sebagai contoh, suara lagu dari penjual es creem Walls yang
berkeliking dari rumah kerumah. Awalnya mingkin suara itu asing,

4
tetapi setelah si penjual es creem sering lewat, maka nada
lagutersebut bisa menerbitkan air liur.

Berdasarkan eksperimen yang dilakukan Pavlov diperoleh


kesimpulan berkenan dengan beberapa cara perubahan tingkah laku
yang dapat digunakan dalam proses pembelajaran. Misalnya murid
dimarahi karena ujian biologinya buruk. Saat murid untuk ujian
kimia dia juga akan menjadi gugup karena kedua pelajaran tersebut
saling berkaitan.

2. John Watson

Watson menyatakan bahwa hanya tingkah laku yang teramati saja


yang dapat dipelajari dengan valid dan reliable. Dengan demikian
stimulus dan respon harus berbentuk tingkah laku yang dapat diamati
(observable).

Watson berpendapat bahwa introspeksi merupakan pendekatan yang


tidak ada gunanya. Alasannya adalah jika psikologi dianggap sebagai
suatu ilmu, maka datanya harus dapat diamati dan diukur. Watson
mempertahankan pendapatnya bahwa hanya dengan mempelajari apa
yang dilakukan manusia (perilaku mereka) memungkinkan psikologi
menjadi ilmu yang objektif. Watson menolak pikiran sebagai subjek
dalam psikologi dan mempertahankan pelaku sebagai subjek
psikologi. Khususnya perilaku yang observabel atau yang berpotensi
untuk dapat diamati dengan berbagai cara baik pada aktivitas
manusia dan hewan. 3 prinsip dalam aliran behaviorisme:

1. Menekankan respon terkondisi sebagai elemen atau pembangun


pelaku. Kondisi adalah lingkungan external yang hadir
dikehidupan. Perilaku muncul sebagai respon dari kondisi yang
mengelilingi manusia dan hewan.
2. Perilaku adalah dipelajari sebagai konsekuensi dari pengaruh
lingkungan maka sesungguhnya perilaku terbentuk karena
dipelajari. Lingkungan terdiri dari pengalaman baik masa lalu dan
yang baru saja, materi fisik dan sosial. Lingkungan yang akan
memberikan contoh dan individu akan belajar dari semua itu.

3. Memusatkan pada perilaku hewan. Manusia dan hewan sama, jadi


mempelajari perilaku hewan dapat digunakan untuk menjelaskan
perilaku manusia.

Pada dasarnya Watson melanjutkan penelitian Pavlov. Dalam


percobaannya, Watson ingin menerapkan classical conditioning pada
reaksi emosional. Hal ini didasari atas keyakinannya bahwa
personalitas seseorang berkembang melalui pengkondisian berbagai
refleks.

Dalam suatu percobaan yang kontroversial di tahun 1921,


Watson dan asisten risetnya Rosalie Rayner melakukan eksperimen
terhadap seorang balita bernama Albert. Pada awal eksperimen,
balita tersebut tidak takut terhadap tikus. Ketika balita memegang
tikus, Watson mengeluarkan suara dengan tiba-tiba dan keras. Balita
menjadi takut dengan suara yang tiba-tiba dan keras sekaligus takut
terhadap tikus. Akhirnya, tanpa ada suara keras sekalipun, balita
menjadi takut terhadap tikus.
5
Meskipun eksperimen Watson dan rekannya secara etika
dipertanyakan, hasilnya menunjukkan untuk pertamakalinya bahwa
manusia dapat ‘belajar’ takut terhadap stimuli yang sesungguhnya
tidak menakutkan. Namun ketika stimuli tersebut berasosiasi dengan
pengalaman yang tidak menyenangkan, ternyata menjadi
menakutkan. Eksperimen tersebut juga menunjukkan bahwa classical
conditioning mengakibatkan beberapa kasus fobia (rasa takut), yaitu
ketakutan yang yang tidak rasional dan berlebihan terhadap objek-
objek tertentu atau situasi-situasi tertentu.

Pakar psikologi sekarang dapat memahami bahwa classical


conditioning dapat menjelaskan beberapa respons emosional seperti
kebahagiaan, kesukaan, kemarahan, dan kecemasan yaitu karena
orang tersebut mengalami stimuli khusus. Sebagai contoh, seorang
anak yang memiliki pengalaman menyenangkan dengan roller
coaster kemungkinan belajar merasakan kesenangan justru karena
melihat bentuk roller coaster tersebut. Bagi seorang dewasa yang
menemukan sepucuk surat dari teman dekat di dalam kotak surat,
hanya dengan melihat alamat pengirim yang tertera di sampul
kemungkinan menimbulkan perasaan senang dan hangatnya
persahabatan.

Pakar psikologi menggunakan prosedur classical conditioning


untuk merawat fobia (rasa takut) dan perilaku yang tidak diinginkan
lainnya seperti kecanduan alkohol dan psikotropika. Untuk merawat
fobia terhadap objek-objek tertentu, pakar psikologi melakukan
terapi dengan menghadirkan objek yang ditakuti oleh penderita
secara berangsur-angsur dan berulang-ulang ketika penderita dalam
suasana santai. Melalui fase eliminasi (eliminasi stimulus kondisi),
penderita akan kehilangan rasa takutnya terhadap objek tersebut.
Dalam memberikan perawatan untuk alkohol, penderita meminum
minuman beralkohol dan kemudian menenggak minuman keras
tersebut sehingga menyebabkan rasa sakit di lambung. Akhirnya ia
merasakan sakit lambung begitu melihat atau mencium bau alkohol
dan berhenti meminumnya. Keefektivan dari terapi seperti ini sangat
bervariasi bergantung individunya dan problematika yang
dihadapinya.

3.Edward Lee Thorndike


Dalam bukunya Animal Intelligence (1911) ia menyangkal
pendapat bahwa hewan memecahkan masalah dengan nalurinya. Ia
justru berpendapat bahwa hewan juga memiliki kecerdasan.

Menurut Thorndike, belajar merupakan peristiwa terbentuknya


asosiasi-asosiasi antara peristiwa-peristiwa yang disebut stimulus (S)
dengan respon (R ). Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya
kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang
dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi
yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula
berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan.Jadi perubahan
tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu
yang dapat diamati, atau tidak konkrit yaitu yang tidak dapat
diamati.

Teori ini disebut dengan teori koneksionisme atau juga disebut “S -R


Bond Theory” dan “S-R Psycology of learning” selain itu, teori ini
juga terkenal dengan “Trial and Error Learning”.

Subjek riset Thorndike termasuk kucing. Untuk melihat


bagaimana hewan belajar perilaku yang baru, Thorndike
menggunakan ruangan kecil yang ia sebut puzzle box (kotak teka-
teki).Seekor kucing lapar ditempatkan berbentuk kotak berjeruji
yang dilengkapi dengan peralatan, seperti pengungkit, gerendel,
pintu, dan tali yang menghubungkan pengungkit dengan gerendel
tersebut. Peralatan ini ditata sedemikian rupa sehingga
memungkinkan kucing tersebut memperoleh makanan yang tersedia
didepan sangkar tadi dan jika hewan itu melakukan respons yang
benar (seperti menarik tali, mendorong tuas, atau mendaki tangga),
pintu akan terbuka dan hewan tersebut akan diberi hadiah makanan
yang diletakkan tepat di luar kotak.

Ketika pertama kali hewan memasuki kotak teka-teki,


memerlukan waktu lama untuk dapat memberi respons yang
dibutuhkan agar pintu terbuka.Mula-mula kucing tersebut
mengeong, mencakar, melompat, dan berlari-larian, namun gagal
membuka pintu untuk memperoleh makanan yang ada didepannya.
Akhirnya, entah bagaimana, secara kebetulan kucing itu berhasil
menekan pengungkit dan terbukalah pintu sangkar tersebut, pada
akhirnya hewan tersebut dapat melakukan respons yang benar dan
menerima hadiahnya: lolos dan makanan

Ketika Thorndike memasukkan hewan yang sama ke kotak


teka-teki secara berulang-ulang, hewan tersebut akan melakukan
respons yang benar semakin cepat. Dalam waktu singkat, hewan-
hewan tersebut hanya membutuhkan waktu beberapa detik untuk
lolos dan mendapatkan hadiah.

Thorndike menggunakan kurva waktu belajar tersebut untuk


membuktikan bahwa hewan tersebut bukan menggunakan nalurinya
untuk dapat lolos dan mendapatkan hadiah dari kotak, namun
melalui proses trial and error (mencoba-salah-mencoba lagi sampai
benar).
Menurut Thorndike, ada beberapa hukum pokok dalam proses
belajar manusia, antara lain:

1. Law of Readiness, yaitu kesiapan 7untuk bertindak itu timbul


karena penyesuaian diri dengan sekitarnya yang akan memberikan
kepuasan, hubungan antara stimulus dan respon akan mudah
terbentuk apabila ada kesiapan pada diri seseorang.

2. Law of Exercise, hubungan antara stimulus dan respon itu akan


sangat kuat bila sering dilakukan pelatihan dan pengulangan, dan
akan menjadi lemah jika latihan tidak diteruskan.

3. Law of Effect, yaitu perbuatan yang diikuti dengan dampak atau


pengaruh yang memuaskan cenderung ingin diulangi lagi dan
yang tidak mendatangkan kepuasan akan dilupakan.

4. B.F Skinner

Skinnermeyakini bahwa perilaku individu dikontrol melalui


proses operant conditioning dimana seseorang dapat mengontrol
tingkah laku organisme melalui pemberian reinforcement yang
bijaksana dalam lingkungan yang relatif besar.

Operant Conditioning adalah suatu proses perilaku operant


(penguatan positif atau negatif) yang dapat mengakibatkan perilaku
tersebut dapat berulang kembali atau menghilang sesuai dengan
keinginan.

Azas operant conditioningB.F Skinner mulai muncul dalam


tahun 1930-an, pada waktu keluarnya teori-teori S-R (Stimulus-
Respons) yang kemudian dikenal dengan model konditioning klasik
dari Pavlov yang pada saat itu telah memberi pengaruh yang kuat
dalam pelaksanaan penelitian. Munculnya teori Operant
Conditioning ini sebagai bentuk reaksi ketidak puasan Skinner atas
teori S-R, umpamanya pada pernyataan “Stimulus terus menerus
memiliki sifat-sifat kekuatan yang tidak mengendur” (Gredler, 1991
: 115). Dengan kata lain suatu stimulus bervariasi serta akan terjadi
pengulangan bila terdapat penguatan (reinforcement). Pengulangan
respons-respons tersebut merupakan tahapan-tahapan dalam proses
mngubah atau pembentukan tingkah laku.Sedangkan secara
menyeluruh, istilah

Operantconditioningdiartikan sebagai suatu situasi belajar dimana


suatu respons lebih kuat akibat reinforcement langsung (Wasty, 1998
: 126). Kemudian margaret E. Bell Gredler dalam kesimpulannya
mengartikan operant conditioningsebagai proses mengubah tingkah
laku subjek dengan jaalan memberikan penguatan (reinforcement)
atas respons-respons yang dikehendaki dengan kehadiran stimulus
yang cocok (Gredler, 1991 :125).

Dari beberapa definisi di atas, dapat diambil suatu pemahaman


bahwa penciptaan suatu kondisi dalam rangka pengubahan tingkah
laku subjek, yang relatif sesuai dengan yang dikehendaki (misalnya,
oleh guru atau pemimpin pendidikan) yaitu dengan mencermati dan
mengontrol respons yang muncul, kemudian setiap respons tersebut
diberikan penguatan (reinforcement). 8

Seperti halnya Throndike, Skinner menganggap “reward” atau


“reinforcement” sebagai faktor terpenting dalam proses belajar.
Skinner berpendapat bahwa tujuan psikologi adalah meramal dan
mengontrol tingkah laku (Wasty, 1998 : 119). Dengan demikian
tingkah laku yang diinginkan terjadi, dapat digambarkan dan
dibentuk secara nyata melalui pemberian reinforcement yang
sesuai.Menurut Skinner tingkah laku sepenuhnya ditentukan oleh
stimulus, tidak ada faktor perantara lainnya. Rumus Skinner : B
(behaviour) = F (fungsi) dari S (stimulus) (B = F (S). Tingkah laku
atau respons (R) tertentu akan timbul sebagai reaksi terhadap
stimulus tertentu (S). Respons yang dimaksud di sini adalah respons
yang berkondisi yang dikenal dengan respons operant(tingkah laku
operant). Sedangkan stimulusnya adalah stimulus operant(Sudjana,
1991 : 85). Oleh karena itu belajar menurut Skinner diartikan sebagai
perubahan tingkah laku yang dapat diamati dalam kondisi yang
terkontrol secara baik.Terdapat dua macam penguat yang dapat
diberikan dalam rangka memotivasi atau memodifikasi tingkah laku.

Pertama, reinforcement positif yakni sesuatu atau setiap penguat


yang memperkuat hubungan stimulus respons atau sesuatu yang
dapat memperbesar kemungkinan timbulnya suatu respons atau
dengan kata lain sesuatu yang dapat memperkuat tingkah laku.
Kedua, Reinforcement negatif (punishment) yakni sesuatu yang
dapat memperlemah timbulnya respons-respons (Rohani, 1995 : 13).
Artinya setiap penguat yang dapat memperkuat tingkah laku respons
tetapi bersifat aversif (menimbulkan kebencian dan penghindaran),
misalnya : ujian tiba-tiba. Stimulus negatif dapat menimbulkan
respons emosional bahkan dapat melenyapkan (extinction) tingkah
laku atau respons (Gredler : 1991 : 130).

Macam dari sifat reinforcement ini, merupakan pilihan atau opsi bagi
para guru sebagaii pemilik reinforcement(Baker, 1983 : 121), untuk
menerapkannya di lapanganbaik dalam konteks kelas maupun
terhadap individu dalam kelas. Disinilah kemampuan
profesionalisme dan pengalaman seorang guru sangat menentukan,
karena bukan suatu hal yang mustahil reinforcementnegatif justru
melahirkan respons(tingkah laku) positif. Tetapi Skinner lebih
menekankan kepada pemberian reinforcement positif.

Dalam salah satu eksperimennya, Skinner menggunakan seekor


tikus yang ditempatkan dalam sebuah peti yang disebut dengan
Skinner Box. Kotak Skinner ini berisi dua macam komponen pokok,
yaitu manipulandum dan alat pemberi reinforcement yang antara lain
berupa wadah makanan. Manipulandum adalah komponen yang
dapat dimanipulasi dan gerakannya berhubungan dengan
reinforcement. Komponen ini terdiri dari tombol, batang jeruji, dan
pengungkit.

Dalam eksperimen tadi mula-mula tikus itu mengeksplorasi peti


sangkar dengan cara lari kesana kemari, mencium benda-benda yang
ada disekitarnya, mencakar dinding, dan sebagainya. Tingkah laku
tikus yang demikian disebut dengan ‘’ emmited behavior ” (tingkah
laku yang terpancar), yakni tingkah laku yang terpancar dari
organism tanpa memedulikan stimulus tertentu. Kemudian salah satu
tingkah laku tikus (seperti cakaran kaki, sentuhan moncong) dapat
menekan pengungkit. Tekanan pengungkit ini mengakibatkan
9
munculnya butir-butir makanan ke dalam wadahnya.

Butir-butir makanan yang muncul merupakan reinforce bagi


tikus yang disebut dengan tingkah laku operant yang akan terus
meningkat apabila diiringi reinforcement, yaitu penguatan berupa
butiran-butiran makanan kedalam wadah makanan.

Teori belajar operant conditioning ini juga tunduk pada dua


hukum operant yang berbeda lainnya, yaitu law operant conditioning
dan law extinction. Menurut hukum operant conditioning, jika suatu
tingkah diriingi oleh sebuah penguat (reinforcement), maka tingkah
laku tersebut meningkat. Sedangkan menurut hukum law extinction,
jika suatu tingkah laku yang diperkuat dengan stimulus penguat
dalam kondisioning, tidak diiringi stimulus penguat, maka tingkah
laku tersebut akan menurun atau bahkan musnah. Kedua hukum ini
pada dasarnya juga memiliki kesamaan dengan hukum pembiasaan
klasik (classical conditioning).
Skinner membedakan perilaku atas :

1. Perilaku alami (innate behavior), yang kemudiandisebut juga


sebagai clasical ataupun respondent behavior, yaitu perilaku
yangdiharapkan timbul oleh stimulus yang jelas ataupun spesifik,
perilaku yangbersifat refleksif.

2. Perilaku operan (operant behavior), yaitu perilakuyang


ditimbulkan oleh stimulus yang tidak diketahui, namun semata-
mataditimbulkan oleh organisme itu sendiri setelah mendapatkan
penguatan.

Skinner yakin jika kebanyakan perilaku manusia dipelajari lewat


Operant Conditioning atau pengkondisian operan, yang kuncinya
adalah penguatan segera terhadap respons. Operant Conditioning
adalah suatu proses penguatan perilaku yang dapatmengakibatkan
perilaku tersebut dapat berulang kembali atau menghilang
sesuaidengan keinginan.

Skinner membuat mesin untuk percobaanya dalam Operant


Conditioning yang dinamakan dengan"Skinner Box" dan tikus yang
merupakan subjek yang sering digunakandalam percobaanya.

Dalam percobaannya tersebut yang dilakukan oleh Skinner


dalam Laboratorium, seekor tikus yang lapar diletakkan dalam

10
Skinner Box, kemudian binatang tersebut akan akanmenekan sebuah
tuas yang akan membukakan dulang makanan, sehingga
diperolehpenguatan dalam bentuk makanan. Di dalam setiap
keadaan, seekor binatang akanmemperlihatkan bentuk perilaku
tertentu; tikus tadi misalnya, akanmemperlihatkan perilaku
menyelidik pada saat pertama kali masuk kedalam Box,yaitu dengan
mencakar-cakar dinding dan membauinya sambil melihat-lihat
kesekelilingnya. Secara kebetulan, dalam perilaku menyelidik
tersebut tikusmenyentuh tuas makanan dan makanan pun berjatuhan.
Setiap kali tikus melakukanhal ini akan mendapatkan makanan;
penekanan tuas diperkuat dengan penyajian makanan tersebut,
sehingga tikus tersebut akan menghubungkan perilaku
tertentudengan penerimaan imbalan berupa makanan tadi. Jadi, tikus
tersebut akanbelajar bahwa setiap kali menekan tuas dia akan
mendapatkan makanan dan tikustersebut akan sering kali
mengulangi perilakunya, sampai ada proses pemadamanatau
penghilangan dengan menghilangkan penguatannya.

Dalam eksperimen Skinner tersebut terdapat istilah Penguatan


atau dapat disebut sebagai reinforcementyaitu, setiap kejadian yang
meningkatkan ataupun mempertahankan kemungkinan adanya
respon terhadap kemungkinan respon yang diinginkan. Biasanya
yangberupa penguat adalah sesuatu yang dapat menguatkan
dorongan dasar (basicdriver, seperti makanan yang dapat
memuaskan rasa lapar atau air yang dapatmenguatkan rasa haus)
namun tidak harus selalu demikian.

Pada manusia, penguatan sering salah sasaran sehingga


pembelajaran menjadi tidak effisien. Masalah lain dengan
pengkondisian manusia adalah penentuan manakahkonsekuansi-
konsekuensi yang menguatkan dan manakah yang melemahkan.
Karena bergantung pada sejarah individu, penguatan dan disiplin
terkadang dapatmenjadi penguatan sedangkan ciuman dan pujian
dapat menjadi hukuman.

C. Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran

Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran yaitu


karena memandang pengetahuan adalah objektif, pasti, tetap dan tidak
berubah pengetahuan disusun dengan rapi sehingga belajar adalah
perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan
pengetahuan (transfer of knowladge) kepada orang yang belajar. Fungsi
pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yang sudah ada
melalui proses berfikir yang dapat dianalisis dan dipilih, sehingga makna
yang dihasilkan dari proses berfikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik
struktur pengetahuan tersebut.

Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan


respon. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat
menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang
penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon.

Aliran psikologi belajar yang sangat besar pengaruhnya terhadap


arah pengembangan teori dan praktik pendidikan dan pembelajaran hingga
kini adalah aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya
perilaku yang tampak sebagai hasil belajar.

Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus responnya,


mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau
11
perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan
semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement
dan akan menghilang bila dikenai hukuman.

Secara umum langkah-langkah pembelajaran yang berpijak pada


teori behavioristik yang dikemukakan oleh Sociati dan Prasetya Irawan
(2001) dapat digunakan dalam merancang pembelajaran, langkah-langkah
pembelajaran tersebut antara lain :

1. Menentukan tujuan-tujuan pembelajaran


2. Menganalisis lingkungan kelas yang ada saat ini termasuk
mengidentifikasi pengetahuan awal siswa
3. Menentukan materi pembelajaran
4. Memecah materi pembelajaran menjadi bagian kecil-kecil, meliputi
pokok bahasan, sub pokok bahasan, topik dsb
5. Menyajikan materi pembelajaran
6. Memberikan stimulus, dapat berupa, pertanyaan baik lisan maupu
tertulis, tes atau kuis, latihan atau tugas-tugas
7. Mengamati dan mengkaji respon yang diberikan siswa
8. Memberikan penguatan atau reinforcement (mungkin penguatan positif
ataupun penguatan negatif), ataupun hukuman
9. Memberikan stimulus baru
10. Memberikan penguatan lanjutan atau hukuman
11. Evaluasi belajar
D. Kekurangan dan Kelebihan Teori Behaviorisme

Aliran behaviorisme mendapatkan beberapa tanggapan yang bersifat kurang


efisien dalam pembelajaran karena tidak mampu menjelaskan situasi belajar
yang kompleks. Disamping itu aliran ini juga dianggap efisien dan
mempunyai banyak kelebihan dalam pembelajaran. Berikut penjelasan
mengenai kekurangan dan kelebihan pada aliran behaviorisme dalam
pembelajaran.

1. Kekurangan

1) Pembelajaran peserta didik hanya perpusat pada guru.

Peserta didik hanya mendapatkan pembelajaran berdasarkan apa


yang diberikan guru. Mereka tidak diajarkan untuk berkreasi
sesuai dengan perkembangannya. Peserta didik cenderung pasif
dan bosan.

2) Peserta didik hanya mendengarkan dengan tertib penjelasan guru.

Pembelajaran seperti bisa dikatakan pembelajaran model kuno


karena menghafalkan apa yang didengar dan dipandang sebagai
cara belajar yang efektif. Penggunaan hukuman biasanya sebagai
salah satu cara untuk mendisiplinkan.

3) Peserta didik tidak bebas berkreasi dan berimajinasi.

Karena menurut teori ini belajar merupakan proses pembentukan


yang membawa peserta didik untuk mencapai target tertentu.
Apabila teori ini diterapkan terus menerus tanpa ada cara belajar
lain, maka bisa dipastikan mereka akan tertekan, tidak menyukai
guru dan bahkan malas belajar.

2. Kelebihan

1) Sangat cocok untuk memperoleh kemampuan yang


membutuhkan praktek dan pembiasaan.

Dengan bimbingan yang diberikan secara terus menerus akan


membuat peserta didik paham sehingga mereka bisa
menerapkannya dengan baik.

2) Materi yang diberikan sangat detail

Hal ini adalah proses memasukkan stimulus yang yang dianggap


tepat. Dengan banyaknya pengetahuan yang diberikan,
diharapkan peserta didik memahami dan mampu mengikuti
setiap pembelajarannya.

3) Membangun konsentrasi pikiran

Dalam teori ini adanya penguatan dan hukuman dirasa perlu.


Penguatan ini akan membantu mengaktifkan siswa untuk
memperkuat munculnya respon. Hukuman yang diberikan
adalah yang sifatnya membangun sehingga peserta didik mampu
berkonsentrai dengan baik.
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Menuurut teori belajar behaviorisme, belajar didefinisikan sebagai

perubahan dalam tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara stimulus

dan respon. Dimana perubahan tingkah laku tersebut tergantung pada

konsekuensi.

Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran yaitu

karena memandang pengetahuan adalah objektif, pasti, tetap dan tidak

berubah.

B. SARAN

Dalam melakukan sebuah penilaian belajar, seorang pendidik

sebaiknya dan seharusnya mempertimbangkan keadaan mental peserta

didiknya disamping tingkah laku yang diamati.


DAFTAR PUSTAKA

Jufri, A. Wahab. Belajar dan Pembelajaran Sains/A. Wahab Jufri. –


Bandung: Pustaka Reka Cipta, 2013.
Rusman. Model-model Pembelajaran Profesionalisme
Guru/Rusman.-Ed. 2,-5.-Jakarta: Rajawali Pres, 2012.

Sarwono, S. W. Berkenalan dengan Aliran-aliran dan Tokoh-tokoh


Psikologi. Jakarta: PT Buana Bintang, 2000.

Sumber internet:
http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&
cd=3&ved=0CC4QFjAC&url=http%3A%2F%2Fwww.asikbelajar.c
om%2F2012%2F11%2Faplikasi-teori-behavioristik-
dalam.html&ei=qxQMVJjLC8X98QXh-
oC4Bw&usg=AFQjCNGina0ovhOGi8FwKoG3N5TaygHOKg

Sumber gambar:
http://2.bp.blogspot.com/_I_NkvOqPaTg/S7yOQ-
bU7QI/AAAAAAAAAHc/Vov-Ip672_E/s1600/dog-training-18.jpg

Anda mungkin juga menyukai