Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Lanjut usia didefinisikan sebagai suatu kondisi penurunan, kelemahan,
meningkatnya kerentanan terhadap berbagai penyakit dan perubahan lingkungan,
hilangnya mobilitas dan ketangkasan, serta perubahan fisiologis yang terkait dengan usia
(Aru,2009). Setiap makhluk hidup didunia ini semua akan mengalami proses menua, hal
ini dikarenakan proses menua merupakan hukum alam (Sunariani dkk, 2007). Menurut
Nugroho (2008) proses menua adalah proses yang terjadi disepanjang hidup manusia,
dimulai sejak dari awal kehidupan. Proses menua merupakan akibat dari kehilangan yang
bersiat bertahap (gradual loss) yang terkait dengan banyaknya perubahan yang terjadi
pada lansia (lanjut usia). Proses penuaan menyebabkan terjadi perubahan fungsi pada
lansia seperti kemunduran pada sistem sensorinya.
Jumlah lansia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Data badan pusat
statistik menunjukkan bahwa penduduk lanjut usia pada tahun 2000 sebanyak 14,4 juta
jiwa (7,18%), selanjutnya pada tahun 2010 meningkat menjadi 23,9 juta jiwa (9,77%).
Pada tahun 2020 diprediksikan jumlah lanjut usia mencapai 28,8 juta jiwa (11,34%)
(Wahyuningsih, 2011).
Pada lansia yang mengalami penurunan persepsi sensori akan terdapat keengganan
untuk bersosialisasi karena kemunduran dari fungsi-fungsi sensoris yang dimiliki, salah
satunya adalah pada indra penglihatan.
Mata merupakan satu diantara organ terpenting tubuh manusia di mana mata
memiliki fungsi sebagai indera penglihatan. Jika terjadi kerusakan atau gangguan pada
fungsi dan peran dari mata, maka pengaruhnya sangatlah besar pada penglihatan.
Gangguan penglihatan adalah suatu kondisi yang ditandai dengan penurunan tajam
penglihatan atau menurunnya luas lapangan pandang yang dapat mengakibatkan
kebutaan. Satu diantara banyak kerusakan atau gangguan pada mata adalah glaukoma.
Glaukoma merupakan suatu penyakit yang terjadi akibat adanya peningkatan tekan
intraocular pada mata yang dapat menggangu penglihatan.
World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa terdapat 285 juta orang di
dunia mengalami gangguan penglihatan, 39 juta diantaranya mengalami kebutaan.
Glaukoma menyebabkan gangguan penglihatan sebanyak 2% dan kebutaan sebanyak
8%. Pada tahun 2020 diperkirakan penderita glaukoma di seluruh dunia akan meningkat

1
sebanyak 76 juta dengan proporsi terbanyak terdapat di wilayah Asia dan
Afrika. Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), glaukoma merupakan penyebab
kebutaan kedua terbesar diseluruh dunia setelah katarak.
Glaukoma merupakan penyebab kebutaan yang ketiga di Indonesia. Terdapat
sejumlah 0,40% penderita glaukoma di Indonesia yang mengakibatkan kebutaan pada
0,60% penduduk prevalensi penyakit mata di Indonesia adalah kelainan refraksi 24,72%,
pterigium 8,79%, katarak 7,40%, konjungtivitis 1,7%, parut kornea 0,34%, glaukoma
0,40%, retinopati 0,17%, strabismus 0,12%. Prevalensi dan penyebab buta kedua mata
adalah lensa 1,02%, glaukom dan saraf kedua 0,16%, kelainan refaksi 0,11%, retina
0,09%, kornea0,06%, dan lain-lain0,03%, prevalensi total 1,47%.
Berdasarkan seurvey kesehatan indera tahun 1993-1996, sebesar 1,5% penduduk
Indonesia mengalami kebutaan dengan prevalensi kebutaan akibat glukoma sebesar
0,20%. Prevalensi glukoma hasil Jakarta Urban Eye Health study tahun 2008 adalah
glaukoma primer sudut tertutup sebesar 1,89%, glaukoma primer sudut terbuka 0,48%
dan glaukoma sekunder 0,16% atau keseluruhannya 2,53% menurut hasil Riset
Kesehatan Dasar tahun 2007, responden yang pernah didiagnosa glaukoma oleh tenaga
kesehatan sebesar 0,46%, tertinggi di Provinsi DKI Jakarta (1,85%), berturut-turut diikuti
provinsi Aceh (1,28%), Kepulauan Riau (1,26%), Sulawesi Tengah (1,21%), Sumatera
Barat (1,14%) dan terendah di Provinsi Riau (0,04%) (Depkes RI, 2008).
Melihat prevalensi dari hasil Jakarta Urban Eye Health Study tahun 2008 dan
presentasi responden Riskesdes 2007 yang pernah didiagnosis glaukoma, meskipun tidak
dapat dibandingkan secara langsung, dapat diduga bahwa sebagian besar penderita
glaukoma belum terdeteksi atau terdiagnosis dan tentunya belum tertangani.

2
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis tertarik untuk mengetahui
bagaimana asuhan keperawatan gerontik pada Ny. A. dengan masalah kesehatan
Glaukoma

C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Mampu melakukan asuhan keperawatan pada pasien dengan glaukoma.
2. Tujuan Khusus
a. Mampu menjelaskan gangguan pada sistem sensorik
b. Mampu menjelaskan definisi glaukoma
c. Mampu menjelaskan fisiologis aqueous humor
d. Mampu menjelaskan klasifikasi glaukoma
e. Mampu menjelaskan etiologi glaucoma
f. Mampu menjelaskan manifestasi klinis
g. Mampu menjelaskan pemeriksaan diagnostik
h. Mampu menjelaskan penatalaksaan
i. Mampu menjelaskan asuhan keperawatan pada glaukoma
j. Menjelaskan pengelolaan dan keperawatan glaukoma

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Gangguan Pada Sistem Sensorik


Menua atau menjadi tua adalah suatu keadaan yang terjadi di dalam keidupan
manusia. Dalam masa tua tersebut terjadi proses penuaan atau aging yang merupakan
suatu proses dinamis sebagai akibat dari perubahan – perubahan sel, fisiologis, dan
psikologis. Pada masa ini, manusia akan berpotensi mempunyai masalah – masalah
kesehatan secara umum. Salah satu masalah kesehatan yang terjadi pada masa tua atau
lansia adalah terganggunya sensori yang meliputi organ penglihatan pada lansia.
Mata merupakan bagian yang vital dalam kehidupan untuk pemenuhan hidup
sehari-hari, terkadang perubahan yang terjadi pada mata dapat menurunkan kemampuan
beraktifitas. Para lansia yang memiliki masalah mata menyebabkan orang tersebut
mengalami isolasi sosial dan penurunan perawatan diri sendiri.
Beberapa gangguan sensori penglihatan yang sering terjadi pada lansia adalah
sebagai berikut:
1. Penurunan kemampuan penglihatan
Perubahan ini dapat mengakibatkan berbagai masalah pada usia lanjut seperti : mata
kabur, hubungan aktifitas sosial, dan penampilan ADL. Beberapa orang tidak
mengalami atau jarang mengalami penurunan penglihatan seiring dengan
bertambahnya usia.
Faktor Penyebab: kornea, lensa, iris, aquos humor, dan vitrous humor akan
mengalami perubahan seiring bertambahnya usia. Karena bagian utama yang
mengalami perubahan atau penurunan sensitifitas, hal tersebut menyebabkan fungsi
kerja pada mata juga mengalami penurunan. Akibatnya lansia mengalami penurunan
kemampuan penglihatan. Bertambahnya usia, juga mempengaruhi fungsi organ pada
mata seseorang yang berusia 60 tahun. Fungsi kerja pupil akan cenderung
mengalami penurunan 2/3 dari fungsi kerja pupil pada umumnya. Penurunan
tersebut meliputi ukuran pupil dan kemampuan melihat jarak jauh.

4
2. Gangguan pemusatan penglihatan
Tanda dan gejala gangguan pemusatan penglihatan meliputi : penglihatan samar-
samar dan kadang-kadang menyebabkan pencitraan yang salah. Benda yang dilihat
tidak sesuai dengan kenyataan, saat melihat benda ukuran kecil maka akan terlihat
lebih kecil dan garis lurus akan terlihat bengkok atau bahkan tidak teratur. Pada
dasarnya orang yang mengalami gangguan pemusatan penglihatan, peningkatan
sensifitas terhadap cahaya yang menyilaukan, cahaya redup dan warna yang tidak
mencolok. Dalam kondisi yang parah dia akan kehilangan penglihatan secara total.
Pelaksanaan dalam keperawatan adalah dengan membantu aktifitas sehari-harinya,
membantu perawatan diri dan memberikan pendidikan tentang gangguan pemusatan
penglihatan.
Faktor Penyebab : Adanya kerusakan pada organ mata yang bernama makula.
Kejadian ini sering juga disebut sebagai ARMD yaitu age related macular
degeneration. ARMD cenderung terjadi pada usia 50 – 65 tahun. Makula sendiri
berfungsi untuk ketajaman penglihatan dan warna.
3. Glaukoma
Glaukoma dapat terjadi pada semua usia tapi resiko tinggi pada lansia usia 60 tahun
ke atas, kerusakan akibat glaukoma sering tidak bisa diobati namun dengan medikasi
dan pembedahan mampu mengurangi kerusakan pada mata akibat glaukoma.
Faktor Penyebab:
a. Adanya peningkatan tekanan intra okuler (IOP) yang diakibatkan oleh adanya
hambatan sirkulasi atau pengaliran cairan bola mata (cairan jernih berisi O2,
gula, dan nutrisi).
b. Kurangnya aliran darah ke daerah vital jaringan nervous optikus
c. Adanya kelemahan struktur dari syaraf

B. Definisi Glaukoma
Glaukoma berasal dari kata Yunani “glaukos” yang berarti hijau kebiruan, yang
memberikan kesan warna tersebut pada pupil penderita glaukoma. Glaukoma adalah
suatu keadaan tekanan intraokuler/tekanan dalam bola mata relatif cukup besar untuk
menyebabkan kerusakan pupil saraf optik dan menyebabkan kelainan lapang pandang
(Ilyas S, 2008 dalam Jafar, 2017).
Kelainan mata glaukoma ditandai dengan meningkatnya tekanan bola mata, atrofi
saraf optikus, dan menciutnya lapang pandang. Glaukoma adalah suatu penyakit dimana

5
tekanan di dalam bola mata meningkat, sehingga terjadi kerusakan pada saraf optikus
dan menyebabkan penurunan fungsi penglihatan (Mayenru Dwindra, 2009).
Glaukoma adalah suatu keadaan dimana tekanan bola mata tidak normal atau lebih
tinggi dari pada normal yang mengakibatkan kerusakan saraf penglihatan dan kebutaan
(Sidarta Ilyas, 2004).
Glaukoma adalah salah satu jenis penyakit mata dengan gejala yang tidak
langsung, yang secara bertahap menyebabkan penglihatan pandangan mata semakin lama
akan semakin berkurang sehingga akhirnya mata akan menjadi buta. Hal ini disebabkan
karena saluran cairan yang keluar dari bola mata terhambat sehingga bola mata akan
membesar dan saraf mata yang berada dibelakang bola mata akan tertekan, akhirnya
saraf tidak mendapatkan aliran darah sehingga saraf mata akan mati.
Peningkatan tekanan intraokuler menyebabkan glaukoma. Glaukoma merupakan
salah satu penyebab kebutaan paling umum. Tekanan intraokuler normal kurang lebih
15mmHg, dengan rentangan 12 – 20mmHg (Guyton, 1991). Glaukoma muncul ketika
tekanan intraokuler mencapai tingkat patologi yaitu 60 – 70mmHg. Tingkat tekanan
sebesar 20 – 30mmHg dalam waktu yang lama bisa mengakibatkan hilangnya
penglihatan. Pada glaukoma akut, tekanan yang ekstrem bisa mengakibatkan kebutaan
dalam beberapa jam.

C. Fisilogi Aqueous Humor


Aqueous humor adalah zat cair yang ditemukan diruang mata hampir dengan
semua makhluk dengan kemampuan penglihatan. Sebagian besar terbuat dari air, bahan
ini memberikan nutrisi penting untuk mata, serta melayani tujuan fungsional dalam
menjaga kesimbangan tekanan yang benar didalam ruang mata.
Dengan mengisi kedua anterior dan segmen posterior depan mata, tidak hanya
memastikan bahwa mata memiliki cukup nutrisi untuk berkerja dengan baik, itu benar
benar memaksa mata untuk mempertahankan bentuknya.
Konsep humor telah ada didalam penelitian medis selama lebih dari 2000 tahun,
ketika dokter jaman dulu percaya bahwa kesehatan tubuh tergantung pada prilaku
empedu, darah, dan dahak atau air. Zat-zat ini, semua berbentuk cairan,kemudian dikenal
sebagai humor. Meskipun sebagian besar teori tentang pentingnya humor telah
dibantahkan oleh kedokteran modern, aqueous humor mempertahakan namanya.

6
Untuk membuat aqueous humor, jaringan silia sekitar mata mengeluarkan cairan
sebagian besar berbasis air, yang kemudian diangkut antara lensa dan iris mata. Setelah
melewati pupil, cairan kemudian mengalir keluar dari mata melalui lapisan kecil jaringan
yang disebut anyaman trabekular, sebelum diserap kedalam aliran darah. Saat melewati
mata, zat ini memelihara lensa dan kornea dengan glukosa dan zat penting lainnya.
Gerakan terus-menerus cairan melalui bagian depan mata mempertahankan tekanan yang
diperlukan untuk mata untuk mempertahankan bentuknya.
Fungsi penting dari aqueous humor adalah menjaga tekanan intraokuler dan
memompa bola mata, menyediakan nutrisi (seperti asam amino, glukosa) untuk selaput
pembuluh darah seperti kornea, jaringan trabekular, lensa mata serta jaringan vitreous,
menyalurkan vitamin C sebagai antioksidan, sebagai antibodi melawan pathogen,
sebagai pompa bagi kornea untuk mengembang untuk meningkatkan perlindungan dari
debu, udara, serbuk dan beberapa pathogen, sebagai komponen yang memfokuskan
cahaya karena memiliki indeks bias.

D. Klasifikasi Glaukoma
1. Glaukoma Primer
Glaukoma yang tidak diketahui penyebabnya. Glaukoma primer biasanya
ditemukan pada pasien berusia diatas 60 tahun. Pada galukoma akut yaitu timbul
pada mata yang memiliki bakat bawaan berupa sudut bilik depan yang sempit pada
kedua mata. Pada glukoma kronik yaitu karena keturunan dalam keluarga, DM,
Arteriosklerosis, pemakaian kartikosteroid jangka panjang, miopia tinggi dan
progresif dan lain-lain dan berdasarkan anatomis dibagi menjadi 2 yaitu :
a. Glaukoma sudut terbuka / simplek (kronis).
Glaukoma sudut terbuka adalah glaukoma yang paling sering pada ras kulit
hitam dan putih. Glaukoma sudut terbuka terjadi akibat adanya proses degeneratif
anyaman trabekular, termasuk pengendapan materi ekstrasel di dalam anyaman
dan di bawah lapisan endotel kanal Schlemm. Hal ini berbeda dengan proses
penuaan normal sehingga berakibat dengan penurunan drainase aqueous humor
yang menyebabkan peningkatan tekanan intraokular (Salmon, 2008).
Patogenesis dari glaukoma sudut terbuka belum begitu diketahui tetapi ada
beberapa teori yang menjelaskan proses terjadinya glaukoma sudut terbuka.
Pertama, faktor risiko seperti genetik, umur, ras, miopi, diabetes, merokok,
hipertensi dan hipertiroid dapat memicu terjadinya glaukoma sudut terbuka.

7
Kedua, terjadinya peningkatan tekanan intraokular akibat berkurangnya aliran
keluar aqueous karena meningkatnya resistensi aliran keluar aqueous yang
disebabkan oleh penebalan terkait usia dan sklerosis dari trabekula dan tidak
adanya vakuola raksasa di sel-sel pada kanal Schlemm (Khurana, 2007).
Ada juga teori mengatakan bahwa glaukoma sudut terbuka ini terjadi karena
terjadinya iskemia pada mikrovaskular diskus optikus (Kanksi, 2007). Kelainan
kromosom 1 oleh mutasi gen myocilin juga menjadi faktor predisposisi terjadinya
glaukoma sudut terbuka (Kwon, et al., 2009).
b. Glaukoma sudut tertutup/sudut semut (akut)
Glaukoma sudut tertutup (sudut sempit), disebut sudut tertutup karena ruang
anterior secara otomatis menyempit sehingga iris terdorong ke depan, menempel
ke jaringan trabekuler dan menghambat humor aqueos mengalir ke saluran
schlemm. Pargerakan iris ke depan dapat karena peningkatan tekanan vitreus,
penambahan cairan diruang posterior atau lensa yang mengeras karena usia tua.
Gejalah yang timbul dari penutupan yang tiba-tiba dan meningkatnya TIO, dapat
nyeri mata yang berat, penglihatan kabur. Penempelan iris memyebabkan dilatasi
pupil, tidak segera ditangni akan terjadi kebutaan dan nyeri yang hebat.
2. Glaukoma sekunder
Adalah glaukoma yang diakibatkan oleh penyakit mata lain atau trauma didalam
bola mata, yang menyebabkan penyempitan sudut /peningkatan volume cairan dari
dalam mata . Misalnya glaukoma sekunder oleh karena hifema, laksasi / sub laksasi
lensa, katarak instrumen, oklusio pupil, pasca bedah intra okuler.
3. Glaukoma kongenital
Glaukoma yang ditemukan sejak dilahirkan, dan biasanya disebabkan oleh
sistem saluran pembuangan di dalam mata tidak berfungsi dengan baik sehingga
menyebabkan pembesaran bola mata yang disebut sebagai buftalmons (Ilyas S,
2003).
Gejala-gejala glaukoma kongenital biasanya sudah dapat terlihat pada bulan
pertama atau sebelum berumur 1 tahun. Kelainan pada glaukoma kongenital terdapat
pada kedua mata. Rasa silau dan sakit akan terlihat pada bayi yang menderita
glaukoma kongenital, hal ini terlihat pada suatu sikap seakan-akan ingin
menghindari sinar sehingga bayi tersebut akan selalu menyembunyikan kepala dan
matanya (Ilyas, S, 2000).

8
4. Glaukoma absolut
Merupakan stadium akhir glaukoma (sempit/terbuka) dimana sudah terjadi kebutaan
total akibat tekanan bola mata memberikan gangguan fungsi lanjut. Pada glaukoma
absolut kornea terlihat keruh, bilik mata dangkal, papil atrofi dengan eksvasi
glaukomatosa, mata keras seperti batu dan dengan rasa sakit. Sering mata dengan
buta ini mengakibatkan penyumbatan pembuluh darah sehingga menimbulkan
penyulit berupa neovaskulisasi pada iris, keadaan ini memberikan rasa sakit sekali
akibat timbulnya glaukoma hemoragik
Pengobatan glaukoma absolut dapat dengan memberikan sinar beta pada badan
siliar, alkohol retrobulber atau melakukan pengangkatan bola mata karena mata telah
tidak berfungsi dan memberikan rasa sakit.

E. Etiologi Glaukoma
Penyebabnya tergantung dari klasifikasi glaukoma itu sendiri tetapi pada umumnya
disebabkan karena aliran aqueous humor terhambat yang bisa meningkatkan tekanan
intra okuler. Faktor-faktor resiko dari glaukoma adalah:
1. Faktor Umur
Faktor bertambahnya umur mempunyai peluang lebih besar untuk menderita
glaukoma primer. Salah satu penelitian menyatakan bahwa frekuensi pada umur
sekitar 40 tahun adalah 0.4%–0.7% jumlah penduduk, sedangkan pada umur sekitar
70 tahun frekuensinya meningkat menjadi 2%–3% dari jumlah penduduk (Vaughan,
et al, 1995). Framingham Study dalam laporannya tahun 1994 me- nyatakan bahwa
populasi glaukoma adalah sekitar 0.7% penduduk yang berumur 52–64 tahun, dan
meningkat menjadi 1.6% penduduk yang berumur 65–74 tahun, serta 4.2% pada
penduduk yang berusia 75–85 tahun. 11 Keadaan tersebut didukung juga oleh
pernyataan yang dikeluarkan oleh Ferndale Glaucoma Study di tahun yang sama.
2. Tekanan Bola Mata yang Meningkat
Secara umum dinyatakan bahwa tekanan bola mata yang lebih tinggi akan lebih
memungkinkan terhadap peningkatan progresifitas kerusakan diskus optikus,
walaupun hubungan antara tingginya tekanan bola mata dan besarnya kerusakan,
sampai saat ini masih diperdebatkan. Beberapa kasus menunjukkan, bahwa adanya
tekanan bola mata yang berada di atas normal akan diikuti dengan kerusakan diskus
optikus dan gangguan lapang pandangan dalam beberapa tahun. Sebaliknya, terjadi
juga pada banyak kasus, bahwa selama pemeriksaan tekanan bola mata tidak pernah

9
di atas normal, namun terjadi kerusakan pada papil dan lapang pandang yang
merupakan khas dari glaukoma (Boyd, 2002). Sejumlah faktor yang dapat
berhubungan dengan timbulnya glaukoma sudut terbuka primer adalah tekanan bola
mata. Hal ini disebabkan karena tekanan bola mata merupakan salah satu faktor
yang paling mudah dan paling penting untuk meramalkan timbul- nya glaukoma di
masa mendatang (Vaughan, 1995).
3. Faktor Riwayat dalam Keluarga
Glaukoma primer merupakan suatu kelainan yang diturunkan secara genetik,
mungkin bersifat multifaktor dan poligenik. Adanya penderita glaukoma dalam
keluarga meningkatkan risiko glaukoma. Salah satu penelitian mengatakan
menunjukkan risiko ratio sebesar 2,1 pada orang yang memiliki keluarga 12
penderita glaukoma dibandingkan yang tidak memiliki keluarga penderita glaukoma
(Le et al,2003).
4. Faktor Ras
Beberapa ras etnik diketahui memiliki prevalensi glaukoma yang lebih tinggi, yaitu
di Asia khusunya etnik China untuk glaukoma sudut tertutup dan ras Afrika untuk
glaukoma sudut terbuka (Coleman et al 2009; Quigley&Broman 2006). Pada
glaukoma sudut tertutup primer hal ini dikaitkan dengan faktor hereditar yang
mempengaruhi konfigurasi bilik mata depan yaitu bilik mata depan yang dangkal,
sudut mata yang sempit dan iris plateu (Stamper et al 2009). Pada glaukoma primer
sudut terbuka prevalensi pada ras kulit hitam lebih tinggi. Hal ini dikaitkan dengan
iskemia akibat sickle cell anemia, respon terhadap pengobatan yang lebih buruk,
akses terhadap pengobatan yang lebih buruk, level tekanan intraokular yang lebih
tinggi, dan cup disc ratio yang lebih besar dibandingkan ras kulit putih (Wilensky,
1994).
5. Faktor Jenis Kelamin
Sebagian besar studi pada glaukoma primer sudut terbuka tidak mendapat perbedaan
risiko berdasarkan jenis kelamin. Sedangkan glaukoma sudut tertutup pada beberapa
penelitian menunjukkan prevalensi yang lebih banyak pada perempuan. Hal ini
kemungkinan akibat sudut bilik mata depan perempuan lebih dangkal yaitu
volumenya 10% lebih kecil dibandingkan pada laki-laki (Stamper et al 2009).

10
6. Faktor Penyakit Sistemik
Insiden dari glaukoma sudut terbuka primer seringkali dihubungkan dengan penyakit
sistemik, yaitu Diabetes Mellitus dan Hipertensi arterial. Penderita diabetes mellitus
beresiko 2 kali terkena glaukoma. Sebesar 50% dari penderita diabetes mengalami
penyakit mata dengan risiko kebutaan 25 kali lebih besar (Ilyas, 2001). Penderita
hipertensi pun beresiko lebih tinggi terserang glaukoma daripada yang tidak
mengidap penyakit hipertensi. Penderita hipertensi, beresiko 6 kali lebih sering
terkena glaukoma (Perdami, 2008). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Christina
Magdalena (2006), menemukan bahwa penderita yang telah menderita hipertensi ≥ 5
tahun berisiko mengalami glaukoma sebesar 4 kali lebih besar (Magdalena, 2006).

F. Manifestasi Klinis
Pasien dengan glaukoma primer sudut terbuka (glaukoma kronik sudut terbuka)
dapat tidak memberikan gejala sampai kerusakan penglihatan yang berat terjadi,
sehingga dikatakan sebagai pencuri penglihatan. Berbeda pada 16 glaukoma akut sudut
tertutup, peningkatan tekanan TIO berjalan cepat dan memberikan gejala mata merah,
nyeri dan gangguan penglihatan (Khaw T, 2005).
1. Peningkatan TIO
Normal TIO berkisar 10-21 mmHg (rata-rata 16 mmHg). Tingginya TIO
menyebabkan kerusakan saraf optik tergantung beberapa faktor, meliputi tingginya
TIO dan apakah glaukoma dalam tahap awal atau lanjut. Secara umum, TIO dalam
rentang 20-30 mmHg biasanya menyebabkan kerusakan dalam tahunan. TIO yang
tinggi 40-50 mmHg dapat menyebabkan kehilangan penglihatan yang cepat dan
mencetuskan oklusi pembuluh darah retina (Khaw T, 2005).
2. Halo (mata silau) sekitar cahaya dan kornea yang keruh
Kornea akan tetap jernih dengan terus berlangsungnya pergantian cairan oleh sel-sel
endotel. Jika tekanan meningkat dengan cepat (glaukoma akut sudut tertutup),
kornea menjadi penuh air, menimbulkan halo di sekitar cahaya (Khaw T, 2005).
3. Nyeri
Nyeri pada mata dan sekitarnya (orbita, kepala, gigi dan telinga)
4. Penyempitan Lapang Pandang
Tekanan yang tinggi pada serabut saraf dan iskemia kronis pada saraf optik
menimbulkan kerusakan dari serabut saraf retina yang biasanya menghasilkan
kehilangan lapang pandang (skotoma). Pada glaukoma stadium akhir kehilangan

11
lapang penglihatan terjadi sangat berat (tunnel vision), meski visus pasien masih 6/6
(Khaw T, 2005).
5. Perubahan pada Diskus Optik
Kenaikan TIO berakibat kerusakan optik berupa penggaungan dan degenerasi papil
saraf optic (Khaw T, 2005).
6. Okulasi Vena
Sumbatan pada arteri sentralis retina
7. Pembesaran Mata
Pada dewasa pembesaran yang signifikan tidak begitu tampak. Pada anak- anak
dapat terjadi pembesaran dari mata (buftalmus) (Khaw T, 2005).

G. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut
(Harnawartiaj, 2008) :
1. Oftalmoskopi : Untuk melihat fundus bagian mata dalam yaitu retina, discus optikus
macula dan pembuluh darah retina.
2. Tonometri : Adalah alat untuk mengukur tekanan intraokuler, nilai mencurigakan
apabila berkisar antara 21-25 mmhg dan dianggap patologi bila melebihi 25 mmhg.
Tonometri dibedakan menjadi dua antara lain (Sidharta Ilyas, 2004) :
a. Tonometri Schiotz
Pemakaian Tonometri Schiotz untuk mengukur tekanan bola mata dengan cara
sebagai berikut :
1) Penderita di minta telentang
2) Mata di teteskan tetrakain
3) Ditunggu sampai penderita tidak merasa pedas
4) Kelopak mata penderita di buka dengan telunjuk dan ibu jari (jangan
menekan bola mata penderita)
5) Telapak tonometer akan menunjukkan angka pada skala tonometer
b. Tonometri Aplanasi
Dengan tonometer aplanasi diabaikan tekanan bola mata yang dipengaruhi
kekakuan sklera (selaput putih mata). Teknik melakukan tonometri aplanasi
adalah
1) Diberi anestesi lokal tetrakain pada mata yang akan diperiksa
2) Kertas fluorosein diletakkan pada selaput lendir

12
3) Di dekatkan alat tonometer pada selaput bening maka tekanan dinaikkan
sehingga ingkaran tersebut mendekat sehingga bagian dalam terimpit
4) Dibaca tekanan pada tombol putaran tonometer aplanasi yang memberi
gambaran setengah lingkaran berimpit. Tekanan tersebut merupakan tekanan
bola mata.
5) Dengan tonometer aplanasi bila tekanan bola mata lebih dari 20 mmHg
dianggap sudah menderita glaukoma.
c. Pemeriksaan lampu-slit.
Lampu-slit digunakan unutk mengevaluasi oftalmik yaitu memperbesar kornea,
sclera dan kornea inferior sehingga memberikan pandangan oblik kedalam
tuberkulum dengan lensa khusus.
d. Perimetri
Kerusakan nervus optikus memberikan gangguan lapang pandangan yang khas pada
glaukoma. Secara sederhana, lapang pandangan dapat diperiksa dengan tes
konfrontasi.
e. Pemeriksaan Ultrasonografi..
Ultrasonografi dalai gelombang suara yang dapat digunakan untuk mengukur
dimensi dan struktur okuler. Ada dua tipe ultrasonografi yaitu :
1) A-Scan-Ultrasan.
Berguna untuk membedakan tumor maligna dan benigna, mengukur mata untuk
pemasangan implant lensa okuler dan memantau adanya glaucoma congenital.
2) B-Scan-Ultrasan.
Berguana unutk mendeteksi dan mencari bagian struktur dalam mata yang
kurang jelas akibat adanya katarak dan abnormalitas lain.

H. Penatalaksanaan
Glaukoma bukanlah penyakit yang dapat disembuhkan, glaukoma dapat dicegah
untuk menghambat kerusakan lanjut dari lapang pandangan dan rusaknya saraf penglihat.
Tujuan penatalaksanaan adalah menurunkan TIO ketingkat yang konsisten dengan
mempertahankan penglihatan, penatalaksanaan berbeda-beda tergantung klasifikasi
penyakit dan respons terhadap terapi (Harnawartiaj, 2008)

13
1. Terapi Medikamentosa
a. Supresi Pembentukan Humor Aqueous
1) Golongan β-adrenergik Bloker
Obat golongan ini dapat digunakan sebagai monoterapi atau dengan
kombinasi dengan obat yang lain. Contoh obat golongan β- adrenergic bloker
misalnya timolol maleat 0,25% dan 0.5%, betaxolol 0,25% dan 0,5%,
levobunolol dan lain-lain. Farmakodinamik golongan β-adrenergic bloker
dengan cara menekan pembentukan humor aquos sehingga tekanan
intraokuler dapat turun.
Sedangkan farmakokinetiknya sebagian besar diserap dengan baik oleh
usus secara peroral sehingga bioavaibilitas rendah , dan memiliki kadar
puncak dalam plasma mencapai 1 sampa 3 jam. Kebanyakan golongan β-
adrenergic bloker memiliki waktu paruh antara 3 sampai 10 jam.
Waktu ekskresi yang dibutuhkan ginjal untuk mengeluarkan obat
golongan ini dapat diperpanjang apabila terdapat hambatan aliran darah yang
menuju ke hati atau hambatan enzim hati. Penggunaan obat golongan ini
dalam jangka lama dapat mengakibatkan kontraindikasi berupa obstruksi
jalan napas kronik. Indikasi pemakaian diberikan pada pasien glaukoma
sudut terbuka sebagai terapi inisial baik secara tunggal atau kombinasi terapi
dengan miotik (Niel, 2006).
2) Golongan α2-adrenergik Agonis
Golongan α2-adrenergik agonis obat ini dibagi menjadi 2 yaitu selektif
dan tidak selektif. Golongan α2-adrenergic agonis yang selektif misalnya
apraklonidin memiliki efek menurunkan produksi humor aquos,
meningkatkan aliran keluar humor aquos melalui trabekula meshwork
dengan menurunkan tekanan vena episklera dan dapat juga meningkatkan
aliran keluar uveosklera.
Indikasi penggunaan apraklonidin untuk mengontrol peningkatan akut
tekanan intraokuler pasca tindakan laser. Sedangkan kontraindikasi
pemakaian obat ini apabila pasien dengan mono amin oksidase (MAO) dan
trisiklik depresan karena mempengaruhi metabolisme dan uptake
katekolamin (Blanco AA,2002).

14
3) Penghambat Karbonat Anhidrase
a) Asetasolamid Oral
Asetasolamid oral merupakan obat yang sering di gunakan karena
dapat menekan pembentukan humor aqeuos sebanyak 40-60%. Bekerja
efektif dalam menurunkan tekanan intraokuler apabila konsentrasi obat
bebas dalam plasma ±2,5 µM. Apabila diberikan secara oral, konsentrasi
puncak pada plasma dapat diperoleh dalam 2 jam setelah pemberian
dapat bertahan selama 4-6 jam dan menurun dengan cepat karena
ekskresi pada urin.
Indikasi asetasolamid terutama untuk menurunkan tekanan
intraokuler, mencegah prolaps korpus vitreum, dan menurunkan tekanan
introkuler pada pseudo tumor serebri (Niel, 2006).
b) Penghambat Karbonat Anhidrase Topikal
Penghambat karbonat anhidrase topikal bersifat larut lemak
sehingga bila digunakan secara topikal daya penetrasi ke kornea relatif
rendah. Pemberian dorsolamid topikal akan terjadi penetrasi melalui
kornea dan sklera ke epitel tak berpigmen prosesus siliaris sehingga
dapat menurunkan produksi humor aqueus dan HCO3- dengan cara
menekan enzim karbonik anhidrase II Penghambat karbonik anhidrase
topikal seperti dorsolamid bekerja efektif menurunkan tekanan
intraokuler karena konsentrasi di prosesus siliaris mencapai 2-10µM.
Penghambat karbonat anhidrase topikal (dorsolamid) dapat
menurunkan tekanan intraokuler sebesar 15-20% (Blanco AA,2002).
Indikasi pemberian untuk mengontrol glaukoma baik jangka pendek
maupun jangka panjang, sebagai obat tunggal atau kombinasi. Indikasi
lain untuk mencegah kenaikan tekanan intraokuler pasca bedah
intraokuler (Niel, 2006).
b. Fasilitasi Aliran Keluar Humor Aqueus
1) Parasimpatomimetik
Golongan obat parasimpatomimetik dapat menimbulkan efek miosis
pada mata dan bersifat sekresi pada mata, sehingga menimbulkan kontraksi
muskulus ciliaris supaya iris membuka dan aliran humor aquos dapat keluar
(Khaw T, 2005).

15
2) Analog prostaglandin
Analog prostaglandin merupakan obat lini pertama yang efektif
digunakan pada terapi glaukoma misalnya, latanopros. Latanopros
merupakan obat baru yang paling efektif katena dapat ditoleransi dengan baik
dan tidak menimbulkan efek samping sistemik Cara kerja obat ini dengan
meningkatkan aliran keluarnya humor aqueus melalui uveosklera.
Obat ini diindikasikan pada glaukoma sudut terbuka, hipertensi okuler
yang tidak toleran dengan antiglaukoma lain. kontrandikasi pada pasien yang
sensitif dengan latanopros (Blanco AA,2002).
c. Penurunan Volume Vitreus
Obat yang digunakan dalam menurunkan volume vitreus dapat menggunakan
obat hiperosmotik dengan cara mengubah darah menjadi hipertonik sehingga air
tertarik keluar dari vitreus dan menyebabkan pengecilan vitreus sehingga terjadi
penurunan produksi humor aquos. Penurunan volume vitreus bermanfaat dalam
pengobatan glaukoma sudut tertutup akut dan maligna (Niel, 2006).
2. Tindakan Operatif
a. Laser iridektomi
Iridektomi diindikasikan pada keadaan glaukoma sudut tertutup. Laser
iridotomy melibatkan pembuatan suatu lubang pada bagian mata yang berwarna
(iris) untuk mengizinkan cairan mengalir secara normal pada mata dengan sudut
sempit atau tertutup (Bruce J, 2006).
b. Laser trabeculoplasty
Adalah suatu prosedur laser dilaksanakan hanya pada penderita glaukoma
dengan sudut terbuka (open angles). Laser trabeculoplasty tidak menyembuhkan
glaukoma, namun sering dilakukan daripada meningkatkan jumlah obat-obat tetes
mata yang berbeda-beda. Pada beberapa kasus, digunakan sebagai terapi
permulaan atau terapi utama untuk open-angle glaukoma.
Prosedur ini adalah metode yang cepat, tidak sakit, dan relatif aman untuk
menurunkan tekanan intraocular. Dengan mata yang dibius dengan obat tetes
bius, perawatan laser dilaksanakan melalui lens kontak yang berkaca pada sudut
mata (angle of the eye). Microscopic laser yang membakar sudut mengizinkan
cairan keluar lebih leluasa dari kanal-kanal pengaliran (Niel, 2006).

16
c. Trabeculectomy
Adalah suatu prosedur operasi mikro yang sulit, digunakan untuk merawat
glaukoma. Pada operasi ini, suatu potongan kecil dari trabecular meshwork yang
tersumbat dihilangkan untuk menciptakan suatu pembukaan dan suatu jalan kecil
penyaringan yang baru dibuat untuk cairan keluar dari mata.
Untk jalan-jalan kecil baru, suatu bleb penyaringan kecil diciptakan dari
jaringan conjunctiva (conjunctival tissue). Conjunctiva adalah penutup bening
diatas putih mata. Filtering bleb adalah suatu area yang timbul seperti bisul yang
ditempatkan pada bagian atas mata dibawah kelopak atas.
Sistim pengaliran baru ini mengizinkan cairan untuk meninggalkan mata,
masuk ke bleb, dan kemudian lewat masuk kedalam sirkulasi darah kapiler
(capillary blood circulation) dengan demikian menurunkan tekanan mata. 24
Trabeculektomy adalah operasi glaukoma yang paling umum dilaksanakan. Jika
sukses, dia merupakan alat paling efektif menurunkan tekanan mata (Ilyas S,
2003).
d. Viscocanalostomy
Adalah suatu prosedur operasi alternatif yang digunakan untuk menurunkan
tekanan mata. Dia melibatkan penghilangan suatu potongan dari sclera (dinding
mata) untuk meninggalkan hanya suatu membran yang tipis dari jaringan
melaluinya cairan aqueous dapat dengan lebih mudah mengalir. Ketika dia lebih
tidak invasive dibanding trabeculectomy dan aqueous shunt surgery, dia juga
bertendensi lebih tidak efektif.
Ahli bedah kadangkala menciptakan tipe-tipe lain dari sistim pengaliran
(drainage systems). Ketika operasi glaukoma seringkali efektif, komplikasi-
komplikasi, seperti infeksi atau perdarahan, adalah mungkin. Maka, operasi
umumnya dicadangkan untuk kasus-kasus yang dengan cara lain tidak dapat
dikontrol (Niel, 2006).

17
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN GERONTIK PADA NY. A DENGAN GLAUKOMA
DI DESA TEGAL RT 08 RW 07 KECAMATAN KEMANG
BOGOR

KASUS
Ny. A datang ke Rumah Sakit Medika BSD diantar keluarga dengan keluhan nyeri pada mata
bagian kanan cenat cenut bertambah pada saat kepala lebih rendah atau bila sujud dan rukuk,
tidak begitu jelas melihat objek disekitarnya,demam,lemas bila diraba Ny. A mengatakan
nyeri pada mata yang sakit, sejak satu hari yang lalu. Ny. A juga mengtakkan matanya silau
bila melihat cahaya sejak 3 hari yang lalu. Hasil cek laboratorium leukositnya meningkat
17000µ/l Hb 12mg/dl.Pada saat dilakukan pengukuran ttv didapatkan hasil TD 130/80
mmHg, RR 24X/menit , suhu 38,50C, HR 90X/menit. Mata yang kanan terlihat lebih
menonjol dan membesar dari yang kiri kesimpulan sementara hasil pemeriksaan fisik Ny. A
mengalami peningkatan tekanan intra okuli 25mmHg, diagnosa sementara Ny. A menderita
glaucoma. Terapi yang diberikan Miotik tiap menit 1 tetes selama 5 menit kemudian 1 tetes
tiap jam selama 6 jam, Carbonic anhidrase inhibitor/azetazolamid 250 mg 2 tab sekaligus
kemudian tiap 4 jam 1 tab sampai 24 jam , morfin 10 mg injeksi.

A. PENGKAJIAN
1. Identitas diri klien
Nama : Ny. A
Umur : 70 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Desa Tegal Rt 08/07 Kecamatan Kemang, Bogor
Status perkawinan : Janda
Agama : Islam
Suku : Sunda
Pendidikan : Tamat SD
Pekerjaan : Tidak bekerja

18
2. Kondisi kehidupan klien saat ini
Saat ini Ny. A tinggal di rumahnya bersama anak dan menantu serta cucu-cucunya,
sedangkan suami Ny. A sudah lama meninggal. Ny. A merasa senang tinggal bersama
dengan keluarga anaknya, karena disitu Ny. A mendapatkan lebih banyak perhatian
dibandingkan dengan harus tinggal sendiri. Ny. A menjalani setiap harinya dengan
tinggal di rumah, kadang-kadang main ke rumah tetangga, tetapi lebih sering menjaga
dan bermain dengan cucu-cucunya.
Genogram

Keterangan :
: Perempuan
: Laki-laki
: Garis perkawinan
: Garis keturunan
: Tinggal dalam satu rumah
: Klien
: Meninggal

3. Riwayat Penyakit Keluarga


Ny. A mengatakan tidak tahu riwayat penyakit keluarganya karena waktu zaman dahulu
keluarga Ny. A tidak pernah berobat ke fasilitas kesehatan.

19
4. Riwayat Penyakit
a. Keluhan utama saat ini
Ny. A mengatakan nyeri pada mata sebelah kanan, nyeri dirasakan saat posisi kepala
lebih rendah atau bila sujud. Ny. A juga mengatakan mata kanannya lebih besar dan
menonjol dari mata sebelah kiri. Jika melihat objek yang ada disekitarnya pandangan
Ny. A tidak begitu jelas dan mata sering terasa silau jika melihat cahaya. Ny. A juga
mengatakan badannya sedikit demam dan merasa lemas
b. Apa yang dipikirkan saat ini
Ny. A mengatakan kadang-kadang banyak hal yang dipikirkan terutama tentang
kondisi kesehatannya saat ini
c. Siapa yang paling dipikirkan saat ini
Ny. A mengatakan tidak ada yang dipikirkan saat ini karena semua anaknya sudah
menikah.
d. Riwayat penyakit dahulu
Ny. A mengatakan tidak ada riwayat penyakit yang berat, hanya demam biasa dan
sembuh dengan obat warung.

5. Pengkajian
a. Persepsi dan pemeliharan kesehatan
Ny. A mengetahui bahwa kesehatan itu penting untuk di kontrol. Ny. A mengatakan
selalu menjaga kesehatannya dengan makan teratur. Ny. A tidak mempunyai riwayat
merokok maupun minum-minuman keras. Jika Ny. A merasa kurang sehat, Ny. A
akan meminum obat warung.
b. Pola nutrisi
Ny. A mengatakan nafsu makan menurun, makan 2 kali sehari, kadang-kadang mual
tapi tidak disertai dengan muntah. Ny. A minum 6 – 8 gelas/hari.
c. Pola eliminasi
Ny. A mengatakan BAB lancar satu kali sehari saat pagi dan BAK lancar 4-5 kali
sehari dengan warna jernih kekuningan.

20
d. Pola aktivitas dan latihan
Kemampuan perawatan diri 0 1 2 3 4
Makan/minum √
Mandi √
Toileting √
Berpakaian √
Mobilitas di tempat tidur √
Berpindah/berjalan √
Ambulasi/ROM √

Keterangan
0 : Mandiri
1 : Alat bantu
2 : Dibantu orang lain
3 : Dibantu orang lain dan alat
4 : Tergantung total
e. Pola tidur dan istirahat
Ny. A mengatakan tidur 8 jam sehari. Waktu tidur dari jam 21.00 WIB dan bangun
jam 05.00 WIB. Terkadang bangun saat tengah malam jika ingin BAK dan nanti
bisa tidur kembali
f. Pola perseptual
Ny. A mengatakn sering memikirkan tentang penyakitnya dan hanya membiarkan
penyakitnya tanpa ke fasilitas kesehatan. Ny. A berfikir bahwa penyakitnya tidak
terlalu serius yang nanti bisa sembuh dengan sendirinya
g. Pola persepsi diri
1) Gambaran diri
Ny. A tidak bisa menyebutkan gambaran diri yang diinginkan
2) Ideal diri
Ny. A mengatakan ingin selalu merasa sehat agar bisa melihat cucu-cucunya
sukses.

21
3) Harga diri
Ny. A mengatakan dirinya masih mampu melakukan aktivitas sehingga merasa
tidak enak bila merepotkan orang lain, Ny. A akan melakukan apa saja yang
masih bisa dilakukan sendiri tanpa menyusahkan orang lain.
4) Identitas diri
Ny. A mengatakan bahwa dirinya adalah seorang ibu dari 3 orang anak yang
sudah menikah semua sehingga saat ini yang dilakukan adalah mengurus cucu-
cucunya
5) Peran diri
Ny. A merupakan seorang ibu dan saat ini telah menjadi seorang nenek
sehingga keseharian Ny. A adalah mengasuh dan bermain bersama cucu-
cucunya.
h. Pola peran hubungan
Ny. A mengatakan bahwa dirinya berhubungan baik dengan anak-anaknya, dengan
menantu-menantunya dan cucu-cucunya, sanak-saudara serta tetangga sekitarnya.
Ny. A mengatakan sering berkumpul dan mengobrol dengan tetangga sekitar
rumahnya.
i. Pola managemen koping stress
Ny. A mengatakan bila sedang merasa stress dengan banyak hal yang ia pikirkan,
maka yang dilakukan Ny. A hanya ingin tidur dan diam saja sampai pikiran itu
perlahan hilang sendiri.
j. Sistem nilai dan keyakinan
Ny. A selalu percaya bahwa Tuhan memberikan setiap persoalan pasti ada jalan
keluarnya, hanya perlu bersabar dan pasrah saja sambil terus menjalani hidup apa
adanya, selalu bersyukur atas berkat yang Tuhan berikan.
6. Pemeriksaan fisik
a. Pemeriksaan fisik
1) Tingkat kesadaran : Composmentis E3V5M6, TD : 130/80 mmHg, RR : 24
x/menit, N : 90 x/menit, S : 38,50C
2) Kepala : Bentuk kepala mesosephal, tidak ada benjolan, luka atau lesi.
3) Rambut : Panjang dan beruban.
4) Leher : Tidak ada pembesaran kelenjar tiroid, tidak ada nyeri tekan ataupun
nyeri telan.

22
5) Thorak :Tampak simetris, tidak ada distensi atau pengembangan dada yang
abnormal, tidak ada dispneu, tidak ada nyeri dada.
6) Abdomen : Tampak simetris, tidak ada pembesaran hepar, tidak ada nyeri tekan
atau pun benjolan.
7) Ekstremitas : Bagian atas dan bawah tampak normal atau simetris, tidak ada
deformitas, pergerakan normal, tidak ada nyeri sendi.
b. Pemeriksaan panca indera
1) Mata : Ukuran pupil tidak sama, sklera tidak ikterik, konjungtiva tidak anemis,
palpebra dekstra oedem dan spasme, oedem pada kornea dekstra.
2) Hidung : Bersih, tidak ada polip hidung, tidak ada septum deviasi.
3) Telinga : Bersih, tidak ada serumen, reflek suara baik.
4) Mulut : Gigi kekuningan, tidak lengkap, tidak ada stomatitis.
5) Sensasi (kulit) : Ada

23
B. ANALISA DATA
No Data Problem Etiologi
1. DS :
1) Ny A mengatakan nyeri mata
sebelah kanan.
2) nyeri dirasakan saat posisi kepala
lebih rendah atau bila sujud.
DO :
1) Ny A tampak meringis kesakitan Peningkatan
akibat nyeri Tekanan Intraokuler Nyeri akut
2) Ny A tampak gelisah. (TIO)
3) Mata kanan Ny A tampak lebih
besar dan menonjol dari mata
sebelah kiri.
4) P : Nyeri timbul saat posisi kepala
lebih rendah atau bila sujud
Q : Nyeri terasa seperti ditusuk-
tusuk

R : Nyeri dirasakan pada mata


sebelah kanan
S : Skala nyeri 6
T : Nyeri dirasakan sewaktu –
waktu.
2 DS :
1) Ny. A mengatakan badannya
terasa demam dan lemas
2) Ny. A mengatakan tidurnya
terganggu karena demam
DO :
1) TD : 130/80 mmHg, RR : 24 Proses infeksi Hipertermi
x/menit, N : 90 x/menit S : 38,50C
2) Hasil leukosit 17000 µ/l

24
3) Kulit pasien teraba panas dan
terlihat menggigil
4) Badan Ny. A tampak berkeringat
5) Wajah Ny. A tampak pucat dan
lemas
3 DS :
1) Ny. A mengatakan tidak begitu
jelas melihat objek disekitarnya
2) Ny. A mengatakan matanya terasa
silau bila melihat cahaya
3) Ny. A mengatakan kurang Perubahan Gangguan persepsi
nyaman dengan ketajaman penerimaan sensorik sensorik (melihat)
matanya berkurang
DO :
1) Ny. A tampak menunjukkan
ekspresi kesulitan untuk melihat
2) Klien tidak dapat melihat dengan
jarak normal

C. DIAGNOSA SESUAI PRIORITAS


a. Nyeri akut berhubungan dengan peningkatan tekanan intraokuli (TIO)
b. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi
c. Gangguan persepsi sensorik (melihat) berhubungan dengan perubahan penerimaan
sensorik

25
D. INTERVENSI KEPERAWATAN

NO DIAGNOSA RENCANA KEPERAWATAN Paraf


KEPERAWATAN TUJUAN INTERVENSI RASIONAL
1. Nyeri akut Setelah dilakukan asuhan 1. Kaji karakteristik nyeri : intensitas, 1. Mengetahui tingkat nyeri untuk Kadek
berhubungan keperawatan selama 2x24 frekuensi, lokasi, durasi, kualitas memudahkan intervensi
dengan jam, diharapkan klien 2. Observasi respon ketidaknyamanan selanjutnya
peningkatan dapat menunjukkan secara verbal dan non verbal 2. Untuk mengetahui tingkat
tekanan intraokuler tingkat nyeri berkurang 3. Ajarkan teknik non farmakologi : ketidaknyamanan yang dirasakan
(TIO) dengan kriteria hasil : napas dalam dan relaksasi pasien
1. Melaporkan penyebab 4. Kontrol lingkungan yang dapat 3. Agar klien mampu menggunakan
nyeri mempengaruhi nyeri seperti suhu teknik nonfarmakologi dalam
2. Melaporkan frekuensi ruangan, pencahayaan dan memanagement nyeri yang
nyeri kebisingan dirasakan
3. Melaporkan lamanya 5. Pertahankan tirah baring ketat pada 4. Stress dan sinar menimbulkan
nyeri posisi semi fowler TIO yang mencetuskan nyeri
4. Menunjukkan 6. Berikan analgesik narkotik yang 5. Tekanan pada mata meningkat
ekspresi rileks diresepkan bila tubuh datar
5. Melaporkan nyeri 6. Untuk mengontrol nyeri
berkurang

26
2. Hipertermi Setelah dilakukan tindakan 1. Monitor suhu minimal tiap 2 jam 1. Mengetahui perubahan suhu, suhu Dian
berhubungan keperawatan selama 2x24 2. Monitor warna dan suhu kulit 38,9 – 41,10C menunjukkan
dengan proses jam gangguan rasa 3. Monitor tekanan darah, nadi dan proses inflamasi
infeksi nyaman dapat teratasi RR 2. Perubahan pada warna dan suhu
dengan kriteria hasil : 4. Tingkatkan sirkulasi udara kulit merupakan indikasi demam
1. Suhu tubuh dalam 5. Kolaborasi pemberian antipiretik 3. Dengan adanya panas berlebihan
rentang normal (paracetamol 3x1) mengakibatkan hemodinamika di
2. Nadi dan RR dalam 6. Kompres pasien pada lipat paha dalam tubuh terganggu
rentang normal dan aksila 4. Penyediaan udara bersih
3. Tidak ada perubahan 7. Tingkatkan intake cairan dan 5. Untuk menurunkan panas
warna kulit dan tidak nutrisi 6. Untuk merangsang penurunan
ada pusing, 8. Monitor hidrasi seperti turgor panas
4. Merasa nyaman kulit, kelembaban membran 7. Mengetahui secara pasti makan
mukosa yang masuk dan keluar
8. Perubahan status hidrasi,
membran mukosa, turgor kulit
menggambarkan berat ringannya
kekurangan cairan

27
3. Gangguan persepsi Setelah dilakukan asuhan 1. Monitor TTV 1. Tanda vital merupakan acuan Astri
sensorik (melihat) keperawatan selama 2x24 2. Monitor ukuran pupil, ketajaman, untuk mengetahui kondisi umum
berhubungan jam gangguan rasa kesimetrisan dan reaksi pasien
dengan perubahan nyaman dapat teratasi 3. Monitor adanya diplopia, 2. Mengetahui sejauh mana
penerimaan dengan kriteria hasil : pandangan kabur dan nyeri kepala ketidakefektifan perfusi jaringan
sensorik 1. Pasien akan 4. Tunjukkan pemberian tetes mata, 3. Mengetahui ketidakadekuatan
berpartisipasi dalam contoh menghitung tetesan, fungsi dari serebral
program pengobatan mengikuti jadwal, tidak salah 4. Mengontrol TIO, mencegah
2. Pasien akan dosis kehilangan penglihatan lanjut
mempertahankan 5. Kolaborasi pemberian obat 5. Menurunkan laju produksi akueus
lapang ketajaman glaukoma : Asetazolamid humor
penglihatan tanpa 6. Catat perubahan pasien dalam 6. Mengetahui tingkat kepekaan
kehilangan lebih merespon stimulus pasien terhadap stimulus setelah
lanjut dilakukan intervensi

28
E. CATATAN PERKEMBANGAN
NO DX WAKTU IMPLEMENTASI RESPON EVALUASI
TGL/JAM
1. Dx. 8 - 10 - 2019
1 08.30 - Mengkaji karakteristik nyeri - Terdapat pembengkakan pada S : Ny. A mengatakan nyeri masih
mata kanan, nyeri dirasakan saat terasa meskipun sudah berkurang
posisi kepala lebih rendah, nyeri O : Palpebra dekstra oedem dan
terasa berdenyut skala nyeri 6 spasme, kornea dekstra oedem,
- Mengobservasi - Klien tampak meringis setelah dilakukan manajemen nyeri
ketidaknyamanan klien kesakitan saat membungkuk klien tampak lebih tenang, skala
secara verbal dan non verbal nyeri turun dari 6 menjadi 4
- Mengajarkan klien teknik - Klien merasa lebih tenang dan A : Masalah nyeri akut teratasi
nonfarmakologi (napas dalam rasa sakit yang dirasakan dapat sebagian
dan relaksasi) teralihkan P : Intervensi dilanjutkan
- Mengontrol suhu ruangan, - Klien merasa nyeri yang - Observasi ketidaknyamanan
pencahayaan dan kebisingan dirasakan mulai berkurang - Kontrol suhu ruangan,
pencahayaan dan kebisingan
10.30 - Mempertahankan tirah baring - Klien merasa lebih nyaman dan - Pertahankan tirah baring posisi
ketat pada posisi semi fowler nyeri berkurang semi fowler
- Memberikan analgesik - Klien terlihat lebih rileks - Berikan analgesik narkotik yang
narkotik yang diresepkan diresepkan

29
Dx. 8 - 10 - 2019
2 09.30 - Memonitor suhu tiap 2 jam - Suhu klien pada 2 jam pertama S : Ny. A mengatakan badannya
sekali 38,50C masih terasa panas dan sedikit
- Memonitor warna dan suhu - Kulit klien teraba panas dan menggigil
kulit terlihat kemerahan O : TD : Suhu turun dari 38,50C
- Memonitor TTV klien - TD : 130/80 mmHg, N : 90 menjadi 37,80C, leukosit turun dari
x/menit, RR : 24 x/menit, S : 17.000 µ/l menjadi 14.000 µ/l, kulit
38,50 C teraba hangat, turgor kulit baik
- Meningkatkan sirkulasi udara - Ventilasi kamar klien dibuka namun membran mukosa masih
tampak kering
A : Masalah hipertermi teratasi
11.30 - Berkolaborasi pemberian - Suhu turun menjadi 380C sebagian
antipiretik (paracetamol 3x1) P : Intervensi dilanjutkan
- Mengkompres klien pada - Suhu turun 37,80C kulit tidak - Monitor suhu tiap 2 jam sekali
lipat paha dan aksila kemerahan dan teraba hangat - Kompres klien pada lipat paha
- Meningkatkan intake cairan - Intake output klien adekuat dan aksila
dan nutrisi klien - Tingkatkan intake cairan dan
- Memonitor hidrasi : Turgor - Turgor kulit klien baik, nutrisi
kulit dan kelembapan membran mukosa masih tampak - Monitor hidrasi : Turgor kulit &
membran mukosa kering kelembapan membran mukosa

30
Dx. 8 - 10 – 2019
3 11.00 - Memonitor TTV - TD : 130/80 mmHg, N : 85 S : Klien mengatakan kesulitan
x/menit, RR : 22 x/menit, dalam melihat objek yang ada
S : 37,80C disekitarnya, mata silau bila melihat
- Memonitor ukuran pupil, - Ukuran pupil tidak sama, klien cahaya disertai dengan kepala pusing
ketajaman, kesimetrisan dan kesulitan dalam melihat objek O : TIO 25 mmHg, ukuran pupil
reaksi disekitarnya tidak sama, klien tampak kesulitan
- Memonitor adanya diplopia, - Klien mengatakan pandangan dalam melihat
pandangan kabur dan nyeri kabur, apabila melihat cahaya A : Masalah gangguan persepsi
kepala pandangan akan silau dan sensorik (melihat) belum teratasi
- Menunjukkan cara kepala pusing P : Intervensi dilanjutkan
penggunaan obat tetes mata - Klien dan keluarga mengerti - Monitor TTV
(menghitung tetesan, jadwal cara penggunaan tetes mata. - Monitor adanya diplopia,
dan tidak salah dosis) pandangan kabur dan nyeri
kepala
- Monitor pemberian tetes mata :
13.00 - Berkolaborasi dalam - Setelah meminum obat klien Miotik
pemberian obat glaukoma : tampak lemas dan mengantuk - Kolaborasi pemberian obat
Asetazolamid glaukoma : Asetazolamid
- Mencatat perubahan klien - Catat perubahan klien dalam
dalam merespon stimulus merespon stimulus

31
2. Dx. 9 - 10 - 2019
1 08.30 - Mengobservasi - Klien mengatakan nyeri S : Ny. A mengatakan nyeri pada
ketidaknyamanan klien berkurang dan merasa lebih mata kanan sudah tidak terasa.
secara verbal dan non verbal nyaman, klien tidak tampak O : Klien mampu melakukan
meringis aktivitas, oedem pada mata kanan
- Mengontrol suhu ruangan, - Lingkungan klien kondusif berkurang. Klien menyatakan nyeri
pencahayaan dan kebisingan sehingga klien dapat beristirahat pada mata kanan sudah tidak terasa.
dengan cukup Skala nyeri 1
A : Masalah nyeri akut teratasi
P : Intervensi dihentikan
10.30 - Mempertahankan tirah baring - Klien tampak rileks dan mampu
pada posisi semi fowler beraktivitas diatas tempat tidur
- Memberikan analgesik - Klien menyatakan nyeri pada
narkotik yang diresepkan mata kanan sudah tidak terasa

Dx. 9 - 10 - 2019
2 09.30 - Monitor suhu tiap 2 jam - Suhu normal 37,20C S : Ny. A mengatakan badannya
sekali sudah tidak demam

32
- Kompres klien pada lipat - Kulit teraba hangat O : Suhu normal 37,20C leukosit
paha dan aksila 10.000µ/l, kulit tidak tampak
- Tingkatkan intake cairan dan - Intake output adekuat kemerahan
nutrisi A : Masalah hipertermi teratasi
P : Intervensi dihentikan

11.30 - Monitor hidrasi : Turgor kulit - Turgor kulit baik, membran


dan kelembapan membran mukosa lembap
mukosa

Dx. 9 - 10 – 2019 - Memonitor TTV - TD : 130/80 mmHg, N : 85 S : Klien mengatakan pandangan


3 11.00 x/menit, RR : 22 x/menit, S : tetap kabur, nyeri kepala berkurang.
370C O : Klien secara rutin meneteskan
- Memonitor ukuran pupil, - Klien mengatakan pandangan obat matanya
ketajaman, kesimetrisan dan tetap kabur A : Masalah teratasi sebagian
reaksi P : Intervensi dilanjutkan
- Memonitor adanya diplopia, - Klien mengatakan nyeri kepala - Monitor pemberian obat tetes
pandangan kabur dan nyeri berkurang mata
kepala - Kolaborasi dalam pemberian
obat glaukoma :
Asetazolamid

33
13.00 - Memonitor pemberian tetes - Klien secara rutin meneteskan
mata obat matanya
- Berkolaborasi dalam - Setelah meminum obat klien
pemberian obat glaukoma : tampak lemas dan mengantuk
Asetazolamid
- Mencatat perubahan klien
dalam merespon stimulus

34
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Glaucoma adalah sejumlah kelainan mata yang mempunyai gejala peningkatan
tekanan intraokuler(TIO), dapat mengakibatkan penggawungan atau pencekungan papil
syaraf optic sehingga terjadi atropi syaraf optik, penyempitan lapang pandang dan
penurunan tajam penglihatan. Penyakit ini ditandai dengan nyeri, peningkatan
intraokular, dan penurunan ketajaman penglihatan. diagnosa yang timbul adalah:
1. Nyeri akut berhubungan dengan cidera biologis (peningkatan TIO)
2. Gangguan persepsi sensorik (melihat) berhubungan dengan perubahan penerimaan
sensorik
3. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi.

B. Saran
Klien yang mengalami glaukoma harus mendapatkan gambaran tentang penyakit serta
penatalaksaannya, efek pengobatan, dan tujuan akhir pengobatan itu. Pendidikan
kesehatan yang diberikan harus menekankan bahwa pengobatan bukan untuk
mengembalikan fungsi penglihatan, tetapi hanya mempertahankan fungsi penglihatan
yang masih ada.

35

Anda mungkin juga menyukai