DENGAN THALASEMIA
KELOMPOK 1
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Tindakan Keperawatan Anak
Semester Tiga Tingkat Dua
Nama Kelompok:
1. Akhyen Nurhanifah
2. Alifatun Khasanah
3. Anggun Kusuma Dewi
4. Anis Listianingsih
5. Anissa Shohwatul Islam
6. Arif Purnomo
7. Bambang Dedi Setiawan
8. Danang Ardiazis
9. Devi Rahayu Agustin
10. Dika Ruliyana
11. Dini Saputri
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Dengan angka kelahiran 23 per 1.000 dari 240 juta penduduk Indonesia, maka
diperkirakan ada sekitar 3.000 bayi penderita thalasemia yang lahir tiap tahunnya. Indonesia
termasuk dalam kelompok negara yang berisiko tinggi untuk penyakit thalasemia.
Thalasemia adalah penyakit genetik yang menyebabkan terganggunya produksi hemoglobin
dalam sel darah merah. "Prevalensi thalasemia bawaan atau carrier di Indonesia adalah
sekitar 3-8 persen," kata Wakil Menteri Kesehatan Ali Ghufron Mukti, dalam sambutannya
di puncak peringatan hari ulang tahun Yayasan Thalasemia Indonesia ke-25 di Gedung
BPPT, Jakarta, hari ini.Wamenkes menjabarkan, jika persentase thalasemia mencapai 5
persen, dengan angka kelahiran 23 per 1.000 dari 240 juta penduduk Indonesia, maka
diperkirakan ada sekitar 3.000 bayi penderita thalasemia yang lahir tiap tahunnya. Hasil
Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 menunjukkan prevalensi nasional thalasemia adalah 0,1
persen. "Ada 8 propinsi yang menunjukkan prevalensi thalasemia lebih tinggu dari
prevalensi nasional," ungkap Wamenkes. Beberapa dari 8 propinsi itu antara lain adalah
Aceh dengan prevalensi 13,4 persen, Jakarta dengan 12,3 persen, Sumatera Selatan yang
prevalensinya 5,4 persen, Gorontalo dengan persentase 3,1 persen, dan Kepulauan Riau
3 persen. Menurut Ali, setiap tahun, sekitar 300.000 anak dengan thalasemia akan
dilahirkan dan sekitar 60-70 ribu, di antaranya adalah penderita jenis beta-thalasemia mayor,
yang memerlukan transfusi darah sepanjang hidupnya."Beban bagi penderita thalasemia
mayor memang berat karena harus mendapatkan transfusi darah dan pengobatan seumur
hidup. Penderita thalasemia menghabiskan dana sekitar 7-10 juta rupah per bulan untuk
pengobatan," ungkap Wamenkes. Dua jenis thalasemia yang lain adalah thalasemia minor,
yang terjadi pada orang sehat, namun dapat menurunkan gen thalasemia pada anaknya dan
thalasemia intermedia, yang penderitanya mungkin memerlukan transfusi darah secara
berkala dan dapat bertahan hidup sampai dewasa. Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
tahun 1994 menunjukkan persentase orang yang membawa gen thalasemia di seluruh dunia
mencapai 4,5 persen atau sekitar 250 juta orang. Jumlah kasus thalasemia cenderung
meningkat dan pada tahun 2001 diperkirakan jumlah pembawa gen thalasemia mencapai 7
persen dari penduduk dunia.
1
1.2.Rumusan Masalah
Mengapa thalasemia bisa terjadi pada anak?
Bagaimana patofisiologi terjadinya thalasemia?
Bagaimana masalah yang timbul pada anak penderita thalasemia?
Bagaimana penatalaksanaan thalasemia pada anak?
1.3.Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan adalah agar pembaca mengetahui thalasemia, sehingga dapat berguna di
tengah tengah masyarakat saat menjumpai kasus thalasemia.
1.4.Manfaat Penulisan
Adapun manfat penulisan adalah untuk memenuhi tugas dari Keperawatan Anak.
2
BAB I
TINJAUAN TEORI
THALASEMIA PADA ANAK
A. Definisi
B. Etiologi
Thalasemia adalah penyakit herediter yang diturunkan orang tua kepada anaknya.
Anak yang mewarisi gen thalasemia dari salah satu orang tua dan gen normal dari orang tua
lain adalah seorang pembawa (carries). Anak yang mewarisi gen dari kedua orang tuanya
menderita thalasemia sedang sampai berat. (Muncie & Campbell, 2009)
3
C. Tanda dan Gejala
Pada penderita thalasemiamenurut James & Ashwil (2007) akan ditemukan beberapa
kelainan diantaranya :
1. Anemia dengan gejala seperti pucat, demam tanpa penyebab yang jelas, tidak nafsu
makan, infeksi berulang, dan pembesaran limfe atau hati
2. Anemia progresif yang ditandai dengan hipoksia kronis seperti nyeri kepala, nyeri
prekordial, tulang, penurunan toleransi terhadap latihan, lesu dan anoreksia
3. Perubahan pada tulang, tulang akan mengalami penipisan dan kerapuhan akibat
sumsum tulang yang bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan kekurangan hemoglobin
dalam sel darah. Hal ini terjadi pada kepala, frontal, parietal, molar yang menjadi lebih
menonjol, batang hidung menjadi lebih datar atau masuk ke dalam dengan tulang pipih
yang menonjol. Keadaan ini disebut facies cooley, yang merupakan cirri khas
thalasemia mayor.
Manifestasi klinik yang dapat dijumpai sebagai dampak patologis penyakit pada
thalasemia yaitu anemia yang menahun disebabkan eritropoises yang tidak efektif, proses
hemolisis dan reduksi sintesa hemoglobin (Indanah, 2010).
Adanya anemia tersebut mengakibatkan pasien memerlukan transfusi darah seumur
hidupnya. Pemberian transfusi darah secara terus menerus akan menyebabkan terjadinya
penumpukan zat besi pada jaringan parenkim disertai dengan kadar serum besi yang tinggi.
Hal tersebut dapat menimbulkan hemosiderosis pada berbagai organ tubuh seperti, jantung,
hati, limpa serta kelenjar endokrin. Kondisi anemia kronis menyebabkan terjadinya hypoxia
jaringan dan merangsang peningkatan produksi eritropoitin yang berdampak pada ekspansi
susunan tulang sehingga pasien thalasemia mengalami deformitas tulang, resiko menderita
gout dan defisiensi asam folat. Selain itu peningkatan eritropoitin juga mengakibatkan
hemapoesis ekstra medular. Hemapoesis eksta medular serta hemolisis menyebabkan
terjadinya hipersplenisme dan splenomegali. Hypoxia yang kronis sebagai dampak dari
anemia mengakibatkan penderita sering mengalami sakit kepala, irritable, aneroxia, nyeri
dada dan tulang serta intoleran aktifitas. Pada taraf lanjut pasien juga beresiko mengalami
gangguan pertumbuhan dan perkembangan reproduksi. Pasien dengan thalasemia juga
mengalami perubahan struktur tulang yang ditandai dengan penampilan wajah khas berupa
tulang maxilaris yang menonjol, dahi yang lebar dan tulang hidung datar (Indanah, 2010).
D. Patofisiologi
4
Pada pasien thalasemia terjadi gangguan sintesis globin. Tidak seimbangnya jumlah
rantai α dan β globin yang disintesis menyebabkan hemoglobin tidak terbentuk secara
normal. Kondisi ini menyebabkan penurunan sintesis rantai β dalam molekul hemoglobin
yang terjadi secara parsial atau total. Penurunan rantai β- akan dikompensasi oleh
meningkatnya sintesis rantai α-, sedangkan rantai –γ tetap aktif dan menghasilkan
pembentukan hemoglobin yang cacat. (Rund & Rachmilewitz, 2005)
Keadaan unit polipeptida yang tidak seimbang menyebabkan kelainan produksi
hemoglobin secara kronis dan destruksi eritrosit. Kondisi ini menyebabkan sumsum tulang
membentuk eritrosit baru, sehingga muncul eritropoeisis. (Price & Wilson, 2006)
E. Pathway
5
F. Komplikasi
6
Komplikasi yang dapat terjadi pada Klien Dengan Thalasemia
a) Fraktur patologis
b) Hepatosplenomegali
c) Gangguan tumbuh kembang
d) Disfungsi organ
e) Gagal jantung
f) Hemosiderosis
g) Hemokromatosis
G. Pemeriksaan penunjang
1. Darah tepi :
a. Hb rendah dapat sampai 2-3 g%
b. Gambaran morfologi eritrosit : mikrositik hipokromik, sel target, anisositosis berat
dengan makroovalositosis, mikrosferosit, polikromasi, basophilic stippling, benda
Howell-Jolly, poikilositosis dan sel target. Gambaran ini lebih kurang khas.
c. Retikulosit meningkat.
2. Sumsum tulang (tidak menentukan diagnosis) :
a. Hiperplasi sistem eritropoesis dengan normoblas terbanyak dari jenis asidofil.
b. Granula Fe (dengan pengecatan Prussian biru) meningkat.
3. Pemeriksaan khusus :Hb F meningkat : 20%-90% Hb total
a. Elektroforesis Hb : hemoglobinopati lain dan mengukur kadar Hb F.
b. Pemeriksaan pedigree: kedua orangtua pasien thalassemia mayor merupakan trait
(carrier) dengan Hb A2 meningkat (> 3,5% dari Hb total).
4. Pemeriksaan lain :
a. Foto Ro tulang kepala : gambaran hair on end, korteks menipis, diploe melebar dengan
trabekula tegak lurus pada korteks.
b. Foto tulang pipih dan ujung tulang panjang : perluasan sumsum tulang sehingga
trabekula tampak jelas.
H. Penatalaksanaan
Terapi thalasemia bertujuan meningkatkan kemampuan mendekati perkembangan
normal serta meminimalkan infeksi dan komplikasi sebagai dampak sistemik penyakit.
Terapi thalasemia mayor meliputi pemberian tranfusi, mencegah penumpukan zat besi
(Hemocromatosi) akibat tranfusi, pemberian asam folat, usaha mengurangi hemolisis
dengan splenektomi, dan transplantasi sumsum tulang (Indanah, 2010).
1) Tranfusi Darah
7
Tranfusi darah yang teratur dilakukan untuk mempertahankan hemoglobin normal
atau mendekati normal. Terapi ini diberikan jika kadar hemoglobin < 6 mg/dl dalam interval
1 bulan selama 3 bulan berturut-turut. Tehnik yang dipakai adalah hipertranfusi, yaitu untuk
mencapai kadar hemoglobin diatas 10 gr/dl dengan jalan memberikan tranfusi 2 – 4 unit
darah setiap 4 - 6 minggu, sehingga produksi hemoglobin abnormal ditekan. Tindakan ini
bertujuan mengurangi komplikasi anemia dan eritropoesis, memaksimalkan pertumbuhan
dan perkembangan serta memperpanjang ketahanan hidup (Indanah, 2010).
2) Iron Chelator
Iron chelator diberikan untuk mencegah penumpukan zat besi (hemocromatosis)
akibat tranfusi dan akibat patogenesis dari thalasemia sendiri serta mengontrol kadar besi
didalam tubuh secara optimal (Indanah, 2010). Iron chelator yang diberikan berupa
desferoksamin (desferal ®), berfungsi untuk membantu mengekresikan besi dalam urin.
Desferoksamin diberikan dengan infusion bag dengan 1 – 2 g tiap unit darah yang
ditranfusikan atau melalui infus subcutan 20 – 4 mg/kg dalam 8 – 12 jam, 5 – 7 hari
seminggu. Terapi ini diberikan setelah tranfusi darah 10 – 15 unit. Besi yang terkelasi oleh
desferoksamin diekresikan melalui urin dan feses. Pemberian Vitamin C (200 mg/hari)
membantu meningkatkan eksresi besi oleh desferoksamin. Harapan hidup pasien thalasemia
akan meningkat jika pasien patuh terhadap terapi iron chelator ini. Selain harganya yang
mahal, terapi ini member efek samping pada pasien seperti bengkak, gatal, tuli, kerusakan
pada retina, kelainan tulang dan retardasi pertumbuhan (Indanah, 2010).
3) Splenektomi
Splenektomi adalah terapi thalasemia yang bertujuan mengurangi proses hemolisis.
Splenektomi dilakukan jika splenomegali cukup besar dan terbukti adanya hipersplenisme
serta dilakukan jika pasien berumur lebih dari 6 tahun karena resiko infeksi pasca
splenektomi (Indanah, 2010).
4) Transplantasi Sumsum Tulang
Transplantasi sumsum tulang merupakan alternatif pengobatan yang dipercaya untuk
kasus thalasemia. Proses penatalaksaan pengobatan thalasemia dengan transplantasi
sumsum tulang ini, harus dengan pertimbangan yang sangat matang karena mengandung
banyak resiko (Indanah, 2010) menyebutkan penatalaksanaan transplantasi sumsum tulang
yang mempertimbangkan tingkatan hepatosplenomegali, ada tidaknya fibrosis postal pada
biopsi hati secara efektifitas iron chelation therapy sebelum penatalaksanaan transplantasi.
Terapi dengan transplantasi sumsum tulang mampu menghilangkan kebutuhan pasien
terhadap iron chelation therapy.
8
I. Diet
Berdasarkan berbagai hal yang telah diuraikan di atas, maka asupan nutrisi yang dianjurkan
pada pasien thalassemia adalah tinggi kalori, tinggi protein, kalsium, seng, vitamin A (‚-
karoten), vitamin D, vitamin E, dan rendah besi, sedangkan vitamin C harus dibatasi karena
dapat meningkatkan absorpsi besi. (Tabel 1 dan 2)
Tabel 1. Makanan yang harus dihindari oleh pasien Thalasemia
Makanan dengan kandungan zat besi tinggi Kandungan besi
Organ dalam (hati, ginjal, limpa) 5 – 14 mg/dl/100 g
• Daging sapi 2,2 mg/100 g
• Hati dan ampela ayam 2-10 mg/100 g
• Ikan pusu (dengan kepala dan tulang) 5,3 mg/100 g
• Kerang 13,2 mg/100 g
• Telur ayam 2,4 mg/butir
• Telur bebek 3,7 mg/ butir
• Buah kering / kismis, kacang 2,9 mg/ 100 g
• Kacang-kacangan yang digoreng 4-8 mg/100 g
• Kacang-kacangan yang dibakar 1,9 mg/100 g
• Biji-bijian yang dikeringkan 21,7 mg/100 g
• Sayuran berwarna hijau (bayam, kailan, kangkung) >3 mg/100 g
BAB II
9
A. PENGKAJIAN
1. Asal Keturunan / Kewarganegaraan
Thalasemia banyak dijumpai pada bangsa di sekitar laut Tengah (Mediteranial) seperti
Turki, Yunani, dll. Di Indonesia sendiri, thalasemia cukup banyak dijumpai pada anak,
bahkan merupakan penyakit darah yang paling banyak diderita.
2. Umur
Pada penderita thalasemia mayor yang gejala klinisnya jelas, gejala telah terlihat sejak anak
berumur kurang dari 1 tahun, sedangkan pada thalasemia minor biasanya anak akan dibawa
ke RS setelah usia 4 tahun.
5. Pola Makan
Terjadi anoreksia sehingga anak sering susah makan, sehingga BB rendah dan tidak sesuai
usia.
6. Pola Aktivitas
Anak terlihat lemah dan tidak selincah anak seusianya. Anak lebih banyak tidur/istirahat
karena anak mudah lelah.
10
9. Data Keadaan Fisik Anak Thalasemia
a. Keadaan Umum = lemah dan kurang bergairah, tidak selincah anak lain yang seusia.
b. Kepala dan bentuk muka. Anak yang belum mendapatkan pengobatan mempunyai
bentuk khas, yaitu kepala membesar dan muka mongoloid (hidung pesek tanpa pangkal
hidung), jarak mata lebar, tulang dahi terlihat lebar.
c. Mata dan konjungtiva pucat dan kekuningan
d. Mulut dan bibir terlihat kehitaman
e. Dada, Pada inspeksi terlihat dada kiri menonjol karena adanya pembesaran jantung dan
disebabkan oleh anemia kronik.
f. Perut, Terlihat pucat, dipalpasi ada pembesaran limpa dan hati (hepatospek nomegali).
g. Pertumbuhan fisiknya lebih kecil daripada normal sesuai usia, BB di bawah normal
h. Pertumbuhan organ seks sekunder untuk anak pada usia pubertas tidak tercapai dengan
baik. Misal tidak tumbuh rambut ketiak, pubis ataupun kumis bahkan mungkin anak
tidak dapat mencapai tapa odolense karena adanya anemia kronik.
i. Kulit, Warna kulit pucat kekuningan, jika anak telah sering mendapat transfusi warna
kulit akan menjadi kelabu seperti besi. Hal ini terjadi karena adanya penumpukan zat
besi dalam jaringan kulit (hemosiderosis).
B. Diagnosa Keperawatan
1. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan komponen seluler yang
diperlukan untuk pengiriman Oksigen ke sel.
Tujuan: Setelah di lakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam , pasien mampu
mempertahankan perfusi jaringan adekuat.
Kriteria hasil :
060003 Pernapasan 3 5
11
Intervensi :
041004 Pernapasan 3 5
Intervensi :
a) Kaji toleransi fisik anak dan bantu dalam aktivitas yang melebihi toleransi anak
12
b) Berikan anak aktivitas pengalihan misalnya bermain
c) Berikan anak periode tidur sesuai kondisi dan usia
d) Kaji kemampuan pasien untuk melakukan aktivitas, catat kelelahan dan kesulitan
dalam beraktivitas.
e) Awasi tanda-tanda vital selama dan sesudah aktivitas.
f) Catat respon terhadap tingkat aktivitas.
g) Berikan lingkungan yang tenang.
h) Pertahankan tirah baring jika diindikasikan.
i) Ubah posisi pasien dengan perlahan dan pantau terhadap pusing.
j) Pilih periode istirahat dengan periode aktivitas.
k) Beri bantuan dalam beraktivitas bila diperlukan.
l) Rencanakan kemajuan aktivitas dengan pasien, tingkatkan aktivitas sesuai toleransi.
m) Gerakan teknik penghematan energi, misalnya mandi dengan duduk.
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kegagalan untuk
mencerna atau ketidakmampuan mencerna makanan/absorbsi nutrien yang diperlukan
untuk pembentukan sel darah merah normal.
Kriteria hasil :
Intervensi:
13
d) Kolaborasi dengan ahli gizi
e) Berikan makanan yang bergisi.
f) Berikan minuman yang bergisi misalnya susu
g) Beri makanan sedikit tapi sering.
h) Berikan suplemen atau vitamin pada anak
i) Berikan lingkungan yang menyenangkan
4. Resiko terjadi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan sirkulasi dan neurologis.
Kriteria hasil :
Kode Kriteria hasil IR ER
110101 Temperatur 2 5
110104 Hidrasi 3 5
110108 Tekstur 2 5
110121 Kemerahan 3 5
Intervensi :
a) Kaji integritas kulit, catat perubahan pada turgor, gangguan warna, aritema dan
ekskoriasi.
b) Ubah posisi secara periodik.
c) Pertahankan kulit kering
d) Anjurkan pasien dan keluarga menjaga kebersihan
e) Batasi penggunaan sabun.
f) Anjurkan klien dan keluarga mencuci tangan
5. Resiko infeksi berhubungan dengan pertahanan sekunder tidak adekuat, penurunan Hb,
leukopenia atau penurunan granulosit.
Kriteria hasil :
Kode Kriteria hasil IR ER
14
192404 Mengidentifikasi resiko infeksi di semua situasi 3 5
110301 Granulasi 3 5
Intervensi :
a) Pertahankan teknik septik antiseptik pada prosedur perawatan.
b) Dorong perubahan ambulasi yang sering.
c) Tingkatkan masukan cairan yang adekuat.
d) Pantau dan batasi pengunjung.
e) Pantau tanda-tanda vital.
f) Kolaborasi dalam pemberian antiseptik dan antipiretik.
g) Kolaborasi pemberian diet dengan ahli gizi
Kriteria hasil :
Kode Kriteria hasil IR ER
15
Intervensi :
DAFTAR PUSTAKA
Arijanty, L., & Nasar, S. S. (2006). Masalah nutrisi pada thalassemia. Sari Pediatri,
5(1), 21-6.
16
Aru W. Sudoyo, 2009 Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi 5 InternaPublishing: Jakarta
Fatriani, Liza, 2012 Talasemia
Ganie, R. A. (2005). Thalassemia: Permasalahan dan Penanganannya. Disampaikan
dalam Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Patologi pada
Fakultas Kedokteran. USU, Medan.
Indanah, 2010 Analisis Faktor Yang Berhubungan Dengan “self care behavior” Pada
Anak Usia Sekolah Dengan Talasemia Mayor Di RSUPN, Dr. Cipto Mangun Kusumo
Jakarta.
James, S.R. & Ashwill, J.W. (2007). Nursing care of the children: Principle’s
&practice (3rd ed.)St. Louis: Saunders Elsevier.
Muncie, H.J. & Campbell, J.S. (2009). Alpha and beta thalasemia.
Rund, D., & Rachmilewitz, E. (2005). Cognitive abilities, mood changes and adaptive
functioning in children with β thalassaemia. Current Psychiatry, 16(3): 244-54.
Tentang, P. O. T., Anak, P. T. P., Thalasemia, C., & Aceh B. Dara Khairina.
17