Disusun Oleh :
FAKULTAS TEKNIK
JAKARTA, 2019
0
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan berbagai macam
nikmatNya kepada kita semua sehingga kita dapat menjalankan aktivitas sehari-
hari dengan baik. Sehingga kami pun dapat menyelesaikan makalah ini dengan
baik. Tujuan disusunnya makalah ini sebagai tugas dari mata kuliah Islam Dalam
Disiplin Ilmu.
1. Bapak Maulana Ishak, M.Pd.I selaku dosen mata kuliah Islam Dalam
Disiplin Ilmu.
2. Teman-teman Teknik Mesin UHAMKA, dan pihak-pihak lain yang tidak
bisa kami sebutkan satu persatu.
Kami sangat menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna.
Untuk itu, kami menerima dengan terbuka semua semua kritik dan saran yang
membangun agar makalah ini dapat tersusun lebih baik lagi. Dan kami
berharap makalah ini dapat bermanfaat untuk kita semua.
Tim Penyusun
1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................1
BAB I PENDAHULUAN……………….......................................3
A. LATAR
BELAKANG…….............................................................3
B. TUJUAN.......................................................................... 4
BAB II PEMBAHASAN...............................................................6
A. KESIMPULAN.............................................................19
B. SARAN.........................................................................19
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
2
A. Latar Belakang
3
dengan pemerintahan. Menurut Dr. Abas Mansur Tamam, Sekretaris Prodi
Ekonomi Islam Pascasarjana Universitas Ibnu Khaldun (UIKA) Bogor, Barat
mengatakan suatu ilmu jika didasari dengan fakta empirik (nyata) semata,
puncaknya mereka merasa tidak membutuhkan lagi peranan Tuhan dalam
kehidupannya (Nugrahanto, 2017).
B. Tujuan
Tujuan penulisan makalah yang berjudul “Misi Profetik Ilmu dan
Tanggung jawab Ilmuan” sebagai berikut :
1. Mengetahui kajian ayat : Al-An`am : 6/74-78
2. Pengertian misi profetik ilmu dan tanggung jawab ilmuan
3. Etika profesi seorang ilmuan (kode etik ilmuan/rekayasawan)
4
4. Profesionalisme dan tanggung jawab sosial ilmuan
BAB II
PEMBAHASAN
5
“74. dan (ingatlah) di waktu Ibrahim berkata kepada bapaknya, Aazar,
‘Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan?
Sesungguhnya aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata.’ 75.
dan Demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan
(kami yang terdapat) di langit dan bumi dan (kami memperlihatkannya) agar Dia
Termasuk orang yang yakin. 76. ketika malam telah gelap, Dia melihat sebuah
bintang (lalu) Dia berkata: ‘Inilah Tuhanku,’ tetapi tatkala bintang itu tenggelam
Dia berkata: ‘Saya tidak suka kepada yang tenggelam.’ 77. kemudian tatkala Dia
melihat bulan terbit Dia berkata: ‘Inilah Tuhanku.’ tetapi setelah bulan itu
terbenam, Dia berkata: ‘Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk
kepadaKu, pastilah aku Termasuk orang yang sesat.’ 78. kemudian tatkala ia
melihat matahari terbit, Dia berkata: ‘Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar.’
Maka tatkala matahari itu terbenam, Dia berkata: ‘Hai kaumku, Sesungguhnya
aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. 79. Sesungguhnya aku
menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan
cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah Termasuk orang-orang
yang mempersekutukan tuhan.’” (al-An’aam: 74-79)
6
Kemudian Ibnu Jarir menanggapi pendapat para ahli nasab yang
menyatakan bahwa ayah Ibrahim bernama Tarakh, ia mengemukakan: “Mungkin
saja ia mempunyai dua nama, sebagaimana yang dimiliki oleh banyak orang, atau
mungkin salah satunya sebagai gelar.” Dan yang dikemukakannya tersebut bagus
dan kuat. wallaaHu a’lam.
7
Firman-Nya selanjutnya: wa kadzaalika nurii ibraaHiima malakutas
samaawaati wal ardli (“Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-
tanda keagungan [Kami yang terdapat] di langit dan di bumi.”)
8
bulan terbit Dia berkata: ‘Inilah Tuhanku.’ tetapi setelah bulan itu terbenam, Dia
berkata: ‘Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaKu, pastilah
aku Termasuk orang yang sesat.’ Kemudian tatkala ia melihat matahari terbit, ia
berkata: ‘Inilah Rabbku.”)
Ibnu Jarir meriwayatkan melalui jalan Ali bin Abi Thalhah, dari Ibnu Abbas, “Hal
itu adalah dalam konteks perenungan.” Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu
Jarir, berdalil dengan firman Allah: la il lam yaHdinii rabbii (“Sesungguhnya jika
Rabbku tidak memberi petunjuk kepadaku.”)
9
Bagaimana mungkin Ibrahim dalam hal ini dianggap merenungkan hal
tersebut, sedangkan ia adalah orang yang Allah Ta’ala berfirman mengenainya
[yang artinya]:
“Dan Sesungguhnya telah Kami anugerahkan kepada Ibrahim hidayah kebenaran
sebelum (Musa dan Harun), dan adalah Kami mengetahui (keadaan)nya.
(ingatlah), ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: ‘Patung-patung
Apakah ini yang kamu tekun beribadat kepadanya?’” (al-Anbiyaa’: 51-52)
Jika yang demikian itu berlaku bagi seluruh mahkluk, lalu bagaimana
mungkin Ibrahim –yang oleh Allah telah dijadikan sebagai imam yang dapat
dijadikan teladan, seorang yang hanif, dan bukan dari golongan orang-orang
musyrik- dalam konteks ini merenungkan [hal tersebut]. Bahkan ia adalah orang
yang paling layak menyandang fitrah yang murni dan karakter yang lurus setelah
10
Rasulullah saw. yang tidak dapat diragukan lagi. Dan yang memperkuat bahwa
dalam konteks ini Ibrahim ada pada posisi mendebat kaumnya tentang
kemusyrikan mereka, dan bukan dalam konteks perenungan adalah firman Allah
berikut ini: (bersambung).
1. Misi Profetik
Sebuah hadits Nabi SAW yang mengatakan ‘ulama adalah pewaris nabi’.
Ulama adalah istilah dalam bentuk jama’, dalam bentuk tunggal disebut ‘alim
yang berarti orang yang berilmu, baik itu ilmu agama dan ilmu umum lainnya
sepanjang orang itu menjiwai ilmunya dengan pesan- pesan langit dan pesan
manusia paripurna Muhammad SAW. Warisan nabi adalah risalahnya yang
harus diperjuangkan secara estafet sepanjang masa, dari dari generasi
kegenerasi. Istilah pewarisan mempunyai derajat yang berbeda-beda, para
cendekiawan muslim setidak- tidaknya merupakan bagian dari ulama, karena
secara harfiah ulama adalah cendekiawan. Oleh karena itu, para cendekiawan
muslim dapat juga disebut sebagai pewaris nabi, dan orang-orang muslim
lainnya yang tetap berpegang teguh pada risalah kenabian. Ali Syari’ati dalam
pandangannya bahwa cendekiawan adalah yang menguasai “ajaran islam”, atau
seorang Islamologis. Al Qur’an telah memberikan penjelasan dengan istilah
khusus ulil albab. Ulil albab secarah harfiah diartikan sebagai “orang-orang
berakal”, “orang yang mempunyai pikiran “, atau dalam terjemahan Inggrisnya
lebih tepat sebagai men of understanding, men of wisdom.
11
paling fundamental adalah bagaimana menyebarkan keyakinan atau iman
kepada Allah SWT. Tuhan Yang Maha Esa (tauhid). Sekalipun ajaran tauhid
senantiasa ditekankan, namun seiring dengan itu wahyu juga mengajarkan
gagasan- gagasan sosial, ekonomi, kemasyarakatan dan kebudayaan. Intinya
adalah Islam membawa misi perubahan sosial yang bersumber dari pencipta
langit dan bumi yang kemudian diajarkan oleh Rasulnya dan pada akhirnya
diwariskan kepada umatnya. Islam bukanlah agama personalitas/
individualistic dengan mengutamakan kesalehan pribadi tetapi Islam pun juga
sebagai agama sosial dengan kesalehan sosialnya. Islam akan mengalami
kejumudan ketika ia hanya sebatas ritual-ritual pribadi sebagaimana sebagai
kaum sufistik dengan menafikan pembebasan- pembebasan sosial.
Wifrid Scan Blunt, Futurolog Inggris sejak seabad lalu dalam The Future
of Islam yang terbit di London meramalkan bahwa kebangkitan Islam akan
terjadi dalam waktu yang tak lama lagi. Hal ini didorong empat factor yang
mendukungnya, yaitu ibadah haji, adanya khalifah, kota suci Mekah yang
mempertemukan umat Islam seluruh dunia dan adanya semangat reformasi.
Pernyataan futurology tersebut mengisyaratkan bahwa Islam adalah agama
yang memiliki kekuatan yang maha dasyat dengan berbagai keajaiban dan
12
kekuatan yang paling besar (the big of power) adalah nilai- nilai
ketauhidannya, ketika tauhid telah menyatu maka lahirlah Abu Bakar, Umar,
Khalid, Bilal, baru kepermukaan bumi. Daya dobraknya akan membalikkan
dunia pada zaman Rasulullah SAW.
Pada bab ini akan kupas mengenai tanggung jawab ilmuwan. Secara garis
besar dapat diuraikan bahwa tanggung jawab pokok ilmuwan adalah (1)
Mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi (berpikir, melakukan
penelitian dan pengembangan, menumbuhkan sikap positif-konstruktif,
meningkatkan nilai tambah dan produktivitas, konsisten dengan proses
13
penelaahan keilmuan, menguasai bidang kajian ilmu secara mendalam,
mengkaji perkembangan teknologi secara rinci, bersifat terbuka, professional
dan mempublikasikan temuannya); (2) Meningkatkan kesejahteraan
masyarakat dengan menemukan masalah yang sudah/akan mempengaruhi
kehidupan masyarakat dan mengkomunikasikannya, menemukan pemecahan
masalah yang dihadapi masyarakat, membantu meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, menggunakan hasil penemuan untuk kepentingan kemanusiaan,
mengungkapkan kebenaran dengan segala konsekuensinya dan
mengembangkan kebudayaan nasional.
14
agama, etnis dan kebudayaan sehingga berpotensi besar untuk
timbulnya suatu konflik.
15
Tanggung jawab yang berkaitan dengan etika meliputi etika kerja
seorang ilmuwan yang berkaitan dengan nilai-nilai dan norma-norma moral
(pedoman, aturan, standar atau ukuran, baik yang tertulis maupun tidak
tertulis) yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam
mengatur tingkah lakunya; kumpulan asas atau nilai moral (Kode Etik) dan
ilmu tentang perihal yang baik dan yang buruk. Misalnya saja tanggung
jawab etika ilmuwan yang berkenaan dengan penulisan karya ilmiah, maka
kode etik pada penulisan karya ilmiah harus memenuhi beberapa kriteria,
yaitu sebagai berikut:
Mengenai kode etik penulisan karya ilmiah, hal yang harus dipenuhi
oleh ilmuwan adalah:
16
Memberi manfaat kepada masyarakat pengguna.
17
Ilmuwan bertanggung jawab dalam hal memberikan ramalan-ramalan
berdasarkan pengetahuanya mengenai permasalahan-permasalahan yang
sedang menggejala maupun yang tersimpan dalam kehidupan masyarakat.
Jujun Suriasumantri dalam hal ini mengatakan bahwa hakikat tanggung jawab
sosial dalam pengembangan pengetahuan harus dikembalikan pada hakekat
epistimologi itu sendiri. Tanggung jawab sosial dalam pengembangan
epistimologi adalah konsisten dengan proses telaah epistimologis terhadap
hakekat pengetahuan.57 Jelaslah kiranya bahwa seorang ilmuwan mempunyai
tanggung jawab sosial yang terpikul dibahunya. Bukan saja karena ia adalah
warga masyarakat yang kepentinganya terlibat secara langsung di masyarakat.
Namun, yang paling penting adalah karena ia mempunyai fungsi tertentu
dalam kelangsungan hidup bermasyarakat. Fungsinya selaku ilmuwan tidak
berhenti pada penelaahan dan keilmuwan secara individual, namun juga ikut
bertanggung jawab agar produk keilmuwan sampai dan dapat dimanfaatkan
oleh masyarakat.58
18
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Ilmuan bertanggung jawab agar produk keilmuannya sampai dan dan dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat
2. Misi profetik ilmu dan tanggung jawab ilmuan yaitu sifat yang ada dalam
diri seorang nabi yang mempunyai ciri sebagain manusia yang ideal secara
spiritual atau individual, tetapi juga menjadi pelopor perubahan,
membimbing masyarakat ke arah perbaikan dan melakukan perjuangan
tanpa henti melawan penindasan
B. SARAN
19
DAFTAR PUSTAKA
20