Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

Misi Profetik Ilmu dan Tanggung Jawab Ilmuan

Disusun Oleh :

Dhika Candra Debi 1603035034

Rezky Parhimpunan 1603035015

Zainul Ilyas 1503035064

PROGRAM STUDI TEKNIK MESIN

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR.


HAMKA

JAKARTA, 2019

0
KATA PENGANTAR

Assalamu`alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan berbagai macam
nikmatNya kepada kita semua sehingga kita dapat menjalankan aktivitas sehari-
hari dengan baik. Sehingga kami pun dapat menyelesaikan makalah ini dengan
baik. Tujuan disusunnya makalah ini sebagai tugas dari mata kuliah Islam Dalam
Disiplin Ilmu.

Kami mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada semua pihak


yang telah membantu selama proses pembuatan makalah ini.

Adapun pihak-pihak tersebut antara lain :

1. Bapak Maulana Ishak, M.Pd.I selaku dosen mata kuliah Islam Dalam
Disiplin Ilmu.
2. Teman-teman Teknik Mesin UHAMKA, dan pihak-pihak lain yang tidak
bisa kami sebutkan satu persatu.

Kami sangat menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna.
Untuk itu, kami menerima dengan terbuka semua semua kritik dan saran yang
membangun agar makalah ini dapat tersusun lebih baik lagi. Dan kami
berharap makalah ini dapat bermanfaat untuk kita semua.

Wassalamu`alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Jakarta, 9 April 2019

Tim Penyusun

1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................1

DAFTAR ISI ..................................................................................2

BAB I PENDAHULUAN……………….......................................3

A. LATAR
BELAKANG…….............................................................3
B. TUJUAN.......................................................................... 4

BAB II PEMBAHASAN...............................................................6

A. KAJIAN SURAT AL-AN`AM : 6/74-78 ……...............6


B. PENGERTIAN MISI PROFETIK ILMU DAN
TANGGUNG JAWAB ILMUAN…….........................11
C. PROFESIONALISME DAN TANGGUNG JAWAB
SOSIAL ILMUAN.........................................................17

BAB III PENUTUP…………………………………………….19

A. KESIMPULAN.............................................................19
B. SARAN.........................................................................19

DAFTAR PUSTAKA

BAB I

PENDAHULUAN

2
A. Latar Belakang

Ilmu bukanlah merupakan pengetahuan yang datang begitu saja seperti


barang yang sudah jadi dan datang dari dunia khayal. Akan tetapi ilmu
merupakan suatu cara berfikir yang demikian rumit dan mendalam tentang
suatu objek yang khas dengan pendekatan yang khas pula sehingga
menghasilkan suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan yang handal.
Handal dalam arti bahwa sistem dan struktur ilmu dapat
dipertanggungjawabkan secara terbuka. Ia terbuka untuk diuji oleh siapapun
(Sya`roni, 2014).

Ilmu merupakan salah satu dari buah pemikiran manusia dalam


menjawab masalah-masalah kehidupan. Ilmu merupakan salah satu dari
pengetahuan manusia. Untuk bisa menghargai ilmu sebagaimana mestinya
sesungguhnya kita harus mengerti apakah hakikat ilmu itu sebenarnya.
Dengan demikian maka pengertian yang mendalam terhadap hakikat ilmu,
bukan saja akan mengikatkan apresiasi kita terhadap ilmu, namun juga
membuka mata kita terhadap berbagai kekurangan (Sya`roni, 2014).

Ilmu yang merupakan produk kegiatan berfikir merupakan obor


peradaban dimana manusia menemukan dirinya dan menghayati hidup dengan
lebih sempurna. Berbagai peralatan dikembangkan manusia untuk
meningkatkan kualitas hidupnya dengan jalan menerapkan pengetahuan yang
diperolehnya. Proses penemuan dan penerapan itulah yang menghasilkan
kapak dan batu zaman dulu sampai komputer hari ini. Berbagai masalah
memasuki benak pemikiran manusia dalam menghadapi kenyataan hidup
sehari-hari dan beragam buah pemikiran telah dihasilkan sebagai bagian dari
sejarah kebudayaannya (Sya`roni 2014).

Dari waktu ke waktu, zaman mulai berkembang. Teknologi dan ilmu


pengetahuan juga ikut berkembang dengan pesat. Namun kemajuan ilmu
pengetahuan ini tidak disertai dengan dasar keimanan yang kuat. Ilmu
pengetahuan barat yang menjadi kiblat ilmu pengetahuan di seluruh dunia
dalam perkembangannya lebih condong ke arah sekuler. Hal ini terbukti mulai
dari adanya pemisahan antara ilmu dengan agama, terutama dalam kaitannya

3
dengan pemerintahan. Menurut Dr. Abas Mansur Tamam, Sekretaris Prodi
Ekonomi Islam Pascasarjana Universitas Ibnu Khaldun (UIKA) Bogor, Barat
mengatakan suatu ilmu jika didasari dengan fakta empirik (nyata) semata,
puncaknya mereka merasa tidak membutuhkan lagi peranan Tuhan dalam
kehidupannya (Nugrahanto, 2017).

Melihat permasalahan tersebut, seorang ilmuan yang sekaligus


budayawan, sastrawan, dan sejarawan Indonesia, Kuntowijoyo (1943-2005),
mencetuskan sebuah pemikiran mengenai ilmu sosial profetik. Pemikiran ini
terinspirasi dari tulisan-tulisan Roger Garaudy dan Muhammad Iqbal.
Berdasarkan pemikiran Garaudy, Kuntowijoyo mengambil filsafat
profetiknya. Filsafat barat dianggap tidak mampu memberikan tawaran yang
memuaskan karena hanya terombang ambing dalam dua kutub idealis dan
materialis, tanpa berkesudahan. Filsafat barat itu lahir dari pertanyaan
bagaimana pengetahuan itu dimungkinkan, Garaudy memberikan saran agar
mengubah pertanyaan itu menjadi bagaimana kenabian (wahyu) itu
dimungkinkan. Filsafat barat telah membunuh Tuhan dan manusia, karena itu
ia mengajukan filsafat kenabian dengan mengakui wahyu. Pemikiran
Kuntowijoyo ini merupakan sebuah respon terhadap perkembangan arus
pemikiran di era postmodernisma, disini ia menempatkan ajaran agama
sebagai salah satu sumber ilmu pengetahuan (Nugrahanto, 2017).

Melalui gagasan ini, Kuntowijoyo berharap agar Ilmu Sosial Profetik


dapat menjawab berbabagai masalah sosial yang ada di Indonesia. Selain itu,
Kuntowijoyo juga mengajak kita untuk tidak memisahkan ilmu dengan agama,
karena dengan memisahkan ilmu dengan agama maka secara tidak langsung
kita juga menjauhkan diri dari Tuhan.

B. Tujuan
Tujuan penulisan makalah yang berjudul “Misi Profetik Ilmu dan
Tanggung jawab Ilmuan” sebagai berikut :
1. Mengetahui kajian ayat : Al-An`am : 6/74-78
2. Pengertian misi profetik ilmu dan tanggung jawab ilmuan
3. Etika profesi seorang ilmuan (kode etik ilmuan/rekayasawan)

4
4. Profesionalisme dan tanggung jawab sosial ilmuan

BAB II

PEMBAHASAN

A. Kajian Ayat : Al-An`am : 6/74-78

5
“74. dan (ingatlah) di waktu Ibrahim berkata kepada bapaknya, Aazar,
‘Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan?
Sesungguhnya aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata.’ 75.
dan Demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan
(kami yang terdapat) di langit dan bumi dan (kami memperlihatkannya) agar Dia
Termasuk orang yang yakin. 76. ketika malam telah gelap, Dia melihat sebuah
bintang (lalu) Dia berkata: ‘Inilah Tuhanku,’ tetapi tatkala bintang itu tenggelam
Dia berkata: ‘Saya tidak suka kepada yang tenggelam.’ 77. kemudian tatkala Dia
melihat bulan terbit Dia berkata: ‘Inilah Tuhanku.’ tetapi setelah bulan itu
terbenam, Dia berkata: ‘Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk
kepadaKu, pastilah aku Termasuk orang yang sesat.’ 78. kemudian tatkala ia
melihat matahari terbit, Dia berkata: ‘Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar.’
Maka tatkala matahari itu terbenam, Dia berkata: ‘Hai kaumku, Sesungguhnya
aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. 79. Sesungguhnya aku
menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan
cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah Termasuk orang-orang
yang mempersekutukan tuhan.’” (al-An’aam: 74-79)

Adh-Dhahhak mengatakan dari Ibnu ‘Abbas bahwa ayah Ibrahim bukan


bernama Aazar tetapi Tarakh. Demikian yang diriwayatkan Ibnu Abi Hatim.
Adapun Ibnu Jarir menyebutkan: “Yang benar nama ayah Ibrahim adalah Aazar.”

6
Kemudian Ibnu Jarir menanggapi pendapat para ahli nasab yang
menyatakan bahwa ayah Ibrahim bernama Tarakh, ia mengemukakan: “Mungkin
saja ia mempunyai dua nama, sebagaimana yang dimiliki oleh banyak orang, atau
mungkin salah satunya sebagai gelar.” Dan yang dikemukakannya tersebut bagus
dan kuat. wallaaHu a’lam.

Maksud [dari ayat tersebut adalah], bahwasannya Ibrahim menasehati


ayahnya tentang penyembahan yang dilakukannya terhadap berhala-berhala,
mengingkari sekaligus melarangnya melakukan hal tersebut. Namun ayahnya
tidak juga berhenti dari perbuatan tersebut, sebagaimana firman Allah:

Wa idz qaala ibraaHiimu li abiiHi aazara atat takhidzu ash-naaman


aaliHatan (“Dan [ingatlah] di waktu Ibrahim berkata kepada bapaknya Aazar:
‘Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai ilah-ilah?’”) Maksudnya,
apakah engkau meng-ilah-kan berhala selain Allah?

Innii araaka wa qaumaka (“Sesungguhnya aku melihat engkau dan


kaummu”) yaitu orang-orang yang menempuh jalanmu. Fii dlalaalim mubiin
(“dalam kesesatan yang nyata”) maksudnya tersesat dan tidak mendapat petunjuk
kemana mereka harus berjalan, bahkan mereka berada dalam kebingungan dan
kebodohan, hal ini jelas bagi orang yang berakal sehat.

Maka Ibrahim memohonkan ampunan bagi ayahnya sepanjang hidupnya,


dan ketika ayahnya mati dalam keadaan musyrik dan yang demikian itu diketahui
Ibrahim secara jelas, maka ia menghentikan permohonan ampunan bagi ayahnya
tersebut serta melepaskan diri darinya. Sebagaimana yang difirmankan-Nya yang
artinya:

“Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya


tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya
itu. Maka, tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah,
Maka Ibrahim berlepas diri dari padanya. Sesungguhnya Ibrahim adalah
seorang yang sangat lembut hatinya lagi Penyantun.” (at-Taubah: 114)

7
Firman-Nya selanjutnya: wa kadzaalika nurii ibraaHiima malakutas
samaawaati wal ardli (“Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-
tanda keagungan [Kami yang terdapat] di langit dan di bumi.”)

Maksudnya Kami menjelaskan kepadanya sebagai bukti melalui


pengamatan yang dilakukannya terhadap penciptaan langit dan bumi bahwa
semua itu menunjukkan keesaan Allah swt. dalam kekuasaan dan penciptaan-Nya,
dan bahwa tidak ada ilah [yang berhak diibadahi] dan Rabb selain Allah.

Firman-Nya: wa liyakuuna minal muuqiniin (“Dan [Kami


memperlihatkannya] agar Ibrahim itu termasuk orang-orang yang yakin.”) ada
yang berpendapat bahwa wawu yang terdapat dalam penggalan ayat tersebut
sebagai wawu zaa-idah [tambahan]. Jadi perkiraan redaksinya adalah: wa
kadzaalika nurii ibraaHiima malakutas samaawaati wal ardli liyakuuna minal
muuqiniin (“Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda
keagungan di langit dan di bumi agar Ibrahim itu termasuk orang-orang yang
yakin.”)

Dan ada juga yan berpendapat, bahwa ia merupakan bagian darinya,


dengan pengertian, Kami perlihatkan hal itu kepadanya supaya ia menjadi seorang
yang berpengetahuan dan yakin. Firman Allah selanjutnya: falammaa janna
‘alaiHil lailu (“Ketika malam menjadi gelap”) yaitu malam itu menyelimuti dan
menutupinya. Ra-aa kaukaban qaala Haadzaa rabbii falammaa afala (“Dia melihat
sebuah bintang [lalu] ia berkata: ‘Inilah Rabbku.’ Tetapi ketika bintang itu
tenggelam,”) yakni terbenam; apabila dikatakan: aina afalta ‘annaa ? (kemana
engkau menghilang dari kami?) kalimat ini bermakna: aina ghabta ‘annaa ?
(kemana engkau pergi dari kami ?). –ia (Ibrahim) berkata: laa uhibbul aafiliin
(“Aku tidak suka yang tenggelam”)

Qatadah mengatakan: “Ibrahim mengetahui bahwa Rabb-nya itu kekal


abadi dan tidak pernah lenyap.”

Fa lammaa ra-al qamara baazighan qaala Haadzaa rabbii fa lammaa afala


qaala la-il lam yaHdinii rabbii la akuunanna minal qaumidl dlaalliina fa lammaa
ra-asy syamsa baazighatan qaala Haadzaa rabbii (“kemudian tatkala Dia melihat

8
bulan terbit Dia berkata: ‘Inilah Tuhanku.’ tetapi setelah bulan itu terbenam, Dia
berkata: ‘Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaKu, pastilah
aku Termasuk orang yang sesat.’ Kemudian tatkala ia melihat matahari terbit, ia
berkata: ‘Inilah Rabbku.”)

Artinya, yang terang benderang dan terbit ini adalah Rabbku.


Haadzaa akbar (“ini lebih besar”) wujudnya, dan lebih terang daripada bintang
dan bulan.

Fa lammaa afalat qaala yaa qaumi innii barii-um mimmaa tusyrikuuna


innii wajjaHtu wajHiya lil ladzii fatharas samaawaati wal ardla haniifaw wamaa
ana minal musyrikiin (“Maka tatkala matahari itu terbenam, Dia berkata: ‘Hai
kaumku, Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.
Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit
dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah
Termasuk orang-orang yang mempersekutukan Rabb.’”)

Maksudnya, aku murnikan agamaku dan aku khususkan ibadahku; lil


ladzii fatharas samaawaati wal ardla (“Kepada Yang Menciptakan langit dan
bumi”) artinya yang telah menciptakan langit dan bumi tanpa adanya contoh
terlebih dahulu.

Haniiifan (“dengan cenderung pada agama yang benar”) dalam keadaanku


yang hanif, yaitu menyimpang dari kemusyrikan dan cenderung pada tauhid. Oleh
karena itu ia berkata: wa maa ana minal musyrikiin (“Dan aku bukanlah termasuk
orang-orang yang mempersekutukan Rabb.”)

Para ahli tafsir berbeda pendapat mengenai konteks tersebut, apakah


ungkapan Ibrahim itu adalah dalam konteks perenungan semata ataukah dalam
konteks perdebatan.

Ibnu Jarir meriwayatkan melalui jalan Ali bin Abi Thalhah, dari Ibnu Abbas, “Hal
itu adalah dalam konteks perenungan.” Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu
Jarir, berdalil dengan firman Allah: la il lam yaHdinii rabbii (“Sesungguhnya jika
Rabbku tidak memberi petunjuk kepadaku.”)

9
Bagaimana mungkin Ibrahim dalam hal ini dianggap merenungkan hal
tersebut, sedangkan ia adalah orang yang Allah Ta’ala berfirman mengenainya
[yang artinya]:
“Dan Sesungguhnya telah Kami anugerahkan kepada Ibrahim hidayah kebenaran
sebelum (Musa dan Harun), dan adalah Kami mengetahui (keadaan)nya.
(ingatlah), ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: ‘Patung-patung
Apakah ini yang kamu tekun beribadat kepadanya?’” (al-Anbiyaa’: 51-52)

Allah juga berfirman yang artinya: “Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang


imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. dan sekali-
kali bukanlah Dia Termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan), (lagi)
yang mensyukuri nikmat-nikmat Allah. Allah telah memilihnya dan menunjukinya
kepada jalan yang lurus. Dan Kami berikan kepadanya kebaikan di dunia. dan
Sesungguhnya Dia di akhirat benar-benar Termasuk orang-orang yang saleh.
Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): ‘Ikutilah agama Ibrahim
seorang yang hanif,’ dan bukanlah Dia Termasuk orang-orang yang
mempersekutukan tuhan.” (an-Nahl: 120-123)

Selain itu Allah juga berfirman yang artinya: “Katakanlah: ‘Sesungguhnya


aku telah ditunjuki oleh Rabbku pada jalan yang lurus, yaitu agama yang benar;
agama Ibrahim yang lurus, dan Ibrahim itu bukanlah termasuk orang-orang yang
musyrik.’” (al-An’aam: 161)

Dalam ash-Shahihain disebutkan dari Abu Hurairah, dari Rasulullah saw.


beliau bersabda: “Setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah [Islam].” Allah
berfirman yang artinya:
“[Tetaplah atas] fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.
Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.” (ar-Ruum: 30)

Jika yang demikian itu berlaku bagi seluruh mahkluk, lalu bagaimana
mungkin Ibrahim –yang oleh Allah telah dijadikan sebagai imam yang dapat
dijadikan teladan, seorang yang hanif, dan bukan dari golongan orang-orang
musyrik- dalam konteks ini merenungkan [hal tersebut]. Bahkan ia adalah orang
yang paling layak menyandang fitrah yang murni dan karakter yang lurus setelah

10
Rasulullah saw. yang tidak dapat diragukan lagi. Dan yang memperkuat bahwa
dalam konteks ini Ibrahim ada pada posisi mendebat kaumnya tentang
kemusyrikan mereka, dan bukan dalam konteks perenungan adalah firman Allah
berikut ini: (bersambung).

B. Pengertian Misi Profetik Ilmu dan Tanggungjawab Ilmuan

1. Misi Profetik

Profetik telah menjadi term bagi anak-anak ikatan untuk senantiasa


ditadabburi dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Kata profith berarti
risalah, ajaran, tanggung jawab, beban dan atau amanah yang harus
dilanjutkan.

Sebuah hadits Nabi SAW yang mengatakan ‘ulama adalah pewaris nabi’.
Ulama adalah istilah dalam bentuk jama’, dalam bentuk tunggal disebut ‘alim
yang berarti orang yang berilmu, baik itu ilmu agama dan ilmu umum lainnya
sepanjang orang itu menjiwai ilmunya dengan pesan- pesan langit dan pesan
manusia paripurna Muhammad SAW. Warisan nabi adalah risalahnya yang
harus diperjuangkan secara estafet sepanjang masa, dari dari generasi
kegenerasi. Istilah pewarisan mempunyai derajat yang berbeda-beda, para
cendekiawan muslim setidak- tidaknya merupakan bagian dari ulama, karena
secara harfiah ulama adalah cendekiawan. Oleh karena itu, para cendekiawan
muslim dapat juga disebut sebagai pewaris nabi, dan orang-orang muslim
lainnya yang tetap berpegang teguh pada risalah kenabian. Ali Syari’ati dalam
pandangannya bahwa cendekiawan adalah yang menguasai “ajaran islam”, atau
seorang Islamologis. Al Qur’an telah memberikan penjelasan dengan istilah
khusus ulil albab. Ulil albab secarah harfiah diartikan sebagai “orang-orang
berakal”, “orang yang mempunyai pikiran “, atau dalam terjemahan Inggrisnya
lebih tepat sebagai men of understanding, men of wisdom.

2. Mempraktisiskan Misi Profetik

Dalam membumikan misi ini tentunya diperlukan sebuah jamaah dalam


hal ini umat islam itu sendiri sebagai pengaku umatnya Rasul SAW . Dan yang

11
paling fundamental adalah bagaimana menyebarkan keyakinan atau iman
kepada Allah SWT. Tuhan Yang Maha Esa (tauhid). Sekalipun ajaran tauhid
senantiasa ditekankan, namun seiring dengan itu wahyu juga mengajarkan
gagasan- gagasan sosial, ekonomi, kemasyarakatan dan kebudayaan. Intinya
adalah Islam membawa misi perubahan sosial yang bersumber dari pencipta
langit dan bumi yang kemudian diajarkan oleh Rasulnya dan pada akhirnya
diwariskan kepada umatnya. Islam bukanlah agama personalitas/
individualistic dengan mengutamakan kesalehan pribadi tetapi Islam pun juga
sebagai agama sosial dengan kesalehan sosialnya. Islam akan mengalami
kejumudan ketika ia hanya sebatas ritual-ritual pribadi sebagaimana sebagai
kaum sufistik dengan menafikan pembebasan- pembebasan sosial.

Erich Fromm memberikan beberapa cirri misi kenabian prophency,


nubuah. (Dawam Raharjo; 1999, 121). Pertama, nabi selalu mengabarkan
tujuan hidup menuju Tuhan, sehingga dengan mendekatkan diri kepada Tuhan
kehidupan manusia itu menjadi lebih manusiawi. Kedua, cara Nabi
menyadarkan manusia agar manusia bisa mengatur perilaku mereka adalah
dengan memberikan alternative- alternative dengan konsekuensinya masing-
masing. Dengan itu manusia bisa menentukan pilihan berdasarkan kesadaran
dan kebebasan mereka sendiri, fujur atau takwa. Ketiga, nabi memiliki hati
nurani rakyat banyak dan melakukan protes terhadap tindakan- tindakan
manusia yang salah. Keempat, nabi tidak hanya mengajarkan keselamatan
pribadi (personal salvation), tetapi juga keselamatan masyarakat (social
salvation). Dan kelima, nabi mengilhami kebenaran. Dari semua misi ini
merupakan suatu kesatuan profetik.

Wifrid Scan Blunt, Futurolog Inggris sejak seabad lalu dalam The Future
of Islam yang terbit di London meramalkan bahwa kebangkitan Islam akan
terjadi dalam waktu yang tak lama lagi. Hal ini didorong empat factor yang
mendukungnya, yaitu ibadah haji, adanya khalifah, kota suci Mekah yang
mempertemukan umat Islam seluruh dunia dan adanya semangat reformasi.
Pernyataan futurology tersebut mengisyaratkan bahwa Islam adalah agama
yang memiliki kekuatan yang maha dasyat dengan berbagai keajaiban dan

12
kekuatan yang paling besar (the big of power) adalah nilai- nilai
ketauhidannya, ketika tauhid telah menyatu maka lahirlah Abu Bakar, Umar,
Khalid, Bilal, baru kepermukaan bumi. Daya dobraknya akan membalikkan
dunia pada zaman Rasulullah SAW.

Proses pembumisasian misi profetik ini pada hakekatnya tergantung dari


kesadaran dari umat Nabi sebagai pewaris sebab ketika telah mampu
mencandra teks normative dan nonnormative yang tersebar di jagad raya
(makrokosmos & mikrokosmos) berarti kita tinggal melakukan agenda aksi
seraya melakukan penelaan terhadap realitas social. Berbagai strategi telah
diuraikan oleh Sang Pemilik jagad dalam lembaran shuf Al Qur’an.

Rasulullah SAW. Membawa misi pencerahan baik pribadi maupun sosial,


reformasi dan furifikasi yang dibawanya ketika mampu diaktualisasikan oleh
umatnya, maka keadilan dan kemakmuran akan tercapai. Namun kemudian
kapitalisme global menghadang didepan kita, seperti yang dikemukakan oleh
Huntintong bahwa dalam kancah perang peradaban maka kemungkinan besar
Islam akan menang olehnya itu strategi jitu untuk menghancurkan Islam adalah
dari dalam tubuhnya sendiri dengan virus kapitalismenya yang amat halus
karena kapitalisme adalah sebuah modus eksistensi manusia meminjam istilah
Husain Heriyanto.

3. Tanggung Jawab Ilmuan

Pada bab ini akan kupas mengenai tanggung jawab ilmuwan. Secara garis
besar dapat diuraikan bahwa tanggung jawab pokok ilmuwan adalah (1)
Mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi (berpikir, melakukan
penelitian dan pengembangan, menumbuhkan sikap positif-konstruktif,
meningkatkan nilai tambah dan produktivitas, konsisten dengan proses

13
penelaahan keilmuan, menguasai bidang kajian ilmu secara mendalam,
mengkaji perkembangan teknologi secara rinci, bersifat terbuka, professional
dan mempublikasikan temuannya); (2) Meningkatkan kesejahteraan
masyarakat dengan menemukan masalah yang sudah/akan mempengaruhi
kehidupan masyarakat dan mengkomunikasikannya, menemukan pemecahan
masalah yang dihadapi masyarakat, membantu meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, menggunakan hasil penemuan untuk kepentingan kemanusiaan,
mengungkapkan kebenaran dengan segala konsekuensinya dan
mengembangkan kebudayaan nasional.

Selain yang tersebut di atas, sebagaimana yang telah disinggung bahwa


ilmuwan memiliki tanggung jawab sosial, moral, dan etika. Dan berikut ini
akan di uraikan berbagai tanggung jawab ilmuwan yang berkenaan dengan
sosial, moral dan etika.

4. Tanggung Jawab Sosial

Tanggung jawab sosial ilmuwan adalah suatu kewajiban seorang


ilmuwan untuk mengetahui masalah sosial dan cara penyelesaian
permasalahan sosial. beberapa bentuk tanggung jawab sosial ilmuwan,
yaitu :

* Seorang ilmuwan harus mampu mengidentifikasi kemungkinan


permasalahan sosial yang akan berkembang berdasarkan
permalahan sosial yang sering terjadi dimasyarakat.

* Seorang ilmuwan harus mampu bekerjasama dengan masyarakat


yang mana di masyarakat tersebut sering terjadi permasalahan
sosial sehingga ilmuwan tersebut mampu merumuskan jalan
keluar dari permasalahan sosial tersebut.

* Seorang ilmuwan harus mampu menjadi media dalam rangka


penyelesaian permasalahan sosial dimasyarakat yang mana
masyarakat Indonesia yang terdiri dari keanekaragaman ras,

14
agama, etnis dan kebudayaan sehingga berpotensi besar untuk
timbulnya suatu konflik.

* Membantu pemerintah untuk menemukan cara dalam rangka


mempercepat proses intergrasi sosial budaya yang mana
integrasi tersebut bertujuan untuk mempererat tali kesatuan
antara masyarakat Indonesia. Hal ini juga bertujuan untuk
mencegah terjadinya konflik.

5. Tanggung Jawab Moral

Tanggung jawab moral tidak dapat dilepaskan dari karakter internal


dari ilmuwan itu sendiri sebagi seorang manusia. Ilmuwan hendaknya
memiliki moral yang baik sehingga pilihannya ketika memilih
pengembangan dan pemilihan alternatif, mengimplementasikan keputusan
serta pengawasan dan evaluasi dilakukan atas kepentingan orang banyak,
bukan untuk kepentingan pribadinya atau kepentingan sesaat. Moral dan
etika yang baik perlu kepekaan atas rasa bersalah, kepekaan atas rasa malu,
kepatuhan pada hukum dan kesadaran diketahui oleh Tuhan. Ilmuwan juga
memiliki kewajiban moral untuk memberi contoh (obyektif, terbuka,
menerima kritik, menerima pendapat orang lain, kukuh dalam pendirian
yang dianggapnya benar, berani mengakui kesalahan) dan mampu
menegakkan kebenaran. Sehingga ilmu yang dikembangkan dengan
mempertimbangkan tanggung jawab moralnya sebagai seorang ilmuwan
dapat memberikan kemaslahatan bagi umat manusia dan secara integral
tetap menjaga keberlangsungan kehidupan lingkungan di sekitarnya dan
dapat tergajanya keseimbangan ekologis. Atau dengan meminjam istilah
Daoed Joesoef, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, sebagai
teknosuf, yang merupakan paduan dari kata teknik/teknologi dan sophia
yang berarti kearifan. Sehingga teknosuf dimaksudkan sebagai teknokrat
yang mempunyai kearifan dalam melakukan rekayasa bagi manusia dan
lingkungan di sekitarnya (Basuki, 2009).

6. Tanggung Jawab Etika

15
Tanggung jawab yang berkaitan dengan etika meliputi etika kerja
seorang ilmuwan yang berkaitan dengan nilai-nilai dan norma-norma moral
(pedoman, aturan, standar atau ukuran, baik yang tertulis maupun tidak
tertulis) yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam
mengatur tingkah lakunya; kumpulan asas atau nilai moral (Kode Etik) dan
ilmu tentang perihal yang baik dan yang buruk. Misalnya saja tanggung
jawab etika ilmuwan yang berkenaan dengan penulisan karya ilmiah, maka
kode etik pada penulisan karya ilmiah harus memenuhi beberapa kriteria,
yaitu sebagai berikut:

• OBYEKTIF, (berdasarkan kondisi faktual)

• UP TO DATE, (yang ditulis merupakan perkembangan ilmu


paling akhir)

• RASIONAL, (berfungsi sebagai wahana penyampaian kritik


timbal-balik)

• RESERVED, (tidak overcliming, jujur, lugas dan tidak bermotif


pribadi)

• EFEKTIF dan EFISIEN, (tulisan sebagai alat komunikasi yang


berdaya tarik tinggi).

Mengenai kode etik penulisan karya ilmiah, hal yang harus dipenuhi
oleh ilmuwan adalah:

 Melahirkan karya orisinal, bukan jiplakan

 Menjunjung tinggi posisinya sebagai orang terpelajar, menjaga


kebenaran dan manfaat serta makna informasi yang disebarkan
sehingga tidak menyesatkan

 Menulis secara cermat, teliti, dan tepat.

 Bertanggung jawab secara akademis atas tulisannya.

16
 Memberi manfaat kepada masyarakat pengguna.

 Menjunjung tinggi hak, pendapat atau temuan orang lain.

 Menyadari sepenuhnya bahwa tiga pelanggaran kode etik


berakibat pada hilangnya integritas penulis jika melakukannya.

 Secara moral cacat, apalagi dilihat dari kacamata agama. Nilai


keagamaan mencela pelanggaran sebagai bagian dari
ketidakjujuran, pencurian atau mengambil kepunyaan orang
lain tanpa hak.

C. Profesionalisme dan Tanggungjawab Sosial Ilmuan

Menurut Amsal Bakhtiar tanggung jawab keilmuwan menyangkut


kegiatan maupun penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ini berarti
ilmuwan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi harus
memperhatikan kodrat dan martabat manusia, menjaga ekosistem,
bertanggung jawab pada kepentingan umum, dan generasi mendatang, serta
bersifat universal karena pada hakikatnya ilmu pengetahuan dan teknologi
adalah untuk mengembangkan dan memperkokoh ekosistem manusia bukan
untuk menghancurkan ekosistem tersebut.55

Dalam melaksanakan tanggung jawab sosialnya sebagai ilmuwan, para


ilmuwan tidak hanya perlu memiliki kompetensi ilmiah sesuai dengan bidang
keahlianya, tetapi juga integritas pribadi. Kalau para ilmuwan hanya memiliki
kompetensi ilmiah tetapi tidak memiliki integritas pribadi. Maka, besar
kemungkinan bahwa kompetensinya disalah gunakan demi mengejar
tujuantujuan yang hanya menguntungkan diri sendiri dan merugikan orang
banyak. 56Kasus kasus sosial dalam masyarakat membutuhkan penanganan
dan penyelesaian secara epistimologis. Karenanya, peranan dan tanggung
jawab sosial dalam pengembangan epistimologi adalah penting. Ilmuwan
dengan kemampuan pengetahuanya dapat memberikan argumentasi,
pengkajian kritis, 55 A.Susanto, op.cit., h.189 56 Ibid., h.19 46 dan
membangun opini masyarakat mengenai masalah kehidupan yang dihadapi.

17
Ilmuwan bertanggung jawab dalam hal memberikan ramalan-ramalan
berdasarkan pengetahuanya mengenai permasalahan-permasalahan yang
sedang menggejala maupun yang tersimpan dalam kehidupan masyarakat.
Jujun Suriasumantri dalam hal ini mengatakan bahwa hakikat tanggung jawab
sosial dalam pengembangan pengetahuan harus dikembalikan pada hakekat
epistimologi itu sendiri. Tanggung jawab sosial dalam pengembangan
epistimologi adalah konsisten dengan proses telaah epistimologis terhadap
hakekat pengetahuan.57 Jelaslah kiranya bahwa seorang ilmuwan mempunyai
tanggung jawab sosial yang terpikul dibahunya. Bukan saja karena ia adalah
warga masyarakat yang kepentinganya terlibat secara langsung di masyarakat.
Namun, yang paling penting adalah karena ia mempunyai fungsi tertentu
dalam kelangsungan hidup bermasyarakat. Fungsinya selaku ilmuwan tidak
berhenti pada penelaahan dan keilmuwan secara individual, namun juga ikut
bertanggung jawab agar produk keilmuwan sampai dan dapat dimanfaatkan
oleh masyarakat.58

18
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan uraian makalah adalah


sebagai berikut :

1. Ilmuan bertanggung jawab agar produk keilmuannya sampai dan dan dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat

2. Misi profetik ilmu dan tanggung jawab ilmuan yaitu sifat yang ada dalam
diri seorang nabi yang mempunyai ciri sebagain manusia yang ideal secara
spiritual atau individual, tetapi juga menjadi pelopor perubahan,
membimbing masyarakat ke arah perbaikan dan melakukan perjuangan
tanpa henti melawan penindasan

B. SARAN

Sebaiknya kita sebagai Mahasiswa harus selalu berusaha dalam


mencari ilmu dan memanfaatkannya untuk memajukan atau membantu hidup
manusia, sehingga Mahasiswa dapat menjadi pelopor perubahan dengan
membawa masyarakat ke arah perbaikan

19
DAFTAR PUSTAKA

Bone, M. 2011. Misi Profetik Dan Kungkungan Kapitalisme. Bone : Hardianto


Rahman

Burhanuddin, Afid. 2013. Etika Keilmuan.

Zakiyah, Nita. Tanggung Jawab Ilmuan. 21 Maret 2015

20

Anda mungkin juga menyukai