Pancasila Sebagai Dasar Negara Dan Filosofi Bangsa Indonesia
Pancasila Sebagai Dasar Negara Dan Filosofi Bangsa Indonesia
Hasil-hasil sidang selanjutnya dibahas oleh panitia kecil atau pnitia 9 dan
menghasilkan rumusan “Rancangan Mukadimah Hukum Dasar” pada tanggal 22
Juni 1945, yang selanjutnya oleh Muhammad Yamin yang disarankan diberi nama
Jakarta Charter, atau piagam Jakarta, yang di dalamnya terdapat Pancasila pada
alinea IV, Piagam Jakarta, selanjutnya disahkan oleh Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia menjadi pembukaan UUD, denan mengalami beberapa
perubahan yang bersamaan dengan Pancasila disahkan menjadi dasar Negara.
Sejak itu Pancasila sebagai dasar Negara yang mempunyai kedudukan sebagai
berikut: (1) Sumber dari segala sumber hukum Indonesia, (2) Meliputi suasana
kebatinan dari UUD 1945, (3) Menciptakan cita-cita hukum bagi hukum dasar
Negara, (4) Menjadi sumber semangat bagi UUD 1945, dan (5) Mengandung norma-
norma yang megharuskan UUD untuk mewajibkan pemerintah meupun
penyelenggara Negara yang lain untuk memelihara budi pekerti luhur. (Pandji Setijo,
2015: 83)
Pedoman kehidupan bernegara pada dewasa ini dilandasi dasar negara Pancasila
melalui ketetapan-ketetapan MPR RI, yang secara filosofis harus dapat dilihat dan
dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia sebagai bukti bahwa benar-benar berada
dalam siklus kehidupan bernegara yang berlandaskan kepada Pancasila. (Ibid
Pandji Setijo, 2015: 84)
Adapun isi sumber hukum dan tata urutan peraturan perundangan RI, seperti
tercantum pada TAP MPR tersebut diatas adalah sebagai berikut: (1) Undang-
undang Dasar 1945 (2) Ketetapan MPR RI, (3) Undang-Undang, (4) Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang, (5) Peraturan Pemerintah, (6) Keputusan
Presiden, (7) Peraturan Daerah. Dalam perkembangannya, sesuai dengan
ketetapan MPR RI No. 1/MPR/2003, tentang peninjauan Terhadap Materi dan Status
Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tahun 1960 sampai dengan
tahun 2002.
Kemudian, berdasarkan hasil kajian dalam ketetapan MPR RI tersebut diatas, salah
satunya adalah ketetapan MPR RI No. III/MPR2000 dinyatakan tidak berlaku lagi.
Kemudian, diganti dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Jenis dan hierarki peraturan
perundang-undangan yang berlaku adalah sebagai berikut: (1) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (2) Undang-Undang/Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang, (3) Peraturan Pemerintah, (4) Peraturan
Presiden, (5) Peraturan Daerah (Ibid Pandji Setijo, 2015: 85)
Dasar Negara dapat berupa suatu falsafah yang dapat merangkum atau
menyimpulkan kehidupan dan cita-cita bangsa dan Negara Indonesia yang merdeka.
Dasar ngara merupakan fondasi atau landasan yang kuat dan kokoh serta tahan
terhadap segala gangguan, hambatan maupun rintangan dari dalam maupun luar,
sehingga bangunan gedung di atasnya dapat berdiri dengan kokoh dan kuat.
Bangunan itu ialah Negara Republik Indonesia yang ingin mewujudkan suatu
masyarakat yang adil dan makmur. Tujuan dirumuskannya Pancasila oleh para
pendiri Negara adalah sebagai dasar Negara Republik Indonesia.
Hal ini sesuai apa yang dikatakan oleh Radjiman Widyodiningrat bahwa hakikat
Pancasila adalah sebagai dasar Negara. Demikian pula Muhammad Yamin, Mr.
Soepomo dan Ir. Soekarno juga menyebutkan perlu adanya dasar Negara Indonesia
yang merdeka yaitu Pancasila. Dengan demikian, para pelaku sejarah memang
berniat meruumuskan Pancasila sebagai landasan Negara, sebagai falsafah Negara
dan ideology Negara tidak ada niatan lainnya.
Untuk mengetahui makna Pancasila debagai dasar Negara kita harus mengetahui
makna dari dasar Negara itu sendiri. Dasar Negara data berupa suatu falsafah yang
dapat merangkum atau menyimpulkan kehidupan dan cita-cita bangsa dan Negara
Indonesia yang merdeka. Dasar Negara merupakan fondasi atau landasan yang
kuat dan kokoh serta tahan segala gangguan, hambatan maupun rintangan dari
dalam maupun luar, sehingga bangunan gedung di atasnya dapat berdiri dengan
kokoh dan kuat. Bangunan itu adalah Negara Republik Indonesia yang ingin
mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur. (Ngadino Surip dkk 2015: 95)
Adapun sejarah perumusan Pancasila sebagai dasar Negara dapat diamati dari
sejarah perjuangan Bangsa Indonesia menjelang Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia. Istilah Pancasila kembali mencuat menjelang proklamasi kemerdekaan
Indonesia. Pada sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan
Indonesia) yang pertama tanggal 1 Juni 1945, Ir. Soekarno dalam pitadonya
mengatakan “… namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini dengan
petunjuk seorang teman kita ahli bahasa, namanya Pancasila.
Sila artinya asas atau dasar dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara
Indonesia, kekal dan abadi.” Setelah berakhirnya siding BPUPKI tersebut
dibentuklah panitia Sembilan pada tanggal 22 Juni 1945 yang berhasil merumuskan
“Piagam Jakarta”. Pada tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah Indonesia
merdeka, PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) menetapkan rumusan
Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia sebagaimana terdapat dalam
pembukaan UUD 1945 alinea IV dengan urutan sebagai berikut: (1) Ketuhanan yang
Maha Esa; (2) Kemanusiaa yang Adil dan Beradab; (3) Persatuan Indonesia; (4)
Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksaan dalam Permusyawaratan
Perwakilan; (5) Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Dapat kita bayangkan apabila Negara kita tidak memiliki dasa Negara, tentunya
penyelenggaraan Negara tidak memiliki pegangan atau pedoman yang kuat
sehingga setiap warga Negara akan memiliki pegangan atau pedoman tersendiri
yang pada ujung-ujungnya akan melahirkan perpecahan. Pancasila sebagai dasar
Negara berarti Pancasila menjadi dasar atau pedoman dalam penyelenggaraan
Negara. Seandainya Negara adalah sebuah bangunan, maka Pancasila adalah
fondasi yang nantinya akan dijadikan tempat berpijak bangunan-bangunan
berikutnya.
Dengan demikian, Pancasila dijadikan dasar dan tonggak dalam pembuatan segala
peraturan perundang-undangan Negara serta berbagai peraturan lainnya yang
mengatur di berbagai bidang kehidupan baik politik, ekonomi, sosial, budaya,
pendidikan, maupun pertahanan dan keamanan.
Dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke IV jelas dinyatakan bahwa Pancasila adalah
dasar Negara. Dengan demikian Pancasila merupakam nilai dasar yang normative
terhadap seluruh penyelenggaraan Negara Republik Indonesia. Dengan perkataan
lain, pancasila merupakan dasar falsafah Negara atau ideology Negara karena
memuat norma-norma yang paling mendasar untuk mengukur dan menentukan
keabsahan bentuk-bentuk penyelenggaraan Negara serta kebijaksaan penting yang
diambil dalam proses pemerintahan.
Dalam implementasinya, Pancasila mengandung tiga tingkat nilai, yaitu nilai dasar
yang tidak berubah yakni lima sila Pancasila, nilai instrumental sebagai sarana
mewujudkan nilai dasar yang dapat berubah sesuai dengan keadaan, dan nilai
praksis berupa pelaksanaan secara nyata yang sesungguhnya. Sekalipun demikian,
perwujudan ataupun pelaksanaan nilai-nilai instrumental dan nilai-nilai praksis harus
tetap mengandung jiwa dan semangat yang sama dengan nilai dasarnya. (Idib
Pandji Setijo 2015: 79)
Pada saat sebelum Pancasila menjadi dasar falsafah hidup bangsa, yaitu sebelum
tanggal 18 Agustus 1945, Pancasila menjadi nilai luhur budaya bangsa Indonesia
yang kita kenal sebagai sifat-sifat teposeliro, tepotulodo, tepopalupi, suka bekerja
keras, tolong-menolong/gotong royong, peduli kasih, dan sebagainya. Sesudah
tanggal 18 Agustus 1945 Pancasila telah sah menjadi landasan dan dasar Negara
Republik Indonesia, sah secara yuridis konstintusional. Di sinilah Pancasila menjadi
suatu staat fundamental norm atau groun norm, yang setiap orang dan manusia,
baik sebagai pribadi maupun sebagai warga Negara memiliki nilai pribadi yang
dilndasi oleh norma/hukum tertulis dan tidak tertulis. Misalnya manusia dapat bebas
memilih kesenangannya dalam hal berpakaian, bepergian ke manapun asal
memenuhi ketentuan yang ada, bebas jalan-jalan, rekreasi, berbelanja ke
pertokon/mal, membeli rumah, dan mobil.
Semua hal harus ditaati karena mengandung sanksi. Yang bukan undang-undang
adalah berupa semua ketentuan yang lain sampai dengan ketentuan yang lahir dari
masyarakat berupa aturan atau norma-norma, seperti norma susila, norma sopan
santun, dan norma agama yang dilandasi kesadaran berkehidupan bersama dalam
masyarakat (masih ada sanksi walaupun tidak seberat undang-undang). (Idib Pandji
Setijo 2015: 77-78)
Pancasila merupakan filsafat bangsa Indonesia mengandung pengertian sebagai
hasil perenungan mendalam dari para tokoh pendiri negara (the founding fathers)
ketika berusaha menggali nilai-nilai dasar dan merumuskan dasar negara untuk
diatasnya didirikan negara Republik Indonesia. Hasil perenungan itu secara resmi
disahkan bersamaan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
(UUD NRI) tahun 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada
18 Agustus 1945 (Ngadino Surip dkk, 2015: 90)
Kelima dasar atau prinsip yang terdapat dalam sila-sila Pancasila tersebut
merupakan satu kesatuan bagian-bagian sehingga saling berhubungan dan saling
bekerja sama untuk satu tujuan tertentu sehingga dapat disebut sebagai system.
Pengertian suatu system memiliki cirri-ciri sebagai berikut: (1) suatu kesatuan
bagian-bagian; (2) bagian-bagian tersebut memiliki fungsi sendiri-sendiri; (3) saling
berhubungan, saling ketergantungan; (4) semuanya dimaksudkan untuk mencapai
tujuan bersama (tujuan system); dan (5) terjadi dalam suatu lingkungan yang
kompleks. (Kaelan, 2000: 66)
Berdasarkan pengertian tersebut, Pancasila yang berisi lima sila yaitu Ketuhanan
yang Maha Esa, Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Sila Persatuan
Indonesia, Sila Kerakyatan yang Dipimpin olrh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan dan Sila Keadilan Sosial Bagi seluruh Rakyat
Indonesia, saling berhubungan membentuk suatu kesatuan system yang dalam
proses bekerjanya saling melengkapi dalam mencapai tujuan. Meskipun setiap sila
pada hakikatnya merupakan suatu asas sendiri, memiliki fungsi sendiri-sendiri,
namun memiliki tujuan tertentu yang sama, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan
makmur berdasarkan Pancasila. (Ngadino Surip dkk, 2015: 91)
Secara berurutan, Pancasila berada dalam bentuk pyramid dengan tatanan yang
kierarkis. Dalam susunan hierarkis dan pyramid itu, Ketuhanan Yang Maha Esa
menjadi basis dari kemanusiaan (prikemanusiaan), persatuan Indonesia
(Kebangsan), Kerakyatan, dan keadilan sosial. Sebaliknya, ketoehanan Yang Maha
Esa adalah Ketoehanan yang berkemanusiaan, berpersatuan (berkebangsaan),
berkerakyatan, dan berkeadilan sosial. Dengan demikian, tiap-tiap sila di dalamnya
mengandung sila dari lain-lainnya (Notonagoro 1959: 60)
Mengingat sila pertama menjadi basis dari pada sila yang lain, sila pertama
Ketuhanan Yang Maha Esa memiliki tingkat tertinggi (terluas) dalam susunan
hierarkis pyramid dan meliputi, melandasi dan menjiwai sila-sila lain yang
kedudukannya dalam hierarkis lebih rendah (sempit). Dengan demikian, sila kedua
juga melandasi dan menjiwai sila keempat dan kelima. Sila ketiga melandasi dan
menjiwai sila kelima. Sebaliknya, sila kedua diliputi, dilandasi, dan dijiwai sila
pertama. Sila ketiga diliputi, dilandasi, dan dijiwai sila pertama dan kedua.
Sila keempat diliputi, dilandasi, dan dijiwai sila pertama, kedua, dan ketiga. Sila
kelima diliputi, dilandasi, dan dijiwai oleh sola pertama, kedua, ketiga, dan keempat.
Jelas bahwa kelima sila (kecuali sila pertama) adalah selain meliputi, melandasi, dan
menjiwai juga saling diliputi, dilandasi, dan dijiwai sila yang lain dari Pancasila.
Dalam susunan kesatuan kierarkis berbentuk piramis ini, sila Ketuhanan Yang Maha
Esa adalah yang paling luas. Oleh Karena itu, merupakan basis (dasar) dari
keempat sila lainnya (Kaelan 1999: 69)
Sila kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam system ini,
merupakan tujuan (menurut UUD 1945) yang hendak dicapai oleh keempat sila yang
lain dari Pancasila, yaitu sila Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil
dan beradab, persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Sebagai system, Pancasila
memiliki cirri-ciri sebagai berikut: (1) merupakan kesatuan dari bagian-bagian.
Bagian-bagian dimaksud adalah sila-sila Pancasila yang menyatu secara bulat dan
utuh; (2) Bagian-bagian tersebut memiliki fungsinya masing-masing. Sila pertama,
memiliki fungsinya masing-masing. Sila pertama memiliki fungsi keimanan dan
ketaqwaan.
Oleh karena itulah Pancasila harus menjadi peersatu bangsa yang tidak boleh
mematikan keanekaragaman yang ada sebagai Bhineka Tunggal Ika. Dengan
demikian Pancasila merupakan cita-cita moral bangsa yang memberikan pedoman
dan kekuatan rohaniah bagi tingkah laku hidup sehari-hari dalam menjalankan
kehidupanbermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dngan pancasila sebaai
pandangan hidup bangsa maka segala daya dan upaya bangsa Indonesia dalam
membangun dirinya akan terarah sesuai garis pedoman dari pandangan hidup
bangsa Indonesia. (Ngadino Surip dkk 2015: 80)