Anda di halaman 1dari 14

JOURNAL READING

SINDROMA KOMPARTEMEN

Oleh:

I.B.Gde Ananta Mahesvara (1902611195)

Pembimbing:
dr. I Wayan Periadijaya, Sp.B(K)Trauma KL

DALAM RANGKA MENJALANI KEPANITERAAN KLINIK MADYA

DEPARTEMEN/KSM ILMU BEDAH

FK UNUD/RSUP SANGLAH DENPASAR

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat rahmat-Nya journal reading yang berjudul ”Sindroma Kompartemen’’ ini
dapat selesai tepat waktu. Journal reading ini merupakan salah satu tugas dalam
rangka mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di Departemen/KSM Ilmu Bedah,
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah
Denpasar. Dalam penyusunan journal reading ini penulis banyak memperoleh
bimbingan dan masukan dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat :

1. Dr. dr. I Nyoman Semadi, Sp.B, Sp.BTKV, selaku Kepala


Departemen/KSM Ilmu Bedah FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar,
2. dr. Agus Dwianthara Sueta, Sp.B-KBD selaku koordinator pendidikan
di Departemen/KSM Ilmu Bedah FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar,
3. dr. I Wayan Periadijaya, Sp.B(K)Trauma KL selaku pembimbing atas
segala bimbingan dan masukan beliau,
4. Semua pihak yang tidak sempat disebutkan satu persatu, yang dengan
tulus telah bersedia memberikan bantuan dan masukan.

Penulis menyadari bahwa tinjauan pustaka ini masih jauh dari sempurna,
untuk itu saran dan kritik sangat penulis harapkan untuk kesempurnaan journal
reading ini. Semoga journal reading ini bermanfaat bagi pembaca.

Denpasar, September 2019

Penulis
SINDROMA KOMPARTEMEN

PENDAHULUAN

Hampir semua dokter bedah pernah menemukan pasien dengan sindroma


kompartemen dalam praktek klinis mereka.1 Sindroma kompartemen merupakan
kumpulan gejala yang disebabkan karena peningkatan tekanan intrakompartemen
pada kompartemen osteofascia yang tertutup. Sindroma kompartemen merupakan
pembedahan emergensi, bila tekanan tidak dapat diturunkan dengan cepat maka
dapat terjadi kerusakan pada jaringan lunak, termasuk otot, saraf, dan juga
pembuluh darah hingga disabilitas permanen. Sindroma kompartemen sering
terjadi akibat fraktur atau crush injury, namun dapat juga terjadi akibat cedera
minor, ataupun terjadi secara iatrogenic.2,3 Sebagai seorang dokter, kita harus
memahami dasar dari sindroma kompartemen, yaitu epidemiologi, anatomi,
patofisiologi, diagnosis, dan manajemennya.

EPIDEMIOLOGI

Insiden sindroma kompartemen di Amerika Serikat mencapai 3.1/ 100.000


penduduk setiap tahunnya, dengan proporsi laki-laki lebih banyak sebesar 7.3/
100.000 penduduk dibandingkan wanita 0.7/ 100.000 penduduk.4,5,6 Banyak faktor
yang berhubungan dengan terjadinya sindroma kompartemen, seperti jenis trauma,
umur, jenis kelamin, dan lain-lain. Fraktur tertutup diafisis tibial merupakan
penyebab terbanyak terjadinya sindroma kompartemen, sekitar 36% diikuti dengan
cedera pada jaringan lunak (23%) dan fraktur pada diafisis ulnar maupun radius
(>9%).5,7,8 Insiden sindroma kompartemen pada fraktur tertutup dan terbuka tidak
berbeda. Penyebab yang lebih jarang adalah luka bakar, cedera benda tumpul pada
ekstremitas. Olahraga yang berlebihan juga dapat menyebabkan sindroma
kompartemen. Sindroma kompartemen juga dapat terjadi akibat keadaan non-
trauma seperti sindroma nefrotik, viral myositis, hipotiroid, kelainan pembekuan
darah, malignansi, dan diabetes mellitus.9,10,11 Laki-laki memiliki risiko sekitar 10
kali lebih besar dari perempuan untuk mengalami sindroma kompartemen, hal ini
karena laki-laki memiliki massa otot yang lebih besar didalam kompartemen yang
tetap. Rata-rata pasien sindroma kompartemen berumur 32 tahun, dengan laki-laki
berumur 30 tahun dan perempuan berumur 44 tahun. Umur muda juga merupakan
faktor risiko yang penting, disebabkan karena pasien berumur muda memiliki
massa otot yang lebih besar dan fascia yang lebih kencang, serta pada umur muda
lebih rentan terjadi cedera ataupun kecelakaan.5,12,13

ANATOMI

Tungkai bawah terdiri dari 4 kompartemen: anterior, lateral, posterior


superfisialis, dan posterior profunda. Kompartemen anterior merupakan
kompartemen yang tersering untuk terjadinya sindroma kompartemen. Dalam
kompartemen anterior berisi otot ekstensor yaitu m. tibialis anterior, m. ekstensor
hallucis longus, dan m. ekstensor digitorum longus. Pembuluh darah pada
kompartemen anterior adalah a. tibialis anterior, dan persarafannya adalah n. deep
peroneal.14,15 Dibawah ini merupakan anatomi dari kompartemen tungkai bawah.

Tabel 1. Anatomi kompartemen tungkai bawah

Kompartemen Konten Pemeriksaan 16,17

Anterior - Otot ekstensor (tibialis anterior, - Sensasi digiti pertama


ekstensor hallucis longus, dan kedua pedis
ekstensor digitorum longus) berkurang
- a. tibialis anterior - Kelemahan dorsifleksi
- Deep peroneal nerve pedis

Lateral - Otot peroneus longus dan brevis - Sensasi dorsal pedis


- a. peroneal berkurang
- Superficial peroneal nerve - Kelemahan pada inversi
dan dorsifleksi pedis
Posterior - Otot fleksor (tibialis posterior, - Sensasi plantar pedis
dalam fibularis hallicus longus, fibularis berkurang
digitorum longus)
- a. tibialis posterior, a. peroneal - Kelemahan fleksi
- n. tibialis hallux
Posterior - m. gastrocnemius dan m. soleus - kelemahan plantar
superfisial - n. sural fleksi pedis

Gambar 1. Anatomi kompartemen tungkai bawah

Bowyer MW. Compartment syndrome. Essentials of vascular surgery. 2015:55-69.

PATOFISIOLOGI

Fascia berperan sebagai pembungkus struktur yang ada pada ekstremitas.


Ada dua faktor yang dapat menyebabkan sindroma kompartemen, yaitu
berkurangnya volume kompartemen atau bertambahnya volume pada isi dari
kompartemen.18 Penyebab tersering terjadinya sindroma kompartemen adalah
pendarahan yang dapat terjadi karena cedera pada pembuluh darah. Hipotesis
terjadinya sindroma kompartemen yang diakui adalah teori gradien tekanan
arterivena. Sirkulasi peredaran darah dari arteri menuju vena bergantung pada
gradien tekanan antara kedua pembuluh tersebut. Saat gradien tekanan tersebut
berkurang, aliran balik vena berkurang, dan darah kaya oksigen dari arteri tidak
dapat masuk ke jaringan, menyebabkan hipoksia dan kematian jaringan.19,20,21
Jaringan yang paling rentan mengalami kerusakan adalah otot skeletal. Saat otot
skeletal mengalami iskemia, jaringan tersebut mengeluarkan zat seperti histamin,
prostaglandin, dan sitokin yang meningkatkan permeabilitas kapiler, menyebabkan
edema, nyeri, vasodilatasi yang ditandai dengan warna kemerahan dan peningkatan
temperatur di daerah luka.22 Siklus ini berjalan terus tanpa henti, yang pada
akhirnya menyebabkan kolapsnya pembuluh darah dan apabila kompartemen tidak
segera di dekompresi, maka iskemia yang terjadi dapat mengakibatkan kematian
jaringan yang irreversibel.21

DIAGNOSIS

Mayoritas dari sindroma kompartemen didiagnosa secara klinis. Salah satu


faktor prognostik yang penting adalah tepat waktu diagnosis dan tepat waktu
penanganan. Manifestasi klinis dari kondisi ini ditandai dengan 6 P: pain,
poikilothermia, pallor, paresthesia, paralysis, dan pulselessness.4 Gejala yang
pertama kali muncul adalah nyeri hebat. Seiring perkembangan kondisi ini,
ekstremitas yang mengalami cedera akan semakin mengalami edema dan tegang.
Nyeri pada kondisi ini adalah nyeri saat posisi istirahat yang tidak proporsional
dengan cedera, tidak berkurang dengan penghilang rasa nyeri dan nyeri dengan
passive stretching. Seiring bertambahnya tekanan intrakompartemen, jaringan saraf
mengalami iskemia dan mengakibatkan disfungsi saraf dengan gejala klinis yang
ditimbulkan, paresthesia, paresis dan akhirnya paralisis. Paresthesia dapat timbul
dalam waktu 30 menit setelah terjadinya cedera pada jaringan saraf. Gangguan pada
fungsi motoris dapat terjadi dalam 4 jam setelah terjadinya iskemia jaringan otot
skeletal. Dalam 8 sampai 24 jam setelah terjadinya iskemia, gangguan fungsi dapat
bersifat irreversibel.4,5,12 Pemeriksaan sensoris dapat dilakukan dengan tes pinprick,
perabaan halus, dan diskriminasi dua titik pada pasien yang sadar. Gejala
pulselessness adalah gejala yang timbul saat kerusakan sudah parah dan merupakan
indikator kesembuhan yang buruk. Pada sindroma kompartemen, peningkatan
tekanan intrakompartemen biasanya tidak sampai memampatkan arteri. Kehilangan
pulsasi dan adanya warna pucat menandakan adanya kerusakan direk pada
arteri.12,23

Tekanan intrakompartemen normal berkisar sekitar 0 sampai 4 mmHg.


Dengan olahraga, tekanan intrakompartemen dapat meningkat sampai 10 mmHg.
Pada sindroma kompartemen, tekanan ≥30 mmHg dinilai sebagai kondisi yang
kritis, dan dekompresi dengan pembedahan harus segera dipertimbangkan. Alat
yang paling sering digunakan adalah Stryker Intra-compartmental Pressure
Monitor System.6,12
Gambar 2. Alat Stryker Intra-compartmental Pressure Monitor
System

Pechar, J. and Lyons, M. (2016). Acute Compartment Syndrome of the Lower Leg: A
Review. The Journal for Nurse Practitioners, 12(4), pp.265-270.

Metode alternatif untuk mengukur tekanan intrakompartemen adalah


dengan mengukur perbedaan antara tekanan darah diastol dengan tekanan
intrakompartemen (Δp). Nilai Δp ≤30 mmHg menandakan sudah terjadinya kondisi
sindrom kompartemen dan dekompresi pada lokasi cedera harus segera dilakukan.
Pasien yang tidak sadar, dan pasien yang sudah diberikan anestesi harus diobservasi
secara lebih ketat, karena pada pasien ini gejala klinis lebih sulit ditemukan.4,6
Dokter harus memiliki arah kecurigaan terhadap kondisi sindroma kompartemen
pada pasien-pasien tersebut, dan tidak menunda terapi dengan memeriksa tekanan
intrakompartmen terlebih dahulu.4,6,7 Teknik non-invasif yang dapat digunakan
yaitu near infrared spectroscopy, yang dapat mengukur oksigenasi jaringan 2-3 cm
dibawah kulit. Teknik ini memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi karena
oksigenasi jaringan berkorelasi terbalik dengan peningkatan tekanan
intrakompartemen.25,26,27

MANAJEMEN

Penanganan awal pada kondisi ini yaitu melepas gips atau penutup pada
ekstremitas. Penelitian menunjukkan bahwa dengan melepas gips dapat
menurunkan tekanan intrakompartemen sebesar 65%. Ekstremitas diposisikan
setinggi jantung untuk menjaga perfusi kompartemen. Bila kondisi klinis tidak
membaik, maka tindakan fasciotomi harus segera dilakukan untuk mencegah
kerusakan irreversibel pada otot skeletal dan saraf.28,29 Ada beberapa teknik dalam
melakukan fasciotomi, yaitu teknik satu insisi dan dua insisi. Pada satu insisi,
dilakukan insisi panjang dari 5 cm dibawah kepala fibula hingga 5 cm diatas
malleolus lateral. Teknik yang sering digunakan adalah dua insisi, yaitu insisi pada
bagian anterolateral dan posteromedial.5,12,30 Setelah fasciotomi, penilaian terhadap
jaringan dalam harus dilakukan. Warna jaringan otot yang merah atau merah muda
menandakan jaringan tersebut masih hidup. Jaringan otot yang sudah mati harus
dieksisi. Tendon, periosteum dan jaringan otot yang terekspos harus dijaga tetap
lembab agar mencegah pengeringan jaringan dan infeksi.31

Gambar 3. Insisi medial dan lateral pada fasciotomi

Via A, Oliva F, Spoliti M. Acute Compartment Syndrome. Muscles, Ligaments


and Tendons Journal. 2015;1:20-21.

Setelah 48 sampai 72 jam pasca fasciotomy, kondisi jaringan luka pada


pasien harus dievaluasi kembali, dan dilakukan debridement. Bila sudah tidak ada
jaringan mati yang tersisa, maka kulit dapat ditutup secara longgar. Bila penutupan
tidak dapat dilakukan, ada beberapa metode tambahan yang bias dilakukan.32
Metode yang sering digunakan untuk menutup luka adalah negative pressure
wound therapy (NPWT). NPWT merupakan metode penutupan luka dengan sistem
tertutup, menggunakan vakum agar terjadi tekanan subatmosfer pada luka untuk
menurunkan tekanan ekstravaskular dan edema. Metode ini dapat memperbaiki
sirkulasi, granulasi, dan mencegah kolonisasi bakteri. Metode ini dapat mencegah
risiko infeksi, namun besar kemungkinan untuk dilakukan skin grafting.32,33
Metode lain yaitu dynamic wound closure menggunakan vascular loop (teknik tali
sepatu) yang difiksasi dengan stapler, yang secara bertahap dapat merapatkan luka.
Dengan menggunakan metode ini, skin grafting dapat dihindari.34
KESIMPULAN
Sindroma kompartemen merupakan kondisi emergensi yang memiliki
komplikasi limb dan life threatening bila tidak ditangani dengan cepat. Gejala yang
ditimbulkan diakibatkan karena peningkatan tekanan intrakompartemen. Diagnosis
klinis dari sindroma kompartemen meliputi 6 P: pain, poikilothermia, pallor,
paresthesia, paralysis, dan pulselessness. Monitoring tekanan intrakompartemen
dapat membantu menegakkan diagnosis pada pasien yang tidak menimbulkan
gejala klinis. Fasciotomi merupakan terapi definitif pada kondisi ini, guna
mencegah kerusakan permanen, ataupun komplikasi seperti kontraktur, paralisis,
dan amputasi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Volkmann R. Ischämische Muskellähmungen und -kontrakturen [Ischemic


muscle paralysis and contractures]. Zentralbl Chir. 1881;8:801–803.
2. Elsorafy KR, Jm Stone A, Nicol SG. Acute compartment syndrome of the
thigh 10 days following an elective primary total hip replacement. Ortop
Traumatol Rehabil. 2013;5:269-271.
3. McQueen MM, Gaston P, Court-Brown CM. Acute com¬partment
syndrome. Who is at risk? J Bone Joint Surg Br. 2000; 82:200-203.
4. Donaldson J, Haddad B, Khan WS. The pathophysiology, diagnosis and
current management of acute compartment syndrome. Open Orthop J.
2014;8: 185-193.
5. Mauser N, Gissel H, Henderson C, Hao J. Acute lower-leg compartment
syndrome. Orthopedics. 2013;36:619-624.
6. Konstantakos EK, Nelles ME, Laughlin RT. Diagnosis and management of
extremity compartment syndrome: an orthopaedic perspective. Am Surg.
2007;73:1199-1209.
7. Bowyer MW. Compartment syndrome. Essentials of vascular surgery.
2015:55-69.
8. Shadgan B, Menon M. Fasciotomy following total knee
arthrosplasty:beware of terrible outcome. J Arthroplasty. 2014;29:355-359.
9. Simms M, Terry R. Well leg compartment syndrome after pelvic and
perineal surgery in the lithotomy position. Postgraduate Medical Journal.
2005;81:534-536.
10. Cara J, Narvaez A. Acute atraumatic compartment syndrome in the leg.
International Orthopaedics. 1999;23:61-62.
11. Woolley S, Smith D. Acute compartment syndrome secondary to diabetic
muscle infarction: case report and literature review. European Journal of
Emergency Medicine. 2006;13:113-116.
12. Raza H, Mahapatra A. Acute compartment syndrome in orthopaedic:
causes, diagnosis and management. Adv Orthop. 2015:2015:543412.
13. Dover M, Memon Ar, Marafi H. Factors associated with persistent sequelae
after fasciotomy for acute compartment syndrome. J Orthop Surg.
2012;20:312-315.
14. Cline DM, Ma OJ, Tintinalli JE, et al. Emergency Medicine, A
Comprehensive Study Guide, Companion Handbook 4th ed. McGraw Hill.
1996:881-884.
15. Shadgan B, Menon M, Sanders D, et al. Current thinking about acute
compartment syndrome of the lower extremity. Can J Surg. 2010;53(5):329-
334.
16. Torlincasi AM, Waseem M. Acute Compartment Syndrome. Treasure
Island, FL: StatPearls Publishing LLC; 2018.
17. Thompson JC. Netter’s Concise Orthopaedic Anatomy. 2nd ed.
Philadelphia, PA: Saunders Elsevier; 2016.
18. Erdos J, Dlaska C, Szatmary P, Humenberger M, Vecsei V, Hajdu S. Acute
compartment syndrome in children: a case series in 24 patients and review
of the literature. Int Orthop. 2011;35:569-575.
19. Mauser N, Gissel H, Henderson C, Hao J, Hak D, Mauffrey C. Acute
Lower-leg Compartment Syndrome. Orthopedics. 2013;36:619-624.
20. McQueen MM, Court-Brown CM. Compartment monitoring in tibial
fractures. The pressure threshold for decompression. J Bone Joint Surg Br.
1996;78:99-104.
21. Mabvuure NT, Malahias M, Hindocha S, Khan W, Juma A. Acute
Compartment Syndrome of the Limbs: Current Concepts and Management.
Open Orthop J. 2012;6:535-543.
22. Rasul A, Lorenzo C, Agnew S, et al. Acute compartment syndrome.
http://emedicine.medscape.com/article/307668overview. Accessed June
14, 2019.
23. Ulmer T. The clinical diagnosis of compartment syndrome of the lower leg:
are clinical findings predictive of the disorder? J Orthop Trauma. 2002;16:
572-577.
24. Pechar J, Lyons M. Acute Compartment Syndrome of the Lower Leg: A
Review. The Journal for Nurse Practitioners. 2016;12:265-270.
25. Harvey EJ, Sanders DW, Shuler MS, et al. What’s new in acute
compartment syndrome? J Orthop Trauma. 2012;26: 699-702
26. Cole AL, Herman RA, Heimlich JB, Ahsan S, Freedman BA, Shuler MS.
Ability of near infrared spectroscopy to measure oxygenation in isolated
upper extremity muscle compartments. J Hand Surg Am. 2012;37:297-302.
27. Garr JL, Gentilello LM, Cole PA, et al. Monitoring for compartmental
syndrome using near-infrared spectroscopy: a noninvasive, continuous,
transcutaneous monitoring technique. J Trauma. 1999;46:613-616.
28. Garfin SR, Mubarak SJ, Evans KL, Hargens AR, Akeson WH.
Quantification of intracompartmental pressure and volume under plaster
casts. J Bone Joint Surg Am. 1981;63:449-453.
29. Mabvuure NT, Malahias M, Hindocha S, Khan W, Juma A. Acute
Compartment Syndrome of the Limbs: Current Concepts and Management.
Open Orthop J. 2012;6:535-543.
30. Shadgan B, Menon M. Current thinking about acute compartment syndrome
of the lower extremity. Can J Surg. 2010;53:329-334.
31. Pearse M, Harry L, Nanchahal J. Acute compartment syndrome of the leg
fasciotomies must be perfmored early, but good surgical technique is
important. British Medical Journal. 2002;325:557-558.
32. Fowler J, Kleiner T, Das R. Assisted closure of fasciotomy wounds: a
descriptive series and caution in patients with vascular injury. Bone and
Joint Research. 2012;1:31-35.
33. Zannis J, Angobaldo J, Marks M. Comparison of fasciotomy wound
closures using traditional dressing changes and the vacuum-assisted closure
device. Annals of Plastic Surgery. 2009;62:407-409.
34. Asgari M, Spinelli H. The vessel loop shoelace technique for closure of
fasciotomy wounds. Annals of Plastic Surgery. 2000;44:225-229.
35. Via A, Oliva F, Spoliti M. Acute Compartment Syndrome. Muscles,
Ligaments and Tendons Journal. 2015;1:20-21.

Anda mungkin juga menyukai