LASRIAMA SIAHAAN
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018
ii
iii
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pola Penyebaran Spasial
dan Kelimpahan Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.) di Pulau Samosir,
Sumatera Utara adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Lasriama Siahaan
NIM P052150141
iv
RINGKASAN
Kata kunci : Kesesuaian lahan, Principal Component Analysis, pola spasial, Pulau
Samosir, Zanthoxylum acanthopodium DC.
v
SUMMARY
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
vii
LASRIAMA SIAHAAN
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018
viii
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis Dr. Ir. Agus Hikmat, M.Sc.F.
ix
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Diketahui oleh
Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS Prof. Dr. Ir. Anas Miftah Fauzi, M.Eng
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala
rahmat dan kasih karunia-Nya sehingga pendidikan pascasarjana ini dapat penulis
selesaikan pada waktuNya. Penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September
2017 ini mengambil tema tentang andaliman, dengan judul “Pola Penyebaran
Spasial Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.) dan Kelimpahannya di
Pulau Samosir, Sumatera Utara”.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr.Ir. Iwan Hilwan, MS dan
Bapak Dr. Yudi Setiawan, SP., M.Sc selaku pembimbing yang telah banyak
memberi saran dan dukungan terbaik sehingga karya ilmiah ini dapat selesai.
Penulis sangat bersyukur atas bantuan Mas Doni, Mas Sahid, Aini yang telah
banyak membantu mempelajari GIS dan Julia Sihombing, Martupa Sitanggang
yang sangat menolong saat di Lapangan. Terimakasih juga kepada rekan-rekan
Mahetan Foundation atas dorongan semangat dan ide-ide penulisan karya ilmiah.
Penulis juga berterimakasih kepada Ika, Ka Keke, Ka Sondang, Ka Elda, Ka Henny,
Ka Tety, dan Tulang Lucien tanpa kalian, penulis tidak dapat menyelesaikan karya
ilmiah ini. Rasa terimakasih tak lupa penulis ucapkan untuk Bapak dan Mamak,
Bapak Condro, Ibu Ermi, Ibu Yovita, Ka Musa beserta keluarga atas segala doa,
dorongan dan kasih sayangnya yang tulus sehingga penulisan karya ilmiah selesai
dengan baik. Ucapan terimakasih yang besar penulis sampaikan atas bantuan
semua pihak yang telah mendukung penyelesaian karya ilmiah ini.
Dengan selesainya program pendidikan ini, penulis berharap dapat
melakukan hal yang bermanfaat bagi negara dan bangsa Indonesia, serta untuk
kebaikan bagi sesama. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Lasriama Siahaan
xi
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ii
DAFTAR GAMBAR iii
DAFTAR LAMPIRAN iii
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Kerangka Pemikiran 2
Perumusan Masalah 4
Tujuan Penelitian 4
Manfaat Penelitian 4
Ruang Lingkup Penelitian 4
2 TINJAUAN PUSTAKA 5
Andaliman 5
Penginderaan Jauh untuk Kesesuaian Habitat Tumbuhan 10
Principal Component Analysis 11
Pemodelan Spasial Kesesuaian Habitat Andaliman 11
3 METODE 12
Lokasi dan Waktu Penelitian 12
Bahan 13
Tahapan Penelitian 13
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 19
Karakteristik Biologi Habitat Andaliman 19
Karakteristik Biofisik Habitat Andaliman 33
Karakter Spasial Habitat Andaliman 39
Pemodelan Spasial Kesesuaian Habitat Andaliman 47
Sosial Ekononi Petani Andaliman Pulau Samosir 51
5 SIMPULAN DAN SARAN 61
Simpulan 61
Saran 62
DAFTAR PUSTAKA 63
LAMPIRAN 70
RIWAYAT HIDUP 77
ii
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
1 Kerangka Pemikiran 3
2 Buah andaliman (kiri); Tanaman andaliman muda (kanan) 6
3 Distribusi Zanthoxylum acathopodium DC. (Hartley 1966) 7
4 Peta lokasi penelitian 12
5 Analisis kesesuaian habitat andaliman 18
6 Jumlah famili dan jenis vegetasi di lokasi pengamatan 20
7 Kerapatan andaliman di lokasi pengamatan 31
8 Peta sebaran andaliman berdasarkan jenis tanah 34
9 Peta sebaran andaliman berdasarkan kelerangan 39
10 Kurva respon variabel slope 40
11 Peta sebaran andaliman berdasarkan BSI 41
12 Kurva respon variabel BSI 41
13 Peta sebaran andaliman berdasarkan DEM 42
14 Kurva respon variabel DEM 42
15 Peta sebaran andaliman berdasarkan curah hujan 43
16 Kurva respon variabel curah hujan 43
17 Peta sebaran andaliman berdasarkan NDVI 44
18 Kurva respon variabel NDVI 45
19 Peta sebaran andaliman berdasarkan NDMI 46
20 Kurva respon variabel NDMI 46
21 Overlay variabel predictor 48
22 Peta kesesuaian habitat andaliman 50
23 Jumlah domestik keluar (dokel) andaliman (BKP2Medan, 2017) 59
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kerangka Pemikiran
Pola penyebaran spesies endemik sangat unik karena spesies ini memiliki
biogeografi yang khas, unik dan memerlukan bentuk konservasi yang unik juga.
Spesies endemik berada dalam karakter area geografi yang terpotong dan
kemungkinan mempunyai ukuran populasi yang kecil dan memiliki resiko
kepunahan yang tinggi (Ndayishimiye et al. 2012). Spesies endemik juga peka
terhadap perubahan iklim, dalam beberapa studi ditemukan terkonsentrasi pada area
dengan iklim yang stabil. Sehingga penting untuk memahami perbedaan
karakeristik spesies endemik dengan spesies lain dengan tujuan pengembangan
strategi konservasi yang efektif dalam menghitung nilai biodiversitas saat ini dan
di masa yang akan datang. Pengetahuan tentang pola spasial persebaran andaliman
dan keterkaitannya dengan kondisi habitat sangat penting sebagai langkah awal
perencanaan konservasi dalam upaya restorasi atau pemulihan populasi andaliman
di alam.
Andaliman dalam habitat aslinya tumbuh liar dengan perseebaran terbatas
pada daerah dengan ketinggian diatas 1 300 m dpl. Andaliman dapat ditemukan
pada pegunungan yang terletak di sekitar kawasan Danau Toba seperti di
Kabupaten Simalungun, Toba Samosir, Dairi, dan Tapanuli Utara (Provinsi
Sumatera Utara) pada daerah berketinggian lebih dari 1 300 m dpl dengan
temperatur 15-18 0C (Hartley 1966; Hasairin 1994).
Andaliman memiliki nilai manfaat medis dan nilai ekonomi yang tinggi.
Penelitian mengenai pembudidayaan andaliman masih sedikit dan cenderung sulit
dilaksanakan, hal ini dikarenakan belum tersedianya informasi yang lengkap
3
tentang syarat tumbuh dan karakteristik lahan yang sesuai untuk pertumbuhan
andaliman. Petani telah membiakkan andaliman dengan biji, dengan tingkat
keberhasilan yang sangat kecil.
Penebangan hutan untuk pembukaan lahan pertanian yang baru masih
berlangsung hingga saat ini. Demikian juga kebakaran hutan yang yang dilakukan
oleh petani secara sengaja untuk memperluas lahan garapan dan untuk
mendapatkan rumput yang baru sebagai makanan ternak. Kondisi ini
mengakibatkan semakin berkurangnya habitat alami bagi andaliman. Dalam UU No
5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya
dalam penjelasan pasal 20 ayat 2 menyatakan bahwa tumbuhan dan satwa endemik
adalah tumbuhan/hewan yang penyebarannya terbatas, sedangkan jenis yang
terancam punah disebabkan oleh karena populasi spesies tersebut sudah sangat
kecil serta mempunyai tingkat perkembangbiakan yang sangat lambat, baik karena
pengaruh habitat maupun ekosistemnya.
Untuk mengetahui gambaran keberadaan andaliman di lapangan perlu
dilakukan ground checking dan analisis spasial secara parsial sebagai bahan data
dan informasi dalam perencanaan konservasi andaliman bagi instansi terkait dan
pemerintah Kabupaten Samosir. Kerangka pemikiran dalam penelitian dirangkum
dalam skema pada Gambar 1.
Pulau Samosir
1. Luas tutupan hutan menurun
2. Luas lahan kritis bertambah
3. Kebakaran hutan yang berulang
Perumusan Masalah
Topografi Pulau Samosir umumnya curam dan terjal, dengan jenis tanah yang
peka terhadap erosi, iklim bertipe Cs (iklim hujan sedang) yang sangat kering pada
musim kemarau. Hal tersebut menjadi faktor-faktor alami yang membuat kawasan
Pulau Samosir mudah mengalami perubahan akibat gangguan alam atau aktivitas
manusia dan berpengaruh nyata terhadap resiko resiko kerusakan hidup (BLH
Propinsi Sumut 2011).
Kegiatan eksploitasi kawasan Pulau Samosir saat ini, kurang
mempertimbangkan kondisi alamiah diatas, dan pengelolaan yang kurang matang
telah memberi dampak negatif terhadap keberadaan spesies endemik Pulau Samosir.
Pengurangan habitat alami dan fragmentasi lahan telah mengakibatkan ketersediaan
spesies endemik menunjukkan tren penurunan, keadaan ini dapat berujung pada
kepunahan spesies endemik. Hal ini sangat merugikan keanekaragaman hayati
Pulau Samosir.
Masalah penelitian terkait dengan pola spasial tumbuhan endemik Pulau
Samosir adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana karakteristik syarat tumbuh andaliman di Pulau Samosir?
2. Bagaimana pola spasial penyebaran dan kelimpahan andaliman di Pulau
Samosir?
3. Dimana habitat potensial andaliman di Pulau Samosir?
4. Bagaimana manfaat sosial ekonomi andaliman bagi petani andaliman di
Pulau Samosir?
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Batasan ruang lingkup penelitian agar pembahasan berfokus pada tujuan yang
telah ditetapkan, maka diberikan ruang lingkup dan batasan sebagai berikut :
5
2 TINJAUAN PUSTAKA
Andaliman
Botani Andaliman
Andaliman adalah tanaman berduri, habitus berupa semak. Tanaman ini
dikumpulkan dari alam liar untuk minyak essesial dan penggunaan obat, meskipun
kadang-kadang dibudidayakan. Zanthoxylum merupakan anggota suku Rutaceae
anak suku Amyridoideae (Morton dan Telmer 2014). Habitatnya di hutan terbuka
dataran tinggi dan semak-semak di ketinggian 1400-3200 m dpl, batas hutan
montanae, tempat berbatu dan tebing di himalaya. Polinator andaliman adalah
kelompok serangga. Hartley (1966) dalam penelitiannya memberi catatan bahwa
semua spesimen andaliman dari Sumatera memiliki bunga sempurna (monoesius).
Dengan demikian tidak ditemukan bunga jantan dan bunga betina yang terpisah,
sebagaimana yang ditemukan di daratan Asia (dioesius). Akan tetapi karena semua
ciri lain Zanthoxylum acanthopodium yang berada di Sumatera sama dengan yang
ada di daratan Asia, semuanya dianggap merupakan satu spesies. Dengan adanya
diskontinuitas persebaran geografis, diduga populasi andaliman yang terdapat di
Sumatera merupakan relik atau sisa-sisa populasi zaman purba.
Morfologi Andaliman
Nama Zanthoxylum berasal dari bahasa Yunani, xanthox (kuning) dan xylon
(kayu), yang merujuk pada bagian kayunya yang berwarna kuning (Kubitzki et al.
2011). Jenis yang sudah banyak dimanfaatkan oleh orang Asia adalah Zanthoxylum
acanthopodium DC., Zanthoxylum piperitum (L.) DC., dan Zanthoxylum simulans
Hance, ketiga jenis ini sering disebut dengan nama Sichuan pepper. Karena
memang banyak digunakan dalam masakan Cina, jenis-jenis tersebut sudah
dikembangkan sebagai komoditas industri rempah di Tiongkok.
Di Indonesia, masyarakat disekitar Kawasan Danau Toba mengenal
andaliman (Zanthoxylum acanthopodium) sebagai bumbu masakan dengan rasa
khas, ringan, getir. Zanthoxylum acanthopodium pertama kali dipertelakan oleh de
Candolle pada tahun 1824, berdasarkan material yang dikoleksi oleh Wallich pada
tahun 1821 dari Nepal. Jenis ini mirip dengan Zanthoxylum armatum DC (Backer
dan Bakhuizen van den Brink 1965), tetapi dengan perbedaan yang relatif konstan
dalam ukuran dan posisi perbungaan, jumlah urat tulang daun lateral dan warna
anter sebelum bunga mekar. Kedua jenis ini tetap dipertahankan sebagai dua jenis
6
Persebaran Andaliman
Marga Zanthoxylum terdiri dari 200 jenis terdistribusi di kawasan pantropik
yang meluas dari Asia Tengah hingga Amerika Utara (Hartley 2013). Zanthoxylum
acanthopodium tumbuh liar di kawasan yang sejuk dengan suhu antara 15 sampai
18 0C, daerah hutan, kaki gunung, dan dibudidayakan di ladang pada ketinggian
sekitar 1 300 m dpl. Tumbuh subur di daerah subtropis di pegunungan Himalaya
dan tersebar hingga ke Pakistan bagian timur, India bagian utara, Nepal, Bhutan,
China, Jepang, Bangladesh, Laos, Myanmar, Thailand, Vietnam, Semenanjung
Malaya, dan di Indonesia terdapat di Sumatera Utara (Hsuan 1978; Hartley 1966).
Daerah penyebaran andaliman di Sumatera Utara meliputi Desa Sigonting,
Kecamatan Pematang Raya, Kabupaten Simalungun; Desa Dolok Nauli,
Kecamatan Adiankoting, Kabupaten Tapanuli Utara; Desa Matio, Kecamatan
7
Pemanfaatan Andaliman
Beberapa anggota marga Zanthoxylum merupakan sumber daya alam yang
dimanfaatkan sebagai bumbu masakan khas Asia (Hartley 2013). Andaliman
merupakan salah satu jenis rempah-rempah yang banyak digunakan dalam masakan
khas Sumatera Utara, khususnya masakan Batak. Andaliman tidak saja memberikan
citarasa pada makanan tetapi juga mengawetkan makanan adat yang umumnya
dipersiapkan beberapa hari sebelum acara. Andaliman memiliki potensi bahan
pengawet alami makanan dan obat demam (Tensiska 2001), obat-obatan dan
sumber antioksidan alami (Wijaya 1999). Masyarakat Himalaya, Tibet, dan daerah
sekitarnya menggunakan tumbuhan ini sebagai bahan aromatik, tonik, perangsang
nafsu makan dan obat sakit perut (Hasairin 1994; Yanti et al. 2011). Penduduk
Jepang memanfaatkan daun andaliman sebagai pemberi aroma dan dekorasi. Saat
ini andaliman diperhitungkan menjadi sumber senyawa aromatik dan minyak
esensial.
8
Budidaya andaliman
Saat ini pembudidayaan tumbuhan andaliman dianggap sulit dilakukan
karena kurangnya pengetahuan masyarakat, meskipun banyak usaha yang telah
dilakukan, tetapi tidak menunjukkan hasil yang memuaskan. Penanaman melalui
biji cenderung sulit dilakukan, meskipun ada yang dapat tumbuh, tetapi tidak
berbuah. Sirait (1991) dalam penelitiannya menemukan hanya tujuh biji andaliman
yang berkecambah dari 74 biji andaliman yang disemai dan perkembangannya
belum banyak membuahkan hasil.
Jenis benih dapat dikelompokkan menjadi dua berdasarkan kadar air benih,
diantaranya benih ortodoks dan rekalsitran. Benih ortodoks adalah benih yang dapat
dikeringkan sampai kadar air rendah dan disimpan dalam suhu dan kelembapan
penyimpanan yang rendah tanpa menurunkan viabilitas (kemampuan
berkecambah) benih secara nyata sedangkan benih rekalsitran adalah benih yang
cepat rusak (viabilitias menurun) apabila kadar airnya diturunkan, dan tidak tahan
disimpan pada suhu dan kelembapan rendah. Berdasarkan ciri benih andaliman
9
(berukuran kecil, kadar air rendah, warna coklat kehitam-hitaman, bentuk bulat,
permukaan halus), andaliman termasuk benih ortodoks.
Andaliman yang dibudidayakan dari biji memiliki umur yang lebih lama.
Berdasarkan diskusi dengan pemilik Taman Eden 100 sekaligus penggiat
andaliman (Marandus Sirait), diketahui bahwa budidaya pengembangbiakan
andaliman secara vegetatif telah mulai dilakukan yaitu dengan stek pucuk, cara ini
lebih mudah dan tingkat keberhasilan yang cukup tinggi. Ada perbedaan morfologi
andaliman yang dikembangkan dengan stek pucuk. Pada tanaman hasil stek pucuk
memiliki duri yang lebih sedikit, bagian atas daun hampir tidak berduri. Sehingga
memudahkan petani saat panen dan bibit dengan stek pucuk lebih tahan terhadap
sinar matahari berbeda dengan andaliman yang disemai dengan biji.
Distribusi spasial vegetasi atau individu dapat dilihat dan dipredikisi melalui
iklim, ketersediaan habitat yang sesuai, edaphic factor (faktor tanah), pengaruh
kompetitor, faktor sejarah evolusi (Draper et al. 2003), ataupun karakteristik lain
seperti kelerengan, aspek, kesesuaian atau tipe vegetasi (Smith 2008). Habitat
vegetasi endemik merupakan interaksi faktor abiotik dan biotik di masa lampau dan
sekarang ini. Pemahaman yang komprehensif dari biologi, ekologi, dan distribusi
spesies dapat digunakan untuk mengekplorasi habitat dasar dan menilai hubungan
spasial diantara habitat tambahan spesies yang bersesuaian.
Kombinasi beberapa atribut dapat menyediakan area peta unik yang dapat
disejajarkan dengan spesiesnya. Meskipun demikian lokasi tumbuhan endemik saat
ini sebenarnya menunjukkan habitat yang tidak dapat diubah dari representasi
distribusi di masa lampau. Data spasial adalah sebuah data yang berorientasi
geografis dan memiliki sistem koordinat tertentu sebagai dasar referensinya. Data
spasial mempunyai dua bagian penting yang membuatnya berbeda dari data lain,
yaitu informasi lokasi (spasial) dan informasi deskriptif (attribute) (Puntodewo
2003).
Perkembangan yang terjadi menunjukkan penggunaan lahan yang tidak
sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan dan kurang mempertimbangkan daya
dukung lingkungan. Hal ini dapat diamati dengan berkurangnya kawasan lindung,
konversi lahan sawah dan munculnya kerusakan lingkungan. Tingkat kerusakan
lingkungan mempengaruhi fungsi ekologi, sosial dan ekonomi sumberdaya hutan
sehingga berada dalam kondisi memprihatinkan dan akan terus menurun apabila
tidak ada upaya rehabilitasi dan konservasi yang tepat. Pengaruh jangka panjang
11
penurunan fungsi ekologi, sosial, ekonomi sumberdaya hutan yang terus menerus
mengakibatkan penurunan fungsi ekosistem DTA Danau Toba.
Kondisi ekosistem yang terganggu tidak akan mendukung terjadinya
pembangunan ekonomi yang berkelanjutan bahkan berpotensi mengganggu
produksi energi dan komoditi lain yang sangat bergantung pada mutu dan kuantitas
air Danau Toba. Dengan demikian kerusakan sumber daya kawasan hutan di DTA
Danau Toba dalam hal ini Pulau Samosir akan memberi dampak negatif dalam
jangka panjang maupun jangka pendek. Oleh karena itu perlu dilakukan suatu
upaya yang komprehensif untuk mendukung konservasi keanekaragaman hayati
khususnya vegetasi endemik.
3 METODE
Penelitian ini dilakukan pada bulan September 2017 – Maret 2018 di Pulau
Samosir, Kabupaten Samosir, Provinsi Sumatera Utara (Gambar 4) yang
merupakan bagian dari Kawasan Strategis Nasional (KSN) Danau Toba.
Selanjutnya kegiatan penulisan dilakukan di Kampus Institut Pertanian Bogor,
Dramaga Bogor.
Bahan
Tahapan Penelitian
Pengambilan Sampel
Pengambilan data titik kehadiran andaliman di lapangan melalui wawancara
dengan pedagang andaliman, studi literatur, dan observasi di lapangan. Ukuran
plot/petak pengamatan seluas 10 x 10 m sebanyak 11 plot pada lokasi yang
berbeda. Pemilihan tempat pengamatan dengan metode purposive random
sampling dengan kriteria sebagai berikut : (1) plot dibuat pada lokasi dimana
andaliman ditemukan, (2) plot dibuat pada lokasi yang memungkinkan untuk
dilakukan pengukuran, (3) plot-plot terpilih memiliki tutupan lahan yang berbeda
satu sama lain. Analisis vegetasi dilakukan pada petak pengamatan tingkat
tumbuhan bawah dan semai, tingkat pancang, dan tingkat tiang. Vegetasi hasil
transek diawetkan untuk dijadikan herbarium dan selanjutnya diidentifikasi di LIPI
Bogor. Petak seluas 10 x 10 m untuk pengamatan tingkat tiang, petak seluas 5 x 5
m untuk pengamatan tingkat pancang dan petak seluas 2 x 2 m untuk pengamatan
tingkat semai dan tumbuhan bawah (Soerianegara dan Indrawan 1998). Data
karakteristik petani andaliman diambil melalui pengamatan langsung dan
wawancara mendalam (depth interview) dengan petani andaliman, perangkat desa,
pengumpul, dan penggiat andaliman.
Nilai indeks kemerataan berdasarkan krebs (1972) dibagi atas tiga kategori antara
lain: (1) nilai 0.00 < E < 0.20, maka komunitas tersebut dalam kondisi tertekan; (2)
nilai 0.21 < E < 0.75, maka komunitas tersebut dalam kondisi labil, dan (3) nilai
0.76 < E < 1.00, maka kondisi komunitas tersebut adalah stabil.
𝐼𝑑−𝑀𝑢
Ip = -0.5 + 0.5 ( 𝑀𝑢 ) ; jika 1 ≥ Mu ≥ Id (19)
Berdasarkan nilai Ip, maka diperoleh kesimpulan pola sebarannya yaitu
sebaran seragam jika Ip < 0, sebaran acak jika Ip = 0, dan sebaran mengelompok
jika Ip > 0.
Pulau Samosir
Analisis Uji
Y = Frekuensi Karakteristik preferensi Chi square
kehadiran andaliman Habitat
NDVI
Citra Landsat 8 NDMI
PCA
BSI
Peta Model DEM
Aster DEM
Kesesuaian habitat Slope
Andaliman
Curah
Stasiun
Hujan
Pos Hujan
Tidak
Validasi
Model
RBI
Ya
Ekstrapolasi
Model
Jenis vegetasi terbanyak yang ditemukan pada lokasi penelitian adalah family
Compositae yang dikenal juga dengan Asteraceae. Family Compositae merupakan
vegetasi dengan anggota jenis terbanyak dalam Angiospermae, dengan distribusi
hampir di semua belahan dunia dan juga merupakan tumbuhan invasif yang terdapat
di Indonesia (Tjitrosoedirdjo 2005).
Lokasi 1
Lokasi 1 merupakan area bekas ladang yang terbakar dan telah ditanami kopi.
Interpretasi citra Landsat 8 menunjukkan bahwa area ini merupakan area lahan
terbuka. Nilai INP tertinggi vegetasi tingkat tiang pada lokasi 1 adalah Clibadium
surinamensis sebesar 118.57% (Tabel 3). Clibadium surinamensis hidup dengan
habitat hutan basah atau semak belukar dan merupakan gulma pada tanamana kopi
(Tjitrosoedirdjo 2005). Kerapatan tanaman Coffee arabic paling besar (300 ind/ha)
di antara kelompok tiang. Sedangkan frekuensi kemunculan ditemukan merata
merata pada tingkat tiang.
Andaliman memiliki nilai INP vegetasi tingkat pancang sebesar 28.29 %
bersama dengan Dichrocephala integrifolia, Phytolacca oleracea, Solanum torvum
(Tabel 4). Kelimpahan andaliman ditingkat pancang tergolong tinggi yaitu
mencapai 1 200 ind/ha. Frekuensi kemunculan andaliman dan vegetasi tingkat
pancang sama di setiap plot yang diamati. Hal ini menunjukkan habitat andaliman
di lokasi 1 merupakan komunitas yang stabil karena berpusat pada beberapa
21
individu. Tabel 3 dan Tabel 4 menunjukkan kerapatan dan INP tingkat tiang dan
pancang di lokasi 1.
Vegetasi tingkat semai dan tumbuhan tingkat bawah dengan INP tertinggi
dimiliki oleh Setaria palmifolia sebesar 39.68% (Tabel 5). Setaria palmifolia
merupakan gulma yang toleran terhadap naungan (Santosa 2009). Perkembangan
gulma ini dikuatirkan akan mengintervensi habitat alami dan mengancam
keberadaan jenis tumbuhan asli (Tjitrosoedirjo 2007). Andaliman memiliki INP
sebesar 16.67% dengan kerapatan 5000 ind/ha. Frekuensi kemunculan andaliman
pada lokasi 1 ditingkat semai dan tumbuhan tingkat bawah merata pada semua jenis.
Hal ini menunjukkan kestabilan komunitas andaliman di tingkat semai. Tabel 5
menunjukkan kerapatan dan INP tingkat semai dan tumbuhan bawah pada lokasi 1.
Tabel 5 Kerapatan dan INP tingkat semai dan tumbuhan bawah lokasi 1
K KR FR INP
No Nama spesies
(ind/ha) (%) (%) (%)
1 Setaria palmifolia 20 000 26.67 10.00 36.67
2 Scleria purpurascens 10 000 13.33 10.00 23.33
3 Solanum pseudocapsicum 10 000 13.33 10.00 23.33
22
K KR FR INP
No Nama spesies
(ind/ha) (%) (%) (%)
4 Nephrolepis cordifolia 7 500 10.00 10.00 20.00
5 Pilea sp. 7 500 10.00 10.00 20.00
6 Molineria latifolia 5 000 6.67 10.00 16.67
7 Persicaria chinense 5 000 6.67 10.00 16.67
8 Zanthoxylum acanthopodium 5 000 6.67 10.00 16.67
9 Elatostema rupestre 2 500 3.33 10.00 13.33
10 Physalis sp. 2 500 3.33 10.00 13.33
Jumlah 75 000 100.00 100.00 200.00
Keterangan:
K=Kerapatan; KR=Kerapatan relatif; FR=Frekuensi relatif; INP=Indeks Nilai Penting
Lokasi 2
Lokasi 2 merupakan area hutan sekunder dengan kontur menurun, aktivitas
manusia sedikit atau hanya dilewati oleh beberapa peternak sapi. Andaliman
dikelilingi oleh pohon yang tingginya mencapai 30 m lebih dan ditemukan beberapa
burung dan bajing. INP tertinggi tingkat tiang sebesar 47.12% dimiliki oleh
Micromelum minutum (Tabel 6). Micromelum minutum merupakan salah satu dari
2 jenis Micromelum yang ditemukan di Indonesia, dengan habitat hutan sekunder
dan hutan primer (Uji 2005). Tabel 6 dan 7 menunjukkan kerapatan dan INP tingkat
tiang dan pancang di lokasi 2.
Tabel 8 Kerapatan dan INP tingkat semai dan tumbuhan bawah lokasi 2
K KR FR INP
No Nama spesies
(ind/ha) (%) (%) (%)
1 Nephrolepis cordifolia 14 375 15.03 9.30 24.34
2 Zanthoxylum acanthopodium 9 375 8.93 8.51 17.44
3 Chromolaena odorata 7 500 7.84 9.30 17.15
4 Cissus sp. 7 500 7.84 9.30 17.15
5 Solanum pseudocapsicum 7 500 7.84 9.30 17.15
6 Elatostema rupestre 8 750 9.15 6.98 16.13
7 Physalis sp. 8 125 8.50 6.98 15.47
8 Calopogonium mucunoides 4 375 4.58 9.30 13.88
9 Pilea sp. 6 250 6.54 6.98 13.51
10 Selaginella wildenovii 5 000 5.23 6.98 12.21
11 Persicaria chinense 6 875 7.19 4.65 11.84
12 Borreria ocymoides 3 750 3.92 6.98 10.90
13 Setaria palmifolia 5 625 5.88 4.65 10.53
14 Molineria latifolia 5 000 5.23 4.65 9.88
15 Scleria purpurascens 5 000 5.23 4.65 9.88
Jumlah 105 000 100.00 100.00 200.00
Keterangan:
K=Kerapatan; KR=Kerapatan relatif; FR=Frekuensi relatif; INP=Indeks Nilai Penting
Nilai INP tertinggi pada vegetasi tingkat semai dan tumbuhan bawah dimiliki
oleh Nephrolepis cordifolia sebesar 24.34% dengan kerapatan yang yang tinggi (14
375 ind/ha) (Tabel 8). Nephrolepis cordifolia merupakan tanaman gulma invasif
potensial yang menutupi permukaan tanah, mampu beradaptasi dengan baik pada
24
berbagai jenis tanah, toleran terhadap intensitas matahari yang tinggi dan tanah
terhadap kekeringan (Smith dan Riefner, 2015).
Andaliman memiliki INP kedua tertinggi pada tingkat semai dan tumbuhan
bawah sebesar 17.44% dengan kelimpahan yang tinggi sebesar 9 375 ind/ha (Tabel
8). Individu yang menempati habitat yang sama memiliki kecenderungan dan
toleransi lingkungan yang sama. Hal ini menunjukkan toleransi andaliman dan
Nephrolepis cordifolia terhadap lingkungan adalah sama yaitu toleran terhadap
sinar matahari dan tahan terhadap kekeringan. Ini mengindikasikan bahwa
andaliman toleran terhadap kehadiran gulma.
Lokasi 3
Lokasi 3 merupakah area persawahan berdasarkan interpretasi citra Landsat
8. Lokasi ini ditanami kopi oleh petani sebagai naungan bagi andaliman. Pada
tingkat tiang, nilai INP tertinggi dimiliki oleh Maesa perlarius sebesar 106.83%
(Tabel 9). Maesa perlarius merupakan tumbuhan liar daerah tropis, dan subtropis
yang beriklim sedang (Caris et al. 2000; Faizal et al. 2011) dapat ditemukan di tepi
hutan dan semak belukar. Tumbuh baik pada tempat terang dengan sinar matahari
langsung. Tumbuhan yang mendapatkan cahaya matahari secara langsung
umumnya akan menjadi naungan bagi tumbuhan dibawahnya yaitu pancang, semai
dan tumbuhan tingkat bawah. Tabel 9 menunjukkan kerapatan dan INP tingkat
tiang lokasi 3.
Nilai INP vegetasi tingkat pancang tertinggi sebesar 29.45% dimiliki oleh
andaliman, dengan kelimpahan yang tergolong tinggi sebanyak 1400 ind/ha (Tabel
10). Frekuensi kemunculan andaliman tergolong tinggi sebesar 10.53%. Nilai INP
kedua tertinggi dimiliki oleh Christella dentata sebesar 24.04%. Christella dentata
merupakan paku-pakuan yang memiliki sifat antibakterial, dengan habitat dataran
hingga hutan dataran tinggi (Thomas 2015). Habitat Christella dentata
menunjukkan kecocokan dengan habitat andaliman yang asal persebarannya adalah
daerah subtropis. Kerapatan dan INP tingkat pancang, semai dan tumbuhan bawah
ditunjukkan dalam Tabel 10 dan Tabel 11.
25
Tabel 11 Kerapatan dan INP tingkat semai dan tumbuhan bawah lokasi 3
K KR FR INP
No Nama spesies
(ind/ha) (%) (%) (%)
1 Persicaria chinense 12 500 19.61 11.11 30.72
2 Nephrolepis cordifolia 7 500 11.76 11.11 22.88
3 Pilea sp. 7 500 11.76 11.11 22.88
4 Zantoxylum acanthopodium 8 750 13.73 5.56 19.28
5 Elatostema rupestre 3 750 5.88 11.11 16.99
6 Molineria latifolia 3 750 5.88 11.11 16.99
7 Physalis sp. 3 750 5.88 11.11 16.99
8 Chromolaena odorata 5 000 7.84 5.56 13.40
9 Scleria purpurascens 3 750 5.88 5.56 11.44
10 Solanum pseudocapsicum 3 750 5.88 5.56 11.44
11 Setaria palmifolia 2 500 3.92 5.56 9.48
12 Cissus sp. 1 250 1.96 5.56 7.52
Jumlah 63 750 100.00 100.00 200.00
Keterangan:
K=Kerapatan; KR=Kerapatan relatif; FR=Frekuensi relatif; INP=Indeks Nilai Penting
Nilai INP vegetasi tingkat semai dan tumbuhan bawah tertinggi pada lokasi 3
sebesar 34.49% dimiliki oleh Persicaria chinense (Tabel 11). Menurut United
States Departement of Agriculture (USDA 2017) Persicaria chinense merupakan
salah satu gulma invasif beresiko karena dapat mendominasi perkebunan teh
dengan pertumbuhan yang cepat serta memiliki toleransi yang luas dalam berbagai
kondisi lingkungan. Habitat Persicaria chinense umumnya dibantaran sungai,
pembukaan lahan dan hutan sekunder, hutan yang terganggu. Berdasarkan
26
pendekatan ini, dapat disimpulkan bahwa andaliman dapat tumbuh bersama gulma
jenis Persicaria chinense. Andaliman memiliki INP tertinggi urutan keempat yaitu
19.28% dengan kelimpahan yang tinggi sebesar 8 750 ind/ha.
Lokasi 4
Lokasi 4 merupakan daerah di pinggiran hutan tanaman berdasarkan hasil
interpretasi citra Landsat 8, yang ditumbuhi dengan Coffee arabica. Analisis
vegetasi mendapatkan bahwa nilai INP tertinggi tingkat tiang dimiliki oleh Maesa
perlarius 78.97%, diikuti oleh Homalanthus populneus (63.03%), Coffee arabica
(48.73%) (Tabel 12). Tabel 12 dan Tabel 13 menyajikan kerapatan dan INP tingkat
tiang dan pancang pada lokasi 4
di India pada ketinggian 2 100 m dpl dan dimanfaatkan sebagai obat tradisional.
Kondisi ini memproyeksikan kemampuan andaliman untuk hidup dalam habitat
yang sama dan berdampingan dengan gulma Achyranthes aspera pada ketinggian
hingga 2 100 m dpl.
Tabel 14 menunjukkan Nilai INP tertinggi pada tingkat semai atau tumbuhan
bawah dimiliki oleh Setaria palmifolia (26.13%). Pada lokasi ini, frekuensi
kehadiran Setaria palmifolia pada plot pengamatan lebih besar dari pada andaliman,
bahkan dibandingkan dengan jenis lain. Meskipun demikian kelimpahan andaliman
pada lokasi ini tergolong tinggi sebesar 8 750 ind/ha. Setaria palmifolia merupakan
tanaman invasif beresiko tinggi di Hawai dari kelompok palem yang berasal dari
Asia sebagai tanaman hias, tumbuh dengan cepat dapat menganggu komunitas flora
asli dan ekosistem (USFWS 2000).
Tabel 14 Kerapatan dan INP tingkat semai dan tumbuhan bawah lokasi 4
K KR FR INP
No Nama spesies
(ind/ha) (%) (%) (%)
1 Setaria palmifolia 6 250 14.71 11.43 26.13
2 Zanthoxylum acanthopodium 8 750 17.07 7.89 24.97
3 Borreria ocymoides 5 625 13.24 11.43 24.66
4 Persicaria chinense 5 625 13.24 11.43 24.66
5 Scleria purpurascens 5 625 13.24 11.43 24.66
6 Selaginella wildenovii 5 625 13.24 11.43 24.66
7 Cissus sp. 5 000 11.76 11.43 23.19
8 Calopogonium mucunoides 4 375 10.29 11.43 21.72
9 Pilea sp. 2 500 5.88 11.43 17.31
10 Physalis sp. 1 875 4.41 8.57 12.98
Jumlah 42 500 100.00 100.00 200.00
Keterangan:
K=Kerapatan; KR=Kerapatan relatif; FR=Frekuensi relatif; INP=Indeks Nilai Penting
andaliman sama dengan tiga spesies lain yang merupakan gulma. Namun dominasi
tingkat pancang tetap dimiliki oleh andaliman disebabkan oleh kelimpahan yang
tergolong tinggi (1 300 ind/ha) pada lokasi pengamatan. Hal ini menunjukkan
kemampuan toleransi andaliman yang tinggi terhadap kehadiran gulma dalam
pertumbuhannya.
Vegetasi tingkat semai dan tumbuhan bawah di sekitar andaliman di dominasi
oleh Setaria palmifolia (INP=36.67%) dengan kerapatan 20 000 ind/ha, diikuti oleh
(Tabel 15), diikuti oleh Persicaria chinense (37.32%), andaliman (24.97%) dan
Borreria ocymoides (24.66%). Kelimpahan andaliman menempati urutan ketiga
pada tingkat semai dan tumbuhan bawah. Vegetasi tingkat semai dan tumbuhan
bawah yang mendominasi secara bersama-sama dengan andaliman merupakan
kelompok gulma. Hal ini menguatkan kemampuan toleransi andaliman terhadap
gulma. Hasil ini mendukung pendapat Sutisna (1981) yang menyatakan bahwa
suatu jenis tingkat semai dikatakan penting jika nilai INP lebih dari 10%.
hama tanaman seperti ulat pemakan daun, ulat penggerek batang dan hama daun
keriting. Hal ini merupakan pembelajaran yang berharga bagi petani andaliman,
karena umumnya mereka adalah petani andaliman yang otodidak, dan minimnya
pengetahuan tentang budidaya andaliman baik dalam bentuk informasi, pelatihan
atau penyuluhan.
Tabel 16 Indeks Shannon (H’), indeks Margalef (R1), indeks kekayaan jenis (E’)
di lokasi penelitian
Nilai H' Nilai R1 Nilai E
Lokasi
T P S T P S T P S
1 1.06 2.07 2.15 1.12 2.38 2.40 0.77 0.99 0.98
2 2.15 2.54 2.61 2.72 2.45 2.58 0.98 0.99 0.99
3 1.49 2.40 2.32 1.61 2.94 2.64 0.93 0.97 0.97
4 1.73 0.19 2.18 0.84 1.45 1.89 0.97 0.99 0.99
Keterangan:
H’=Indeks keanekaragaman jenis; R1=Indeks kekayaan jenis; E=Indeks
kemerataan jenis; T=Tiang; P=Pancang; S=Semai
lokasi tersebut termasuk dalam kategori rendah. Sedangkan pada lokasi 2 nilai R 1
> 2.5 menunjukkan bahwa kekayaan jenis pada lokasi 2 masuk dalam kategori
moderat. Pada tingkat pancang, nilai R1 pada lokasi 1, 2, dan 4 lebih kecil dari 2.5
yang termasuk dalam kategori rendah, sedangkan lokasi 3 dengan nilai R 1 sebesar
2.94 termasuk dalam kategori moderat. Kekayaan jenis tingkat semai dan tumbuhan
bawah pada lokasi 1 dan 2 tergolong rendah karena nilai R1 lebih kecil dari 2.5
sedangkan nilai R1 lebih besar dari 2.5 berada pada lokasi 2 dan 3 dengan kategori
moderat. Tabel 16 menunjukkan nilai R1 pada tingkat semai mengalami kenaikan,
hal ini menunjukkan pertambahan petak ukur seiring dengan peningkatan jumlah
jenis dengan jumlah individu yang semakin sedikit.
Indeks Similarity
Setiadi (2005) mengemukakan bahwa kondisi mikrositus yang relatif
homogen akan ditempati oleh individu dari jenis yang sama, karena spesies tersebut
secara alami telah mengembangkan mekanisme adaptasi dan toleransi terhadap
habitatnya. Semakin kecil nilai indeks similaritas semakin rendah tingkat
kesamaannya, hal ini disebabkan oleh variasi kondisi lingkungan, maupun interaksi
antar spesies sehingga spesies yang hidup beragam. Nilai indeks kesamaan spesies
dari 4 lokasi pengamatan sebesar 0.170 (17%), yang termasuk dalam kategori
rendah karena IS mendekati 0%. Alasan lain yang menjadi penyebab rendahnya
nilai IS pada lokasi pengamatan adalah ketinggian lokasi penelitian berada diatas 1
200 m dpl. Kondisi ini relevan dengan teori yang menyatakan bahwa setiap
ketinggian tertentu akan memperlihatkan fisiognomi spesies penyusun komunitas
yang berbeda pula (Clement 1978). Hal inilah yang menyebabkan keberadaan
suatu spesies tumbuhan dapat dijadikan sebagai indikator suatu lingkungan.
Kelimpahan andaliman pada masing-masing lokasi tingkat semai dan pancang
ditunjukkan pada Gambar 7.
Hal yang unik dalam penelitian ini menunjukkan adanya indikasi
ketidakseimbangan yang signifikan dalam laju regenerasi semai menjadi pancang.
Gambar 7 menunjukkan kerapatan andaliman tinggi pada tingkat semai tidak diikuti
dengan pertumbuhan pada tingkat pancang. Pertumbuhan andaliman tingkat
pancang cenderung tertekan karena anakan alami yang tumbuh dihutan umumnya
digunakan oleh petani sebagai bibit untuk upaya budidaya pada lahan yang
dianggap sesuai oleh petani. Kondisi ini menjadi titik kritis keberadaan andaliman
31
di habitat alaminya. Jika keadaan yang demikian dibiarkan terus menerus terjadi
tanpa pencegahan dan penanganan yang tepat, maka andaliman akan semakin sulit
ditemukan dihabitat aslinya. Hal ini akan mendorong kepunahan bagi andaliman
sebagai tumbuhan rempah khas suku Batak.
10000 9357
8750 8750
9000
8000
7000
6000
ind/ha
5000
5000
4000
3000
2000 1200 1200 1400 1300
1000
0
Tanah terbuka Hutan tanaman Ladang terbuka Hutan tanaman
1 2 3 4
Lokasi penelitian
Pancang Semai
Secara alami pola spasial awal tumbuhan hampir selalu mengelompok. Pola
selanjutnya tergantung proporsi faktor lingkungan dan pengaruh persaingan
individu dalam kelompok (Leps dan Kindlmann, 1987). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pola sebaran andaliman berdasarkan jarak terdekat antara
individu berbeda-beda pada setiap lokasi pengamatan. Pada lokasi 1 nilai indeks
Morisita standar (Ip) sebesar 0.00 yang bersesuaian dengan pola distribusi acak.
Pada lokasi 2 memiliki nilai Ip = -0.77 dan nilai Ip = -0.09 pada lokasi 3,
bersesuaian dengan pola distribusi seragam, sedangkan lokasi 4 memiliki nilai Ip =
0.364 yang bersesuaian dengan pola distribusi bergerombol. Hasil perhitungan
indeks Morisita disajikan dalam Tabel 17.
Lokasi 1 mempunyai pola sebaran acak, hal ini dikarenakan lahan terbuka ini
merupakan ladang bekas dibakar oleh petani. Pola acak ini sesuai dengan pendapat
Leps dan Kindlmann (1987) menyatakan bahwa pola acak dipengaruhi oleh
bencana (Catastrophic) dan kompetisi interspesifik (jika salah satu spesies
menunjukkan pola gabungan, kemungkinan besar kompetitor juga memiliki pola
yang sama). Kompetisi intraspesifik tumbuhan yang dimaksud adalah tanaman kopi.
Karena kopi merupakan tanaman dengan frekuensi terbanyak dibandingkan dengan
andaliman.
Lokasi 2 merupakan hutan tanaman yang dirambah oleh petani dan lokasi 3
merupakan area lahan terbuka. Dengan demikian petani lebih leluasa untuk
memindahkan anakan dari hutan dengan jarak tiga sampai lima meter, sehingga
area ini merupakan area yang didominasi oleh andaliman. Hal ini menyebabkan
ditemukannya pola spasial seragam pada lokasi 2 dan 3. Pola ini mendukung
pendapat Leps dan Kindlmann (1987) yang menyatakan bahwa pola spasial
tanaman yang bernaung pada hutan tanaman dengan tutupan tajuk relatif rapat
cenderung memiliki pola distribusi spasial seragam.
Pola mengelompok sering teramati dalam populasi lokal terutama di habitat
tambal sulam. Pola mengelompok pada skala spasial akan sesuai dengan ukuran
tambalan dan menjadi hasil variasi spasial dalam mortalitas dan pembentukan
tanaman yang disebabkan oleh tambalan dari lingkungan (Suzuki et al. 2005). Teori
ini didukung oleh penelitian pada lokasi 4 yang merupakan area hutan tanaman
tetapi sudah digunakan sebagai lahan untuk budidaya andaliman dalam waktu yang
lama (20 tahun).
Alasan lain adalah berdasarkan review pengukuran indeks Morista oleh
Bleher et al. (2002) dengan pendekatan simulasi menyatakan bahwa pengukuran
indeks Morisita pada petak kuadrat lebih kecil dari 20 m, sering tidak mampu
33
membedakan antara pola seragam dan acak. Hal ini juga terjadi pada lokasi transek
yang berukuran 10 m hal inilah yang mempengaruhi pola sebaran yang berbeda
berdasarkan perhitungan index Morisita.
Odum (1993) menyatakan bahwa pola distribusi bergerombol dalam tiap-tiap
kelompok ada kemungkinan besar tersebar secara acak, seragam ataupun secara
bergerombol. Perbedaan pola distribusi akibat proses reproduksi dan akibat daya
tarik sosial. Distribusi intern andaliman di Pulau Samosir menunjukkan pola acak,
seragam, dan mengelompok. Perbedaan pola sebaran andaliman di Pulau Samosir
dipengaruhi oleh daya tarik sosial yakni nilai jual andaliman yang tinggi. Nilai
ekonomi menjadi motif petani dalam mengembangkan andaliman dengan cara
memindahkan anakan baru dari habitat alaminya ke lahan pertanian yang sesuai
menurut petani.
Secara garis besar wilayah Kab Samosir terbentuk oleh bahan batuan vulkan
dari Toba (dasit) dan sedikit andesit. Landform wilayah Kab. Samosir dibedakan
menjadi tiga group yaitu aluvial, vulkanik, dan tektonik (BBSLDP 2016). Keadaan
tanah Kabupaten samosir terdiri atas 6 jenis tanah yang diturunkan menjadi 10
macam tanah (Soil Taxonomy 2014; BBSDLP 2016). Jenis tanah tersebut adalah
aluvial, litosol, gleisol, andosol, kambisol, dan podsolik. Perbedaan group tanah
disebabkan oleh perbedaan iklim dan tofografi yang mempengaruhi perkembangan
bahan induk dari masing-masing daerah. Turunan macam tanah dapat dilihat dalam
Tabel 18.
kehadiran andaliman lebih tinggi (antara 73.0 sampai 85.7) daripada tanah
ketidakhadiran andaliman (antara 39.2 sampai 64.9). Hal ini disebabkan oleh
pemadatan tanah akibat aktivitas manusia pada titik kehadiran andaliman lebih
sedikit daripada titik ketidakhadiran andaliman. Aktivitas tersebut berupa mencari
kayu bakar, menggembalakan ternak, maupun hanya melintas yang ditunjukkan
dengan adanya jalan setapak pada lahan atau berkebun.
Kadar air yang terkandung dalam tanah kehadiran andaliman pada pF1, pF2,
pF2.54 dan pF4.2 menunjukkan perbedaan yang signifikan. Demikian juga dengan
kadar air pada tanah ketidakhadiran andaliman (Tabel 19). Nilai pF menunjukkan
banyaknya air yang terkandung dalam tanah pada hisapan matrik tertentu.
Kandungan air pada kondisi kapasitas lapang (pF2.54) sampai kondisi titik layu
permanen (pF4.2) memiliki kadar air yang lebih rendah dibandingkan pada keadaan
pF1 dan pF2. Kadar air pada kapasitas lapang titik kehadiran andaliman berada pada
kisaran 34.6 – 38.8% dan pada kondisi titik layu permanen berkisar antara 15.1–
23.2% (Tabel 19). Kadar air kapasitas lapang memiliki peranan penting bagi
pertumbuhan tanaman, karena memberikan kelembapan yang tinggi pada tanaman
untuk berkembang dengan baik tanpa kekurangan air. Sebaliknya jika nilai kadar
air pada kondisi layu permanen tinggi, menyebabkan tumbuhan sulit mendapatkan
air dengan mudah. Kondisi air dipengaruhi oleh bahan organik dan tekstur tanah.
Semakin tinggi kadar bahan organik dalam tanah, semakin tinggi juga kemampuan
tanah untuk mempertahankan air. Semakin halus tekstur tanah maka kemampuan
tanah mengikat air semakin tinggi.
Nilai kadar air pada semua pF pada tanah kehadiran andaliman lebih tinggi
daripada tanah ketidakhadiran andaliman. Beberapa hal yang menyebabkan
terjadinya perbedaan ini adalah pengolahan tanah, dan kondisi lahan tahun sekarang
36
Proporsi (%)
Kelas tekstur
Titik fraksi tanah
pasir debu liat
Mogang 2.0 63.0 35.0 Lempung liat berpasir
Nainggolan 50.0 42.0 8.0 Lempung berpasir
Onanrunggu 86.0 9.0 5.0 Pasir
Rianiate 85.0 7.0 8.0 Pasir
Simanindo 71.0 11.0 8.0 Pasir
Tomok 62.0 22.0 16.0 Lempung berpasir
Keterangan:
HR=Harangan Londut; LS=Lumban Sinurat; PT=Partukkoan; Sado=Salaon Dolok;
Sumber=Laboratorium fisika tanah IPB, Bogor 2017
Tabel 22 Hasil analisis pH dan KTK titik kehadiran dan ketidakhadiran andaliman
pH Nilai Tukar Kation
Titik
H2 O KCL Ca Mg K Na Jumlah KTK KB*%
Titik kehadiran andaliman
HR1 4.8 3.9 2.0 0.8 0.3 0.0 3.1 29.5 11.0
HR2 4.8 4.0 2.7 1.0 0.5 0.1 4.2 36.9 12.0
LS 5.9 5.1 7.8 3.1 0.7 0.1 11.6 36.0 32.0
PTa 4.6 4.0 1.2 0.6 0.1 0.1 2.0 22.4 9.0
PTb 4.8 4.0 1.6 0.7 0.2 0.1 2.6 24.3 11.0
PTc 4.8 3.9 1.6 0.7 0.3 0.1 2.6 28.1 9.0
PTd \4.7 3.9 1.6 0.7 0.2 0.1 2.5 31.1 8.0
Sado 1 4.7 4.2 1.8 0.6 0.2 0.0 3.2 18.5 30.9
Sado 2 4.7 4.1 1.7 0.6 0.3 0.5 3.1 32.4 18.9
Titik ketidakhadiran andaliman
Mogang 5.7 4.6 7.5 3.4 0.5 0.2 11.6 21.3
54.4
Nainggolan 7.1 6.2 9.9 1.7 0.5 0.1 12.1 12.1
>100
Onanrunggu 6.8 6.1 5.6 1.0 0.4 0.3 7.3 8.1
90.3
Rianiate 7.4 6.7 6.3 1.4 0.1 0.1 7.8 7.3
>100
Simanindo 6.5 5.8 3.5 1.1 0.3 0.0 4.9 6.3
77.6
Tomok 6.5 5.5 9.7 1.2 0.4 0.1 11.4 13.3
85.7
Keterangan:
KTK=Kapasits Tukar Kation; KB=Kejenuhan Basa; HR=Harangan Londut; LS=Lumban
Sinurat; PT=Partukkoan; Sado=Salaon Dolok; Sumber=Laboratoriun kimia BBSLDP
Bogor, 2017
Nilai KTK pada tanah kehadiran andaliman tergolong sedang dan tinggi,
berkisar antara 18.5 sampai 36.9 sedangkan tanah ketidakhadiran andaliman
memiliki nilai KTK yang tergolong rendah hingga sedang berkisar antara 6.3
sampai 21.3 (Tabel 22). Muklis (2007) menyatakan bahwa nilai KTK bergantung
pada tekstur tanah, tipe mineral liat tanah dan kandungan bahan organik. Semakin
tinggi kadar liat atau tekstur tanah yang semakin halus akan meningkatkan nilai
KTK, dan kandungan bahan organik tanah yang semakin tinggi akan meningkatkan
nilai KTK. KTK juga menjadi salah satu indikator kesuburan tanah karena
39
Berdasarkan nilai NDVI, maka kerapatan tajuk dibagi dalam tiga kategori
yakni: (1) jarang (vegetasi 50%) dengan nilai NDVI berkisar antara -0.1 sampai
0.31, (2) sedang (vegetasi 50 sampai 70%) dengan nilai NDVI berkisar antara 0.32
sampai 0.42, dan (3) lebat (vegetasi 70 sampai 100%) dengan nilai NDVI berkisar
antara 0.43 sampai 1 (Departemen Kehutanan 2005). Gambar 17 menunjukkan nilai
NDVI Pulau Samosir berkisar antara -0.405 sampai 0.410 yang berarti nilai
kehijauan vegetasi Pulau Samosir secara keseluruhan tergolong sedang.
Gambar 18 menunjukkan respon sebaran titik andaliman ditemukan pada
rentang nilai 0.025 sampai 0.304. Berdasarkan pembagian objek nilai NDVI pada
Citra Landsat 8, nilai NDVI 0.025 bersesuaian dengan tanah kering dan nilai 0.2
45
sampai 0.3 bersesuaian dengan padang rumput dan semak belukar (Febrianti dan
Parwati, 2014). Hal ini menunjukkan bahwa andaliman hidup pada tingkat
kerapatan vegetasi yang jarang.
Ditinjau dari sisi spasial, kehadiran andaliman ditemukan pada lokasi dengan
nilai NDVI antara 0.105 sampai 0.305, dan nilai BSI berkisar antara -0.32 sampai
1 (Tabel 23). Semakin tinggi nilai NDVI dan NDMI maka areal tersebut memiliki
47
kerapatan vegetasi dan penutupan tajuk yang tinggi. Berdasarkan titik kehadiran
andaliman, diketahui bahwa andaliman ditemukan pada areal denga curah hujan 1
605.7 sampai 1 753.7 mm/tahun dan nilai NDMI berkisar antara 0.653 sampai
0.774. Hal ini memperlihatkan bahwa andaliman dapat tumbuh optimal pada curah
hujan 1 849.3 mm/tahun dengan tingkat kelembapan vegetasi tergolong lembab.
Habitat andaliman di Pulau Samosir berada pada ketinggian 1 300 sampai
1 961 m dpl. Berdasarkan kelas ketinggian dengan mempertimbangkan perubahan
suhu setiap kenaikan 100 m, dapat diketahui sebagian besar (97.4%) andaliman
tumbuh pada ketinggian 1 400 sampai 1 600 m dpl. Menurut Hartley (1966)
andaliman tumbuh pada ketinggian lebih dari 1 300 m dpl. Ketinggian tempat
tumbuh andaliman menunjukkan bahwa andaliman merupakan tumbuhan dataran
tinggi. Andaliman dapat ditemukan pada kelerangan datar (> 1%) sampai
bergelombang (8 – 15%) namun andaliman tumbuh optimal pada kelerengan agak
datar (1 – 3%) dan berombak (3 – 8%). Tabel 23 menunjukkan karakteristik spasial
habitat andaliman di Pulau Samosir.
Tabel 25 Hasil analisis PCA Nilai eigenvalues terhadap PC1 dan PC2
Initial Eigenvalues
Compo
Cumulative
nent Total % of Variance
%
1 3.187 53.114 53.114
2 1.679 27.990 81.104
3 0.604 10.066 91.169
4 0.313 5.223 96.393
5 0.214 3.561 99.953
6 0.003 0.047 100.00
Nilai eigenvalue pada PC1 dan PC2 dijadikan sebagai bobot untuk menduga
komposisi data dari seluruh variabel habitat andaliman yang sesuai. Selanjutnya
persamaan kesesuaian habitat andaliman dapat dibentuk dengan persamaan sebagai
berikut:
Y = 3.187(PC1) + 1.679(PC2) (30)
Keterangan:
Y = Nilai kesesuaian habitat andaliman
PC1 = Komponen utama pertama
PC2 = Komponen utama kedua
Berdasarkan pembobotan dalam Tabel 26 menunjukkan bahwa variabel yang
paling berpengaruh pada PC1 adalah faktor fisik yaitu keterbukaan lahan (BSI)
dengan hubungan yang bersifat negatif sebesar -0.887, semakin negatif nilai BSI
50
Areal dengan kategori sesuai ditemukan sebesar 36.17% (233 326 ha) dari
luas Pulau Samosir (Gambar 22). Kehadiran andaliman lebih banyak ditemukan
pada areal ini yakni 37 titik (67.3%), dibandingkan dari kelas kesesuaian yang lain.
Secara umum areal ini terdiri atas areal hutan tanaman, pertanian tanah kering dan
sawah, bahkan tanah terbuka dengan karakteristik lahan yang berbeda (Tabel 27).
Hal ini mengindikasikan habitat andaliman telah terfragmentasi dan berpotensi
menjadi ancaman bagi kelestarian andaliman. Disisi lain fragmentasi habitat
andaliman menjadi peluang keberadaan andaliman yang relatif tinggi dan bisa
dijadikan sebagai areal prioritas peningkatan kualitas bagi pengelola andaliman,
baik untuk konservasi, pengembangbiakan serta regenerasi andaliman. Andaliman
51
lebih banyak ditemukan pada daerah dengan kelas sesuai, diikuti dengan kelas
kesesuaian sangat tinggi dan kesesuaian sedang.
Ditinjau dari perspektif petani, fragmentasi habitat andaliman memiliki
pengaruh negatif antara lain: a) petani kehilangan waktu yang produktif untuk
mengupayakan usaha tanah yang letaknya berpencar b) pengawasan terhadap apa
yang diusahakan pada masing-masing tanah menjadi sukar c) petani tidak leluasa
memilih tanaman yang paling menguntungkan d) banyak tanah yang produktif
dikorbankan untuk pematang e) pembagian air pengairan sukar diatur f) alat-alat
mekanis tidak dapat digunakan
Berdasarkan validasi model, kategori kesesuaian cukup sesuai terdapat pada
areal seluas 25% (161 348 ha) dari luas Pulau Samosir (Tabel 27). Hasil interpretasi
penggunaan lahan, areal ini seluruhnya merupakan areal pertanian lahan kering.
Dengan demikian areal ini dapat dijadikan areal alternatif untuk konservasi
andaliman, dengan mempertimbangkan faktor ketinggian wilayah. Kehadiran titik
andaliman pada area ini sangat sedikit yakni 2 titik (0.036%) (Tabel 27).
hanya sebesar 6.95% dalam kurun waktu 10 tahun. Angka ini sangat rendah
dibandingkan dengan peningkatan yang terjadi di kabupaten lain di sekitar kawasan
DTA Danau Toba.
Penggunaan lahan suatu daerah menggambarkan keadaan sosial, ekonomi
masyarakat yang tinggal di daerah tersebut. Meurut data Dinas Pertanian, Perikanan,
dan Peternakan Kabupaten Samosir penggunaan lahan Kab. Samosir dibedakan
menjadi lahan untuk sawah irigasi teknis, sawah irigasi setengah teknis, sawah
irigasi sederhana, sawah irigasi desa/non PU, sawah tadah hujan, sawah pasang
surut, sawah lebak, dan lahan bukan sawah yang terdiri dari tegal, ladang,
perkebunan.
Masyarakat Kabupaten Samosir umumnya bekerja di sektor pertanian
(pertanian, perkebunan, kehutanan, pemburuan, dan perikanan), diikuti jasa
kemasyarakatan, sosial dan perorangan, sektor perdagangan, rumah makan dan jasa
akomodasi, sektor konstruksi, sektor transportasi, komunikasi dan sektor
kelembagaan keuangan dan usaha persewaan.
yang menjawab “mudah” biasanya mengambil anakan alami secara langsung dari
hutan dan responden yang menjawab “sangat sulit” dikarenakan responden telah
mencoba mengembangkan bibit andaliman dari biji dengan keberhasilan yang
sangat rendah.
Demikian juga dengan proses penanaman andaliman, tujuh responden
menjawab “sangat mudah” dan “mudah” untuk tiga responden lain. Pemeliharaan
tanaman andaliman (pemupukan, pengairan, pemberantasan hama) tergolong
mudah bagi semua responden. Menurut responden pemeliharaan andaliman, cukup
dengan memastikan tumbuhanan tingkat bawah/semai disekitar andaliman tidak
lebih tinggi dari andaliman, dan sebaiknya menghindari andaliman terlalu bersih
dari tumbuhan tingkat bawah lainnya karena dapat mengakibatkan daun andaliman
menjadi keriting oleh ulat.
Kesulitan bagi para responden adalah masa pemanenan/pemetikan andaliman.
Karena andaliman memiliki duri di sepanjang batang, cabang dan daun yang cukup
tajam. Sehingga responden perlu menggunakan pelindung seperti sepatu boot, baju
berlengan panjang, dan penutup kepala. Kurangnya disiplin responden
menggunakan pelindung, menyebabkan luka akibat tusukan dan gesekan pada
tubuh responden. Ketersediaan bibit anakan alami dalam hutan, membuat
responden tidak mengalami kendala yang berarti dalam hal penyediaan bibit, dan
responden tidak perlu mengeluarkan biaya untuk memperoleh bibit.
Responden juga tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan untuk pembelian
pupuk, berbeda dengan tanaman budidaya lainnya yang memerlukan pemupukan
yang teratur. Menurut responden, andaliman hanya memerlukan pupuk kompos
bukan pupuk sintesis. Pengalaman responden, pemberian pupuk sintesis akan
memperpendek usia produktif tanaman andaliman, sehingga pupuk terbaik adalah
pupuk kompos yang diberikan satu kali dalam setahun. Alasan lain adalah tanah
yang ditumbuhi andaliman merupakan tanah yang subur. Dengan demikian
frekuensi serangan hama penyakit tanaman akan menjadi rendah. Pada saat yang
sama andaliman tidak memerlukan pengairan yang intensif dan tidak mensyaratkan
kedekatan dengan sumber aliran air.
Dalam pertumbuhannya, tanaman andaliman memerlukan tegakan/pohon
pelindung. Hal ini sesuai dengan jawaban responden “ya” oleh semua responden.
Menurut responden tanaman pelindung andaliman yang sesuai seperti pohon
makkade, hoting, hartolu, sibosa, dapdap, dan kopi. Ketiadaan pohon pelindung
akan mengakibatkan kematian bagi andaliman. Pola tanam budidaya andaliman
oleh responden berupa pola tanam monokultur dan polikultur (tanaman campuran).
Pola tanam monokultur andaliman berbeda dengan pola tanam monokultur kelapa
sawit atau kopi. Dalam pola tanam monokultur andaliman masih ditemukan
tumbuhan lain tingkat pancang, bahkan tingkat tiang (lihat Tabel 15), namun yang
mendominasi adalah andaliman.
Jenis kultivar andaliman yang ditanam oleh responden berbeda-beda,
beberapa responden mengetahui perbedaan karakteristik buah, bau, duri dan warna
andaliman. Namun saat ditanya jenis/nama kultivar andaliman yang ditanam,
responden tidak dapat menyebutkan secara jelas nama kultivar. Hampir semua
responden setuju bahwa mereka memilih kultivar andaliman dengan ciri buah
andaliman lebih wangi, lebih kecil dan berbuah banyak yang merupakan
karakteristik kultivar simanuk.
56
c. Pengantin baru bertempat tinggal atau hidup menetap pada pusat kediaman
kekerabatan dari suami.
d. Para pria mempunyai kedudukan yang tinggi dalam kehidupan masyarakat.
Menurut pemerhati masalah-masalah sosial bahwa land and resource tenure
mengacu pada relasi sosial yang ditentukan dalam setiap sistem penguasaan,
pemanfaatan, pengelolaan tanah dan sumber alam lainnya, baik yang diakui
maupun yang tidak diakui oleh hukum Negara yang berlaku (Affandi dan Harianja,
2010). Relasi sosial yang terbentuk diantara individu dalam satu kelompok
masyarakat, antara kelompok masyarakat satu dengan kelompok masyarakat
lainnya, termasuk pula antara rakyat dan pemerintah dalam suatu negara. Dalam
relasi sosial ini juga terkandung dalam berbagai perspekstif seperti relasi gender,
kelas (baik perspektif ekonomi dan sosial), hubungan antar etnik, budaya dan
kelompok umur.
Sinaga (1997) menyatakan bahwa kehidupan sosial masyarakat kawasan
DTA Danau Toba masih terikat kuat dengan budaya dan adat Batak terutama dalam
hal sistem kekerabatan (marga) dan silsilah asal-usul (tarombo) yang berhubungan
secara langsung dengan sistem pewarisan (termasuk di dalamnya sistem pemilikan
dan penguasaan lahan. Dengan demikian pewarisan khususnya kepemilikan dan
penguasaan lahan bagi masyarakat Toba sangat berhubungan erat dengan proses
pengambilan keputusan yang melibatkan seluruh anggota keluarga. Jika dalam
proses pengambilan keputusan (musyawarah) anggota marga terdapat satu orang
saja yang tidak menyetujui hasil musyawarah, maka keputusan tersebut akan batal
dengan sendirinya. Situasi ini mengakibatkan munculnya kesulitan pemanfaatan
lahan secara intensif, baik untuk tujuan konservasi maupun tujuan peningkatan
produktivitas lahan di kawasan DTA Danau Toba.
Hutan Pulau Samosir merupakan kawasan samosir register 43 di daerah
Kecamatan Ronggur Nihuta, kawasan samosir register 81 di daerah Kecamatan
Palipi, daerah ini merupakan daerah ditemukannya titik kehadiran andaliman.
Affandi dan Harianja (2010) membagi kepemilikan lahan kawasan DTA Danau
Toba termasuk Pulau Samosir dalam lima kelompok yaitu :
1. Lahan milik individu (lahan yang dimiliki secara perorangan atau individu
tertentu). Lahan ini sebagian besar diperoleh berdasarkan warisan orang tua,
pemberian saudara, dan hasil pembelian. Hasil wawancara terhadap sepuluh
responden petani andaliman menunjukkan bahwa hanya dua responden yang
melakukan budidaya andaliman pada lahan milik sendiri, dan satu responden
menanam andaliman pada tanah garapan.
2. Lahan milik individu yang pemiliknya tinggal di luar kawasan DTA Danau
Toba (lahan ini milik perorangan tetapi pemiliknya tinggal di luar kawasan
DTA Danau Toba)
3. Lahan milik marga (lahan milik bersama/komunal dari keturunan tertentu dan
belum dibagi-bagi kepada anggota marga (marga adalah garis kekerabatan
menurut garis keturunan ayah/patrilineal). Pola pemanfaatan lahan marga ini
berupa lahan kosong dan hutan adat (marga). Hasil wawancara menunjukkan
bahwa dua responden memanfaatkan hutan adat sebagai lahan untuk
budidaya andaliman.
4. Lahan milik swasta (lahan negara yang dikuasai oleh pihak swasta atau
perusahaan setelah mendapatkan izin dari negara). Pola pemanfaatan lahan
milik swasta ini berupa lahan konsesi hutan maupun perkebunan.
58
5. Lahan milik negara (lahan yang tidak dibebani hal milik). Umumnya pola
pemanfaatan lahan ini berupa hutan produksi atau hutan lindung. Meskipun
demikian banyak juga ditemukan lahan kosong yang perlu direhabilitasi.
Dalam wawancara mendalam ditemukan empat responden yang
menggunakan hutan negara sebagai lahan budidaya andaliman. Hal ini
menjadi menyebabkan konflik antara petani andaliman dengan UPTD
Kehutanan Samosir. Petani andaliman menyadari bahwa apa yang petani
lakukan melanggar hukum, namun tetap melanjutkan usaha budidaya
andaliman di lahan milik negara oleh karena motif ekonomi.
140000 131987,8
116035
120000
94561
100000 88159
74502
80000 66866
60000 53432,5
40000 26566
Simpulan
Sifat fisik tanah yang menjadi syarat tumbuh andaliman adalah fraksi tanah
yang didominasi liat dan lempung, tekstur tanah halus, bobot isi tanah (bulk density)
yang rendah tetapi porositas tanah tinggi, sedangkan sifat kimia tanah syarat
tumbuh andaliman adalah kandungan bahan organik C dan N yang sedang sampai
tinggi, pH sangat masam hingga masam, KTK sedang sampai tinggi. Karakter
spasial yang paling berpengaruh pada habitat andaliman adalah faktor fisik yakni
keterbukaan lahan (BSI), yang sedikit terbuka seperti areal semak belukar diikuti
dengan kelerangan (agak datar dan sedikit berombak), dan mensyaratkan
ketinggian diatas 1 300 m dpl yang merepresentasikan iklim daerah sedang dan
sejuk. Andaliman memerlukan curah hujan yang cukup/sedang dengan kerapatan
tajuk yang jarang serta kelembapan udara yang tinggi.
Kelimpahan andaliman tingkat pancang hampir sama pada semua lokasi
penelitian meskipun pola penggunaan lahan berbeda. Lokasi 1 dan 3 merupakan
ladang terbuka berbeda dengan lokasi 2 dan 4 merupakan hutan tanaman. Lokasi 3
mempunyai kerapatan andaliman tingkat pancang terbanyak dan tingkat semai
terbanyak ditemukan pada lokasi 2. Lokasi 2 merupakan hutan tanaman yang cukup
jauh dari lintasan petani, lokasi ini dijadikan sumber anakan alami andaliman untuk
keperluan budidaya andaliman. Pola sebaran dan kelimpahan andaliman
dipengaruhi oleh aktivitas manusia, lokasi yang sudah mendapatkan campur
tangan/aktivitas manusia memiliki kelimpahan andaliman tingkat pancang yang
lebih besar, dibandingkan dengan daerah yang sedikit aktivitas manusia.
Kelimpahan andaliman tingkat semai terbanyak ditemukan pada areal dengan
sedikit aktifitas manusia. Pola sebaran andaliman berbeda diantara lokasi
pengamatan, yang dipengaruhi oleh daya tarik sosial andaliman yakni nilai jual
yang tinggi dan pola tanam andaliman yakni sistem tambal sulam yang diterapkan
oleh petani.
Model kesesuaian habitat andaliman menunjukkan tingkat kesesuaian 92.7%
yang terdiri atas 25.4 % kategori sangat sesuai dan 67.3% kategori sesuai. Pulau
62
Samosir memiliki areal yang sangat sesuai bagi habitat andaliman seluas 15.311 ha
(2.4%), dan areal yang sesuai seluas 233 326 ha (36.17%). Ditinjau dari luasnya
areal yang sesuai maka Pulau Samosir merupakan daerah yang sangat potensial
untuk meningkatkan produksi andaliman.
Andaliman secara signifikan menjadi sumber mata pencaharian andaliman
kedua setelah kopi. Biaya yang dikeluarkan petani untuk budidaya andaliman jauh
lebih sedikit dibandingkan biaya budidaya kopi, jahe, dan cengkeh. Andaliman
memberi pengaruh positif pada kehidupan sosial dan ekonomi petani andaliman di
Pulau Samosir.
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Abdi H, William LJ. 2010. Principal Component Analysis. John Wiley & Sons Inc.
WIREs Comp Stat 2:433–459.
Aulia D, Ayu SF. 2016. Analisis Saling Hubungan Antara Nilai Tukar Petani dan
Angka Harapan Hidup di Sumatera Utara. Jurnal Kesehatan Masyarakat Andalas
10(2):116-122
Affandi O, Harianja AH. 2010. Sistem Tenurial Dan Pengelolaan Lahan Secara
Kolaboratif. Centre of Forest and Nature Conservation Research and
Development (CFNCRD) and International Tropical Timber Organization
(ITTO).
Backer CA, Bakhuizen van den Brink RC.1965. Flora of Java. Volume ke-2.
Groningen (NL): NVP Noordhoff.
[BBSDLP] Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian. 2016. Penyusunan
Informasi Geospasial Sumberdaya Lahan Mendukung Pengembangan Kawasan
Pertanian. Bogor (ID): BBSDLP
[BLH Prov Sumut] Badan Lingkungan Hidup Provinsi Sumatera Utara. 2011.
Kajian Lingkungan Strategis Kawasan Danau Toba. Medan (ID): BLH Provsu.
Beaumont R. 2012. An introduction to Principal Component Analysis & Factor
Analysis Using SPSS 19 and R (psych package). Diunduh 10 Mei 2018.
http://www.floppybunny.org/robin/web/virtualclassroom/stats/statistics2/pca1.
pdf
Bengen DG, Retraubun A. 2006. Menguak Realitas dan Urgensi Pengelolaan
Berbasis Eko-sosio Sistem Pulau-Pulau Kecil. Pusat Pembelajaran dan
Pengembangan Pesisir dan Laut. Bogor.
Bleher B, Oberrath R, Böhning-Gaese K. 2002. Seed dispersal, breeding system,
tree density and the spatial pattern of trees – a simulation approach. Basic Appl.
Ecol 3:115–123
Caris P, Decraene LPR, Smets E, Clinckemaillie D. 2000. Floral Development of
Three Maesa Species, with Special Emphasis on the Position of the Genus within
Primulales. Annals of Botany 86:87-97. doi:10.1006/anbo.2000.1163
Chesner CA, 1998. Petrogenesis of the Toba Tuffs, Sumatra, Indonesia. Journal of
Petrology 39:397-438
Clement FE. 1978. Plant Ecology. 2nd ed. New Delhi: Tata McGraw-Hill
Publishing Company
Coops NC, Catling PC. 2002. Prediction of the spatial distribution and relative
abundance of ground-dwelling mamals using remote sensing imagery and
simulation models. Landsc Ecol 17:173-188
Darsiharjo. 2004. “Model Pemanfaatan Lahan Berkelanjutan di Daerah Hulu
Sungai Cikapundung - Bandung Utara”. Forum Geografi 18(1):32- 46.
Dermawan BA. 2017. Prediksi Sebaran Invasif Spesies Acacia Nilotica Dengan
Model Maximum Entropy (Studi Kasus Taman Nasional Baluran). [Tesis].
Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor: Bogor (ID)
Draper D, Rosello-Graell A, Garcia C, Gomes CT, Sergio C. 2003. Application of
GIS in plant conservation programmes in Portugal. Biological Conservation
113:337–349. doi:10.1016/S0006-3207(03)00125-3
Fachrul MF. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Jakarta. Penerbit Bumi Aksara
64
Molles MC Jr. 2005. Ecology : Concept and Application, Third Edition, McGraw-
Hill, New York.
Morton CM, Telmer C. 2014. New subfamily classification for the Rutaceae. Ann
Missouri Bot Gard. 99: 620-641
Morgado, Sonia MA. 2014. Does Health Promote Economic Growth? Portuguese
Case Study: From Dictatorship to Full Democracy. Eur J Health Econ 15:591-
598
Mueller-Dombois D, Ellenberg H. 1974. Aims And Methods Of Vegetation
Ecology. New York
Muklis. 2007. Analisis Tanah dan Tanaman. Universitas Sumatera Utara Press.
Medan
Myers JM, Kope RG, Bryant GJ, Teel D, Lierheimer LJ, Wainwright TC, Grant
WS, Waknitz FW, Neely K, Lindley ST, Waples RS. 1998. Status review of
Chinook salmon from Washington, Idaho, Oregon, and California. US
Department of Commerce. National Oceanic and Atmospheric Administration.
National Marine Fisheries Service.
Ndayishimiye J, Greve M, Stoffelen P, Bigendako MJ, Cannière CD, Svenning JC,
Bogaert J. 2012. Modelling the spatial distribution of endemic Caesalpinioideae
in Central Africa, a contribution to the evaluation of actual protected areas in the
region. International Journal of Biodiversity and Conservation Vol. 4(3), pp.
118-129. DOI: 10.5897/IJBC11.150
Odum EP. 1993. Dasar-Dasar Ekologi. Tj. Samigan. penerjemah; Srigandono,
editor. Yogyakarta (ID): Gajah Mada Press. Terjemahan dari: Fundamental of
Ecology Ed ke-3.
Parhusip A, Yasni S, Elisabeth Y. 2003. Kajian Metode Ekstraksi Andaliman
(Zanthoxylum acanthopodium D.C) terhadap Mikroba Patogen dan Perusak
Pangan. Jurnal Ilmu dan Teknologi Pangan 1 (1):112-123.
Parhusip A. 2004a. Aktifitas Antibakteri Ekstrak Andaliman pada Fase
Pertumbuhan Bakteri Patogen. Jurnal Ilmiah dan Teknologi Pangan 2(1):41-53.
Parhusip A. 2004b. Pengaruh Ekstrak Andaliman terhadap Hidrofobisitas Bakteri
B. cereus, S. aureus, dan S. thypimurium. Jurnal Ilmu Dan Teknologi Pangan
2(2):23-32.
Parhusip AJN, Jenie BSL, Rahayu WP, Yasni S. 2005. Pengaruh ekstrak andaliman
(Zanthoxylum acanthopodium DC.) terhadap permeabilitas dan Hidrofobisitas
Bacillus cereus. Jurnal Ilmu dan Tenologi Pangan 1(1):112-123.
[PP] Peraturan Pemerintah. 2014. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor
81 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Danau Toba Dan
Sekitarnya (ID): Sekretariat Negara
Peraturan Pemerintah. 1990. Undang Undang No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumberdaya Hayati dan Ekosistemnya (ID): Sekretariat Negara
Puntodewo. 2003. Sistem Informasi Geografis untuk Pengelolaan Sumber Daya
Alam. CIFOR. Indonesia.
[PemKab. Samosir] Pemerintah Kabupaten Samosir. 2014. Samosir Dalam Angka
2014. (ID): PemKab.Samosir
[PemKab. Samosir] Pemerintah Kabupaten Samosir. 2011. Rencana Pembangunan
Jangka Menengah (RPJMD) Kabupaten Samosir 2011-2015 (ID):
PemKab.Samosir
67
Rikimaru A, Roy PS, Miyatake S. 2002. Tropical forest cover density mapping.
Trop. Ecology. 43:39–47.
Rakić T, Šinžar-Sekulić J, Filipović B, Tadić V, Stevanović B, and Tan K. 2009.
Ecophysiological and Anatomical Characteristics of the Subtropical Shrub
Zanthoxylum acanthopodium (Rutaceae) in Conditions of a Temperate
Continental Climate (Serbia). Arch. Biol. Sci., Belgrade 61(2):249-260.
DOI:10.2298/ABS0901249R.
Santosa E, Zaman S, Puspitasari ID. 2009. Simpanan Biji Gulma dalam Tanah di
Perkebunan The pada Berbagai Tahun Pangkas. J. Agron.Indonesia 37 (1): 46-
54
Sembiring MSA. 2017. Perlindungan Hukum Terhadap Andaliman (merica Batak)
Sebagai Indikasi Geografis di Kabupaten Toba Samosir. Masalah-Masalah
Hukum Jilid 46 (4): 318-327.
Setiadi D. 2005. Keanekaragaman Spesies Tingkat Pohon di Taman Wisata Alam
Ruteng, Nusa Tenggara Timur. Biodiversitas 6(2):118-122.
DOI:10.13057/biodiv/d060210
Sidabutar HP. 2010. Strategi Rehabilitasi Hutan dan Lahan Daerah Tangkapan Air
(DTA) Danau Toba. Di Dalam: Harahap RMS, Subarudi M, Tarigan JR,
Lumbantoruan M, Sanudin S, editor. Workshop II: Diseminasi Hasil Studi ITTO
dan Tukar Menukar Pengalaman dalam Pemulihan Ekosistem Danau Toba; 2010
Januari 28; Medan, Indonesia. Medan (ID): PPLH Universitas HKBP Nomensen.
hlm 157-178.
Sinaga R. 1997. Leluhur Marga Marga Batak, Dalam Sejarah Silsilah Dan Legenda.
Cetakan Ke-2. Penerbit Dian Utama. Jakarta.
Simatupang S, Napitupulu B, Endang D. 2004. Andaliman Antioksidan yang Selalu
Dirindukan. Hortikultura 3(2): 26 – 27.
Sirait M. 1991. Pemerikasaan Minyak Atsiri dan Isolasi Senyawa Getir dari Buah
Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC) [Tesis]. Bandung (ID): Jurusan
Farmasi, FMIPA-ITB.
Siregar BL. 2003. Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.) di Sumatera
Utara: Deskripsi dan Perkecambahan. Hayati 10(1): 38-40
Siregar BL. 2010. Upaya Perbanyakan Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium
DC.). Visi 18(1):17-28
[SLHD Kab. Samosir] Satuan Lingkungan Hidup Daerah Kabupaten Samosir.
2009. Penyusunan Profil Keanekaragaman Hayati Kabupaten Samosir 2009.
(ID): SLDH Kab. Samosir.
Smith LI, 2002. A tutorial on Principal Component Analysis.
Smith AR, Riefner Jr RE. 2015. Nephrolepis Cordifolia (Nephrolepidaceae)
Naturalized in Southern California (U.S.A.): With Notes on Unintended
Consequences of Escaped Garden Plants. J. Bot. Res. Inst. Texas 9(1): 201 – 212
Soegianto A. 1994. Ekologi Kuantitatif. Penerbit Usaha Nasional. Surabaya.
Soeharjo A, Patong D. 1973. Sendi-Sendi Pokok Usaha Tani. Departemen Ilmu-
Ilmu Sosial Ekonomi.Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Soerianegara I dan Indrawan A. 2008. Ekologi Hutan Indonesia. Laboratorium
Ekologi Hutan. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Soepardi G. 1983. Sifat dan ciri tanah. Universitas Gadjah Mada. 287-288
68
Subardja DS. 2005. Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Tipe Penggunaan Lahan
Berbasis Jagung dan Kacang Tanah di Daerah Bogor [disertasi]. Bogor (ID).
Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Suhendang E. 2002. Pengantar Ilmu Kehutanan. Bogor (ID): Fakultas Kehutanan.
Sukmana A. 2010. Analisis Kriteria dan Indikator Kerusakan Lingkungan pada
Ekosistem Daerah Tangkapan Air Danau Toba. Di Dalam: Harahap RMS,
Subarudi M, Tarigan JR, Lumbantoruan M, Sanudin S, editor. Workshop II:
Diseminasi Hasil Studi ITTO dan Tukar Menukar Pengalaman dalam Pemulihan
Ekosistem Danau Toba; 2010 Januari 28; Medan, Indonesia. Medan (ID):
International Tropical Timber Organization (ITTO)
Soil Survey Staff. 2014. Keys Soil Taxonomy, Twelfth Edition. Washington.
USDA.
Surbakti, M. S. 2002. Pengujian Daya Antimikroba Bubuk Rempah-rempah Khas
Sumatera Utara. Skripsi. Unika ST. Thomas SU, Medan.
Suryanto EH, Sastrohamidjojo S, Raharjo, and Tranggono. 2004. Singlet Oxigen
Quenching Effect of Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.).
Indonesian Food and Nutrition Progress 11(2):48-55.
Sutisna U. 1981. Komposisi jenis hutan bekas tebangan di Batulicin, Kalimantan
Selatan. Deskripsi dan analisis .Laporan 328. Bogor: Balai Penelitian Hutan.
Suzuki RO, Jun-Ichirou S, Kachi N. 2005. Change in Spatial Distribution Patterns
of a Biennial Plant between Growth Stages and Generations in a Patchy Habitat.
Annals of Botany 96:1009–1017. doi:10.1093/aob/mci253
Syartinilia, Tsuyuki S. 2008. GIS-based modeling of Javan Hawk-Eagle
distribution using logistic and autologistic regression models. Biological
Conservation, 141, 756-769.
Syaufina L, Sukmana A. 2008. Tinjauan Penyebab Utama Kebakaran Hutan di
Daerah Tangkapan Air Danau Toba. Centre of Forest and Nature Conservation
Research and Development (CFNCRD) and International Tropical Timber
Organization (ITTO).
Tensiska. 2001. Aktivitas Antioksidan Ekstrak Buah Andaliman dalam Beberapa
Sistem Pangan dan Kestabilan Aktivitasnya terhadap Kondisi Suhu dan pH
[tesis]. Bogor(ID): Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Tjitrosoedirdjo SS. 2005. Inventory of the Invasive Alien Plant Species in Indonesia.
Biotropia 25:60 – 73
Thomas T. 2015. Antibacterial Evaluation of Fronds of Christella dentata (Forssk.)
Brownsey & Jermy. Journal of Natural Products and Resources 1(1):17–18
Uji T. 2005. Studi Taksonomi Micromelum Blume (Rutaceae) di Indonesia.
Biodiversitas 6(2):100-102. DOI: 10.13057/biodiv/d060206
[USDA] United States Department of Agriculture. 2017. Weed Risk Assessment
for Persicaria chinensis (L.) H. Gross (Polygonaceae) – Chinese knotweed. (ID):
USDA
[USFWS] US Fish and Wildlife Service. 2000. . Endangered and Threatened
Wildlife and Plants; Determinations of Prudency and Designations of Critical
Habitat for Plant Species From the Islands of Maui and Kahoolawe, Hawaii.
Federal Register 65(243):79192-79275
Wibowo BK, Parhusip A, Romasi EF. 2007. Potensi Ekstrak Andaliman
(Zanthoxylum acanthopodium DC.) sebagai Pengawet Alamai Tahu.
69
LAMPIRAN
71
No Pos Hujan Koordinat Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des
BPP Harian Boho-
1 2.62 LU; 98.65 BT 122 105 130 247 137 34 15 36 115 143 219 204
Janji Martahan
2 Nainggolan 2.443 LU; 98.904 BT 82 69 131 140 116 59 27 82 92 101 220 195
3 Onan Runggu 2.501 LU; 98.959 BT 187 108 160 264 229 131 74 241 222 185 320 318
4 Palipi 2.493 LU; 98.801 BT 121 132 152 189 59 36 40 85 68 112 255 145
5 Pangururan 2.633 LU; 98.726 BT 144 123 95 179 157 61 36 136 113 153 193 224
6 Ronggur Nihuta 2.608 LU; 98.8 BT 122 67 107 179 125 94 62 103 124 215 250 201
7 Sianjur Mula-mula 2.619 LU; 98.666 BT 163 137 116 258 240 86 57 123 150 212 327 277
8 Simanindo 2.714 LU; 98.793 BT 181 117 107 190 186 104 44 142 172 172 254 249
RATA-RATA 140 107 125 206 156 75.6 44.4 119 132 162 255 227
b
Stasiun Klimatologi Deli Serdang
74
RIWAYAT HIDUP