Anda di halaman 1dari 91

i

POLA PENYEBARAN SPASIAL DAN KELIMPAHAN


ANDALIMAN (Zanthoxylum acanthopodium DC.)
DI PULAU SAMOSIR, SUMATERA UTARA

LASRIAMA SIAHAAN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018
ii
iii

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN


SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pola Penyebaran Spasial
dan Kelimpahan Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.) di Pulau Samosir,
Sumatera Utara adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2018

Lasriama Siahaan
NIM P052150141
iv

RINGKASAN

LASRIAMA SIAHAAN. Pola Penyebaran Spasial dan Kelimpahan Andaliman


(Zanthoxylum acanthopodium DC.) di Pulau Samosir. Dibimbing oleh IWAN
HILWAN dan YUDI SETIAWAN.

Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.) merupakan tanaman rempah


khas Pulau Samosir habitus berupa semak, anggota famili Rutaceae yang memiliki
nilai ekonomi yang tinggi, memiliki sifat antimikroba, bermanfaat obat dan dapat
digunkan sebagai antioksidan alami. Perkembangbiakan dan regenerasi andaliman
di habitat alaminya lambat dan sulit.
Pola sebaran andaliman berdasarkan jarak terdekat antara individu bervariasi
pada setiap lokasi pengamatan. Lokasi 1 merupakan tanah terbuka memiliki nilai
indeks Morisita standar (Ip) sebesar 0.00 yang bersesuaian dengan pola distribusi
acak. Lokasi 2 merupakan hutan tanaman memiliki nilai Ip = -0.77 bersesuaian
dengan pola distribusi seragam, dan lokasi 3 merupakan ladang terbuka memiliki
nilai Ip = -0.09 yang bersesuaian dengan pola distribusi seragam, sedangkan lokasi
4 adalah area hutan tanaman memiliki nilai Ip = 0.364 yang bersesuaian dengan
pola distribusi bergerombol. Perbedaan pola sebaran andaliman di lokasi penelitian
dipengaruhi oleh daya tarik sosial andaliman yakni nilai jual yang tinggi.
Pengetahuan tentang pola spasial persebaran andaliman dan keterkaitannya
dengan kondisi habitat sangat penting sebagai langkah awal perencanaan
konservasi dalam upaya restorasi atau pemulihan populasi andaliman di alam. Oleh
karena itu secara spesifik penelitian ini mempunyai tujuan untuk memperoleh data
terkini mengenai karakteristik persebaran dan kondisi habitat andaliman, serta
mengetahui habitat potensial andaliman dengan pendekatan model kesesuaian
habitat di Pulau Samosir. Analisis pemodelan spasial kesesuaian habitat andaliman
di Pulau Samosir melalui Principal Component Analisis dengan peubah ekologi
berupa Bare Soil Index (BSI), kelerengan, Digital Elevation Model (DEM), curah
hujan, Normalized Difference Moisture Index (NDMI), Normalized Difference
Vegetation Index (NDVI).
Variabel pembobot yang paling banyak berpengaruh pada habitat andaliman
adalah keterbukaan lahan/nilai BSI dengan hubungan yang negatif, semakin tinggi
nilai keterbukaan lahan maka kehadiran andaliman semakin kecil. Pembobot yang
berpengaruh berikutnya yang memiliki hubungan positif adalah nilai kelembapan
udara/NDMI, diikuti oleh nilai kehijauan vegetasi/NDVI, kelerengan, dan curah
hujan. Sedangkan pembobot slope memiliki hubungan negatif, semakin besar nilai
slope maka kehadiran andaliman semakin kecil. Persamaan model kesesuaian
habitat andaliman menunjukkan tingkat kesesuaian 92.7% yang terdiri atas 25.4 %
kategori sangat sesuai dan 67.3% kategori sesuai. Luas area kategori sangat sesuai
sebesar 2.4% (15.311 ha) dari luas Pulau Samosir sedangkan kategori sesuai sebesar
36.17% (233 326 ha) dari luas Pulau Samosir.

Kata kunci : Kesesuaian lahan, Principal Component Analysis, pola spasial, Pulau
Samosir, Zanthoxylum acanthopodium DC.
v

SUMMARY

LASRIAMA SIAHAAN. Spatial Distribution and Andaliman Abundance


(Zanthoxylum acanthopodium DC.) on the Samosir Island. Supervised by IWAN
HILWAN and YUDI SETIAWAN.

Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.) is a typical spice plant in


Samosir Island habitus in the form of shrubs, members of the Rutaceae family who
have high economic value, have antimicrobial properties, are useful drugs and can
be used as natural antioxidants. Andaliman breeding and regeneration in its natural
habitat is slow and difficult.
Andaliman distribution patterns based on the closest distance which
individuals vary at each observation location. Location one is open land has a
standard Morisita index (Ip) of 0.00 corresponds to a random distribution pattern.
Location two is plantation forest with Ip = -0.77 corresponding to uniform
distribution pattern, and location three is open field has Ip value = -0.09 which
corresponds to uniform distribution pattern, while location four is an area of
plantation forest with Ip value = 0.364 corresponding with distribution patterns
clustered. The difference in the distribution pattern of Andaliman at the study
location is influenced by Andaliman's social attractiveness, namely the high selling
value.
Knowledge of the spatial pattern of andaliman distribution and its
relationship to habitat conditions is very important. This is an initial step in
conservation planning in the effort of restoration or restoration
of andaliman populations in nature. Therefore, this study specifically aims to obtain
the latest data on the characteristics of distribution and condition
of andaliman habitat, as well as to know andaliman's potential habitat with a habitat
suitability model approach on Samosir island. Analysis of andaliman habitat
suitability spatial modeling on Samosir island through Principal Component
Analysis with ecological variables in the form of Bare Soil Index (BSI), slope,
Digital Elevation Model (DEM), rainfall, Normalized Difference Moisture Index
(NDMI), Normalized Difference Vegetation Index (NDVI).
The weighting variable that most influences the habitat of adaliman are
land openness/BSI value with a negative relationship, the higher the value of land
openness, the smaller the presence of andaliman. The next influential weight which
has a positive relationship is the value of air humidity/NDMI, followed by
vegetation/NDVI greenness, slope, and rainfall. While the slope weight has a
negative relationship, the greater the slope value, the smaller the presence
of andaliman. Andaliman habitat suitability model equation shows the suitability
level of 92.7% which consists of 25.4% of highly suitable categories and 67.3% of
suitable categories. The area of the category was highly suitable at 2.4% (15,311
ha) of the area of Samosir island while the corresponding suitable category was
36.17% (233 326 ha) of the area of Samosir island.

Keywords: habitat suitability, Principal Component Analysis, Samosir island,


spatial pattern, Zanthoxylum acanthopodium DC.
vi

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2018


Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
vii

POLA PENYEBARAN SPASIAL DAN KELIMPAHAN


ANDALIMAN (Zanthoxylum acanthopodium DC.)
DI PULAU SAMOSIR, SUMATERA UTARA

LASRIAMA SIAHAAN

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018
viii

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis Dr. Ir. Agus Hikmat, M.Sc.F.
ix

Judul Tesis : Pola Penyebaran Spasial dan Kelimpahan Andaliman


(Zanthoxylum acanthopodium DC.) di Pulau Samosir,
Sumatera Utara
Nama : Lasriama Siahaan
NIM : PO52150141

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr.Ir. Iwan Hilwan, MS Dr. Yudi Setiawan, SP., M.Sc.


Ketua Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana


Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam
dan Lingkungan

Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS Prof. Dr. Ir. Anas Miftah Fauzi, M.Eng

Tanggal Ujian: 7 September 2018 Tanggal Lulus:


x

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala
rahmat dan kasih karunia-Nya sehingga pendidikan pascasarjana ini dapat penulis
selesaikan pada waktuNya. Penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September
2017 ini mengambil tema tentang andaliman, dengan judul “Pola Penyebaran
Spasial Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.) dan Kelimpahannya di
Pulau Samosir, Sumatera Utara”.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr.Ir. Iwan Hilwan, MS dan
Bapak Dr. Yudi Setiawan, SP., M.Sc selaku pembimbing yang telah banyak
memberi saran dan dukungan terbaik sehingga karya ilmiah ini dapat selesai.
Penulis sangat bersyukur atas bantuan Mas Doni, Mas Sahid, Aini yang telah
banyak membantu mempelajari GIS dan Julia Sihombing, Martupa Sitanggang
yang sangat menolong saat di Lapangan. Terimakasih juga kepada rekan-rekan
Mahetan Foundation atas dorongan semangat dan ide-ide penulisan karya ilmiah.
Penulis juga berterimakasih kepada Ika, Ka Keke, Ka Sondang, Ka Elda, Ka Henny,
Ka Tety, dan Tulang Lucien tanpa kalian, penulis tidak dapat menyelesaikan karya
ilmiah ini. Rasa terimakasih tak lupa penulis ucapkan untuk Bapak dan Mamak,
Bapak Condro, Ibu Ermi, Ibu Yovita, Ka Musa beserta keluarga atas segala doa,
dorongan dan kasih sayangnya yang tulus sehingga penulisan karya ilmiah selesai
dengan baik. Ucapan terimakasih yang besar penulis sampaikan atas bantuan
semua pihak yang telah mendukung penyelesaian karya ilmiah ini.
Dengan selesainya program pendidikan ini, penulis berharap dapat
melakukan hal yang bermanfaat bagi negara dan bangsa Indonesia, serta untuk
kebaikan bagi sesama. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Oktober 2018

Lasriama Siahaan
xi

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ii
DAFTAR GAMBAR iii
DAFTAR LAMPIRAN iii
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Kerangka Pemikiran 2
Perumusan Masalah 4
Tujuan Penelitian 4
Manfaat Penelitian 4
Ruang Lingkup Penelitian 4
2 TINJAUAN PUSTAKA 5
Andaliman 5
Penginderaan Jauh untuk Kesesuaian Habitat Tumbuhan 10
Principal Component Analysis 11
Pemodelan Spasial Kesesuaian Habitat Andaliman 11
3 METODE 12
Lokasi dan Waktu Penelitian 12
Bahan 13
Tahapan Penelitian 13
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 19
Karakteristik Biologi Habitat Andaliman 19
Karakteristik Biofisik Habitat Andaliman 33
Karakter Spasial Habitat Andaliman 39
Pemodelan Spasial Kesesuaian Habitat Andaliman 47
Sosial Ekononi Petani Andaliman Pulau Samosir 51
5 SIMPULAN DAN SARAN 61
Simpulan 61
Saran 62
DAFTAR PUSTAKA 63
LAMPIRAN 70
RIWAYAT HIDUP 77
ii

DAFTAR TABEL

1 Penelitian terdahulu hasil aplikasi ekstrak andaliman 8


2 Peubah ekologi sebagai variabel penduga 16
3 Kerapatan dan INP tingkat tiang lokasi 1 21
4 Kerapatan dan INP tingkat pancang lokasi 1 21
5 Kerapatan dan INP tingkat semai dan tumbuhan bawah lokasi 1 21
6 Kerapatan dan INP tingkat tiang lokasi 2 22
7 Kerapatan dan INP tingkat pancang lokasi 2 23
8 Kerapatan dan INP tingkat semai dan tumbuhan bawah lokasi 2 23
9 Kerapatan dan INP tingkat tiang lokasi 3 24
10 Kerapatan dan INP tingkat pancang lokasi 3 25
11 Kerapatan dan INP tingkat semai dan tumbuhan bawah lokasi 3 25
12 Kerapatan dan INP tingkat tiang lokasi 4 26
13 Kerapatan dan INP tingkat pancang lokasi 4 26
14 Kerapatan dan INP tingkat semai dan tumbuhan bawah lokasi 4 27
15 Kelimpahan andaliman dan 3 spesies dengan INP terbesar lokasi 28
16 Indeks Shannon (H’), indeks Margalef (R1), indeks kekayaan jenis
(E’) di lokasi penelitian 29
17 Pola sebaran andaliman di lokasi penelitian 32
18 Jenis tanah Pulau Samosir 33
19 Sifat fisik tanah titik kehadiran dan ketidakhadiran andaliman 35
20 Tekstur tanah titik kehadiran dan ketidakhadiran andaliman a 36
21 Hasil analisis bahan organik titik kehadiran dan ketidakhadiran
andaliman 37
22 Hasil analisis pH dan KTK titik kehadiran dan ketidakhadiran
andaliman 38
23 Karakteristik spasial peubah ekologi habitat andaliman 47
24 Nilai MSA variabel pemrediksi 48
25 Hasil analisis PCA Nilai eigenvalues terhadap PC1 dan PC2 49
26 Nilai factor loadings variabel terhadap PC1 dan PC2 49
27 Pembagian kelas kesesuaian habitat andaliman 51
iii

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka Pemikiran 3
2 Buah andaliman (kiri); Tanaman andaliman muda (kanan) 6
3 Distribusi Zanthoxylum acathopodium DC. (Hartley 1966) 7
4 Peta lokasi penelitian 12
5 Analisis kesesuaian habitat andaliman 18
6 Jumlah famili dan jenis vegetasi di lokasi pengamatan 20
7 Kerapatan andaliman di lokasi pengamatan 31
8 Peta sebaran andaliman berdasarkan jenis tanah 34
9 Peta sebaran andaliman berdasarkan kelerangan 39
10 Kurva respon variabel slope 40
11 Peta sebaran andaliman berdasarkan BSI 41
12 Kurva respon variabel BSI 41
13 Peta sebaran andaliman berdasarkan DEM 42
14 Kurva respon variabel DEM 42
15 Peta sebaran andaliman berdasarkan curah hujan 43
16 Kurva respon variabel curah hujan 43
17 Peta sebaran andaliman berdasarkan NDVI 44
18 Kurva respon variabel NDVI 45
19 Peta sebaran andaliman berdasarkan NDMI 46
20 Kurva respon variabel NDMI 46
21 Overlay variabel predictor 48
22 Peta kesesuaian habitat andaliman 50
23 Jumlah domestik keluar (dokel) andaliman (BKP2Medan, 2017) 59

DAFTAR LAMPIRAN

1 Identifikasi tumbuhan di lokasi penelitian 71


2 Data diri responden petani andaliman 72
3 Data Rataan Curah Hujan Pulau Samosir tahun 2013-2017b 73
4 Produk makanan berbahan andaliman 74
1

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pulau Samosir merupakan pulau hasil bentukan peristiwa vulkanik-tektonik


gunung Toba 75.000 tahun yang lalu (William et al. 2009) dengan titik ordinat
2°36′08” LU dan 98°48′18” BT. Pulau Samosir memiliki luas wilayah 64 418 ha,
dengan panjang 45 km dan lebar 19 km (Chesner 1998) dan terletak di tengah
kawasan daerah tangkapan air (DTA) Danau Toba. Hasil proyeksi citra tahun 2004
memperlihatkan luas lahan kritis Kabupaten Samosir lebih banyak dalam kawasan
hutan dibandingkan dengan luar kawasan hutan (Syaufina dan Sukmana 2008).
Tahun 2005 lahan gundul/kritis di kawasan hutan mencapai 12 939,75 ha dan seluas
9 320 ha lahan kritis yang terdapat dalam kawasan inlijving (penyerahan tanah
masyarakat kepada pemerintah RI yang dijadikan kawasan hutan negara) (Dishut
Kabupaten Samosir 2005). Peningkatan lahan kritis merupakan salah satu indikator
penurunan sumber daya hutan, penurunan keanekaragaman hayati, dan kerusakan
lingkungan. Pulau Samosir memiliki solum tanah yang relatif dangkal, formasi
yang berbeda dan dalam perkembangannya memiliki kondisi, sumberdaya, dan
keanekaragaman lingkungan yang unik (Bengen dan Retraubun 2006). Akibatnya
vegetasi hutannya didominasi oleh pohon-pohon yang pertumbuhannya lambat,
dengan ukuran pohon yang tidak terlalu besar, serta berdaun relatif sempit. Potensi
sumberdaya dan jasa lingkungan yang dimiliki pulau-pulau kecil dipengaruhi
proses pembentukan, posisi dan letak pulaunya. Hal ini dapat menjadi modal dasar
pembangungan Indonesia di masa yang akan datang. Perpaduan antara sumberdaya
alam hayati dan tempat hidup yang berbeda, menumbuhkan berbagai ekosistem
yang berbeda (Suhendang 2002).
Penyebab kerusakan lingkungan kawasan DTA (Daerah Tangkapan Air)
Danau Toba antara lain kebakaran hutan yang berulang (Syaufina dan Sukmana
2008), pembukaan hutan yang terus menerus (hutan alam maupun hutan tanaman),
kemampuan penduduk masih rendah untuk merehabilitasi sumberdaya hutan yang
rusak, tingkat keberhasilan rehabilitasi di dalam/di luar kawasan hutan masih
rendah (Sidabutar 2010). Kerusakan lingkungan kawasan Danau Toba dapat
diamati melalui potensi erosi, banyaknya lahan yang ditumbuhi alang-alang di
daerah marjinal, fragmentasi vegetasi pada lanskap hutan, semakin sulit untuk
menemukan tumbuhan khas dan endemik (Sukmana 2010).
Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.) merupakan tanaman rempah
khas Pulau Samosir yang tertuang dalam Perpres No 81 Tahun 2014 tentang
Rencana Tata Ruang Kawasan Danau Toba dan Sekitarnya. Andaliman berupa
semak, anggota famili Rutaceae yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi, manfaat
antimikroba, manfaat obat dan antioksidan alami (Wijaya 1999), pengawet alami
(Tensiska 2001), bahan aromatik dan perangsang nafsu makan (Hasairin 1994).
Andaliman tumbuh subur di daerah subtropis di pegunungan Himalaya dan tersebar
hingga ke Pakistan bagian timur, India bagian utara, Nepal, Bhutan, China, Jepang,
Bangladesh, Laos, Myanmar, Thailand, Vietnam, Semenanjung Malaya, dan
Sumatera Utara di Indonesia (Hartley 1966).
Lembaga pemerhati sumber daya tumbuhan (International Centre for
Underutilised Crops/ICUC) mengelompokkan tumbuhan berdasarkan tingkat
2

pemanfaatannya dalam masyarakat antara lain: (1) Neglected and Underutilised


Species (NUS) yaitu kelompok dengan potensi tumbuhan belum termanfaatkan
sama sekali, dan (2) Underutilised Plant Species (UPS) yaitu kelompok dengan
potensi tumbuhan hanya sebatas komoditas lokal saja. Andaliman tergolong dalam
kategori UPS, tumbuhan dengan pemanfaatan dan penggunaan hanya oleh
masyarakat Batak saja. Andaliman dalam Encyclopedia of life disebut sebagai
japanese pepper dengan status unreviewed, sedang dalam India Biodiversity Portal
menyebutkan andaliman sebagai Indonesian lemon pepper dengan status accepted
name (Kokilavani dan Narayanan, 2018), serta dalam HKH conservation portal
mengelompokkan kategori IUCN andaliman sebagai N/A dan CITES Appendix
sebagai N/A.
Potensi nilai ekonomi dan kandungan senyawa kimia andaliman menjadi
pemicu tingginya permintaan pasar terhadap andaliman. Tahun 2015 sebanyak 131
987,8 kg andaliman berupa biji segar dan 1 960 kg biji kering telah diekspor sebagai
komoditas domestik keluar (dokel) dari Propinsi Sumatra Utara (BKP2Medan
2015). Nilai jual andaliman yang tinggi mendorong petani melakukan upaya
budidaya andaliman tanpa memperhatikan keberlanjutan dan habitat andaliman
yang sesuai. Masyarakat umumnya mengetahui andaliman karena aroma dan rasa
getir yang ditimbulkan, tetapi sedikit yang mengenal bentuk tumbuhannya.
Andaliman digunakan untuk masakan sehari-hari dan masakan upacara adat oleh
masyarakat kawasan Danau Toba, bahkan menjadi identitas etnis penduduk asli
kawasan Danau Toba atau orang Batak.

Kerangka Pemikiran

Pola penyebaran spesies endemik sangat unik karena spesies ini memiliki
biogeografi yang khas, unik dan memerlukan bentuk konservasi yang unik juga.
Spesies endemik berada dalam karakter area geografi yang terpotong dan
kemungkinan mempunyai ukuran populasi yang kecil dan memiliki resiko
kepunahan yang tinggi (Ndayishimiye et al. 2012). Spesies endemik juga peka
terhadap perubahan iklim, dalam beberapa studi ditemukan terkonsentrasi pada area
dengan iklim yang stabil. Sehingga penting untuk memahami perbedaan
karakeristik spesies endemik dengan spesies lain dengan tujuan pengembangan
strategi konservasi yang efektif dalam menghitung nilai biodiversitas saat ini dan
di masa yang akan datang. Pengetahuan tentang pola spasial persebaran andaliman
dan keterkaitannya dengan kondisi habitat sangat penting sebagai langkah awal
perencanaan konservasi dalam upaya restorasi atau pemulihan populasi andaliman
di alam.
Andaliman dalam habitat aslinya tumbuh liar dengan perseebaran terbatas
pada daerah dengan ketinggian diatas 1 300 m dpl. Andaliman dapat ditemukan
pada pegunungan yang terletak di sekitar kawasan Danau Toba seperti di
Kabupaten Simalungun, Toba Samosir, Dairi, dan Tapanuli Utara (Provinsi
Sumatera Utara) pada daerah berketinggian lebih dari 1 300 m dpl dengan
temperatur 15-18 0C (Hartley 1966; Hasairin 1994).
Andaliman memiliki nilai manfaat medis dan nilai ekonomi yang tinggi.
Penelitian mengenai pembudidayaan andaliman masih sedikit dan cenderung sulit
dilaksanakan, hal ini dikarenakan belum tersedianya informasi yang lengkap
3

tentang syarat tumbuh dan karakteristik lahan yang sesuai untuk pertumbuhan
andaliman. Petani telah membiakkan andaliman dengan biji, dengan tingkat
keberhasilan yang sangat kecil.
Penebangan hutan untuk pembukaan lahan pertanian yang baru masih
berlangsung hingga saat ini. Demikian juga kebakaran hutan yang yang dilakukan
oleh petani secara sengaja untuk memperluas lahan garapan dan untuk
mendapatkan rumput yang baru sebagai makanan ternak. Kondisi ini
mengakibatkan semakin berkurangnya habitat alami bagi andaliman. Dalam UU No
5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya
dalam penjelasan pasal 20 ayat 2 menyatakan bahwa tumbuhan dan satwa endemik
adalah tumbuhan/hewan yang penyebarannya terbatas, sedangkan jenis yang
terancam punah disebabkan oleh karena populasi spesies tersebut sudah sangat
kecil serta mempunyai tingkat perkembangbiakan yang sangat lambat, baik karena
pengaruh habitat maupun ekosistemnya.
Untuk mengetahui gambaran keberadaan andaliman di lapangan perlu
dilakukan ground checking dan analisis spasial secara parsial sebagai bahan data
dan informasi dalam perencanaan konservasi andaliman bagi instansi terkait dan
pemerintah Kabupaten Samosir. Kerangka pemikiran dalam penelitian dirangkum
dalam skema pada Gambar 1.

Pulau Samosir
1. Luas tutupan hutan menurun
2. Luas lahan kritis bertambah
3. Kebakaran hutan yang berulang

Perubahan tutupan lahan

Persepsi petani Habitat alami Persebaran & kelimpahan


terhadap andaliman andaliman berkurang andaliman

Pemanfaatan Sifat fisik & kimia


andaliman habitat andaliman

Sumber pendapatan Karakteristik


& nilai jual vegetasi andaliman
andaliman
Karakter Spasial
habitat andaliman
• DEM
• Slope
• NDVI
• Curah hujan
• NDMI
• BSI
Kesesuaian habitat
andaliman

Gambar 1 Kerangka Pemikiran


4

Perumusan Masalah

Topografi Pulau Samosir umumnya curam dan terjal, dengan jenis tanah yang
peka terhadap erosi, iklim bertipe Cs (iklim hujan sedang) yang sangat kering pada
musim kemarau. Hal tersebut menjadi faktor-faktor alami yang membuat kawasan
Pulau Samosir mudah mengalami perubahan akibat gangguan alam atau aktivitas
manusia dan berpengaruh nyata terhadap resiko resiko kerusakan hidup (BLH
Propinsi Sumut 2011).
Kegiatan eksploitasi kawasan Pulau Samosir saat ini, kurang
mempertimbangkan kondisi alamiah diatas, dan pengelolaan yang kurang matang
telah memberi dampak negatif terhadap keberadaan spesies endemik Pulau Samosir.
Pengurangan habitat alami dan fragmentasi lahan telah mengakibatkan ketersediaan
spesies endemik menunjukkan tren penurunan, keadaan ini dapat berujung pada
kepunahan spesies endemik. Hal ini sangat merugikan keanekaragaman hayati
Pulau Samosir.
Masalah penelitian terkait dengan pola spasial tumbuhan endemik Pulau
Samosir adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana karakteristik syarat tumbuh andaliman di Pulau Samosir?
2. Bagaimana pola spasial penyebaran dan kelimpahan andaliman di Pulau
Samosir?
3. Dimana habitat potensial andaliman di Pulau Samosir?
4. Bagaimana manfaat sosial ekonomi andaliman bagi petani andaliman di
Pulau Samosir?

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:


1. Menganalisis karakteristik syarat tumbuh andaliman di Pulau Samosir.
2. Menganalisis pola spasial penyebaran dan kelimpahan andaliman di Pulau
Samosir.
3. Mengidentifikasi habitat yang sesuai bagi andaliman dengan pendekatan
model kesesuaian habitat.
4. Mengidentifikasi manfaat sosial ekonomi andaliman bagi petani
andaliman di Pulau Samosir.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi pada masyarakat


umum tentang karakteristik syarat tumbuh dan kesesuaian lahan andaliman,
pemetaan pola persebaran andaliman serta dapat memberi rekomendasi
pengelolaan habitat andaliman di Pulau Samosir.

Ruang Lingkup Penelitian

Batasan ruang lingkup penelitian agar pembahasan berfokus pada tujuan yang
telah ditetapkan, maka diberikan ruang lingkup dan batasan sebagai berikut :
5

1. Area penelitian hanya di Pulau Samosir, Sumatera Utara


2. Data sebaran spasial merupakan hasil survey penelitian
Data lingkungan untuk memprediksi sebaran andaliman menggunakan dua
tiper data numerik terdiri dari Normalized Difference Vegetation Index (NDVI),
Normalized Difference Moisture Index (NDMI), Digital Elevation Model (DEM),
curah hujan, slope (kemiringan), Bare Soil Index (BSI) dan data kategorik yaitu
jenis tanah, Nilai Tukar Kation (KTK), Kejenuhan Basa (KB), pH (tingkat
kemasaman), Bulk Density/BD (bobot isi tanah), tekstur, porositas, kadar air.

2 TINJAUAN PUSTAKA

Andaliman

Botani Andaliman
Andaliman adalah tanaman berduri, habitus berupa semak. Tanaman ini
dikumpulkan dari alam liar untuk minyak essesial dan penggunaan obat, meskipun
kadang-kadang dibudidayakan. Zanthoxylum merupakan anggota suku Rutaceae
anak suku Amyridoideae (Morton dan Telmer 2014). Habitatnya di hutan terbuka
dataran tinggi dan semak-semak di ketinggian 1400-3200 m dpl, batas hutan
montanae, tempat berbatu dan tebing di himalaya. Polinator andaliman adalah
kelompok serangga. Hartley (1966) dalam penelitiannya memberi catatan bahwa
semua spesimen andaliman dari Sumatera memiliki bunga sempurna (monoesius).
Dengan demikian tidak ditemukan bunga jantan dan bunga betina yang terpisah,
sebagaimana yang ditemukan di daratan Asia (dioesius). Akan tetapi karena semua
ciri lain Zanthoxylum acanthopodium yang berada di Sumatera sama dengan yang
ada di daratan Asia, semuanya dianggap merupakan satu spesies. Dengan adanya
diskontinuitas persebaran geografis, diduga populasi andaliman yang terdapat di
Sumatera merupakan relik atau sisa-sisa populasi zaman purba.

Morfologi Andaliman
Nama Zanthoxylum berasal dari bahasa Yunani, xanthox (kuning) dan xylon
(kayu), yang merujuk pada bagian kayunya yang berwarna kuning (Kubitzki et al.
2011). Jenis yang sudah banyak dimanfaatkan oleh orang Asia adalah Zanthoxylum
acanthopodium DC., Zanthoxylum piperitum (L.) DC., dan Zanthoxylum simulans
Hance, ketiga jenis ini sering disebut dengan nama Sichuan pepper. Karena
memang banyak digunakan dalam masakan Cina, jenis-jenis tersebut sudah
dikembangkan sebagai komoditas industri rempah di Tiongkok.
Di Indonesia, masyarakat disekitar Kawasan Danau Toba mengenal
andaliman (Zanthoxylum acanthopodium) sebagai bumbu masakan dengan rasa
khas, ringan, getir. Zanthoxylum acanthopodium pertama kali dipertelakan oleh de
Candolle pada tahun 1824, berdasarkan material yang dikoleksi oleh Wallich pada
tahun 1821 dari Nepal. Jenis ini mirip dengan Zanthoxylum armatum DC (Backer
dan Bakhuizen van den Brink 1965), tetapi dengan perbedaan yang relatif konstan
dalam ukuran dan posisi perbungaan, jumlah urat tulang daun lateral dan warna
anter sebelum bunga mekar. Kedua jenis ini tetap dipertahankan sebagai dua jenis
6

berbeda meskipun tumbuh bersama di Kumaum, Nepal, Assam, dan Yunan


(Hartley 1966).
Zanthoxylum memiliki habitus semak, tinggi mencapai 6 m. Batang berkayu,
bulat silinder, diameter 5-10 cm, dan cabang berduri. Bunganya bunga lengkap.
Bunga merupakan bunga majemuk berbatas yang memiliki 5 – 7 daun kelopak,
5–6 benang sari, dan 3–4 putik masing-masing dengan 1 bakal biji, tanpa daun
mahkota. Bunga lengkap andaliman dapat mencapai panjang ± 3 mm. Bunga aksilar,
majemuk terbatas, anak payung menggarpu majemuk, berkelamin dua, berwarna
kuning pucat. Buahnya berbentuk kapsul, bulat hijau kecil seperti lada (merica),
jika sudah tua berwarna merah. Tiap buah memiki satu biji yang berwarna hitam
(Wijaya 2001; Siregar 2003), diameter ± 4 mm (Tensiska 2001) berwarna hijau,
tetapi jika sudah kering, agak kehitaman.
Bunga yang menjadi buah muncul di ranting, cabang atau batang utama.
Buah sebesar biji merica berwarna hijau waktu muda dan berubah menjadi merah
bila sudah matang. Biji andaliman berwarna hitam, akan mencuat dari buah tua
setelah 10 hari panen pada suhu kamar. Bagian tumbuhan andaliman yang
dikonsumsi adalah buah beserta bijinya. Andaliman (Gambar 2a, 2b) umumnya
dijual dalam bentuk segar berwarna hijau yang tercampur buah berwarna merah
sekitar 5–10 % (Simatupang et al. 2004). Uniknya bila buah tidak dipanen, ranting
atau cabang tempat buah melekat akan menjadi kering dan mati (Hasairin 1994),
batang dan cabangnya merah, kasar beralur, berbulu halus dan berduri.

Gambar 2 Buah andaliman (kiri); Tanaman andaliman muda (kanan)

Persebaran Andaliman
Marga Zanthoxylum terdiri dari 200 jenis terdistribusi di kawasan pantropik
yang meluas dari Asia Tengah hingga Amerika Utara (Hartley 2013). Zanthoxylum
acanthopodium tumbuh liar di kawasan yang sejuk dengan suhu antara 15 sampai
18 0C, daerah hutan, kaki gunung, dan dibudidayakan di ladang pada ketinggian
sekitar 1 300 m dpl. Tumbuh subur di daerah subtropis di pegunungan Himalaya
dan tersebar hingga ke Pakistan bagian timur, India bagian utara, Nepal, Bhutan,
China, Jepang, Bangladesh, Laos, Myanmar, Thailand, Vietnam, Semenanjung
Malaya, dan di Indonesia terdapat di Sumatera Utara (Hsuan 1978; Hartley 1966).
Daerah penyebaran andaliman di Sumatera Utara meliputi Desa Sigonting,
Kecamatan Pematang Raya, Kabupaten Simalungun; Desa Dolok Nauli,
Kecamatan Adiankoting, Kabupaten Tapanuli Utara; Desa Matio, Kecamatan
7

Parsoburan, Kabupaten Toba Samosir; Desa Batu Nabolon, Kecamatan Habisaran,


Kabupaten Toba Samosir; Desa Salaon Dolok Kecamatan Ronggur Nihuta,
Kabupaten Samosir; Desa Pegagan Julu, Kecamatan Sumbul, Kabupaten Dairi.
Dengan nama lokal daerah yang berbeda seperti Andaliman (Batak Toba), Tuba
(Batak Simalungun), Itir-itir (Batak Karo), Sinyar-nyar (Batak Angkola).
Andaliman ditemukan tumbuh subur di kaki gunung, dan di pinggiran hutan yang
dinaungi dengan tumbuhan kemenyan dan kopi.

Gambar 3 Distribusi Zanthoxylum acathopodium DC. (Hartley 1966)

Kandungan Senyawa Kimia Andaliman


Andaliman mempunyai aroma dan rasa khas yang dapat merangsang produksi
air liur. Hal ini karena tumbuhan andaliman memiliki sifat karminativum (Hasairin
1994; Siswadi 2002). Andaliman mengandung senyawa terpenoid (Kristanty dan
Suriawati 2015) yang mempunyai aktivitas antioksidan yang sangat bermanfaat
bagi kesehatan dan berperan penting untuk mempertahankan mutu produk pangan
dari berbagai kerusakan seperti ketengikan, perubahan nilai gizi serta perubahan
warna dan aroma makanan. Hal ini memberikan peluang bagi andaliman sebagai
bahan baku senyawa antioksidan atau antimikroba bagi industri pangan dan farmasi
(Wijaya 2001; Kristanty et al. 2012).

Pemanfaatan Andaliman
Beberapa anggota marga Zanthoxylum merupakan sumber daya alam yang
dimanfaatkan sebagai bumbu masakan khas Asia (Hartley 2013). Andaliman
merupakan salah satu jenis rempah-rempah yang banyak digunakan dalam masakan
khas Sumatera Utara, khususnya masakan Batak. Andaliman tidak saja memberikan
citarasa pada makanan tetapi juga mengawetkan makanan adat yang umumnya
dipersiapkan beberapa hari sebelum acara. Andaliman memiliki potensi bahan
pengawet alami makanan dan obat demam (Tensiska 2001), obat-obatan dan
sumber antioksidan alami (Wijaya 1999). Masyarakat Himalaya, Tibet, dan daerah
sekitarnya menggunakan tumbuhan ini sebagai bahan aromatik, tonik, perangsang
nafsu makan dan obat sakit perut (Hasairin 1994; Yanti et al. 2011). Penduduk
Jepang memanfaatkan daun andaliman sebagai pemberi aroma dan dekorasi. Saat
ini andaliman diperhitungkan menjadi sumber senyawa aromatik dan minyak
esensial.
8

Umumnya masyarakat menggunakan andaliman sebagai bumbu pada


berbagai jenis masakan dalam keadaan segar. Masa simpan andaliman yang pendek,
merupakan kesulitan tersendiri dalam penyediaan andaliman segar setiap hari,
sehingga diperlukan penanganan pengolahan pasca panen. Walaupun tumbuhan ini
jarang dijumpai tetapi mudah ditemukan di pasar-pasar tradisional. Saat ini sediaan
andaliman dalam bentuk bubuk dan minyak atsiri semakin diminati konsumen.
Beberapa penelitian terdahulu pemanfaatan ekstrak andaliman disajikan dalam
Tabel 1.

Tabel 1 Penelitian terdahulu hasil aplikasi ekstrak andaliman


Bagian
Referensi Hasil yang diperoleh
tanaman
Wijaya et al. 1999 Buah Aktivitas antioksidan lebih tinggi dari α
tokoferol dan hanya sedikit lebih rendah dari
antioksidan sintesis BHT
Tensiska et al. 2003 Buah Antioksidan pada ekstrak andaliman relatif
tahan panas
Parhusip et al. 2003 Buah Aktivitas antimikroba terhadap Salmonella
typhimurium, Escherichia coli, Bacillus
cereus, Pseudomonas fluorescens,
Staphylococcus aureus, Bacillus
strearothermophylus, Aspergillus flavus,
penecillium, Fusarium
Parhusip 2004a dan Buah Aktivitas antimikroba terhadap Salmonella
2004b typhimurium, Bacillus cereus,
Staphylococcus aureus
Suryanto et al. 2004 Buah Menangkap oksigen singlet yang dihasilkan
melalui sistem fotooksidasi minyak kelapa
sawit
Parhusip et al. 2005 Buah Aktivitas antimikroba terhadap Bacillus
cereus
Zaridah et al. 2006 Batang Membunuh larva Aedes aegypti

Budidaya andaliman
Saat ini pembudidayaan tumbuhan andaliman dianggap sulit dilakukan
karena kurangnya pengetahuan masyarakat, meskipun banyak usaha yang telah
dilakukan, tetapi tidak menunjukkan hasil yang memuaskan. Penanaman melalui
biji cenderung sulit dilakukan, meskipun ada yang dapat tumbuh, tetapi tidak
berbuah. Sirait (1991) dalam penelitiannya menemukan hanya tujuh biji andaliman
yang berkecambah dari 74 biji andaliman yang disemai dan perkembangannya
belum banyak membuahkan hasil.
Jenis benih dapat dikelompokkan menjadi dua berdasarkan kadar air benih,
diantaranya benih ortodoks dan rekalsitran. Benih ortodoks adalah benih yang dapat
dikeringkan sampai kadar air rendah dan disimpan dalam suhu dan kelembapan
penyimpanan yang rendah tanpa menurunkan viabilitas (kemampuan
berkecambah) benih secara nyata sedangkan benih rekalsitran adalah benih yang
cepat rusak (viabilitias menurun) apabila kadar airnya diturunkan, dan tidak tahan
disimpan pada suhu dan kelembapan rendah. Berdasarkan ciri benih andaliman
9

(berukuran kecil, kadar air rendah, warna coklat kehitam-hitaman, bentuk bulat,
permukaan halus), andaliman termasuk benih ortodoks.
Andaliman yang dibudidayakan dari biji memiliki umur yang lebih lama.
Berdasarkan diskusi dengan pemilik Taman Eden 100 sekaligus penggiat
andaliman (Marandus Sirait), diketahui bahwa budidaya pengembangbiakan
andaliman secara vegetatif telah mulai dilakukan yaitu dengan stek pucuk, cara ini
lebih mudah dan tingkat keberhasilan yang cukup tinggi. Ada perbedaan morfologi
andaliman yang dikembangkan dengan stek pucuk. Pada tanaman hasil stek pucuk
memiliki duri yang lebih sedikit, bagian atas daun hampir tidak berduri. Sehingga
memudahkan petani saat panen dan bibit dengan stek pucuk lebih tahan terhadap
sinar matahari berbeda dengan andaliman yang disemai dengan biji.

Pengetahuan Tentang Keberagaman Andaliman


Masyarakat batak di daerah Mandailing mengenal beberapa kultivar
andaliman, antara lain Simanuk, Sihorbo, Sitanga, dan Siparjolo (Hasairin 1994;
Siregar 2003). Menurut Hasairin (1994) Simanuk memiliki buah kecil, aroma dan
rasa tajam, dan produksinya lebih tinggi. Kultivar Sihorbo memiliki ukuran buah
lebih besar, tetapi rasanya kurang beraroma dan produksinya rendah. Adapun
Sitanga memiliki aroma buah yang sangat tajam hingga mirip bau kepinding alias
tanga, sehingga kurang disenangi masyarakat. Sihorbo dan Siparjolo (Siregar 2003)
memiliki perbedaan pada panjang ibu tangkai bunga atau buah. Ibu tangkai Sihorbo
relatif lebih pendek daripada Siparjolo. Kadang-kadang panjang rangkaian buah
Sihorbo lebih pendek daripada duri pada batang atau cabang sehingga menyulitkan
petani waktu panen. Keharuman kedua jenis berbeda, Sihorbo mempunyai sifat
retensi atau rasa getir yang lebih lama hilang dan lebih pedas dibandingkan dengan
Siparjolo.
Lumbanraja dan Hartana (2016) menemukan empat kultivar andaliman
berdasarkan ciri morfologi dari 27 aksesi tumbuhan andaliman yang diambil dari
lima lokasi pengambilan sampel di Sumatera Utara. Ciri yang dipilih adalah ciri
yang dinilai praktis dan tidak menimbulkan kerancuan yaitu ciri batang, ciri daun,
ciri bunga dan ciri buah. Pemisahan empat kultivar andaliman berdasarkan ciri
utama yang membedakan setiap kelompok yaitu warna dahan muda, rambut pada
batang, bentuk duri, warna batang, bentuk helaian daun, bentuk ujung daun dan
bentuk pangkal daun. Empat kelompok kultivar andaliman terpisah pada koefisien
kemiripan sebesar 62 %.
Variasi kultivar andaliman hasil penelitian Lumbanraja (2016) yaitu kultivar
“Simanuk‟ merujuk pada ciri yang dimiliki kelompok I, kultivar “Sihorbo‟ merujuk
pada ciri kelompok II, kultivar “Silokot” merujuk pada ciri kelompok III, dan
kultivar “Sikoreng‟ merujuk pada ciri kelompok IV. Dengan demikian
pengelompokan andaliman berdasarkan ciri morfologi dapat dijadikan acuan
sebagai bahan untuk mengembangkan varietas budi daya yang sudah ada dan
memberikan informasi data tambahan. Dengan demikian para pemulia tumbuhan
andaliman dapat membedakan keempat kelompok ini dan memudahkan untuk
pemasarannya kepada masyarakat. Kelompok I, II dan III banyak dimanfaatkan
sebagai sambal khas Batak karena karakteristik warna buah hijau, sedangkan
kelompok IV yang memiliki ciri warna buah merah banyak digunakan sebagai
bumbu masakan Batak.
10

Perlindungan Hukum Andaliman


Andaliman dikenal sebagai merica Batak merupakan salah satu produk
potensi Indikasi Geografis yang berasal dari Kabupaten Toba Samosir yang
diresmikan pada tanggal 9 Maret 1999. Kawasan Danau Toba merupakan daerah
yang menjadi pusat sebaran andaliman di Indonesia, namun andaliman belum
terdaftar sebagai individu indikasi geografis di Direktorat Jenderal Kekayaan
Intelektual. Hal ini menunjukkan kekosongan hukum di bidang Hak Kekayaan
Intelektual khususnya dalam hal pengaturan kekayaan produk daerah, meskipun
andaliman merupakan produk Indikasi Geografis di Kabupaten Samosir.
Produk yang memiliki kekhasan berpotensi menjadi produk Indikasi
Geografis suatu daerah, harus didaftarkan terlebih dahulu agar memperoleh
perlindungan hukum demi mencapai kepastian hukum atas tanda kepemilikan
produk daerah. Secara objektif andaliman memiliki karateristik khas dan memenuhi
syarat sebagai produk Indikasi Geografis. Kekhasan tersebut sesuai dengan unsur-
unsur dalam pengaturan syarat keberhasilan produk Indikasi Geografis. Andaliman
memiliki karateristik yang khas ditunjukkan dengan fenomena yang terjadi pada
pertumbuhan produk andaliman. Secara subjektif pemerintah Provinsi Sumatera
Utara memiliki legal standing untuk mewakili masyarakat dalam melakukan
pendaftaran terhadap andaliman. Pemerintah Kabupaten Samosir wajib
menjalankan fungsi hukum yaitu mendaftarkan andaliman agar memperoleh
sertifikat dan dilindungi dari segi indikasi geografis (Sembiring 2017).

Penginderaan Jauh untuk Kesesuaian Habitat Tumbuhan

Distribusi spasial vegetasi atau individu dapat dilihat dan dipredikisi melalui
iklim, ketersediaan habitat yang sesuai, edaphic factor (faktor tanah), pengaruh
kompetitor, faktor sejarah evolusi (Draper et al. 2003), ataupun karakteristik lain
seperti kelerengan, aspek, kesesuaian atau tipe vegetasi (Smith 2008). Habitat
vegetasi endemik merupakan interaksi faktor abiotik dan biotik di masa lampau dan
sekarang ini. Pemahaman yang komprehensif dari biologi, ekologi, dan distribusi
spesies dapat digunakan untuk mengekplorasi habitat dasar dan menilai hubungan
spasial diantara habitat tambahan spesies yang bersesuaian.
Kombinasi beberapa atribut dapat menyediakan area peta unik yang dapat
disejajarkan dengan spesiesnya. Meskipun demikian lokasi tumbuhan endemik saat
ini sebenarnya menunjukkan habitat yang tidak dapat diubah dari representasi
distribusi di masa lampau. Data spasial adalah sebuah data yang berorientasi
geografis dan memiliki sistem koordinat tertentu sebagai dasar referensinya. Data
spasial mempunyai dua bagian penting yang membuatnya berbeda dari data lain,
yaitu informasi lokasi (spasial) dan informasi deskriptif (attribute) (Puntodewo
2003).
Perkembangan yang terjadi menunjukkan penggunaan lahan yang tidak
sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan dan kurang mempertimbangkan daya
dukung lingkungan. Hal ini dapat diamati dengan berkurangnya kawasan lindung,
konversi lahan sawah dan munculnya kerusakan lingkungan. Tingkat kerusakan
lingkungan mempengaruhi fungsi ekologi, sosial dan ekonomi sumberdaya hutan
sehingga berada dalam kondisi memprihatinkan dan akan terus menurun apabila
tidak ada upaya rehabilitasi dan konservasi yang tepat. Pengaruh jangka panjang
11

penurunan fungsi ekologi, sosial, ekonomi sumberdaya hutan yang terus menerus
mengakibatkan penurunan fungsi ekosistem DTA Danau Toba.
Kondisi ekosistem yang terganggu tidak akan mendukung terjadinya
pembangunan ekonomi yang berkelanjutan bahkan berpotensi mengganggu
produksi energi dan komoditi lain yang sangat bergantung pada mutu dan kuantitas
air Danau Toba. Dengan demikian kerusakan sumber daya kawasan hutan di DTA
Danau Toba dalam hal ini Pulau Samosir akan memberi dampak negatif dalam
jangka panjang maupun jangka pendek. Oleh karena itu perlu dilakukan suatu
upaya yang komprehensif untuk mendukung konservasi keanekaragaman hayati
khususnya vegetasi endemik.

Principal Component Analysis

Principal component analysis (PCA) merupakan cara untuk


mengindentifikasi pola dalam data, mengekspresikan persamaan dan perbedaan
data berdimensi tinggi, dengan cara mereduksi data berdimensi tinggi menjadi lebih
sederhana (Smith 2002; Abdi dan William 2010) serta menganalisis struktur
variabel data yang digunakan (Abdi dan William 2010).
Widarjono (2015) menyatakan bahwa dalam melakukan analisis faktor,
langkah pertama yang harus dilakukan adalah menghitung korelasi antara variabel
yang akan diobservasi. Variabel-varibel yang digunakan harus melewati analisis
pemilihan dan preferensi. Selanjutnya variabel terpilih digunakan untk
memprediksi kesesuaian lahan, dengan analisis PCA dan didapatkan variabel yang
paling berpengaruh terhadap keberadaan andaliman.
Margono (2013) menyatakan beberapa kriteria PCA antara lain: (1)
Communalities sebagai faktor bersama. Communalities merupakan peranan faktor
untuk satu kesatuan yang berasal dari masing-masing variabel atau subvariabel
yang menyusun satu faktor secara bersama. Hasil yang ditunjukkan dalam
communalities merupakan nilai initial dan extraction. Nilai initial merupakan
besarnya peranan variabel secara individu untuk membentuk faktor baru bersama.
Dan nilai extraction merupakan besarnya peranan variabel yang berupa persentase
masing-masing variabel untuk membentuk faktor baru; (2) Nilai akar ciri
(eigenvalues) memiliki persamaan karakteristik (A – λl) x = 0, dengan λ > 1. Scree
plot merupakan diagram yang menggambarkan kecenderungan penurunan
eigenvalue. Sumbu Y pada diagram menunjukkan eigenvalue dan sumbu X
menunjukkan jumlah faktor. Dalam menentukan banyaknya faktor yang terbentuk
dapat dilihat pada grafik dengan kemiringan yang paling tajam yang terbentuk dari
faktor satu ke faktor lainnya.

Pemodelan Spasial Kesesuaian Habitat Andaliman

Model adalah abstraksi atau penyederhanaan dari sistem yang sebenarnya


(Darsihardjo 2004), atau bentuk yang dibuat untuk menirukan suatu gejala atau
proses (Muhammad et al. 2001). Apabila model semakin sederhana dan mewakili
kenyataan, maka model tersebut semakin baik. Bentuknya dapat berupa model fisik
(maket, bentuk prototip), model citra (gambar, komputerisasi, grafis), atau rumusan
12

matematis. Setiap model keputusan berisi variabel-variabel yang mempengaruhi


keputusan. Muhammad et al. 2001 menyatakan bahwa solusi model merupakan
nilai numerik, hal ini disebabkan oleh dasar dari keputusan suatu model kuantitatif
juga merupakan data numerik. Sifat model terdiri atas deterministik (data sudah
diketahui secara pasti tingkat kevalidannya) dan probabilistik (data yang masih
tidak pasti kevalidannya).
Pemodelan kesesuaian habitat vegetasi merupakan suatu analisis hubungan
kompleks antara beberapa variasi faktor lingkungan yang tersedia, yang merupakan
kabutuhan hidup dari vegetasi dalam bentuk geografis (Coops dan Catling 2002).
Model kesesuaian habitat diperlukan sebagai bahan pertimbangan dalam
pengambilan keputusan tentang pengelolaan, menjelaskan manfaat relatif teknik-
teknik mitigasi, evaluasi metode restorasi, dan membantu dalam evaluasi dampak
habitat (Korman et al. 1994).

3 METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan September 2017 – Maret 2018 di Pulau
Samosir, Kabupaten Samosir, Provinsi Sumatera Utara (Gambar 4) yang
merupakan bagian dari Kawasan Strategis Nasional (KSN) Danau Toba.
Selanjutnya kegiatan penulisan dilakukan di Kampus Institut Pertanian Bogor,
Dramaga Bogor.

Gambar 4 Peta lokasi penelitian


13

Bahan

Materi yang digunakan di lapangan berupa andaliman dan tegakan vegetasi


lain di lokasi penelitian, set transek vegetasi (kompas, gunting stek, meteran, GPS,
isolasi bebas asam) dan ring sampel tanah. Bahan yang digunakan dalam analisis
spasial meliputi citra Landsat 8 path/row 128/58 dan 128/59 yang terekam pada
tanggal 20-28 Juli 2017. Peta administrasi Pulau Samosir (BIG) 1:150 000, Peta
DEM Pulau Samosir (ASTER DEM), dan Peta jenis tanah Pulau Samosir serta Peta
Rupa Bumi Indonesia (RBI). Perangkat lunak yang digunakan antara lain : SPSS
Statistics, ArcGIS 10.3 dan Erdas Imagine 9.1.

Tahapan Penelitian

Pengambilan Sampel
Pengambilan data titik kehadiran andaliman di lapangan melalui wawancara
dengan pedagang andaliman, studi literatur, dan observasi di lapangan. Ukuran
plot/petak pengamatan seluas 10 x 10 m sebanyak 11 plot pada lokasi yang
berbeda. Pemilihan tempat pengamatan dengan metode purposive random
sampling dengan kriteria sebagai berikut : (1) plot dibuat pada lokasi dimana
andaliman ditemukan, (2) plot dibuat pada lokasi yang memungkinkan untuk
dilakukan pengukuran, (3) plot-plot terpilih memiliki tutupan lahan yang berbeda
satu sama lain. Analisis vegetasi dilakukan pada petak pengamatan tingkat
tumbuhan bawah dan semai, tingkat pancang, dan tingkat tiang. Vegetasi hasil
transek diawetkan untuk dijadikan herbarium dan selanjutnya diidentifikasi di LIPI
Bogor. Petak seluas 10 x 10 m untuk pengamatan tingkat tiang, petak seluas 5 x 5
m untuk pengamatan tingkat pancang dan petak seluas 2 x 2 m untuk pengamatan
tingkat semai dan tumbuhan bawah (Soerianegara dan Indrawan 1998). Data
karakteristik petani andaliman diambil melalui pengamatan langsung dan
wawancara mendalam (depth interview) dengan petani andaliman, perangkat desa,
pengumpul, dan penggiat andaliman.

Karakteristik Biologi Habitat Andaliman


Komposisi dan struktur populasi andaliman dianalisis berupa data kerapatan,
kerapatan relatif, frekuensi, frekuensi relatif, dominansi, dominansi relatif dan
indeks nilai penting (Soerianegara dan Indrawan 1998), dimana indeks nilai penting
(INP) digunakan untuk mengetahui tingkat penguasaan jenis (dominasi) dalam
suatu komunitas.
Indeks Nilai Penting (INP)
Indeks nilai penting (INP) digunakan untuk menentukan dominansi suatu
jenis terhadap yang lain. Menurut Soerinegara dan Indrawan (1998), nilai INP
diperoleh berdasarkan:
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑖𝑛𝑑𝑖𝑣𝑖𝑑𝑢 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑠𝑢𝑎𝑡𝑢 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠
Kerapatan (K) (ind/ha) = (1)
𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑐𝑜𝑛𝑡𝑜ℎ
𝐾𝑒𝑟𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑠𝑢𝑎𝑡𝑢 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠
Kerapatan Relatif (KR) (%) = x 100% (2)
𝐾𝑒𝑟𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑙𝑜𝑡 𝑑𝑖𝑡𝑒𝑚𝑢𝑘𝑎𝑛𝑛𝑦𝑎 𝑠𝑢𝑎𝑡𝑢 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠
Frekuensi (F) = (3)
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑝𝑙𝑜𝑡
14

𝐹𝑟𝑒𝑘𝑢𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑠𝑢𝑎𝑡𝑢 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠


Frekuensi relative (FR) (%) = 𝐹𝑟𝑒𝑘𝑢𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠 x 100% (4)
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑏𝑖𝑑𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑎𝑠𝑎𝑟
Dominasi (D) (m2/ha) = 𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑝𝑒𝑡𝑎𝑘 𝑐𝑜𝑛𝑡𝑜ℎ
(5)
𝐷𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑠𝑖 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑠𝑢𝑎𝑡𝑢 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠
Dominasi relatif (DR) (%) = x 100% (6)
𝑑𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑠𝑖 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠
Indeks Nilai Penting/INP (%) = KR + FR (untuk tingkat semai, tumbuhan
bawah, dan pancang) (7)
Indeks Nilai Penting/INP (%) = KR + FR + DR (8)
(untuk tingkat tiang dan pohon)

Indeks Keanekaragaman Jenis (H’)


Indeks keanekaragaman jenis merupakan parameter yang berguna untuk
membandingkan dua komunitas. Indeks keragamann jenis ditentukan dengan
menggunakan rumus Shannon-Weiner (Molles 2005) sebagai berikut:
𝑛𝑖 𝑛𝑖
H’ = − ∑( 𝑁 )ln( 𝑁 ) (9)
Keterangan:
H’ = indeks keanekaragaman Shanon-Weiner
Ni = jumlah individu jenis ke-i
N = total kerapatan/jumlah total.
Nilai indeks keanekaragaman Shannon-Weinner (H’) memiliki kategori tinggi jika
nilai H’ > 3.0, kategori sedang jika 1.0 < H’ < 3.0, dan kategori rendah jika H’ < 1.

Indeks Kekayaan Jenis Margallef (R1)


Indeks kekayaan jenis Margallef (Margalef 1958) digunakan untuk
mengetahui kekayaan jenis pada suatu kawasan dengan rumus sebagai berikut:
𝑆−1
R1 = ln(N) (10)
Keterangan:
R1 = Indeks kekayaan jenis Margalef,
S = jumlah jenis,
N = jumlah total individu, dan
Ln = logaritma natural.
Kriteria komunitas vegetasi berdasarkan kekayaan jenis terdiri atas: kategori
baik jika nilai R1 > 4.0, kategori moderat jika nilai 2.5 < R1 < 4.0, dan kategori
buruk jika nilai R1 < 2.5.

Indeks Kemerataan Jenis (E)


Indeks kemerataan jenis digunakan untuk menyatakan bagaimana individu
yang diperoleh tersebar dalam setiap jenis (Aslam 2009). Kemerataan antar
individu dikatakan rendah jika nilai E ≈ 0, sebaliknya jika nilai E ≈ 1 maka
kemerataan antar individu relatif merata/jumlah individu masing-masing jenis
adalah sama (Fachrul 2007). Nilai indeks kemerataan jenis diperoleh dengan
persamaan berikut:
H′
E = ln(S) (11)
Keterangan:
E = indeks kemerataan,
H’ = indeks keanekaragaman Shannon,
S = jumlah jenis
15

Nilai indeks kemerataan berdasarkan krebs (1972) dibagi atas tiga kategori antara
lain: (1) nilai 0.00 < E < 0.20, maka komunitas tersebut dalam kondisi tertekan; (2)
nilai 0.21 < E < 0.75, maka komunitas tersebut dalam kondisi labil, dan (3) nilai
0.76 < E < 1.00, maka kondisi komunitas tersebut adalah stabil.

Indeks Kesamaan Komunitas


Indeks kesamaan komunitas atau index of similarity (IS) diperlukan untuk
mengetahui tingkat kesamaan komunitas antar tegakan unit sampling atau
komunitas yang dipelajari, dan perbandingan komposisi serta struktur
komunitasnya. Indeks kesamaan komunitas (Odum 1993) menggunakan rumus
sebagai berikut:
2𝐶
IS = 𝐴+𝐵 (12)
Keterangan:
IS = indeks kesamaan komunitas,
C = jumlah spesies yang sama dan terdapat pada kedua komunitas,
A = jumlah spesies di dalam komunitas A,
B = jumlah spesies di dalam komunitas B.
Jika nilai IS ~ 1, maka tingkat kesamaan komunitas vegetasi adalah tinggi,
sebaliknya jika nilai IS ~ 0, maka tingkat kesamaan komunitas vegetasi adalah
rendah.

Indeks Penyebaran Jenis (Iδ)


Pola penyebaran spasial andaliman diketahui dengan menggunakan indeks
Morishita (Iδ) yang telah terstandarisasi (Jongjitvimol et al. 2005) yaitu:
∑ x2− ∑x
Iδ = n x (∑x)2− ∑𝑥 (13)
Keterangan:
Iδ = indeks Morishita
n = jumlah plot pengambilang contoh
Xi = jumlah individu yang ditemukan pada setiap plot
Jika nilai Id = 0 maka kesamaan komunitas rendah, sedangkan Id = 1 maka
kesamaan komunitas tinggi/sama. Sedangkan pola sebaran andaliman ditunjukkan
dengan perhitungan Mu dan Mc, antara lain :
(𝑋 2 0.975−𝑛+ ∑ 𝑥𝑖)
Mu = (∑ 𝑥𝑖)−1
(14)
(𝑋 20.025−𝑛+ ∑ 𝑥𝑖)
Mc = (∑ 𝑥𝑖)−1
(15)
Keterangan: Mu : Indeks Morisita untuk pola seragam
𝑋 2 0.975 : nilai Chi-square tabel dengan derajat bebas n-1 danselang
kepercayaan 97,5%
Mc : Indeks Morisita untuk pola mengelompok
𝑋 2 0.025 : nilai Chi-square tabel dengan derajat bebas n-1 danselang
kepercayaan 2,5%
Standar derajat Morisita dihitung dengan rumus :
𝐼𝑑−𝑀𝑐
Ip = 0.5 + 0.5 ( 𝑛−𝑀𝑐 ) ; jika Id ≥ Mc ≥ 1 (16)
𝐼𝑑−1
Ip = 0.5 + (𝑀𝑐−1) ; jika Mc ≥ Id ≥1 (17)
𝐼𝑑−1
Ip = -0.5 + (𝑀𝑢−1) ; jika 1 ≥ Id ≥ Mu (18)
16

𝐼𝑑−𝑀𝑢
Ip = -0.5 + 0.5 ( 𝑀𝑢 ) ; jika 1 ≥ Mu ≥ Id (19)
Berdasarkan nilai Ip, maka diperoleh kesimpulan pola sebarannya yaitu
sebaran seragam jika Ip < 0, sebaran acak jika Ip = 0, dan sebaran mengelompok
jika Ip > 0.

Karakter Biofisik Habitat Andaliman


Pengamatan sifat fisik dan kimia tanah dilakukan dengan mengambil sampel
tanah habitat andaliman menggunakan metode pemiritan tanah. Sifat fisika tanah
yang diamati diantaranya Bulk density (BD), porositas, kadar air (pF.1, pF2, pF2.54,
pF4.2), pori drainase, dan air tersedia. Sifat kimia tanah yang dianalisis adalah
tekstur tanah, pH, bahan organik (C, N), nilai tukar kation (Ca, Mg, K, Na) dan
kejenuhan basa (KB). Sifat fisik sampel tanah diuji di laboratorium fisika tanah
IPB dan sifat kimia di laboratorium kimia BBDSLP Bogor dengan petunjuk
mengacu pada pusat penelitian tanah.

Karakter Spasial Habitat Andaliman


Peubah ekologi habitat andaliman yang digunakan dalam pembuatan model
kesesuaian habitat yaitu faktor vegetasi (Normalization Difference Vegetation
Index/NVDI), fisik (ketinggian/Digital Elevation Model (DEM), kelerengan/slope),
iklim mikro (Normalized Difference Moisture Index/NDMI), curah hujan dan
keterbukaan lahan (Bare Soil Index/BSI). Peubah ini berpengaruh terhadap relung
habitat andaliman secara fungsional dan struktural (Odum 1993; Hasan 2012).
Sebanyak 70% (77 titik kehadiran) data pengamatan digunakan sebagai data untuk
menyusun model, sedangkan 30% (53 titik kehadiran) digunakan untuk keperluan
validasi model. Tabel 2 menunjukkan peubah ekologi yang digunakan sebagai
variabel penduga untuk membangun model kriteria kesesuaian biofisik lahan untuk
budidaya andaliman.

Tabel 2 Peubah ekologi sebagai variabel penduga


No Variabel Data Satuan Skala Sumber
Data
1 (x1) Ketinggian Komponen m dpl Rasio Peta
fisik ketinggian
(DEM)
2 (x2) Komponen Persen Rasio Peta
Slope/ kemiringan fisik (%) Kemiringan/
DEM
3 (x3) tutupan vegetasi/ Indeks Ordi- Peta indeks
Normalization Difference vegetasi nal vegetasi
Vegetation Index (NDVI) (NDVI)
4 (x4) Curah hujan Komponen Derajat Rasio Data curah
fisik (*) hujan samosir
5 (x5)Kelembaban Kelembapan Persen Rasio Citra Landsat 8
vegetasi/Normalized (%) (NDMI)
Difference Moisture Index
(NDMI)
6 (x6) Bare Soil Index (BSI) Keterbukaan meter Rasio Peta BSI
lahan
17

Persamaan yang digunakan untuk:


(𝑁𝐼𝑅 − 𝑅𝑒𝑑)
Normalization Difference Vegetation Index/NVDI = (𝑁𝐼𝑅 + 𝑅𝑒𝑑) (20)
(𝑁𝐼𝑅 − 𝑆𝑊𝐼𝑅)
Normalized Difference Moisture Index/NDMI= (21)
(𝑁𝐼𝑅 + 𝑆𝑊𝐼𝑅)
(𝑆𝑊𝐼𝑅+𝑅𝑒𝑑)−(𝑁𝐼𝑅+𝐵𝑙𝑢𝑒)
Bare Soil Index/BSI = (𝑆𝑊𝐼𝑅+𝑅𝑒𝑑)+(𝑁𝐼𝑅+𝐵𝑙𝑢𝑒)
(22)

Analisis Kesesuaian Habitat Andaliman dengan Metode PCA


PCA dilakukan untuk mengetahui faktor fisik yang paling berpengaruh
terhadap sebaran andaliman, berdasarkan letak titik kehadiran andaliman pada
masing-masing layer yaitu ketinggian/Digital elevation Model (DEM), kemiringan
lereng (slope), tutupan vegetasi (NDVI), kelembapan vegetasi (NDMI), dan BSI
(keterbukaan lahan). Data yang digunakan adalah data titik kehadiran andaliman di
sepanjang petak pengamatan.
Tahapan dalam analisis PCA adalah (1) menghitung nilai Uji Kaiser Meyer-
Olkin Measure of Sampling Adequacy (KMO) dan Bartlett-test sebagai prasyarat
nilai KMO ≥ 0.5; (2) Reduksi faktor variabel dikatakan komponen utama yang
berpengaruh terhadap keberadaan andaliman jika nilai Bartlett-test < 0.05 atau
Measure Sampling Adequacy (MSA) ≥ 0.5, sedangkan variabel bebas yang
memiliki nilai MSA < 0.5 harus direduksi dan analisis komponen utama diulang
hingga seluruh variabel memiliki nilai MSA ≥ 0.5; (3) Reduksi variabel yang
memiliki nilai communalities > 0.5; (4) Mengidentifikasi eigenvalue untuk
mengetahui kepentingan relatif masing-masing faktor dalam menghitung varians
dari variabel yang dianalisis; (5) Model dari komponen baru yang terbentuk
terhadap variabel Y untuk mengetahui persamaan dari nilai masing-masing PC pada
setiap varian data. Hasil PCA ditentukan oleh bobot masing-masing faktor yang
paling berpengaruh terhadap sebaran andaliman sehingga diperoleh persamaan
preferensial kesesuaian habitat yaitu:
Y= α + β1X1+ …+ βnXn (23)
Keterangan: Y = frekuensi relatif kehadiran andaliman di suatu tutupan lahan; α =
konstanta; βn = bobot masing-masing PC; Xn = PC; (6) Barlett’s test of sphericity
(χ2) digunakan sebagai penguji korelasi antar variabel-variabel yang digunakan.
Bartlett’s Test memiliki hipotesis jika H0: didalam variabel bebas tidak ada korelasi
sedangkan H1: didalam variabel bebas terdapat korelasi. Hasil pengujian akan
diketahui dengan nilai signifikasi (p-value), apabila nilai sig.>0.05 H0 diterima dan
ditolak H0 jika nilai sig.<0.05
Hasil perhitungan PCA dikelompokkan dalam lima kelas kesesuaian yaitu:
(1) sangat sesuai (SS), (2) sesuai (S), (3) cukup sesuai (CS), (4) tidak sesuai (TS),
dan (5) sangat tidak sesuai (STS). Pembagian kelas ini menggunakan rumus sebagai
berikut:
SS = Min - (Mean – 2* Std Dev) (24)
S = (Mean – 2* Std Dev) – (Mean – Std Dev) (25)
CS = (Mean – Std Dev) – (Mean + Std Dev) (26)
TS = (Mean + Std Dev) – (Mean + 2* Std Dev) (27)
STS = (Mean + 2* Std Dev) – Max (28)
Keterangan:
Min = nilai minumum hasil PCA
18

Mean = nilai rata-rata hasil PCA


Std Dev= nilai Std Dev hasil PCA
Max = nilai maximun hasil PCA
Peta kelas kesesuaian dibangun dengan menggunakan perangkat lunak
ArcGIS 10.3. Penentuan kelas kesesuaian lahan ditetapkan dengan mengacu pada
kelas kesesuaian lahan dari FAO, antara lain : (1) Sangat Sesuai (highly suitable)
merupakan lahan yang tidak mempunyai faktor pembatas yang besar dalam
pengelolaannya, atau hanya mempunyai pembatas yang tidak berpengaruh nyata
terhadap produksi dan tidak akan menaikkan masukan yang telah biasa diberikan;
(2) Sesuai (suitable) merupakan lahan yang mempunyai pembatas agak besar untuk
mempertahankan tingkat pengelolaan dan harus diterapkan. Pembatas akan
mengurangi produk atau keuntungan dan meningkatkan masukan yang diperlukan;
(3) Cukup Sesuai (moderatly suitable) merupakan lahan yang mempunyai pembatas
besar untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus diterapkan dan akan
mengurangi produksi dan keuntungan, atau lebih meningkatkan masukan yang
diperlukan; (4) Tidak Sesuai (poorly suitable) merupakan lahan yang mempunyai
pembatas permanen yang mencegah segala kemungkinan penggunaan lahan yang
lestari dalam jangka panjang; dan (5) Sangat Tidak Sesuai (unsuitable) merupakan
lahan yang mempunyai batas sangat berat yang tidak mungkin digunakan bagi suatu
penggunaan yang lestari.

Pulau Samosir

Analisis Uji
Y = Frekuensi Karakteristik preferensi Chi square
kehadiran andaliman Habitat

NDVI
Citra Landsat 8 NDMI
PCA
BSI
Peta Model DEM
Aster DEM
Kesesuaian habitat Slope
Andaliman
Curah
Stasiun
Hujan
Pos Hujan
Tidak
Validasi
Model
RBI
Ya
Ekstrapolasi
Model

Peta kesesuaian lahan


andaliman Pulau Samosir

Gambar 5 Analisis kesesuaian habitat andaliman


19

Validasi Model Kesesuian Habitat


Validasi model PCA untuk kesesuaian lahan andaliman dilakukan dengan
menggunakan data kehadiran (presence) dengan melihat nilai validasi dilakukan
terhadap hasil ekstrapolasi model secara spasial. Tingkat validitas model dilihat dari
tingginya presentase nilai data titik kehadiran andaliman pada kelas kesesuaian
tinggi bagi andaliman. Validasi model berguna untuk menunjukkan apakah model
dapat diterima dan dapat diekstrapolasi di kawasan lain atau tidak. Sebanyak 59%
(77 titik kehadiran) data pengamatan digunakan sebagai data untuk menyusun
model, dan 41% (53 titik kehadiran) digunakan untuk keperluan validasi model.
Apabila nilai validasi lebih dari 80% dari sesuai maka model dikatakan layak.
Perangkat ini menggabungkan semua informasi yang ada (variabel lingkungan yang
berpengaruh nyata) ke dalam sebuah peta kesesuaian (Syartinilia dan Tsuyuki,
2008).
Persamaan yang digunakan untuk validasi model dengan rumus sebagai
berikut:
𝑛
Validasi = 𝑁 x 100 % (29)
Keterangan:
n = jumlah titik presence yang ada pada kelas kesesuaian tertentu
N = jumlah total titik presence hasil survey.

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Biologi Habitat Andaliman

Distribusi andaliman sebagai tanaman rempah khas Sumatra Utara tergolong


kelompok tumbuhan diskontinu (disjunct), yaitu tumbuhan yang terpisah pada dua
atau lebih wilayah dengan jarak puluhan, ratusan atau ribuan kilometer yang
disebabkan oleh adanya penghalang dari pegunungan atau gunung yang tinggi di
daratan, atau pulau-pulau di laut. Penyebab terjadinya tumbuhan diskontinu,
diantaranya tumbuhan berevolusi tapi gagal bermigrasi dari habitat aslinya karena
penghalang tertentu; tumbuhan yang dimasa lalu tersebar luas tetapi kemudian
hilang karena kondisi lingkungan namun ada yang beradaptasi dan mampu
bertahan; iklim yang berubah dalam skala evolusi karena pada dasarnya tumbuhan
membutuhkan iklim tertentu dalam hidupnya (Giller dan Myers 1998). Terdapat
macam-macam tumbuhan endemik, antara lain tumbuhan endemik benua, endemik
regional dan lokal atau setempat. Menurut konsep dinamika fitogeografi, terdapat
beberapa penyebab yang mempengaruhi pola dasar distribusi vegetasi, yaitu: (a)
Kondisi habitat, (b) Respon tumbuhan, (c) Sifat adaptasi, (d) Migrasi dan (e)
Kelangsungan hidup yang sebagian besar tergantung pada sifat proses evolusi dan
kemampuan bermigrasi (Myers et al. 1998).

Indeks Nilai Penting


Dumbois-Mueller dan Ellerberg (2016) menyatakan bahwa parameter
kuantitatif merupakan hasil representatif metode petak kuantitatif diantaranya
kerapatan, area dasar dan frekuensi yang diinterpretasikan sebagai nilai
kepentingan dan sering dikenal dengan Indeks Nilai Penting. Keberadaan jenis
20

tumbuhan dalam suatu tempat merepresentasikan kemampuan adaptasi terhadap


habitat dan kemampuan toleransi terhadap lingkungan. Soegianto (1994)
menyatakan bahwa INP suatu jenis tumbuhan menunjukkan peranan jenis tersebut
dalam komunitasnya. Semakin besar nilai INP suatu spesies, semakin besar tingkat
penguasaan terhadap komunitas, dan berlaku keadaan sebaliknya.
Berdasarkan hasil analisis vegetasi andaliman di lokasi penelitian Pulau
Samosir, ditemukan 40 jenis tumbuhan (Lampiran 1) dari 26 famili (Gambar 6)
yang diidentifikasi di Pusat Konsevasi Tumbuhan Kebun Raya – LIPI dengan total
333 individu. Keanekaragaman dan dominansi jenis pada tingkat semai lebih tinggi
dibandingkan dengan tingkat tiang dan pancang.

Gambar 6 Jumlah famili dan jenis vegetasi di lokasi pengamatan

Jenis vegetasi terbanyak yang ditemukan pada lokasi penelitian adalah family
Compositae yang dikenal juga dengan Asteraceae. Family Compositae merupakan
vegetasi dengan anggota jenis terbanyak dalam Angiospermae, dengan distribusi
hampir di semua belahan dunia dan juga merupakan tumbuhan invasif yang terdapat
di Indonesia (Tjitrosoedirdjo 2005).

Lokasi 1
Lokasi 1 merupakan area bekas ladang yang terbakar dan telah ditanami kopi.
Interpretasi citra Landsat 8 menunjukkan bahwa area ini merupakan area lahan
terbuka. Nilai INP tertinggi vegetasi tingkat tiang pada lokasi 1 adalah Clibadium
surinamensis sebesar 118.57% (Tabel 3). Clibadium surinamensis hidup dengan
habitat hutan basah atau semak belukar dan merupakan gulma pada tanamana kopi
(Tjitrosoedirdjo 2005). Kerapatan tanaman Coffee arabic paling besar (300 ind/ha)
di antara kelompok tiang. Sedangkan frekuensi kemunculan ditemukan merata
merata pada tingkat tiang.
Andaliman memiliki nilai INP vegetasi tingkat pancang sebesar 28.29 %
bersama dengan Dichrocephala integrifolia, Phytolacca oleracea, Solanum torvum
(Tabel 4). Kelimpahan andaliman ditingkat pancang tergolong tinggi yaitu
mencapai 1 200 ind/ha. Frekuensi kemunculan andaliman dan vegetasi tingkat
pancang sama di setiap plot yang diamati. Hal ini menunjukkan habitat andaliman
di lokasi 1 merupakan komunitas yang stabil karena berpusat pada beberapa
21

individu. Tabel 3 dan Tabel 4 menunjukkan kerapatan dan INP tingkat tiang dan
pancang di lokasi 1.

Tabel 3 Kerapatan dan INP tingkat tiang lokasi 1


K KR FR DR INP
No Nama spesies
(ind/ha) (%) (%) (%) (%)
1 Clibadium surinamensis 200 33.33 33.33 51.91 118.57
2 Coffee arabica 300 50.00 33.33 28.03 111.36
3 Micromelum minutum 100 16.67 33.33 20.07 70.07
Jumlah 600 100.00 100.00 100.00 300.00
Keterangan:
K=Kerapatan; KR=Kerapatan relatif; FR=Frekuensi relatif; DR=Dominansi relatif;
INP=Indeks Nilai Penting

Tabel 4 Kerapatan dan INP tingkat pancang lokasi 1


K KR FR INP
No Nama spesies
(ind/ha) (%) (%) (%)
1 Dichrocephala integrifolia 1200 15.79 12.50 28.29
2 Phytolacca oleracea 1200 15.79 12.50 28.29
3 Solanum torvum 1200 15.79 12.50 28.29
4 Zanthoxylum acanthopodium 1200 15.79 12.50 28.29
5 Amischotolype mollissima 800 10.53 12.50 23.03
6 Rubus moluccanus L. 800 10.53 12.50 23.03
7 Urena lobata L. 800 10.53 12.50 23.03
8 Achyranthes aspera L. 400 5.26 12.50 17.76
Jumlah 7600 100.00 100.00 200.00
Keterangan:
K=Kerapatan; KR=Kerapatan relatif; FR=Frekuensi relatif; INP=Indeks Nilai Penting

Vegetasi tingkat semai dan tumbuhan tingkat bawah dengan INP tertinggi
dimiliki oleh Setaria palmifolia sebesar 39.68% (Tabel 5). Setaria palmifolia
merupakan gulma yang toleran terhadap naungan (Santosa 2009). Perkembangan
gulma ini dikuatirkan akan mengintervensi habitat alami dan mengancam
keberadaan jenis tumbuhan asli (Tjitrosoedirjo 2007). Andaliman memiliki INP
sebesar 16.67% dengan kerapatan 5000 ind/ha. Frekuensi kemunculan andaliman
pada lokasi 1 ditingkat semai dan tumbuhan tingkat bawah merata pada semua jenis.
Hal ini menunjukkan kestabilan komunitas andaliman di tingkat semai. Tabel 5
menunjukkan kerapatan dan INP tingkat semai dan tumbuhan bawah pada lokasi 1.

Tabel 5 Kerapatan dan INP tingkat semai dan tumbuhan bawah lokasi 1
K KR FR INP
No Nama spesies
(ind/ha) (%) (%) (%)
1 Setaria palmifolia 20 000 26.67 10.00 36.67
2 Scleria purpurascens 10 000 13.33 10.00 23.33
3 Solanum pseudocapsicum 10 000 13.33 10.00 23.33
22

K KR FR INP
No Nama spesies
(ind/ha) (%) (%) (%)
4 Nephrolepis cordifolia 7 500 10.00 10.00 20.00
5 Pilea sp. 7 500 10.00 10.00 20.00
6 Molineria latifolia 5 000 6.67 10.00 16.67
7 Persicaria chinense 5 000 6.67 10.00 16.67
8 Zanthoxylum acanthopodium 5 000 6.67 10.00 16.67
9 Elatostema rupestre 2 500 3.33 10.00 13.33
10 Physalis sp. 2 500 3.33 10.00 13.33
Jumlah 75 000 100.00 100.00 200.00
Keterangan:
K=Kerapatan; KR=Kerapatan relatif; FR=Frekuensi relatif; INP=Indeks Nilai Penting

Lokasi 2
Lokasi 2 merupakan area hutan sekunder dengan kontur menurun, aktivitas
manusia sedikit atau hanya dilewati oleh beberapa peternak sapi. Andaliman
dikelilingi oleh pohon yang tingginya mencapai 30 m lebih dan ditemukan beberapa
burung dan bajing. INP tertinggi tingkat tiang sebesar 47.12% dimiliki oleh
Micromelum minutum (Tabel 6). Micromelum minutum merupakan salah satu dari
2 jenis Micromelum yang ditemukan di Indonesia, dengan habitat hutan sekunder
dan hutan primer (Uji 2005). Tabel 6 dan 7 menunjukkan kerapatan dan INP tingkat
tiang dan pancang di lokasi 2.

Tabel 6 Kerapatan dan INP tingkat tiang lokasi 2


K KR FR DR INP
No Nama spesies
(ind/ha) (%) (%) (%) (%)
1 Micromelum minutum 75 15.79 14.29 17.04 47.12
2 Coffee arabica 75 15.79 19.05 10.59 45.43
3 Alangium kurzii 75 15.79 14.29 13.97 44.04
4 Maesa perlarius 50 10.53 9.52 12.40 32.45
5 Macaranga denticulata . 50 10.53 9.52 10.81 30.86
6 Homalanthus populneus 50 10.53 9.52 9.50 29.55
7 Melastoma malabathricum 50 10.53 9.52 9.33 29.38
8 Lasjia hildebrandii 25 5.26 9.52 9.33 24.12
9 Clibadium surinamensis 25 5.26 4.76 7.03 17.05
Jumlah 475 100.00 100.00 100.00 300.00
Keterangan:
K=Kerapatan; KR=Kerapatan relatif; FR=Frekuensi relatif; DR=Dominansi relatif;
INP=Indeks Nilai Penting

Vegetasi tingkat pancang dengan INP tertinggi dimiliki oleh Tetrastigma


lanceolarium sebesar 19.62% (Tabel 7). Andaliman memiliki INP sebesar 17.40%
dengan kelimpahan yang tinggi sebesar 1 200 ind/ha. Frekuensi kemunculan
andaliman pada setiap plot pengamatan lokasi 2 tergolong kecil dengan nilai FR
sebesar 8.51%. Tabel 7 dan Tabel 8 menunjukkan kerapatan dan INP tingkat
pancang dan semai di lokasi 2
23

Tabel 7 Kerapatan dan INP tingkat pancang lokasi 2


K KR FR INP
No Nama spesies
(ind/ha) (%) (%) (%)
1 Tetrastigma lanceolarium 1 500 11.11 8.51 19.62
2 Clidemia hirta 1 700 12.59 6.38 18.98
3 Solanum torvum 1 400 10.37 8.51 18.88
4 Christella dentata 1 200 8.89 8.51 17.40
5 Dichrocephala integrifolia 1 200 8.89 8.51 17.40
6 Urena lobata L. 1 200 8.89 8.51 17.40
7 Zanthoxylum acanthopodium 1 200 8.89 8.51 17.40
8 Blumea sp. 1 000 7.41 8.51 15.92
9 Atalantia missionis 700 5.19 8.51 13.70
10 Rubus moluccanus L. 900 6.67 6.38 13.05
11 Achyranthes aspera L. 500 3.70 8.51 12.21
12 Amischotolype mollissima 500 3.70 6.38 10.09
13 Phytolacca oleracea 500 3.70 4.26 7.96
Jumlah 13 500 100.00 100.00 200.00
Keterangan:
K=Kerapatan; KR=Kerapatan relatif; FR=Frekuensi relatif; INP=Indeks Nilai Penting

Tabel 8 Kerapatan dan INP tingkat semai dan tumbuhan bawah lokasi 2
K KR FR INP
No Nama spesies
(ind/ha) (%) (%) (%)
1 Nephrolepis cordifolia 14 375 15.03 9.30 24.34
2 Zanthoxylum acanthopodium 9 375 8.93 8.51 17.44
3 Chromolaena odorata 7 500 7.84 9.30 17.15
4 Cissus sp. 7 500 7.84 9.30 17.15
5 Solanum pseudocapsicum 7 500 7.84 9.30 17.15
6 Elatostema rupestre 8 750 9.15 6.98 16.13
7 Physalis sp. 8 125 8.50 6.98 15.47
8 Calopogonium mucunoides 4 375 4.58 9.30 13.88
9 Pilea sp. 6 250 6.54 6.98 13.51
10 Selaginella wildenovii 5 000 5.23 6.98 12.21
11 Persicaria chinense 6 875 7.19 4.65 11.84
12 Borreria ocymoides 3 750 3.92 6.98 10.90
13 Setaria palmifolia 5 625 5.88 4.65 10.53
14 Molineria latifolia 5 000 5.23 4.65 9.88
15 Scleria purpurascens 5 000 5.23 4.65 9.88
Jumlah 105 000 100.00 100.00 200.00
Keterangan:
K=Kerapatan; KR=Kerapatan relatif; FR=Frekuensi relatif; INP=Indeks Nilai Penting

Nilai INP tertinggi pada vegetasi tingkat semai dan tumbuhan bawah dimiliki
oleh Nephrolepis cordifolia sebesar 24.34% dengan kerapatan yang yang tinggi (14
375 ind/ha) (Tabel 8). Nephrolepis cordifolia merupakan tanaman gulma invasif
potensial yang menutupi permukaan tanah, mampu beradaptasi dengan baik pada
24

berbagai jenis tanah, toleran terhadap intensitas matahari yang tinggi dan tanah
terhadap kekeringan (Smith dan Riefner, 2015).
Andaliman memiliki INP kedua tertinggi pada tingkat semai dan tumbuhan
bawah sebesar 17.44% dengan kelimpahan yang tinggi sebesar 9 375 ind/ha (Tabel
8). Individu yang menempati habitat yang sama memiliki kecenderungan dan
toleransi lingkungan yang sama. Hal ini menunjukkan toleransi andaliman dan
Nephrolepis cordifolia terhadap lingkungan adalah sama yaitu toleran terhadap
sinar matahari dan tahan terhadap kekeringan. Ini mengindikasikan bahwa
andaliman toleran terhadap kehadiran gulma.

Lokasi 3
Lokasi 3 merupakah area persawahan berdasarkan interpretasi citra Landsat
8. Lokasi ini ditanami kopi oleh petani sebagai naungan bagi andaliman. Pada
tingkat tiang, nilai INP tertinggi dimiliki oleh Maesa perlarius sebesar 106.83%
(Tabel 9). Maesa perlarius merupakan tumbuhan liar daerah tropis, dan subtropis
yang beriklim sedang (Caris et al. 2000; Faizal et al. 2011) dapat ditemukan di tepi
hutan dan semak belukar. Tumbuh baik pada tempat terang dengan sinar matahari
langsung. Tumbuhan yang mendapatkan cahaya matahari secara langsung
umumnya akan menjadi naungan bagi tumbuhan dibawahnya yaitu pancang, semai
dan tumbuhan tingkat bawah. Tabel 9 menunjukkan kerapatan dan INP tingkat
tiang lokasi 3.

Tabel 9 Kerapatan dan INP tingkat tiang lokasi 3


K KR FR DR INP
No Nama spesies
(ind/ha) (%) (%) (%) (%)
1 Maesa perlarius 250 41.67 25.00 40.16 106.83
2 Coffee arabica 150 25.00 25.00 23.53 73.53
3 Micromelum minutum 100 16.67 25.00 17.51 59.17
4 Melastoma malabathricum 50 8.33 12.50 10.09 30.93
5 Clibadium surinamensis 50 8.33 12.50 8.70 29.54
Jumlah 600 100.00 100.00 100.00 300.00
Keterangan:
K=Kerapatan; KR=Kerapatan relatif; FR=Frekuensi relatif; DR=Dominansi relatif;
INP=Indeks Nilai Penting

Nilai INP vegetasi tingkat pancang tertinggi sebesar 29.45% dimiliki oleh
andaliman, dengan kelimpahan yang tergolong tinggi sebanyak 1400 ind/ha (Tabel
10). Frekuensi kemunculan andaliman tergolong tinggi sebesar 10.53%. Nilai INP
kedua tertinggi dimiliki oleh Christella dentata sebesar 24.04%. Christella dentata
merupakan paku-pakuan yang memiliki sifat antibakterial, dengan habitat dataran
hingga hutan dataran tinggi (Thomas 2015). Habitat Christella dentata
menunjukkan kecocokan dengan habitat andaliman yang asal persebarannya adalah
daerah subtropis. Kerapatan dan INP tingkat pancang, semai dan tumbuhan bawah
ditunjukkan dalam Tabel 10 dan Tabel 11.
25

Tabel 10 Kerapatan dan INP tingkat pancang lokasi 3


K KR FR INP
No Nama spesies
(ind/ha) (%) (%) (%)
1 Zantoxylum acanthopodium 1 400 18.92 10.53 29.45
2 Christella dentata 1 000 13.51 10.53 24.04
3 Amischotolype mollissima 800 10.81 10.53 21.34
4 Rubus moluccanus L. 800 10.81 10.53 21.34
5 Clidemia hirta 600 8.11 10.53 18.63
6 Dichrocephala integrifolia 600 8.11 10.53 18.63
7 Pilea melastomoides 600 8.11 10.53 18.63
8 Phytolacca oleracea 600 8.11 5.26 13.37
9 Blumea sp. 400 5.41 5.26 10.67
10 Achyranthes aspera L. 200 2.70 5.26 7.97
11 Atalantia missionis 200 2.70 5.26 7.97
12 Solanum torvum 200 2.70 5.26 7.97
Jumlah 7 400 100.00 100.00 200.00
Keterangan:
K=Kerapatan; KR=Kerapatan relatif; FR=Frekuensi relatif; INP=Indeks Nilai Penting

Tabel 11 Kerapatan dan INP tingkat semai dan tumbuhan bawah lokasi 3
K KR FR INP
No Nama spesies
(ind/ha) (%) (%) (%)
1 Persicaria chinense 12 500 19.61 11.11 30.72
2 Nephrolepis cordifolia 7 500 11.76 11.11 22.88
3 Pilea sp. 7 500 11.76 11.11 22.88
4 Zantoxylum acanthopodium 8 750 13.73 5.56 19.28
5 Elatostema rupestre 3 750 5.88 11.11 16.99
6 Molineria latifolia 3 750 5.88 11.11 16.99
7 Physalis sp. 3 750 5.88 11.11 16.99
8 Chromolaena odorata 5 000 7.84 5.56 13.40
9 Scleria purpurascens 3 750 5.88 5.56 11.44
10 Solanum pseudocapsicum 3 750 5.88 5.56 11.44
11 Setaria palmifolia 2 500 3.92 5.56 9.48
12 Cissus sp. 1 250 1.96 5.56 7.52
Jumlah 63 750 100.00 100.00 200.00
Keterangan:
K=Kerapatan; KR=Kerapatan relatif; FR=Frekuensi relatif; INP=Indeks Nilai Penting

Nilai INP vegetasi tingkat semai dan tumbuhan bawah tertinggi pada lokasi 3
sebesar 34.49% dimiliki oleh Persicaria chinense (Tabel 11). Menurut United
States Departement of Agriculture (USDA 2017) Persicaria chinense merupakan
salah satu gulma invasif beresiko karena dapat mendominasi perkebunan teh
dengan pertumbuhan yang cepat serta memiliki toleransi yang luas dalam berbagai
kondisi lingkungan. Habitat Persicaria chinense umumnya dibantaran sungai,
pembukaan lahan dan hutan sekunder, hutan yang terganggu. Berdasarkan
26

pendekatan ini, dapat disimpulkan bahwa andaliman dapat tumbuh bersama gulma
jenis Persicaria chinense. Andaliman memiliki INP tertinggi urutan keempat yaitu
19.28% dengan kelimpahan yang tinggi sebesar 8 750 ind/ha.

Lokasi 4
Lokasi 4 merupakan daerah di pinggiran hutan tanaman berdasarkan hasil
interpretasi citra Landsat 8, yang ditumbuhi dengan Coffee arabica. Analisis
vegetasi mendapatkan bahwa nilai INP tertinggi tingkat tiang dimiliki oleh Maesa
perlarius 78.97%, diikuti oleh Homalanthus populneus (63.03%), Coffee arabica
(48.73%) (Tabel 12). Tabel 12 dan Tabel 13 menyajikan kerapatan dan INP tingkat
tiang dan pancang pada lokasi 4

Tabel 12 Kerapatan dan INP tingkat tiang lokasi 4


K KR FR DR INP
No Nama spesies
(ind/ha) (%) (%) (%) (%)
1 Maesa perlarius 250 28.57 20.00 30.40 78.97
2 Homalanthus populneus 225 25.71 20.00 17.32 63.03
3 Coffee arabica 125 14.29 15.00 19.45 48.73
4 Clibadium surinamensis 125 14.29 15.00 14.68 43.96
5 Macaranga denticulata 100 11.43 20.00 10.56 41.99
6 Lasjia hildebrandii 50 5.71 10.00 7.59 23.31
Jumlah 875 100.00 100.00 100.00 300.00
Keterangan:
K=Kerapatan; KR=Kerapatan relatif; FR=Frekuensi relatif; DR=Dominansi relatif;
INP=Indeks Nilai Penting

Tabel 13 Kerapatan dan INP tingkat pancang lokasi 4


K KR FR INP
No Nama spesies
(ind/ha) (%) (%) (%)
1 Zanthoxylum acanthopodium 1 300 20.63 16.67 37.30
2 Achyranthes aspera L. 1 000 15.87 16.67 32.54
3 Christella dentata 1 000 15.87 16.67 32.54
4 Tetrastigma lanceolarium 800 12.70 16.67 29.37
5 Blumea sp. 700 11.11 12.50 23.61
6 Urena lobata L. 900 14.29 8.33 22.62
7 Dichrocephala integrifolia 600 9.52 12.50 22.02
Jumlah 6 300 100.00 100.00 200.00
Keterangan:
K=Kerapatan; KR=Kerapatan relatif; FR=Frekuensi relatif; INP=Indeks Nilai Penting

INP tertinggi pada vegetasi tingkat pancang adalah Zanthoxylum


acanthopodium sebesar 37.30% dengan kelimpahan 1 300 ind/ha (Tabel 13).
Frekuensi kehadiran andaliman bernilai sama dengan Achyranthes aspera L,
Christella dentata, Tetrastigma lanceolarium. Tiga spesies tersebut merupakan
gulma yang umum ditemukan di daerah tropis dan subtropis. Hasan S (2014)
menyatakan bahwa Achyranthes aspera merupakan gulma yang umum ditemukan
27

di India pada ketinggian 2 100 m dpl dan dimanfaatkan sebagai obat tradisional.
Kondisi ini memproyeksikan kemampuan andaliman untuk hidup dalam habitat
yang sama dan berdampingan dengan gulma Achyranthes aspera pada ketinggian
hingga 2 100 m dpl.
Tabel 14 menunjukkan Nilai INP tertinggi pada tingkat semai atau tumbuhan
bawah dimiliki oleh Setaria palmifolia (26.13%). Pada lokasi ini, frekuensi
kehadiran Setaria palmifolia pada plot pengamatan lebih besar dari pada andaliman,
bahkan dibandingkan dengan jenis lain. Meskipun demikian kelimpahan andaliman
pada lokasi ini tergolong tinggi sebesar 8 750 ind/ha. Setaria palmifolia merupakan
tanaman invasif beresiko tinggi di Hawai dari kelompok palem yang berasal dari
Asia sebagai tanaman hias, tumbuh dengan cepat dapat menganggu komunitas flora
asli dan ekosistem (USFWS 2000).

Tabel 14 Kerapatan dan INP tingkat semai dan tumbuhan bawah lokasi 4
K KR FR INP
No Nama spesies
(ind/ha) (%) (%) (%)
1 Setaria palmifolia 6 250 14.71 11.43 26.13
2 Zanthoxylum acanthopodium 8 750 17.07 7.89 24.97
3 Borreria ocymoides 5 625 13.24 11.43 24.66
4 Persicaria chinense 5 625 13.24 11.43 24.66
5 Scleria purpurascens 5 625 13.24 11.43 24.66
6 Selaginella wildenovii 5 625 13.24 11.43 24.66
7 Cissus sp. 5 000 11.76 11.43 23.19
8 Calopogonium mucunoides 4 375 10.29 11.43 21.72
9 Pilea sp. 2 500 5.88 11.43 17.31
10 Physalis sp. 1 875 4.41 8.57 12.98
Jumlah 42 500 100.00 100.00 200.00
Keterangan:
K=Kerapatan; KR=Kerapatan relatif; FR=Frekuensi relatif; INP=Indeks Nilai Penting

Hasil pengamatan vegetasi habitat andaliman pada lokasi 1, 2, 3, dan 4 secara


ringkas ditunjukkan oleh Tabel 15. INP tertinggi tingkat tiang dimiliki oleh
Clibadium surinamensis (118.57%), diikuti oleh Coffee arabica (111.36%), Maesa
perlarius (106.83%) dan Micromelum minutum (70.07%). Nilai INP yang tinggi
juga menunjukkan tingkat dominansi jenis tumbuhan tersebut dalam komunitasnya.
Berdasarkan nilai dominansi relatif tingkat tiang, nilai DR tertinggi dimiliki oleh
Clibadium surinamensis (51.91 %) karena memiliki luas bidang dasar yang lebih
tinggi daripada spesies lain ditingkat yang sama. Spesies yang paling melimpah
pada tingkat pancang, yang hidup bersama andaliman adalah Coffee arabica (300
ind/ha). Hal ini sesuai dengan pengamatan pada lokasi penelitian, bahwa petani
umumnya menanam Coffee arabica disekitar tempat tumbuh andaliman dengan
tujuan memberikan naungan bagi pertumbuhan andaliman. Pada beberapa tempat
pengamatan titik kehadiran andaliman dijumpai pada pinggiran area ladang Coffee
arabica yang sudah berkurang masa produktifnya.
Secara keseluruhan andaliman memiliki nilai INP tertinggi pada tingkat
pancang (37.30%), diikuti dengan Achyranthes aspera L ( 32.54%), Christella
dentata (32.54%) dan Tetrastigma lanceolarium (29.37%). Frekuensi kehadiran
28

andaliman sama dengan tiga spesies lain yang merupakan gulma. Namun dominasi
tingkat pancang tetap dimiliki oleh andaliman disebabkan oleh kelimpahan yang
tergolong tinggi (1 300 ind/ha) pada lokasi pengamatan. Hal ini menunjukkan
kemampuan toleransi andaliman yang tinggi terhadap kehadiran gulma dalam
pertumbuhannya.
Vegetasi tingkat semai dan tumbuhan bawah di sekitar andaliman di dominasi
oleh Setaria palmifolia (INP=36.67%) dengan kerapatan 20 000 ind/ha, diikuti oleh
(Tabel 15), diikuti oleh Persicaria chinense (37.32%), andaliman (24.97%) dan
Borreria ocymoides (24.66%). Kelimpahan andaliman menempati urutan ketiga
pada tingkat semai dan tumbuhan bawah. Vegetasi tingkat semai dan tumbuhan
bawah yang mendominasi secara bersama-sama dengan andaliman merupakan
kelompok gulma. Hal ini menguatkan kemampuan toleransi andaliman terhadap
gulma. Hasil ini mendukung pendapat Sutisna (1981) yang menyatakan bahwa
suatu jenis tingkat semai dikatakan penting jika nilai INP lebih dari 10%.

Tabel 15 Kelimpahan andaliman dan 3 spesies dengan INP terbesar lokasi


penelitian
K KR FR DR INP
Nama Spesies
(ind/ha) (%) (%) (%) (%)
Tiang
Clibadium surinamensis L. 200 33.33 33.33 51.91 118.57
Coffee arabica 300 50.00 33.33 28.03 111.36
Maesa perlarius 250 41.67 25.00 40.16 106.83
Micromelum minutum 100 16.67 33.33 20.07 70.07
Pancang
Zanthoxylum acanthopodium 1 300 20.63 16.67 - 37.30
Achyranthes aspera L. 1 000 15.87 16.67 - 32.54
Christella dentata 1 000 15.87 16.67 - 32.54
Tetrastigma lanceolarium 800 12.70 16.67 - 29.37
Semai dan tumbuhan bawah
Setaria palmifolia 20 000 26.67 10.00 - 36.67
Persicaria chinense 12 500 19.61 11.11 - 30.72
Zanthoxylum acanthopodium 8 750 17.07 7.89 - 24.97
Borreria ocymoides 5 625 13.24 11.43 - 24.66
Keterangan:
K=Kerapatan; KR=Kerapatan relatif; FR=Frekuensi relatif; DR=Dominansi relatif;
INP=Indeks Nilai Penting

Berdasarkan observasi lapangan dan wawancara dengan petani, menunjukkan


bahwa tanah tempat tumbuh andaliman jarang dibersihkan dari semai dan
tumbuhan tingkat bawah bahkan sengaja dibiarkan. Kehadiran tumbuhan bawah
sangat membantu pertumbuhan pada vegetasi hutan tanaman dengan melindungi
tanah dan organisme tanah serta membantu menciptakan iklim mikro di lantai hutan
dan memelihara kesuburan tanah (Kunarso dan Azwar, 2013). Dalam beberapa
kasus, petani mencoba membersihkan semai dan tumbuhan bawah disekitar
andaliman. Beberapa minggu berikutnya ditemukan bahwa andaliman terserang
29

hama tanaman seperti ulat pemakan daun, ulat penggerek batang dan hama daun
keriting. Hal ini merupakan pembelajaran yang berharga bagi petani andaliman,
karena umumnya mereka adalah petani andaliman yang otodidak, dan minimnya
pengetahuan tentang budidaya andaliman baik dalam bentuk informasi, pelatihan
atau penyuluhan.

Indeks Keanekaragaman Jenis (H’)


Indeks keanekaragaman jenis (H’) menyatakan variasi spesies dan jumlah
individu tiap spesies pada suatu kawasan. Nilai H’ pada vegetasi tingkat tiang di
semua lokasi penelitian berkisar antara 1.06 sampai 2.15 (Tabel 16) hal ini
menunjukkan bahwa keanekaragaman jenis tingkat tiang tergolong sedang.
Vegetasi tingkat pancang pada lokasi 1, 2 dan 3 berkisar antara 2-07 sampai 2.54,
sedangkan dilokasi 4 nilai H’ lebih kecil dari 1 yakni 0.193. Nilai ini menjelaskan
bahwa keanekaragaman jenis tingkat pancang dilokasi 1, 2, dan 3 tergolong sedang
dan rendah pada lokasi 4. Pada lokasi 4 perbandingan kerapatan jumlah individu
dengan variasi jumlah individu tiap spesies relatif kecil menunjukkan
ketidakseimbangan ekosistem yang disebabkan oleh gangguan dan tekanan. Dalam
hal ini gangguan dan tekanan yang dimaksud adalah aktivitas manusia, karena
penggunaan lahan ini merupakan hutan tanaman. Nilai H’ pada tingkat semai lokasi
1, 2, 3, dan 4 berkisar antara 2.15 sampai 2.61 yang berarti bahwa perbandingan
kerapatan jumlah individu dengan variasi jumlah jenis vegetasi tingkat semai dan
tumbuhan bawah tergolong sedang.

Indeks Kekayaan Jenis Margallef (R1)


Ismaini et al. (2015) menyatakan bahwa indeks kekayaan Margalef membagi
jumlah spesies dengan fungsi logarima natural yang mengindikasikan bahwa
pertambahan jumlah spesies berbanding terbalik dengan pertambahan jumlah
individu. Hal ini disebabkan oleh peluang suatu komunitas/ekosistem yang
memiliki banyak spesies akan memiliki sedikit jumlah individunya pada setiap
spesies tersebut. Tabel 16 menunjukkan ringkasan indeks Shannon, indeks
Margalef dan indeks kekayaan jenis tingkat tiang, pancang dan semai pada lokasi
penelitian.

Tabel 16 Indeks Shannon (H’), indeks Margalef (R1), indeks kekayaan jenis (E’)
di lokasi penelitian
Nilai H' Nilai R1 Nilai E
Lokasi
T P S T P S T P S
1 1.06 2.07 2.15 1.12 2.38 2.40 0.77 0.99 0.98
2 2.15 2.54 2.61 2.72 2.45 2.58 0.98 0.99 0.99
3 1.49 2.40 2.32 1.61 2.94 2.64 0.93 0.97 0.97
4 1.73 0.19 2.18 0.84 1.45 1.89 0.97 0.99 0.99
Keterangan:
H’=Indeks keanekaragaman jenis; R1=Indeks kekayaan jenis; E=Indeks
kemerataan jenis; T=Tiang; P=Pancang; S=Semai

Indeks kekayaan jenis Margalef tingkat tiang di lokasi 1, 3 dan 4 berkisar


antara 0.84 sampai 1.61 (Tabel 16), jika nilai R1 < 2.5 maka kekayaan jenis pada
30

lokasi tersebut termasuk dalam kategori rendah. Sedangkan pada lokasi 2 nilai R 1
> 2.5 menunjukkan bahwa kekayaan jenis pada lokasi 2 masuk dalam kategori
moderat. Pada tingkat pancang, nilai R1 pada lokasi 1, 2, dan 4 lebih kecil dari 2.5
yang termasuk dalam kategori rendah, sedangkan lokasi 3 dengan nilai R 1 sebesar
2.94 termasuk dalam kategori moderat. Kekayaan jenis tingkat semai dan tumbuhan
bawah pada lokasi 1 dan 2 tergolong rendah karena nilai R1 lebih kecil dari 2.5
sedangkan nilai R1 lebih besar dari 2.5 berada pada lokasi 2 dan 3 dengan kategori
moderat. Tabel 16 menunjukkan nilai R1 pada tingkat semai mengalami kenaikan,
hal ini menunjukkan pertambahan petak ukur seiring dengan peningkatan jumlah
jenis dengan jumlah individu yang semakin sedikit.

Indeks Kemerataan Jenis (E)


Nilai indeks kemerataan jenis menggambarkan keseimbangan melalui pola
sebaran vegetasi atau komposisi individu tiap spesies dalam suatu komunitas. Nilai
kemerataaan jenis tingkat tiang, pancang dan semai serta tumbuhan bawah pada
semua lokasi pengamatan berkisar antara 0.77 sampai 0.99 (Tabel 16). Nilai
tersebut berada dalam rentang 0.76 < E < 1, yang oleh Krebs (1972) dinyatakan
bahwa komunitas tersebut berada dalam keadaan stabil. Besarnya nilai E’
menunjukkan bahwa jumlah masing-masing jenis vegetasi disekitar andaliman
hampir sama atau tidak jauh berbeda. Maddupa (2016) menyatakan apabila nilai
indeks kemerataan semakin tinggi maka jumlah masing-masing jenis vegetasi
hampir sama atau tidak jauh berbeda. Hal ini menunjukan kehadiran vegetasi lain
seperti gulma disekitar andaliman tidak menunjukkan pengaruh signifikan pada
pertumbuhan andaliman.

Indeks Similarity
Setiadi (2005) mengemukakan bahwa kondisi mikrositus yang relatif
homogen akan ditempati oleh individu dari jenis yang sama, karena spesies tersebut
secara alami telah mengembangkan mekanisme adaptasi dan toleransi terhadap
habitatnya. Semakin kecil nilai indeks similaritas semakin rendah tingkat
kesamaannya, hal ini disebabkan oleh variasi kondisi lingkungan, maupun interaksi
antar spesies sehingga spesies yang hidup beragam. Nilai indeks kesamaan spesies
dari 4 lokasi pengamatan sebesar 0.170 (17%), yang termasuk dalam kategori
rendah karena IS mendekati 0%. Alasan lain yang menjadi penyebab rendahnya
nilai IS pada lokasi pengamatan adalah ketinggian lokasi penelitian berada diatas 1
200 m dpl. Kondisi ini relevan dengan teori yang menyatakan bahwa setiap
ketinggian tertentu akan memperlihatkan fisiognomi spesies penyusun komunitas
yang berbeda pula (Clement 1978). Hal inilah yang menyebabkan keberadaan
suatu spesies tumbuhan dapat dijadikan sebagai indikator suatu lingkungan.
Kelimpahan andaliman pada masing-masing lokasi tingkat semai dan pancang
ditunjukkan pada Gambar 7.
Hal yang unik dalam penelitian ini menunjukkan adanya indikasi
ketidakseimbangan yang signifikan dalam laju regenerasi semai menjadi pancang.
Gambar 7 menunjukkan kerapatan andaliman tinggi pada tingkat semai tidak diikuti
dengan pertumbuhan pada tingkat pancang. Pertumbuhan andaliman tingkat
pancang cenderung tertekan karena anakan alami yang tumbuh dihutan umumnya
digunakan oleh petani sebagai bibit untuk upaya budidaya pada lahan yang
dianggap sesuai oleh petani. Kondisi ini menjadi titik kritis keberadaan andaliman
31

di habitat alaminya. Jika keadaan yang demikian dibiarkan terus menerus terjadi
tanpa pencegahan dan penanganan yang tepat, maka andaliman akan semakin sulit
ditemukan dihabitat aslinya. Hal ini akan mendorong kepunahan bagi andaliman
sebagai tumbuhan rempah khas suku Batak.

10000 9357
8750 8750
9000
8000
7000
6000
ind/ha

5000
5000
4000
3000
2000 1200 1200 1400 1300
1000
0
Tanah terbuka Hutan tanaman Ladang terbuka Hutan tanaman
1 2 3 4
Lokasi penelitian
Pancang Semai

Gambar 7 Kerapatan andaliman di lokasi pengamatan

Hasil pengamatan menujukkan bahwa kelimpahan andaliman yang tinggi di


tingkat pancang ditemukan pada lokasi 3 dan 4 yang merupakan area ladang terbuka
dan hutan tanaman. Area ini merupakan area yang sudah mendapatkan campur
tangan manusia, khusus bagian pinggiran area hutan tanaman. Andaliman tingkat
semai terbanyak ditemukan pada lokas 2 diikuti dengan lokasi 1. Lokasi 2
merupakan lokasi hutan tanaman yang cukup jauh dari lintasan petani. Lokasi 2
dapat menjadi tempat sumber anakan andaliman bagi petani yang hendak
membudidayakan andaliman.

Penyebaran dan Pola Sebaran Spasial Andaliman


Pola spasial untuk melihat hubungan antar objek dalam ruang secara fisik.
Pola seragam muncul ketika setiap data titik objek memiliki jarak yang sama. Pola
acak mengindikasikan korelasi secara tidak langsung antara titik data, sedangkan
pola mengelompok menunjukkan relasi yang jelas antara data (Leps dan Kindlmann,
1987).
Pola distribusi spasial tumbuhan dipengaruhi oleh sejumlah faktor
lingkungan, diantaranya sejarah geologi daerah, stabilitas lingkungan, produktivitas
ekosistem, heterogenitas dan kesesuaian habitat, kompetisi dan predasi. Namun
faktor-faktor tersebut berpengaruh pada skala temporal seperti sejarah geologi
sedangkan karakter fisik dari mikrohabitat dapat mempengaruhi distribusi atau
kelimpahan spesies lokal. Selanjutnya dalam skala lokal pola distribusi populasi
akan menunjukkan pola spasial yang discontinue (Legalle et al. 2008).
32

Secara alami pola spasial awal tumbuhan hampir selalu mengelompok. Pola
selanjutnya tergantung proporsi faktor lingkungan dan pengaruh persaingan
individu dalam kelompok (Leps dan Kindlmann, 1987). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pola sebaran andaliman berdasarkan jarak terdekat antara
individu berbeda-beda pada setiap lokasi pengamatan. Pada lokasi 1 nilai indeks
Morisita standar (Ip) sebesar 0.00 yang bersesuaian dengan pola distribusi acak.
Pada lokasi 2 memiliki nilai Ip = -0.77 dan nilai Ip = -0.09 pada lokasi 3,
bersesuaian dengan pola distribusi seragam, sedangkan lokasi 4 memiliki nilai Ip =
0.364 yang bersesuaian dengan pola distribusi bergerombol. Hasil perhitungan
indeks Morisita disajikan dalam Tabel 17.
Lokasi 1 mempunyai pola sebaran acak, hal ini dikarenakan lahan terbuka ini
merupakan ladang bekas dibakar oleh petani. Pola acak ini sesuai dengan pendapat
Leps dan Kindlmann (1987) menyatakan bahwa pola acak dipengaruhi oleh
bencana (Catastrophic) dan kompetisi interspesifik (jika salah satu spesies
menunjukkan pola gabungan, kemungkinan besar kompetitor juga memiliki pola
yang sama). Kompetisi intraspesifik tumbuhan yang dimaksud adalah tanaman kopi.
Karena kopi merupakan tanaman dengan frekuensi terbanyak dibandingkan dengan
andaliman.

Tabel 17 Pola sebaran andaliman di lokasi penelitian


K Mu- Pola
Lokasi Id Mc Mu Id-1 Ip
(ind/ha) 1 penyebaran
1 1 200 1.00 3.79 1.12 0 0.12 0.00 Acak
2 1 200 0.82 2.70 1.17 -0.18 0.12 -0.77 seragam
3 1 400 0.95 2.83 1.31 -0.06 0.31 -0.09 seragam
4 1 300 1.02 2.75 1.03 0.02 0.03 0.364 Mengelompok
Keterangan:
K=Kerapatan; Id= Indeks dispersi Morisita, Mc=clump indeks, Mu=uniform indeks, Ip=
indeks Morisita Standar

Lokasi 2 merupakan hutan tanaman yang dirambah oleh petani dan lokasi 3
merupakan area lahan terbuka. Dengan demikian petani lebih leluasa untuk
memindahkan anakan dari hutan dengan jarak tiga sampai lima meter, sehingga
area ini merupakan area yang didominasi oleh andaliman. Hal ini menyebabkan
ditemukannya pola spasial seragam pada lokasi 2 dan 3. Pola ini mendukung
pendapat Leps dan Kindlmann (1987) yang menyatakan bahwa pola spasial
tanaman yang bernaung pada hutan tanaman dengan tutupan tajuk relatif rapat
cenderung memiliki pola distribusi spasial seragam.
Pola mengelompok sering teramati dalam populasi lokal terutama di habitat
tambal sulam. Pola mengelompok pada skala spasial akan sesuai dengan ukuran
tambalan dan menjadi hasil variasi spasial dalam mortalitas dan pembentukan
tanaman yang disebabkan oleh tambalan dari lingkungan (Suzuki et al. 2005). Teori
ini didukung oleh penelitian pada lokasi 4 yang merupakan area hutan tanaman
tetapi sudah digunakan sebagai lahan untuk budidaya andaliman dalam waktu yang
lama (20 tahun).
Alasan lain adalah berdasarkan review pengukuran indeks Morista oleh
Bleher et al. (2002) dengan pendekatan simulasi menyatakan bahwa pengukuran
indeks Morisita pada petak kuadrat lebih kecil dari 20 m, sering tidak mampu
33

membedakan antara pola seragam dan acak. Hal ini juga terjadi pada lokasi transek
yang berukuran 10 m hal inilah yang mempengaruhi pola sebaran yang berbeda
berdasarkan perhitungan index Morisita.
Odum (1993) menyatakan bahwa pola distribusi bergerombol dalam tiap-tiap
kelompok ada kemungkinan besar tersebar secara acak, seragam ataupun secara
bergerombol. Perbedaan pola distribusi akibat proses reproduksi dan akibat daya
tarik sosial. Distribusi intern andaliman di Pulau Samosir menunjukkan pola acak,
seragam, dan mengelompok. Perbedaan pola sebaran andaliman di Pulau Samosir
dipengaruhi oleh daya tarik sosial yakni nilai jual andaliman yang tinggi. Nilai
ekonomi menjadi motif petani dalam mengembangkan andaliman dengan cara
memindahkan anakan baru dari habitat alaminya ke lahan pertanian yang sesuai
menurut petani.

Karakteristik Biofisik Habitat Andaliman

Secara garis besar wilayah Kab Samosir terbentuk oleh bahan batuan vulkan
dari Toba (dasit) dan sedikit andesit. Landform wilayah Kab. Samosir dibedakan
menjadi tiga group yaitu aluvial, vulkanik, dan tektonik (BBSLDP 2016). Keadaan
tanah Kabupaten samosir terdiri atas 6 jenis tanah yang diturunkan menjadi 10
macam tanah (Soil Taxonomy 2014; BBSDLP 2016). Jenis tanah tersebut adalah
aluvial, litosol, gleisol, andosol, kambisol, dan podsolik. Perbedaan group tanah
disebabkan oleh perbedaan iklim dan tofografi yang mempengaruhi perkembangan
bahan induk dari masing-masing daerah. Turunan macam tanah dapat dilihat dalam
Tabel 18.

Tabel 18 Jenis tanah Pulau Samosir


Nasionala Soil Taxonomy (2014)
Jenis Macam Group Subgroup
Aluvial Aluvial Gleik Endoaquents Typic Endoaquents
Litosol Litosol Uderthens Typic Udorthens
Lithic Udorthents
Gleisol Gleisol Fluvik Fluvaquents Typic Fluvaquents
Gleisol Eutrik Endoaquepsts Typic Endoaquepsts
Gleisol Distrik Endoaquepsts Typic Endoaquepsts
Andosol Andosol Umbrik Hapludands Typic Dystrudepst
Kambisol Kambisol Gleik Dystrudepst Aquic Dystrudepst
Kambisol Litik Dystrudepst Lithic Dystrudepst
Kambisol Distrik Dystrudepst Typic Dystrudepst
Podsolik Podsolik Ortik Hapludults Typic Hapludults
a
Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian 2016

Andaliman di Pulau Samosir sudah dikenal dan dijadikan sebagai sumber


mata pencaharian alternatif oleh petani. Pemanfaatan andaliman yang diketahui
oleh petani hanya sebatas bumbu masakan untuk menghangatkan tubuh.
Penyebaran andaliman di Pulau Samosir saat ini tidak merata atau discontinue
(Hartley 1996). Informasi dari petani andaliman tumbuh di beberapa tempat yang
berbeda seperti Desa Tanjungan, Desa Salaon Dolok, Janji Maria. Untuk
mendapatkan bibit petani memindahkan anakan andaliman beberapa meter dari
34

lokasi semula dengan tujuan memudahkan pemetikan saat panen. Andaliman


sering dijumpai di area pinggiran hutan, atau ladang yang baru dibuka dengan cara
dibakar. Berdasarkan karakteristik habitatnya, andaliman menyebar pada tipe
tutupan lahan kering sekunder (hutan sekunder), pertanian lahan kering ditambah
semak, pertanian lahan kering (kebun) dan semak belukar.
Hasil overlay sebaran andaliman dengan peta jenis tanah, ditemukan
andaliman seluruhnya tersebar pada jenis tanah kambisol distrik. Hal ini berbeda
dengan penelitian Yonzone dan Rai (2016) yang menyatakan bahwa andaliman
dapat dibudidayakan pada jenis tanah laterit merah.

Gambar 8 Peta sebaran andaliman berdasarkan jenis tanah

Sifat Fisika Tanah Habitat Andaliman


Bobot isi tanah (Bulk density) kehadiran andaliman berada pada kisaran
rendah antara 0.4 sampai 0.7 sedangkan ketidakhadiran andaliman berada pada
kisaran yang tinggi antara 1.0 – 1.6 (Tabel 19). Soepardi (1983) mengemukakan
bahwa bobot isi tanah dipengaruhi oleh ruang pori dan padatan tanah, dengan
demikian tanah yang memiliki daya ikat rendah akan memiliki bobot yang ringan.
Bobot tanah yang didominasi pasir memiliki zarah yang berdekatan berbeda dengan
tanah yang didominasi liat dan lempung. Granula tanah yang tidak berdekatan
disebabkan oleh kandungan bahan organik yang cukup. Oleh karena itu nilai bulk
density pada tanah yang didominasi liat dan lempung berdebu lebih rendah daripada
tanah yang didominasi pasir dan lempung berpasir. Nilai porositas pada tanah
kehadiran andaliman mempunyai nilai yang tinggi disebabkan oleh faktor tekstur
tanah yaitu liat, sedang pada tanah ketidakhadiran andaliman memiliki tekstur tanah
yaitu pasir.
Porositas total merupakan jumlah pori dalam tanah baik yang diisi oleh udara
maupun air. Porositas total berbanding terbalik dengan bobot isi suatu tanah artinya
semakin tinggi nilai bobot isi tanah, semakin rendah nilai porositas totalnya atau
sebaliknya. Hasil penelitian dalam Tabel 19 menunjukkan porositas tanah
35

kehadiran andaliman lebih tinggi (antara 73.0 sampai 85.7) daripada tanah
ketidakhadiran andaliman (antara 39.2 sampai 64.9). Hal ini disebabkan oleh
pemadatan tanah akibat aktivitas manusia pada titik kehadiran andaliman lebih
sedikit daripada titik ketidakhadiran andaliman. Aktivitas tersebut berupa mencari
kayu bakar, menggembalakan ternak, maupun hanya melintas yang ditunjukkan
dengan adanya jalan setapak pada lahan atau berkebun.

Tabel 19 Sifat fisik tanah titik kehadiran dan ketidakhadiran andaliman


Bulk Poros- Kadar air Pori Drainase
AT
Titik Density itas pF.1 pF2 pF2.54 pF4.2 cepat lambat
%
(g/cm3) (%) % Volume
Titik kehadiran andaliman
HR1 0.4 85.7 64.9 45.3 34.9 15.1 19.6 10.4 19.8
HR2 0.6 77.0 64.0 47.7 37.5 20.1 16.4 10.2 17.5
LSx 0.6 77.4 58.5 44.8 37.6 20.2 13.7 7.2 17.4
PTa 0.6 76.5 59.9 45.7 36.9 20.6 14.2 8.8 16.3
PTb 0.6 77.3 56.7 43.1 35.4 17.8 13.6 7.8 17.5
PTc 0.7 73.1 57.8 49.5 36.2 22.4 8.3 13.3 13.7
PTd 0.7 73.2 59.9 48.4 38.7 23.2 11.4 9.7 15.5
Sado 1 0.7 73.0 57.5 46.0 37.0 21.4 11.5 9.0 15.6
Sado 2 0.5 79.9 60.3 43.0 34.6 20.0 17.3 8.4 14.6
Titik ketidakhadiran andaliman
Mogang 0.9 64.9 54.2 48.6 37.2 24.9 5.6 11.4 12.4
Nainggolan 1.0 62.9 49.6 40.9 34.8 20.1 8.7 6.1 14.7
Onanrunggu 1.3 51.1 47.5 39.8 26.2 18.4 7.8 13.5 7.8
Rianiate 1.6 39.2 34.2 30.1 19.1 12.6 4.1 11.0 6.5
Simanindo 1.2 54.2 46.0 36.0 24.0 16.9 9.9 12.1 7.1
Tomok 1.3 52.7 44.6 40.1 31.3 20.3 4.5 8.8 11.1
Keterangan:
AT=Air Tersedia; HR=Harangan Londut; LS=Lumban Sinurat; PT=Partukkoan;
Sado=Salaon Dolok; Sumber=Laboratorium Kimia BBSLDP Bogor, 2017

Kadar air yang terkandung dalam tanah kehadiran andaliman pada pF1, pF2,
pF2.54 dan pF4.2 menunjukkan perbedaan yang signifikan. Demikian juga dengan
kadar air pada tanah ketidakhadiran andaliman (Tabel 19). Nilai pF menunjukkan
banyaknya air yang terkandung dalam tanah pada hisapan matrik tertentu.
Kandungan air pada kondisi kapasitas lapang (pF2.54) sampai kondisi titik layu
permanen (pF4.2) memiliki kadar air yang lebih rendah dibandingkan pada keadaan
pF1 dan pF2. Kadar air pada kapasitas lapang titik kehadiran andaliman berada pada
kisaran 34.6 – 38.8% dan pada kondisi titik layu permanen berkisar antara 15.1–
23.2% (Tabel 19). Kadar air kapasitas lapang memiliki peranan penting bagi
pertumbuhan tanaman, karena memberikan kelembapan yang tinggi pada tanaman
untuk berkembang dengan baik tanpa kekurangan air. Sebaliknya jika nilai kadar
air pada kondisi layu permanen tinggi, menyebabkan tumbuhan sulit mendapatkan
air dengan mudah. Kondisi air dipengaruhi oleh bahan organik dan tekstur tanah.
Semakin tinggi kadar bahan organik dalam tanah, semakin tinggi juga kemampuan
tanah untuk mempertahankan air. Semakin halus tekstur tanah maka kemampuan
tanah mengikat air semakin tinggi.
Nilai kadar air pada semua pF pada tanah kehadiran andaliman lebih tinggi
daripada tanah ketidakhadiran andaliman. Beberapa hal yang menyebabkan
terjadinya perbedaan ini adalah pengolahan tanah, dan kondisi lahan tahun sekarang
36

maupun tahun-tahun sebelumnya. Tanah titik kehadiran andaliman banyak


ditumbuhi oleh vegetasi semai dan tingkat bawah yang menyebabkan lapisan
tanahnya menjadi lebih gembur akibat bahan organik dan sistem perakaran tanaman.
Berbeda dengan tanah ketidakhadiran andaliman sudah mendapatkan pengaruh
aktivitas manusia yang tinggi seperti perubahan fungsi lahan pemukinan, ladang
dan pekarangan.
Air tersedia merupakan air yang terdapat diantara kapasitas lapang dan
koefisien layu. Cara pengukuran koefisien layu pada semua tanaman adalah sama.
Soepardi 1983 menyatakan perbedaan antara kesanggupan tanaman menyerap air
selalu diselimuti oleh cepatnya kenaikan tegangan yang disebabkan oleh
menipisnya lapisan air. Berdasarkan penelitian irigasi menujukkan untuk
mendapatkan pertumbuhan optimum tanaman, air harus ditambahkan 50-85% dari
air tersedia telah habis terpakai. Hal ini berarti apabila air mendekati titik layu,
serapan air oleh tanaman tidak begitu cepat dan tidak dapat mengimbangi
pertumbuhan tanaman.

Sifat Kimia Tanah Habitat Andaliman


Pada umumnya karakter kimia tanah pada habitat andaliman lebih didominasi
oleh fraksi debu dan liat. Dikatakan liat karena mengandung liat paling sedikit 40%
dan liat berdebu artinya fraksi debu melebihi proporsi liat (Soepardi 1983). Tabel
20 menunjukkan tekstur tanah habitat andaliman berupa liat berdebu dan liat
memiliki tekstur halus sedangkan tanah lempung liat berdebu memiliki tekstur agak
halus (Soepardi 1983). Fraksi tanah ketidakhadiran andaliman sebagian besar
adalah pasir dengan tekstur kasar, lempung liat berpasir memiliki tekstur agak halus,
lempung berpasir memiliki tekstur tanah agak kasar (Tabel 20).
Tekstur tanah berhubungan dengan kemampuan tanah untuk menahan air dan
reaksi kimia tanah. Tanah yang bertekstur pasir mempunyai luas permukaan yang
kecil sehingga sulit untuk menahan air maupun erosi. Tanah dengan tekstur
lempung dan halus mempunyai kemampuan menahan air dan hara makanan bagi
tanah (Kadir et al. 2016). Hal ini menjelaskan ketersediaan air dan hara bagi
andaliman dalam pertumbuhannya. Penentuan kelas tekstur tanah berdasarkan
tekstur segitiga tanah. Tabel 20 menunjukkan tekstur tanah titik kehadiran dan
ketidakhadiran andaliman.

Tabel 20 Tekstur tanah titik kehadiran dan ketidakhadiran andaliman


Proporsi (%)
Kelas tekstur
Titik fraksi tanah
pasir debu liat
Titik kehadiran andaliman
HR1 3.00 34.00 63.00 Liat berdebu
HR2 5.00 34.00 61.00 Liat berdebu
LS 10.00 39.00 51.00 Liat berdebu
PTa 16.00 48.00 36.00 Lempung liat berdebu
PTb 16.00 40.00 44.00 Liat berdebu
PTc 13.00 40.00 47.00 Liat berdebu
PTd 13.00 24.00 63.00 Liat
Sado 1 11.28 34.16 54.46 Liat
Sado 2 8.25 18.51 73.24 Liat
Titik ketidakhadiran andaliman
37

Proporsi (%)
Kelas tekstur
Titik fraksi tanah
pasir debu liat
Mogang 2.0 63.0 35.0 Lempung liat berpasir
Nainggolan 50.0 42.0 8.0 Lempung berpasir
Onanrunggu 86.0 9.0 5.0 Pasir
Rianiate 85.0 7.0 8.0 Pasir
Simanindo 71.0 11.0 8.0 Pasir
Tomok 62.0 22.0 16.0 Lempung berpasir
Keterangan:
HR=Harangan Londut; LS=Lumban Sinurat; PT=Partukkoan; Sado=Salaon Dolok;
Sumber=Laboratorium fisika tanah IPB, Bogor 2017

Nilai C organik tanah titik kehadiran andaliman tergolong sedang hingga


sangat tinggi sebesar 2.8 sampai 8.6 dan nilai N organik tergolong sedang hinga
tinggi sebesar 0.2 hingga 0.6 (Tabel 21). Sedangkan nilai C organik tanah
ketidakhadiran andaliman tergolong rendah berkisar antara 0.5 sampai 2.2 dan nilai
N organik tergolong rendah dan sedang sebesar 0.1 sampai 0.3 (Tabel 21). Soepardi
(1983) menyatakan bahwa bahan organik merupakan bahan pengikat zarah yang
penting bagi tanah untuk memantapkan agregat, dan dapat mengubah pengaruh liat.
Bahan organik bersama-sama dengan mikroorganisme dan akar tanaman cenderung
meningkatkan porositas tanah dan memantapkan struktur tanah. Hal ini
menunjukkan kebutuhan andaliman akan ketersediaan C dan N organik yang tinggi
dalam pertumbuhannya.

Tabel 21 Hasil analisis bahan organik titik kehadiran dan ketidakhadiran


andaliman
Analisis bahan organik
Titik C (Walkley & Black) N (Kjeldhl) C/N
%
Titik kehadiran andaliman
HR1 2.8 0.2 14.0
HR2 5.7 0.3 18.0
LS 6.4 0.6 11.0
PTa 3.4 0.2 15.0
PTb 3.3 0.2 18.0
PTc 3.1 0.3 10.0
PTd 3.4 0.3 10.0
Sado 1 4.2 0.3 12.8
Sado 2 8.6 0.6 13.6
Titik ketidakhadiran andaliman
Mogang 1.4 0.2 8.0
Nainggolan 2.2 0.3 7.9
Onanrunggu 2.0 0.2 11.6
Rianiate 0.5 0.1 7.8
Simanindo 0.5 0.1 9.8
Tomok 1.8 0.2 9.4
Keterangan:
HR=Harangan Londut; LS=Lumban Sinurat; PT=Partukkoan; Sado=Salaon Dolok;
Sumber=Laboratoriun kimia BBSLDP Bogor, 2017
38

Secara umum tanah kehadiran andaliman memiliki reaksi sangat masam


hingga masam dengan nilai pH berkisar antara 4.7 sampai 5.9 (Tabel 22). Tingkat
kemasaman tanah pada titik kehadiran andaliman dipengaruhi oleh nilai kejenuhan
basa yang rendah. Reaksi tanah mempengaruhi ketersediaan unsur hara bagi
tanaman. Sarief (1986) menyatakan bahwa pada reaksi netral dengan pH 6.5 sampai
7.5 unsur hara tersedia dalam jumlah yang optimal. Pada pH kurang dari 6.0,
ketersediaan unsur seperti fosfor, kalium, belerang, magnesium, dan molibdium
menurun dengan cepat. Sedangkan pH tanah yang tinggi menyebabkan unsur
seperti natrium, mangan, barium, tembaga dan dan seng tersedia dalam jumlah yang
sedikit. Menurut Yonzone dan Rai (2016) andaliman hidup dalam habitat dengan
kondisi kemasaman sangat rendah berkisar antara 3 sampai 4.5. Hal ini
menunjukkan kemampuan andaliman mampu beradaptasi terhadap ketersediaan
unsur fosfor, kalium, belerang, magnesium, molibdium yang minim. Tabel 22
menunjukkan nilai pH dan KTK tanah titik kehadiran dan ketidakhadiran
andaliman.

Tabel 22 Hasil analisis pH dan KTK titik kehadiran dan ketidakhadiran andaliman
pH Nilai Tukar Kation
Titik
H2 O KCL Ca Mg K Na Jumlah KTK KB*%
Titik kehadiran andaliman
HR1 4.8 3.9 2.0 0.8 0.3 0.0 3.1 29.5 11.0
HR2 4.8 4.0 2.7 1.0 0.5 0.1 4.2 36.9 12.0
LS 5.9 5.1 7.8 3.1 0.7 0.1 11.6 36.0 32.0
PTa 4.6 4.0 1.2 0.6 0.1 0.1 2.0 22.4 9.0
PTb 4.8 4.0 1.6 0.7 0.2 0.1 2.6 24.3 11.0
PTc 4.8 3.9 1.6 0.7 0.3 0.1 2.6 28.1 9.0
PTd \4.7 3.9 1.6 0.7 0.2 0.1 2.5 31.1 8.0
Sado 1 4.7 4.2 1.8 0.6 0.2 0.0 3.2 18.5 30.9
Sado 2 4.7 4.1 1.7 0.6 0.3 0.5 3.1 32.4 18.9
Titik ketidakhadiran andaliman
Mogang 5.7 4.6 7.5 3.4 0.5 0.2 11.6 21.3
54.4
Nainggolan 7.1 6.2 9.9 1.7 0.5 0.1 12.1 12.1
>100
Onanrunggu 6.8 6.1 5.6 1.0 0.4 0.3 7.3 8.1
90.3
Rianiate 7.4 6.7 6.3 1.4 0.1 0.1 7.8 7.3
>100
Simanindo 6.5 5.8 3.5 1.1 0.3 0.0 4.9 6.3
77.6
Tomok 6.5 5.5 9.7 1.2 0.4 0.1 11.4 13.3
85.7
Keterangan:
KTK=Kapasits Tukar Kation; KB=Kejenuhan Basa; HR=Harangan Londut; LS=Lumban
Sinurat; PT=Partukkoan; Sado=Salaon Dolok; Sumber=Laboratoriun kimia BBSLDP
Bogor, 2017

Nilai KTK pada tanah kehadiran andaliman tergolong sedang dan tinggi,
berkisar antara 18.5 sampai 36.9 sedangkan tanah ketidakhadiran andaliman
memiliki nilai KTK yang tergolong rendah hingga sedang berkisar antara 6.3
sampai 21.3 (Tabel 22). Muklis (2007) menyatakan bahwa nilai KTK bergantung
pada tekstur tanah, tipe mineral liat tanah dan kandungan bahan organik. Semakin
tinggi kadar liat atau tekstur tanah yang semakin halus akan meningkatkan nilai
KTK, dan kandungan bahan organik tanah yang semakin tinggi akan meningkatkan
nilai KTK. KTK juga menjadi salah satu indikator kesuburan tanah karena
39

menunjukkan kemampuan tanah dalam menjerap dan mempertukarkan sejumlah


kation. Berdasarkan nilai pH dan KTK, dapat disimpulkan bahwa andaliman
memiliki kemampuan untuk menjerap sejumlah kation dalam habitat tanah yang
masam yang dapat mengakibatkan peluang kehilangan beberapa unsur penting yang
hilang.
Perbandingan kapasitas tukar kation yang ditempati basa-basa tersebut
merupakan persentase kejenuhan basa. Jika rentang nilai presentasi KB titik
kehadiran andaliman sama dengan 32 % (Tabel 22), ini berarti 32 % dari seluruh
kapasitas tukar tanah ditempati kation basa dan 62 % ditempati oleh hidrogen dan
aluminium. Soepardi 1983 menyatakan bahwa ada dua kelompok kation terjerap
yang mempunyai pengaruh berlawanan terhadap kemasaman dan kealkaninan
tanah. Sebagian besar kation-kation tersebut dikenal dengan basa-basa yang dapat
dipertukarkan dan menetralkan kemasaman tanah. Jumlah prosentasi kejenuhan
basa dan pH mempunyai korelasi yang signifikan. Semakin kecil nilai kejenuhan
basa karena kehilangan kalsium dan kation basa lain, maka pH tanah akan semakin
kecil atau sebaliknya. Ini menunjukkan bahwa proses pencucian cenderung
menaikkan kemasaman tanah.

Karakter Spasial Habitat Andaliman

Peta Sebaran Andaliman Berdasarkan Slope (kelerangan)


Slope merupakan kelerangan suatu lahan dan sangat mempengaruhi
pertumbuhan dan produktivitas vegetasi. Semakin tinggi kelerangan suatu lereng
mengakibatkan kecepatan aliran permukaan dan volume air permukaan semakin
besar, sehingga benda yang bisa diangkut akan lebih banyak (Martono 2004).
Sebaran andaliman berdasarkan kelerangan ditunjukkan oleh Gambar 8.
Pengelompokan kelerengan dibagi dalam beberapa kategori yaitu (1) datar (> 1%),
(2) agak datar (1–3%), (3) berombak (3–8%), (4) bergelombang (8–15%), (5)
berbukit kecil (15–25%), (6) berbukit curam (25–40%), dan (7) sangat curam
(>40%).

Gambar 9 Peta sebaran andaliman berdasarkan kelerangan


40

Gambar 10 Kurva respon variabel slope


Kokutse et al. (2016) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa kelerengan
lahan mempengaruhi kohesi akar pada jenis tanah dan vegetasi muda. Gambar 10
memperlihatkan sebaran andaliman berada dalam rentang yang lebar mulai dari
datar (< 1) sampai bergelombang (8 sampai 15%). Sebaran kehadiran andaliman
lebih banyak ditemukan pada kelerangan 1 sampai 3% (agak datar). Kedua
terbanyak ditemukan di kelerangan 3 sampai 8% (berombak), akan tetapi pada
kelerengan di bawah 1% (datar) dan 8 sampai 15% (bergelombang) andaliman
hanya sedikit ditemukan. Penelitian ini memperlihatkan habitat yang sesuai untuk
andaliman berada kelerangan agak datar (1 sampai 3%) dan berombak (3 sampai
8%). Kelerangan yang demikian merupakan gambaran kelerengan kecil dan sedang,
suplai air sedang dengan tegakan agak rapat dan produksi budidaya tinggi jikalau
kondisi iklim baik.

Peta Sebaran Andaliman Berdasarkan Bare Soil Indeks (BSI)


BSI merupakan nilai indeks untuk mengetahui keterbukaan (bare) suatu lahan,
dengan rentang nilai antara -1 sampai +1. Nilai BSI digunakan untuk
mengidentifikasi area tanah kosong dan lahan terbuka. Rikimaru et al. (2002)
menyatakan adanya hubungan timbal balik antara keterbukaan tanah dan vegetasi,
yakni jika tanah semakin dominan maka semakin sedikit vegetasi yang ditemukan
atau sebaliknya. Semakin tinggi nilai indeks dan mendekati 1 maka semakin
terbuka lahan tersebut. Pembagian kategori BSI ini dibagi dalam 4 kelas yaitu
rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi (Gambar 11).
Gambar 12 memperlihatkan bahwa andaliman tersebar pada BSI dengan
rentang nilai -0.056 sampai -0.238, ini menjelaskan bahwa sebaran andaliman
berada pada areal yang sedikit terbuka. Gambar 12 menunjukkan bahwa sebaran
kehadiran andaliman lebih banyak ditemukan pada rentang nilai -0.09 sampai 0.02.
Sebaran kedua terbanyak ditemukan pada rentan nilai -0.21 sampai -0.09. Area
dengan kondisi terbuka ini yang demikian merupakan areal semak belukar dan
hutan sekunder. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa andaliman menyukai
daerah yang agak terbuka. Hal ini sesuai dengan karakteristik andaliman yang
menyukai naungan dari pohon tinggi disekelilingnya.
41

Gambar 11 Peta sebaran andaliman berdasarkan BSI

Gambar 12 Kurva respon variabel BSI

Peta Sebaran Andaliman Berdasarkan Digital Elevation Model (DEM)


Ketinggian (DEM) suatu habitat sangat berpengaruh terhadap keragaman
jenis vegetasi, persebaran vegetasi, dan suhu udara. Semakin tinggi suatu daerah
maka semakin rendah suhu udaranya dan sebaliknya. Peta DEM Pulau Samosir
memperlihatkan bahwa kehadiran andaliman ditemukan pada rentang ketinggian
1 356 sampai 1 619 m dpl (Gambar 13). Hal ini sesuai dengan penelitian Hasairin
(2003) yang menyatakan andaliman tumbuh pada ketinggian 1 300 m dpl pada
kondisi tanah yang subur.
42

Gambar 13 Peta sebaran andaliman berdasarkan DEM

Gambar 14 memperlihatkan bahwa kehadiran andaliman terbanyak


ditemukan pada ketinggian diatas 1 553 m dpl. Kedua terbanyak kehadiran
andaliman pada ketinggian 1 470 m dpl, dan sangat sedikit pada ketinggian 1 300
m dpl. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa ketinggian berpengaruh nyata
pada habitat andaliman.

Gambar 14 Kurva respon variabel DEM


43

Peta Sebaran Andaliman Berdasarkan Curah Hujan


Keanekaragaman vegetasi rendah pada daerah yang memiliki curah hujan
rendah dibandingkan dengan daerah dengan curah hujan cukup. Curah hujan juga
mempengaruhi kelembapan tanah. Curah hujan Pulau Samosir termasuk dalam
kategori curah hujan sedang, berkisar antara 1 314 sampai 2 439 mm/tahun
(Gambar 15). Gambar 15 merupakan hasil interpolasi curah hujan Pulau Samosir
dalam kurun waktu 5 tahun (2011 sampai 2015)

Gambar 15 Peta sebaran andaliman berdasarkan curah hujan

Gambar 16 Kurva respon variabel curah hujan


44

Gambar 16 menunjukkan respon kehadiran andaliman terhadap variabel


curah hujan berkisar antara 1 651 sampai 1 753 mm/tahun. Curah hujan ini
tergolong sedang namun bukan batas bawah ataupun batas atas. Hasil penelitian ini
memperlihatkan bahwa andaliman tumbuh subur pada daerah dengan curah hujan
tidak banyak tetapi juga tidak terlalu sedikit Hal ini sesuai dengan pendapat Rakić
et al. (2009) yang menyatakan bahwa andaliman merupakan tumbuhan xeropfit
dengan karakteristik daun xemorpik yang memungkinkan andaliman mampu
beradaptasi di habitat kondisi iklim ringan, lembab dan hangat, serta hidup pada
curah hujan 1 500 sampai 2 000 mm/tahun.

Peta Sebaran Andaliman Berdasarkan Normalized Difference Vegetation


Index (NDVI)
NDVI adalah indeks nilai ukuran kehijauan vegetasi suatu areal. Semakin
tinggi nilai NDVI atau mendekati 1 berarti tingkat kehijauan tutupan lahan suatu
vegetasi sangat baik, sebaliknya jika nilai indeks lebih kecil dari 0 maka daerah
tersebut merupakan badan air atau tanpa vegatasi. Gambar 17 menunjukkan peta
sebaran andaliman berdasarkan nilai NDVI.

Gambar 17 Peta sebaran andaliman berdasarkan NDVI

Berdasarkan nilai NDVI, maka kerapatan tajuk dibagi dalam tiga kategori
yakni: (1) jarang (vegetasi 50%) dengan nilai NDVI berkisar antara -0.1 sampai
0.31, (2) sedang (vegetasi 50 sampai 70%) dengan nilai NDVI berkisar antara 0.32
sampai 0.42, dan (3) lebat (vegetasi 70 sampai 100%) dengan nilai NDVI berkisar
antara 0.43 sampai 1 (Departemen Kehutanan 2005). Gambar 17 menunjukkan nilai
NDVI Pulau Samosir berkisar antara -0.405 sampai 0.410 yang berarti nilai
kehijauan vegetasi Pulau Samosir secara keseluruhan tergolong sedang.
Gambar 18 menunjukkan respon sebaran titik andaliman ditemukan pada
rentang nilai 0.025 sampai 0.304. Berdasarkan pembagian objek nilai NDVI pada
Citra Landsat 8, nilai NDVI 0.025 bersesuaian dengan tanah kering dan nilai 0.2
45

sampai 0.3 bersesuaian dengan padang rumput dan semak belukar (Febrianti dan
Parwati, 2014). Hal ini menunjukkan bahwa andaliman hidup pada tingkat
kerapatan vegetasi yang jarang.

Gambar 18 Kurva respon variabel NDVI

Peta Sebaran Andaliman Berdasarkan Normalized Difference Moisture Index


(NDMI)
NDMI adalah nilai indeks dengan penginderaan jauh yang berhubungan
dengan air dan kelembapan udara disekitar vegetasi (Hudjimartsu 2017), semakin
tinggi NDMI maka semakin tinggi kelembapan udara di sekitar vegetasi.
Kelembapan yang tinggi ditemukan pada daerah dataran rendah atau daerah dekat
dengan air atau aliran air (riparian) (Dermawan 2017). NDMI mempunyai
hubungan yang signifikan dan linier dengan nilai NDVI suatu areal. Implikasinya
adalah jika suatu kawasan memiliki tutupan vegetasi yang bagus atau rapat maka
kawasan tersebut memiliki kelembapan vegetasi atau kelembapan permukaan
tutupan area yang tinggi. Jika nilai indeks NDMI lebih besar dari 0.1 maka daerah
tersebut memiliki tingkat kelembapan yang tinggi, sebaliknya jika mendekati –1
maka tingkat kelembapannya rendah (Herbei et al. 2012).
Goodwin et al. (2008) mengkategorikan kelas NDMI dalam 3 kategori, yaitu:
(1) nilai NDMI > 0.20 menunjukkan kondisi kelembapan vegetasi dalam kategori
lembab/tinggi, (2) nilai NDMI berkisar 0.1 sampai 0.2 menunjukkan kelembapan
sedang, dan (3) nilai NDMI < 0.1 menunjukkan kelembapan rendah. Nilai NDMI
Pulau Samosir berada dalam rentang nilai 0.445 sampai 0.820 yang berarti Pulau
Samosir memiliki kelembapan yang tinggi (Gambar 19)
46

Gambar 19 Peta sebaran andaliman berdasarkan NDMI

Gambar 20 memperlihatkan bahwa sebaran andaliman berada dalam rentang


nilai 0.653 sampai 0.774. Hal ini menunjukkan habitat andaliman memerlukan
kelembapan dalam kategori lembab/tinggi. Kehadiran andaliman terbanyak
ditemukan pada rentang nilai NDMI 0.706 sampai 0.739. Jumlah kedua terbanyak
pada rentang nilai 0.671 sampai 0.706, selanjutnya pada rentang nilai 0.630 sampai
0.671. Gambar 20 menunjukkan kurva respon variabel NDMI andaliman.

Gambar 20 Kurva respon variabel NDMI

Ditinjau dari sisi spasial, kehadiran andaliman ditemukan pada lokasi dengan
nilai NDVI antara 0.105 sampai 0.305, dan nilai BSI berkisar antara -0.32 sampai
1 (Tabel 23). Semakin tinggi nilai NDVI dan NDMI maka areal tersebut memiliki
47

kerapatan vegetasi dan penutupan tajuk yang tinggi. Berdasarkan titik kehadiran
andaliman, diketahui bahwa andaliman ditemukan pada areal denga curah hujan 1
605.7 sampai 1 753.7 mm/tahun dan nilai NDMI berkisar antara 0.653 sampai
0.774. Hal ini memperlihatkan bahwa andaliman dapat tumbuh optimal pada curah
hujan 1 849.3 mm/tahun dengan tingkat kelembapan vegetasi tergolong lembab.
Habitat andaliman di Pulau Samosir berada pada ketinggian 1 300 sampai
1 961 m dpl. Berdasarkan kelas ketinggian dengan mempertimbangkan perubahan
suhu setiap kenaikan 100 m, dapat diketahui sebagian besar (97.4%) andaliman
tumbuh pada ketinggian 1 400 sampai 1 600 m dpl. Menurut Hartley (1966)
andaliman tumbuh pada ketinggian lebih dari 1 300 m dpl. Ketinggian tempat
tumbuh andaliman menunjukkan bahwa andaliman merupakan tumbuhan dataran
tinggi. Andaliman dapat ditemukan pada kelerangan datar (> 1%) sampai
bergelombang (8 – 15%) namun andaliman tumbuh optimal pada kelerengan agak
datar (1 – 3%) dan berombak (3 – 8%). Tabel 23 menunjukkan karakteristik spasial
habitat andaliman di Pulau Samosir.

Tabel 23 Karakteristik spasial peubah ekologi habitat andaliman


Peubah Satuan Nilai
BSI - -0.056 – (-0.238)
NDVI - 0.025 – 0.304
NDMI - 0.653 – 0.774
Kelerengan Persen (%) 2.83 – 40
DEM Meter (m) 1300 – 1691
Curah hujan mm/tahun 1651.4 – 1753.7

Pemodelan Spasial Kesesuaian Habitat Andaliman

Overlay Data Variabel Predictor


Overlay atau tumpang tindih variabel predictor terdiri atas data BSI, NDVI,
NDMI, DEM, slope, curah hujan, dan jenis tanah yang bertujuan menggabungkan
beberapa variabel predictor. Proses overlay dilakukan untuk mendapatkan nilai dari
varibel predictor terhadap variabel response, melalui ekstraksi dan nilai ekstraksi
digunakan untuk analisis selanjutnya. Gambar 13 memperlihatkan ilustrasi overlay
setiap variabel predictor.
Data variabel response berupa titik kehadiran andaliman sebanyak 130 titik
andaliman, sebanyak 77 titik digunakan sebagai data uji dan sebanyak 53 titik untuk
keperluan validasi. Data predictor yang dipakai berupa numerik dalam bentuk
raster dengan ukuran piksel 30 m. Data numerik terdiri atas NDVI, NDMI, DEM,
slope, curah hujan dan BSI. Data NDVI, NDMI, Slope, dan BSI dari data citra
satelit Landsat 8, sedangkan data DEM didapatkan dari USGS DEM.
48

Gambar 21 Overlay variabel predictor

Analisis PCA Variabel Ekologi


Analisis PCA beberapa variabel predictor akan menghasilkan bobot setiap
variabel. Ketercukupan sampel dengan enam variabel yang tersisa dilakukan
pengujian ulang terhadap uji KMO dan Bartlett test of sphericity. Nilai KMO yang
dihasilkan sebesar 0.590 dengan signifikansi sebesar 0.000 dan 541.98 untuk uji
Bartlett test of sphericity. Hal ini menunjukkan variabel dan sampel dapat
digunakan dan dianalisis lebih lanjut. Nilai anti-image (MSA) ini menjadi dasar
seleksi variabel yang nilainya terukur. Tabel 24 menunjukkan bahwa nilai MSA
masing-masing variabel lebih besar dari 0.5 sehingga proses PCA dapat dilanjutkan.
Nilai Bartlett Test of Spehricity memenuhi persyaratan karena signifikansi di bawah
0.05 (5%), yang berarti Ho diterima. Selanjutnya nilai Communalitas berkisar 0.609
sampai 0.953, ini berarti semua faktor mampu menjelaskan variabel sebesar 95.5%.
Analisis PCA titik kehadiran andaliman pada variabel yang telah diuji
menunjukkan bahwa penyederhanaan enam variabel menghasilkan 2 komponen
utama yang tidak saling berhubungan (tidak ada mulitkoliniaritas). Nilai kumulatif
atau initial eigenvalue cumulative dari keenam variabel dengan syarat eigenvalues
lebih besar dari 1 adalah 81.1%, nilai ini mewakili data sebagian besar variabel
melalui komponen 1 dan komponen 2. Tabel 24 menyajikan nilai MSA variabel
predictor.

Tabel 24 Nilai MSA variabel pemrediksi


Variabel MSA
BSI 0.540
NDMI 0.543
NDVI 0.646
DEM 0.571
Slope 0.684
Curah hujan 0.722

Proporsi keragaman (varians) dianggap cukup mewakili total keragaman data


jika keragaman kumulatif mencapai 70% – 80% (Beaumont 2012). Eigenvalues
merupakan angka yang menunjukkan bobot relatif setiap faktor dalam menghitung
varians dari 6 faktor yang dianalisis. PC1 memiliki nilai eigenvalue sebesar 3.187
dengan nilai keterwakilan sebesar 53.11%, sedangkan PC 2 memiliki nilai
49

eigenvalue sebesar 1.679 dengan nilai keterwakilan sebesar 27.9%. Tabel 25


menunjukkan nilai eigenvalues dan nilai keterwakilan variabel terhadap PC1 dan
PC2. Tingkat keterkaitan atau korelasi antar variabel yang digunakan dalam PC
dapat diamati dari nilai factor loadings. Nilai factor loadings dan nilai eigenvalues
PC1 dan PC2 dapat dilihat dalam Tabel 25 dan Tabel 26.

Tabel 25 Hasil analisis PCA Nilai eigenvalues terhadap PC1 dan PC2
Initial Eigenvalues
Compo
Cumulative
nent Total % of Variance
%
1 3.187 53.114 53.114
2 1.679 27.990 81.104
3 0.604 10.066 91.169
4 0.313 5.223 96.393
5 0.214 3.561 99.953
6 0.003 0.047 100.00

Tabel 26 Nilai factor loadings variabel terhadap PC1 dan PC2


PC
Variabel
1 2
BSI -0.887 0.408
NDMI 0.873 -0.411
NDVI 0.845 -0.241
DEM 0.722 0.532
Slope -0.190 -0.757
Curah hujan 0.606 0.655

Berdasarkan nilai factor loadings masing-masing pembentuk PC (Tabel 25),


maka dapat dihasilkan persamaan untuk setiap PC sebagai berikut:
PC1 = -0.887(BSI) + 0.873(NDMI) + 0.845(NDVI)
0.722(DEM) + 0.606(Curah hujan) – 0.190(slope) (28)

PC2 = 0.408(BSI) – 0.411(NDMI) – 0.241(NDVI)


+ 0.532(DEM) – 0.757(slope) + 0.655(curah hujan) (29)

Nilai eigenvalue pada PC1 dan PC2 dijadikan sebagai bobot untuk menduga
komposisi data dari seluruh variabel habitat andaliman yang sesuai. Selanjutnya
persamaan kesesuaian habitat andaliman dapat dibentuk dengan persamaan sebagai
berikut:
Y = 3.187(PC1) + 1.679(PC2) (30)
Keterangan:
Y = Nilai kesesuaian habitat andaliman
PC1 = Komponen utama pertama
PC2 = Komponen utama kedua
Berdasarkan pembobotan dalam Tabel 26 menunjukkan bahwa variabel yang
paling berpengaruh pada PC1 adalah faktor fisik yaitu keterbukaan lahan (BSI)
dengan hubungan yang bersifat negatif sebesar -0.887, semakin negatif nilai BSI
50

maka peluang kehadiran andaliman semakin tinggi. Variabel berikutnya yang


memiliki pengaruh pada PC1 adalah kelembapan (NDMI) sebesar 0.873, tutupan
vegetasi NDVI sebesar 0.845, DEM sebesar 0.722, curah hujan 0.606 dan
kelerengan sebesar -0.190.
PC2 menggambarkan kebutuhan habitat pada faktor fisik yaitu kemiringan
dengan hubungan negatif yaitu -0.757, diikuti dengan nilai BSI sebesar -0.408,
kelembapan NDMI sebesar -0.411, tutupan vegetasi NDVI sebesar -0.241, DEM
sebesar 0.532, dan curah hujan 0.655.

Kesesuaian Habitat Andaliman

Hasil pemetaan kesesuaian habitat andaliman menunjukkan bahwa 2.37% (15


311 ha) areal Pulau Samosir merupakan area yang sangat sesuai bagi habitat
andaliman. Berdasarkan hasil overlay peta penggunaan lahan, areal tersebut
merupakan area hutan tanaman. Hutan tanaman merupakan kawasan dengan akses
yang terbatas oleh pemerintah saja. Gambar 22 memperlihatkan peta sebaran
andaliman pada setiap kategori kesesuaian habitat.

Gambar 22 Peta kesesuaian habitat andaliman

Areal dengan kategori sesuai ditemukan sebesar 36.17% (233 326 ha) dari
luas Pulau Samosir (Gambar 22). Kehadiran andaliman lebih banyak ditemukan
pada areal ini yakni 37 titik (67.3%), dibandingkan dari kelas kesesuaian yang lain.
Secara umum areal ini terdiri atas areal hutan tanaman, pertanian tanah kering dan
sawah, bahkan tanah terbuka dengan karakteristik lahan yang berbeda (Tabel 27).
Hal ini mengindikasikan habitat andaliman telah terfragmentasi dan berpotensi
menjadi ancaman bagi kelestarian andaliman. Disisi lain fragmentasi habitat
andaliman menjadi peluang keberadaan andaliman yang relatif tinggi dan bisa
dijadikan sebagai areal prioritas peningkatan kualitas bagi pengelola andaliman,
baik untuk konservasi, pengembangbiakan serta regenerasi andaliman. Andaliman
51

lebih banyak ditemukan pada daerah dengan kelas sesuai, diikuti dengan kelas
kesesuaian sangat tinggi dan kesesuaian sedang.
Ditinjau dari perspektif petani, fragmentasi habitat andaliman memiliki
pengaruh negatif antara lain: a) petani kehilangan waktu yang produktif untuk
mengupayakan usaha tanah yang letaknya berpencar b) pengawasan terhadap apa
yang diusahakan pada masing-masing tanah menjadi sukar c) petani tidak leluasa
memilih tanaman yang paling menguntungkan d) banyak tanah yang produktif
dikorbankan untuk pematang e) pembagian air pengairan sukar diatur f) alat-alat
mekanis tidak dapat digunakan
Berdasarkan validasi model, kategori kesesuaian cukup sesuai terdapat pada
areal seluas 25% (161 348 ha) dari luas Pulau Samosir (Tabel 27). Hasil interpretasi
penggunaan lahan, areal ini seluruhnya merupakan areal pertanian lahan kering.
Dengan demikian areal ini dapat dijadikan areal alternatif untuk konservasi
andaliman, dengan mempertimbangkan faktor ketinggian wilayah. Kehadiran titik
andaliman pada area ini sangat sedikit yakni 2 titik (0.036%) (Tabel 27).

Tabel 27 Pembagian kelas kesesuaian habitat andaliman


Kesesuaian Luas Jumlah Habitat Validasi
habitat (ha) titik (%)
Sangat Tidak Sesuai (STS) 50 561,1 - - -
Tidak Sesuai (TS) 184 784 - - -
Cukup Sesuai (CS) 161 348 2 Pertanian lahan 0.036
kering
Sesuai (S) 233 326 37 Hutan tanaman, 67.3
pertanian lahan
kering, sawah,
tanah terbuka
Sangat Sesuai (SS) 15 311 14 Hutan tanaman 25.4

Sosial Ekonomi Petani Andaliman Pulau Samosir

Hasil Sensus Pertanian tahun 2013 (ST2013) menunjukkan bahwa usaha


pertanian Provinsi Sumatera Utara didominasi oleh rumah tangga, yang
ditunjukkan dengan jumlah usaha pertanian rumah tangga yang lebih besar dari
perusahaan pertanian atau pelaku usaha pertanian yang berbadan hukum. Sensus
Pertanian 2013 mendapatkan rumah tangga usaha pertanian Kabupaten Samosir
sebanyak 23 853 rumah tangga dan 23 168 rumah tangga pada tahun 2003
peningkatan hanya 2.96% dalam sepuluh tahun. Pada tahun yang sama perusahaan
pertanian berbadan hukum tidak ada atau nol. Nilai ini merupakan pencapaian yang
rendah dalam kurun waktu 10 tahun, dan merupakan proyeksi pertumbuhan sektor
pertanian tidak mengalami kemajuan yang berarti.
Berdasarkan penggunaan lahan, rumah tangga usaha pertanian Provinsi
Sumatera Utara didominasi oleh pengguna lahan yang terdiri atas petani gurem
(rumah tangga usaha pertanian yang menguasai ≤ 5 000 m 2 lahan) dan petani non
gurem (rumah tangga usaha pertanian yang menguasai ≥ 5 000 m 2 lahan). ST2013
menyatakan bahwa jumlah petani gurem lebih banyak (43.58%) daripada petani
non gurem (56.42%). Jumlah petani gurem di Kabupaten Samosir tahun 2003
sebanyak 16 653 rumah tangga dan 17 810 rumah tangga tahun 2013. Peningkatan
52

hanya sebesar 6.95% dalam kurun waktu 10 tahun. Angka ini sangat rendah
dibandingkan dengan peningkatan yang terjadi di kabupaten lain di sekitar kawasan
DTA Danau Toba.
Penggunaan lahan suatu daerah menggambarkan keadaan sosial, ekonomi
masyarakat yang tinggal di daerah tersebut. Meurut data Dinas Pertanian, Perikanan,
dan Peternakan Kabupaten Samosir penggunaan lahan Kab. Samosir dibedakan
menjadi lahan untuk sawah irigasi teknis, sawah irigasi setengah teknis, sawah
irigasi sederhana, sawah irigasi desa/non PU, sawah tadah hujan, sawah pasang
surut, sawah lebak, dan lahan bukan sawah yang terdiri dari tegal, ladang,
perkebunan.
Masyarakat Kabupaten Samosir umumnya bekerja di sektor pertanian
(pertanian, perkebunan, kehutanan, pemburuan, dan perikanan), diikuti jasa
kemasyarakatan, sosial dan perorangan, sektor perdagangan, rumah makan dan jasa
akomodasi, sektor konstruksi, sektor transportasi, komunikasi dan sektor
kelembagaan keuangan dan usaha persewaan.

Karakteristik petani andaliman


Setiap daerah memiliki karakteristik dan pola perilaku masyarakat yang
berbeda. Karakteristik tersebut merupakan interaksi masyarakat terhadap
lingkungan melalui proses adaptasi dan coping sumber daya alam dan lingkungan
yang ditempati. Karakteristik petani andaliman Pulau Samosir teramati melalui
interaksi langsung dan wawancara mendalam. Responden yang berhasil
diwawancarai sebanyak 9 orang petani andaliman, dilanjutkan dengan diskusi
terhadap 1 orang perangkat desa, 1 orang pengumpul sekaligus pemilik UMKM
andaliman dan 1 orang penggiat andaliman.
Petani andaliman didominasi oleh laki-laki sebagai kepala rumah tangga, dan
berperan penting dalam menentukan jenis komoditas yang akan diupayakan
(Arikanto 1998), dari sepuluh responden yang diwawancai sembilan diantaranya
adalah laki-laki, dan satu responden wanita. Rentang usia responden (petani
andaliman) berkisar antara 28 sampai 75 tahun. Dari sepuluh responden terdapat
dua responden berusia 65 sampai 75 tahun, tujuh responden berusia 35 sampai 51
tahun, dan satu responden berusia 28 tahun. BPS 2014 mengelompokkan umur
produktif petani Indonesia kedalam 3 kelompok yaitu kelompok belum produktif
(0 sampai 14 tahun), kelompok produktif (15 sampai 64 tahun), kelompok tidak
produktif lagi (lebih dari 65 tahun). Usia produktif petani akan mempengaruhi
proses adaptasi pengetahuan atau inovasi baru dalam pertanian.
Berdasarkan rentang usia, semakin besar usia responden semakin lambat
proses penyerapan terhadap informasi pengetahuan dan teknologi, meskipun
demikian dalam usia ini responden mempunyai kepemilikan lahan yang semakin
luas. Petani yang lebih tua umumnya mempunyai kapasitas pengelolaan usahatani
yang lebih matang dan memiliki banyak pengalaman. Petani-petani muda
mengambil pengalaman dari orangtuanya, hal ini dipengaruhi oleh keterlibatan
anggota keluarga yang semula hanya melaksanakan usahatani orangtua, akhirnya
akan mengambil tanggungjawab orang tua yang semakin tua. Responden yang
sudah berusia tidak produktif memberikan tanggung jawab dan tanah kepada anak-
anaknya. Hal ini sesuai dengan pengamatan di lokasi penelitian, pendampingan ke
lokasi andaliman dan diskusi tentang budidaya andaliman dipercayakan kepada
petani yang lebih muda.
53

Tingkat pendidikan responden beragam, sebanyak dua responden


menamatkan pendidikan tingkat SD, empat responden menamatkan pendidikan
hingga SMP, dua responden menamatkan pendidikan hingga SMEA dan satu
responden menamatkan pendidikan hingga DIII. Menurut Soeharjo dan Patong
(1973) tingkat pengetahuan petani sukar diukur dengan pasti, namun dalam
penelitian tingkat pendidikan petani dapat diukur berdasarkan tingkat pendidikan
formal yang pernah didapatkannya. Tingkat pengetahuan ini penting ditinjau dari
segi teknologi baru, perubahan harga produksi, dan cara-cara pemasaran yang lebih
baik. Tingkat pengetahuan yang baik akan mendorong petani untuk membaca
tulisan-tulisan dalam bentuk brosur, surat kabar, majalah dan tulisan-tulisan lain
yang dapat membantu meningkatkan pengetahuannya.
Semua responden merupakan suku batak, sembilan diantaranya sudah tinggal
tetap di daerah penelitian (Desa Salaon Dolok, Desa Partukkoan) selama lebih dari
20 tahun, dan satu responden yang tinggal lebih dari sepuluh tahun (Desa Lumban
Sinurat). Karena responden yang bersangkutan merupakan sinonduk ni hela
(menantu pendatang). Hal ini menunjukkan keterikatan yang kuat antara etnis Batak
dengan andaliman.
Sumber mata pencaharian utama responden adalah kopi (Coffee acabica dan
Coffee robusta), sedang andaliman adalah mata pencaharian andalan kedua
(alternatif). Menurut responden dalam wawancara, andaliman menjadi alternatif
sumber pandapatan yang dapat diandalkan oleh rumah tangga responden, karena
nilai jual andaliman tinggi. Ada saat-saat tertentu dimana tanaman kopi tidak
menghasilkan buah yang banyak, maka andaliman dapat menjadi sumber
pendapatan keluarga. Karena diluar musim panen andaliman, nilai jual andaliman
jauh lebih tinggi dari biasanya mampu mencapai Rp. 250 000/Kg, yakni saat musim
pesta di kalangan etnis Batak (Juni-Juli), musim liburan sekolah, liburan Natal dan
Tahun Baru. Meskipun andaliman berbuah lebih sedikit dari biasanya, responden
akan tetap memanen andaliman. Sebaliknya saat nilai jual andaliman jatuh pada
titik terendah (Rp. 30 000/Kg), responden memilih untuk tidak memanen andaliman
dengan alasan, biaya (tenaga) yang dikeluarkan lebih besar daripada nilai jual yang
diterima oleh responden. Disamping luka-luka yang mungkin dialami saat
memanen biji andaliman karena tanaman andaliman memiliki duri pada batang dan
daunnya.

Persepsi masyarakat terhadap fungsi hutan


Pandangan atau persepsi masyarakat terhadap lingkungan (environmental
perception) merupakan persepsi spasial hasil interpretasi ruang oleh individu
berdasarkan latar belakang, kemampuan nalar, budaya dan pengalaman. Dengan
demikian setiap individu dapat memiliki persepsi yang berbeda terhadap
lingkungan dan objek yang sama, bergantung pada latar belakang yang dimiliki.
Persepsi lingkungan mempengaruhi pengambilan keputusan dalam berbagai aspek
kehidupan individu termasuk didalamnya perspektif masyakat terhadap hutan.
Persepsi responden (petani andaliman) terhadap fungsi jamak manfaat hutan
diantaranya manfaat keseimbangan lingkungan hidup, menjaga kualitas tanah,
berpengaruh terhadap pendapatan, dan berpengaruh terhadap kehidupan sosial
responden. Petani andaliman mempersepsikan fungsi majemuk hutan dengan
sangat baik, sembilan dari sepuluh responden sangat setuju bahwa hutan penting
bagi kehidupan. Selanjutnya pengenalan petani akan fungsi tunggal hutan berbeda-
54

beda dari setiap responden, secara keseluruhan tanggapan responden terhadap


fungsi tunggal hutan bersifat positif yakni setuju dan sangat setuju.
Persepsi responden mengenai manfaat hutan terhadap keseimbangan
lingkungan (fungsi ekologi) sangat baik menurut enam responden, dan tiga
responden lain menyatakan setuju. Manfaat hutan untuk menjaga kualitas tanah di
tanggapi dengan sangat setuju oleh lima responden, sedang empat lainnya
menyatakan setuju. Persepsi responden terhadap fungsi ekonomi hutan ditanggapi
dengan setuju oleh lima responden dan empat responden sangat sesuai. Hal ini
menunjukkan bahwa fungsi ekonomi hutan belum termanfaatkan oleh responden
dengan sangat baik.

Persepsi petani terhadap tanaman andaliman


Keberadaan andaliman sebagai tanaman rempah khas Pulau Samosir
diketahui oleh semua responden, yang ditunjukkan dengan jawaban saat wawancara.
Responden yang mengatakan sangat setuju atas pernyataan “Tanaman andaliman
adalah tanaman penting Pulau Samosir” ada sembilan orang, dan satu responden
yang menjawab setuju. Bahkan dikalangan responden mengatakan bahwa
andaliman yang berasal dari Pulau Samosir memiliki rasa yang khas, enak di
bandingkan dengan andaliman yang berasal dari luar Pulau Samosir. Informasi ini
bersumber dari konsumen dan pengumpul andaliman. Hal ini memang masih
memerlukan penelitian lebih lanjut dan dapat dipertanggungjawabkan.
Sebanyak sembilan responden sangat setuju atas pernyataan “Mengetahui ciri
khas andaliman dengan sangat baik”, dan satu responden mengatakan setuju.
Semua responden sangat mengetahui manfaat andaliman secara menyeluruh, dan
menemukan keberadaan andaliman lebih banyak di hutan daripada pekarangan
rumah. Responden mengetahui pemanfaatan andaliman hanya sebagai bumbu
masakan dan sangat setuju bahwa tanaman andaliman tidak dapat digantikan
dengan bumbu lain (tak tergantikan). Pemanfatan andaliman untuk kesehatan dan
upacara adat, hampir tidak diketahui oleh semua responden. Hal ini berbeda dengan
pemanfaatan andaliman di daerah India dan Sri Lanka, dimana andaliman
merupakan tanaman lokal yang banyak dimanfaatkan untuk pengobatan sakit diare,
dan deman. Seluruh responden menyatakan sangat setuju bahwa tanaman
andaliman bermanfaat bagi lingkungan dan hutan memiliki hubungan yang erat
dengan andaliman. Persepsi ini dilatarberlakangi oleh pemikiran bahwa keberadaan
andaliman awalnya ditemukan dihutan. Pada akhirnya semua responden sangat
setuju bahwa andaliman perlu dilestarikan.
Sebanyak tujuh responden mengatakan pengolahan tanah sampai pemanenan
budidaya andaliman sangat mudah, sedang dua responden menjawab mudah.
Artinya secara keseluruhan budidaya andaliman mudah untuk dilakukan, karena
dalam pemeliharaan tanaman andaliman, responden hanya perlu membabat
semai/tumbuhan tingkat semai yang sudah tinggi sedangkan tumbuhan tingkat
bawah dibiarkan begitu saja. Pengalaman beberapa responden, apabila
semai/tumbuhan tingkat bawah benar-benar dibersihkan akan mempermudah/
meningkatkan peluang tanaman andaliman terkena serangan hama seperti
pengggerek batang dan ulat pemakan daun.
Untuk penyiapan bibit penanaman andaliman, responden menjawab mudah
(enam orang), sangat sulit (empat orang). Perbedaan jawaban ini didasarkan pada
pengalaman responden dalam mengembangbiakkan andaliman. Bagi responden
55

yang menjawab “mudah” biasanya mengambil anakan alami secara langsung dari
hutan dan responden yang menjawab “sangat sulit” dikarenakan responden telah
mencoba mengembangkan bibit andaliman dari biji dengan keberhasilan yang
sangat rendah.
Demikian juga dengan proses penanaman andaliman, tujuh responden
menjawab “sangat mudah” dan “mudah” untuk tiga responden lain. Pemeliharaan
tanaman andaliman (pemupukan, pengairan, pemberantasan hama) tergolong
mudah bagi semua responden. Menurut responden pemeliharaan andaliman, cukup
dengan memastikan tumbuhanan tingkat bawah/semai disekitar andaliman tidak
lebih tinggi dari andaliman, dan sebaiknya menghindari andaliman terlalu bersih
dari tumbuhan tingkat bawah lainnya karena dapat mengakibatkan daun andaliman
menjadi keriting oleh ulat.
Kesulitan bagi para responden adalah masa pemanenan/pemetikan andaliman.
Karena andaliman memiliki duri di sepanjang batang, cabang dan daun yang cukup
tajam. Sehingga responden perlu menggunakan pelindung seperti sepatu boot, baju
berlengan panjang, dan penutup kepala. Kurangnya disiplin responden
menggunakan pelindung, menyebabkan luka akibat tusukan dan gesekan pada
tubuh responden. Ketersediaan bibit anakan alami dalam hutan, membuat
responden tidak mengalami kendala yang berarti dalam hal penyediaan bibit, dan
responden tidak perlu mengeluarkan biaya untuk memperoleh bibit.
Responden juga tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan untuk pembelian
pupuk, berbeda dengan tanaman budidaya lainnya yang memerlukan pemupukan
yang teratur. Menurut responden, andaliman hanya memerlukan pupuk kompos
bukan pupuk sintesis. Pengalaman responden, pemberian pupuk sintesis akan
memperpendek usia produktif tanaman andaliman, sehingga pupuk terbaik adalah
pupuk kompos yang diberikan satu kali dalam setahun. Alasan lain adalah tanah
yang ditumbuhi andaliman merupakan tanah yang subur. Dengan demikian
frekuensi serangan hama penyakit tanaman akan menjadi rendah. Pada saat yang
sama andaliman tidak memerlukan pengairan yang intensif dan tidak mensyaratkan
kedekatan dengan sumber aliran air.
Dalam pertumbuhannya, tanaman andaliman memerlukan tegakan/pohon
pelindung. Hal ini sesuai dengan jawaban responden “ya” oleh semua responden.
Menurut responden tanaman pelindung andaliman yang sesuai seperti pohon
makkade, hoting, hartolu, sibosa, dapdap, dan kopi. Ketiadaan pohon pelindung
akan mengakibatkan kematian bagi andaliman. Pola tanam budidaya andaliman
oleh responden berupa pola tanam monokultur dan polikultur (tanaman campuran).
Pola tanam monokultur andaliman berbeda dengan pola tanam monokultur kelapa
sawit atau kopi. Dalam pola tanam monokultur andaliman masih ditemukan
tumbuhan lain tingkat pancang, bahkan tingkat tiang (lihat Tabel 15), namun yang
mendominasi adalah andaliman.
Jenis kultivar andaliman yang ditanam oleh responden berbeda-beda,
beberapa responden mengetahui perbedaan karakteristik buah, bau, duri dan warna
andaliman. Namun saat ditanya jenis/nama kultivar andaliman yang ditanam,
responden tidak dapat menyebutkan secara jelas nama kultivar. Hampir semua
responden setuju bahwa mereka memilih kultivar andaliman dengan ciri buah
andaliman lebih wangi, lebih kecil dan berbuah banyak yang merupakan
karakteristik kultivar simanuk.
56

Keadaan Sosial Petani Andaliman Pulau Samosir


Aksesibilitas pendidikan nonformal petani andaliman berupa penyuluhan
tentang pertanian atau perkebunan dari instansi pemerintah Kabupaten/Kecamatan
Samosir hampir tidak pernah diterima oleh responden. Hal ini ditunjukkan dengan
jawaban responden atas pernyataan “Frekuensi menerima informasi tentang
budidaya andaliman dalam satu tahun terakhir”, dan jawaban semua responden
sama yakni “tidak pernah”. Responden menceritakan petani andaliman tidak
mendapat perhatian dari instansi terkait (Dinas pertanian/Perkebunan/ Kehutanan),
berbeda dengan komoditas lain yang sudah popular seperti kopi, coklat dan cengkeh.
Keadaan ini menggambarkan lambatnya perkembangan atau inovasi budidaya
andaliman di kalangan responden, karena responden tidak memiliki kemampuan
yang memadai dalam mengakses informasi tentang pengetahuan dan budidaya
andaliman. Keterbatasan dalam menggunakan teknologi dan tidak adanya
dukungan media cetak yang memadai merupakan kendala yang umum diantara
responden.
Sebanyak tujuh responden menjawab bahwa mereka tidak pernah mengakses
informasi/pengetahuan tentang budidaya andaliman. Sedang tiga lainnya pernah
(satu kali) menonton acara bertema budidaya andaliman yang disiarkan dalam
televisi lokal (Evarina TV). Hal ini diteguhkan dalam pertanyaan mengenai jumlah
pihak terkait yang mendukung responden dalam budidaya andaliman. Lima orang
responden menjawab “tidak ada” dan lima responden lain menjawab “ada”. Ketika
ditanya siapa saja pihak yang membantu, responden menjawab “sesama petani
andaliman”. Responden tidak mendapatkan bantuan dari pemerintah baik dalam
bentuk informasi, sarana produksi, pemasaran dan modal. Minimnya bantuan pihak
luar mempengaruhi kemajuan dalam budidaya andaliman. Disisi lain hal ini
menjadi alasan bahwa kerja sama diantara responden terjalin dengan baik.
Beberapa responden menceritakan bahwa adanya pihak tertentu yang menjanjikan
bantuan melalui kelompok tani berupa alat pelindung (sepatu boot), namun hingga
saat ini, bantuan tersebut belum terealisasi.
Secara unik, semua responden menyatakan setuju bahwa hutan
mempengaruhi kehidupan sosial responden. Persepsi yang terbangun,
dilatarbelakangi oleh sistem kepemilikan lahan (land tenure) di Pulau Samosir.
Kepemilikan lahan umumnya oleh klan (marga) tertentu dan mencegah akses dari
marga atau kelompok lain untuk menggunakan atau memaksimalkan produksi
lahan tersebut. Faktor tersebut menyebabkan program rehabilitasi hutan dan lahan
mengalami ketidakberhasilan di kawasan DTA Danau Toba karena pemilik lahan
yang tidak mau mengikutsertakan lahannya dalam program, sebagai akibat dari
ketidakjelasan status kepemilikan lahan (khususnya kepemilikan lahan komunal).
Aturan tradisional kepemilikan dan penguasaan lahan di Pulau Samosir sama
dengan masyarakat di kawasan DTA Danau Toba yakni bersifat patrilineal
(berdasarkan kekerabatan dari pihak laki-laki). Sistem kekerabatan di lokasi
penelitian ialah Dalihan Natolu. Sistem kekerabatan pratrilineal memiliki ciri-ciri
sebagai berikut :
a. Hubungan kekerabatan diperhitungkan melalui garis ayah, anak menjadi hak
ayah dan seorang ayah memegang peranan penting dalam pengaturan
kehidupan keluarga.
b. Hak milik diwariskan melalui suatu garis di dalam susunan kekerabatan yang
ditentukan oleh para anggota kerabat dari pria.
57

c. Pengantin baru bertempat tinggal atau hidup menetap pada pusat kediaman
kekerabatan dari suami.
d. Para pria mempunyai kedudukan yang tinggi dalam kehidupan masyarakat.
Menurut pemerhati masalah-masalah sosial bahwa land and resource tenure
mengacu pada relasi sosial yang ditentukan dalam setiap sistem penguasaan,
pemanfaatan, pengelolaan tanah dan sumber alam lainnya, baik yang diakui
maupun yang tidak diakui oleh hukum Negara yang berlaku (Affandi dan Harianja,
2010). Relasi sosial yang terbentuk diantara individu dalam satu kelompok
masyarakat, antara kelompok masyarakat satu dengan kelompok masyarakat
lainnya, termasuk pula antara rakyat dan pemerintah dalam suatu negara. Dalam
relasi sosial ini juga terkandung dalam berbagai perspekstif seperti relasi gender,
kelas (baik perspektif ekonomi dan sosial), hubungan antar etnik, budaya dan
kelompok umur.
Sinaga (1997) menyatakan bahwa kehidupan sosial masyarakat kawasan
DTA Danau Toba masih terikat kuat dengan budaya dan adat Batak terutama dalam
hal sistem kekerabatan (marga) dan silsilah asal-usul (tarombo) yang berhubungan
secara langsung dengan sistem pewarisan (termasuk di dalamnya sistem pemilikan
dan penguasaan lahan. Dengan demikian pewarisan khususnya kepemilikan dan
penguasaan lahan bagi masyarakat Toba sangat berhubungan erat dengan proses
pengambilan keputusan yang melibatkan seluruh anggota keluarga. Jika dalam
proses pengambilan keputusan (musyawarah) anggota marga terdapat satu orang
saja yang tidak menyetujui hasil musyawarah, maka keputusan tersebut akan batal
dengan sendirinya. Situasi ini mengakibatkan munculnya kesulitan pemanfaatan
lahan secara intensif, baik untuk tujuan konservasi maupun tujuan peningkatan
produktivitas lahan di kawasan DTA Danau Toba.
Hutan Pulau Samosir merupakan kawasan samosir register 43 di daerah
Kecamatan Ronggur Nihuta, kawasan samosir register 81 di daerah Kecamatan
Palipi, daerah ini merupakan daerah ditemukannya titik kehadiran andaliman.
Affandi dan Harianja (2010) membagi kepemilikan lahan kawasan DTA Danau
Toba termasuk Pulau Samosir dalam lima kelompok yaitu :
1. Lahan milik individu (lahan yang dimiliki secara perorangan atau individu
tertentu). Lahan ini sebagian besar diperoleh berdasarkan warisan orang tua,
pemberian saudara, dan hasil pembelian. Hasil wawancara terhadap sepuluh
responden petani andaliman menunjukkan bahwa hanya dua responden yang
melakukan budidaya andaliman pada lahan milik sendiri, dan satu responden
menanam andaliman pada tanah garapan.
2. Lahan milik individu yang pemiliknya tinggal di luar kawasan DTA Danau
Toba (lahan ini milik perorangan tetapi pemiliknya tinggal di luar kawasan
DTA Danau Toba)
3. Lahan milik marga (lahan milik bersama/komunal dari keturunan tertentu dan
belum dibagi-bagi kepada anggota marga (marga adalah garis kekerabatan
menurut garis keturunan ayah/patrilineal). Pola pemanfaatan lahan marga ini
berupa lahan kosong dan hutan adat (marga). Hasil wawancara menunjukkan
bahwa dua responden memanfaatkan hutan adat sebagai lahan untuk
budidaya andaliman.
4. Lahan milik swasta (lahan negara yang dikuasai oleh pihak swasta atau
perusahaan setelah mendapatkan izin dari negara). Pola pemanfaatan lahan
milik swasta ini berupa lahan konsesi hutan maupun perkebunan.
58

5. Lahan milik negara (lahan yang tidak dibebani hal milik). Umumnya pola
pemanfaatan lahan ini berupa hutan produksi atau hutan lindung. Meskipun
demikian banyak juga ditemukan lahan kosong yang perlu direhabilitasi.
Dalam wawancara mendalam ditemukan empat responden yang
menggunakan hutan negara sebagai lahan budidaya andaliman. Hal ini
menjadi menyebabkan konflik antara petani andaliman dengan UPTD
Kehutanan Samosir. Petani andaliman menyadari bahwa apa yang petani
lakukan melanggar hukum, namun tetap melanjutkan usaha budidaya
andaliman di lahan milik negara oleh karena motif ekonomi.

Keadaan Ekononi Petani Andaliman Pulau Samosir


Pendapatan responden melalui andaliman cukup tinggi dilihat dari rasio upah
minumum kota (UMK) Kabupaten Samosir tahun 2018 sebesar Rp 2 249 428,-.
Pendapatan delapan responden dari andaliman berkisar antara Rp. 500 000 sampai
Rp. 1 500 000 dalam 1 kali musim panen, musim panen andaliman dapat
berlangsung 2 sampai 3 kali/tahun. Satu responden menyatakan pendapatan untuk
1 kali musim panen dapat mencapai Rp. 1 500 000 sampai Rp. 2 500 000. Jumlah
pendapatan yang diterima oleh responden bergantung pada jumlah pokok batang
andaliman yang mereka miliki. Nilai pendapatan tersebut tergolong tinggi untuk
petani jika dibandingkan dengan biaya produksi harus dikeluarkan oleh responden.
Budidaya andaliman cenderung minim biaya, karena responden tidak
mengeluarkan biaya untuk pupuk, atau biaya pemeliharaan. Merujuk angka
pendapatan yang diterima oleh responden, dapat dilihat andaliman sangat
menjanjikan untuk dijadikan sebagai mata pencaharian responden dan tentunya
akan meningkatkan kesejahteraan petani. Dengan demikian perlu dilakukan
pengkajian yang lebih komprehensif untuk menjadikan andaliman sebagai komoditi
yang dapat diandalkan oleh petani, dan membangun sistem budidaya yang dapat
diadopsi oleh petani andaliman.
Satuan luas lahan andaliman yang umum dikalangan petani diukur dengan
satuan rante (1 rante = 400 m2). Luas lahan andaliman yang dimiliki responden
berkisar antara dibawah 1 ha sampai 4 ha. Empat responden memiliki lahan dengan
luas dibawah 1 ha, lima responden memiliki lahan seluas 1 sampai 2 ha, dan satu
responden mempunyai luas lahan andaliman 2 sampai 4 ha. Luas lahan andaliman
berbandign lurus dengan jumlah pokok andaliman yang dimiliki oleh responden.
Empat responden memiliki pokok andaliman sebanyak 10 sampai 40 batang, satu
responden memiliki pokok andaliman sebanyak 50 sampai 90 batang, dan empat
responden memiliki 100 sampai 140 batang. Hampir semua responden mengatakan
bahwa jumlah pokok andaliman yang mereka miliki tersebar dalam dua sampai tiga
lokasi yang berbeda.
Untuk menjual hasil panen andaliman, responden menjual ke pengumpul.
Sesekali pengumpul akan datang ke Desa Salaon untuk menjemput andaliman pada
waktu yang telah disepakati. Berdasarkan hasil wawancara, penjemputan oleh
pengumpul berlangsung dengan lancar di awal kerjasama, namun semakin lama
penjemputan mulai tersendat. Kendala lain yang muncul adalah pengumpul tidak
dapat menampung semua hasil panen andaliman responden. Hal ini menyebabkan
kekecewaan bagi responden dan akhirnya memilih menjual andaliman ke
pengumpul lain yang ada di Pasar Induk.
59

Permintaan terhadap andaliman menunjukkan tren yang semakin tinggi. Baik


oleh masyarakat lokal kawasan DTA Danau Toba, masyarakat di luas Provinsi
Sumatera Utara seperti Jakara, bahkan masyarakat luar negri. Hal ini ditunjukkan
oleh data Balai Karantian Pertanian II Medan. Pengiriman andaliman melalui
BKPII Medan dengan tujuan Jakarta, Kep. Riau, DKI Yogjakarta, Jawa Timur,
Sulawesi Tenggara, Unites States. Satuan pengiriman diukur dengan koli (satuan
kemasan). Permintaan umumnya datang dari etnis Batak yang merantau. Dengan
menikmati sajian makanan bercita rasa andaliman membuat mereka terhubung
dengan asal-usul dan kampung halaman. Berdasarkan wawancara dengan
pengumpul, permintaan daerah Jakarta terhadap andaliman tergolong tinggi
khususnya untuk rumah makan Batak yang dikenal sebagai lapo batak, usaha
katering yang melayani pesta-pesta orang Batak. Gambar 21 menunjukkan jumlah
domestik keluar andaliman melalui Badan Karantina Pertanian II (BKPII) Medan.

140000 131987,8

116035
120000

94561
100000 88159
74502
80000 66866

60000 53432,5

40000 26566

20000 545 3784 2740 4186,7 1738


1960
4630 4095 2615 142 2 11 13
0
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018

A*(batang) B**(kg) C***(kg)

Gambar 23 Jumlah domestik keluar (dokel) andaliman (BKP2Medan, 2017)

Pengiriman andaliman melalui BKPII Medan digolongan dalam 3 kelompok


yakni golongan A (bentuk batang/bibit tanaman), golongan B (bentuk biji segar),
golongan C (bentuk biji kering). Permintaan andaliman menunjukkan tren
meningkat dari tahun ke tahun. Permintaan terbanyak adalah dalam bentuk biji
segar (golongan A). Permintaan andaliman untuk masyarakat umum juga sudah
terjadi peningkatan. Hal ini dapat dilihat dari produk-produk makanan yang
menambahkan cita rasa andaliman dalam bahan dasar makanan seperti pizza
andaliman, sambal andaliman, rempeyek rasa andaliman, sasagun rasa andaliman
(Lampiran 4).
Andaliman sebagai komoditi yang bernilai ekonomi tinggi, memiliki
pemasaran yang mudah menurut semua responden dan cukup mudah dalam hal
ketersediaan dan kepastian pemasaran andaliman. Kendala utama bagi responden
sebagai petani andaliman adalah fluktuasi harga jual andaliman. Dalam hal kualitas,
andaliman dari Pulau Samosir dikenal bagus di masyarakat, namun seringkali harga
berubah dan lebih ditentukan oleh pembeli. Hal ini disebabkan oleh lemahnya
posisi petani. Solusi persoalan ini adalah dengan membentuk kelompok tani
60

sehingga andaliman mempunyai posisi tawar yang menguntungkan bagi petani.


Rendahnya nilai jual andaliman membuat responden dalam pilihan sulit antara tetap
menjual komoditi tetapi rugi karena harus mengeluarkan biaya pemanenan dan
transportasi atau membiarkan andaliman tidak dipanen. Disisi lain responden harus
memiliki uang tunai untuk modal usah pada musin tanam berikutnya dan untuk
kebutuhan hidup sehari-hari.
Harga yang berubah-ubah dipengaruhi oleh karakteristik komoditi pertanian
yang homogen dan pengusahaannya dilakukan secara massal dalam suatu lokasi
yang berdekatan. Kesamaan atau homogenitas produk pertanian merepresentasikan
kelemahan petani/responden dalam mengidentifikasi sumber-sumber penawaran
yang dapat digantikan oleh produsen lain.
Upaya yang dapat dilakukan untuk membantu petani andaliman dengan
menerapkan strategi koperasi andaliman. Koperasi berperan sebagai soko guru atau
penggerak ekonomi rakyat pada saat yang sama berperan sebagai modal sosial.
Koperasi mengandung sikap kemandirian, mengembangkan sikap kerjasama
dengan petani lain (gotong royong), tanggung wajab dan kejujuran. Pemerintah
dalam hal ini berperan sebagai fasilitator, penguatan SDM, dan peran pengawasan.
Melalui koperasi andaliman, petani diharapkan memiliki kesempatan yang lebih
banyak akses informasi teknologi, permodalan dan pemasaran sehingga dapat
meningkatkan kemampuan menjalankan tata kelola usaha yang baik dan
berkelanjutan serta memiliki daya saing yang tinggi. Dengan demikian berdampak
pada peningkatan pendapatan dan kesejahteraan anggotanya. Koperasi andaliman
melibatkan seluruh petani andaliman, yang difasilitasi oleh pemerintah, baik dalam
pemilihan pengurus inti dan pelaksana harian (orang yang dipercaya oleh petani
secara keseluruhan) ditentukan dan diambil dari kalangan petani andaliman.
Disamping itu pemerintah melalui perangkat desa dapat mendorong petani
andaliman untuk membentuk kelompok tani dan memperkuat kelembagaan ini
dengan pelbagai penyuluhan atau penguatan SDM petani. Dengan penguatan
kelompok tani ini, diharapkan peluang bertemunya pembeli dan penjual terjadi
secara langsung tanpa perantara, maka posisi tawar petani sebagai penjual dapat
ditingkatkan dan mendapatkan keuntungan yang lebih banyak. Hal ini berdampak
signifikan terhadap kesejateraan petani.
Meskipun dalam pemasaran andaliman petani mengalami kendala, namun
responden secara positif menyatakan kesediaan untuk tetap membudidayakan
andaliman. Alasan responden terbanyak adalah pendapatan rumah tangga
bertambah secara signifikan melalui andaliman, diikuti dengan alasan perawatan
tanaman andaliman cukup mudah, terakhir alasan yang muncul adalah tanggung
jawab pribadi sebagai etnik Batak. Semua responden menyatakan kesediaan dan
kemauan untuk memperluas lahan penanaman andaliman jika mendapatkan
kesempatan dengan alasan yang sama yaitu menambah pendapatan keluarga, dan
perawatan tanaman andaliman cenderung mudah.
Semua responden mengharapkan keterlibatan atau campur tangan pemerintah
dalam menangani kesulitan dan kendala yang dialami oleh responden. Bentuk
bantuan yang diharapkan oleh petani andaliman adalah campur tangan untuk
membentuk kelompok tani, bantuan informasi tentang budidaya andaliman,
bantuan penampungan andaliman saat musim panen, bantuan alat pelindung,
kebijakan yang mengupayakan harga yang lebih baik, bantuan pemasaran, dan izin
penggunaan lahan.
61

Keterlibatan pemerintah dapat dioptimalkan untuk meningkatkan daya saing


dan memperkuat sistem sosial melalui penguatan sistem inovasi daerah (SIDa). Hal
ini sesuai dengan nawacita pembangunan dan sistem pemerintah daerah yang
otonomi sebagai pilar pembangunan nasional. Pembangunan daerah masih condong
ke arah ekstensifikasi (memperluas lapangan pekerjaan), dan mengabaikan aspek
intensifikasi (menambah volume pekerjaan).
Secara sosial andaliman sebagai tanaman rempah khas Pulau Samosir sangat
potensial dikembangkan dengan cara intensifikasi (menambah volume produksi)
yang dapat dipasarkan dengan menggunakan digital marketing. Pemerintah dalam
hal ini dapat berkerjasama dengan UMKM yang sudah ada ataupun pembentukan
UMKM yang baru. Hal ini akan menggiatkan kegiatan ekonomi di Pulau Samosir,
yang akan berpengaruh pada kesejahteraan petani dan menyerap tenaga kerja.

5 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Sifat fisik tanah yang menjadi syarat tumbuh andaliman adalah fraksi tanah
yang didominasi liat dan lempung, tekstur tanah halus, bobot isi tanah (bulk density)
yang rendah tetapi porositas tanah tinggi, sedangkan sifat kimia tanah syarat
tumbuh andaliman adalah kandungan bahan organik C dan N yang sedang sampai
tinggi, pH sangat masam hingga masam, KTK sedang sampai tinggi. Karakter
spasial yang paling berpengaruh pada habitat andaliman adalah faktor fisik yakni
keterbukaan lahan (BSI), yang sedikit terbuka seperti areal semak belukar diikuti
dengan kelerangan (agak datar dan sedikit berombak), dan mensyaratkan
ketinggian diatas 1 300 m dpl yang merepresentasikan iklim daerah sedang dan
sejuk. Andaliman memerlukan curah hujan yang cukup/sedang dengan kerapatan
tajuk yang jarang serta kelembapan udara yang tinggi.
Kelimpahan andaliman tingkat pancang hampir sama pada semua lokasi
penelitian meskipun pola penggunaan lahan berbeda. Lokasi 1 dan 3 merupakan
ladang terbuka berbeda dengan lokasi 2 dan 4 merupakan hutan tanaman. Lokasi 3
mempunyai kerapatan andaliman tingkat pancang terbanyak dan tingkat semai
terbanyak ditemukan pada lokasi 2. Lokasi 2 merupakan hutan tanaman yang cukup
jauh dari lintasan petani, lokasi ini dijadikan sumber anakan alami andaliman untuk
keperluan budidaya andaliman. Pola sebaran dan kelimpahan andaliman
dipengaruhi oleh aktivitas manusia, lokasi yang sudah mendapatkan campur
tangan/aktivitas manusia memiliki kelimpahan andaliman tingkat pancang yang
lebih besar, dibandingkan dengan daerah yang sedikit aktivitas manusia.
Kelimpahan andaliman tingkat semai terbanyak ditemukan pada areal dengan
sedikit aktifitas manusia. Pola sebaran andaliman berbeda diantara lokasi
pengamatan, yang dipengaruhi oleh daya tarik sosial andaliman yakni nilai jual
yang tinggi dan pola tanam andaliman yakni sistem tambal sulam yang diterapkan
oleh petani.
Model kesesuaian habitat andaliman menunjukkan tingkat kesesuaian 92.7%
yang terdiri atas 25.4 % kategori sangat sesuai dan 67.3% kategori sesuai. Pulau
62

Samosir memiliki areal yang sangat sesuai bagi habitat andaliman seluas 15.311 ha
(2.4%), dan areal yang sesuai seluas 233 326 ha (36.17%). Ditinjau dari luasnya
areal yang sesuai maka Pulau Samosir merupakan daerah yang sangat potensial
untuk meningkatkan produksi andaliman.
Andaliman secara signifikan menjadi sumber mata pencaharian andaliman
kedua setelah kopi. Biaya yang dikeluarkan petani untuk budidaya andaliman jauh
lebih sedikit dibandingkan biaya budidaya kopi, jahe, dan cengkeh. Andaliman
memberi pengaruh positif pada kehidupan sosial dan ekonomi petani andaliman di
Pulau Samosir.

Saran

Model prediksi sebaran andaliman ini dapat dijadikan pertimbangan dalam


upaya pengelolaan habitat dan kesesuaian lahan populasi andaliman di Pulau
Samosir. Perlunya menguji model dengan citra yang beresolusi tinggi, dan
menyertakan titik ketidakhadiran andaliman. Pemerintah perlu menguatkan
kelembagaan masyarakat melalui pembentukan koperasi andaliman untuk
meningkatkan kehidupan sosial dan ekonomi petani andaliman
63

DAFTAR PUSTAKA

Abdi H, William LJ. 2010. Principal Component Analysis. John Wiley & Sons Inc.
WIREs Comp Stat 2:433–459.
Aulia D, Ayu SF. 2016. Analisis Saling Hubungan Antara Nilai Tukar Petani dan
Angka Harapan Hidup di Sumatera Utara. Jurnal Kesehatan Masyarakat Andalas
10(2):116-122
Affandi O, Harianja AH. 2010. Sistem Tenurial Dan Pengelolaan Lahan Secara
Kolaboratif. Centre of Forest and Nature Conservation Research and
Development (CFNCRD) and International Tropical Timber Organization
(ITTO).
Backer CA, Bakhuizen van den Brink RC.1965. Flora of Java. Volume ke-2.
Groningen (NL): NVP Noordhoff.
[BBSDLP] Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian. 2016. Penyusunan
Informasi Geospasial Sumberdaya Lahan Mendukung Pengembangan Kawasan
Pertanian. Bogor (ID): BBSDLP
[BLH Prov Sumut] Badan Lingkungan Hidup Provinsi Sumatera Utara. 2011.
Kajian Lingkungan Strategis Kawasan Danau Toba. Medan (ID): BLH Provsu.
Beaumont R. 2012. An introduction to Principal Component Analysis & Factor
Analysis Using SPSS 19 and R (psych package). Diunduh 10 Mei 2018.
http://www.floppybunny.org/robin/web/virtualclassroom/stats/statistics2/pca1.
pdf
Bengen DG, Retraubun A. 2006. Menguak Realitas dan Urgensi Pengelolaan
Berbasis Eko-sosio Sistem Pulau-Pulau Kecil. Pusat Pembelajaran dan
Pengembangan Pesisir dan Laut. Bogor.
Bleher B, Oberrath R, Böhning-Gaese K. 2002. Seed dispersal, breeding system,
tree density and the spatial pattern of trees – a simulation approach. Basic Appl.
Ecol 3:115–123
Caris P, Decraene LPR, Smets E, Clinckemaillie D. 2000. Floral Development of
Three Maesa Species, with Special Emphasis on the Position of the Genus within
Primulales. Annals of Botany 86:87-97. doi:10.1006/anbo.2000.1163
Chesner CA, 1998. Petrogenesis of the Toba Tuffs, Sumatra, Indonesia. Journal of
Petrology 39:397-438
Clement FE. 1978. Plant Ecology. 2nd ed. New Delhi: Tata McGraw-Hill
Publishing Company
Coops NC, Catling PC. 2002. Prediction of the spatial distribution and relative
abundance of ground-dwelling mamals using remote sensing imagery and
simulation models. Landsc Ecol 17:173-188
Darsiharjo. 2004. “Model Pemanfaatan Lahan Berkelanjutan di Daerah Hulu
Sungai Cikapundung - Bandung Utara”. Forum Geografi 18(1):32- 46.
Dermawan BA. 2017. Prediksi Sebaran Invasif Spesies Acacia Nilotica Dengan
Model Maximum Entropy (Studi Kasus Taman Nasional Baluran). [Tesis].
Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor: Bogor (ID)
Draper D, Rosello-Graell A, Garcia C, Gomes CT, Sergio C. 2003. Application of
GIS in plant conservation programmes in Portugal. Biological Conservation
113:337–349. doi:10.1016/S0006-3207(03)00125-3
Fachrul MF. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Jakarta. Penerbit Bumi Aksara
64

Faizal A, Lambert E, Foubert K, Apers S, Geelen D. 2011. In vitro propagation of


four saponin producing Maesa species. Plant Cell Tiss Organ Cult 106:215–223.
DOI 10.1007/s11240-010-9909-z
Febrianti N, Sofan P. 2014. Ruang Terbuka Hijau di DKI Jakarta Berdasarkan
Analisis Spasial dan Spektral Data Landsat 8. Bidang Lingkungan dan Mitigasi
Bencana, Pusfatja: LAPAN
Giller PD, Myers AA. 1988. Analytical biogeography: an integrated approach to
the study of animal and plant distributions. Chapman and Hall. New York
Goodwin NR, Coops NC, Wulder MA, Gillanders S, Schroeder TA, Nelson T. 2008.
Estimation of insect dynamics using a temporal sequence of Landsat data.
Remote Sensing Environment. 112: 3680–3689
Gray DH. 1995. Vegetation and Slopes. Influence of Vegetation on
the Stability of Slopes. ICE Publishing. London
Greig-Smith P. 1983. Quantitative Plant Ecology, Blackwell Scientific Publications.
Oxford.
Hasan M. 2012. Pemodelan Spasial Sebaran dan Kesesuaian Habitat Spesies
Tumbuhan Asing Invasif Kirinyuh (Austroeupatorium inulifolium (Kunth) R. M.
King & H. Rob) di Resort Mandalawangi Taman Nasional Gunung Gede
Pangrango. [tesis]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor (ID)
Hasan S. 2014. Pharmacological and Medicinal Uses of Achyranthes Aspera.
International Journal of Science, Environment and Technology 3(1):123 – 129.
Hasairin A. 1994. Etnobotani Tumbuhan Rempah dalam Makanan Adat
Masyarakat Batak Angkola dan Mandailing [tesis]. Bogor (ID): Program
Pascasarjana IPB
Hartley TG. 2013. Rutaceae. Di dalam: Wilson A, editor. Flora of Australia:
Meliaceae, Rutaceae, Zygophyllaceae. Volume ke-26. Melbourne
(AUS):ABRS/CSIRO Australia.
Hartley TG. 1966. A revision of the Malesian species of Zanthoxylum (Rutaceae).
J. Arnold Arboretum. 47:171–221
Hsuan K. 1978. Orders and Families of Malayan Seed Plants. Singapore (SG):
University Press.
Hudjimartsu SA. 2017. Generalized Linear Model untuk Memprediksi Sebaran
Invasif Spesies Acacia nilotica. [tesis]. Bogor. Program Pascasarjana IPB
Indriyanto. 2012. Ekologi Hutan. PT. Bumi Aksara. Jakarta
Ismaini L, Lailati M, Rustandi, Sunandar D. 2015. Analisis komposisi dan
keanekaragaman tumbuhan di Gunung Dempo, Sumatera Selatan. Pros Sem Nas
Masy Biodiv Indon 1(6):1397-1402. DOI: 10.13057/psnmbi/m010623
Janžekovič F, Novak T. 2012. PCA – A Powerful Method for Analyze Ecological
Niches, Principal Component Analysis - Multidisciplinary Applications, Dr.
Parinya Sanguansat (Ed.), ISBN: 978-953-51-0129-1, InTech, diunduh : 4 Juli
2018. http://www.intechopen.com/books/principal-component-analysis-
multidisciplinaryapplications/pca-a-powerful-method-to-analyze-the-
ecological-niche-
Jongjitvimol T, Boontawon K, Wattanachaiyingcharoen W, Deowanish S. 2005.
Nest Dispersion of a Stingless Bee Species, Trigona Collina Smith, 1857
(Apidae, Meliponinae) In A Mixed Deciduous Forest in Thailand. The Natural
History Journal of Chulalongkorn University 5(2): 69-71
65

Josse J, Dray S. 2015. Principal Component Analysis with Missing Values: A


Comparative Survey of Methods. Plant Ecol 216:657-667. DOI 10.1007/s11258-
014-0406-z
Kadir S, Sirang K, Badaruddin. 2016. Pengendalian Banjir Berdasarkan Kelas
Kemampuan Lahan di Sub Das Martapura Kabupaten Banjar Kalimantan
Selatan. Jurnal Hutan Tropis 4 (3): 254-264
King JR, Jackson DA. 1999. Variabel Selection in Large Environtmental Data Sets
Using Principal Components Analysis. John Wiley & Sons, Ltd. Environmetrics
10 : 67-77.
Kokilavani V, Narayanan A. 2018. Zanthoxylum acanthopodium DC.. [online]
India Biodiversity Portal,Species Page 3: Zanthoxylum acanthopodium. DC.
available
at: https://indiabiodiversity.org/biodiv/species/show/280529 [Accessed date
Sep 4, 2018].
Kokutse NK, Temgoua AGT, Kavazovic´ Z. 2016. Slope stability and vegetation:
Conceptual and numerical investigation of mechanical effects. Ecological
Engineering 86:146–153. http://dx.doi.org/10.1016/j.ecoleng.2015.11.005
Korman J, Perrin CJ, Lekstrum T. 1994. a Guide for the Selection of Standard
Methods for Quantifying Sportfish Habitat Capability and Suitability in Streams
and Lakes of British Columbia. Limnotek Research And Development Inc.
Vancouver.
Kristanty RE, Mun’im A, Katrin. 2012. Isolation of Antioxidant and Xantine
Oxidase Inhibitor from n-Butanol extract of Andaliman Fruit (Zanthoxylum
acanthopodium DC.). Int.J.Med.Arom.Plants. 2(3):376-389.
Kristanty RE, Suriawati J. 2015. The Indonesian Zanthoxylum acanthopodium DC.:
Chemical and Biological Values. International Journal of PharmTech Research.
8(6):313-321.
Kubitzki K, Kallunki JA, Duretto M, Wilson PG. 2011. Rutaceae. Dalam: Kubitzki
K, editor. The Families and Genera of Vascular Plants. Volume ke-10. New
York (US): Springer.
Kunarso A, Azwar F. 2013. Keragaman Jenis Tumbuhan Bawah Pada Berbagai
Tegakan Hutan Tanaman di Benakat, Sumatera Selatan. Jurnal Penelitian Hutan
Tanaman 10(2): 85-98
Leps J, Kindlmann P. 1987. Models of the development of spatial pattern of an
even-aged plant population over time. Ecol. Modelling 39:45-57.
Ludwig, Reynolds 1988. Statistical Ecology: a primer on methods and computing.
John Wiley & Sons. New York.
Lumbanraja RN, Hartana A. 2016. Variasi Morfologi Andaliman (Zanthoxylum
acanthopodium) di Sumatra Utara. Floribunda 5(7) 2017
Maddupa H. 2016. Modul Pelatihan: Teknik Analisis Kuantitatif Data Biologi Laut.
ResearchGate DOI: 10.13140/RG.2.1.2698.2163
Margalef R. 1958. Temporal succession and spatial heterogeneity in phytoplankton.
In: Perspectives in Marine biology, Buzzati-Traverso (ed.), Univ. Calif. Press,
Berkeley, pp. 323-347.
Margono G. 2013. The Development of Instrument for Measuring Attitudes toward
Statistics Using Sematic Differential Scale. Prosiding di 2nd International
Seminar on Quality and Affordable Education [ISQAE]. Jakarta
66

Molles MC Jr. 2005. Ecology : Concept and Application, Third Edition, McGraw-
Hill, New York.
Morton CM, Telmer C. 2014. New subfamily classification for the Rutaceae. Ann
Missouri Bot Gard. 99: 620-641
Morgado, Sonia MA. 2014. Does Health Promote Economic Growth? Portuguese
Case Study: From Dictatorship to Full Democracy. Eur J Health Econ 15:591-
598
Mueller-Dombois D, Ellenberg H. 1974. Aims And Methods Of Vegetation
Ecology. New York
Muklis. 2007. Analisis Tanah dan Tanaman. Universitas Sumatera Utara Press.
Medan
Myers JM, Kope RG, Bryant GJ, Teel D, Lierheimer LJ, Wainwright TC, Grant
WS, Waknitz FW, Neely K, Lindley ST, Waples RS. 1998. Status review of
Chinook salmon from Washington, Idaho, Oregon, and California. US
Department of Commerce. National Oceanic and Atmospheric Administration.
National Marine Fisheries Service.
Ndayishimiye J, Greve M, Stoffelen P, Bigendako MJ, Cannière CD, Svenning JC,
Bogaert J. 2012. Modelling the spatial distribution of endemic Caesalpinioideae
in Central Africa, a contribution to the evaluation of actual protected areas in the
region. International Journal of Biodiversity and Conservation Vol. 4(3), pp.
118-129. DOI: 10.5897/IJBC11.150
Odum EP. 1993. Dasar-Dasar Ekologi. Tj. Samigan. penerjemah; Srigandono,
editor. Yogyakarta (ID): Gajah Mada Press. Terjemahan dari: Fundamental of
Ecology Ed ke-3.
Parhusip A, Yasni S, Elisabeth Y. 2003. Kajian Metode Ekstraksi Andaliman
(Zanthoxylum acanthopodium D.C) terhadap Mikroba Patogen dan Perusak
Pangan. Jurnal Ilmu dan Teknologi Pangan 1 (1):112-123.
Parhusip A. 2004a. Aktifitas Antibakteri Ekstrak Andaliman pada Fase
Pertumbuhan Bakteri Patogen. Jurnal Ilmiah dan Teknologi Pangan 2(1):41-53.
Parhusip A. 2004b. Pengaruh Ekstrak Andaliman terhadap Hidrofobisitas Bakteri
B. cereus, S. aureus, dan S. thypimurium. Jurnal Ilmu Dan Teknologi Pangan
2(2):23-32.
Parhusip AJN, Jenie BSL, Rahayu WP, Yasni S. 2005. Pengaruh ekstrak andaliman
(Zanthoxylum acanthopodium DC.) terhadap permeabilitas dan Hidrofobisitas
Bacillus cereus. Jurnal Ilmu dan Tenologi Pangan 1(1):112-123.
[PP] Peraturan Pemerintah. 2014. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor
81 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Danau Toba Dan
Sekitarnya (ID): Sekretariat Negara
Peraturan Pemerintah. 1990. Undang Undang No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumberdaya Hayati dan Ekosistemnya (ID): Sekretariat Negara
Puntodewo. 2003. Sistem Informasi Geografis untuk Pengelolaan Sumber Daya
Alam. CIFOR. Indonesia.
[PemKab. Samosir] Pemerintah Kabupaten Samosir. 2014. Samosir Dalam Angka
2014. (ID): PemKab.Samosir
[PemKab. Samosir] Pemerintah Kabupaten Samosir. 2011. Rencana Pembangunan
Jangka Menengah (RPJMD) Kabupaten Samosir 2011-2015 (ID):
PemKab.Samosir
67

Rikimaru A, Roy PS, Miyatake S. 2002. Tropical forest cover density mapping.
Trop. Ecology. 43:39–47.
Rakić T, Šinžar-Sekulić J, Filipović B, Tadić V, Stevanović B, and Tan K. 2009.
Ecophysiological and Anatomical Characteristics of the Subtropical Shrub
Zanthoxylum acanthopodium (Rutaceae) in Conditions of a Temperate
Continental Climate (Serbia). Arch. Biol. Sci., Belgrade 61(2):249-260.
DOI:10.2298/ABS0901249R.
Santosa E, Zaman S, Puspitasari ID. 2009. Simpanan Biji Gulma dalam Tanah di
Perkebunan The pada Berbagai Tahun Pangkas. J. Agron.Indonesia 37 (1): 46-
54
Sembiring MSA. 2017. Perlindungan Hukum Terhadap Andaliman (merica Batak)
Sebagai Indikasi Geografis di Kabupaten Toba Samosir. Masalah-Masalah
Hukum Jilid 46 (4): 318-327.
Setiadi D. 2005. Keanekaragaman Spesies Tingkat Pohon di Taman Wisata Alam
Ruteng, Nusa Tenggara Timur. Biodiversitas 6(2):118-122.
DOI:10.13057/biodiv/d060210
Sidabutar HP. 2010. Strategi Rehabilitasi Hutan dan Lahan Daerah Tangkapan Air
(DTA) Danau Toba. Di Dalam: Harahap RMS, Subarudi M, Tarigan JR,
Lumbantoruan M, Sanudin S, editor. Workshop II: Diseminasi Hasil Studi ITTO
dan Tukar Menukar Pengalaman dalam Pemulihan Ekosistem Danau Toba; 2010
Januari 28; Medan, Indonesia. Medan (ID): PPLH Universitas HKBP Nomensen.
hlm 157-178.
Sinaga R. 1997. Leluhur Marga Marga Batak, Dalam Sejarah Silsilah Dan Legenda.
Cetakan Ke-2. Penerbit Dian Utama. Jakarta.
Simatupang S, Napitupulu B, Endang D. 2004. Andaliman Antioksidan yang Selalu
Dirindukan. Hortikultura 3(2): 26 – 27.
Sirait M. 1991. Pemerikasaan Minyak Atsiri dan Isolasi Senyawa Getir dari Buah
Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC) [Tesis]. Bandung (ID): Jurusan
Farmasi, FMIPA-ITB.
Siregar BL. 2003. Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.) di Sumatera
Utara: Deskripsi dan Perkecambahan. Hayati 10(1): 38-40
Siregar BL. 2010. Upaya Perbanyakan Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium
DC.). Visi 18(1):17-28
[SLHD Kab. Samosir] Satuan Lingkungan Hidup Daerah Kabupaten Samosir.
2009. Penyusunan Profil Keanekaragaman Hayati Kabupaten Samosir 2009.
(ID): SLDH Kab. Samosir.
Smith LI, 2002. A tutorial on Principal Component Analysis.
Smith AR, Riefner Jr RE. 2015. Nephrolepis Cordifolia (Nephrolepidaceae)
Naturalized in Southern California (U.S.A.): With Notes on Unintended
Consequences of Escaped Garden Plants. J. Bot. Res. Inst. Texas 9(1): 201 – 212
Soegianto A. 1994. Ekologi Kuantitatif. Penerbit Usaha Nasional. Surabaya.
Soeharjo A, Patong D. 1973. Sendi-Sendi Pokok Usaha Tani. Departemen Ilmu-
Ilmu Sosial Ekonomi.Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Soerianegara I dan Indrawan A. 2008. Ekologi Hutan Indonesia. Laboratorium
Ekologi Hutan. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Soepardi G. 1983. Sifat dan ciri tanah. Universitas Gadjah Mada. 287-288
68

Subardja DS. 2005. Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Tipe Penggunaan Lahan
Berbasis Jagung dan Kacang Tanah di Daerah Bogor [disertasi]. Bogor (ID).
Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Suhendang E. 2002. Pengantar Ilmu Kehutanan. Bogor (ID): Fakultas Kehutanan.
Sukmana A. 2010. Analisis Kriteria dan Indikator Kerusakan Lingkungan pada
Ekosistem Daerah Tangkapan Air Danau Toba. Di Dalam: Harahap RMS,
Subarudi M, Tarigan JR, Lumbantoruan M, Sanudin S, editor. Workshop II:
Diseminasi Hasil Studi ITTO dan Tukar Menukar Pengalaman dalam Pemulihan
Ekosistem Danau Toba; 2010 Januari 28; Medan, Indonesia. Medan (ID):
International Tropical Timber Organization (ITTO)
Soil Survey Staff. 2014. Keys Soil Taxonomy, Twelfth Edition. Washington.
USDA.
Surbakti, M. S. 2002. Pengujian Daya Antimikroba Bubuk Rempah-rempah Khas
Sumatera Utara. Skripsi. Unika ST. Thomas SU, Medan.
Suryanto EH, Sastrohamidjojo S, Raharjo, and Tranggono. 2004. Singlet Oxigen
Quenching Effect of Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.).
Indonesian Food and Nutrition Progress 11(2):48-55.
Sutisna U. 1981. Komposisi jenis hutan bekas tebangan di Batulicin, Kalimantan
Selatan. Deskripsi dan analisis .Laporan 328. Bogor: Balai Penelitian Hutan.
Suzuki RO, Jun-Ichirou S, Kachi N. 2005. Change in Spatial Distribution Patterns
of a Biennial Plant between Growth Stages and Generations in a Patchy Habitat.
Annals of Botany 96:1009–1017. doi:10.1093/aob/mci253
Syartinilia, Tsuyuki S. 2008. GIS-based modeling of Javan Hawk-Eagle
distribution using logistic and autologistic regression models. Biological
Conservation, 141, 756-769.
Syaufina L, Sukmana A. 2008. Tinjauan Penyebab Utama Kebakaran Hutan di
Daerah Tangkapan Air Danau Toba. Centre of Forest and Nature Conservation
Research and Development (CFNCRD) and International Tropical Timber
Organization (ITTO).
Tensiska. 2001. Aktivitas Antioksidan Ekstrak Buah Andaliman dalam Beberapa
Sistem Pangan dan Kestabilan Aktivitasnya terhadap Kondisi Suhu dan pH
[tesis]. Bogor(ID): Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Tjitrosoedirdjo SS. 2005. Inventory of the Invasive Alien Plant Species in Indonesia.
Biotropia 25:60 – 73
Thomas T. 2015. Antibacterial Evaluation of Fronds of Christella dentata (Forssk.)
Brownsey & Jermy. Journal of Natural Products and Resources 1(1):17–18
Uji T. 2005. Studi Taksonomi Micromelum Blume (Rutaceae) di Indonesia.
Biodiversitas 6(2):100-102. DOI: 10.13057/biodiv/d060206
[USDA] United States Department of Agriculture. 2017. Weed Risk Assessment
for Persicaria chinensis (L.) H. Gross (Polygonaceae) – Chinese knotweed. (ID):
USDA
[USFWS] US Fish and Wildlife Service. 2000. . Endangered and Threatened
Wildlife and Plants; Determinations of Prudency and Designations of Critical
Habitat for Plant Species From the Islands of Maui and Kahoolawe, Hawaii.
Federal Register 65(243):79192-79275
Wibowo BK, Parhusip A, Romasi EF. 2007. Potensi Ekstrak Andaliman
(Zanthoxylum acanthopodium DC.) sebagai Pengawet Alamai Tahu.
69

Widarjono A. 2015. Analisis Multivariat Terapan Dengan Program SPSS, AMOS,


dan SMARTPLS. Yogyakarta: UPP STIM YKPN
Widarjono A. 2015. Statistika Terapan Edisi Pertama. Yogyakarta: UPP STIM
YKPN
Wijaya CH. 1999. Andaliman, rempah tradisional Sumatera Utara dengan
Antioksidan dan Antimikroba. Teknologi dan Industri Pangan 2(10): 59-61
Wijaya CH. 2001. Isolasi dan Identifikasi Senyawa Trigeminal Aktif Buah
Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.). Hayati 7 (3):91-92
Wijaya CH, Hadiprodjo IT, Apriyantono A. 2001. Komponen volatil dan
karakterisasi komponen kunci aroma buah andaliman (Zanthoxylum
acanthopodium DC.), Jurnal Teknologi Industri Pangan 12:117-125.
Williams MAJ, Ambrose SH, van der Kaars S, Chattopadhyaya CRU, Pal J,
Chauhan PR. 2009. Environmental impact of the 73 ka Toba super-eruption in
South Asia. Palaeogeography, Palaeoclimatology, Palaeoecology 284:295–314
doi:10.1016/j.palaeo.2009.10.009
Wegmann M, Leutner B, Dech S. 206. Remote Sensing and GIS for Ecologist:
Using Open Source Software. Exeter: Pelagic Publishing, UK.
Yanti, Pramudito TE, Nuriasari N, Juliana K. 2011. Lemon pepper fruit extract
(Zanthoxylum acanthopodium DC.) suppresses the expression of inflammatory
mediators in lipopolysaccharide-induced macrophages in vitro. Am J Biochem
Biotech 7(4):190-195.
Yonzone R, Rai S. 2016. Zanthoxylum Acanthopodium DC. (Rutaceae) - A
Favourable Ethnomedicinal Fruit for The Local Inhabitants of Darjeeling
Himalaya of West Bengal, India. J Complement Med Alt Healthcare
1(1):555554
Zaridah MZ, Nor Azah MA, Rohani A. 2006. Mosquitocidal Activities of
Malaysian Plants. Journal of Tropical Forest Science 18(1):74-80.
70

LAMPIRAN
71

Lampiran 1 Identifikasi tumbuhan di lokasi penelitian


No Nama ilmiah Family
1 Achyranthes aspera L. Amaranthaceae
2 Alangium kurzii Craib Cornaceae
3 Amischotolype mollissima (Blume) Hassk. Commelinaceae
4 Atalantia missionis (Wight) Oliv. Rutaceae
5 Blumea sp. Compositae
6 Borreria ocymoides (Burm.f.) DC. Rubiaceae
7 Calopogonium mucunoides Desv. Leguminosae
8 Christella dentata (Forsk.) Thelypteridaceae
9 Chromolaena odorata (L.) Compositae
10 Cissus sp. Vitaceae
11 Clibadium surinamensis L. Compositae
12 Clidemia hirta (L.) D. Don Melastomataceae
13 Dichrocephala integrifolia (L.f.) Kuntze Compositae
14 Elatostema rupestre (Buch.-Ham.) Wedd. Urticaceae
15 Eurya acuminata DC. Pentaphylaceae
16 Glochidion zeylanicum (Gaertn.) A. Juss. Phyllanthaceae
17 Homalanthus populneus (Geiseler) Pax Euphorbiaceae
18 Lasjia hildebrandii (Steenis) Proteaceae
19 Macaranga denticulata (Blume) Muell Euphorbiaceae
20 Maesa perlaria (Lour.) Merr. Primulaceae
21 Melastoma malabatHRicum L. Melastomataceae
22 Micromelum minutum (Forst.f.) W.& A. Rutaceae
23 Molineria latifolia (Dryand.ex W.T. Aiton) Hypoxydaceae
24 Nephrolepis cordifolia (L.) C. Presl NepHRolepidaceae
25 Passiflora edulis Sims Passifloraceae
26 Persicaria chinense (L.) H. Gross Polygonaceae
27 Physalis sp. Solanaceae
28 Phytolacca oleracea Rottb. Phytolaccaceae
29 Pilea melastomoides (Poir.) Wedd. Urticaceae
30 Pilea sp. Urticaceae
31 Rubus moluccanus L. Rosaceae
32 Scleria purpurascens Steud. Cyperaceae
33 Selaginella wildenovii (Desv.) Bak Selaginellaceae
34 Setaria palmifolia (J. Koenig) Stapf. Poaceae
35 Solanum pseudocapsicum L. Solanaceae
36 Solanum torvum Swartz Solanaceae
37 Tetrastigma lanceolarium (Roxb.) Planch. Vitaceae
72

Lampiran 2 Data diri responden petani andaliman


Jenis Lama
Umur Sumber
No Nama Kelamin Pendidikan bermukim
(tahun) komoditi
(L/P) (tahun)
A. Grace Kopi,
1 L 42 Tamat SD >20
Gurning Andaliman
A. Frangky Kopi,
2 L 51 Tamat SMP >20
Sitanggang Andaliman
Andaliman,
3 Pando Malau L 45 Tamat SD 15-19
kopi
Op. Combet Kopi,
4 L 60 Tamat SD >20
Manik Andaliman
Tamat Kpo,
5 A.Todo Sinurat L 35 >20
SMA Andaliman
Op.Adik Kopi,
6 L 65 Tamat SMP >20
Sitanggang Andaliman
A. Harpy Tamat Kopi,
7 L 35 15-19
Sitanggang SMA Andaliman
Kopi,
8 Nai Rian Nadeak P 28 Tamat SMP >20
Andaliman
Bangun Taman Kopi,
9 L 41 >20
Sitanggang SMA Andaliman
A.Boy Tamat Perangkat
10 L 42 >20
Sitanggang SMA Desa, Kopi
Jornong Perangkat
11 L 48 Diploma 10-14
Sitanggang desa, kopi
Pengumpul,
12 Kiki Andrea S.S L 37 Strata 1
pengusaha
Penggiat
13 Marandus Sirait L Strata 1
andaliman
73

Lampiran 3 Data Rataan Curah Hujan Pulau Samosir tahun 2013-2017b

No Pos Hujan Koordinat Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des
BPP Harian Boho-
1 2.62 LU; 98.65 BT 122 105 130 247 137 34 15 36 115 143 219 204
Janji Martahan
2 Nainggolan 2.443 LU; 98.904 BT 82 69 131 140 116 59 27 82 92 101 220 195
3 Onan Runggu 2.501 LU; 98.959 BT 187 108 160 264 229 131 74 241 222 185 320 318
4 Palipi 2.493 LU; 98.801 BT 121 132 152 189 59 36 40 85 68 112 255 145
5 Pangururan 2.633 LU; 98.726 BT 144 123 95 179 157 61 36 136 113 153 193 224
6 Ronggur Nihuta 2.608 LU; 98.8 BT 122 67 107 179 125 94 62 103 124 215 250 201
7 Sianjur Mula-mula 2.619 LU; 98.666 BT 163 137 116 258 240 86 57 123 150 212 327 277
8 Simanindo 2.714 LU; 98.793 BT 181 117 107 190 186 104 44 142 172 172 254 249
RATA-RATA 140 107 125 206 156 75.6 44.4 119 132 162 255 227
b
Stasiun Klimatologi Deli Serdang
74

Lampiran 4 Produk makanan berbahan andaliman

(a) Bubuk andaliman (b) Biji andaliman yang dikeringkan

( c) Sambal andaliman siap makan

(d) Mie rasa andaliman


75

( e) Keju rasa andaliman

( f) Kacang kenari rasa andaliman

( g) Andaliman yang dikembangkan dengan stek pucuk


76

(h) Bapak Marandus Sirait (penggiat andaliman)


bersama andaliman hasil stek pucuk
77

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pangururan, Kabupaten Samosir,


Provinsi Sumatera Utara tanggal 2 Mei 1983, sebagai anak sulung
dari pasangan Tigor Siahaan dan Tiarasi Simbolon. Pendidikan
sarjana ditempuh di Departemen Biologi, Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam IPB, lulus pada tahun 2005. Pada
tahun 2015 penulis diterima di program studi Ilmu Pengelolaan
Sumberdaya Alam dan Lingkungan pada Program Pascasarjana
IPB dan menamatkannya pada tahun 2018.

Selama mengikuti program S2, penulis mengikuti pelatihan pengambilan


keputusan multikriteria dan penulisan karya ilmiah yang diadakan oleh Program
Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan pada tahun 2016. Berkaitan
dengan penelitian ini, sebuah artikel berjudul Distribusi Spasial Potensi Habitat
Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.) di Pulau Samosir, Sumatera Utara
akan diterbitkan di Jurnal Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan (JPSL)
Volume 8 Nomor 3 Tahun 2018.

Anda mungkin juga menyukai