Anda di halaman 1dari 12

Kata Pengantar

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan saya kemudahan
sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa
pertolongan-Nya tentunya saya tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah
ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda
tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-natikan syafa’atnya di
akhirat nanti.

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat


sehat-Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis
mampu untuk menyelesaikan pembuatan makalah yang berjudul “Toksikologi
Lingkungan (Kasus penyakit minamata, teluk buyat dan munir).

Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu,
penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya
makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Kemudian
apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang
sebesar-besarnya.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Makassar, 6 Okteber 2019

Penulis
Daftar Isi

Kata Pengantar………………………………………………………..………1

Daftar Isi……………………………………………………………………...2

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang………..……………………………………….….……3

BAB II PEMBAHASAN

A. Kasus Minamata …………………………………………………..…..5


B. Kasus Teluk buyat…………………………………………….…….….7
C. Kasus Munir…………………………………………………………...10

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan…………………………………………………………….12
B. Saran……………………………………………………………………12

Daftar Pustaka………………………………………………………...………13
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit minamata mendapat namanya dari kota Minamata, Prefektur


Kumamoto di Jepang. Penyakit minamata atau sindrom minamata adalah sindrom
kelainan fungsi saraf yang di sebabkan oleh keracunan akut air raksa. Penyakit ini
mewabah mulai tahun 1958, pada waktu itu terjadi masalah wabah penyakit di
kota Mintamana Jepang. Ratusan orang mati akibat penyakit yang aneh dengan
gejala kelumpuhan syaraf. Gejala sindrom ini seperti kesemutan pada kaki dan
tangan, lemas-lemas, penyempitan sudut pandang dan degradasi kemampuan
berbicara dan pendengaran .

Hampir seluruh media massa nasional pada minggu ketiga dan keempat Juli
2004 menulis mengenai penderitaan warga Teluk Buyat. Nama Buyat mencuat
setelah munculnya keluhan penyakit yang di duga Minamata yang di derita
sejumlah warga Desa Buyat, Minahasa, Sulawesi Utara. Penyakit minamata
merupakan sebuah penyakit yang disebabkan oleh cemaran merkuri di sebuah
tempat bernama sama di Jepang.Peristiwa Teluk Buyat di akibatkan karena adanya
cemaran merkuri yang di duga berasal dari operasi sebuah perusahaan tambang
emas asing PT Newmont Minahasa Raya (NMR).

Kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia menurut pasal 1 Ayat 6 No. 39


Tahun 1999 yang dimaksud dengan pelanggaran hak asasi manusia setiap
perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat Negara, baik disengaja
ataupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi ,
menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau
kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang dan tidak mendapatkan atau
dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyesalan hukum yang adil dan benar
berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Kasus Minamata

Penyakit minamata mendapat namanya dari kota Minamata, Prefektur


Kumamoto di Jepang, yang merupakan daerah penyakit ini mewabah mulai tahun
1958. Pada waktu itu terjadi masalah wabah penyakit di kota Mintamana Jepang.
Ratusan orang mati akitbat penyakit yang aneh dengan gejala kelumpuhan syaraf.
Mengetahui hal tersebut, para ahli kesehatan menemukan masalah yang harus
segera diamati dan dicari penyebabnya. Melalui pengamatan yang mendalam
tentang gejala penyakit dan kebiasaan orang jepang, termasuk pola makan
kemudian diambil suatu hipotesis. Hipotesisnya adalah bahwa penyakit tersebut
mirip orang yang keracunan logam berat. Kemudian dari kebudayaan setempat
diketahui bahwa orang Jepang mempunyai kebiasaan mengkonsumsi ikan laut
dalam jumlah banyak. Dari hipotesis dan kebiasaan pola makan tesebut kemudian
dilakukan eksperimen untuk mengetahui apakah ikan-ikan di Teluk Minamata
banyak mengandung logam berat (merkuri). Kemudian di susun teori bahwa
penyakit tesebut diakibatkan oleh keracunan logam merkuri yang terkandung pada
ikan. Ikan tesebut mengandung merkuri akibat adanya orang atau pabrik yang
membuang merkuri ke laut. Penelitian berlanjut dan akihirnya ditemukan bahwa
sumber merkuri berasal dar pabrik batu baterai Chisso. Akhirnya pabrik tersebut
ditutup dan harus membayar kerugian kepada penduduk Minamata kurang lebih
dari 26,6 juta dolar.

Methyl mercury yang masuk tubuh manusia akan menyerang sistem saraf
pusat. Gejala awal antara lain kaki dan tangan menjadi gemetar dan lemah,
kelelahan, telinga berdengung, kemampuan penglihatan melemah, kehilangan
pendengaran, bicara cadel, serta gerakan menjadi tidak terkendali. Beberapa
penderita berat penyakit Minamata menjadi gila, tidak sadarkan diri, dan
meninggal setelah sebulan menderita penyakit ini.

Penyakit Minamata tidak dapat diobati, sehingga perawatan bagi penderita hanya
untuk mengurangi gejala dan terapi rehabilitasi fisik. Di samping dampak
kerusakan fisik, penderita Minamata juga mengalami diskriminasi sosial dari
masyarakat. Seperti dikucilkan, dilarang pergi ke tempat umum, dan sukar
mendapatkan pasangan hidup.

Methyl mercury dan uap merkuri logam lebih berbahaya dari bentuk-bentuk
merkuri yang lain, sebab merkuri dalam kedua bentuk tersebut dapat lebih banyak
mencapai otak. Pemaparan kadar tinggi merkuri, baik yang berbentuk logam,
garam, maupun methyl mercury dapat merusak secara permanen otak, ginjal,
maupun janin.

Penyakit ini sebenarnya tidak hanya terjadi di Minamata. Tahun 1965, penyakit
Minamata menyerang warga yang tinggal di sepanjang Sungai Agano di Kota
Niigata akibat pembuangan limbah merkuri oleh Showa Denko. Penyakit ini
dikhabarkan juga terjadi di Tiongkok dan Kanada. Sungai dan danau di Amazon
dan Tanzania juga tercemar merkuri serta menimbulkan masalah kesehatan yang
mengkhawatirkan.

Kini, masyarakat Minamata sangat menghargai apa yang terjadi di waktu silam
dan mengambil pelajaran dari kasus limbah merkuri tersebut. Mereka lebih peduli
akan lingkungan dan berjibaku bersama menjaga lingkungan sekitar. Seperti
menjaga kebersihan dan pengelolaan sampah kota dengan manajemen yang baik,
yaitu pemilahan sampah dan memanfaatkannya lebih lanjut seperti pengomposan.

Lalu lumpur di Teluk Minamata yang mengandung merkuri di atas 25 ppm


dipulihkan dengan mengeruk sebagian lumpur dan mereklamasinya. Kegiatan ini
menghabiskan 48,5 miliar yen selama lebih dari 14 tahun. Kualitas air di Teluk
Minamata saat ini menjadi air yang paling bersih dan jernih di Kumamoto dan
masyarakat tidak takut lagi untuk berenang dan bermain di sana.
Data menyeluruh tentang laut Minamata seperti kerusakan lingkungan yang
sangat luas dan kesehatan penduduk setempat perlu disampaikan ke seluruh dunia
agar dapat belajar dari kasus Minamata. Semoga kita bisa meniru cara masyarakat
Jepang yang mau belajar dari pengalaman masa lalu.

Tahun 1959 merupakan tahun yang penting, baik bagi para penderita penyakit
Minamata maupun terhadap riwayat penelitian dari penyakit tersebut. Merkuri,
yang telah dicurigai sebagai penyebab sejak sekitar September 1958, mengundang
lebih banyak perhatian lagi. Tanggal 19 Februari 1959, Tim Survei penyakit
minamata/keracunan makanan dari kementrian mengumumkan pentingnya
penelitian terhadap distribusi merkuri pada teluk minamata.

Kesimpulan : Di awal tahun 50-an Teluk Minamata tercemar oleh limbah logam
berat Mercury yang berasal dari pabrik Chiso di kota Minamata provinsi
Kumamoto, Jepang. Limbah mercury mencemari teluk minamata, sehingga ikan
dan kerang-kerangan tercemar logam berat.

B. Kasus Teluk Buyat

Too little and too late: itulah ungkapan yang tepat untuk melukiskan
langkah pemerintah dalam tragedi Buyat. Perhatian pemerintah baru tumbuh
justru setelah sejumlah warga dan biota di kawasan teluk itu telanjur menjadi
korban dari wabah penyakit. Padahal, jauh-jauh hari sebelum kasus ini meledak,
potensi dan bahaya pencemaran ekologi di wilayah itu sebenarnya telah diekspos
dan disuarakan oleh sejumlah LSM.

Kegigihan warga dan korban Teluk Buyat dalam mengejar keadilan telah
mengungkap penyakit kronis penegakan hukum di sektor lingkungan. Ia, lebih
jauh, lalu memaksa kita merasakan adanya semacam situasi darurat, yakni
minimnya perhatian dan usaha dari pengelola kekuasaan negara dalam melindungi
hak-hak warga atas lingkungan hidupnya. Situasi darurat itu jadi demikian terasa,
bila diingat, sebelum tragedi Buyat sebenarnya kasus-kasus pencemaran dan
perusakan ekologi serupa sudah berkali-kali terjadi. Proses self destruction
terhadap bumi dan bangsa ini tak boleh terus dibiarkan.
Pemerintah, sebagai pengelola langsung kekuasaan negara, berkewajiban
menjaga dan melindungi lingkungan hidup bagi warga negaranya. Dalam urusan
itu, sudah waktunya pemerintah mengupayakan kebijakan-kebijakan yang tidak
cuma memberi peluang bagi kalangan korporasi, tapi juga mendorong mereka
untuk memenuhi kewajiban sosial mereka terhadap masyarakat dan lingkungan di
mana mereka beroperasi

Pelajaran penting dari tragedi teluk Buyat adalah betapa mendesaknya


perlindungan hak-hak asasi manusia jadi bagian dari sikap kebijakan pemerintah
terhadap korporasi-korporasi yang beroperasi di Indonesia.

Pemerintah harus bertanggung jawab

Kembali ke kasus Buyat: siapakah yang lalu harus bertanggung jawab dalam
tragedi ini? Saya kira, pertanggungjawaban dapat dilihat dalam dua tingkat.
Sebuah penelitian yang independen dan sungguh-sungguh sangat diperlukan
untuk memeriksa duduk perkara dari pencemaran ekologi yang mengakibatkan
wabah penyakit ini. Perusahaan yang dituduh harus membuka dirinya pada upaya
penelitian ini untuk menentukan tingkat pertanggungjawaban yang bisa
dimintakan kepada mereka. Pada tingkat pertanggungjawaban ini, korban bisa
secara langsung menggugat perusahaan. Namun, dari perspektif hak-hak asasi
manusia, sebenarnya pemerintahlah yang memiliki beban pertanggungjawaban
paling tinggi.

Kenapa? Jawabannya: karena berdasarkan hukum internasional hak-hak asasi


manusia, negara adalah pihak yang berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap
perlindungan hak-hak asasi manusia dari setiap warganya. Kendati benar bahwa
tragedi Buyat telah memberi kita perspektif mengenai “non-state actors” sebagai
pelaku pelanggaran hak-hak asasi manusia, namun sebetulnya ultimate
responsibility dalam kasus ini tetap berada di tangan negara. Alasannya jelas:
karena tidak ada korporasi mana pun bisa beroperasi di suatu negeri tanpa
mendapat izin dari pemerintah. Sekali izin dikeluarkan, maka adalah imperatif
bagi setiap pemerintah untuk memastikan bahwa korporasi dijalankan dengan
kesesuaian dan kepatuhan terhadap standar-standar hak-hak asasi manusia
internasional, termasuk ke dalamnya hak terhadap lingkungan yang sehat.

Kita ingin mendengar dari pemerintah, apa sebabnya tragedi ini bisa terjadi?
Apakah pemerintah telah secara konsisten dan reguler melakukan kontrol terhadap
praktik-praktik korporasi yang operasinya bisa berisiko pencemaran ekologi?
Apakah pemerintah telah mengambil seluruh tindakan yang diperlukan untuk
memastikan bahwa setiap korporasi memiliki langkah-langkah pencegahan
kerusakan lingkungan dalam operasinya? Tanggung jawab pemerintah yang
pertama adalah melakukan sebuah penelitian yang jujur dan terbuka untuk
memastikan bahwa kesalahan dapat dikenali dan diperbaiki.

Yang sangat penting juga: apakah pemerintah telah memiliki kebijakan terhadap
para korban tragedi Buyat yang hak-haknya telah dilanggar? Sungguh tidak pantas
bila pemerintah mengecil-ngecilkan kasus ini di saat para korban harus
menghadapi kenyataan bahwa hidupnya terpaksa berubah dan tak bisa sama lagi
seperti sebelumnya akibat tragedi pencemaran ekologi ini. Tanggung jawab kedua
pemerintah adalah memastikan bahwa setiap keluhan korban didengar dan
menjadi salah satu dasar bagi penyusunan kebijakan untuk menyantuni mereka.

Harus diingat bahwa tindakan pelanggaran hak-hak asasi manusia dilakukan


dalam dua bentuk: act of commission dan act of omission. Apabila dapat
dibuktikan bahwa sikap lalai pemerintah memiliki kontribusi pada terjadinya
tragedi Buyat, maka pemerintah secara kategoris dapat dituduh telah melakukan
pelanggaran. Maka warga dan korban Teluk Buyat juga sebenarnya bisa
menggugat pemerintah.

Akhirnya, banyak pertanyaan-pertanyaan lain bisa diajukan untuk menuntut


pertanggungjawaban. Namun, tidak kurang pentingnya untuk pada saat bersamaan
juga mempertanyakan kepada pemerintah apa kebijakan mereka untuk mencegah
hal yang sama berulang di masa datang?

Dari tragedi Buyat kita sebenarnya bisa belajar: bila pemerintah tidak
memiliki strategi kebijakan untuk mendorong setiap korporasi memenuhi standar
hak-hak asasi manusia internasional, maka kasus-kasus pencemaran ekologi
lainnya sedang menunggu giliran meledak. Dari tragedi Buyat ini, kita harus
merenungkan dan meninjau kembali, sikap dan tindakan kita terhadap kebijakan
yang pernah diambil.

Kesimpulan : Tragedi teluk Buyat adalah betapa mendesaknya


perlindungan hak-hak asasi manusia jadi bagian dari sikap kebijakan pemerintah
terhadap korporasi-korporasi yang beroperasi di Indonesia.

C. Kasus Munir

Kasus pembunuhan Munir merupakan salah satu pelanggaran HAM di


Indonesia yang kasusnya belum terselesaikan hingga akhirnya tutup. Munir Said
Thalib bukan sembarang orang, dia adalah seorang aktivis HAM yang pernah
menangani kasus-kasus pelanggaran HAM. Ia meninggal pada tanggal 7
September 2004 di dalam pesawat Garuda Indonesia dalam perjalanan menuju
kota Amsterdam di Belanda. Banyak yang menganggap bahwa Munir meninggal
karena di bunuh atau diracuni oleh suatu kelompok tertentu. Sayangnya hingga
kini kasus kematian Munir ini belum jelas dan kasusnya sendiri akhirnya di tutup.

Kesimpulan : Kasus Munir adalah kasus pelanggaran HAM yang berat


karena Munir yang hanya mengemukakan pendapatnya atas kesalahan pemerintah
sampai harus diculik oleh pihak yang seharusnya melindungi warga negara.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pada kasus minamata di sebabkan oleh sebuah perusahaan industry


yang membuang limbahnya ke laut minamata. Bila pemerintah tidak memiliki
strategi kebijakan untuk mendorong setiap korporasi memenuhi standar hak-hak
asasi manusia internasional, maka kasus-kasus pencemaran ekologi lainnya
sedang menunggu giliran meledak. Dari tragedi Buyat ini, kita harus
merenungkan dan meninjau kembali, sikap dan tindakan kita terhadap kebijakan
yang pernah diambil.

B. Saran

Dalam kasus-kasus ini dapat membuka mata kita agar berusaha menjaga
dan memperbaiki lingkungan kita dengan usaha yang keras. Sebagai pemerintah
tidak seharusnya hanya memandang sebuah masalah dari segi ekonomi tanpa
memikirkan rakyatnya. Jika kasus ini cepat di tindak lanjuti dengan tegas
kemungkinan bisa mengurangi jumlah korban dan kerusakan yang terjadi.
Daftar Pustaka

Http://brainly.co.id

Http://jabrikyuwana.blogspot.com

Http://nerrisstatsp.blogspot.com

Http://rinaanwar92elf.blogspot.com

Http://huntershotamazing.blogspot.co

http://jabrikyuwana.blogspot.com/2010/03/kasus-minamata.html

Anda mungkin juga menyukai