Anda di halaman 1dari 10

KAJIAN MODAL SOSIAL BIDANG PENDIDIKAN

Makalah Ini Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Matakuliah Kajian Modal Sosial

yang diampu oleh : Dr. Hj. Neiny Ratmaningsih, M.Pd dan Arief Rakhman, S.E, M.Pd

Disusun oleh:

Fitriyani (1703747)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

2018
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warrahmatullahi Wabarrakatuh

Wassalamualaikum Warrahmatullahi Wabarrakatuh

Bandung, Oktober 2019

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
D. Metode
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Modal Sosial
Konsep modal sosial sudah lama dibicarakan oleh para ahli ekonomi, kirakira pada abad
19 yang lalu (Castiglione, et.al.2008 :2). Istilah modal sosial itu sendiri baru muncul untuk
pertama kalinya pada tahun 1916 ketika Lyda Hudson Hanifan menulis tentang The Rural School
Community Center, Moelyono dlm (Handoyo, 2013)

Modal sosial telah diyakini mampu memberikan dampak yang besar bagi masyarakat dan
anggotanya. Sebagaimana yang disampaikan oleh Bank Dunia, yang meyakini bahwa modal
sosial merujuk pada dimensi institusional, hubunganhubungan yang tercipta, dan norma-norma
yang membentuk kualitas serta kuantitas hubungan sosial dalam masyarakat, dan sebagai perekat
yang menjaga kesatuan anggota kelompok secara bersama-sama. Dimensi modal sosial tumbuh
di dalam suatu masyarakat yang didalamnya berisi nilai dan norma serta pola-pola interaksi
sosial dalam mengatur kehidupan keseharian anggotanya (Cahyono, 2012).
Oleh Aldler dan Kwon (2000) disebutkan bahwa modal sosial adalah merupakan
gambaran dari keterikatan internal yang mewarnai struktur kolektif dan memberikan kohesifitas
dan keuntungan-keuntungan bersama dari proses dinamika sosial yang terjadi di dalam
masyarakat. Menurut Dasgupa dan Serageldin (1999), dimensi modal sosial menggambarkan
segala sesuatu yang membuat masyarakat bersekutu untuk mencapai tujuan bersama atas dasar
kebersamaan, serta didalamnya diikat oleh nilai-nilai dan norma-norma yang tumbuh dan
dipatuhi. Sementara itu, Coleman (1999) juga menekankan bahwa dimensi modal sosial inheren
dalam struktur relasi sosial dan jaringan sosial di dalam suatu masyarakat yang menciptakan
berbagai ragam kewajiban sosial, menciptakan iklim saling percaya, membawa saluran
reformasi, dan menetapkan norma-norma, serta sangsi-sangsi sosial bagi para anggota
masyarakat (Cahyono, 2012).
Berbeda dengan pendapat Fukuyama norma dan nilai-nilai bersama yang dipedomani
sebagai acuan bersikap, bertindak, dan bertingkah laku otomatis menjadi modal sosial. Modal
sosial yang sebenarnya hanyalah norma-norma dan nilai-nilai bersama yang dibangkitkan oleh
kepercayaan (trust), dimana trust merupakan dasar bagi sikap keteraturan, kejujuran, dan
perilaku kooperatif yang muncul dari dalam sebuah komunitas masyarakat yang didasarkan pada
normanorma yang dianut bersama oleh para anggotanya (Cahyono, 2012).

Beberapa sumber modal sosial antara lain nilai dan kearifan local yang mengakomodasi
kepentingan bersama, kebiasaan atau tradisi, lembaga pendidikan, ajaran agama, lembaga adat
dan lain-lain. Sementara potensi modal sosial antara lain ada nilai dan norma yang dapat menjadi
wadah dalam mengatur untuk kepentingan bersama, ada lembaga atau institusi yang
berkontribusi dalam member layanan untuk kepentingan bersama, ada tokoh masyarakat yang
terpercaya dan dipercaya warga komunitas (Abdullah, S. 2013).

Dimensi Modal Sosial Dimensi inti telaah dari modal sosial terletak pada bagaimana
kemampuan masyarakat untuk bekerjasama membangun suatu jaringan guna mencapai tujuan
bersama.Kerjasama tersebut diwarnai oleh suatu pola interrelasi yang imbal balik dan saling
menguntungkan serta dibangun diatas kepercayaan yang ditopang oleh normanorma dan nilai-
nilai sosial yang positif dan kuat. (Hasbullah dlm Widodo, 2016).
Tipe Modal Sosial Tipe atau bentuk jaringan sosial pada modal sosial oleh Putman
diperkenalkan perbedaan dua bentuk dasar modal sosial, yaitu mengikat (bonding) dan
menjembatani (bridging). Sedangkan Woolcock membedakan modal sosial kedalam tiga bentuk
yaitu social bonding, social bridging, dan social linking. Social Bonding merupakan tipe modal
sosial dengan karakteristik adanya ikatan yang kuat (adanya perekat sosial) dalam suatu sistem
kemasyarakatan. Misalnya, kebanyakan dalam keluarga mempunyai hubungan kekerabatan
dengan keluarga yang lain, yang mungkin masih berada dalam satu etnis. Hubungan kekerabatan
ini bisa menumbuhkan :

a. Rasa kebersamaan yang diwujudkan melalui rasa empati,


b. Rasa simpati,
c. Rasa berkewajiban,
d. Rasa percaya,
e. Resiprositas,
f. Pengakuan timbal balik,
g. Nilai kebudayaan yang mereka percaya.

Social bonding seperti yang dikemukakan Hasbullah dlm (Widodo, 2016) dibagi lagi
kedalam beberapa bentuk dengan karakter pembeda seperti penerapan alternatif pilihan untuk
melakukan sesuatu. Bentuk-bentuk tersebut berupa spektrum yang terdiri dari tiga bentuk yaitu
Sacred society, Heterodoxy dan Orthodoxy. Social Bridging (jembatan sosial) merupakan suatu
ikatan sosial yang timbul sebagai reaksi atas berbagai macam perbedaan karakteristik dalam
kelompoknya. la bisa muncul karena adanya berbagai macam kelemahan yang ada di sekitarnya
sehingga akan memberikan pilihan untuk membangun kekuatan baru dari kelemahan yang ada.

Hasbullah dlm (Widodo, 2016) mengatakan ada tiga prinsip yang dianut dalam social
bridging yang didasari pada prinsip universal mengenai:

1. Persamaan
2. Kebebasan
3. Nilai-nilai kemajemukan dan kemanusiaan.

Woolcock memberikan pengertian terhadap social linking (hubungan/ jaringan sosial)


sebagai suatu hubungan sosial yang dikarakteristikkan dengan adanya hubungan di antara
beberapa jenjang sosial, yang muncul dari kekuatan sosial maupun status sosial yang ada dalam
masyarakat (Widodo, 2016).
Upaya penyesuaian masyarakat memiliki daya/kapasitas adaptasi yang berbeda-beda
sesuai dengan modal sosial yang dimilikinya. Kapasitas adaptif adalah kemampuan sistem sosial
secara sosialekologi untuk tetap siap dan tegap dalam menghadapi goncangan dan merespon
perubahan dari faktor internal dan eksternal (Armitage dan Plummer 2010:1). Kemampuan
adaptif juga dilihat sebagai daya lenting, stabilitas, dan fleksibilitas ketahanan sistem sosial dari
ancaman atau bahaya yang dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan (Smit dan Wandel 2006).
Proses pengembangkan kapasitas adaptif tersebut juga ditentukan melalui penggunaan sumber
daya/potensi serta modifikasi sistem kelembagaan/aturan atau norma, Pelling dan High dlm
(Kusumastuti, 2015).
Modal sosial menjadi kekuatan untuk dapat merespon situasi di luar masyarakat,
termasuk di dalamnya merespon situasi pembangunan infrastruktur di pedesaan. Upaya
merespon berupa kerja sama dan partisipasi adalah bentuk kemampuan adaptasi mereka.
Kemampuan ini kemudian dikembangkan lebih lanjut dengan upaya memobilisasi sumber daya
dan memodifikasi sistem kelembagaan yang ada. Kemampuan tersebut menjadi dasar kuat
lemahnya daya lenting, fleksibilitas, dan stabilitas masyarakat pedesaan dalam merespon
pembangunan (Kusumastuti, 2015).

B. Unsur-unsur Modal Sosial


Pemaparan mengenai definisi, perdebatan, dimensi dan bentuk modal sosial
mengantarkan kita kepada kesimpulan bahwa pada dasarnya modal sosial memiliki tiga unsur
penting yaitu nilai norma, jaringan dan kepercayaan. Unsur yang pertama yaitu norma-norma
sosial (social norms). Secara umum norma merupakan nilai yang bersifat kongkret. Diciptakan
untuk menjadi panduan bagi setiap individu untuk berperilaku sesuai dengan aturan yang berlaku
di masyarakat. Terkait hal ini, Putnam (2000) menjelaskan bahwa nilai-nilai terkandung di dalam
suatu jaringan sosial. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa posisi nilai-nilai menjadi penting
sebagai pengikat atau perekat – kohesivitas – mempersatukan dalam menjalin hubungan (Fathy,
2019).
Menurut Fukuyama, Pada umumnya norma yang terbentuk secara spontan cenderung
bersifat informal, dalam arti tidak dituliskan dan diumumkan. Selain merentangkan norma-norma
sosial, mulai dari norma sosial hierarkis hingga norma spontan, kita juga dapat merentangkan
norma lainnya hasil pilihan rasional, serta norma turun menurun dan arasional. (Fukuyama,
2005: 179). Fukuyama (2005) menjelaskan lebih lanjut, bahwa akan terbentuk 4 macam norma
dengan 4 sifat yang berbeda: spontan-arasional (alami teratur sendiri), spontan rasional (tertata
sukarela), hierarkis-arasional (keagamaan) dan hierarkisrasional (politis). Nilai dan norma
merupakan pra kondisi – pondasi yang melandasi timbulnya kepercayaan (Fukuyama, 2002).
Norma-norma informa ini tidak akan lenyap dan akan tetap di kemudian hari (Fukuyama, 2005:
230). Normanorma ini pada gilirannya akan menciptakan kebajikan sosial (Social Virtues):
Beberapa rangkaian kebajikan individu yang bersifat sosial di antaranya adalah kejujuran,
keterandalan, kesediaan untuk bekerja sama dengan orang lain, kekompakkan dan sense of duty
terhadap orang lain.Modal sosial memerlukan pembiasaan terhadap normanorma yang berlaku,
dan dalam konteksnya termanifestasikan dalam kebajikankebajikan sosial umum – kesetiaan,
kejujuran, kekompakkan dan dependability (Fukuyama dlm Fathy, 2019).

Unsur modal sosial selanjutnya adalah jaringan sosial. Definisi jaringan sebagai unsur
modal sosial adalah sekelompok orang yang memiliki norma-norma atau nilai-nilai informal di
samping norma-norma atau nilai-nilai yang diperlukan untuk transaksi biasa di pasar (Fukuyama,
2005: 245). Pertukaran informasi yang diwadahi oleh jaringan untuk berinteraksi akhirnya
berkontribusi memunculkan kepercayaan di antara mereka (Fukuyama, 2002). Jaringan sosial
dapat terbentuk karena adanya nilai dan norma yang dipegang teguh bersama yang kemudian
melandasi lahirnya kerja sama. Namun demikian, kerja sama sosial tidak serta merta muncul
begitu saja. Hal tersebut dapat dimunculkan dengan menciptakan identitas bersama, pertukaran
moral dan pengulangan interaksi (Fathy, 2019).
Unsur modal sosial yang ketiga adalah kepercayaan. Menurut Fukuyama (2002),
kepercayaan adalah efek samping yang sangat penting dari norma-norma sosial yang kooperatif
yang memunculkan modal sosial. Kepercayaan adalah sesuatu yang dipertukarkan dengan
berlandaskan norma-norma bersama demi kepentingan orang banyak. Kepercayaan menyangkut
hubungan timbal balik. Bila masing-masing pihak memiliki pengharapan yang samasama
dipenuhi oleh kedua belah pihak, maka tingkat kepercayaan yang tinggi akan terwujud. Tidak
dapat dipungkiri jika masyarakat Indonesia belum dikatakan sepenuhnya sejahtera. Kesenjangan
dan ketimpangan masih menjadi permasalahan baik di perkotaan maupun perdesaan. Polarisasi
yang kian mencolok di masyarakat menandakan bahwa masyarakat Indonesia ada yang
tereksklusi secara sosial. Konsep eksklusi sosial sebenarnya tertuju pada melemahnya kapasitas
masyarakat. Hal demikian ditandai pula dengan lemahnya tingkat partisipasi, aksesibilitas dan
kebebasan masyarakat. Eksklusi sosial merupakan proses (dan juga outcome), individu atau
kelompok terpisah dari hubungan sosial yang lebih luas – ditandai dengan tidak berpartisipasi
dalam aktifitas masyarakat seperti konsumsi, menabung, produksi, politik dan aktifitas sosial
lainnya (Sirovatka dan Meres dlm Fathy, 2019).

C. Modal Sosial Dalam Pendidikan


1. Peran
Pendidikan yang berkualitas sangat berperan besar dalam membentuk kualitas individu
ataupunmasyarakat dan bangs secarakeseluruhan. Sekolah sebagai wujud dari embaga
pendidikan formal merupakan wadah resmi pembinaan generasi muda diharapkan dapat
meningkatkan perananya dalam pembentkan kepribadian peserta didk mlalui peningkatan
intensitas dan kualitas pendidkan. Lembaga pendidikan tidak sebatas hanya memberi dan
menerima ilmu akan tetapi juga merupakan wadah proses terjadinya sosialisasi nilai-nilai baru
seperti kejujuran, toleransi, kebersamaan, profesionalitas, kebebasan dan lain sebagainya.
Pendidikan di sekolah dengan demikian tidak hanya berhubungan dengan dimensi cultural
capital, human capital tetapi yang tiak kalah pentingnya yaitu modal social. Melalui modal social
suat lembaga memperole akses langsung terhadap jaringan atau konektifitas dengan lembaga
maupun individu dengan mudah. Modal social di suatu unit sekolah menjadikan sekolah itu
dapat dengan mudah memperoleh kerjasama maupun jaringan dengan instasi lain di dalam
maupu luar pendidikan. Adanya jaringan-jaringan hubungan social antar individu dalam modal
osial memberikan manfaat dalam konteks pengelola sumber daya milik bersama, melalui modal
social trsebut akan mempermudah koordinasi dan kerjasama untuk keuntungan yang bersifat
timbal balik, itulah ang dikatakan Putnam tentang jaringan social sebagai sala satu elemen
darimodal social. Putnam (2000), menjelaskan bahwa modal social dapat mengacu pada
organisasi social dengan jaringan social , norma-norma dan kepercayaan social yang dapat
menjembatani tercapainya kerjasama dalam komunitas sehingga terjalin kerjasama yang saling
menguntungkan. Selain itu modal social di sekolah erat kaitanya dengan pendidikan
karakter,diantaranya dapat dilihat dengan adanya keterlibatan semua angota masyarakat sekolah
dalam penanaman nilai-nilai karakter kepada peserta didik. Bentuk keterlibatan tersebu misalnya
melalui keteladanan yang diberikan oleh para guru maupun staf taa usaha kepada peserta didik di
lingkngan sekolah. Perilaku dari guru maupun staf ata usaha seari-hari di lingkunan sekolah
merupakan contoh nyata dari keteladanan yang diberikan kepaa peserta didik untuk ditiru.
Keteladanan yang diberikan kepada peserta didik secara langsng akan memperkuatnilai-nilai
karakter yang telah dianamkan melalui pembelajaran dalam kelas. Bentuk profesionalisme dari
para guru dalam kegiatan mengajar juga merpakan bentuk modal social dari para guru untuk
mengembangkan kegiatan pembelajaran di kelas agar lebih berembang.

2. Pemanfaatan
3. Pengaplikasian
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
B. SARAN
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, S. 2013. Potensi Dan Kekuatan Modal Sosial Dalam Suatu Komunitas.Socius: Jurnal
Sosiologi Volume 12 Number I. Diakses di http://journal.unhas.ac.id/index.php
/socius/article/view/381

Cahyono & Ardian. 2012. Peran Modal Sosial Dalam Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat
Petani Tembakau Di Kabupaten Wonosobo. Jurnal Unissula Vol. I NO.I. Diakses di
http://jurnal.unissula.ac.id/index.php/cbam/article/view/128/104

Fathy, R. 2019. Modal Sosial: Konsep, Inklusivitas dan Pemberdayaan Masyarakat. Jurnal
Pemikiran Sosiologi Volume 6 No. 1, Januari 2019. Diakses di
https://jurnal.ugm.ac.id/jps/article/download/47463/pdf

Handoyo, Eko. 2013. Kontribusi Modal Sosial Dalam Meningkatkan Kesejahteraan Pedagang
Kaki Lima Pascarelokasi. International Journal of Indonesian Society and Culture; JURNAL
KOMUNITAS Research & Learning in Sociology and Anthropology. Diakses di
https://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/komunitas/article/view/2743/2801

Kusumastuti, A. 2015. Modal Sosial dan Mekanisme Adaptasi Masyarakat Pedesaan dalam
Pengelolaan dan Pembangunan Infrastruktur. Jurnal Sosiologi, Vol. 20, No. 1, Januari 2015:81-
97. Diakses di http://journal.ui.ac.id/index.php/mjs/article/download/4740/pdf

Widodo, H. 2016. Peran dan Manfaat Modal Sosial Dalam Peningkatan Efektivitas Kerja
Karyawan Sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah di Sentra Kerajinan Tas dan Koper
Tanggulangin Sidoarjo. Jurnal Bisnis, Manajemen & Perbankan Vol. 2 No. 12016 :01-14.
Diakses di http://ojs.umsida.ac.id/index.php/JBMP/article/download/911/701

Anda mungkin juga menyukai