I. Pendahuluan
1 Pengajar Mata Kuliah Pilihan Penyelesaian Sengketa, Hukum Lingkungan dan Hukum
Administrasi Negara. Penulis juga menjabat sebagai Ketua Bidang Studi Hukum
Administrasi Negara di FHUl.
II. Negosiasi
4 Roger Fisher and Willian Ury, Getting to Yes: Negotiating an Agreement Without Giving
In (London: Bussiness Book, 1991) , p. xiii.
s Gerald R. William, Legal Negotiation and Setlement (St. Paul, Minnesota: West
Publishing Co. , 1983), p. 47.
6 Fisher and Ury, op.eit., p. 8.
a. Posisi maximalist
Perunding yang menggunakan cara ini akan meminta sesuatu
melebihi apa yang sesungguhnya dibutuhkan dan berusaha mengajukan
permintaan setinggi mungkin.
b. Posisi equitable
Tidak seperti perunding pada posisi maximalist, perunding yang
memilih posisi equitable akan mengajukan permintaan sesuai dengan
apa yang dibutuhkannya.
c. Posisi integrative
Di sini perunding berusaha mencapai kesepakatan yang lebih
mencerminkan kepentingan bersama.
gHoward Raiffa, The Art and Science of Negotiation (Cambridge, Massachusetts: Belkap
Press of Harvard University Press, 1982), p. 35-43.
1. Kesediaan bernegosiasi
Kesediaan bernegosiasi merupakan hal penting untuk berhasilnya
suatu perundingan. Kesediaan ini bersifat sukarela, artinya, para pihak
tidak merasa terpaksa untuk berunding dan menyepakati hasil
perundingan. Mungkin saja suatu negosiasi berjalan secara terpaksa
karena adanya persyaratan yang telah ditetapkan oleh pihak lain, pada
negosiasi serna cam ini komitmen para pihak menjadi rendah karena
negosiasi dilakukan secara terpaksa.
(2). Keahlian
Keahlian yang dimiliki oleh seorang perunding sering dianggap
merupakan kekuatan yang dapat mempengaruhi orang lain, pihak
yang tidak mempunyai keahlian akan merasa kekuatan tawar-
menawarnya tidak sebaik orang yang ahli.
(3). Informasi
Seorang perunding mungkin mempunyai kekuatan karena
informasi yang dimilikinya sangat lengkap, mutakhir dan dapat
dipercaya.
(4). Asosiasi
Kekuatan yang mungkin dimiliki seorang perunding adalah
kedekatannya dengan pihak penguasa, pejabat atau organisasi
tertentu yang cukup disegani dalam masyarakat.
(5). Kewenangan menjatuhkan sanksi
Dalam suatu perundingan, seseorang yang mempunyai wewenang
menjatuhkan sanksi akan merasa bahwa kekuatan tawar-
menawarnya lebih tinggi daripada orang lain.
(6). Kemampuan menciptakan gangguan
Pada orang-orang tertentu kekuatan yang dimilikinya ada pada
kemampuannya untuk menciptakan gangguan. Gangguan tersebut
dapat berupa gangguan yang sifatnya halus dan sederhana, namun
dapat pula gangguan yang bersifat keras .
(7). Kekuatan moral
Kekuatan moral ada pada orang yang jujur, mempunyai sifat tidak
tercela, tidak pernah melanggar peraturan, dan hal-hal yang
menurut penilaian masyarakat patut dijadikan teladan.
b, Kekuatan yang perlu dikembangkan pada saat perundingan:
(1). Kemampuan mengembangkan BA TN A
(2). Kemampuan mengembangkan PIOC
(3). Kemampuan menyampaikan pesan secara efektif
(4). Kemampuan mendengar pihak lain
III. Mediasi
Seperti telah diuraikan pada bag ian awal tulisan ini, salah satu
alasan diterimanya mediasi sebagai salah satu alternatif penyelesaian
sengketa adalah karena pada dasarnya mediasi memungkinkan para pihak
yang bersengketa untuk duduk bersama membicarakan permasalahan
mereka dan berusaha menyelesaikan permasalahan dengan cara
musyawarah, cara ini telah dikenal dalam berbagai budaya. Dalam budaya
Indonesia, musyawarah merupakan upaya penyelesaian sengketa yang
telah dikenal sejak lama dan hidup dalam masyarakat tradisional.
Penyelesaian sengketa melalui musyawarah bukan hal yang baru karena
telah dikenal dan hidup dalam berbagai masyarakat adat. Mediator yang
dianggap mampu menyelesaikan sengketa biasanya adalah para tetua adat
atau tokoh masyarakat.
Dalam perkembangannya, mediasi merupakan cara yang dipilih
untuk menyelesaikan sengketa tidak saja pada masyarakat tradisional,
tetapi juga merupakan salah satu alternatif yang ditemukan dalam
peraturan perundang-undangan. Sebagai contoh, dalam Undang-undang
No . 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, mediasi
merupakan salah satu cara yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan
sengketa lingkungan di luar pengadilan. Demikian pula dalam sengketa
konsumen, Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen menyebutkan bahwa mediasi dapat dipilih sebagi salah satu
cara penyelesaian sengketa. Undang-undang lain yang memberikan
peluang digunakannya mediasi adalah Undang-undang No . 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan, dan Undang-undang No . 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Selain itu , dalam Undang-
undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa juga terdapat pasal yang mengatur tentang mediasi.
Dengan semakin banyaknya perundang-undangan yang mengatur
tentang penyelesaian sengketa di luar pengadilan , dan salah satu caranya
adalah melalui mediasi, diharapkan masyarakat dapat memanfaatkan cara
ini sehingga proses penyelesaian sengketa dapat dilaksanakan lebih cepat
dan hasilnya memuaskan para pihak.
Daftar Pustaka
I
Mediasi sebagai AllerMlif Penyelesaian Sengkela di luar Pengadilan 209