Anda di halaman 1dari 16

194 Hukum dan Pembangunan

MEDIASI SEBAGAI ALTERNATIF


PENYELESAIAN SENGKET A DI LUAR PENGADILAN
Sri Mamudji 1

Mediation has been recognized for more alternative dispute resolutions in


many countries. In Indonesian laws have many designate on mediation.
such as Consumer Protection Law. Forestry Law. Law of Dispute
Resolution in Industrial Business and in specific Law on Arbitrage and
Alternative Disputes Resolution (Law number 30 year 1999). The last
destinations of mediation here are also proposed by considered many
inherent aspects of mediation that it has well-known in many cultural
groups; secondly. that the nature of resolution is non adversial; thirdly
,for the parties is This article explains many aspects of alternative dispute
resolution that has been acknowledged and embarked to more effective
ways for the most of parties to resolve their deputes in fasten and satisfied
results . available to participate in negotiation; and at the end it shall
attain to win-win solution.

I. Pendahuluan

Penyelesaian sengketa dapat diselesaikan melalui pengadilan (in


court) atau di luar pengadilan (out court). Penyelesaian sengketa di luar
pengadilan diawali oleh adanya ketidakpuasan akan proses penyelesaian
sengketa melalui pengadilan yang memakan waktu relatif lama dan
membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Selain itu. putusan yang dihasilkan
oleh pengadilan sering menimbulkan rasa tidak puas para pihak atau ada
pihak yang merasa sebagai pihak yang "kalah."
Untuk mencari alternatif penyelesaian sengketa pada tabun 1976
seorang mantan hakim. Chief Justice Warren Burger dalam The Roscoe
Pound Conference mengajak para peserta konperensi yang terdiri dari

1 Pengajar Mata Kuliah Pilihan Penyelesaian Sengketa, Hukum Lingkungan dan Hukum
Administrasi Negara. Penulis juga menjabat sebagai Ketua Bidang Studi Hukum
Administrasi Negara di FHUl.

Juli - September 2004


Mediasi sebagai ALternntif PenyeLesaian Sengketa di Luar PengadiLan 195

para akademisi, hakim dan pengacara mencari cara lain untuk


menyelesaikan sengketa. Sejak itu ALternative Dispute ResoLution (ADR)
mulai dikembangkan sebagai alternatif penyelesaian sengketa di luar
pengad ilan. 2
Dikembangkannya ADR juga didukung oleh beberapa faktor,
antara lain (1) cara penyelesaiannya sudah dikenal dalam berbagai budaya;
(2) penyelesaian bersifat non adversiaL; (3) memungkinkan semua pihak
baik yang langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan sengketa
diikutsertakan dalam perundingan; (4) tercapainya win-win soLution.
Ada berbagai bentuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan,
seperti yang ditulis Nolan-Haley, "ADR is an umbrella term wich refers
generally to eLtemative to court adjudication of disputes such as
negotiation, mediation, arbitration, mini triaL and summary jury triaL. ,,3
Dalam tulisan ini hanya akan dibahas penyelesaian sengketa
melalui mediasi dengan didahului pembahasan tentang negosiasi sebagai
dasar dari tata cara penyelesaian sengketa melalui mediasi karena dalam
mediasi upaya penyelesaian sengketa dilakukan melalui perundingan dan
tawar-menawar antara para pihak yang bersengketa. Di samping itu,
mediasi merupakan alternatif penyelesaian sengketa yang saat ini sedang
dikembangkan di Indonesia.

II. Negosiasi

Untuk memperoleh sesuatu yang diinginkannya, baik dalam kegiatan


yang bersifat formal maupun non formal, manusia tidak jarang harus
melakukan perundingan atau tawar-menawar dengan orang lain.
Perundingan dapat terjadi di lingkungan keluarga, ternan, rekan kerja,
mitra bisnis, yang telah saling mengenal, bahkan perundingan dapat pula
terjadi antara orang-orang yang sebelurnnya tidak saling mengenal. Tidak
hanya masalah yang sifatnya sederhana saja yang dapat dirundingkan,
masalah yang rumit bahkan bersifat internasional pun dapat menjadi
masalah utama suatu perundingan.

2 Jacqueline M. Nolan-Haley, Alternative Dispute ResoLution (S1. Paul, Minnesota.: West


Publishing Co., 1992) , p. 4-5.
3 Ibid., p. 1-2.

Nomor 3 Tahun XXXIV


196 Hukum dan Pembangunan

Perundingan dan tawar menawar tersebut dikenal dengan istilah


negosiasi. Menurut Fisher dan Ury, negosiasi merupakan komunikasi dua
arah yang dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat kedua belah
pihak memiliki berbagai kepentingan yang sarna maupun berbeda 4
Dalam perkembangannya, negosiasi dipergunakan sebagai salah
satu alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan tanpa melibatkan
pihak ketiga baik mediator, arbiter maupun hakim.
Menurut William ada dua teknik negosiasi yang mungkin
dipergunakan oleh seorang negosiator yaitu teknik negosiasi kompetitif
dan negosiasi kooperatif. 5 Pada negosiasi kompetitif seorang perunding
menganggap perunding pihak lain sebagai musuh atau lawan sehingga
dalam melalukan perundingan seorang perunding kompetitif menggunakan
ancaman, bersikap keras, mengajukan permintaan yang tinggi, jarang
memberikan konsesi dan tidak perduli pada kepentingan pihak lain.
Kebalikannya, pada negosiasi kooperatif seorang perunding menganggap
pihak lain sebagai mitra kerja yang akan bekerjasama untuk mencapai
kesepakatan bukan musuh atau saingan.
Sementara itu , Fisher dan Ury menyebutkan dua teknik negosiasi
yaitu teknik yang bertumpu pada posisi (positional based negotiation) dan
teknik yang bertumpu pada kepentingan (interest based negotiation)6
Seorang perunding pada negosiasi yang bertumpu pada posisi akan
mempertahankan apa yang diinginkannya tanpa menunjukkan keinginan
untuk bekerjasama dengan pihak lain. Berbeda dengan perunding yang
menggunakan teknik yang bertumpu pada posisi, perunding dengan teknik
yang bertumpu pada kepentingan dalam meminta dan memberikan konsesi
akan berusaha memahami kepentingan pihak lain di samping
kepentingannya send iri.
Harvard Negotiation Project mengembangkan suatu teknik
negosiasi yang disebut principled negotiation, teknik ini bertumpu pada
kepentingan (interest based). Dalam menggunakan teknik ini ada empat

4 Roger Fisher and Willian Ury, Getting to Yes: Negotiating an Agreement Without Giving
In (London: Bussiness Book, 1991) , p. xiii.
s Gerald R. William, Legal Negotiation and Setlement (St. Paul, Minnesota: West
Publishing Co. , 1983), p. 47.
6 Fisher and Ury, op.eit., p. 8.

Juli - September 2004


Mediasi sebagai Allernalif Penyelesaian Sengkela di luar Pengadilan 197

elemen dasar yang pelu diperhatikan oleh para perunding. Keempat


elemen dikenal dengan People, Interest, Option, Criteria (PIOC).
Pada people (orang), para perunding harus dapat memisahkan
antara orang dan masalah. Mereka adalah mitra kerja yang bekerjasama
menyelesaian masalah, sehingga perunding tidak bersikap "menyerang"
perunding lain tetapi pembicaraan difokuskan pada masalah. Yang
dimaksud dengan interest (kepentingan) di sini adalah bahwa para pihak
dalam berunding memfokuskan diri pada kepentingan bukan pada posisi ,
masing-masing berusaha memahami baik kepentingan sendiri maupun
kepentingan pihak lain . Dengan demikian dalam perundingan para pihak
tidak bersikukuh mempertahankan keinginannya untuk tujuan mengalahkan
pihak lain. Dalam option (pilihan), sebelum mengajukan berbagai pilihan
para pihak berusaha memperbesar "kue" dan melihar permasaJahan dari
berbagai kemungkinan, tidak terpaku pada satu jawaban saja tetapi
mencoba mencari berbagi pilihan atau alternatif penyelesaian. Sedangkan
pad a criteria (kriteria) perunding harus memperhatikan adanya standard
obyekrif yang ada seperri nilai pasar, standard profesi, peraturan
perundang-undangan dan kebiasan masyarakat.
Untuk melakukan negosiasi ada beberapa tahapan yang biasanya
dilakukan. Dalam bukunya, William menyebutkan empat rahapan yang
harus dilalui, yaitu :
1. tahap orienrasi dan mengatur posisi;
2. tahap argumentasi;
3. tahap bersikap dalam keadaan darurat dan kritis;
4. tahap merancang kesepakatan.'

Ad. 1. Tahap orientasi dan mengatur posisi

Sebagai tahap awal, pada tahap ini masing-masing pihak mulai


membuka konrrak dan mulai membina hubungan. Di sini perunding mulai
mengutarakan masalah mereka secara umum dan mengembangkan posisi
pembuka. Ada tiga cara mengembangkan posisi pembuka yang dikenal,
yaitu:

7 William, op. cit. , p. 13.

Nomor 3 Tahun XXXIV


198 Hukum dan Pembangunan

a. Posisi maximalist
Perunding yang menggunakan cara ini akan meminta sesuatu
melebihi apa yang sesungguhnya dibutuhkan dan berusaha mengajukan
permintaan setinggi mungkin.
b. Posisi equitable
Tidak seperti perunding pada posisi maximalist, perunding yang
memilih posisi equitable akan mengajukan permintaan sesuai dengan
apa yang dibutuhkannya.
c. Posisi integrative
Di sini perunding berusaha mencapai kesepakatan yang lebih
mencerminkan kepentingan bersama.

Ad. 2. Tahap argumentasi

Di dalam tahap ini masing-masing pihak mulai memberikan


gambaran masalah pokok secara jelas dan juga kekuatan serta kelemahan
yang mereka miliki . Perunding mulai saling menjajaki konsesi apa yang
dapal diberikan dan dikembangkan.

Ad. 3. Tahap darurat dan kritis

Pada tahap ini perunding mulai menyiapkan alternatif baru untuk


mengamisipasi kemungkinan terjadinya dead lock atau adanya batas waktu
perundingan yang harus ditepati.

Ad. 4. Tahap kesepakatan

Jika kesepakatan telah tercapai , para pihak merancang kesepakatan


dan akhirnya menuangkannya dalam bentuk kesepakatan formal yang
ditandatangani oleh para pihak.

Sementara itu , menurut Raiffa tahapan negosiasi adalah sebagai


berikut:
1. tahap persiapan;
2. tahap tawaran awal;
3. tahap pemberian konsesi;

]uli - September 2004


Mediasi sebagai ALterfllltif Penyelesaian Sengketa di luar Pengadilan 199

4. tahap akhir perundingan'

Ad. 1. Tahap persia pan


Untuk mempersiapkan perundingan, terlebih dahulu harus
diketahui apa kebutuhan dan keinginan pihak yang bersangkutan. Perlu
pula dijajaki Best Alternative to A Negosiated Agreement (BATNA) yaitu
alternatif lain jika alternatif yang diajukan dalam perundingan tidak
tercapai. Selain mengenali kepentingan sendiri, pada tahap ini para pihak
juga perlu mengenali apa keinginan pihak lain. Dalam tahap ini hal-hal
yang berkaitan dengan logistik juga perlu dipersiapkan.

Ad. 2. Tahap tawaran awaI


Perunding mempersiapkan strategi di dalam menghadapi
perunding lain, bagaimana memulai tawaran pembuka dan bagaimana
menghadapi strategi pihak lawan yang bersifat ekstrim.

Ad. 3. Tahap pemberian konsesi


Konsesi yang akan diberikan dapat diperhitungkan dengan melihat
konsesi yang diberikan oleh pihak lain. Perlu juga diperhatikan faktor
hubungan baik di masa mendatang dengan pihak lawan, persepsi tentang
rasa adil dan pemahaman tentang kepentingan masing-masing pihak.

Ad. 4. Tahap akhir perundingan


Pada tahap terakhir ini kesepakatan yang telah dicapai dan
komitmen para pihak dirumuskan secara tertulis dan ditandatangani oleh
para pihak.

Keberhasilan suatu negosiasi tergantung pada sikap para pihak dan


kesepakatan dapat dicapai jika para pihak menyadari bahwa masalah yang
mereka hadapi adalah masalah bersama yang akan diselesaikan secara
bersama pula (joint problem solving).
Faktor yang mempengaruhi keberhasilan suatu negosiasi adalah:

gHoward Raiffa, The Art and Science of Negotiation (Cambridge, Massachusetts: Belkap
Press of Harvard University Press, 1982), p. 35-43.

Namar 3 Tahun XXXiV


200 Hukum dan Pembangunan

1. Kesediaan bernegosiasi
Kesediaan bernegosiasi merupakan hal penting untuk berhasilnya
suatu perundingan. Kesediaan ini bersifat sukarela, artinya, para pihak
tidak merasa terpaksa untuk berunding dan menyepakati hasil
perundingan. Mungkin saja suatu negosiasi berjalan secara terpaksa
karena adanya persyaratan yang telah ditetapkan oleh pihak lain, pada
negosiasi serna cam ini komitmen para pihak menjadi rendah karena
negosiasi dilakukan secara terpaksa.

2. Para pihak siap melakukan negosiasi


Perundingan akan berjalan efektif apabila para pihak mempersiapkan
diri secara sungguh-sungguh. Sebelum melakukan perundingan, masing-
masing pihak harus mempelajari fakta, mengumpulkan informasi dan
mempersiapkan diri untuk menghadapi pihak perunding lain. Persiapan
merupakan hal paling penting dalam proses negosiasi.

3. Kewenangan mengambil keputusan


Perlu diperhatikan bahwa dalam proses perundingan, perunding
akan melakukan tawar-menawar dan mampu memutuskan konsesi apa
yang akan diberikan kepada pihak lawan. Perunding harus memiliki
kewenangan untuk mengambil keputusan, oleh karena itu perunding
haruslah orang yang mempunyai wewenang mengambil keputusan.

4. Kekuatan tawar-menawar yang relatif setara


Pertukaran konsesi antara para pihak dapat terlaksana dengan
memuaskan apabila mereka mempunyai kekuatan yang relatif seimbang.
Kekuatan tersebut bisa dimiliki oleh para perunding baik sebelum
perundingan berlangsung maupun pada saat perundingan berlangsung.
a. Kekuatan yang perlu dimiliki sebelum perundingan:
(1). Kewenangan
Yang dimaksud dengan kewenangan di sini adalah kewenangan
yang dimiliki oleh seseorang karena yang bersangkutan
mempunyai jabatan atau orang yang mempunyai wewenang
mengambil keputusan, sehingga biasanya terhadap orang ini orang
lain akan merasaa hormat, segan, atau takut .

Juli - September 2004


Mediasi sebagai Alternacif Penyelesaian Sengkeca di luar Pengadilan 201

(2). Keahlian
Keahlian yang dimiliki oleh seorang perunding sering dianggap
merupakan kekuatan yang dapat mempengaruhi orang lain, pihak
yang tidak mempunyai keahlian akan merasa kekuatan tawar-
menawarnya tidak sebaik orang yang ahli.
(3). Informasi
Seorang perunding mungkin mempunyai kekuatan karena
informasi yang dimilikinya sangat lengkap, mutakhir dan dapat
dipercaya.
(4). Asosiasi
Kekuatan yang mungkin dimiliki seorang perunding adalah
kedekatannya dengan pihak penguasa, pejabat atau organisasi
tertentu yang cukup disegani dalam masyarakat.
(5). Kewenangan menjatuhkan sanksi
Dalam suatu perundingan, seseorang yang mempunyai wewenang
menjatuhkan sanksi akan merasa bahwa kekuatan tawar-
menawarnya lebih tinggi daripada orang lain.
(6). Kemampuan menciptakan gangguan
Pada orang-orang tertentu kekuatan yang dimilikinya ada pada
kemampuannya untuk menciptakan gangguan. Gangguan tersebut
dapat berupa gangguan yang sifatnya halus dan sederhana, namun
dapat pula gangguan yang bersifat keras .
(7). Kekuatan moral
Kekuatan moral ada pada orang yang jujur, mempunyai sifat tidak
tercela, tidak pernah melanggar peraturan, dan hal-hal yang
menurut penilaian masyarakat patut dijadikan teladan.
b, Kekuatan yang perlu dikembangkan pada saat perundingan:
(1). Kemampuan mengembangkan BA TN A
(2). Kemampuan mengembangkan PIOC
(3). Kemampuan menyampaikan pesan secara efektif
(4). Kemampuan mendengar pihak lain

Nomor 3 Tahun XXXIV


202 Hukum dan Pembangunan

5. Kemauan menyelesaikan masalah

Ada berbagai faktor yang dapat mempengaruhi kemauan para


pihak untuk menyelesaikan masalah, antara lain, (a) para pihak ragu akan
hasil BATNA, (b) ada situasi yang mendesak, (c) tidak ada kendala
psikhologis.

III. Mediasi

Istilah mediasi berasal dari bahasa Latin "mediare" yang berarti


" ditengah-tengah , " sedangkan definisi mediasi dapat dibaca dalam
berbagai literatur, di antaranya definisi dari Moore yang berbunyi: "the
intervention in a negotiation or a conflict of an acceptable third party who
has limited or no authotitative decision making power, who assists the
involved parties in voluntary reaching a mutually accectable settlement of
issues in dispute.,,9
Definisi lain mediasi menu rut Nolan-Haley adalah: " a short
term, structured, task oriented, participatory intervention process.
Diputing parties work with a neutral third party, the mediator, to reach a
mutually acceptable agreement. "10
Definisi mediasi menurut Kovach: " facilitated negotiation. It is
process by which a neutral third party, the mediator, assists disputing
parties in reching a mutually satisfactory resolution." II
Dari berbagai definisi mediasi yang telah diuraikan sebelumnya,
dapat disimpulkan bahwa di dalam pengertian tersebut terdapat unsur-
unsur yang merupakan ciri mediasi, yaitu:
I . mediasi adalah negosiasi lanjutan;
2. dibantu oleh pihak ketiga yang netral dan tidak berpihak;
3. pihak ketiga tidak mempunyai wewenang untuk memutus;

9 Christopher W. Moore, The Mediation Process: Practical Strategies for Resolving


Conflict, 3rd ed., (San Fransisco, Jossey-Bass Publisher, 2003), p. 15.
10 Nolan-Haley, op. cit., p. 56.
11 Kimberlee K. Kovach, Mediation Principles and Practice (St. Paul , Minnesota: Wesl
Publishing Co., 1994), p. 16.

lu/i - September 2004


Mediasi sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di luar Pengadilan 203

4. keberadaan pihak ketiga diterima oleh para pihak;


5. bertujuan untuk menyelesaikan sengketa berdasarkan kesepakatan yang
memuaskan.

Sebagai pihak ketiga yang membantu proses penyelesaian


sengketa, seorang mediator harus mampu menjalankan perannya agar
tujuan mediasi dapat tercapai. Di samping itu seorang mediator
mempunyai berbagai fungsi mulai dari menyelenggarakan pertemuan,
memimpin perundingan, mencatat, membuat agenda, mengajukan usul
penyelesaian, memelihara ketertiban perundingan, sampai membantu para
pihak menyusun kesepakatan.

Menurut Moore mediator mempunyai fungsi:


1. Membuka sa luran komunikasi yang memprakarsai atau memfasilitasi
komunikasi yang baik di antara para pihak.
2. Membantu para pihak memahami hak pihak yang lain untuk dilibatkan
dalam perundingan.
3. Fasilitator yang memimpin proses perundingan.
4. Mendidik perunding yang masih baru, tidak mempunyai ketrampilan,
atau tidak siap menghadapi proses tawar-menawar.
5. Menawarkan bantuan untuk menghubungkan para pihak dengan ahli
atau nara sumber dari luar untuk membantu para pihak memperoleh
pilihan-pilihan yang tepa!.
6. Membantu para pihak melihat permasalaban dari berbagai sudut
pandang agar para mereka dapat menemukan issue dan kepentingan
mereka sehingga pilihan menuju kesepakatan bersama yang
memuaskan dapat dicapai.
7. Membantu para pihak agar dapat membangun penyelesaian yang layak
dan dapat diimplementasikan dan mempertanyakan tujuan pihak
tertentu yang bersifat ekstrem dan tidak realistik.
8. Menjadi kambing hitam dan menjadi pihak yang dipersalahkan. Hal ini
dapat terjadi bila ada pihak yang merasa apa yang diinginkannya tidak
tercapai sebagaimana mestinya.

Nomor 3 Tahun XXXIV


204 Hukum dan Pembangunan

9. Mengambil inisiatif untuk memimpin perundingan agar perundingan


berjalan secara prosed ural atau substantif. 12

Untuk dapat melaksanakan perannya, menu rut Boulle, seorang


mediator harus melaksanakan peran berikut ini.
I. Membangun kepercayaan dan rasa percaya diri para pihak.
2. Mengembangkan kerangka kerja untuk tercapainya pengambilan
keputusan yang kooperatif.
3. Melakukan analisis konflik dan merancang intervensi yang layak.'
4. Mempromosikan komunikasi yang konstruktif.
5. Memfasilitasi perundingan dan penyelesaian masalah.
6. Mendidik para pihak.
7. Memberikan kesempatan kepada para pihak untuk menunjukkan
kemampuannya .
8. Memberikan dorongan agar sengketa dapat diselesaikan.
9. Mempromosikan realitas.
10. Memberikan saran dan evaluasi.
11. Mengakhiri mediasi. 13

Keberhasilan mediasi ditentukan oleh kecakapan seorang mediator,


oleh karena itu mediator harus menguasai berbagai keterampilan dan
teknik. Di awal pertemuan mediator hendaknya mampu membuka
pertemuan dengan cara yang membuat para pihak tidak merasa canggung.
Selanjutnya dalam proses perundingan mediator harus menguasai
keterampilan memfasilitasi para pihak agar dapat menyampaikan
kepentingannya secara jelas dan tidak ragu-ragu sehingga mereka dapat
bekerjasama dalam menyelesaikan sengketa. Keterampilan lain yang
diperlukan bagi seorang mediator adalah kemampuan mendengar secara
efektif dan kemampuan berkomunikasi.
Pada dasarnya seorang mediator harus bersifat netral , artinya,
seorang mediator tidak boleh memihak, karena hasil akhir dari mediasi
adalah kesepakatan bersama para pihak. Namun dalam berbagai sengketa

12 Moore, Op.Cil., p. 18.


J3 Laurence Boulle, Mediation: Principles, Process, Practice (Sydney: Butterworth, 1996) ,
p.124.

Juli - September 2004


Mediasi sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di luar Pengadilan 205

terutama yang berkaitan dengan masalah keluarga, seringkali mediator


tidak sepenuhnya netral karena adanya kepentingan para pihak ataupun
kepentingan terhadap hasil akhir perundingan. Menurut Moore ada tiga
tipe mediator, yaitu:
I. Social network mediator;
2. Authoritative mediator;
3. Independent mediator. 14

Ad. 1. Social network mediator (mediator jaringan sosial)


Mediator tipe ini biasanya dipilih oleh para pihak karena mereka
mengenal baik dan percaya bahwa orang yang mereka pilih sebagai
mediator mampu membantu penyelesaian sengketa. Mediator jaringan
sosial dikenal dalam sengketa keiuarga , rekan usaha , atau antar ternan.
Para pihak biasanya memilih tokoh agama, tokoh masyarakat, kepala adat,
atau orang-orang yang dekat dengan mereka.

Ad. 2. Authoritative mediator (mediator otoritatit)


Dalam membantu penyelesaian suatu sengketa, seorang mediator
otoritatif biasanya adalah orang yang mempunyai kapasitas atau potensi
untuk mempengaruhi hasil akhir perundingan. Mediator tipe ini dalam
menjaiankan fungsinya tetap menggunakan cara-cara yang dipersyaratkan
bagi seorang mediator, akan tetapi dalam situasi tertentu mungkin akan
memberikan batasan-batasan agar penyelesaian sengketa dapat dilakukan
secara kooperatif. Biasanya mediator berasai dari pihak yang memiliki
otorita misalnya dari instansi pemerintah, pemerintah daerah, dan
sebagainya.

Ad. 3. Independent mediator (mediator mandiri)


Mediator mandiri adalah orang yang berprofesi sebagai penengah
yang membantu penyeiesaian sengketa, sebagai pihak ketiga yang netral.
Mediator ini berasal dari lembaga penyedia jasa atau kantor yang
memberikan jasa layanan penyeiesaian sengketa di luar pengadilan. Tipe
mediator semacam inilah yang berkembang di berbagai negara dan saat ini
sedang dikembangkan di Indonesia.

14 Moore, op. cit., p. 43-55.

Nomor 3 Tahun XXXIV


206 Hukum dan Pembangunan

Dalam pelaksanaannya, proses mediasi dilakukan melalui beberapa


tahapan. Mengenai tahapan ini ada berbagai variasi yang dirumuskan oleh
para ahli, namun di sini akan diuraikan tahapan yang dirumuskan oleh
Moore yang pada dasarnya mencakup tahapan yang dirumuskan oleh para
ahli yang lain.

Menurut Moore ada dua belas tahapan mediasi, yaitu:


I. Tahap menjalin hubungan dengan pihak yang bersengketa;
2. Tahap memilih strategi untuk membimbing proses mediasi;
3. Tahap mengumpulkan dan menganalisa informasi latar belakang
sengketa;
4. Tahap menyusun rencana mediasi;
5. Tahap membangun kepercayaan dan kerja sarna di antara para pihak;
6. Tahap memulai sidang mediasi;
7. Tahap merumuskan masalah dan menyusun agenda;
8. Tahap mengungkapkan kepentingan tersembunyi para pihak;
9. Tahap membangkitkan pilihan penyelesaian sengketa;
10. Tahap menganalisa pilihan penyelesaian sengketa;
11. Tahap tawar menawar;
12. Tahap penyelesaian formal."

Dalam membantu menyelesaikan sengketa, seorang mediator harus


dapat melakukan analisis konflik. Hal ini penting agar mediator dapat
memetakan penyebab konflik sehingga ia dapat menawarkan alternatif
penyelesaian yang dapat diterima oleh para pihak.
Konflik terjadi apabila dua orang atau lebih yang berinteraksi
mempunyai persepsi atau pendapat berbeda terhadap suatu hal, peristiwa
atim keadaan. Konflik tidak selalu menimbulkan akibat yang negatif jika
dikelola dengan baik.
Konflik dapat dibedakan antara konflik yang tidak terlihat dengan
jelas (latent), dan konflik yang dapat terlihat dengan jelas (manifest).
Seorang mediator harus dapat mengidentifikasi penyebab timbulnya suaru
konflik melalui pengamatan terhadap sikap, persepsi, pola interaksi dan
komunikasi yang ditunjukkan para pihak pada waktu proses mediasi.

" Ibid., hal. 66-67.

Juli - September 2004


Mediasi sebagai Alternalif Penyelesaian Sengkela di luar Pengadilan 207

IV. Perkembangan Mediasi di Indonesia

Seperti telah diuraikan pada bag ian awal tulisan ini, salah satu
alasan diterimanya mediasi sebagai salah satu alternatif penyelesaian
sengketa adalah karena pada dasarnya mediasi memungkinkan para pihak
yang bersengketa untuk duduk bersama membicarakan permasalahan
mereka dan berusaha menyelesaikan permasalahan dengan cara
musyawarah, cara ini telah dikenal dalam berbagai budaya. Dalam budaya
Indonesia, musyawarah merupakan upaya penyelesaian sengketa yang
telah dikenal sejak lama dan hidup dalam masyarakat tradisional.
Penyelesaian sengketa melalui musyawarah bukan hal yang baru karena
telah dikenal dan hidup dalam berbagai masyarakat adat. Mediator yang
dianggap mampu menyelesaikan sengketa biasanya adalah para tetua adat
atau tokoh masyarakat.
Dalam perkembangannya, mediasi merupakan cara yang dipilih
untuk menyelesaikan sengketa tidak saja pada masyarakat tradisional,
tetapi juga merupakan salah satu alternatif yang ditemukan dalam
peraturan perundang-undangan. Sebagai contoh, dalam Undang-undang
No . 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, mediasi
merupakan salah satu cara yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan
sengketa lingkungan di luar pengadilan. Demikian pula dalam sengketa
konsumen, Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen menyebutkan bahwa mediasi dapat dipilih sebagi salah satu
cara penyelesaian sengketa. Undang-undang lain yang memberikan
peluang digunakannya mediasi adalah Undang-undang No . 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan, dan Undang-undang No . 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Selain itu , dalam Undang-
undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa juga terdapat pasal yang mengatur tentang mediasi.
Dengan semakin banyaknya perundang-undangan yang mengatur
tentang penyelesaian sengketa di luar pengadilan , dan salah satu caranya
adalah melalui mediasi, diharapkan masyarakat dapat memanfaatkan cara
ini sehingga proses penyelesaian sengketa dapat dilaksanakan lebih cepat
dan hasilnya memuaskan para pihak.

Nomor 3 Tahun XXXIV


208 Hukum dan Pembangunan

Daftar Pustaka

Boulle, Laurence. Mediation: Principles, Process, Practice. Sydney:


Butterworths, 1996.
Cohen, Raymond. Negotiating Across Culture Communication Obstacles
in International Diplomacy. Washington, D.C.: United States
Institute of Peace Press, 1991.
Fisher, Roger and Willian Ury. Getting to Yes: Negotiating an Agreement
Without Giving In. London: Bussiness Book, 1991.
Fisher, Ronald. Interactive Conflict Resolution. Syracuse, New York:
Syracuse University Press, 1997.
Fuller, George. The Negotiator's Handbook. New Jersey: Prentice Hall,
1991.
Goodpaster, Gary. A Guide to Negotiation and Mediation. New York:
Transnasional Publishers, Inc., 1997.
Indonesia. Undang -undang tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. UU
No. 23 Tahun 1997.
_ _ . Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen . UU No. 8
Tahun 1999.
_ _ . Undang-undang tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa. UU No. 30 Tahunl999.
_ _ . Undang-undang tentang Kehutanan. UU No. 41 Tahun 1999 .
_ _ . Undang-undang tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial. UU No.2 Tahun 2004.
Mayer, Bernard. The Dynamics of Conflict Resolution a Practioner's
Guide. San Francisco: Jossey-Bass , 2000.
Moore, Christopher W. The Mediation Process: Practical Strategies for
Resolving Conflict. 3rd ed. San Fransisco : Jossey-Bass Publisher,
2003 .
Nolan-Haley, Jacqueline M. Alternative Dispute Resolution. SI. Paul,
Minnesota: West Publishing Co., 1992.

Juli - September 2004

I
Mediasi sebagai AllerMlif Penyelesaian Sengkela di luar Pengadilan 209

Raiffa, Howard. The Art and Science of Negotiation . Cambridge,


Massachusetts: Belkap Press of Harvard University Press, 1982 .
Riskin, Leonard L. and Westbrook E. Jamus, Dispute Resolution and
Lawyers. St. Paul, Minnesota: West Publishing Co., 1997.
Teply, Larry L. Legal Negotiation in a Nutshell. St. Paul, Minnesota:
West Publishing Co., 1992.
William , Gerald R. Legal Negotiation and Setlement. St. Paul,
Minnesota: West Publishing Co., 1983.

Namar 3 Tahun XXXIV

Anda mungkin juga menyukai