Anda di halaman 1dari 11

Penggunaan dan evaluasi pemberian antibiotik

MMDEAH Hapsari , Anggraini Alam , Irene Ratridewi

Tujuan :

1. Memahami pemilihan dan dosis antibiotik untuk infeksi


2. Memahami indikator kesembuhan pada anak dengan infeksi
3. Mengetahui kapan antibiotik diberhentikan atau diganti dari intravena ke oral
4. Mengetahui pengukuran penggunaan antibiotik baik kuantitas maupun kualitas

Pendahuluan
Pemberian antibiotik telah terbukti meningkatkan kualitas hidup manusia dan menurunkan
angka morbiditas dan mortalitas akibat penyakit infeksi. Cara pemberiannya tidak terlalu sulit dan
karena sebagian besar antibiotik memiliki avaibilitas yang baik, memungkinkan petugas kesehatan
memberikan terapi empiris dengan spektrum luas terhadap berbagai penyakit infeksi.
Luasnya pemakaian antibiotik kemudian memberikan dampak peningkatan resistensi
sehingga pemilihan pemberian antibiotik menjadi semakin sempit dan mahal. Untuk menghindari hal
makin meluasnya resistensi, dalam penggunaan antibiotik diperlukan ketepatan diagnosis, tentunya
dengan mempertimbangkan kondisi klinis serta usia pasien, serta mengetahui pola kuman dan
suseptibilitas antibiotik di fasilitas kesehatan tersebut, sebagai dasar pemberian terapi empirik.
Selanjutnya dibutuhkan modifikasi penggunaan antibiotik dengan memberikan spektrum yang lebih
sempit berdasarkan hasil kultur serta respons klinis terhadap pengobatan yang telah diberikan.
Untuk mendapatkan hasil optimal dalam mengatasi penyakit infeksi, pemberian antibiotik
diharapkan mampu memberikan perbaikan klinis pasien dengan mengetahui secara tepat target terapi,
yaitu terhadap patogen penyebab penyakit dengan antibiotik yang tepat, serta dosis dan durasi
pemberian yang sesuai. Tentunya hal ini diharapkan mampu mempercepat kesembuhan,
meminimalkan efek samping, serta mengurangi angka resistensi akibat pemberian antibiotik.

Pemilihan Antibiotik

Berbagai antibiotik telah tersedia di tiap fasilitas kesehatan di Indonesia, bahkan beberapa
golongan yang poten untuk mengatasi infeksi berat seperti seftazidim, meropenem, vankomisin,
secara luas digunakan sebagai terapi inisial/empiris terhadap pasien dengan infeksi ringan-sedang
yang dirawat di ruang rawat inap biasa. Diperberat dengan rendahnya kesadaran petugas kesehatan
atas pentingnya pencegahan dan pengendalian infeksi di fasilitas kesehatan tersebut, maka dapat
dibayangkan sulitnya memilih regimen antibiotik bagi pasien dalam kondisi infeksi berat, mengingat
kemungkinan telah terjadi resistensi kuman.
Beberapa langkah di bawah ini (Tabel 1) diharapkan mampu memberikan wawasan dalam
memutuskan penggunaan dan pemilihan regimen antibiotik 1

1
Tabel 1 Tahapan untuk Memberikan Antibiotik
Langkah Contoh
1 Tegakkan diagnosis Artritis septik
2 Pertimbangkan usia pasien Anak usia 2 tahun
Bagaimana kondisi pasien sebelum sakit Kondisi sebelumnya, sehat
(apakah terdapat penyakit dasar/kronis
sebelumnya)
3 Perlu mengetahui organisme yang sering Staphylococcus aureus
menyebabkan penyakit tersebut
4 Bagaimana suseptibilitas mikroorganisme Masih sensitif terhadap metisilin
terhadap antibiotik di fasilitas kesehatan ybs
5 Lakukan pengambilan kultur Dilakukan pengambilan kultur darah dan
cairan sendi
6 Dilakukan pemberian terapi empiris Kloksasilin i.v.
berdasarkan:
a. Langkah 1–4
b. Literatur dan keputusan klinis
7 Lakukan modifikasi terapi apabila Hasil kultur: S. aureus sensitif terhadap
diperlukan, berdasarkan hasil kultur dan metisilin (MSSSA)
respons klinis
8 Monitoring kondisi pasien Melalui anamnesis, pemeriksaan fisis, dan
apabila dibutuhkan dilakukan pula
pemeriksaan penunjang
9 Terapi dihentikan Apabila klinis membaik atau sembuh
Pemberian antibiotik selama 3–4 minggu
Sumber: Ogle, 2011 1

Pemilihan regimen antibiotik ditentukan oleh berbagai pertimbangan, termasuk di dalamnya


kemungkinan jenis bakteri yang menyebabkan infeksi berdasarkan beratnya tanda dan gejala klinis,
hasil pemeriksaan laboratorium, lokasi anatomi, obat-obatan yang diberikan sebelumnya, serta perlu
mengetahui apakah infeksi yang terjadi berasal dari komunitas atau rumah sakit. Tentunya faktor
harga antibiotik serta efek samping yang mungkin ditimbulkan, perlu menjadi pertimbangan pula 2
Semakin tinggi kemampuan seorang dokter melakukan “educated guess” atas kemungkinan
etiologi infeksi pasien, maka akan semakin tepat pemilihan antibiotik yang akan diberikan. Antibiotik
memiliki berbagai spektrum berdasarkan kemampuan aktivitasnya, mulai dari yang sempit sampai
sangat luas. Sebagaimana pemberian terapi empiris, maka antibiotik inisial akan dengan spektrum
luas akan dipersempit setelah diperoleh hasil kultur. Seluas apa pun spektrum antibiotik awal, tetap
diharapkan memiliki spektrum yang cukup sempit dan apabila memungkinkan berupa suatu
monoterapi. Tabel 2 memperlihatkan klasifikasi antibiotik berdasarkan spektrum aktivitasnya.

2
Tabel 2 Klasifikasi Antibiotik berdasarkan Spektrum
Sempit Sedang Luas Sangat Luas
Penisilin Ampisilin Ampisilin-sulbaktam Piperasilin-
tazobaktam
Kloksasilin Piperasilin Amoksisilin- Sefepim
klavulanat
Sefazolin Sefuroksim Seftriakson Meropenem
Aminoglikosid Siprofloksasin Sefotaksim Moksifloksasin
Vankomisin Azitromisin Seftazidim Tigesiklin
Eritromisin Klaritromisin Sefiksim
Klindamisin Trimetoprim- Doksisiklin
sulfametoksazol
Linezolid Sefaklor Kloramfenikol
Metronidazol Levofloksasin
Sefaleksin/Sefradin
Sumber: Southwick FS, 2008 2

Dosis Antibiotik

Berbagai karakteristik dibutuhkan dalam memberikan antibiotik, termasuk kemampuan


absorpsinya, distribusi obat dalam tubuh, metabolisme, serta ekskresinya, atau dengan kata lain
farmakokinetik dan farmakodinamik memegang peranan penting dalam menentukan dosis antibiotik.
Pada infeksi berat, dosis antibiotik dapat diberikan lebih tinggi bahkan mungkin memerlukan
frekuensi pemberian lebih sering. Penentuan dosis yang akan diberikan sangat tergantung oleh kondisi
masing-masing pasien (“tailored”). Contoh dosis antibiotik dapat dilihat pada Tabel 3 di bawah ini.

3
Tabel 3 Dosis Antibiotik berdasarkan Beratnya Infeksi
Antibiotik Rute Infeksi Ringan sampai Infeksi Berat
Pemberian Sedang (per kgBB)
(per kgBB)
Prokain penisilin i.m. 600.000–1.000.000U untuk Tidak sesuai
GAS
Kloksasilin p.o. 50–100mg terbagi atas 4 dosis Tidak sesuai
Amoksisilin p.o. 25–90 mg dalam 2–3 dosis Tidak sesuaI
Amoksisilin p.o. 45 – 90 mg dalam 2 – 3 dosis Tidak sesuai
klavulanat
Ampisilin i.v., i.m. 100 – 200 mg terbagi atas 4 200 – 400 mg dalam 4 – 6
dosis dosis
Ampisilin i.v. 100 – 200 mg ampisilin atas 4 200 – 400 mg ampisilin
sulbaktam dosis dalam 4 – 6 dosis
Piperasilin- i.v. Tidak sesuai 240 – 300 mg piperasilin
tazobaktam dalam 3 – 4 dosis
Sefadroksil p.o. 30 mg dalam 2 dosis Tidak sesuai
Sefazolin i.v., i.m. 50 mg dalam 3 dosis 50 100 mg dalam 3 – 4 dosis
Sefuroksim i.v., i.m. Tidak sesuai 100 – 150 mg dalam 3 – 4
dosis
Sefiksim p.o. 8 mg dalam 1 – 2 dosis Tidak sesuai
Sefotaksim i.v., i.m. Tidak sesuai 100 – 180 mg dalam 4 – 6
dosis
Seftazidim i.v., i.m. Tidak sesuai 100 – 150 mg dalam 3 dosis
Seftriakson i.v., i.m. Tidak sesuai 100 – 150 mg dalam 2 –3
dosis
Sefepim i.v., i.m. Tidak sesuai 100 – 150 mg dalam 3 dosis
Meropenem i.v. Tidak sesuai 60 – 120 mg dalam 3 dosis
Azitromisin p.o. 10 mg hari ke-1, selanjutnya 5 Tidak sesuai
mg
Klaritromisin p.o. 15 mg dalam 2 dosis Tidak sesuai
Eritromisin p.o. 30 – 50 mg dalam 4 dosis Tidak sesuai
Klindamisin i.v., i.m. Tidak sesuai 20 – 40 mg dalam 3 – 4 dosis
Amikasin i.v., i.m. Tidak sesuai 15 – 22,5 mg dalam 3 dosis
Gentamisin i.v., i.m. Tidak sesuai 5 – 7,5 mg dalam 3 dosis
Streptomisin i.m. Tidak sesuai 20 – 40 mg dalam 1 – 2 dosis
Doksisiklin p.o. 2,2 – 4,4 mg dalam 1 – 2 dosis Tidak sesuai
Kloramfenikol i.v., p.o. Tidak sesuai 50 – 100 mg dalam 4 dosis
Kotrimoksazol p.o. 8 – 12 mg TMX/40 – 60 mg Tidak sesuai
SMX dalam 2 dosis
Siprofloksasin p.o. 10 – 20 mg dalam 2 dosis Tidak sesuai
i.v. Tidak sesuai 20 – 30 mg dalam 2 dosis
Metronidazol i.v. Tidak sesuai 30 mg dalam 4 dosis
p.o. Tidak sesuai 20 – 30 mg dalam 2 – 3 dosis
Linezolid i.v. Tidak sesuai 20 – 30 mg dalam 2 – 3 dosis
p.o. Tidak sesuai 22,5 mg dalam 3 dosis
Sumber: Michelow IC, 2009 3

Evaluasi pemberian antibiotik


Pemberian antibiotik secara bijaksana harus selalu diterapkan untuk semua pasien dengan
indikasi adanya infeksi bakteri. Pemakaian antibiotika secara bijak dan terkendali merupakan hal yang
sangat penting, terutama dalam mencegah resistensi bakteri terhadap antibiotika. Pengendalian

4
pemakaian antibiotika dikerjakan melalui system evaluasi pemakaian antibiotika secara kualitatif dan
dipakai secara luas yaitu metode Gyssen dan kuantitatif.4,5.
Salah satu masalah dalam pemakaian antibiotika adalah indikasi yang tidak jelas dan
keterbatasan sarana diagnostik yang berakibat pemakaian antibiotika jangka panjang. Hal tersebut
memiliki implikasi: pemakaian antibiotika berlebihan (overuse), meningkatkan risiko resistensi
bakteri, dan peningkatan biaya pengobatan (treatment-related cost).6

Indikator Kesembuhan

Kesembuhan penyakit didefinisikan sebagai suatu kondisi dimana individu telah


menunjukkan peningkatan kesehatan dan telah memenuhi salah satu indikator kesembuhan penyakit.
Indikator kesembuhan yang baik merupakan terdapatnya perubahan keadaan fisik pasien yang
membaik secara teratur yang dapat dilihat dari pemeriksaan fisik didapatkan perbaikan klinis dan
pemeriksaan penunjang pasien tersebut. Perbaikan klinis akan berbeda satu penyakit dengan penyakit
lainnya. Namun secara umum untuk pasien infeksi yang mengalami perbaikan klinis adalah sudah
tidak ditemukan demam, tidak mengalami gejala sistemik lainnya misalnya mual-muntah, nyeri
kepala . Secara pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran baik, tanda vital yaitu detak jantung,
frekuensi pernafasan dan tekanan darah normal. Sedangkan pemeriksaan penunjang akan didapatkan
lekosit yang normal ( untuk penyakit infeksi yang ditunjang dengan lekositosis ). Jika dilakukan
pemeriksaan penunjang ( Gold Standart ) yaitu biakan darah, maka sudah tidak didapatkan
pertumbuhan kuman ( steril) . Jika melihat berdasarkan setiap penyakit, maka akan didapatkan hal
yang lebih spesifik, misalnya Demam Tifoid, maka parameter yang dapat dilihat sebagai perbaikan
klinis adalah saat demam reda ( time of fever defervescence ) menjadi acuan utama, selain profil klinik
yang lain yang mengalami perbaikan, yaitu berkurangnya gejala mual-muntah, meteorismus, nyeri
perut, nyeri kepala Tentu saja akan lebih baik jika didapatkan bertambahnya nafsu makan. Setelah
melihat secara klinik, selanjutnya diperhatikan untuk laboratorium penunjang , dalam hal ini
didapatkannya biakan Salmonella typhi yang negatif setelah pada awal penyakit sudah ditemukan
hasil biakan yang positif Salmonella typhi, namun hal tersebut hanya dilakukan pada penelitian untuk
membuktikan kesembuhan, sedangkan untuk tatalaksana sehari-hari , kita sebagai dokter tidak perlu
melakukan pemeriksaan biakan ulang darah untuk Salmonella karena akan membebani pasien.

Penerapan Evaluasi Pemberian Antibiotik

Melakukan pemantauan atau memonitor atau bahkan menghentikan pengobatan adalah sangat
penting bagi seorang dokter dalam tatalaksana terhadap pasien. Tujuan utama pemantauan adalah
untuk menilai dan mengevaluasi hasil pengobatan apakah tujuan pengobatan telah tercapai , apakah
ada adverse effect. Bila pasien sudah sembuh maka pengobatan dapat dihentikan atau dilanjutkan
sesuai dengan rencana terapi sesuai panduan. Bila penyakit ternyata tidak sembuh atau timbul
perburukan maka perlu dikaji ulang langkah-langkah terapi awal apakah diagnosis sudah tepat atau
timbul masalah baru, apakah tujuan pengobatan dan pemilihan terapi awal sudah tepat, apakah
penulisan resep sudah benar dan yang tidak kalah penting apakah informasi yang diberikan sudah
tepat dan apakah kepatuhan pasein juga sudah sesuai dengan instruksi yang diberikan. 6
Pemberhentian pemberian antibiotik yang dilakukan pada pasien haruslah berhati-hati, terutama pada
pasien dengan penyakit yang dicurigai terinfeksi bakteri namun belum mengarah kesuatu penyakit
tertentu, karena hanya didapatkan keadaan demam tinggi dan disertai tanda-tanda misalnya “ toxic
appearance “ pada bayi dibawah 2 bulan ( kekhawatiran mengalami Serious Bacterial Infection =
SBI), yang mana diawal sakit diperbolehkan diberikan antibiotik sampai terbukti tidak ada infeksi
bakteri.
Dryden M dkk mengulas tentang perhatian pada penggunaan antibiotik dalam “ Using
antibiotics responsibly: right drug, right time, right dose, right duration “ , yaitu 7 :
Perhatian ketat pada kasus –kasus penggunaan antibiotik :
1. Setelah 48 jam harus dilihat kembali apakah pasien masih memerlukan pemberian antibiotik
dengan melihat berdasarkan keadaan klinis pasien dan hasil biakan dari mikrobiologi.

5
2. Berhentikan antibiotik jika secara nyata tidak ada tanda infeksi bakteri
3. Jika antibiotik akan dilanjutkan atau diganti ke jenis lain ataupun dirubah ke spektrum yang
lebih sempit harus berdasarkan sensitivitas test antimikrobial secara lokal maupun nasional
4. Jika sudah memenuhi persyaratan , segera dilakukan penggantian dari intravenous line kearah
antibiotik oral. ( Tabel 4)

Tabel 4. Considerations for the early switch to oral therapy COMS ( review at 24-48 hours ) 8

C Clinical improvement observed


O Oral route is not compromised ( vomiting, malabsorptive disorder, swallowing problems,
unconscious, severe diarrhoea )
M Markers showing a trend towards normal : patient should be last 24 hours ( Temp > 36 C and
< 38 C ) and NOT have more following , heart rate and respiration rate more than normal,
unstable BP, WBC should show a trend toward normal.
S Specific indication / deep-seated infection ( may required prolonged antibiotic )

Berdasarkan beberapa referensi , indikasi diberhentikanya pemberian antibiotik adalah :


1. Tidak didapatkan tanda atau bukti infeksi secara klinis
2. Hasil biakan dari spesimen yang diambil ( darah, urine ) tidak ada pertumbuhan kuman dan
secara klinis pasien tidak mengalami tanda infeksi seperti demam dan lain-lainnya dalam 24-
48 jam, maka antibiotik diberhentikan.9

Sedangkan untuk memberhentikan antibiotik pada penyakit-penyakit yang sudah jelas ada fokus
infeksi, akan lebih mudah. Karena kita dapat mengikuti guideline atau konsensus dari referensi yang
kita anut.
Bagaimana kita mengevaluasi pemberian antibiotik , kapan harus dilanjutkan atau diteruskan atau
malahan diputuskan untuk diganti atau sudah dapat diberhentikan haruslah berdasarkan beberapa hal:

Antibiotik dihentikan berdasarkan :


1. Evidence dari penyakit :
a. Demam Tifoid. Penentuan respon terapi merupakan hal penting dalam menentukan
langkah terapi selanjutnya. Sebaiknya jangan terlalu cepat mengganti antibiotik
karena respon terapi ini juga tergantung dari jenis antibiotik yang diberikan.Perbaikan
klinis terjadi setelah pemberian kloramfenikol selama 3-5 hari., atau ampisilin selama
5-7 hari, atau sefalosporin selama 3-6 hari. Apabila pada hari ke 4-5 setelah
pengobatan demam tidak reda atau kondisi klinis tidak membaik setelah waktu yang
seharusnya , maka harus segera kembali dievaluasi adakah resistensi S.typhi terhadap
antibiotik ?,( lebih baik ditunjang dengan hasil biakan ) jika ya perlu dipertimbangkan
untuk mengganti antibiotik dengan tetap mempertimbangkan kemungkinan
tatalaksana pendukung yang tidak adekuat , seperti dukungan nutrisi. Ataukah ada
komplikasi, sumber infeksi lain ? ( dual-infection / komorbiditas ), , atau
kemungkinan salah menegakkan diagnosis. 10,11. Sehingga harus dilakukan
pemeriksaan penunjang tambahan supaya dapat menemukan diagnosis penyakit
penyerta dan segera ditangani.
2. Host atau pasien :
a. Gejala klinis atau keluhan yang sudah menghilang,misalnya tidak didapatkan
demam selama 2 hari . ( Time of fever deverfescen ), gejala sistemik yang sudah
menghilang, misalnya pusing, nyeri perut, mual-muntah.
b. Secara obyektif untuk kasus infeksi kulit seperti selulitis, maka akan didapatkan tanda
inflamasi yang berkurang dan akhirnya menghilang.

6
Pengukuran penggunaan antibiotik

Pengukuran penggunaan antibiotika adalah dasar ketiga, setelah peta kuman dan daya kerja
obat pada kuman. Ketiga faktor ini merupakan dasar yang akan digunakan untuk menetapkan
kebijakan penggunaan antibiotika di rumah sakit. Tanpa ketiga dasar tersebut pengendalian
penggunaan antibiotika oleh dokter akan sangat sulit dilakukan. Bukti adanya penggunaan yang
berlebih baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif merupakan dasar daya tawar tim pengendali
pada para pengguna antibiotika di rumah sakitnya 13,14

Evaluasi penggunaan antibiotik ada berbagai cara yaitu dengan pengukuran kuantitas dan
kualitas.

Pengukuran penggunaan antibiotik secara kualitas


Metode pengukuran kualitatif adalah dengan menggunakan metode Gyssen. Metode ini
menggunakan cara algoritme secara bertahap untuk menilai masing-masing kualitas. Pengukuran
antibiotik secara kualitas dapat dinilai dengan melihat rekam medis dan akan dievaluasi bagaimana
gejala klinis dan hasil laboratorium penderita , apakah pemberian antibiotikanya sudah sesuai dengan
diagnosis.
Berdasarkan urutan kualitas dari yang terbaik kearah yang terjelek adalah : 13,14,15,17

Kategori 0 : penggunaan antibiotika tepat/ rasional


(tidak ada kesalahan kategori I – IV )
Kategori I : tidak tepat dalam waktu/ lama penggunaan antibiotik profilaksi
(perlu koreksi waktu / lama penggunaan antibiotik profilaksi )
Kategori II A : Tidak rasional ( dosis tidak tepat)
( perlu koreksi dosis )
Kategori II B : Tidak rasional ( interval tidak tepat)
( perlu koreksi interval )
Kategori II C : Tidak rasional ( rute salah)
( perlu koreksi rute )
Kategori IIIA : Pemberian antibiotika terlalu lama
Kategori III B : Pemberian antibiotika terlalu singkat
Kategori IV A : ada antibiotika lain yang lebih efektif ( kurang efektif )
Kategori IV B : ada antibiotika lain yang kurang toksik ( efek toksik )
Kategori IV C : ada antibiotika lain yang lebih murah ( harga mahal )
Kategori IV D : ada antibiotika lain spektrum lebih sempit (penggunaan spektrum luas)
Kategori V : tidak ada indikasi penggunaan antibiotika
Kategori VI : data tidak lengkap/ tidak dapat dievaluasi.

7
Mulai

Tidak
Data lengkap ?
VI Stop

Ya
Tidak
Indikasi diberikan Stop
antibiotik ?
V

Ya
Alternatif IV A
lebih efektif

Tidak
Ya
Alternatifif
kurang toksik
IV B

Tidak
Ya
Alternatif
lebih murah
IV C

Tidak

Alternatif
Ya
lebih sempit IV D
spektrum

Tidak Tidak
Durasi terlalu lama Durasi terlalu pendek Dosis tepat II A

Ya Ya Ya
Tidak
III A III B Interval II B
tepat

Ya
Tidak
Route
tepat II C
Ya
Gambar 1. Algoritme Kualitas antibiotik Tidak
Waktu
profilaksi I
Gyssen IC, J.Antimicrob. Chemother 1992 13,
. 17 Ya
Usman, Pelatihan PPRA. 2011
Ya
Tidak kategori 0
I – IV

8
Didalam penelitian oleh Hapsari dkk, penilaian kualitas penggunaan antibiotik dengan skala
interval menurut Kunin dkk dikutip Gyssen tahun 1992. Nilai rerata diberi bobot sebagai berikut : 15

 0 = Peresepan antibiotik tanpa indikasi


 1 = Peresepan antibiotik yang tepat indikasi , tetapi tidak tepat dosis/ interval/ rute
pemberian
 2 = Peresepan antibiotik yang tepat indikasi , tepat dalam dosis/ interval/ rute
pemberian, tetapi tidak tepat dalam lama pemberian
 3 = Peresepan antibiotik yang tepat indikasinya, dosis/ interval/ rute, serta lama
pemberian, tetapi tidak tepat jenisnya ( tidak sesuai dengan pola kuman dan kepekaan
setempat/ tidak sesuai dengan pedoman dalam pelatihan)
 4 = Peresepan antibiotik yang tepat indikasinya, dosis/ interval/ rute, serta lama
pemberian, jenisnya, atau tidak diresepkan antibiotik pada keadaan yang memang
tidak ada indikasi antibiotik.

70% 0 ; Indikasi tidak tepat


60%
1.: Indikasi tepat, tidak tepat
50%
dosis, interval,durasi
40%
30% value 0
20% value 1
10%
value 2
0%

Gambar 2 Kualitas penggunaan antibiotik pada anak dengan demam.

Hapsari dkk, Sari Pediatri. Juni. 2006. 15

Dari hasil penelitian yang memantau kualitas penggunaan antibiotik sebelum dan sesudah
dilakukan intervensi dengan pelatihan pedoman penggunaan antibiotik pada anak dengan demam
menunjukkan perbedaan bermakna, dengan menurunnya proporsi antibiotik yang diresepkan tanpa
indikasi dan meningkatnya proporsi antibiotik yang diresepkan secara tepat ( indikasi dan pemberian)

Pengukuran penggunaan antibiotik secara kuantitas.

Pengukuran penggunaaan antibiotika selama dirawat di rumah sakit dilakukan secara


prosektif dan retospektif, dengan melihat kembali rekam medik penderita , baik pada penggunaan
antibiotika pada pengobatan penderita dengan diagnosis suatu penyakit tertentu, maupun pada
intervensi pada penggunaan antibiotika profilaktik sebelum operasi.

Gambar dibawah ini hanya sebagai ilustrasi metode pengukuran dan hasilnya pada kelompok
tertentu dan penggunaan jenis antibiotika tertentu. Umumnya dinyatakan dengan menggunakan
DDD/1000penduduk/hari. DDD (defined daily dose) yang selama ini digunakan masih menggunakan
patokan untuk dewasa (untuk anak masih dalam proses). Rumah sakit biasanya menggunakan angka

9
penggunaan antibiotika dalam format DDD/100 patient-days, meskipun belum sepenuhnya
menunjukkan luasan penggunaan namun sudah mencakup jumlah penderita rawat inap dan lama
perawatan/penggunaan antibiotikanya. Dihitung dari jumlah kuantitatif antibiotika yang dipakai
dalam sehari, dikalikan lama penggunaan/perawatan, dibagi DDD jenis antibiotikanya. Akan
didapatkan angka yang dapat dipakai untuk membandingkan penggunaan antar bangsal, antar
kelompok kasus, antar rumah sakit dari waktu ke waktu.

Kedua pengukuran ini pada permulaan merupakan angka dasar untuk memulai program
pengendalian dan dapat pula digunakan sebagai tolok ukur keberhasilan melakukan intervensi.
Harapannya adalah program pengendalian yang terarah, terprogram dan terukur. 14,15

Kepustakaan

1. Ogle JW. Antimicrobial therapy. Dalam : Hay WW, Levin MJ, Sondheimer JM, Deterding RR,
penyunting. Current diagnosis and treatment Pediatrics. Edisi ke -21. New York. McGraw-Hill ;
2009. H. 1089-1106.
2. Southwick FS. Anti-infective therapy. Dalam: Hirschel B, Lew PD, Ramphal R, Southwick FS,
Swaminathan S, penyunting. Infectious diseases: a clinical short course. Edisi ke-2. New York.
McGraw-Hill; 2008. h. 1–56
3. Michelow IC, McCraken GH. Antibacteria therapeutic agents,. Dalam: Feigin & Cherry’s textbook
of pediatric infectious diseases. Feigin RD, Cherry JD, Demmler-Harrison GJ, Kaplan SL,
penyunting. Edisi ke-6. Philadelphia. Saunders-Elsevier; 2009. h. 3178-227
4. Willemsen I, Groenhuijzen A, Bogaers D, Stuurman A, van Keulen P, Kluytmans J.
Appropriateness of Antimicrobial Therapy Measured by Repeated Prevalence Surveys.
Antimicrob. Agents Chemother.2007;51(3):864-7
5. Filius PMG, Liem TBY, van der Linden PD, Janknegt R, Natsch S, Vulto AG, Verbrugh HA. An
Additional measure for Quatifying Antibiotic Use in Hospitals. JAC.2005;55:805-8
6. Tambunan T. Penggunaan obat secara bijaksana. Dalam : Hendarto A, Trihono PP, Oswari H,
Gunadi H. State of theart : common problems in hospitalized children. PKB VIII Jakarta. 2011. h
40-9
7. Dryden M, Johnson AP, Ashiru-Oredope D, Sharland M. Using antibiotics responsibly ; right
drug, right time, right dose, right duration. J Antimicrob Chemother.2011;66:2441-3
8. McLaughlin C et al. Pharmacy-implemented guidelines on switching from intravenous to oral
antibiotics: an intervention study. Q J Med 2005;98:745:752
9. Fisher BT, Meaney PA, Shah SS, Irwin SA, Grady CA, Kurup S, Malefho KCS, Jibril H,
Steenhoff AP. Short Report: Antibiotic Use in Pediatric Patients Admitted to a Referral Hospital in
Botswana. Am J Trop Med.2009;81(1):129-31
10. Demam Tifoid. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pujiadi AH, Hegar B,
Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati ED. Cetakan Pertama 2010. h 47-50
11. Samsi KM.Pitfall dalam perawatan demam tifoid. Dalam : Hendarto A, Trihono PP, Oswari H,
Gunadi H. State of theart : common problems in hospitalized children. PKB VIII Jakarta. 2011.h
93-100
12. WHO, Background document: the diagnosis, treatment and prevention of typhoid fever.
Switzerland. 2003
13. Gyssen IC, Van den Broek PJ, Kulberg BJ, Hekster YA, Van den Meer JSUM. Optimizing
antimicrobial therapy, a method for antimicrobial drug use evaluation. J.Antimicrob. Chemother
1992; 32 : 724-7
14. Ismoedijanto. Penggunaan antibiotika secara bijak pada bayi dan anak. Kumpulan Naskah
Lengkap PIT IV IKA. Medan 2010. h 456-67
15. Hapsari MM, Farida H,Keuter M, Van den Broek PJ, Hadi U. Penurunan penggunaan antibiotik
pada anak dengan demam tanpa menurunkan morbiditas dan mortalitas. Sari Pediatri 2006. Juni.
2006.h 16-24
16. WHO.Collaborating Centre for Drug Statistic Methodology. Guidelines for ATC classification
and DDD aasignment. Oslo, Norway; 2000

10
17. Usman . Audit kuantitas kualitas penggunaan antibiotik di rumah sakit. TOT Program
Pengendalian Resistensi Antimikroba untuk rumah sakit. Kementerian Kesehatan. Bali, 2011.

11

Anda mungkin juga menyukai