Anda di halaman 1dari 9

BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Kasus
Telah dilaporkan seorang pasien laki-laki, Tn. M berusia 31 tahun, beralamat di
Jln. Tumbang Tanjung Katingan, pekerjaan swasta, masuk ke IGD RSUD dr. Doris
Sylvanus pada tanggal 20 September 2019 pukul 16.45 WIB dengan keluhan nyeri
menelan. Pasien merupakan rujukan dari rs kasongan, ± 3 hari sebelum masuk rumah
sakit pasien tidak sengaja terminum rondap. Keluhan nyeri menelan dirasakan pasien
setelah pasien meminum rondap. Pasien mengaku dia salah meminum air. Dia
mengambil air yang berisikan rondap ketika sedang bekerja di ladang. Awalnya pasien
tidak merasakan apa-apa ketika meminum rondap tersebut. Setelah satu jam kemudian
barulah pasien merasakan gejala setelah meminum rondap tersebut pasien
mengeluhkan sesak napas (+), mual (+), muntah (+), tenggorokan pasien rasa terbakar
dan pasien merasa lemas. Pada pemeriksaan status THT ditemukan Mukosa bibir
kering, Pecah-pecah, berwarna pucat, Mukosa mulut kering berwarna pucat, Mukosa
hiperemi (+), reflex muntah (+), Tonsila palatina kanan dan kiri T3-T3 Hiperemi (+)
bilateral

4.2 Masalah
4.2.1 Anamnesis
Pada kasus ini pasien laki-laki berusia 31 tahun masuk ke IGD dengan keluhan
nyeri menelan, setelah tidak sengaja terminum rondap 3 hari sebelum masuk rs.
Awalnya pasien tidak merasakan apa-apa ketika meminum rondap tersebut. Setelah
satu jam kemudian barulah pasien merasakan gejala setelah meminum rondap tersebut
pasien mengeluhkan sesak napas (+), mual (+), muntah (+), tenggorokan pasien rasa
terbakar dan pasien merasa lemas. Nyeri menelan yang dirasakan oleh pasien dapat
terjadi karena peradangan pada esofagus yang disebabkan oleh luka bakar karena zat
kimia yang bersifat korosif, misalnya asam kuat, basa kuat dan zat organik. Zat kimia
yang tertelan dapat bersifat toksik atau korosif. Zat kimia yang bersifat korosif akan
menimbulkan kerusakan pada saluran yang dilaluinya, sedangkan zat kimia yang
bersifat toksik hanya menimbulkan gejala keracunan bila telah diserap oleh darah.
Roundup adalah herbisida yang menggunakan bahan aktif glifosat yang banyak

digunakan di dunia.Glifosat (N-phosphonomethyl-glycine)memiliki rumus empiris

C3H8NO5P.glifosatmerupakan golongan dari organofosfat yang digunakan untuk

mengontrol gulma dan rumput liar pada berbagai tanaman pertanian, seperti padi,

jagung, dan kacang kedelai. Glifosat dalam bentuk murni memiliki toksisitas rendah,

tetapi pada suatu produk selalu ada bahan-bahan lain yang dapat membantu kerja

glifosat agar dapat masuk ke dalam metabolisme tanaman. Bahan-bahan lain tersebut

dapat membuat suatu produk glifosat menjadi lebih toksik. Salah satunya, pada produk

yang mengandung surfaktan dapat memiliki efek toksik yang lebih besar daripada

glifosatnya dan kombinasi keduanya dapat menyebabkan toksisitasnya meningkat.

Berdasarkan gejala klinis dan perjalanan penyakitnya esofagitis korosif dibagi


dalam 3 fase, yaitu fase akut 1-3 hari, fase laten (intermediate) 2-6 minggu, dan fase
kronik (obstruktif) 1-3 tahun. Pada kasus ini saat dilakukan pemeriksaan pasien
menunjukkan adanya tanda-tanda dari fase akut yaitu disfagia, odinofagia, adanya
kegagalan sirkulasi dan pernafasan.
Pada kasus keracunan herbisida atau roundup memiliki 3 gejala klinis
berdasarkan dosis atau konsentrasi racun yang mendasari prognosis pasien tersebut,
yaitu dosis rendah < 2mg/kgBB (7,5 ml dalam konsentrasi 20%) tidak memberikan
gejala atau hanya muncul gejala GIT seperti muntah atau diare, dosis sedang 20 – 40
mg/kgBB (7,5-15 ml dalam konsentrasi 20%) menyebabkan fibrosis jaringan paru
yang masif dan bermanifestasi sebagai sesak napas yang progresif yang dapat
menyebabkan kematian antara 2-4 minggu setelah masuknya racun. Gangguan ginjal
dan hati dapat ditemukan. Sesak napas dapat muncul setelah beberapa hari pada
beberapa kasus berat. Fungsi ginjal biasanya dapat kembali ke normal, dosis besar >
40 mg/kgBB ( >15 ml dalam konsentrasi 20%) menyebabkan kerusakan multi organ,
tetapi lebih progresif. Sering disertai tanda khas berupa ulkus pada orofaring. Gejala
gastrointestinal sama seperti pada konsumsi racun dengan dosis yang lebih rendah
namun gejalanya lebih berat akibat dehidrasi. Gagal ginjal, aritmia jantung, koma,
kejang, perforasi oesofagus, dan koma kemudian diakhiri dengan kematian yang dapat
terjadi dalam 24-48 jam akibat gagal multi organ. Jika tertelan dengan dosis yang
sedang (20-40 mg/kgBB) dapat menyebabkan kelainan morbiditas yang terdiri dari 3
tingkat, yaitu Stage I : 1-5 hari. Efek korosif lokal seperti hemoptisis, ulserasi
membran mukosa, mual, diare, dan oligouria, Stage II : dalam 2-8 hari didapatkan
tanda-tanda kerusakan hati, ginjal, dan jantung berupa ikterus, demam, takikardi,
miokarditis, gangguan pernapasan, sianosis, peningkatan BUN, kreatinin, alkali
fosfatase, bilirubin, dan rendahnya protrombin, Stage III : dalam 3-14 hari terjadi
fibrosis paru. Batuk, dispnea, takipnea, edema, efusi pleura, atelektasis, penurunan
tekanan O2 arteri yang menunjukkan hipoksemia, peningkatan gradien tekanan O2
alveoli, dan kegagalan pernapasan. Pada kasus didapatkan pasien sesak dan semakin
progresif, meskipun sesak pada pasien sempat berkurang pada saat perawatan minggu
ke 2 namun kemudian sesak kembali muncul dan semakin memberat pada perawatan
minggu ke 3, ini menandakan bahwa telah terjadi fibrosis jaringan paru yang masif
menyebabkan kematian antara 2-4 minggu setelah masuknya racun yang merupakan
efek dari masuknya racun dengan dosis sedang yaitu 20-40 mg/kgBB.
Gejala dan tanda dini dari keracunan melalui melalui pencernaan di antaranya
rasa terbakar pada mulut, kerongkongan, dada, perut atas, akibat dari efek korosif.
Diare yang kadang-kadang dengan darah juga dapat terjadi. Muntah dan diare dapat
berujung hipovolemia. Pusing, sakit kepala, demam, mialgia, letargi, dan koma adalah
contoh lain dari gejala sistemik dan susunan saraf pusat (SSP). Pankreatitis dapat
menyebabkan nyeri abdomen berat. Proteinuria, hematuri, pyuria, dan azotemia
menunjukkan adanya kerusakan ginjal. Oligouria atau anuria mengindikasikan adanya
nekrosis tubular akut.
4.2.2 Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan status THT ditemukan Mukosa bibir kering, bibir pecah-pecah,
berwarna pucat, Mukosa mulut kering berwarna pucat, Mukosa hiperemi (+), reflex
muntah (+), Tonsila palatine kanan dan kiri T3-T3 Hiperemi (+) bilateral. Adanya luka
bakar keputihan pada mukosa mulut atau keabuan pada bibir dan dagu menunjukkan
akibat bahan kaustik atau korosif baik yang bersifat asam kuat maupun basa kuat.
Perbedaaan pada dampak luka bakarnya yaitu nekrosis koagulatif akibat paparan asam
kuat sedangkan basa kuat mengakibatkan nekrosis likuitaktif. Namun pada kasus ini
tidak ditemukan adanya tanda luka bakar baik pada bagian mulut ataupun dagu.

4.2.3 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien ini adalah pemeriksaan
laboratorium darah lengkap dan rontgen thorax.
Pada hasil laboratorium darah lengkap ditemukan adanya peningkatan leukosit
dan ureum serta creatinin yaitu leukosit 17,420/uL, ureum 236/dL, creatinin 13.39/uL.
Serta dari pemeriksaan rontgen thorax didapatkan adanya Kardiomegali (LVH),
Bercakopasitas pada basal paru kanan dan kiri, Bronchopneumonia basal paru kanan
dan kiri. Peningkatan ureum serta creatinin pada pasien merupakan efek dari glifosfat
yang menyerang ke ginjal, ginjal merupakan organ yang mengeliminasi dari jaringan
tubuh, gagal ginjal dapat terjadi akibat terbentuknya konsentrasi tinggi, termasuk paru-
paru. Kelainan patologik ini dapat terjadi dalam beberapa jam pertama setelah
masuknya glifosat melalui pencernaan. Asidosis metabolik dan hiperkalemia dapat
terjadi akibat gagal ginjal.
Pada kasus seperti ini seharusnya dilakukan pemeriksaan penunjang yang dapat
membantu dokter untuk lebih pasti mendiagnosis dengan pemeriksaan esofagoskopi
untuk melihat adanya luka bakar di esofagus. Pada esofagoskopi akan tampak mukosa
yang hiperemis, edema dan kadang-kadang ditemukan ulkus. Pada kasus ini tidak
dilakukan esofagoskopi karena sudah memasuki minggu ke 2 atau pada fase kronik
yang dimana telah terjadi striktur sehingga akan sulit jika dilakukan esofagoskopi, dan
apabila dipaksakan maka kemungkinan akan terjadi perforasi.

4.3 Diagnosa
Diagnosis akhir pada kasus ini adalah Esofagitis Korosif et causa Terminum
Rondap. Diagnosis esofagitis korosif ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik status THT, dan pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan pada pasien. Pada
anamnesis didapatkan keluhan pasien nyeri menelan, sesak napas (+), mual (+),
muntah (+), tenggorokan pasien rasa terbakar dan pasien merasa lemas. Pada
pemeriksaan fisik status THT didapatkan Mukosa bibir kering, bibir pecah-pecah,
berwarna pucat, Mukosa mulut kering berwarna pucat, Mukosa hiperemi (+), reflex
muntah (+), Tonsila palatine kanan dan kiri T3-T3 Hiperemi (+) bilateral. Pada
pemeriksaan penunjang yaitu rontgen thorax didapatkan adanya Kardiomegali (LVH),
Bercakopasitas pada basal paru kanan dan kiri, Bronchopneumonia basal paru kanan
dan kiri.

4.4 Tatalaksana
Tujuan pemberian terapi pada esofagitis korosif adalah untuk mencegah
pembentukan striktur. Terapi esofagitis korosif dibedakan antara tertelan zat korosif
dan zat organik. Terapi esofagitis korosif akibat tertelan zat korosif dibagi dalam fase
akut dan fase kronis. Pada fase akut dilakukan perawatan umum dan terapi khusus
berupa terapi medik dan esofagoskopi. Terapi medikamentosa yang telah diberikan
pada pasen ini adalah :
- IFVD Nacl 20 tpm
- Inj. Lansoprazol 1 x30 mg
- Inj. Metil prednisolon 1x 62,5
- Inj. Ceftriaxone 2x1
- Inj. Vit k 3x1
- P.0 : - erdoctein 3x1 mg
- sucrafatsyr 3x 5 ml
- cetirizine 2x10 mg
- candestatin drop 3x 1,5 ml
BAB V
PENUTUP

1.1 Kesimpulan
Telah dilaporkan seorang pasien laki-laki, Tn. M berusia 31 tahun, beralamat di
Jln. Tumbang Tanjung Katingan, pekerjaan swasta, masuk ke IGD RSUD dr. Doris
Sylvanus pada tanggal 20 September 2019 pukul 16.45 WIB dengan keluhan nyeri
menelan. Setelah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang, maka pasien didiagnosa Esofagitis Erosif et causa Terminum Rondap.
Pasien di rawat di ruang Aster (kamar 6) dr. Doris Sylvanus Palangka Raya.
Tatalaksana yang diberikan pada pasien adalah terapi medikamentosa dengan
tujuan untuk mencegah agar tidak terjadi infeksi dan peradangan yang lebih parah,
serta untuk mencegah terjadinya striktur.
DAFTAR PUSTAKA

1. Hadjat F. Penyakit dan Kelainan Esofagus. Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung dan Tenggorokan Edisi 6. Jakarta : Balai Penerbit FK UI.2007;
293-95
2. Siegel LG. Penyakit Jalan Nafas Bagian Bawah, Esofagus, dan Mediastinum.
Dalam : Buku Ajar Penyakit THT BOIES Edisi 6. Jakarta : EGC. 1997;455-73
3. Dhingra PL. Disorders of Oesophagus. Disease of Ear, Nose and Throat. 4th
Edition. India. Elsevier. 2009; 303-04
4. Huang YC, Ni YH et al. Corrosive Esophagitis in Children. Pediatric Surgery.
2004; 207-10 (diakses di http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/1508333 tanggal 1
januari 2012)
5. Sandeep M. Esophagitis. 2011 (diakses di
http://emedicine.medscape.com/article/174223 pada 1 Januari 2012)
6. Jayant D. Pediatric Esophagitis Treatment and Management. 2011 (diakses di
http://emedicine.medscape.com/article/928891 pada 31 Desember 2011)
Anonymous. Esophgaeal Stricture or Corrosive Esophagitis. Elsevier.1998; 167
7. Yuksel G, Emre K et al. The Efficiency of Sucralfate in Corrosive Esophagitis: A
Randomized, Prospective Study. Turk J Gastroenterol. Istanbul. 2010; 7-11
8. Muhletaer CA, Gerlock AJ et al. Acid Corrosive Esophagitis: Radiographic
Findings.AM J Roentgenol. 1980. (diakses di:
www.ajronline.org/content/134/6/1137.full.pdf pada 21 September 20129)
9. de Jong AL, Macdonald R et al. Corrosive esophagitis in children: a 30-year
review. Int J Pediatry Otorhinolaryngol. 2001 Mar;57(3):203-11. (diakses di
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/11223452 pada 21 September 20129)
10. Gumurdulu Y, Karakoc E et al. The efficiency of sucralfate in corrosive
esophagitis: Arandomized, prospective study. 2010. Turk J Gastroenterol; 21 (1):
7-11.
11. Collin S, Dafoe et al. Acute corrosive oesophagitis. 1969. Thorax (1969), 24,
291.Canada.

Anda mungkin juga menyukai