Anda di halaman 1dari 8

Zonasi Sekolah, Solusi atau Delusi?

Ada yang ramai di tahun ajaran baru kali ini. Sesuai dengan Peraturan Mendikbud No 51/2018
yang diterbitkan pada awal Mei, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud)
menyatakan bahwa penerimaan peserta didik baru (PPDB) tahun ini wajib menggunakan sistem
zonasi. (Media Indonesia, 29/5/18)

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengakui Indonesia masih


menghadapi ketimpangan yang lebar dalam bidang pendidikan. Ketimpangan pendidikan ini
masih menjadi persoalan yang berat untuk diatasi. Salah satunya sistem kastanisasi (sekolah
favorit dan non-favorit)yang menimpa dunia pendidikan.

Sejak tahun lalu Indonesia mengenal sekolah favorit dan bukan favorit. Pemerintah berupaya menghapus

paradiga masyarakat dengan sistem zonasi. Dalam keterangan resminya, kementrian pendidikan nasional

menyatakan sistem zonasi ditetapkan pemerintah sebagai upaya pemerataan akses pendidikan dan

menghilangkan status sekolah favorit atau bukan. Setiap sekolah diharuskan menerima minimal 90 persen

siswa dari area sekitarnya dengan radius 1,6 KM dan hanya 5 persen kuota untuk calon siswa dari luar

zona. Siswa diarahkan memilih sekolah negeri yang dekat dengan rumah. Sekolah bagus juga “dipaksa”

menerima siswa dengan prestasi rendah, yang tinggal didekat lokasinya untuk mengurangi beban biaya

transportasi dan menciptakan keadilan akses pendidikan.

Alhasil, banyak siswa maupun orang tua siswa yang merasa kecewa karena sekolah yang
diidamkan tidak serta merta didapatkan. Kerja keras untuk dapat sekolah di tempat terbaik harus
pupus dengan diberlakukannya zonasi ini. Mengingat, tidak semua wilayah memiliki sekolah
yang berfasilitas layak. Baik itu prasarana maupun sarananya.

Jamak dipahami bahwa muncul dua label yang kontras berbeda tersemat pada sekolah-sekolah di
negeri ini. Ada sebutan sekolah favorit dan juga sekolah tidak favorit. Sekolah favorit identik
dengan prestasi, fasilitas yang memadai, prasarana dan sarana sudah pasti terpenuhi. Peserta
didiknya pun identik dengan kedisiplinan tinggi, rajin belajar, dan tentu saja berlomba dalam
prestasi.
Sedangkan sekolah tidak favorit, berbanding terbalik dari itu semua. Alhasil, tidak terjadi
penyebaran siswa berprestasi secara merata di setiap sekolah. Atau dengan kata lain, anak-anak
yang berprestasi hanya berkumpul di sekolah-sekolah favorit saja.

Sistem zonasi dianggap sebagai solusi bagi persoalan ini. Dengan penerapan zonasi
diharapkan mampu menghapus label negatif sekolah favorit dan non-favorit. Sejauh ini sekolah
favorit dilabeli pada sekolahswasta yang fasilitasnya lebih nyaman dan lengkap, dan hanya dapat
dijangkau oleh orang-orang yang mampu secara materi saja. Sedangkan sekolah non-favorit
dilabeli untuk sekolah negeri yang kualitas dan fasilitasnya standar dan murah.
Jauh panggang dari api. Solusi dangkal sebenarnya. Pasalnya, sistem zonasi adalah
kebijakan spontan pemerintah dalam menghadapi problematika dunia pendidikan. Kebijakan
tergesa-gesa tanpa perhitungan. Faktanya, dengan diterapkannya sistem zonasi semakin
menambah persoalan baru. Siswa yang berasal dari keluarga tak mampu menjadi terbebani
dengan biaya sekolah swasta yang dekat dengan zonanya. Sementara siswa yang memiliki
prestasi tinggi harus terbebani juga dengan zona sekolah terdekat dengan fasilitas dan kualitas
yang tidak mendukung prestasinya. Akibat dari zonasi ini juga, ada sekolah yang siswanya
membludak, sementara sekolah lain siswanya segelintir.

Sistem zonasi meratakan keadilan pendidikan?

Niat baik pemerintah untuk menjadikan pendidikan diindonesia untuk menjadi lebih baik. Salah
satunya dengan menghilangkan kastanisasi di dunia pendidikan melalui sistem zonasi.
Tujuannya agar terwujud keadilan di dunia pendidikan. Dimana siswa pintar tidak terkonsentrasi
hanya di sekolah tertentu atau favorit saja. Dalam hal ini artinya, semua siswa berhak sekolah
dimanapun, tanpa menjadikan faktor akademis sebagai faktor utama untuk masuk disekolah yang
berkualitas baik. Menghemat waktu dan biaya juga menjadi pertimbangan pemerintah melalui
sistem zonasi ini. Sehingga siswa yang bersekolah dapat menghasilkan kualitas pendidikan yang
baik.

Jika kita merujuk kepada Undang-Undang Dasar 1945, dalam pasal 28C ayat 1 tertulis dengan
jelas bahwa “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya,
berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni
dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.”
Maka, seharusnya seluruh peserta didik berhak mendapatkan pendidikan yang berkualitas tanpa
melihat dari segi akademis, prestasi, jarak rumah atau yang lainnya.

Pangkal utama dari permasalahan ketidakadilan pendidikan di Indonesia selama bertahun-tahun


bukanlah dari segi jauh dekatnya sekolah atau dominannya siswa/siswi pintar atau guru
berkualitas di sekolah favorit. Tapi adanya ketimpangan layanan pendidikan sehingga muncul
istilah sekolah favorit yang menjadi incaran banyak siswa. Bagi yang memiliki banyak uang,
biasanya muncullah praktek nepotisme dan pungli di sekolah. Dari sisi lokasi, penyebaran
sekolah tidak merata. Ada be berapa sekolah negeri yang berjajar dipusat kota. Tapi dipinggiran
jumlahnya sedikit. Bahkan ada daerah yang terkategori “Blank Spot” kareba tak masuk zonasi
manapun. Sehingga menjamurlah sekolah-sekolah swasta yang berkualitas namun orang tua
siswa mesti merogoh kocek dalam-dalam untuk bisa bersekolah disekolah tersebut.

Jadi, sistem zonasi sebenarnya tidak masalah jika diterapkan, hanya saja pemerintah harus
memfokuskan terlebih dahulu di segi kualitas pendidikan. Sehingga setiap siswa akan
mendapatkan layanan yang sama, dimana pun dia sekolah. Sehingga sistem zonasi, belum tepat
diterapkan dan bukan menjadi solusi, bahkan hanyalah menjadi delusi tidak ada ujung
pangkalnya.

Sekolah Ladang Komersial Kapitalis


Jika ditilik secara cemerlang, akar permasalahan ketimpangan pendidikan yakni
penerapan sistem kapitalisme. Kapitalisme yang berasaskan manfaat telah menggerogoti dunia
pendidikan dan menjadikannya sebagai barang komoditi yang bisa diswastanisasi untuk
dikomersialisasi.
Liberalisme adalah karpet merah bagi kapitalisme yang turut menyasar pendidikan.
Melalui UU yang bernafaskan liberal, ruang gerak Negara dibatasi hanya pada ketertiban umum
dan penegakkan hukum. Sementara urusan yang lain termasuk unsur kepemilikan diserahkan
kepada individuyang mengaturnya dan mengelolanya.
Negara tidak membatasi kepemilikan perorangan di dalam sektor pendidikan. Dalam
artian satuan penyelenggara pendidikan dapat dikelola oleh perorangan. Baik dari sektor swasta
maupun sektor non negara. Dimana segala kebijakannya diatur oleh sektor swasta dan
dimonopoli. Lebih mirisnya kurikulum pendidikan, dana dan sarana prasarana di lengkapi demi
terwujudnya kualitas output yang dapat memenuhi kepentingan pasar. Disisi lain, biaya
pendidikan yang ditawarkan sangat tinggi tanpa memikirkan kemampuan biaya pengguna jasa
pendidikan.
Dengan demikian,hanya orang yang memiliki kemampuan secara materi yang
mendapatkan pendidikan tersebut. Sementara pengguna jasa pendidikan yang kurang mampu,
akan kesulitan dalam mendapatkan pendidikan tersebut. Sehingga mereka hanya dapat lari ke
sekolah negeri dengan fasilitas terbatas. Ini tidak lain adalah bentuk kezaliman yang nyata oleh
pemerintah. Pemerintah dalam hal ini negara telah kehilangan perannya dalam memenuhi hak-
hak rakyatnya.

Fakta Gambaran Sistem Zonasi Sekolah

Sistem zonasi sekolah ini adalah problem yang muncul 2 tahun belakangan ini sejak
pemberlakukan zonasi sekolah untuk penerimaan siswa baru.

Banyak calon wali murid bingung PPDB dengan sistem zonasi di bali. Antrean panjang
para orang tua yang ingin mengambil nomor token Pendaftaran Penerimaan Peserta Didik Baru
(PPDB) terlihat di SMPN 10 Denpasar, Bali. Beberapa orang tua rupanya masih bingung dengan
sistem pendaftaran sesuai zonasi.(DetikNews 17/6/2019)

Di Sidoarjo Para orangtua atau wali murid di Sidoarjo menangis karena


penerapan sistem zonasi dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB) kali ini. Tapi karena tidak
banyak yang protes, sehingga terkesan Sidoarjo kondusif.

Jakarta, CNN Indonesia -- Bunuh diri, demonstrasi, hingga aksi penyanderaan mewarnai proses
penerimaan peserta didik baru (PPDB) jalur reguler di sejumlah sekolah seperti di Bandung,
Manado, dan Tangerang. Penerapan sistem zonasi dalam penerimaan siswa baru jadi
pemicu rangkaian peristiwa tersebut.

Kisruh atas sistem zonasi juga terjadi pada tahun ajaran sebelumnya. Kritik dan keluhan
dari masyarakat turut mewarnai penerapan sistem zonasi.Bahkan berujung pada bunuh diri pada
calon PPDB di Jawa Timur, berlanjut demonstrasi oleh orang tua wali di Bandung, Jawa Barat,
serta aksi penyanderaan Kadis di wilayah Kota Tanggerang.
Sistem zonasi sekolah ini juga mengundang banyak protes public. Guru besar UGM kritik
sistem zonasi PPDB, Kemudian dibanyak tempat juga menuai protes yang menuntut agar mentri
pendidikan dicopot dari jabatannya ombutsman Republik Indonesia sebuah lembaga Negara
yang melayani pengaduan masyarakat juga mengatakan, sistem ini harus dihentikan karena
begitu banyaknya keluhan dan prites masyarakat .

Kita perlu tau apa dan bagaimana solusi atas masalah ini mentri pendidikan dan kebudayaan
mengatakan bahwa sistem zonasi sekolah ini diberlakukan supaya tidak tidak adalagi kasta
disekolah-sekolah negeri .

Tapi faktanya KPAI mengatakan setidaknya ada Sembilan masalah pada pemberlakuan PPDB
berbasis zonasi sekolah di dua tahun terakhir, Sembilan masalah itu adlah:

1. Penyebaran sekolah negeri yang tidak merata di tiap kecamatan dan kelurahan, sementara
banyak daerah yang pembagian zonasi pada awalnya, di dasarkan pada wilayah
administrasi kecamatan.
2. Ada calon siswa yang tidak terakomodasi, karena tidak bisa mendaftar ke sekolah
manapun. Sementara ada sekolah yang kekurangan siswa, karena letaknya jauh dari
pemukiman penduduk.
3. Orangtua mengantre hingga menginap di sekolah, padahal kebijakan PPDB zonasi dan
sistem online, siswa dizonasi terdekatdengan sekolah pasti diterima. Meski mendapatkan
antrian 1, akan tetapi domisili jauh dari sekolah maka peluannya sangat keciluntuk
diterima.
4. Minimnya sosialisasi sistem PPDB ke para calon peserta didik dan orangtuanya, sehingga
menimbulkan kebingungan. Sosialisasi seharusnya dilakukan secara terstruktur,
sistematis dan massif.
5. Masalah kesiapan infrastruktur untuk pendaftaran secara online.
6. Transparansi kuota per zonasi yang sering menjadi pertanyaan masyarakat, termasuk
kuota rombongan belajar dan daya tampung.
7. Permendikbud 51/2018 menentukan maksimal jumlah rombel per kelas untuk SD 28,
untuk SMP 32 dan uuntuk SMA 36 siswa.
8. Penentuan jarak atau ruang lingkup zonasi yang kurang melibatkan kelurahan sehingga di
PPDB tahun 2019 titik tolak zonasi dari kelurahan.
9. Soal petunjuk teknis (juknis) yang kurang jelas dan kurang dipahami masyarakat dan
terkadang petugas penerima pendaftaran juga kurang paham. Karena jumlah sekolah
negeri yang tidak merata disetiap kecamatan maka daerah membuat kebijakan menambah
jumlah kelas dengan sistem 2 shift (pagi dan siang) dampaknya banyak sekolah swasta
diwilayah tersebut kekurangan peserta didik.

Inilah problem teknis yang dicatat oleh KPAI, sistem zonasi sekolah ini kalaupun
menghilangkan seluruh masalah-masalah teknis yang dicatat KPAI ini tetap tidak mampu
memberikan pendidikan terbaik bagi anak-anak negeri ini. Kenapa? bahwa pendidik terbaik bagi
anak-anak negeri ini itu membutuhkan political will sejak mendasar dari Negara. Apakah Negara
hari ini memiliki politicalwill yang benar-benar mengedepankan kualitas pendidikan anak-anak
negeri, karena begitu pentingnya pendidikan ini untuk menghasilkan generasi unggulan, generasi
yang bisa membangun peradaban? Sama sekali tidk. Bahkan masyarakat menganggap sekolah
favorit atau tidak favorititu identik sekolah yang mampu menghantarkan anak-anak mereka
menuju keperguruan tinggi favorit kemudian setelah lulu anak-anak ini akan mendapatkan
pekerjaan dari karir yang baik dan seterusnya. Inlah pandangan public tentang sekolah, bahwa
sekolah itu untuk mendapatkan pekerjaaan, sekolah bukan untuk membangun kepribadian ,
sekolah bukan untuk menghasilkan generasi unggul, generasi pemimpin generasi pembangun
peradaban.

Sistem Pendidikan Islam Solusi Tuntas

Solusi tuntas bagi permasalahn ini adalah sistem Islam. Islam memiliki konsep pendidikan
berbasis aqidah Islam, sehingga menuntut ilmu bukan cuma urusan dunia nan fana, namun juga
urusan akhirat yang kekal. Kurikulumnya berkualitas tinggi karena bersumber dari wahyu Ilahi.

Negara memposisikan dirinya sebagai pelayan dan pengurus masyarakat, sehingga pendidikan
bisa diakses semua orang dengan mudah. Bahkan bagi masyarakat pedalaman atau badui yang
suka berpindah-pindah, negara akan menyediakan guru yang mendatangi mereka. Karena
pendidikan adalah hak rakyat maka disediakan secara gratis. Tak ada cerita siswa putus sekolah
karena tak punya biaya.
Dana pendidikan berasal dari pengelolaan kekayaan alam semisal tambang, laut, hutan dan
sebagainya yang hakikatnya adalah kepemilikan umum, milik seluruh rakyat. Mengenai zonasi,
murid dalam sistem Islam berhak sekolah dimana saja yang dia inginkan. Karena semua sekolah
sudah memenuhi standard.

Namun bisa jadi murid ingin memperoleh ilmu dari guru tertentu yang disukainya. Itulah
sebabnya, meski di masa khilafah Abbasiyah semua sekolah berkualitas bagus, namun Baghdad
tetap menjadi berkumpulnya para pencari ilmu. Hal ini tak sampai menimbulkan masalah yang
berarti, selain ramainya kota Baghdad, yang itu wajar adanya sebagai ibukota negara.

Bukti atas keberhasilan Islam dalam menyediakan pendidikan berkualitas adalah pernyataan
Jacques C. Reister, cendekiawan barat, tentang khilafah, yakni : Selama lima ratus tahun Islam
menguasai dunia dengan kekuatannya, ilmu pengetahuan dan peradabannya yang tinggi.

sTinta sejarah emas telah mengukir peradaban Islam ketika menjadi mercusuar dunia. Negara
memberikan jaminan pendidikan secara gratis dan kesempatan seluas-luasnya bagi seluruh warga
negara untuk melanjutkan pendidikan ke tahap yang lebih tinggi dengan fasilitas yang disediakan
negara. Contoh praktisnya adalah salah satu sekolah di Baghdad dengan model perpustakaan
yang memiliki kantin dan ruang tidur. Sarana itu diberikan tanpa dipungut biaya sepeserpun
kepada pengunjung perpustakaan yang sedang mencari literatur bacaan.

Keberhasilan sistem zonasi di berbagai Negara seperti di Jepang, boleh diacungkan


jempol dari segi keberhasilan pemerataan kualitas. Namun kualitas yang seperti apa? Tidak ada
satupun Negara yang mampu menandingi kualitas yang lahir dari rahim kekhilafahan Islam.
Bukan hanya merata kualitasnya namun mencapai puncak kualitas pencetak generasi unggul
yang menghantarkan khilafah Islam sebagai Negara super power pertama sebelum Inggris dan
Amerika.

Maka tak perlu terjebak pada pilihan zonasi atau tidak, karena dia merupakan persoalan cabang.
Tapi mari menyelesaikan persoalan pendidikan Indonesia secara tuntas dengan Sistem Islam
yakni khilafah. Kesahihannya telah terjamin, keberhasilannya telah teruji

Anda mungkin juga menyukai