Anda di halaman 1dari 5

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1.Anatomi Kornea

Kornea merupakan selaput bening pada mata yang tembus cahaya dan menutup

bola mata bagian depan. Lapisan kornea dari luar ke dalam terdiri atas lima lapis,

yaitu (Ilyas dan Yulianti, 2017) :

a. Epitel

Lapisan skuamosa non-keratin yang tebalnya 40 µm dan dapat beregenerasi

dengan cepat bila terjadi cedera. Dalam 1 jam defek epitel dapat ditutupi oleh

migrasi sel dan pembelahan sel yang cepat.

b. Membran bowman

Kolagen yang tersusun tidak teratur dan tidak bisa beregenerasi. Cedera pada

lapisan ini menyebabkan skar pada kornea.

c. Stroma

Lapisan yang menyusun 90% ketebalan kornea, terdiri atas lamel yang

merupakan susunan kolagen yang sejajar satu dengan yang lainnya. Keratosit

merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibroblast yang terletak

diantara serat kolagen stroma.

d. Membran descement

Lapisan dengan ketebalan 40 µm yang sangat kuat dan bersifat elastis,

berkembang terus seumur hidup.


e. Endotel

Berasal dari mesotelium, bentuk heksagonal, besar 20-40 μm dan tidak

mempunyai daya regenerasi. Endotel melekat pada membran descement

melalui hemidoson dan zonula okluden.

Gambar 3.1 Anatomi Kornea

Kornea bersifat avaskuler dan mendapatkan nutrisi dari pembuluh-pembuluh

darah limbus, humour aquos dan air mata. kornea dipersarafi oleh banyak saraf

sensorik terutama berasal dari saraf siliar longus, saraf nasosiliar, saraf ke V saraf

siliar longus berjalan suprakoroid, masuk ke dalam stroma kornea, menembus

membran bowman melepaskan selubung schwannya (Ilyas dan Yulianti, 2017).

3.2.Anatomi Konjungtiva

Secara anatomis konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan

tipis yang membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva

palpebralis) dan permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva

palpebralis melapisi permukaan posterior kelopak mata dan melekat erat ke tarsus.

Di tepi superior dan inferior tarsus, konjungtiva melipat ke posterior (pada forniks
superior dan inferior) dan membungkus jaringan episklera menjadi konjungtiva

bulbaris. Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke septum orbital di forniks dan

melipat berkali-kali. Adanya lipatan-lipatan ini memungkinkan bola mata

bergerak dan memperbesar permukaan konjungtiva sekretorik (Vaughan, 2010

dalam Alloyna 2011).

Gambar 3.2 Anatomi Konjungtiva (dikutip dari Khurana AK. Disease of The

Conjunctiva. Dalam: Comprehensive Ophthalmology. 4Th edition.New Delhi: New

Age International(P) Limited; 2007).

Vaskularisasi konjungtiva berasal dari arteria siliaris anterior dan arteria

palpebralis. Kedua arteri ini beranastomosis dengan bebas dan bersama dengan

banyak vena konjungtiva membentuk jaringan vaskular konjungtiva yang sangat

banyak (Vaughan, 2010 dalam Alloyna 2011). Konjungtiva juga menerima

persarafan dari percabangan pertama nervus V dengan serabut nyeri yang relatif

sedikit (Tortora, 2009 dalam Alloyna 2011).

3.3.Definisi Keratokonjungtivitis Epidemi


Keratokonjungtivitis epidemi merupakan peradangan pada kornea dan

konjungtiva yang disebabkan oleh infeksi virus. Penyakit ini dapat timbul sebagai

epidemi, seperti di dalam keluarga, sekolah, perkantoran, rumah sakit dan tempat

lain yang terdapat perkumpulan banyak orang (Ilyas dan Yulianti, 2017).

3.4.Etiologi Keratokonjungtivitis Epidemi

Keratokonjungtivitis epidemi disebabkan oleh adenovirus tipe 8, 19, atau 37

(subgrup D adenovirus manusia) dan ditularkan melalui kontak tangan-mata.

Penyakit ini mudah menular dengan masa inkubasi 8-9 hari dan masa infeksius 14

hari. Transmisi nosokomial selama pemeriksaan mata sering terjadi melalui jari-

jari tangan dokter atau alat pemeriksaan mata yang kurang steril (Ilyas dan

Yulianti, 2017). Virus ini dapat diisolasi dalam biakan sel dan diidentifikasi

dengan uji netralisasi. Hapusan pada konjungtiva akan menunjukkan adanya

reaksi radang sel mononuklear (Eva and Whitcher, 2015).

Adenovirus dapat menginfeksi pada banyak organ manusia yang berbeda,

termasuk sistem pernapasan bagian atas, saluran gastrointestinal dan organ mata

(Wu et al., 2004).

3.5. Manifestasi Keratokonjungtivitis Epidemi

Keratokonjungtivitis epidemi umumnya bilateral dan diawali pada satu mata

saja, biasanya mata pertama yang terkena lebih parah. Keluhan utama diawal yang

dirasakan adalah merah pada konjungtiva, mata berair dan terdapat nyeri sedang.

Edema palpebra, kemosis, dan hiperemia konjungtiva menandai fase akut dengan

folikel dan perdarahan konjungtiva yang sering muncul dalam 48 jam (Eva and

Whitcher, 2015). Pada hari ke-7 terdapat radang pada epitel kornea dan terlihat

difus, 11-15 hari selanjutnya terjadi kekeruhan pada subepitel dibawah lesi epitel
kornea tersebut. Kekeruhan subepitel akan hilang setelah 2 bulan sampai 3 tahun

atau lebih (Ilyas dan Yulianti, 2017).

Keratokonjungtivitis epidemi pada orang dewasa hanya terbatas pada bagian

mata saja, tetapi pada anak-anak bisa disertai dengan gejala sistemik, seperti

adanya demam, sakit tenggorokan, otitis media, dan diare (Eva and Whitcher,

2015).

3.6. Diagnosa Banding

Gejala subyektif Uveitis Konj. Konj. Konj.


Keratitis
dan obyektif akut bakteri virus alergi
PenurunanVisus +/++ +++ - - -
Nyeri ++ ++ - - -
Fotofobia +++ +++ -/+ -/+ -
Sekret + + +++ ++ +
Gatal - - - - ++
Demam - - - -/++ -
Injeksi siliar ++ +++ - - -
Injeksi konjungtiva ++ ++ +++ ++ +
Kekeruhan kornea - +/++ - -/+ -
Kelainan pupil Miosis Normal/ N N N
iregular miosis
Kedalaman COA N N N N N
Kelenjar preaurikular - - - + -

3.7. Prognosis

Prognosis pada kasus keratokonjungtivitis epidemi tergantung pada berat

ringannya gejala klinis yang dirasakan pasien, namun umumnya baik terutama

pada kasus yang tidak sampai terjadi defek yang berat pada kornea (Eva and

Whitcher, 2015).

Anda mungkin juga menyukai