Anda di halaman 1dari 50

BAB I

PENDAHULUAN

Tsunami intensitas kecil sampai sedangadalah gelombang tsunami yang


berdaya rusak rendah serta memiliki tinggi run up rendah sampai sedang. Tsunami
dengan intensitas kecil sampai sedang memiliki probabilitas kejadian yang lebih
besar dibandingkan tsunami dengan intensitas yang lebih besar namun dengan daya
rusak yang tetap masif. Pada daerah pantai umumnya dibangun onshore structure
(bangunan pantai) berupa bangunan revetment (bangunan pelindung pantai) yang
dapat menjadi alternatif mitigasi ketika tsunami dengan intensitas kecil terjadi.
Pasca tsunami tahun 2004, pada sepanjang pantai Ulee Lheue dibangun
bangunan revetment (bangunan pelindung pantai) berupa dinding laut (sea wall)
dengan kolam dug pool. Dinding laut serta kolam dug pool yang ada sekarang
belum pernah mengalami kejadian tsunami sehingga tidak ketahui kinerjanya
sebagai alternatif mitigasi tsunami dengan intensitas kecil.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kinerja bangunan revetment
modifikasi bangunan eksisting dalam upaya mitigasi gelombang tsunami pada
intensitas kecil sampai sedang.Penelitian ini juga bertujuan untuk mensimulasikan
secara fisik proses penjalaran tsunami sampai ke daerah run up. Diharapkan
penelitian ini dapat menjadi masukkan ataupun alternatif dalam pembangunan
profil pantai yang lebih baik di kawasan pantai Ulee Lheue.
Model fisik revetment yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari seawall
dan dug pool yang telah mengalami modifikasi. Tokida dan Tanimoto (2014:538)
menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang mencolok antara ketinggian banjir
dengan daya gerus air yang berada di belakang seawall pada dug pool. Modifikasi
penambahan hutan pantai bersama hutan manggrove menurut Tuheturu dan
Mahfudz (2012:62) memiliki fungsi untuk meredam gelombang tsunami.
Parameter yang ditinjau pada penelitian ini adalah kecepatan tsunami dan
ketinggian run up tsunami yang terjadi. Penelitian dilakukan di Labaratorium

1
2

Hidroteknik Universitas Syiah Kuala dengan menggunakan saluran gelombang dan


model pantai Ulee Lheue dengan penyederhanaan pada model fisik. Proses awal
penelitian yaitu mengumpulkan data awal dan juga kerangka kegiatan yang akan
dilakukan dengan tujuan agar waktu pekerjaan yang akan dilakukan lebih efektif.
Peralatan yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari peralatan pembangkitan
gelombang, peralatan perekam data, dan peralatan sirkulasi air. Tahapan utama
penelitian ini yaitu simulasi gelombang menggunakan tiga jenis profil modifikasi
kolam dug pool eksisting yaitu skenario dug pool dengan reklamasi (P1), skenario
dug pool reklamasi dengan pohon (P2), dan skenario dug pool dan pohon (P3).
Masing-masing skenario profil menggunakan empat tinggi bukaan pintu
gelombang yaitu 10 cm, 20 cm, 30 cm,dan 40 cm. Analisis data yang dilakukan
terdiri dari analisis tinggi run up, serta analisis waktu penjalaran tsunami.
Dari hasil penelitian diperoleh nilai reduksi kecepatan gelombang tsunami pada
model. Nilai reduksi yang diperoleh sesuai dengan skenario dug pool yang
digunakan. Skenario P1 memiliki reduksi paling rendah yaitu 4,70%-10,74% dari
kecepatan awal. Skenario P2 serta skenario P3 masing-masing memiliki reduksi
sebesar 35,06%-54,71% serta 40,07 %-61,42%. Nilai reduksi kecepatan terbesar
prototip diperoleh pada bukaan pintu 10 cm skenario P3 yaitu sebesar 61,42 %
dengan kecepatan prototip tsunami di dug pool sebesar 4,126 m/d. Reduksi
kecepatan terkecil prototip diperoleh pada bukaan pintu 30 cm skenario P1 yaitu
sebesar 4,70% dengan kecepatan prototip tsunami di dug pool sebesar 14,616 m/d.
Pada penelitian ini juga diperoleh pada skenario model yang berbeda namun dengan
bukaan pintu dam yang sama, kecepatan tercepat dan waktu tiba gelombang
tersingkat didapat pada skenario P1 kemudian diikuti oleh skenario P2, dan skenario
P3. Kemudian pada skenario yang sama namun dengan bukaan pintu dam yang
berbeda, maka diperoleh kecepatan tercepat dan waktu tersingkat dari bukaan pintu
terbesar.
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Untuk mendukung penelitian yang dilakukan, maka pada bagian ini dijelaskan
beberapa teori dan rumus yang berkaitan dengan penelitian ini. Teori-teori tersebut
berasal dari referensi serta literatur yang berhubungan langsung dengan obyek
penelitian. Teori-teori berikut juga akan dijadikan pembanding terhadap hasil
penelitian yang diperoleh nantinya.

2.1 Sipat Datar Profil

Sinaga (1997:121) menyatakan pengukuran sipat datar profil merupakan


pengukuran yang dilakukan untuk mendapatkan profil dalam arah memanjang dan
melintang dari rencana konstruksi yang akan dikerjakan. Pengukuran sipat datar
profil dilakukan dengan membaca benang tengah yang ada pada rambu ukur
sebanyak yang dibutuhkan bagi penggambaran profil. Gambar 2.1 ini
memperlihatkan skema dasar pengukuran sipat datar profil.

Gambar 2.1 Skema pengukuran sipat datar profil (Sumber: Sinaga, 1997:121)

Gambar 2.1 memperlihatkan tata letak alat ukur dengan rambu ukur. Alat ukur
diletakkan sejajar dengan rambu ukur dan garis bidiknya tegak lurus dengan rambu

3
4

ukur. Hasil pengukuran digambarkan sesuai dengan letaknya pada permukaan bumi
sehingga pada awal pengukuran alat ukur harus diikat pada stasiun benchmark
terdekat.
Pengukuran sipat datar profil umumnya dilakukan dalam pekerjaan desain
jalan raya, saluran irigasi ataupun pekerjaan lainnya memerlukan informasi dalam
arah memanjang (ketinggian dan arah) serta arah melintang. Pengukuran sipat datar
profil juga memberikan informasi bagi perencana berupa gradient, volume
pekerjaan, serta besarnya galian dan timbunan (Sinaga, 1997:121).

2.2 Dinding Laut (Seawall)

Dinding Laut adalah bangunan pantai yang berfungsi memisahkan daratan dan
perairan pantai, yang terutama berfungsi sebagai pelindung pantai terhadap erosi
dan limpasan gelombang (Overtopping) ke darat (Triatmodjo,1999:205). Dinding
laut dibangun sejajar garis pantai yang bertujuan untuk memantulkan gelombang.
Gambar 2.2 memperlihatkan bentuk-bentuk dinding laut yang umumnya sering
dibangun.

Gambar 2.2 Bentuk-bentuk dinding laut (Sumber: Triadmodjo, 1999:209-211)

Gambar 2.2 memperlihatkan material penyusun dinding laut umumnya tidak


satu jenis (heterogen). Material penyusun dinding laut yang digunakan merupakan
5

kombinasi material hasil penambangan langsung dari alam dengan material buatan
manusia.

2.3 Dug Pool

Dug pool merupakan kolam yang dibangun atau terbentuk di belakang pantai
utama. Dug pool terbentuk antara dinding laut dan dengan tanggul. Karakteristik
dari dug pool tergambar pada Gambar 2.3.

Tsunami H0
Creast
HF HB
Sand B
Beach
D A
Section Before Tsunami

Section After Tsunami

Gambar 2.3 Karakteristik dug pool (Sumber: Tokida dan Tanimoto, 2014:536)

Parameter yang ditunjukkan pada gambar 2.3 yaitu lebar kolam (B), kedalaman
kolam (D), area terkikis (A) tinggi limpahan (H0), tinggi lereng sisi belakang
seawall (HB), serta tinggi lereng sisi depan seawall (HF). Pada gambar tampak
dinding bagian belakang dari sea wall mengalami pengikisan setelah terjadinya
tsunami.
Tokida dan Tanimoto (2014:538) menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang
mencolok antara ketinggian banjir dengan daya gerus air yang berada di belakang
seawall pada dug pool. Ketinggian banjir pada pantai dengan dug pool mengalami
6

kenaikan dibandingkan pantai tanpa dug pool. Hal sebaliknya terjadi pada gaya
gerus yang mengalami penurunan pada pantai dengan dug pool dibandingkan
dengan pantai tanpa dug pool. Gambar 2.4 memperlihatkan grafik perbedaan tinggi  
banjir serta gaya gerus antara pantai dengan dug pool dengan pantai tanpa dug pool.  

a 7-
6- Non Dug Pool
5- Dug Pool Exist
Flood Depth (m)

4-
3-
2-
1-
0-
0 100 200 300 400 500 600
Time (s)
b 250-
Non Dug Pool
200-
DragForce (KNm)

Dug Pool Exist


150-
100-
50 -
0 -
0 100 200 300 400 500 600
Time (s)
Gambar 2.4 Contoh perbandingan efek dari Dug Pool (a) kedalaman banjir
pada bagian belakang sea wall (b) gaya gerus pada bagian belakang sea wall
(Sumber: Tokida dan Tanimoto, 2014:538)

Grafik perbandingan diatas merupakan hasil dari analisa simulasi tsunami


dengan model pada daerah Idoura (Tokida dan Tanimoto, 2014:538). Pada pantai
yang menggunakan dug pool Ketinggian banjir pada grafik A meningkat sedangkan
gaya gerusnya menurun (Grafik B). Penurunan gaya gerus berdampak pada
menurunnya tingkat kerusakan struktur yang ada di belakang dug pool.
7

2.4 Hutan Pantai

Tuheturu dan Mahfudz (2012:62) mengemukakan bahwa hutan pantai bersama


dengan hutan mangrove memiliki fungsi untuk meredam gelombang tsunami.
Hutan pantai meredam gelombang tsunami dengan cara memecah gelombang air
laut yang datang dan memperlambat kecepatan arus laut. Selain itu, hutan pantai
juga berfungsi sebagai kanal alami sehingga memperkecil volume air yang masuk
ke wilayah daratan.
Forbes dan Brodhead (2007) dalam Tuheturu dan Mahfudz (2012:62)
menyebutkan parameter penting yang mempengaruhi kemampuannya hutan pantai
dalam reduksi kekuatan gelombang tsunami tersebut meliputi ketebalan hutan
(forest width), kerapatan pohon (tree density), umur dan diameter pohon (age and
tree diameter), tinggi (tree height) dan komposisi jenis (species composition).
Berikut ini merupakan penjelasan singkat dari parameter dari kemampuan hutan
pantai dalam reduksi kekuatan gelombang tsunami.
1. Ketebalan hutan (forest width)
Ketebalan hutan atau lebar hutan dapat meningkatkan daya reduksi gelombang
tsunami. Hasil simulasi yang dilakukan oleh Harada dan Imamura pada tahun 2003
menunjukkan bahwa hutan pantai dengan lebar 200 meter dapat mengurangi gaya
hidrolis dari gelombang tsunami setinggi 3 meter hingga 80 % serta kecepatan
gelombang hingga 70 % pada tinggi gelombang yang sama (Forbes dan Brodhead,
2007:9).
2. Kerapatan pohon (tree density)
Kerapatan pohon pada hutan pantai mempunyai efek yang kecil terhadap upaya
mitigasi gelombang tsunami. Kerapatan pohon berkaitan dengan kemampuan hutan
pantai dalam memantulkan/mengembalikan serta menyerap energi tsunami.
Kerapatan pohon sedang merupakan yang paling efektif dalam mitigasi tsunami.
Pada hutan pantai yang memilik kerapatan pohon yang kecil, gelombang tsunami
akan langsung menyerang daerah yang ada di belakang hutan pantai dengan
penghambatan yang kecil. Sedangkan apabila hutan terlalu rapat/padat, maka
8

gelombang tsunami akan melewatinya hutan pantai tanpa hambatan (Forbes dan
Brodhead, 2007:12).
3. Umur dan diameter pohon (age and tree diameter)
Umur dan diameter pohon berbanding terbalik dengan kekuatan pohon dalam
mereduksi gelombang tsunami. Hasil simulasi tsunami yang dilakukan oleh
Harada dan Kawata (2005) dalam Tuheturu dan Mahfudz (2012:63) menunjukkan
bahwa tanaman pinus umur 10 tahun memiliki daya reduksi terhadap tsunami yang
lebih tinggi dibandingkan tanaman pinus dengan umur 50 tahun.
4. Tinggi (tree height)
Forbes dan Broadhead (2007) dalam Tuheturu dan Mahfudz (2012:63)
menyebutkan bahwa tinggi pohon dominan dan kodominan dalam hutan pantai
mempunyai hubungan langsung dengan proyeksi area yang akan tersentuh oleh
gelombang tsunami. Tinggi hutan juga penting dalam hubungannya dengan resiko
lompatan gelombang tsunami. Hutan pantai yang dominan dengan pohon yang
tinggi memiliki area reflektif (penahan) gelombang yang lebih besar. Sedangkan
hutan pantai yang didominasi pohon yang pendek, gelombang tsunami cenderung
melewati atas kanopi pohon tanpa ada pengurangan energi gelombang yang berarti.
5. Komposisi jenis (species composition)
Komposisi dari spesies tumbuhan yang menyusun hutan pantai memiliki
dampak penting dalam menentukan kemampuan mitigasi tsunami suatu hutan
pantai. Jenis tumbuhan yang menyusun hutan pantai diidentifikasi melalui dua
aspek kritis yaitu konfigurasi vertikal perakaran, batang, percabangan serta
dedaunan, dan perkembangan tanaman bawah.

2.5 Gelombang Laut

Gelombang laut adalah peristiwa naik turunnya permukaan laut secara vertikal
yang membentuk kurva/grafik sinusoidal (Triadmodjo, 1999:14). Gelombang laut
berbentuk gelombang transversal dengan membentuk lembah dan puncak yang
9

berbeda dengan gelombang longitudinal yang mempunyai regangan dan rapatan.


Profil gelombang laut digambarkan seperti pada Gambar 2.5.

Gambar 2.5. Profil Gelombang Laut (Triatmodjo, 2002:83).

Dari Gambar 2.5, gelombang laut dapat digambarkan sebagai deretan dari
pulsa-pulsa yang berurutan yang terlihat sebagai perubahan ketinggian permukaan
air laut, yaitu dari suatu elevasi maksimum (puncak) ke elevasi minimum (lembah).
Selain elevasi maksimum (puncak) dan elevasi minimum (lembah). Garisson
(2010:266-267) mengemukakan bahwa ada 4 bentuk besaran yang berkaitan
dengan gelombang. Yakni :
a. Amplitudo gelombang (A) adalah jarak antara puncak gelombang dengan
permukaan rata-rata air;
b. Frekuensi gelombang (f) adalah sejumlah besar gelombang yang melintasi suatu
titik dalam suatu waktu tertentu (biasanya didefinisikan dalam satuan meter);
c. Kecepatan gelombang (C) adalah jarak yang ditempuh gelombang dalam satu
satuan waktu tertentu; dan
d. Kemiringan gelombang (H/L) adalah perbandingan antara tinggi gelombang
dengan panjang gelombang.
Gelombang laut dapat terjadi akibat adanya gaya-gaya alam yang bekerja di
laut seperti tekanan atau tegangan dari atmosfir (khususnya melalui angin), gempa
bumi, gaya gravitasi bumi dan benda-benda angkasa (bulan dan matahari), gaya
10

coriolis (akibat rotasi bumi), dan tegangan permukaan (Garisson, 2010: 268). Pond
dan Pickard (1978:170) mengklasifikasikan gelombang berdasarkan periodenya,
seperti yang disajikan pada Tabel 2.3.

Tabel 2.1 Klasifikasi periode Gelombang

Periode Panjang Gelombang Jenis Gelombang


0 – 0,2 Detik Beberapa centimeter Riak (Riples)
0,2 – 9 Detik Mencapai 130 meter Gelombang angin

9 -15 Detik Beberapa ratus meter Gelombang besar (Swell)

15 – 30 Detik Ribuan meter Long Swell Gelombang dengan


0,5 menit –1 jam Ribuan kilometer periode yang panjang
(termasuk Tsunami).
12,5 , 25 jam Beberapa kilometer Pasang surut

Sumber: Pond dan Pickard, 1978.

Tabel 2.3 membagi gelombang berdasarkan periodenya menjadi 4 bagian


utama yaitu gelombang periode pendek, sedang, panjang, dan sangat panjang.
Gelombang riak (ripples) merupakan gelombang dengan periode paling singkat
sedangkan gelombang pasang surut merupakan gelombang dengan periode paling
panjang. Gelombang riak (ripples) dipengaruhi oleh tegangan permukaan untuk
menciptakan keseimbangan dalam sistem pembangkitan gelombang sedangkan
gelombang angin, gelombang besar, gelombang tsunami, dan gelombang pasang
surut dipengaruhi oleh gaya gravitasi untuk menciptakan keseimbangan dalam
sistem pembangkitan gelombang.

2.6 Tsunami

Tsunami secara harfiah dapat diartikan sebagai gelombang laut dengan periode
panjang yang ditimbulkan oleh gangguan impulsif dari dasar laut. Gangguan
11

impulsif tersebut bisa berupa gempa bumi tektonik, erupsi vulkanik, atau longsoran
(Bakornas PB, 2007:59). Panjang gelombang Tsunami melebihi 20 kali kedalaman
yang dilewatinya sedangkan kecepatan jalar energinya sama dengan kecepatan jalar
gelombangnya (Nurhasanah dkk, 2010:5). Energi gelombang tsunami berhubungan
dengan tinggi gelombang tsunami. Lizuka dan Matsutomi (2005) dalam Tokida dan
Tanimoto (2014:541) mengklasifikasi skala intensitas gelombang tsunami menjadi
3 golongan seperti yang terdapat pada Tabel 2.4.

Tabel 2.2 Klasifikasi skala intensitas tsunami


Skala Intensitas Tsunami Tinggi Run up (m) Kedalaman Banjir (m)

Besar ≥8 ≥4
Sedang 4–8 1.5 – 4
Kecil ≤4 ≤ 1.5
Sumber: Tokida dan Tanimoto, 2014.

Skala intensitas tsunami disusun berdasarkan tinggi run up yang terjadi ketika
gelombang tsunami tiba di pantai. Gelombang tsunami pada titik tertentu akan
mengalami penurunan tinggi run up sampai mencapai elevasi kedalaman banjir
yang merupakan setengah dari tinggi run up di pantai.
Tsunami merupakan gelombang yang dibangkitkan akibat adanya desakan
pada massa air dengan jumlah yang besar. Peristiwa terdesaknya massa air dalam
jumlah besar dapat disebabkan oleh berbagai proses yang ada di alam. Berikut ini
merupakan beberapa proses di alam yang dapat menyebabkan tsunami
1. Aktivitas Lempeng Tektonik
Dari beberapa faktor yang dapat membangkitkan gelombang tsunami, adanya
aktivitas lempeng tektonik merupakan faktor dominan terbangkitnya gelombang
tsunami. Pergerakan relatif antar lempeng-lempeng tektonik tersebut terjadi di
batas-batas lempeng, baik secara divergen (bergerak menjauh), konvergen
(bergerak mendekat/bertumbukan), maupun transform (bergerak menyamping).
Pergerakan yang terjadi memberikan energi potensial terhadap air sehingga timbul
12

gelombang tsunami yang dapat merusak daratan yang dilewatinya (Triatmadja,


2010:24).
2. Longsoran
Tsunami akibat longsoran diakibatkan oleh pergerakan massa tanah secara
cepat yang masuk kedalam laut sehingga menyebabkan berpindahnya massa air laut
(Triatmadja, 2010:26). Perpindahan dari massa air laut tersebut menimbulkan aliran
energi yang sangat besar yang kemudian menjalar ke perairan sekitarnya (Indriyani,
2012:13).
3. Letusan Gunung Berapi
Letusan gunung berapi di laut dapat membangkitkan gelombang tsunami yaitu
dengan membuat gangguan impulsif yang dapat mendesak massa air laut dan juga
membentuk gelombang Tsunami. Adanya material yang dimuntahkan gunung yang
kemudian jatuh ke laut juga berkontribusi menimbulkan tsunami (Indriyani,
2012:13).
4. Meteor Atau Benda Langit lainnya
Meteor atau benda langit lainnya merupakan salah satu pemicu bangkitnya
gelombang tsunami. Pembangkitan tsunami oleh tumbukan benda langit terbilang
jarang sekali terjadi karena efektifitas pembangkitan tsunami akibat tumbukan
benda langit sangat tergantung pada ukuran benda langit yang jatuh (Indriyani,
2012:14).

2.7 Pemodelan Tsunami

Annunziato dan Best (2005) dalam Indriyani (2012:5) menggunakan model


tiga dimensi dalam menjelaskan kejadian tsunami. Model ini dapat digunakan untuk
memperkirakan waktu kedatangan tsunami sejak terjadinya gempa dengan
mengetahui peta batimetri suatu daerah. Sedangkan Lipa dkk (2006) dalam
Indriyani (2012:5) juga membuat program untuk mendeteksi tsunami sebelum
mencapai daerah pantai. Program ini bekerja dengan menyelesaikan persamaan
13

gerakan dan kontinuitas aliran air laut menggunakan model dapat disimulasikan
kejadian tsunami.
Pemodelan tsunami juga dapa dilakukan dengan cara pemodelan fisik di
laboratorium. Pemodelan cara ini umumnya tidak mencakup lokasi pembangkitan
hingga kedaratan dikarenakan simulasi menjadi sangat besar dan tidak efisien.
Simulasi pembangkitan tsunami di laboratorium dapat dilakukan dengan metode
berikut:
1. Pembangkitan dengan dislokasi dasar pantai;
2. Pembangkitan dengan metode longsoran;
3. Pembangkitan dengan memasukkan tambahan massa air kedalam sistem baik
dengan pompa maupun dari reservoir di luar sistem;
4. Pembangkitan dengan piston; dan
5. Pembangkitan dengan metode dam break.

2.8 Kesebangunan

Kesebangunan merupakan kesamaan atau kesesuaian sifat fisik antara dua atau
lebih benda yang berbeda ukuran namun memiliki perbandingan yang sama pada
setiap sudut maupun sisinya.Kesebangunan antara suatu model dengan prototip
(ukuran asli di lapangan) diperlukan dalam pengujian fisik agar hasil yang diperoleh
dalam pengujian dapat ditransformasikan untuk ukuran sebenarnya (Triadmadja,
2010:113). Macam-macam kesebangunan dalam pembuatan model sebagai berikut:
1. Kesebangunan geometrik.
Kesebangun geometrik terkait dengan skala dimensi panjang antara model dan
prototip, yang dirumuskan dalam Persamaan 2.1.

… … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … . 2.1

Dimana :
= Skala panjang;
= Panjang di prototip (m)
14

= Panjang di model (m)


Pada model fisik tsunami, kesebangunan geometrik harus dipenuhi. Pada
model fisik tsunami, parameter kekasaran diusahakan menyesuaikan dengan
kekasaran prototipnya walaupun sangant sulit mendekati sempurna (Triadmadja,
2010:114).
2. Kesebangunan kinematik.
Skala kecepatan antara model dan prototip, dirumuskan seperti Persamaan 2.2
berikut.

… … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … . 2.2
Dimana :
= Skala kecepatan;
= Panjang di prototip (m);
= Panjang di model (m)

Kesebangunan merupakan syarat kedua yang harus dipenuhi untuk terjadinya


kesebangunan antara model dan prototip. Kesebangunan kinematik terjadi jika
kecepatan dan percepatan di semua titik model sebanding dengan kecepatan di titik
yang bersangkutan di prototip dengan besaran yang berbeda skala (Triatmadja,
2010:116).
3. Kesebangunan dinamik.
Pada tsunami, gaya gravitasi pada fluida lebih dominan daripada gaya-gaya
yang lain, sehingga perbandingan gaya inersia dengan gaya gravitasi harus sama.

1 … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … 2.3

Dimana :
= Skala gaya

Pada kesebangunan dinamik rapat massa fluida sangat berpengaruh dalam


penskalaan. Kesebangunan dinamik hanya bisa dipenuhi jika kesebangunan
geometrik dan kesebangunan kinematik dipenuhi oleh model dan prototip.
15

2.9 Variabel Waktu

Untuk menghitung periode gelombang tsunami yang terjadi pada model, maka
diasumsikan periode gelombang yang terjadi sama dengan dua kali waktu yang
dibutuhkan untuk mengosongkan tangki air pada model sistem dam break.
Persamaan 2.4 digunakan dalam menghitung waktu pengosongan tangki:

2
… … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … 2.4
2
Dimana:
t = Waktu pengosongan tangki (s);
A = Luas penampang tangki (m2);
H = Tinggi tangki (m);
Cd = Koefisien debit;
a = Luas lubang (m2);
g = Gaya gravitasi (m/s2)
Waktu yang dibutuhkan untuk mengosongkan tangki dipengaruhi oleh
Koefisien debit dari pintu air di tangki. Pada tangki yang memiliki lubang dengan
ukuran lebar maka koefisien debit (Cd) sama dengan 1,0.
Untuk menghitung waktu kejadian sebenarnya tsunami berdasarkan waktu
kejadian pada model dapat digunakan persamaan berikut ini :

… … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … . . 2.5

… … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … 2.6

… … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … . . 2.7

Dimana:
TP = Periode gelombang pada prototip (s);

Tm = Periode gelombang pada model (s);


Lp = Panjang pantai pada prototip (m);
16

Lm = Panjang pantai pada model (m);


Hp = Tinggi gelombang pada prototip (m);
Hm = Tinggi gelombang pada model (m)

Perhitungan periode gelombang pada prototip menggunakan prinsip


kesebangunan kinematik dimana pada titik yang sama kecepatan aliran pada model
sama dengan kecepatan aliran pada prototip.

2.10 Run up Tsunami

Dalam memperkirakan run up tsunami, Murata dkk (2009) dalam Triatmadja


(2010:100) mengusulkan Persamaan 2.8 untuk menghitung run up tsunami di
daratan sebagai fungsi tinggi tsunami, lebar pantai dan panjang tsunami.

1; 1,25 5,710 … … … … … … … … … … … … … … … … … . . 2.8


Dimana :
R = Tinggi run up tsunami di daratan (m);
H, I,Pada
L =Persamaan 2.8 koefisien
Tinggi tsunami yang ddigunakan
pada kedalaman adalahdengan
dan lebar pantai harga slope
maksimum
(koefisien=1,25).
homogenTinggi
(m) run up minimum terjadi apabila tinggi tsunami terjadi
pada saat I/L=0.023.
Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan, run up tsunami mampu
menenggelamkan daerah yang relatif tinggi maupun jauh dari pantai dengan
pengaruh dari berbagai faktor. Perhitungan perkiraan tinggi run up perlu dilakukan
secara serius karena merupakan bagian dari daya rusak tsunami (Radianta,
2010:101).

2.11 Kecepatan Tsunami

Chanson (2006) mengatakan bahwa kecepatan tsunami di daratan dapat


didekati salah satunya dengan persamaan 2.9.
… … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … 2.9
17

Dimana :
h0 = Tinggi puncak gelombang dari muka air rerata (m)
Dari berbagai penelitian yang dilakukan, nilai k1 berkisar antara 1 hingga lebih
dari 3. Lukkunaprasit 2009 dalam Triatmadja (2010:90) memperoleh k1 sekitar 2,3
hingga 3,0. Triatmadja (2010:90) menunjukkan bahwa nilai k1 di pantai horizontal
sekitar 2,3.
Kecepatan surge eksperimen adalah kecepatan gelombang yang didapatkan
pada saat pelaksanaan eksperimen di laboratorium. Kecepatan surge eksperimen
dapat diperoleh dari pembacaan tinggi gelombang yang dilakukan oleh sensor
tinggi gelombang (sensor wave gauge). Kecepatan gelombang diperoleh dengan
merata-ratakan kecepatan antar dua sensor tinggi gelombang seperti pada
Persamaan 2.10:

… … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … . 2.10
1
Dimana :
U = Kecepatan surge eksperimen (m/s);
= Jarak antara 2 sensor (m);
= Waktu perambatan gelombang antara 2 sensor (s);
n = jumlah sensor
Kecepatan surge eksperimen dihitung menggunakan data tinggi gelombang
dan jarak antar sensor. Dalam hal ini diperlukan alat perekam tinggi muka air dan
program untuk merekamnya (Indriyani, 2012:15).

2.12 Penelitian Terdahulu

Permodelan fisik tsunami merupakan topik penelitian yang telah diteliti dan
dibahas oleh beberapa peneliti terdahulu. Penelitan model fisik tsunami yang
dilakukan berfokus pada tinggi dan gaya tsunami baik yang menggunakan
pembangkitan metode dam break maupun metode pembangkitan lainnya.
18

Permodelan fisik tsunami umumnya memodelkan proses pembangkitan dan


penjalaran tsunami baik tsunami berbentuk gelombang bore maupun tsunami
berbentuk gelombang solitaire. Dari penelitian yang telah dilakukan dapat
diketahui karakteristik tsunami serta efeknya ketika tiba di daratan. Penelitian yang
pernah dilakukan terkait dengan permodelan fisik tsunami terdapat pada tabel 2.5.

Tabel 2.3 Penelitian Terdahulu yang Terkait


No Peneliti Judul
1 Nurhasanah A., Gaya Gelombang Tsunami Pada Bangunan
Triatmadja R., dan Berpenghalang
Nizam (2010)
2 Oshnack M.E., Aguiniga Effectiveness of Small Onshore Seawall in
F., Cox.D, Gupta R., dan Reducing Forces Induced by Tsunami Bore:
Lindt J.V.D.(2009) Large Scale Experimental Study
3 Triatmadja R., Run up Tsunami Pada Pantai Dengan Tembok
Mujibulrachman (2006) Penghalang
4 Tokida K.,dan Tanimoto Lesson For Countermeasures Using Earth
R. (2014) Structures Against Tsunami Obtained In 2011
Off The Pacific Coast Of Tohoku Earthquake.

Nurhasannah dkk (2010) melakukkan penelitian mengenai pengaruh gaya


gelombang tsunami terhadap bangunan yang berpenghalang. Penelitian ini
menggunakan pembangkit gelombang tsunami berbasis dam break. Model
bangunan yang digunakan berbentuk kotak dan solid tanpa lubang, sedangkan
bentuk penghalang berupa penghalang dengan penampang berbentuk bujursangkar
(sudut 0o dan 45o), lingkaran, elips, dan setengah elips. Model bangunan diletakkan
di tengah saluran dan penghalang dipasang pada jarak 20 cm dari model bangunan.
Pengukuran gaya gelombang tsunami menggunakan strain gauge, sedangkan
pengukuran tinggi gelombang tsunami menggunakan wave probe. Hasil penelitian
ini menunjukkan adanya pengaruh bentuk bangunan penghalang terhadap gaya
gelombang tsunami. Reduksi gaya gelombang besar pada model penghalang
berpenampang bujursangkar yaitu sebesar 55,25% - 62,40% dan reduksi gaya
gelombang terkecil pada model berpenghalang dengan penampang elips yaitu
sebesar 12,72%-15,96%. Nilai Cf bangunan berpenghalang yang mendekati Cf*
19

(tanpa penghalang) adalah bangunan berpenghalang berpenampang elips (1.1x Cf*)


dan yang tertinggi adalah bangunan berpenghalang berpenampang bujursangkar
45o(2.4x Cf*).
Oshnack, M. E dkk (2009) melakukan penelitian mengenai keefektifan tembok
laut ukuran kecil dalam mereduksi gelombang bore tsunami. Gelombang tsunami
dibangkitkan dalam saluran pembangkit gelombang berukuran panjang 104 meter,
lebar 3,66 meter, dan kedalaman 4,57 meter. Pembangkitan gelombang
menggunakan piston dengan kecepatan maksimum 4 m/s. Dasar saluran
pembangkit gelombang terdiri dari beberapa bagian, yaitu bagian dengan dasar rata
sepanjang 29 meter, bagian impermeabel dengan kemiringan dasar 1:12 sepanjang
26 meter, dan bagian dengan dasar horizontal pada elevasi 2,36 meter dari dasar
asli saluran. Gaya gelombang diukur pada dinding vertikal dari aluminum yang
ditempatkan di belakang model tembok laut. Dari penelitan tersebut didapat bahwa
terjadi reduksi gaya gelombang tsunami berkisar 23%-84% untuk tinggi gelombang
yang meningkat sampai 4 kali tinggi dari sea wall.
Triadmadja dan Mujibulrachman pada 2006. Penelitian tersebut ketinggian run
up tsunami yang melalui rintangan atau penghalang berupa tembok dengan variasi
porositas. Dari penelitan tersebut didapat bahwa tembok penghalang mempunyai
pengaruh terhadap run up walaupun tidak efektif (Triatmadja, 2009:382-388).
Tokida dan Tanimoto melakukan penelitian mengenai penggunaan struktur
tanah pada upaya mitigasi pada tsunami setelah gempa bumi Tohoku pada tahun
2011. Penelitian ini dilakukan pada struktur tanah berupa tanggul sungai dan
tanggul jalan di 13 lokasi yang tersebar di Perfektur Miyagi, Perfektur Chiba, dan
Perfektur Ibaraki. Penelitian yang dilakukan berupa survey lapangan yang
didukung oleh data lainnya seperti foto satelit yang diambil sebelum dan sesudah
terjadinya tsunami. Hasil survey menunjukkan terdapat 10 dug pool yang terbentuk
pada sisi dalam dari sea wall. Dug pool yang terbentuk selanjutnya diuji
kemamampuannya dalam mitigasi tsunami sehingga dapat menjadi konstruksi yang
dapat diandalkan pada masa depan. Dari penelitian yang dilakuakan didapatkan
bahwa dug pool ataupun struktur lainnya yang sejenis seperti kanal yang terletak
pada bagian dalam struktur tanah, efektif dalam upaya melawan banjir gelombang
20

tsunami. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa struktur tanah yang ditutupi oleh
material lainnya seperti tanah, aspal, rumput, ataupun pepohonan akan sulit di gerus
oleh banjir tsunami melainkan hanya tergerus pada lapisan atasnya saja.
BAB III
METODE PENELITIAN

Model fisik pantai yang dibangun yaitu berdasarkan profil muka Pantai Ulee
Lheue. Profil muka pantai tidak diambil pada sepanjang garis pantai namun hanya
diambil satu potongan profil yang dapat mewakili profil muka pantai secara
keseluruhan. Profil tersebut ditandai dengan garis berwarna kuning seperti tampak
pada Gambar 3.1 Profil muka pantai yang ada juga dapat menggambarkan letak
dinding laut (sea wall) serta bentuk topografi dari daerah yang ada di belakang
dinding laut.

Banda Aceh

Gambar 3.1 Peta Lokasi Pantai Ulee Lheue (Google Earth)

Lokasi Pantai Ulee Lheue berada di Gampong Ulee Lheue Kecamatan


Meuraxa Kota Banda Aceh. Lokasi pantai berdekatan dengan Pelabuhan
Penyeberangan Ulee Lheue yang juga berada di kecamatan yang sama.

21
22

Pemodelan fisik akan dilakukan di Laboratorium Hidraulika Jurusan Teknik


Sipil Universitas Syiah Kuala. Tsunami dimodelkan dengan metode pembangkitan
model dam break dengan kondisi surge saat mencapai pantai menyerupai tsunami
di alam. Saluran yang digunakan untuk simulasi tsunami memiliki ukuran 12 x 1,0
x 0,5 meter. Model fisik profil pantai yang ada nantinya akan diletakkan dalam
saluran (wave flume).

3.1 Tahapan Pelaksanaan Penelitian.

Penelitian ini dilaksanakan dengan tahapan-tahapan:


1. Pengukuran penampang melintang profil muka pantai
Pengukuran penampang melintang berfungsi untuk mengetahui elevasi
dari profil pantai yang akan dibangun modelnya.
2. Setting percobaan
Berupa penentuan sistem simulasi, pembuatan model pantai dan peralatan
pendukungnya, serta penentuan skenario percobaan .
3. Melaksanakan Percobaan
Pelaksanaan kegiatan percobaan berupa kegiatan persiapan dan kalibrasi
alat, serta kegiatan running gelombang. Kegiatan running gelombang
direncanakan menggunakan tiga bentuk profil pantai dengan perlakuan
yang berbeda serta dengan empat jenis bukaan pintu dam break yang
berbeda juga.
4. Analisis data
Analisis data dalam penelitian ini berupa analisa data dari alat ukur
ketinggian gelombang (wave gauge) serta data hasil rekaman simulasi
gelombang. Analisa data menggunakan perangkat lunak pengolah angka
(Spreadsheet) serta perangkat lunak analisa gambar yaitu Tracker.

Bagan alir dari tahapan penelitian dapat dilihat pada lampiran I, Gambar A.1
23

3.2 Pengukuran Penampang Melintang Profil Muka Pantai

Pelaksanaan pengukuran penampang melintang profil muka pantai dilakukan


setelah penentuan koordinat daerah yang akan diukur. Penentuan koordinat lokasi
dapat dilakukan dengan menggunakan alat GPS. Pekerjaan pengukuran
penampang melintang dimulai dengan memilih titik yang dapat mewakili elevasi
profil. Lalu dibaca benang atas, benang tengah, benang bawah dengan Persamaan
3.1
BA  BB
BT = ............................................................................................3.1
2
Dimana :
BT = Benang Tengah (cm)
BA = Benang Atas (cm)
BB = Benang Bawah (cm)
Setelah pembacaan benang, sudut horizontal yang dibentuk harus nol.
Waterpass diputar kearah daerah crossing dan dibaca sudut yang terbentuk dengan
pantulan teropong berkisar pada derajat yang genap, dengan menit serta detiknya
pada nol. Gambar di bawah ini memperlihatkan proses pengukuran penampang
melintang.

pantai Sea Wall Dug Pool Sungai


Rambu
jalan
Ukur Rambu Rambu Rambu Rambu
Rambu Ukur Ukur
Rambu Ukur Ukur
Ukur
Ukur Waterpass

Gambar 3.2 Sketsa Pengukuran penampang melintang

Gambar 3.2 memperlihatkan sketsa perletakan rambu ukur pada potongan


profil yang akan diukur. Waterpass diletakkan maksimal 100 meter dari rambu
ukur untuk memudahkan pembacaan rambu ukur. Waterpass tidak boleh berubah
24

lagi kedudukan sudutnya. Pekerjaan diulangi dengan hanya memindahkan bak pada
titik yang lain.

3.3 Setting Percobaan

Setting Percobaan merupakan tahapan perancangan setiap aspek yang


berhubungan dengan percobaan. Setting percobaan dilakukan sebelum pelaksanaan
percobaan. Setting yang dilakukan terdiri dari, penentuan batas penelitian,
penentuan sistem simulasi, persiapan alat, desain model dam break, dan penentuan
skenario percobaan.

3.3.1. Batasan Penelitian

Batasan penelitian digunakan untuk menyederhanakan penelitian dan


memfokuskan pada hal yang ingin dicapai. Adapun batasan penelitian yang
digunakan sebagai berikut :
1. Skala horizontal = 1:20
2. Skala vertikal = 1:20
3. Ukuran dinding laut = hasil pengukuran
4. Panjang pantai/laut dangkal = hasil pengukuran
5. Kedalaman pantai/laut dangkal = hasil pengukuran
6. Kemiringan slope pantai = datar
7. Laut dalam dianggap datar.
8. Tidak diperhitungkan pengaruh sedimen (non moveable bed).
9. Fluida yang digunakan adalah air tawar.
10. Tidak diperhitungkan kestabilan dari sea wall.
11. Kecepatan riil tsunami untuk pembanding tidak diukur.
12. Kecepatan yang diukur hanyalah kecepatan pada permukaan gelombang
tsunami.
25

3.3.2. Penentuan Sistem Simulasi

Penentuan sistem simulasi yaitu penentuan variabel yang menjadi pembatas


dalam pelaksanaan percobaan. Variabel yang ditentukan berupa tinggi gelombang
(h) dan waktu (t). Variabel tinggi gelombang yang ditentukan merupakan tinggi
gelombang awal ketika gelombang dibangkitkan. Tinggi gelombang ditentukan
berdasarkan tinggi bukaan pintu air.
Variabel waktu (t) pada simulasi merupakan lama waktu terjadinya gelombang
pada model. Waktu terjadinya gelombang sama dengan waktu terkurasnya air pada
kolam penampungan sampai habis. Waktu gelombang dari percobaan di hubungkan
dengan tinggi gelombang.

3.3.3. Persiapan Peralatan

Persiapan peralatan dilakukan setelah dilakukan penentuan sistem simulasi


penelitian ini. Peralatan yang akan digunakan secara garis besar terdiri dari
peralatan pengukuran tinggi gelombang dan peralatan sirkulasi air untuk
pembangkitan gelombang. Berikut ini ialah daftar peralatan yang digunakan dalam
penelitian ini:
1. Capacity type wave high meter main body kenek ch-604, yang berfungsi sebagai
alat penerima sinyal dari sensor wave gauge dan meneruskannya ke alat pencatat
data tinggi gelombang(lampiran A.4).
2. Sensor wave gauge capacity type kenek cht6-30, yang berfungsi untuk mengukur
tinggi gelombang pada kolam gelombang(lampiran A.5).
3. Lab Jack U3- HV, yang berfungsi merubah sinyal analog hasil keluaran dari alat
Capacity type wave high meter main body menjadi sinyal digital dan
mentransfernya ke alat pencatat data tinggi gelombang digital(lampiran A.6).
4. Video recorder, yang berfungsi sebagai merekam simulasi gelombang
tsunami(lampiran A.7).
26

5. PC (Personal Computer), sebagai alat pencatat data tinggi gelombang (lampiran


A4) (lampiran A.8).
6. Pompa air jenis jet pump sebanyak dua unit, yang berfungsi untuk mensuplai air
dari tendon penyimpanan air ke flume (lampiran A.9).
7. Pompa hisap merek wasser sebanyak satu unit, yang berfungsi untuk menguras
air dari kolam gelombang setelah percobaan dilakukan (lampiran A.10).
8. Tandon air kapasitas 2000 liter sebanyak 2 unit, yang berfungsi sebagai tempat
penyimpanan air ketika penelitian sedang tidak dilaksanakan (lampiran A.11).
Setiap alat yang digunakan dalam penelitian ini telah dicek kelayakan fungsi
baik berupa kalibrasi untuk peralatan pencatatan tinggi gelombang maupun
pengecekan kondisi kelayakan alat secara umum untuk peralatan lainnya. Untuk
kalibrasi alat ukur akan dibahas secara khusus pada sub bab kalibrasi alat ukur.

3.3.4. Desain Model Dam Break

Konfigurasi persiapan model di laboratorium berupa pembuatan model menara


air dengan pintu air untuk sistem dam break di flume (Saluran air), pembuatan
model pantai, dan pembuatan model dinding laut. Kolam penampungan air yang
dibuat mempunyai empat bukaan pintu yang menggunakan sistem quick release
(bukaan cepat). Volume air yang mampu ditampung direncanakan sebanyak ± 1,25
m3. Alat yang digunakan sebagai tempat penelitian ini adalah Wave flume dimana
alat ini berupa saluran dengan lebar 0,5 m, tinggi 1,0 m dan panjang 12 m. Untuk
lebih jelas dapat dilihat pada gambar 3.3.

Batas bukaan
pintu Batas bukaan pintu

pintu dam
Wave Gauge Wave Gauge Wave Gauge
pintu dam g1 g2 g3

Arah Gelombang saluran


1 1
pembuangan

2,5 m 3.14 1,18 1,70 0,39 1,80


12 m

Gambar 3.3 Sketsa rencana model fisik


27

Alat penelitian yang ada dibangun dan diskalakan berdasarkan prototip


sebenarnya di lapangan. Metode kesebangunan yang digunakan pada model yaitu
kesebangunan geometri.

Model profil pantai yang dibuat berdasarkan profil eksisting pada lapangan
dengan modifikasi pada dug pool. Model pantai yang dibuat sebanyak tiga buah
variasi model. Gambar 3.4 memperlihatkan sketsa profil pantai eksisting serta
sketsa profil pantai modifikasi yang dibuat.

Profil Eksisting jalan

p a n tai S ea W a ll D u g P oo l

Profil A
jalan
D u g P oo l
p a n tai S ea W a ll

Profil B
D u g P oo l
jalan
p a n tai S ea W a ll

Profil C D u g P o ol

jalan

p a n tai S ea W a ll

Gambar 3.4 Model profil pantai

Model pantai yang dibangun dengan tiga bentuk profil modifikasi yaitu profil
A, profil B dan profil C. Pada profil A pantai mengalami modifikasi berupa
28

reklamasi pada dug pool. Pada profil B pantai mengalami modifikasi berupa
penanaman pohon pada dug pool. Profil C merupakan gabungan modifikasi pada
profil A dengan profil B.
Model sea wall dan jalan yang digunakan pada setiap variasi model pantai
dibuat seotentik mungkin dengan prototype yang ada sekarang. Model sea wall dan
jalan yang dibangun menggunakan material kayu sebagai rangka penahan dan
triplek sebagai permukaan sea wall gambar 3.5 menggambarkan bentuk dari model
sea wall dan jalan yang akan dibangun.

Gambar 3.5 Model Sea wall dan jalan

Model sea wall dan jalan yang dibuat berukuran 1:20 dari ukuran prototip
sebenarnya. Ukuran prototip yang ada diperoleh dari hasil pengukuran lapangan
pada penampang melintang yang telah dipilih.
Model profil pantai yang mengalami modifikasi penanaman pohon dengan
ataupun tanpa reklamasi, menggunakan model pohon buatan dengan skala yang
sama dengan skala profil pantai. Spesies tumbuhan yang digunakan untuk model
pohon yaitu tumbuhan cemara laut (Casuarina equisetifolia) yang berumur ± 10
tahun. Model pohon yang ada diletakkan per 10 cm pada sepanjang kolam dug pool.
29

Gambar 3.5 menggambarkan struktur dari model pohon yang digunakan pada
model profil pantai.

42,0
cm
42 cm

Penampang Melintang Batang

1,0 cm
1 cm

1,0
cm
1 cm

18,0
18 cm

cm

Gambar 3.6 Spesifikasi model pohon buatan

Model pohon yang digunakan memiliki tinggi batang keseluruhan 60 cm


dengan konfigurasi, bagian batang yang tidak memiliki dahan setinggi 18 cm dan
42 cm sisanya ditumbuhi dahan. Diameter batang dari model pohon yang digunakan
yaitu 1 cm. bahan yang digunakan untuk membuat model pohon yaitu batang lidi
disatukan dan lalu direkatkan kawat yang berfungsi sebagai tiruan dari dahan
pohon.
Jarak penempatan model pohon satu dengan model pohon lainnya pada dug
pool yaitu 10 cm. gelombang yang dihasilkan oleh wave generator sistem dam
break dikategorikan sangat kuat sehingga dapat menghempas model pohon pada
30

dug pool. Upaya pencegahan agar model pohon tidak terhempas yaitu dengan
memasukkan Pangkal batang dari model pohon ke dalam pipa setinggi 5 cm yang
ditanam ke plat beton yang berfungsi sebagai tanah. Gambar 3.6 memperlihatkan
sketsa penempatan model pohon pada dug pool.

170
170.0000cm

50
50.0000
cm

10.0000

10.0000

Tampak atas

31,27
31.2790
cm

3.92
39.272cm
6 170
170.00cm
00 118.26
118.2642 cm

Tampak samping

Gambar 3.7 Sketsa penempatan model pohon pada dug pool

Gambar 3.6 memperlihatkan tampak atas dan tampak samping dari sketsa
penempatan model pohon pada dug pool. Jumlah model pohon yang diletakkan
pada dug pool yaitu sebanyak 80 unit.
31

3.3.5. Skenario Percobaan

Skenario utama percobaan yang digunakan merupakan perkalian antara


skenario tinggi gelombang dan skenario waktu gelombang (konstan). Setiap
skenario percobaan menggunakan tiga profil pantai dengan perlakuan yang berbeda
sehingga total skenario percobaan menajadi 12 skenario. Tabel 3.1 memperlihatkan
konfigurasi skenario dari percobaan yang dilakukan.

Tabel 3.1 Konfigurasi skenario


Periode pada Profil Periode pada Profil Periode pada Profil
A (P1T) B (P2t) C (P3t)

H1 H1:P1T H1:P2T H1:P3T

H2 H2:P1T H2:P2T H2:P3T

H3 H3:P1T H3:P2T H3:P3T

H4 H4:P1T H4:P2T H4:P3T

Tabel di atas memperlihatkan jumlah konfigurasi skenario yang dilakukan


sebanyak 12 skenario. Setiap skenario percobaan yang ada menghasilkan data yang
memiliki karakteristik yang berbeda-beda.

3.4 Pelaksanakan Percobaan

Pelaksanaan percobaan merupakan tahapan utama dalam penelitian ini selain


analisis data. Pelaksanaan percobaan terdiri dari dua bagian yaitu kalibrasi alat ukur
tinggi gelombang dan simulasi model gelombang.
32

3.4.1 Kalibrasi Alat Ukur tinggi gelombang

Sensor wave gauge pada alat pengukur ketinggian gelombang hanya membaca
besaran voltase yang terbangkit ketika air menyentuh sensor. Ketinggian
gelombang dalam dimensi tinggi dapat diperoleh setelah dilakukan kalibrasi antara
besaran voltase yang terbangkit dengan tinggi air yang menyentuh sensor. Gambar
3.7 memperlihatkan sketsa sensor wave gauge.

kapasitor Lubang Output

Besi Penyangga Sensor


sensor

Gambar 3.8 sketsa sensor wave gauge

Sensor wave gauge terdiri dari lima bagian utama yaitu kapasitor, besi
penyangga sensor, sensor, dan lubang output. Gelombang air atau fluida yang
bergerak melewati sensor bergerak secara vertikal sehingga diperoleh perbedaan
voltase. Setelah sensor mendeteksi voltase dari gelombang yang bergerak secara
vertika, lalu sinyal dari tegangan voltase tersebut dibawa ke kapasitor untuk
selanjutnya disalurkan ke capacity type wave high meter main body melalui kabel
output.
Kalibrasi alat sensor wave gauge dilakukan melalui beberapa tahapan. Berikut
ini adalah urutan dari kalibrasi alat :
1. ketiga sensor wave gauge yang ada dihubungkan ke capacity type wave high
meter main body menggunakan kabel penghubung.
33

2. Capacity type wave high meter main body diposisikan dalam kondisi menyala
dengan menggeser saklar yang ada pada alat ke posisi on
3. Tombol gulir yang ada pada Capacity type wave high meter main body
diposisikan dalam kondisi meassurment dengan besaran bacaan voltase pada
nilai 0.
4. Kabel dari konektor output pada Capacity type wave high meter main body
dihubungkan ke alat perubah sinyal analog ke digital Lab Jack U3- HV.
5. Alat Lab Jack U3- HV dihubungkan ke PC yang telah terinstal driver serta
perangkat lunak pencatat voltase.
6. Buka perangkat lunak LJStreamUD. Atur jumlah channel yang dibaca pada
posisi tiga alat.
7. Ubah data file prefix sesuai dengan deskripsi kalibrasi. Agar file hasil bacaan
mudah ditemukanm, maka direktori pada PC dapat dirubah dengan mengklik
tombol change working directory.
8. Sebelum memulai proses ketahapan selanjutnya, dilakukan pengesetan ulang
jarum bacaan voltase pada Capacity type wave high meter main body dengan
cara menekan tombol zero pada alat tersebut.
9. Proses kalibrasi selanjutnya yaitu mengisi air mulai dari level ketinggian
terendah yang mampu dideteksi oleh sensor wave gauge yaitu 1 cm.
10. Sensor wave gauge dicelupkan kedalam air yang telah diisi dengan ketinggian
1 cm.
11. Mulai proses pembacaan voltase pada ketinggian 1 cm dengan menekan
tombol start stream pada perangkat lunak LJStreamUD di PC. Pada posisi
iterasi ke l0 proses pembacaan data dihentikan dengan menekan tombol stop
stream.
12. Hasil pencatatan data dari perangkat lunak LJStreamUD kemudian dirata-
ratakan sehingga diperoleh perbandingan jumlah voltase yang dihasilkan
ketika air mengenai sensor pada ketinggian 1 cm.
Proses kalibrasi terus dilakukan secara berulang per ketinggian 1 cm hingga
mencapai batas ketinggian yang mampu dideteksi oleh sensor wave gauge yaitu
pada ketinggian 33 cm. setelah diperoleh perbandingan voltase yang dihasilkan
34

pada setiap level ketinggian, lalu hasil tersebut diplot kedalam grafik sehingga
dapat dibuat rumus regresinya untuk setiap sensor wave gauge.

3.4.2 Simulasi Model Gelombang

Simulasi yang dilakukan adalah membangkitkan gelombang tsunami dengan


metode pembangkitan sistem dam break. Percobaan ini dilakukan sebanyak 12 kali.
Percobaan dilakukan dengan empat jenis bukaan pintu sistem quick release dan tiga
variasi modifikasi model profil pantai yang berbeda. Tahapan dari simulasi model
gelombang diuraikan sebagai berikut:
1. Persiapan dan pengecekan alat rekam video gelombang dan alat pengukur
tinggi gelombang.
2. pengisian air pada kolam penampungan model tsunami sampai penuh.
3. mulai perekaman video serta pencatatan data tinggi gelombang di PC.
4. Pintu Dam dibuka secara cepat dengan bukaan pintu sesuai dengan variabel
tinggi yang ditentukan.
5. Simulasi gelombang berjalan sampai selesai.
6. Perekaman video dan pencatatan data tinggi gelombang di PC di akhiri.
7. Air pada flume dikuras dan disalurkan kembali ke tandon air.
8. Selesai
Percobaan direkam dengan alat perekam gambar bergerak dan kamera digital
yang diletakkan pada bagian wave flume untuk merekam bagian tertentu yang
diamati, yaitu pada bagian gelombang bangkit, pintu kolam penampungan air dan
pada dug pool. Untuk mengetahui ketinggian run up ketika tiba pantai digunakan
sensor tinggi gelombang (wave gauge).

3.3 Analisis Data

Analisa data dilakukan pada data hasil pencatatan alat sensor tinggi gelombang
dan data dari alat rekam gambar bergerak. Analisa data hasil pencatatan alat sensor
35

gelombang dapat menggunakan perangkat lunak pengolah angka (Spreadsheet).


Analisa gambar bergerak dianalisis dengan perangkat lunak Tracker sehingga dapat
diketahui periode gelombang serta kecepatan gelombang.
Analisis data yang dilakukan untuk mendapatkan grafik perbandingan tinggi
gelombang tsunami dengan waktu tibanya pada sensor wave gauge sebagai titik
acuan, serta grafik perbandingan jarak tempuh gelombang tsunami dengan
kecepatannya pada saat sebelum menabrak sea wall dan setelah menabrak sea wall.
Data ketinggian tsunami yang diperoleh masih dalam bentuk voltase sehingga data
dikonversi ke dimensi panjang dengan menggunakan persamaan regresi hasil
kalibrasi alat. Data tinggi gelombang yang sudah dikonversi kemudian dibandingan
waktu penjalaran gelombang, dengan waktu saat pintu dam dibuka sebagai titik
acuan. Data waktu yang sudah ada kemudian dibandingkan lagi dengan jarak
ditempuh oleh gelombang tsunami sebelum sea wall dengan bentang antara pintu
dengan sensor wave gauge satu, dan setelah sea wall dengan bentang antara sensor
wave gauge dua dengan titik paling ujung dari jalan. Perbandingan data jarak dan
waktu menghasilkan data kecepatan selanjutan data kecepatan tersebut
dibandingkan dengan data jaraknya sendiri sehingga didapat grafik perbandingan
kecepatan dan jarak.
Grafik hasil simulasi yang telah dibuat kemudian dikelompokkan berdasarkan
kofigurasi skenarionya untuk selanjutnya diplot kedalam satu plot area.
Pengeplotan data yang sama skenario kedalam satu plot area mempermudah analisa
perubahan nilai variabel tinggi gelombang,waktu, maupun kecepatan pada titik
acuan yang sama dari grafik yang ada.
Data hasil analisa masih merupakan data dalam skala model. Untuk
memperoleh perioda model maka digunakan persamaan 2.4 untuk mengitungnya.
Kecepatan diperoleh dengan membagi jarak penjalaran gelombang dengan waktu
yang ditempuhnya. Kecepatan dan perioda prototip diperoleh dengan menggunakan
persamaan 2.5. Dari data tinggi dan waktu yang diperoleh dari hasil analisis maka
dapat dibuat grafik perbandingan tinggi model dan waktu penjalarannya. Data
kecepatan dan waktu membentuk grafik perbandingan kecepatan akhir gelombang
terhadap waktu sampai gelombang pada titik tujuan.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab ini menyajikan hasil pengukuran, perhitungan, analisa dan,


pembahasan yang dikerjakan sesuai dengan tinjauan kepustakaan pada Bab II dan
metode penelitian pada Bab III. Hasil penelitian berupa data yang ditampilkan
dalam bentuk grafik, tabel dan gambar

4.1 Data rata-rata tinggi gelombang hasil pengukuran

Data yang didapat dari catatan pembacaan alat ukur ketinggian gelombang
merupakan data mentah berupa data voltase, sehingga harus dikonversi dan
dikoreksi menjadi data dalam dimensi tinggi. Pelaksanaan konversi dan koreksi
data menggunakan persamaan regresi hasil kalibrasi sensor wave gauge. Regresi
yang dihasilkan tiap alat berbeda sesuai dengan sensitifitas yang dimiliki. Hasil
grafik dan persamaan regresi dapat dilihat pada gambar 4.1.

Grafik hasil kalibrasi 
8.00
y = 0.1982x + 0.4013
7.00
6.00 y = 0.1633x ‐ 0.0944
Voltase (v)

5.00
y = 0.1682x ‐ 0.0746
4.00
3.00 wave gauge 1
2.00
wave gauge 2
1.00
0.00 wave gauge 3
0 5 10 15 20 25 30 35
Tinggi (cm)

Gambar 4.1. Grafik hubungan voltage dengan kedalaman sensor

Gambar 4.1 memperlihatkan grafik hasil kalibrasi serta nilai koreksi regresi dari
masing-masing sensor wave gauge yang digunakan. Grafik kalibrasi dan persamaan

36
37

regresi linear yang dihasilkan memiliki nilai yang berbeda-beda sesuai dengan
karakteristik sensitifitas masing masing alat. Persamaan regresi untuk setiap sensor
Wave Gauge adalah sebagai berikut:

y = 0,1633x - 0,0944 .......................................................................... 4.1


y = 0,1682x - 0,0746 .......................................................................... 4.2
y = 0,1982x + 0,4013 .......................................................................... 4.3

Persamaan 4.1 digunakan untuk Wave Gauge 1, persamaan 4.2 digunakan


untuk Wave Gauge 2 dan persamaan 4.3 untuk Wave Gauge 3. Nilai x diperoleh
dengang cara mensubtitusikan nilai hasil pencatatan voltase dari pembacaan wave
gauge capacity tipe main body disubtitusikan ke dalam variabel y sehingga
diperoleh nilai x atau tinggi gelombang dalam dimensi tinggi.
Data hasil pencatatan pada PC yang terhubung sensor Wave Gauge
dilakukan pada frekuensi 100 Hz, sehingga menghasilkan pembacaan 100 data
perdetik. Untuk mempermudah proses pengolahan data ketahapan selanjutnya, data
tersebut dirata-ratakan per 10 data untuk setiap detik setelah sebelumnya data telah
dikonversi kedalam dimensi tinggi.

4.2 Simulasi Fisik

Simulasi tsunami yang dilakukan sebanyak 12 kali dengan 4 variasi


pembukaan pintu (H1, H2, H3 dan H4) dan 3 variasi penampang melintang dug pool
(P1, P2 dan P3). Hasil dari simulasi ini berupa data waktu dan tinggi .

4.2.1 Percobaan 1 (Pembukaan Pintu 10 cm)

Percobaan 1 dilakukan dengan mengaitkan variabel H1 dengan ketiga variabel p,


dimana variabel H1 = 10 cm dengan P1 = reklamasi, P2 =reklamasi+pohon, dan P3
=reklamasi+dugpool. percobaan 1 menghasilkan grafik hubungan waktu dengan
38

ketinggian gelombang tsunami pada sensor gelombang. Grafik hubungan waktu


dengan ketinggian gelombang tsunami diperlihatkan pada Gambar 4.2.

Gambar 4.2. Grafik hubungan waktu dengan ketinggian tsunami pada


percobaan 10 cm

Dari Gambar 4.2. dapat dilihat bahwa bentuk modifikasi dug pool
mempengaruhi kecepatan gelombang. Gelombang tsunami yang terbentuk pada
model revetment dengan modifikasi pada dug pool berupa reklamasi kolam adalah
yang tercepat sampai kejalan dibandingkan dengan gelombang tsunami dengan
pada model revetment dengan modifikasi dug pool berupa reklamasi+pohon dan
modifikasi dug pool dengan penambahan pohon. Waktu yang dibutuhkan oleh
gelombang pada model dengan modifikasi reklamasi kolam untuk mencapai jalan
39

adalah 2,75 detik sedangkan pada model dengan modifikasi reklamasi


kolam+pohon adalah 3,57 detik dan pada model dengan modifikasi penambahan
pohon adalah 3,87 detik. Waktu tiba gelombang pada wave gauge 1 dan 2 dengan
skenario model yang berbeda namun lebar bukaan pintu yang sama secara umum
sama karena letak perletakan wave gauge 1 dan 2 tidak dipengaruhi oleh skenario.
Perletakan wave gauge 3 letaknya tidak jauh daerah wave gauge 2 sehingga
pengaruh dari skenario dari model yang ada sangatlah kecil.
Waktu yang dibutuhkan oleh gelombang pada model dengan modifikasi
reklamasi kolam untuk mencapai Wave Gauge 1 adalah 0,76 detik sedangkan pada
model dengan modifikasi reklamasi kolam+pohon adalah 0,76 detik dan pada
model dengan modifikasi penambahan pohon adalah 0,76 detik. Waktu yang
dibutuhkan oleh gelombang dengan modifikasi reklamasi kolam untuk mencapai
Wave Gauge 2 adalah 1,52 detik sedangkan dengan modifikasi reklamasi
kolam+pohon adalah 1,52 detik dan modifikasi dug pool dengan penambahan
pohon adalah 1,52 detik. Waktu yang dibutuhkan oleh gelombang dengan
modifikasi reklamasi kolam untuk mencapai Wave Gauge 3 adalah 1,98 detik
sedangkan dengan modifikasi reklamasi kolam+pohon adalah 2,06 detik dan
modifikasi dugpool dengan penambahan pohon adalah 2,10 detik. Data pembacaan
setiap Wave Gauge untuk percobaan 1 tercatat dalam tabel B.1 lampiran B. Setiap
data pembacaan Wave Gauge disubstitusikan kedalam persamaan regresi 4.1, 4.2
dan 4.3 untuk mengubah hasil bacaan tinggi voltase (Volt) menjadi kedalaman
sensor yang terkena gelombang (cm). Data pembacaan Wave Gauge yang
digunakan hanya selama 5 detik yaitu ketika awal pembukaan pintu sampai
gelombang mencapai model jalan dan air tampungan telah kosong.

4.2.2 Percobaan 2 (Pembukaan Pintu 20 cm)

Percobaan 2 dilakukan dengan mengaitkan variabel H2 dengan ketiga


variabel p, dimana variabel H2=20cm dengan P1=reklamasi, P2
=reklamasi+pohon, dan P3 = reklamasi+dugpool. Percobaan 2 menghasilkan
40

grafik hubungan waktu dengan ketinggian gelombang tsunami. Grafik hubungan


waktu dengan ketinggian gelombang tsunami diperlihatkan pada Gambar 4.3.

Gambar 4.3. Grafik hubungan waktu dengan ketinggian tsunami pada


percobaan 20 cm

Dari Gambar 4.3. dapat dilihat bahwa bentuk modifikasi dug pool
mempengaruhi kecepatan gelombang. Gelombang tsunami yang terbentuk pada
model revetment dengan modifikasi pada dug pool berupa reklamasi kolam adalah
yang tercepat mencapai jalan dibandingkan dengan gelombang tsunami dengan
41

pada model revetment dengan modifikasi dug pool berupa reklamasi+pohon dan
modifikasi dug pool dengan penambahan pohon. Waktu yang dibutuhkan oleh
gelombang pada model dengan modifikasi reklamasi kolam untuk mencapai jalan
adalah 2,16 detik sedangkan pada model dengan modifikasi reklamasi
kolam+pohon adalah 2,59 detik dan pada model dengan modifikasi penambahan
pohon adalah 2,69 detik. Waktu tiba gelombang pada wave gauge 1 dan 2 dengan
skenario model yang berbeda namun lebar bukaan pintu yang sama secara umum
sama karena letak perletakan wave gauge 1 dan 2 tidak dipengaruhi oleh skenario.
Perletakan wave gauge 3 letaknya tidak jauh daerah wave gauge 2 sehingga
pengaruh dari skenario dari model yang ada kecil. Waktu yang dibutuhkan oleh
gelombang dengan modifikasi reklamasi kolam untuk mencapai Wave Gauge 1
adalah 0,55 detik sedangkan dengan modifikasi reklamasi kolam+pohon adalah
0,55 detik dan modifikasi dugpool dengan penambahan pohon adalah 0.55 detik.
Waktu yang dibutuhkan oleh gelombang dengan modifikasi reklamasi kolam untuk
mencapai Wave Gauge 2 adalah 1,21 detik sedangkan dengan modifikasi reklamasi
kolam+pohon adalah 1,21 detik dan modifikasi dug pool dengan penambahan
pohon adalah 1,21 detik. Waktu yang dibutuhkan oleh gelombang dengan
modifikasi reklamasi kolam untuk mencapai Wave Gauge 3 adalah 1,58 detik
sedangkan dengan modifikasi reklamasi kolam+pohon adalah 1,63 detik dan
modifikasi dug pool dengan penambahan pohon adalah 1,64 detik. Data pembacaan
setiap Wave Gauge tercatat dalam tabel B.2 lampiran B. Setiap data pembacaan
Wave Gauge disubstitusikan kedalam persamaan regresi 4.1, 4.2 dan 4.3 untuk
mengubah hasil bacaan tinggi voltase (Volt) menjadi kedalaman sensor yang
terkena gelombang (cm). Data pembacaan Wave Gauge yang digunakan hanya
selama 5 detik yaitu ketika awal pembukaan pintu sampai gelombang mencapai
model jalan dan air tampungan telah kosong.

4.2.3 Percobaan 3 (Pembukaan Pintu 30 cm)

Percobaan 3 dilakukan dengan mengaitkan variabel H3 dengan ketiga


variabel p, dimana variabel H3=30 cm dengan P1=reklamasi, P2=
42

reklamasi+pohon, dan P3 = reklamasi+dug pool. Percobaan 3 menghasilkan grafik


hubungan waktu dengan ketinggian gelombang tsunami pada tiga titik tinjauan
yang telah diletakkan Wave Gauge. Grafik hubungan waktu dengan ketinggian
gelombang tsunami diperlihatkan pada Gambar 4.4.

Gambar 4.4. Grafik hubungan waktu dengan ketinggian tsunami pada


Percobaan 30 cm

Dari Gambar 4.4. dapat dilihat bahwa bentuk modifikasi dug pool
mempengaruhi kecepatan gelombang. Gelombang tsunami yang terbentuk pada
model revetment dengan modifikasi pada dug pool berupa reklamasi kolam adalah
43

yang tercepat mencapai jalan dibandingkan dengan gelombang tsunami dengan


pada model revetment dengan modifikasi dug pool berupa reklamasi+pohon dan
modifikasi dug pool dengan penambahan pohon. Waktu yang dibutuhkan oleh
gelombang pada model dengan modifikasi reklamasi kolam untuk mencapai jalan
adalah 1,99 detik sedangkan pada model dengan modifikasi reklamasi
kolam+pohon adalah 2,32 detik dan pada model dengan modifikasi penambahan
pohon adalah 2,41 detik. Waktu tiba gelombang pada wave gauge 1 dan 2 dengan
skenario model yang berbeda namun lebar bukaan pintu yang sama secara umum
sama karena letak perletakan wave gauge 1 dan 2 tidak dipengaruhi oleh skenario.
Perletakan wave gauge 3 letaknya tidak jauh daerah wave gauge 2 sehingga
pengaruh dari skenario dari model yang ada kecil. Waktu yang dibutuhkan oleh
gelombang dengan modifikasi reklamasi kolam untuk mencapai Wave Gauge 1
adalah 0,46 detik sedangkan dengan modifikasi reklamasi kolam+pohon adalah
0,46 detik dan modifikasi dugpool dengan penambahan pohon adalah 0,46 detik.
Waktu yang dibutuhkan oleh gelombang dengan modifikasi reklamasi kolam untuk
mencapai Wave Gauge 2 adalah 1,12 detik sedangkan dengan modifikasi reklamasi
kolam+pohon adalah 1,12 detik dan modifikasi dug pool dengan penambahan
pohon adalah 1,12 detik. Waktu yang dibutuhkan oleh gelombang dengan
modifikasi reklamasi kolam untuk mencapai Wave Gauge 3 adalah 1,46 detik
sedangkan dengan modifikasi reklamasi kolam+pohon adalah 1,50 detik dan
modifikasi dug pool dengan penambahan pohon adalah 1,51 detik. Data pembacaan
setiap Wave Gauge tercatat dalam tabel B.3 lampiran B. Setiap data pembacaan
Wave Gauge disubstitusikan kedalam persamaan regresi 4.1, 4.2 dan 4.3 untuk
mengubah hasil bacaan tinggi voltase (Volt) menjadi kedalaman sensor yang
terkena gelombang (cm).

4.2.4 Percobaan 4 (Pembukaan Pintu 40 cm)

Percobaan 4 dilakukan dengan mengaitkan variabel H3 dengan ketiga


variabel p, dimana variabel H4 = 40 cm dengan P1 = reklamasi, P2
44

=reklamasi+pohon, dan P3 = reklamasi+dugpool. Grafik hubungan waktu dengan


ketinggian gelombang tsunami diperlihatkan pada Gambar 4.5.

Gambar 4.5. Grafik hubungan waktu dengan ketinggian tsunami pada


percobaan 40 cm

Dari Gambar 4.5. dapat dilihat bahwa bentuk modifikasi dug pool
mempengaruhi kecepatan gelombang. Gelombang tsunami yang terbentuk pada
model revetment dengan modifikasi pada dug pool berupa reklamasi kolam adalah
yang tercepat mencapai jalan dibandingkan dengan gelombang tsunami dengan
pada model revetment dengan modifikasi dug pool berupa reklamasi+pohon dan
modifikasi dug pool dengan penambahan pohon. Waktu yang dibutuhkan oleh
gelombang pada model dengan modifikasi reklamasi kolam untuk mencapai jalan
adalah 1,88 detik sedangkan pada model dengan modifikasi reklamasi
kolam+pohon adalah 2,15 detik dan pada model dengan modifikasi penambahan
pohon adalah 2,22 detik. Waktu tiba gelombang pada wave gauge 1 dan 2 dengan
skenario model yang berbeda namun lebar bukaan pintu yang sama secara umum
45

hampir sama karena letak perletakan wave gauge 1 dan 2 tidak dipengaruhi oleh
skenario. Perletakan wave gauge 3 letaknya tidak jauh daerah wave gauge 2
sehingga pengaruh dari skenario dari model yang ada kecil. Waktu yang dibutuhkan
oleh gelombang dengan modifikasi reklamasi kolam untuk mencapai Wave Gauge
1 adalah 0,40 detik sedangkan dengan modifikasi reklamasi kolam+pohon adalah
0,40 detik dan modifikasi dug pool dengan penambahan pohon adalah 0,40 detik.
Waktu yang dibutuhkan oleh gelombang dengan modifikasi reklamasi kolam untuk
mencapai Wave Gauge 2 adalah 1,06 detik sedangkan dengan modifikasi reklamasi
kolam+pohon adalah 1,06 detik dan modifikasi dug pool dengan penambahan
pohon adalah 1,06 detik. Waktu yang dibutuhkan oleh gelombang dengan
modifikasi reklamasi kolam untuk mencapai Wave Gauge 3 adalah 1.38 detik
sedangkan dengan modifikasi reklamasi kolam+pohon adalah 1,42 detik dan
modifikasi dug pool dengan penambahan pohon adalah 1,43 detik. Data pembacaan
setiap Wave Gauge untuk percobaan 1 tercatat dalam tabel B.4 lampiran B. Setiap
data pembacaan Wave Gauge disubstitusikan kedalam persamaan regresi 4.1, 4.2
dan 4.3 untuk mengubah hasil bacaan tinggi voltase (Volt) menjadi kedalaman
sensor yang terkena gelombang (cm). Data pembacaan Wave Gauge yang
digunakan hanya selama 5 detik yaitu ketika awal pembukaan pintu sampai
gelombang mencapai model jalan dan air tampungan telah kosong. Data pembacaan
setiap Wave Gauge untuk percobaan 1 tercatat dalam tabel B.4.4 lampiran B. Setiap
data pembacaan Wave Gauge disubstitusikan kedalam persamaan regresi 4.1, 4.2
dan 4.3 untuk mengubah hasil bacaan tinggi voltase (Volt) menjadi kedalaman
sensor yang terkena gelombang (cm). Data pembacaan Wave Gauge yang
digunakan hanya selama 5 detik yaitu ketika awal pembukaan pintu sampai
gelombang mencapai model jalan dan air tampungan telah kosong.

4.3 Kecepatan Gelombang Tsunami

Setelah mengetahui waktu penjalaran gelombang tsunami dan dimensi


panjang dari setiap komponen yang ada pada model, maka dapat diketahui
kecepatan gelombang tsunami pada model. Kecepatan gelombang tsunami pada
46

model laut di bandingkan dengan waktu tiba gelombang pada model jalan sehingga
dapat diketahui pengaruh kecepatan gelombang tsunami dilaut terhadap waktu tiba
tsunami pada titik tinjau, dalam penelitian ini titik tinjauan berada pada model jalan.
Panjang total model fisik tsunami yang dibangun ialah 634,2 cm. Panjang
model yang diletakkan pada saluran gelombang dibagi menjadi 4 bagian, bagian
pertama yaitu pada model pantai sepanjang 114.5 cm dimulai dari pintu sampai
Wave Gauge 1. Bagian kedua dimulai dari Wave Gauge 1 sampai Wave Gauge 2
yaitu sepanjang 249 cm, bagian ketiga dimulai dari Wave Gauge 2 sampai Wave
Gauge 3 yaitu sepanjang 107.6 cm dan yang terakhir bagian keempat dimulai dari
Wave Gauge 3 sampai model jalan yaitu sepanjang 163.1 cm. setelah mengetahui
jarak dan waktu, kecepatan gelombang pada model dapat dihitung. Untuk lebih
jelasnya kecepatan gelombang tsunami pada model diperlihatkan pada Tabel 4.1.

Tinggi  Periode  Periode 


V WG2 ‐ WG3  V WG3 ‐ j 
Percobaan skenario dugpool Pengisia H(cm) t 0‐WG2 (s) t WG2 ‐ WG3 (s) t WG3 ‐ J (s) Gelomba Gelombang  vL (m/s) *
(m/s) (m/s)
n (m) ng (s) Prototip (s)
reklamasi 1.00 12.13 1.52 0.46 0.76 11.294 27.397 2.391 2.314 2.135
10 cm reklamasi+pohon 1.00 13.56 1.52 0.54 1.51 11.294 30.636 2.391 1.978 1.083
dugpool+pohon 1.00 12.60 1.52 0.58 1.77 11.294 28.462 2.391 1.864 0.923
reklamasi 1.00 13.56 1.21 0.37 0.58 5.647 15.318 3.004 2.943 2.791
20 cm reklamasi+pohon 1.00 13.44 1.21 0.42 0.96 5.647 15.177 3.004 2.549 1.703
dugpool+pohon 1.00 13.35 1.21 0.43 1.05 5.647 15.072 3.004 2.493 1.556
reklamasi 1.00 13.88 1.12 0.34 0.53 3.765 10.447 3.246 3.195 3.059
30 cm reklamasi+pohon 1.00 13.66 1.12 0.38 0.82 3.765 10.283 3.246 2.806 1.997
dugpool+pohon 1.00 13.91 1.12 0.39 0.90 3.765 10.470 3.246 2.738 1.818
reklamasi 1.00 14.56 1.06 0.32 0.50 2.823 8.222 3.429 3.395 3.268
40 cm reklamasi+pohon 1.00 14.53 1.06 0.36 0.73 2.823 8.205 3.429 3.026 2.227
dugpool+pohon 1.00 14.72 1.06 0.37 0.79 2.823 8.315 3.429 2.937 2.055

Tabel 4.1. kecepatan gelombang tsunami pada model

tabel 4.1. menunjukkan perbandingan dari tinggi, waktu, dan kecepatan dari
setiap percobaan. Dari tabel diatas dapat disimpulkan bahwa kecepatan gelombang
tsunami pada model akan tereduksi oleh model seawall dan dug pool bervariasi
sesuai dengan skenario dug pool yang digunakan. Skenario reklamasi memiliki
reduksi paling rendah yaitu 4,70%-10,74% dari kecepatan awal. Skenario reklamasi
47

dengan pohon serta skenario dug pool dengan pohon masing-masing memiliki
reduksi sebesar 35,06%-54,71% serta 40,07 %-61,42%.
Hasil Analisa data dari pemodelan fisik yang dilakukan menghasilkan
hubungan kecepatan gelombang tsunami terhadap waktu tiba gelombang tsunami
pada titik tinjauan yaitu jalan. Hubungan kecepatan gelombang tsunami di laut
terhadap waktu tiba gelombang pada titik tinjau diperlihatkan pada Gambar 4.6.

4.000
2.135
rek 10 cm
y = ‐0.7414x + 4.0697 1.083
rek+phn 10 cm
3.500 R² = 0.7677
0.923
dug+phn 10 cm
waktu tiba tsunami model  (s)

rek 20 cm
2.791

3.000 rek+phn 20 cm
1.703
dug+phn 20 cm
1.556
rek 30 cm
3.059
2.500 rek+phn 30 cm
1.997
dug+phn 30 cm
1.818

2.000 rek 40 cm
3.268
rek+phn 40 cm
2.227
dug+phn 40 cm
2.055
1.500
0.800 1.000 1.200 1.400 1.600 1.800 2.000 2.200 2.400 2.600 2.800 3.000 3.200 3.400 3.600
Kecepatan tsunami pada model (m/s)

Gambar 4.6. Hubungan kecepatan tsunami terhadap waktu tiba tsunami

Gambar 4.6 memperlihatkan hubungan kecepatan tsunami dan waktu


tibanya. Pada gambar dapat dilihat bahwa pada skenario model yang berbeda
namun dengan bukaan pintu dam yang sama, kecepatan tercepat dan waktu tiba
gelombang tersingkat didapat pada skenario dug pool dengan reklamasi kemudian
diikuti oleh skenario reklamasi dengan pohon, dan skenario dug pool dengan pohon.
Pada skenario yang sama namun dengan bukaan pintu dam yang berbeda, maka
diperoleh kecepatan tercepat dan waktu tersingkat dari bukaan pintu terbesar.
48

4.4 Kecepatan Gelombang Tsunami Prototip

Kecepatan gelombang tsunami pada model harus dikonversi menjadi


kecepatan pada prototip dengan menggunakan persamaan 2.6. Untuk lebih jelasnya
kecepatan gelombang tsunami pada kecepatan prototip dapat dilihat pada tabel 4.2.

Tinggi 
H Prototip  vPL       V P(wG2 ‐ WG3)  V P(wG3 ‐ j) 
Percobaan skenario dugpool H Bangkitan (cm) Pengisia
Bangkitan (m) (m/s)** (m/s) (m/s)
n (m)
reklamasi 12.13 2.426 1.000 10.695 10.350 9.546
10 cm reklamasi+pohon 13.56 2.713 1.000 10.695 8.845 4.844
dugpool+pohon 12.60 2.520 1.000 10.695 8.338 4.126
reklamasi 13.56 2.713 1.000 13.435 13.161 12.482
20 cm reklamasi+pohon 13.44 2.688 1.000 13.435 11.400 7.615
dugpool+pohon 13.35 2.669 1.000 13.435 11.149 6.957
reklamasi 13.88 2.775 1.000 14.514 14.287 13.680
30 cm reklamasi+pohon 13.66 2.731 1.000 14.514 12.550 8.933
dugpool+pohon 13.91 2.781 1.000 14.514 12.243 8.132
reklamasi 14.56 2.912 1.000 15.336 15.183 14.616
40 cm reklamasi+pohon 14.53 2.906 1.000 15.336 13.531 9.960
dugpool+pohon 14.72 2.945 1.000 15.336 13.135 9.190

Tabel 4.2. kecepatan gelombang tsunami prototip

Dari tabel 4.2 dapat dilihat bahwa terjadi reduksi antara kecepatan di laut
dengan kecepatan dug pool hal ini membuktikan bahwa terjadi pengaruh seawall
dan dug pool terhadap kecepatan tsunami. Reduksi kecepatan terbesar prototip
diperoleh pada percobaan 10 cm skenario dug pool dengan pohon yaitu sebesar
61,42 % dengan kecepatan prototip tsunami di jalan sebesar 4,126 m/s. Reduksi
kecepatan terkecil prototip diperoleh pada percobaan 40 cm skenario dug pool
dengan reklamasi yaitu sebesar 4,70% dengan kecepatan prototip tsunami di dug
pool sebesar 14,616 m/s.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

 Kecepatan gelombang tsunami pada model yang tereduksi oleh model


seawall dan dug pool bervariasi sesuai dengan skenario dug pool yang
digunakan. Skenario dug pool dengan reklamasi (P1) memiliki nilai reduksi
paling rendah yaitu 4,70%-10,74% dari kecepatan awal. Skenario reklamasi
dengan pohon(P2) serta skenario dug pool dengan pohon (P3) masing-
masing memiliki nilai reduksi sebesar 35,06%-54,71% serta 40,07 %-
61,42%.
 Dari hasil penelitian diperoleh pada skenario model yang berbeda namun
dengan bukaan pintu dam yang sama, kecepatan tercepat dan waktu tiba
gelombang tersingkat didapat pada skenario P1 kemudian diikuti oleh
skenario P2, dan skenario P3. Kemudian pada skenario yang sama namun
dengan bukaan pintu dam yang berbeda, maka diperoleh kecepatan tercepat
dan waktu tersingkat dari bukaan pintu terbesar.
 Reduksi kecepatan terbesar prototip diperoleh pada percobaan dengan
bukaan pintu 10 cm skenario P3 yaitu sebesar 61,42 % dengan kecepatan
prototip tsunami di dug pool sebesar 4,126 m/d. Reduksi kecepatan terkecil
prototip diperoleh pada percobaan dengan bukaan pintu 40 cm skenario P1
yaitu sebesar 4,70% dengan kecepatan prototip tsunami di dug pool sebesar
14,616 m/d.

5.2 Saran

Simulasi model fisik dilakukan untuk mengetahui proses penjalaran


gelombang dengan mendekati proses penjalaran alaminya. Diharapkan penelitian

49
50

kedepan mampu mensimulasikan model fisik secara lebih nyata dan mendekati
proses alaminya sehingga hasil yang didapat menjadi acuan yang lebih baik dalam
pengaplikasiannya di bidang mitigasi bencana.

Anda mungkin juga menyukai