PENDAHULUAN
1
2
Untuk mendukung penelitian yang dilakukan, maka pada bagian ini dijelaskan
beberapa teori dan rumus yang berkaitan dengan penelitian ini. Teori-teori tersebut
berasal dari referensi serta literatur yang berhubungan langsung dengan obyek
penelitian. Teori-teori berikut juga akan dijadikan pembanding terhadap hasil
penelitian yang diperoleh nantinya.
Gambar 2.1 Skema pengukuran sipat datar profil (Sumber: Sinaga, 1997:121)
Gambar 2.1 memperlihatkan tata letak alat ukur dengan rambu ukur. Alat ukur
diletakkan sejajar dengan rambu ukur dan garis bidiknya tegak lurus dengan rambu
3
4
ukur. Hasil pengukuran digambarkan sesuai dengan letaknya pada permukaan bumi
sehingga pada awal pengukuran alat ukur harus diikat pada stasiun benchmark
terdekat.
Pengukuran sipat datar profil umumnya dilakukan dalam pekerjaan desain
jalan raya, saluran irigasi ataupun pekerjaan lainnya memerlukan informasi dalam
arah memanjang (ketinggian dan arah) serta arah melintang. Pengukuran sipat datar
profil juga memberikan informasi bagi perencana berupa gradient, volume
pekerjaan, serta besarnya galian dan timbunan (Sinaga, 1997:121).
Dinding Laut adalah bangunan pantai yang berfungsi memisahkan daratan dan
perairan pantai, yang terutama berfungsi sebagai pelindung pantai terhadap erosi
dan limpasan gelombang (Overtopping) ke darat (Triatmodjo,1999:205). Dinding
laut dibangun sejajar garis pantai yang bertujuan untuk memantulkan gelombang.
Gambar 2.2 memperlihatkan bentuk-bentuk dinding laut yang umumnya sering
dibangun.
kombinasi material hasil penambangan langsung dari alam dengan material buatan
manusia.
Dug pool merupakan kolam yang dibangun atau terbentuk di belakang pantai
utama. Dug pool terbentuk antara dinding laut dan dengan tanggul. Karakteristik
dari dug pool tergambar pada Gambar 2.3.
Tsunami H0
Creast
HF HB
Sand B
Beach
D A
Section Before Tsunami
Gambar 2.3 Karakteristik dug pool (Sumber: Tokida dan Tanimoto, 2014:536)
Parameter yang ditunjukkan pada gambar 2.3 yaitu lebar kolam (B), kedalaman
kolam (D), area terkikis (A) tinggi limpahan (H0), tinggi lereng sisi belakang
seawall (HB), serta tinggi lereng sisi depan seawall (HF). Pada gambar tampak
dinding bagian belakang dari sea wall mengalami pengikisan setelah terjadinya
tsunami.
Tokida dan Tanimoto (2014:538) menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang
mencolok antara ketinggian banjir dengan daya gerus air yang berada di belakang
seawall pada dug pool. Ketinggian banjir pada pantai dengan dug pool mengalami
6
kenaikan dibandingkan pantai tanpa dug pool. Hal sebaliknya terjadi pada gaya
gerus yang mengalami penurunan pada pantai dengan dug pool dibandingkan
dengan pantai tanpa dug pool. Gambar 2.4 memperlihatkan grafik perbedaan tinggi
banjir serta gaya gerus antara pantai dengan dug pool dengan pantai tanpa dug pool.
a 7-
6- Non Dug Pool
5- Dug Pool Exist
Flood Depth (m)
4-
3-
2-
1-
0-
0 100 200 300 400 500 600
Time (s)
b 250-
Non Dug Pool
200-
DragForce (KNm)
gelombang tsunami akan melewatinya hutan pantai tanpa hambatan (Forbes dan
Brodhead, 2007:12).
3. Umur dan diameter pohon (age and tree diameter)
Umur dan diameter pohon berbanding terbalik dengan kekuatan pohon dalam
mereduksi gelombang tsunami. Hasil simulasi tsunami yang dilakukan oleh
Harada dan Kawata (2005) dalam Tuheturu dan Mahfudz (2012:63) menunjukkan
bahwa tanaman pinus umur 10 tahun memiliki daya reduksi terhadap tsunami yang
lebih tinggi dibandingkan tanaman pinus dengan umur 50 tahun.
4. Tinggi (tree height)
Forbes dan Broadhead (2007) dalam Tuheturu dan Mahfudz (2012:63)
menyebutkan bahwa tinggi pohon dominan dan kodominan dalam hutan pantai
mempunyai hubungan langsung dengan proyeksi area yang akan tersentuh oleh
gelombang tsunami. Tinggi hutan juga penting dalam hubungannya dengan resiko
lompatan gelombang tsunami. Hutan pantai yang dominan dengan pohon yang
tinggi memiliki area reflektif (penahan) gelombang yang lebih besar. Sedangkan
hutan pantai yang didominasi pohon yang pendek, gelombang tsunami cenderung
melewati atas kanopi pohon tanpa ada pengurangan energi gelombang yang berarti.
5. Komposisi jenis (species composition)
Komposisi dari spesies tumbuhan yang menyusun hutan pantai memiliki
dampak penting dalam menentukan kemampuan mitigasi tsunami suatu hutan
pantai. Jenis tumbuhan yang menyusun hutan pantai diidentifikasi melalui dua
aspek kritis yaitu konfigurasi vertikal perakaran, batang, percabangan serta
dedaunan, dan perkembangan tanaman bawah.
Gelombang laut adalah peristiwa naik turunnya permukaan laut secara vertikal
yang membentuk kurva/grafik sinusoidal (Triadmodjo, 1999:14). Gelombang laut
berbentuk gelombang transversal dengan membentuk lembah dan puncak yang
9
Dari Gambar 2.5, gelombang laut dapat digambarkan sebagai deretan dari
pulsa-pulsa yang berurutan yang terlihat sebagai perubahan ketinggian permukaan
air laut, yaitu dari suatu elevasi maksimum (puncak) ke elevasi minimum (lembah).
Selain elevasi maksimum (puncak) dan elevasi minimum (lembah). Garisson
(2010:266-267) mengemukakan bahwa ada 4 bentuk besaran yang berkaitan
dengan gelombang. Yakni :
a. Amplitudo gelombang (A) adalah jarak antara puncak gelombang dengan
permukaan rata-rata air;
b. Frekuensi gelombang (f) adalah sejumlah besar gelombang yang melintasi suatu
titik dalam suatu waktu tertentu (biasanya didefinisikan dalam satuan meter);
c. Kecepatan gelombang (C) adalah jarak yang ditempuh gelombang dalam satu
satuan waktu tertentu; dan
d. Kemiringan gelombang (H/L) adalah perbandingan antara tinggi gelombang
dengan panjang gelombang.
Gelombang laut dapat terjadi akibat adanya gaya-gaya alam yang bekerja di
laut seperti tekanan atau tegangan dari atmosfir (khususnya melalui angin), gempa
bumi, gaya gravitasi bumi dan benda-benda angkasa (bulan dan matahari), gaya
10
coriolis (akibat rotasi bumi), dan tegangan permukaan (Garisson, 2010: 268). Pond
dan Pickard (1978:170) mengklasifikasikan gelombang berdasarkan periodenya,
seperti yang disajikan pada Tabel 2.3.
2.6 Tsunami
Tsunami secara harfiah dapat diartikan sebagai gelombang laut dengan periode
panjang yang ditimbulkan oleh gangguan impulsif dari dasar laut. Gangguan
11
impulsif tersebut bisa berupa gempa bumi tektonik, erupsi vulkanik, atau longsoran
(Bakornas PB, 2007:59). Panjang gelombang Tsunami melebihi 20 kali kedalaman
yang dilewatinya sedangkan kecepatan jalar energinya sama dengan kecepatan jalar
gelombangnya (Nurhasanah dkk, 2010:5). Energi gelombang tsunami berhubungan
dengan tinggi gelombang tsunami. Lizuka dan Matsutomi (2005) dalam Tokida dan
Tanimoto (2014:541) mengklasifikasi skala intensitas gelombang tsunami menjadi
3 golongan seperti yang terdapat pada Tabel 2.4.
Besar ≥8 ≥4
Sedang 4–8 1.5 – 4
Kecil ≤4 ≤ 1.5
Sumber: Tokida dan Tanimoto, 2014.
Skala intensitas tsunami disusun berdasarkan tinggi run up yang terjadi ketika
gelombang tsunami tiba di pantai. Gelombang tsunami pada titik tertentu akan
mengalami penurunan tinggi run up sampai mencapai elevasi kedalaman banjir
yang merupakan setengah dari tinggi run up di pantai.
Tsunami merupakan gelombang yang dibangkitkan akibat adanya desakan
pada massa air dengan jumlah yang besar. Peristiwa terdesaknya massa air dalam
jumlah besar dapat disebabkan oleh berbagai proses yang ada di alam. Berikut ini
merupakan beberapa proses di alam yang dapat menyebabkan tsunami
1. Aktivitas Lempeng Tektonik
Dari beberapa faktor yang dapat membangkitkan gelombang tsunami, adanya
aktivitas lempeng tektonik merupakan faktor dominan terbangkitnya gelombang
tsunami. Pergerakan relatif antar lempeng-lempeng tektonik tersebut terjadi di
batas-batas lempeng, baik secara divergen (bergerak menjauh), konvergen
(bergerak mendekat/bertumbukan), maupun transform (bergerak menyamping).
Pergerakan yang terjadi memberikan energi potensial terhadap air sehingga timbul
12
gerakan dan kontinuitas aliran air laut menggunakan model dapat disimulasikan
kejadian tsunami.
Pemodelan tsunami juga dapa dilakukan dengan cara pemodelan fisik di
laboratorium. Pemodelan cara ini umumnya tidak mencakup lokasi pembangkitan
hingga kedaratan dikarenakan simulasi menjadi sangat besar dan tidak efisien.
Simulasi pembangkitan tsunami di laboratorium dapat dilakukan dengan metode
berikut:
1. Pembangkitan dengan dislokasi dasar pantai;
2. Pembangkitan dengan metode longsoran;
3. Pembangkitan dengan memasukkan tambahan massa air kedalam sistem baik
dengan pompa maupun dari reservoir di luar sistem;
4. Pembangkitan dengan piston; dan
5. Pembangkitan dengan metode dam break.
2.8 Kesebangunan
Kesebangunan merupakan kesamaan atau kesesuaian sifat fisik antara dua atau
lebih benda yang berbeda ukuran namun memiliki perbandingan yang sama pada
setiap sudut maupun sisinya.Kesebangunan antara suatu model dengan prototip
(ukuran asli di lapangan) diperlukan dalam pengujian fisik agar hasil yang diperoleh
dalam pengujian dapat ditransformasikan untuk ukuran sebenarnya (Triadmadja,
2010:113). Macam-macam kesebangunan dalam pembuatan model sebagai berikut:
1. Kesebangunan geometrik.
Kesebangun geometrik terkait dengan skala dimensi panjang antara model dan
prototip, yang dirumuskan dalam Persamaan 2.1.
… … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … . 2.1
Dimana :
= Skala panjang;
= Panjang di prototip (m)
14
1 … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … 2.3
Dimana :
= Skala gaya
Untuk menghitung periode gelombang tsunami yang terjadi pada model, maka
diasumsikan periode gelombang yang terjadi sama dengan dua kali waktu yang
dibutuhkan untuk mengosongkan tangki air pada model sistem dam break.
Persamaan 2.4 digunakan dalam menghitung waktu pengosongan tangki:
2
… … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … 2.4
2
Dimana:
t = Waktu pengosongan tangki (s);
A = Luas penampang tangki (m2);
H = Tinggi tangki (m);
Cd = Koefisien debit;
a = Luas lubang (m2);
g = Gaya gravitasi (m/s2)
Waktu yang dibutuhkan untuk mengosongkan tangki dipengaruhi oleh
Koefisien debit dari pintu air di tangki. Pada tangki yang memiliki lubang dengan
ukuran lebar maka koefisien debit (Cd) sama dengan 1,0.
Untuk menghitung waktu kejadian sebenarnya tsunami berdasarkan waktu
kejadian pada model dapat digunakan persamaan berikut ini :
… … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … . . 2.5
… … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … 2.6
… … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … . . 2.7
Dimana:
TP = Periode gelombang pada prototip (s);
Dimana :
h0 = Tinggi puncak gelombang dari muka air rerata (m)
Dari berbagai penelitian yang dilakukan, nilai k1 berkisar antara 1 hingga lebih
dari 3. Lukkunaprasit 2009 dalam Triatmadja (2010:90) memperoleh k1 sekitar 2,3
hingga 3,0. Triatmadja (2010:90) menunjukkan bahwa nilai k1 di pantai horizontal
sekitar 2,3.
Kecepatan surge eksperimen adalah kecepatan gelombang yang didapatkan
pada saat pelaksanaan eksperimen di laboratorium. Kecepatan surge eksperimen
dapat diperoleh dari pembacaan tinggi gelombang yang dilakukan oleh sensor
tinggi gelombang (sensor wave gauge). Kecepatan gelombang diperoleh dengan
merata-ratakan kecepatan antar dua sensor tinggi gelombang seperti pada
Persamaan 2.10:
… … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … . 2.10
1
Dimana :
U = Kecepatan surge eksperimen (m/s);
= Jarak antara 2 sensor (m);
= Waktu perambatan gelombang antara 2 sensor (s);
n = jumlah sensor
Kecepatan surge eksperimen dihitung menggunakan data tinggi gelombang
dan jarak antar sensor. Dalam hal ini diperlukan alat perekam tinggi muka air dan
program untuk merekamnya (Indriyani, 2012:15).
Permodelan fisik tsunami merupakan topik penelitian yang telah diteliti dan
dibahas oleh beberapa peneliti terdahulu. Penelitan model fisik tsunami yang
dilakukan berfokus pada tinggi dan gaya tsunami baik yang menggunakan
pembangkitan metode dam break maupun metode pembangkitan lainnya.
18
tsunami. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa struktur tanah yang ditutupi oleh
material lainnya seperti tanah, aspal, rumput, ataupun pepohonan akan sulit di gerus
oleh banjir tsunami melainkan hanya tergerus pada lapisan atasnya saja.
BAB III
METODE PENELITIAN
Model fisik pantai yang dibangun yaitu berdasarkan profil muka Pantai Ulee
Lheue. Profil muka pantai tidak diambil pada sepanjang garis pantai namun hanya
diambil satu potongan profil yang dapat mewakili profil muka pantai secara
keseluruhan. Profil tersebut ditandai dengan garis berwarna kuning seperti tampak
pada Gambar 3.1 Profil muka pantai yang ada juga dapat menggambarkan letak
dinding laut (sea wall) serta bentuk topografi dari daerah yang ada di belakang
dinding laut.
Banda Aceh
21
22
Bagan alir dari tahapan penelitian dapat dilihat pada lampiran I, Gambar A.1
23
lagi kedudukan sudutnya. Pekerjaan diulangi dengan hanya memindahkan bak pada
titik yang lain.
Batas bukaan
pintu Batas bukaan pintu
pintu dam
Wave Gauge Wave Gauge Wave Gauge
pintu dam g1 g2 g3
Model profil pantai yang dibuat berdasarkan profil eksisting pada lapangan
dengan modifikasi pada dug pool. Model pantai yang dibuat sebanyak tiga buah
variasi model. Gambar 3.4 memperlihatkan sketsa profil pantai eksisting serta
sketsa profil pantai modifikasi yang dibuat.
p a n tai S ea W a ll D u g P oo l
Profil A
jalan
D u g P oo l
p a n tai S ea W a ll
Profil B
D u g P oo l
jalan
p a n tai S ea W a ll
Profil C D u g P o ol
jalan
p a n tai S ea W a ll
Model pantai yang dibangun dengan tiga bentuk profil modifikasi yaitu profil
A, profil B dan profil C. Pada profil A pantai mengalami modifikasi berupa
28
reklamasi pada dug pool. Pada profil B pantai mengalami modifikasi berupa
penanaman pohon pada dug pool. Profil C merupakan gabungan modifikasi pada
profil A dengan profil B.
Model sea wall dan jalan yang digunakan pada setiap variasi model pantai
dibuat seotentik mungkin dengan prototype yang ada sekarang. Model sea wall dan
jalan yang dibangun menggunakan material kayu sebagai rangka penahan dan
triplek sebagai permukaan sea wall gambar 3.5 menggambarkan bentuk dari model
sea wall dan jalan yang akan dibangun.
Model sea wall dan jalan yang dibuat berukuran 1:20 dari ukuran prototip
sebenarnya. Ukuran prototip yang ada diperoleh dari hasil pengukuran lapangan
pada penampang melintang yang telah dipilih.
Model profil pantai yang mengalami modifikasi penanaman pohon dengan
ataupun tanpa reklamasi, menggunakan model pohon buatan dengan skala yang
sama dengan skala profil pantai. Spesies tumbuhan yang digunakan untuk model
pohon yaitu tumbuhan cemara laut (Casuarina equisetifolia) yang berumur ± 10
tahun. Model pohon yang ada diletakkan per 10 cm pada sepanjang kolam dug pool.
29
Gambar 3.5 menggambarkan struktur dari model pohon yang digunakan pada
model profil pantai.
42,0
cm
42 cm
1,0 cm
1 cm
1,0
cm
1 cm
18,0
18 cm
cm
dug pool. Upaya pencegahan agar model pohon tidak terhempas yaitu dengan
memasukkan Pangkal batang dari model pohon ke dalam pipa setinggi 5 cm yang
ditanam ke plat beton yang berfungsi sebagai tanah. Gambar 3.6 memperlihatkan
sketsa penempatan model pohon pada dug pool.
170
170.0000cm
50
50.0000
cm
10.0000
10.0000
Tampak atas
31,27
31.2790
cm
3.92
39.272cm
6 170
170.00cm
00 118.26
118.2642 cm
Tampak samping
Gambar 3.6 memperlihatkan tampak atas dan tampak samping dari sketsa
penempatan model pohon pada dug pool. Jumlah model pohon yang diletakkan
pada dug pool yaitu sebanyak 80 unit.
31
Sensor wave gauge pada alat pengukur ketinggian gelombang hanya membaca
besaran voltase yang terbangkit ketika air menyentuh sensor. Ketinggian
gelombang dalam dimensi tinggi dapat diperoleh setelah dilakukan kalibrasi antara
besaran voltase yang terbangkit dengan tinggi air yang menyentuh sensor. Gambar
3.7 memperlihatkan sketsa sensor wave gauge.
Sensor wave gauge terdiri dari lima bagian utama yaitu kapasitor, besi
penyangga sensor, sensor, dan lubang output. Gelombang air atau fluida yang
bergerak melewati sensor bergerak secara vertikal sehingga diperoleh perbedaan
voltase. Setelah sensor mendeteksi voltase dari gelombang yang bergerak secara
vertika, lalu sinyal dari tegangan voltase tersebut dibawa ke kapasitor untuk
selanjutnya disalurkan ke capacity type wave high meter main body melalui kabel
output.
Kalibrasi alat sensor wave gauge dilakukan melalui beberapa tahapan. Berikut
ini adalah urutan dari kalibrasi alat :
1. ketiga sensor wave gauge yang ada dihubungkan ke capacity type wave high
meter main body menggunakan kabel penghubung.
33
2. Capacity type wave high meter main body diposisikan dalam kondisi menyala
dengan menggeser saklar yang ada pada alat ke posisi on
3. Tombol gulir yang ada pada Capacity type wave high meter main body
diposisikan dalam kondisi meassurment dengan besaran bacaan voltase pada
nilai 0.
4. Kabel dari konektor output pada Capacity type wave high meter main body
dihubungkan ke alat perubah sinyal analog ke digital Lab Jack U3- HV.
5. Alat Lab Jack U3- HV dihubungkan ke PC yang telah terinstal driver serta
perangkat lunak pencatat voltase.
6. Buka perangkat lunak LJStreamUD. Atur jumlah channel yang dibaca pada
posisi tiga alat.
7. Ubah data file prefix sesuai dengan deskripsi kalibrasi. Agar file hasil bacaan
mudah ditemukanm, maka direktori pada PC dapat dirubah dengan mengklik
tombol change working directory.
8. Sebelum memulai proses ketahapan selanjutnya, dilakukan pengesetan ulang
jarum bacaan voltase pada Capacity type wave high meter main body dengan
cara menekan tombol zero pada alat tersebut.
9. Proses kalibrasi selanjutnya yaitu mengisi air mulai dari level ketinggian
terendah yang mampu dideteksi oleh sensor wave gauge yaitu 1 cm.
10. Sensor wave gauge dicelupkan kedalam air yang telah diisi dengan ketinggian
1 cm.
11. Mulai proses pembacaan voltase pada ketinggian 1 cm dengan menekan
tombol start stream pada perangkat lunak LJStreamUD di PC. Pada posisi
iterasi ke l0 proses pembacaan data dihentikan dengan menekan tombol stop
stream.
12. Hasil pencatatan data dari perangkat lunak LJStreamUD kemudian dirata-
ratakan sehingga diperoleh perbandingan jumlah voltase yang dihasilkan
ketika air mengenai sensor pada ketinggian 1 cm.
Proses kalibrasi terus dilakukan secara berulang per ketinggian 1 cm hingga
mencapai batas ketinggian yang mampu dideteksi oleh sensor wave gauge yaitu
pada ketinggian 33 cm. setelah diperoleh perbandingan voltase yang dihasilkan
34
pada setiap level ketinggian, lalu hasil tersebut diplot kedalam grafik sehingga
dapat dibuat rumus regresinya untuk setiap sensor wave gauge.
Analisa data dilakukan pada data hasil pencatatan alat sensor tinggi gelombang
dan data dari alat rekam gambar bergerak. Analisa data hasil pencatatan alat sensor
35
Data yang didapat dari catatan pembacaan alat ukur ketinggian gelombang
merupakan data mentah berupa data voltase, sehingga harus dikonversi dan
dikoreksi menjadi data dalam dimensi tinggi. Pelaksanaan konversi dan koreksi
data menggunakan persamaan regresi hasil kalibrasi sensor wave gauge. Regresi
yang dihasilkan tiap alat berbeda sesuai dengan sensitifitas yang dimiliki. Hasil
grafik dan persamaan regresi dapat dilihat pada gambar 4.1.
Grafik hasil kalibrasi
8.00
y = 0.1982x + 0.4013
7.00
6.00 y = 0.1633x ‐ 0.0944
Voltase (v)
5.00
y = 0.1682x ‐ 0.0746
4.00
3.00 wave gauge 1
2.00
wave gauge 2
1.00
0.00 wave gauge 3
0 5 10 15 20 25 30 35
Tinggi (cm)
Gambar 4.1 memperlihatkan grafik hasil kalibrasi serta nilai koreksi regresi dari
masing-masing sensor wave gauge yang digunakan. Grafik kalibrasi dan persamaan
36
37
regresi linear yang dihasilkan memiliki nilai yang berbeda-beda sesuai dengan
karakteristik sensitifitas masing masing alat. Persamaan regresi untuk setiap sensor
Wave Gauge adalah sebagai berikut:
Dari Gambar 4.2. dapat dilihat bahwa bentuk modifikasi dug pool
mempengaruhi kecepatan gelombang. Gelombang tsunami yang terbentuk pada
model revetment dengan modifikasi pada dug pool berupa reklamasi kolam adalah
yang tercepat sampai kejalan dibandingkan dengan gelombang tsunami dengan
pada model revetment dengan modifikasi dug pool berupa reklamasi+pohon dan
modifikasi dug pool dengan penambahan pohon. Waktu yang dibutuhkan oleh
gelombang pada model dengan modifikasi reklamasi kolam untuk mencapai jalan
39
Dari Gambar 4.3. dapat dilihat bahwa bentuk modifikasi dug pool
mempengaruhi kecepatan gelombang. Gelombang tsunami yang terbentuk pada
model revetment dengan modifikasi pada dug pool berupa reklamasi kolam adalah
yang tercepat mencapai jalan dibandingkan dengan gelombang tsunami dengan
41
pada model revetment dengan modifikasi dug pool berupa reklamasi+pohon dan
modifikasi dug pool dengan penambahan pohon. Waktu yang dibutuhkan oleh
gelombang pada model dengan modifikasi reklamasi kolam untuk mencapai jalan
adalah 2,16 detik sedangkan pada model dengan modifikasi reklamasi
kolam+pohon adalah 2,59 detik dan pada model dengan modifikasi penambahan
pohon adalah 2,69 detik. Waktu tiba gelombang pada wave gauge 1 dan 2 dengan
skenario model yang berbeda namun lebar bukaan pintu yang sama secara umum
sama karena letak perletakan wave gauge 1 dan 2 tidak dipengaruhi oleh skenario.
Perletakan wave gauge 3 letaknya tidak jauh daerah wave gauge 2 sehingga
pengaruh dari skenario dari model yang ada kecil. Waktu yang dibutuhkan oleh
gelombang dengan modifikasi reklamasi kolam untuk mencapai Wave Gauge 1
adalah 0,55 detik sedangkan dengan modifikasi reklamasi kolam+pohon adalah
0,55 detik dan modifikasi dugpool dengan penambahan pohon adalah 0.55 detik.
Waktu yang dibutuhkan oleh gelombang dengan modifikasi reklamasi kolam untuk
mencapai Wave Gauge 2 adalah 1,21 detik sedangkan dengan modifikasi reklamasi
kolam+pohon adalah 1,21 detik dan modifikasi dug pool dengan penambahan
pohon adalah 1,21 detik. Waktu yang dibutuhkan oleh gelombang dengan
modifikasi reklamasi kolam untuk mencapai Wave Gauge 3 adalah 1,58 detik
sedangkan dengan modifikasi reklamasi kolam+pohon adalah 1,63 detik dan
modifikasi dug pool dengan penambahan pohon adalah 1,64 detik. Data pembacaan
setiap Wave Gauge tercatat dalam tabel B.2 lampiran B. Setiap data pembacaan
Wave Gauge disubstitusikan kedalam persamaan regresi 4.1, 4.2 dan 4.3 untuk
mengubah hasil bacaan tinggi voltase (Volt) menjadi kedalaman sensor yang
terkena gelombang (cm). Data pembacaan Wave Gauge yang digunakan hanya
selama 5 detik yaitu ketika awal pembukaan pintu sampai gelombang mencapai
model jalan dan air tampungan telah kosong.
Dari Gambar 4.4. dapat dilihat bahwa bentuk modifikasi dug pool
mempengaruhi kecepatan gelombang. Gelombang tsunami yang terbentuk pada
model revetment dengan modifikasi pada dug pool berupa reklamasi kolam adalah
43
Dari Gambar 4.5. dapat dilihat bahwa bentuk modifikasi dug pool
mempengaruhi kecepatan gelombang. Gelombang tsunami yang terbentuk pada
model revetment dengan modifikasi pada dug pool berupa reklamasi kolam adalah
yang tercepat mencapai jalan dibandingkan dengan gelombang tsunami dengan
pada model revetment dengan modifikasi dug pool berupa reklamasi+pohon dan
modifikasi dug pool dengan penambahan pohon. Waktu yang dibutuhkan oleh
gelombang pada model dengan modifikasi reklamasi kolam untuk mencapai jalan
adalah 1,88 detik sedangkan pada model dengan modifikasi reklamasi
kolam+pohon adalah 2,15 detik dan pada model dengan modifikasi penambahan
pohon adalah 2,22 detik. Waktu tiba gelombang pada wave gauge 1 dan 2 dengan
skenario model yang berbeda namun lebar bukaan pintu yang sama secara umum
45
hampir sama karena letak perletakan wave gauge 1 dan 2 tidak dipengaruhi oleh
skenario. Perletakan wave gauge 3 letaknya tidak jauh daerah wave gauge 2
sehingga pengaruh dari skenario dari model yang ada kecil. Waktu yang dibutuhkan
oleh gelombang dengan modifikasi reklamasi kolam untuk mencapai Wave Gauge
1 adalah 0,40 detik sedangkan dengan modifikasi reklamasi kolam+pohon adalah
0,40 detik dan modifikasi dug pool dengan penambahan pohon adalah 0,40 detik.
Waktu yang dibutuhkan oleh gelombang dengan modifikasi reklamasi kolam untuk
mencapai Wave Gauge 2 adalah 1,06 detik sedangkan dengan modifikasi reklamasi
kolam+pohon adalah 1,06 detik dan modifikasi dug pool dengan penambahan
pohon adalah 1,06 detik. Waktu yang dibutuhkan oleh gelombang dengan
modifikasi reklamasi kolam untuk mencapai Wave Gauge 3 adalah 1.38 detik
sedangkan dengan modifikasi reklamasi kolam+pohon adalah 1,42 detik dan
modifikasi dug pool dengan penambahan pohon adalah 1,43 detik. Data pembacaan
setiap Wave Gauge untuk percobaan 1 tercatat dalam tabel B.4 lampiran B. Setiap
data pembacaan Wave Gauge disubstitusikan kedalam persamaan regresi 4.1, 4.2
dan 4.3 untuk mengubah hasil bacaan tinggi voltase (Volt) menjadi kedalaman
sensor yang terkena gelombang (cm). Data pembacaan Wave Gauge yang
digunakan hanya selama 5 detik yaitu ketika awal pembukaan pintu sampai
gelombang mencapai model jalan dan air tampungan telah kosong. Data pembacaan
setiap Wave Gauge untuk percobaan 1 tercatat dalam tabel B.4.4 lampiran B. Setiap
data pembacaan Wave Gauge disubstitusikan kedalam persamaan regresi 4.1, 4.2
dan 4.3 untuk mengubah hasil bacaan tinggi voltase (Volt) menjadi kedalaman
sensor yang terkena gelombang (cm). Data pembacaan Wave Gauge yang
digunakan hanya selama 5 detik yaitu ketika awal pembukaan pintu sampai
gelombang mencapai model jalan dan air tampungan telah kosong.
model laut di bandingkan dengan waktu tiba gelombang pada model jalan sehingga
dapat diketahui pengaruh kecepatan gelombang tsunami dilaut terhadap waktu tiba
tsunami pada titik tinjau, dalam penelitian ini titik tinjauan berada pada model jalan.
Panjang total model fisik tsunami yang dibangun ialah 634,2 cm. Panjang
model yang diletakkan pada saluran gelombang dibagi menjadi 4 bagian, bagian
pertama yaitu pada model pantai sepanjang 114.5 cm dimulai dari pintu sampai
Wave Gauge 1. Bagian kedua dimulai dari Wave Gauge 1 sampai Wave Gauge 2
yaitu sepanjang 249 cm, bagian ketiga dimulai dari Wave Gauge 2 sampai Wave
Gauge 3 yaitu sepanjang 107.6 cm dan yang terakhir bagian keempat dimulai dari
Wave Gauge 3 sampai model jalan yaitu sepanjang 163.1 cm. setelah mengetahui
jarak dan waktu, kecepatan gelombang pada model dapat dihitung. Untuk lebih
jelasnya kecepatan gelombang tsunami pada model diperlihatkan pada Tabel 4.1.
tabel 4.1. menunjukkan perbandingan dari tinggi, waktu, dan kecepatan dari
setiap percobaan. Dari tabel diatas dapat disimpulkan bahwa kecepatan gelombang
tsunami pada model akan tereduksi oleh model seawall dan dug pool bervariasi
sesuai dengan skenario dug pool yang digunakan. Skenario reklamasi memiliki
reduksi paling rendah yaitu 4,70%-10,74% dari kecepatan awal. Skenario reklamasi
47
dengan pohon serta skenario dug pool dengan pohon masing-masing memiliki
reduksi sebesar 35,06%-54,71% serta 40,07 %-61,42%.
Hasil Analisa data dari pemodelan fisik yang dilakukan menghasilkan
hubungan kecepatan gelombang tsunami terhadap waktu tiba gelombang tsunami
pada titik tinjauan yaitu jalan. Hubungan kecepatan gelombang tsunami di laut
terhadap waktu tiba gelombang pada titik tinjau diperlihatkan pada Gambar 4.6.
4.000
2.135
rek 10 cm
y = ‐0.7414x + 4.0697 1.083
rek+phn 10 cm
3.500 R² = 0.7677
0.923
dug+phn 10 cm
waktu tiba tsunami model (s)
rek 20 cm
2.791
3.000 rek+phn 20 cm
1.703
dug+phn 20 cm
1.556
rek 30 cm
3.059
2.500 rek+phn 30 cm
1.997
dug+phn 30 cm
1.818
2.000 rek 40 cm
3.268
rek+phn 40 cm
2.227
dug+phn 40 cm
2.055
1.500
0.800 1.000 1.200 1.400 1.600 1.800 2.000 2.200 2.400 2.600 2.800 3.000 3.200 3.400 3.600
Kecepatan tsunami pada model (m/s)
Tinggi
H Prototip vPL V P(wG2 ‐ WG3) V P(wG3 ‐ j)
Percobaan skenario dugpool H Bangkitan (cm) Pengisia
Bangkitan (m) (m/s)** (m/s) (m/s)
n (m)
reklamasi 12.13 2.426 1.000 10.695 10.350 9.546
10 cm reklamasi+pohon 13.56 2.713 1.000 10.695 8.845 4.844
dugpool+pohon 12.60 2.520 1.000 10.695 8.338 4.126
reklamasi 13.56 2.713 1.000 13.435 13.161 12.482
20 cm reklamasi+pohon 13.44 2.688 1.000 13.435 11.400 7.615
dugpool+pohon 13.35 2.669 1.000 13.435 11.149 6.957
reklamasi 13.88 2.775 1.000 14.514 14.287 13.680
30 cm reklamasi+pohon 13.66 2.731 1.000 14.514 12.550 8.933
dugpool+pohon 13.91 2.781 1.000 14.514 12.243 8.132
reklamasi 14.56 2.912 1.000 15.336 15.183 14.616
40 cm reklamasi+pohon 14.53 2.906 1.000 15.336 13.531 9.960
dugpool+pohon 14.72 2.945 1.000 15.336 13.135 9.190
Dari tabel 4.2 dapat dilihat bahwa terjadi reduksi antara kecepatan di laut
dengan kecepatan dug pool hal ini membuktikan bahwa terjadi pengaruh seawall
dan dug pool terhadap kecepatan tsunami. Reduksi kecepatan terbesar prototip
diperoleh pada percobaan 10 cm skenario dug pool dengan pohon yaitu sebesar
61,42 % dengan kecepatan prototip tsunami di jalan sebesar 4,126 m/s. Reduksi
kecepatan terkecil prototip diperoleh pada percobaan 40 cm skenario dug pool
dengan reklamasi yaitu sebesar 4,70% dengan kecepatan prototip tsunami di dug
pool sebesar 14,616 m/s.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
5.2 Saran
49
50
kedepan mampu mensimulasikan model fisik secara lebih nyata dan mendekati
proses alaminya sehingga hasil yang didapat menjadi acuan yang lebih baik dalam
pengaplikasiannya di bidang mitigasi bencana.