Anda di halaman 1dari 5

# PERMASALAHAN ANGGARAN DAN PENGGUNAANNYA

Anggaran merupakan suatu rencana yang disusun secara sistematis dalam bentuk angka atau
nominal dan dinyatakan dalam unit moneter, yang meliputi seluruh aktivitas atau kegiatan yang
dilakukan oleh suatu badan atau perusahaan untuk jangka waktu atau periode tertentu di masa yang
akan datang. Anggaran juga sering disebut rencana keuangan atau akuntabilitas, dimana setiap suatu
rencana dan satuan uang menempati posisi penting dalam setiap kegiatan dari yang terpenting
hingga yang terkecil sekalipun nantinya akan dikuantifikasikan dalam satuang uang. Sehingga bisa
menjadi tolak ukur dalam pencapaian efisiensi dan efektivitas dari suatu kegiatan yang akan
dilakukan. Sedangkan dana dari anggaran itu berasal dari sumber pembiayaan yang bisa dari
pendapatan yang digalang pemerintah maupun bantuan dari pihak asing maupun swasta.

Permasalahan umum dan klasik setiap tahunnya bukan merupakan rahasia umum lagi,
masyarakat sudah memahami pada saat bulan-bulan tertentu pemerintah daerah dan juga pusat.
Dalam merencanakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan juga Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pasti memiliki masalah dan berpotensi merugikan
masyarakat. Permasalah Anggaran di Indonesia yang sering kita jumpai, baik APBN maupun APBD
menurut Ahmad Erani Yustik Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and
Finance (INDEF) adalah :

APBN atau APBD selalu di desain defisit baik dari dinas atau instansi terkait sehingga memberi
kesempatan adanya inefisiensi dan praktik koruptif.

Desain APBN atau APBD hanya dipahami sebagai proses teknokratis untuk mengalokasikan
sumber daya ekonomi (anggaran), tetapi APBN tidak dimengerti juga sebagai instrumen ideologis
untuk mendekatkan tujuan bernegara sebagai amanat konstitusi.

Asumsi ekonomi makro yang disusun hanya mendasaarkan kepada tujuan sempit tetapi
mengabaikan semangat keadilan sosial, seperti aspek ketimpangan pendapatan.

Besaran anggaran tidak mencerminkan permasalahan dan kontekstualisasi dasar pembangunan


nasional. Buktinya, alokasi anggaran ke sektor perkebunan dan industri pertanian tergolong kecil
padahal sebagian tenaga kerja berada di sektor tersebut.

Amanah UU tidak semuanya dijalankan dengan baik. Sebagai contoh, alokasi anggaran kesehatan
diharuskan minimal 5 persen dari APBN, namun selama ini dilakukan pemotongan anggaran
sehingga mendapatkan porsi kurang dari 2 persen.

Penerimaan negara dihitung sangat rendah, baik yang bersumber dari pajak maupun Penerimaan
Negara Bukan Pajak (PNBP) sehingga membuka peluang terjadinya korupsi baik oleh perorangan
maupun kelompok yang menyebabkan penerimaan negara terus berkurang seperti yang terus
berulang selama ini.

Selain faktor di atas yang menjadikan masalah dalam pembuatan anggaran di daerah terus
muncul adalah dalam sistem mekanisme pembuatan APBD itu sendiri. Jika faktor sebelumnya yang
menjadikan permasalahan adalah pemborosan penggunaan anggaran belanja yang dibelanjakan oleh
pegawainya dan tentu saja tidak tepat sasaran yang seharusnya dapat dirasakan oleh masyarakat

1
umum. Permasalahan terkait pembuatan anggaran di daerah itu karena inkonsistensi yang tidak
hanya dilakukan oleh pemerintah daerah namun juga dilakukan oleh DPRD, akibat inkonsistensi
tersebut banyak program yang ingin dijalankan oleh pemerintah daerah tidak sesuai dengan
anggaran yang direncanakan. Alhasil, ketika masuk dalam tahap pelaksanaan program tersebut sulit
dijalankan.

Pemerintah seharusnya mengatur regulasi untuk menindaklanjuti pihak yang menyusun


anggaran baik di pusat maupun daerah, dan perlu adanya pihak yang membenahi agar fungsi dan
tujuan anggaran kembali secara jelas sesuai dengan awal yang telah direncanakan. Peran DPR/DPRD
perlu terus diawasi oleh lembaga terkait seperti KPK supaya penyusunan dan penetapan anggaran
belanja sesuai dengan yang telah direncanakan dan tidak salah sasaran sesuai aturan pokok yang
telah ditetapkan Undang-Undang Dasar 1945. Selaras dengan tujuan yang telah diamanatkan
undang-undang keuangan negara dilampirkan bahwa belanja negara/daerah dirinci sampai unit
terkecil seperti ; organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja. Dimana unit kegiatan
hingga jenis belanja perlu selaras denga satu sama lain agar mendapat persetujuan DPR/DPRD yang
nantinya akan dikaji oleh dinas keuangan.

Permasalahan yang sering muncul dalam upaya memperbaiki proses pembuatan anggaran di
sektor publik adalah penerapan anggaran berbasis prestasi kerja (kinerja/hasil). Karena sistem
anggaran berbasis prestasi kerja/hasil memerlukan syarat yaitu pengendalian kinerja dan evaluasi
serta untuk menghindari duplikasi dalam penyusunan rencana kerja dan anggaran dari kementrian
negara hingga perangkat daerah. Sistem ini perlu ada penyatuan akuntabilitas kinerja dengan sistem
anggaran dengan mengacu pada sistem penyusunan rencana kerja yang telah mendapatkan izin dari
kementrian negara hingga perangkat daerah.

Anggaran tidak hanya bergerak di sektor publik namun juga di berbagai sektor lainnya dan
dari setiap sektor itu tidak luput dari berbagai permasalahan. Salah satunya adalah di bidang
pendidikan Indonesia setidaknya selalu mengalokasikan anggaran pendidikan dengan peningkatan
setiap tahunnya, seperti pada tahun 2015 pemerintah menanggarkan pendidikan sebesar Rp390,3
Triliun atau 21,56 persen dari realisasi APBN 2015 sebesar Rp1.810 Triliun. Setelah itu
peningkatan terjadi lagi pada tahun 2017 anggaran pendidikan mengalami kenaikan sebesar 20,28
persen atau senilai Rp406 Triliun dari total belanja pemerintah sebesar Rp2.001 Triliun pada 2017.
Lalu pada tahun ini 2019 dalam APBN 2019, pemerintah kembali menganggarkan belanja pendidikan
sebesar Rp492,5 triliun atau 20,01 persen dari total belanja negara sebesar Rp2.461,1 triliun.

Namun anggaran yang semakin tinggi setiap tahunnya tidak menjadi jaminan akan mutu dan
kualitas pendidikan di Indonesia. Pemerintah sebenarnya sudah punya keinginan politik dan
anggaran untuk memajukan pendidikan, hanya saja eksekusi anggaran itu tidak baik berjalan dengan
baik. Sehingga kualitas pendidikan di Indonesia tak sebanding dengan anggaran yang telah
dikeluarkan hingga saat ini. Kualitas pendidikan di Indonesia saja bahkan kalah dari negara tetangga
Vietnam yang tiap tahunnya menganggarkan anggaran yang sama untuk pendidikan seperti di
Indonesia.

Itu baru sebatas satu indikator pendidikan saja belum dari indicator yang lain. Indikator
pendidikan lainnya juga menunjukkan bahwa anggaran pendidikan belum berhasil membuat anak-
anak melenggang ke jajaran pendidikan yang lebih tinggi. Data Badan Pusat Statistik (BPS)
menunjukkan Angka Partisipasi Sekolah (APS) semakin menurun setiap siswa bertambah usia. Di
tahun 2017, angka partisipasi sekolah usia 7 hingga 12 tahun tercatat 99,14 persen. Namun, angka
ini kemudian menurun untuk usia golongan 13 hingga 15 tahun yakni 95,08 persen. Partisipasi ini

2
kemudian menurun untuk golongan usia 16 hingga 18 tahun dan 19 hingga 24 tahun dengan masing-
masing angka partisipasi 71,42 persen dan 24,77 persen.

Masalah anggaran saat ini bukanlah hal yang menjadi penyebab kualitas pendidikan
Indonesia rendah. Anggaran yang dikeluarkan pemerintah sebesar 20 persen dari APBN dianggap
sudah cukup mumpuni untuk memenuhi pendidikan di Indonesia, sehingga harusnya persoalan
kualitas pendidikan tidak lagi berkutat mengenai jumlah anggaran. Sehingga ada tiga permasalahan
yang terkait dengan pengelolaan anggaran pendidikan di Indonesia. Pertama yang harus dilakukan
adalah mengedepankan kebijakan di bidang pendidikan tak punya cetak biru (blueprint) mengenai
output sistem pendidikan di Indonesia. Dengan kata lain, anggaran yang dikeluarkan untuk
pendidikan saat in tidak memiliki tujuan yang jelas karena tidak terealisasi sesuai dengan rencana
anggaran.

Selain itu, masalah kedua yang menjadi kendala adalah ketiadaan pihak yang memimpin
(leading sector) pengelolaan anggaran pendidikan. Sebagai contoh pengelolaan sekolah dasar di
bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan madrasah ibitidaiyah oleh
Kementerian Agama yang sejatinya memiliki kurikulum yang hampir sama, kecuali soal pendidikan
agama. Perbedaan pengelolaan itu membuat masing-masing lembaga punya pandangan berbeda
mengenai output siswa yang berkualitas. Dengan kata lain pembiayaan anggaran yang dilakukan jika
terdapat pihak yang memimpinnya maka anggaran yang akan dikeluarkan akan tepat sesuai rencana
sehingga output siswa yang diinginkan dapat berhasil untuk diwujudkan.

Yang terakhir dan paling penting adalah evaluasi. Sejak pemberlakuan mandatori 20 persen
anggaran pendidikan di dalam APBN 10 tahun silam, belum pernah ada evaluasi mengenai korelasi
anggaran dengan kualitas pendidikan yang dihasilkan. Padahal, evaluasi ini sangat penting untuk
menilai, apakah anggaran pendidikan yang besar ini sudah cukup atau memang perlu ditambah lagi.
Jadi permasalahan tiap tahun anggaran yang dikeluarkan oleh pemerintah akan mendapatkan output
yang sesuai dan dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Dan juga permasalahan tingkat
pendidikan dengan negara tetangga pun dapat diatasi dengan tiga komponen yang telah disebutkan
diatas tadi.

Oleh karena itu anggaran yang dikeluarkan oleh pemerintah selama ini sudah lebih dari
cukup, karena berbagai hal yang menyebabkan tidak maksimum hasil yang didapatkan dari berbagai
bidang ataupun sektor yang telah dianggarkan oleh pemerintah menjadi sia-sia. Perlu adanya
kebijakan atau regulasi baru yang ditetapkan pemerintah agar kejadian yang sama tidak berulang
kali. Dimulai dari hal yang sangat sederhana yaitu pada proses pembuatan anggaran harus sesuai
dengan apa yang diperlukan tanpa melebihkan anggaran agar tidak mengalami pembengkakan yang
terus terjadi seperti yang sudah berlalu. Lalu pada proses perizinan tidak hanya dilakukan oleh
DPR/DPRD namun juga perlu ada ikut campur tangan dari pihak tertentu yang memimpin jalannya
pengesahan anggaran agar tidak terjadi inkonsentrasi yang sering terjadi.

Lalu yang terakhir adalaha pemerintah harus lebih giat untuk mengkaji setiap anggaran
yang telah ditetapkan sesuai tidak dengan rencana yang telah dibuat. Jika terjadi kesalahan
pemerintah bisa mengkoreksi dan membuat atispasi agar hal serupa tidak terjadi di tahun depan
dalam proses pembuatan anggaran.

Anggaran tidak hanya bergerak di sektor publik namun juga di berbagai sektor lainnya dan dari
setiap sektor itu tidak luput dari berbagai permasalahan. Salah satunya adalah di bidang pendidikan
Indonesia setidaknya selalu mengalokasikan anggaran pendidikan dengan peningkatan setiap

3
tahunnya, seperti pada tahun 2015 pemerintah menanggarkan pendidikan sebesar Rp390,3 Triliun
atau 21,56 persen dari realisasi APBN 2015 sebesar Rp1.810 Triliun. Setelah itu peningkatan terjadi
lagi pada tahun 2017 anggaran pendidikan mengalami kenaikan sebesar 20,28 persen atau senilai
Rp406 Triliun dari total belanja pemerintah sebesar Rp2.001 Triliun pada 2017. Lalu pada tahun ini
2019 dalam APBN 2019, pemerintah kembali menganggarkan belanja pendidikan sebesar Rp492,5
triliun atau 20,01 persen dari total belanja negara sebesar Rp2.461,1 triliun.

Namun anggaran yang semakin tinggi setiap tahunnya tidak menjadi jaminan akan mutu dan
kualitas pendidikan di Indonesia. Pemerintah sebenarnya sudah punya keinginan politik dan
anggaran untuk memajukan pendidikan, hanya saja eksekusi anggaran itu tidak baik berjalan dengan
baik. Sehingga kualitas pendidikan di Indonesia tak sebanding dengan anggaran yang telah
dikeluarkan hingga saat ini. Kualitas pendidikan di Indonesia saja bahkan kalah dari negara tetangga
Vietnam yang tiap tahunnya menganggarkan anggaran yang sama untuk pendidikan seperti di
Indonesia.

Itu baru sebatas satu indikator pendidikan saja belum dari indicator yang lain. Indikator
pendidikan lainnya juga menunjukkan bahwa anggaran pendidikan belum berhasil membuat anak-
anak melenggang ke jajaran pendidikan yang lebih tinggi. Data Badan Pusat Statistik (BPS)
menunjukkan Angka Partisipasi Sekolah (APS) semakin menurun setiap siswa bertambah usia. Di
tahun 2017, angka partisipasi sekolah usia 7 hingga 12 tahun tercatat 99,14 persen. Namun, angka
ini kemudian menurun untuk usia golongan 13 hingga 15 tahun yakni 95,08 persen. Partisipasi ini
kemudian menurun untuk golongan usia 16 hingga 18 tahun dan 19 hingga 24 tahun dengan masing-
masing angka partisipasi 71,42 persen dan 24,77 persen.

Masalah anggaran saat ini bukanlah hal yang menjadi penyebab kualitas pendidikan
Indonesia rendah. Anggaran yang dikeluarkan pemerintah sebesar 20 persen dari APBN dianggap
sudah cukup mumpuni untuk memenuhi pendidikan di Indonesia, sehingga harusnya persoalan
kualitas pendidikan tidak lagi berkutat mengenai jumlah anggaran. Sehingga ada tiga permasalahan
yang terkait dengan pengelolaan anggaran pendidikan di Indonesia. Pertama yang harus dilakukan
adalah mengedepankan kebijakan di bidang pendidikan tak punya cetak biru (blueprint) mengenai
output sistem pendidikan di Indonesia. Dengan kata lain, anggaran yang dikeluarkan untuk
pendidikan saat in tidak memiliki tujuan yang jelas karena tidak terealisasi sesuai dengan rencana
anggaran.

Selain itu, masalah kedua yang menjadi kendala adalah ketiadaan pihak yang memimpin
(leading sector) pengelolaan anggaran pendidikan. Sebagai contoh pengelolaan sekolah dasar di
bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan madrasah ibitidaiyah oleh
Kementerian Agama yang sejatinya memiliki kurikulum yang hampir sama, kecuali soal pendidikan
agama. Perbedaan pengelolaan itu membuat masing-masing lembaga punya pandangan berbeda
mengenai output siswa yang berkualitas. Dengan kata lain pembiayaan anggaran yang dilakukan jika
terdapat pihak yang memimpinnya maka anggaran yang akan dikeluarkan akan tepat sesuai rencana
sehingga output siswa yang diinginkan dapat berhasil untuk diwujudkan.

Yang terakhir dan paling penting adalah evaluasi. Sejak pemberlakuan mandatori 20 persen
anggaran pendidikan di dalam APBN 10 tahun silam, belum pernah ada evaluasi mengenai korelasi
anggaran dengan kualitas pendidikan yang dihasilkan. Padahal, evaluasi ini sangat penting untuk
menilai, apakah anggaran pendidikan yang besar ini sudah cukup atau memang perlu ditambah lagi.
Jadi permasalahan tiap tahun anggaran yang dikeluarkan oleh pemerintah akan mendapatkan output
yang sesuai dan dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Dan juga permasalahan tingkat

4
pendidikan dengan negara tetangga pun dapat diatasi dengan tiga komponen yang telah disebutkan
diatas tadi.

Oleh karena itu anggaran yang dikeluarkan oleh pemerintah selama ini sudah lebih dari
cukup, karena berbagai hal yang menyebabkan tidak maksimum hasil yang didapatkan dari berbagai
bidang ataupun sektor yang telah dianggarkan oleh pemerintah menjadi sia-sia. Perlu adanya
kebijakan atau regulasi baru yang ditetapkan pemerintah agar kejadian yang sama tidak berulang
kali. Dimulai dari hal yang sangat sederhana yaitu pada proses pembuatan anggaran harus sesuai
dengan apa yang diperlukan tanpa melebihkan anggaran agar tidak mengalami pembengkakan yang
terus terjadi seperti yang sudah berlalu. Lalu pada proses perizinan tidak hanya dilakukan oleh
DPR/ DPRD namun juga perlu ada ikut campur tangan dari pihak tertentu yang memimpin jalannya
pengesahan anggaran agar tidak terjadi inkonsentrasi yang sering terjadi.

Lalu yang terakhir adalaha pemerintah harus lebih giat untuk mengkaji setiap anggaran
yang telah ditetapkan sesuai tidak dengan rencana yang telah dibuat. Jika terjadi kesalahan
pemerintah bisa mengkoreksi dan membuat atispasi agar hal serupa tidak terjadi di tahun depan
dalam proses pembuatan anggaran.

Anda mungkin juga menyukai