Anda di halaman 1dari 22

MACAM-MACAM KESALAHAN DAN CARA MENGATASINYA

MAKALAH

diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah


Ilmu Ukur Tanah yang diampu oleh Dr. Ir. H. Iskandar Muda P., M.Pd.

disusun oleh
Wildan Baladan Ad’n (1700189)
Tazkia Chandra Pelita Sukma (1700168)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN TEKNIK BANGUNAN


FAKULTAS PENDIDIKAN TEKNOLOGI DAN KEJURUAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2018
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan syukur, penulis telah menyelesaikan penyusunan


makalah ini, walaupun tidak sedikit hambatan dan kesulitan yang penulis hadapi,
tiada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah yang Mahakuasa.
Penyusunan makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Ilmu Ukur Tanah.
Makalah ini masih banyak kekurangan dan belum dikatakan sempurna
karena keterbatasan wawasan penulis. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
bersifat membangun penulis harapkan agar dalam membuat makalah di waktu yang
akan datang bisa lebih baik lagi. Harapan penulis semoga makalah ini bisa berguna
bagi pembaca dan menambah ruang lingkup ilmu pengetahuan yang ada. Terima
kasih kepada pihak yang telah membantu penyelesaian makalah ini. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat khususnya untuk mahasiswa.

Bandung, 5 September 2018

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………… i
DAFTAR ISI……………………………………………………………………. ii
DAFTAR GAMBAR…………………...………………………………………. iii

BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………….. 1
1.1 Latar Belakang……………………………………………...………………... 1
1.2 Rumusan Masalah…………………………………………………...……….. 1
1.3 Tujuan Penulisan……………………………………………………………... 1
1.4 Manfaat Penulisan……………………………………………………………. 2

BAB II PEMBAHASAN……………………………………………..………..... 3
2.1 Kesalahan-Kesalahan pada Survei dan Pemetaan.……………...……………. 3
2.1.1 Kesalahan pada Pengukuran KDV……………………….....…………. 5
2.1.2 Kesalahan pada Pengukuran KDH…………………………………….. 6
2.2 Kesalahan Sistematis……….…………...…………………...……………….. 3
2.3 Kesalahan Acak………...……...…………………………...……………...…. 5
2.4 Kesalahan Besar………………………………………………………………. 9

BAB III PENUTUP………………………………….…………………..…..… 16


3.1 Kesimpulan…………………………………………………………….…..... 16
3.2 Saran………………………………………………………………………… 17

DAFTAR PUSTAKA…………………………...………………………...…… 18

ii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Kesalahan Pembacaan Rambu……………………………………… 3


Gambar 2.2 Pengukuran Sipat Datar……………………………………..….…… 4
Gambar 2.3 Prosedur Pemindahan Rambu………………..……...……………… 6
Gambar 2.4 Kesalahan Kemiringan Rambu……………………………………… 9
Gambar 2.5 Pengaruh Kelengkungan Bumi…………………….……………..... 10
Gambar 2.6 Kesalahan Kasar Sipat Datar……………………………………..... 11
Gambar 2.7 Kesalahan Sumbu Vertikal…………………………...…………..... 12
Gambar 2.8 Pengaruh Kesalahan Kompas t0 Theodolite……………………..... 13
Gambar 2.9 Sket Perjalanan…………………………………………………….... 5
Gambar 2.10 Gambar Kesalahan Hasil Survei……………………………………..
Gambar 2.11 Kesalahan Karena Penurunan Alat………………………………….
Gambar 2.12 Pembacaan pada Rambu I……………………………………………
Gambar 2.13 Pembacaan pada Rambu II…………………………………………
Gambar 2.14 Kesalahan Skala Nol Rambu……………………………………….
Gambar 2.15 Bukan Rambu Standar………………………………………………

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, penulis
merumuskan masalah sebagai berikut.
1. Bagaimana kriteria pengukuran yang mengalami kesalahan?
2. Apa penyebab terjadinya kesalahan pengukuran?
3. Apa saja kesalahan yang terjadi dalam survei dan pemetaan?
4. Apa saja macam-macam kesalahan?

1.3 Tujuan Penulisan


Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk:
1. Mengetahui kriteria pengukuran yang mengalami kesalahan;
2. Mengetahui penyebab terjadinya kesalahan pengukuran;
3. Mengetahui kesalahan yang terjadi dalam survei dan pemetaan;
4. Mengetahui macam-macam kesalahan yang terjadi.

1.4 Manfaat Penulisan


Manfaat yang didapat dari penulisan makalah ini adalah:
1. Bagi mahasiswa, untuk menambah wawasan dan bekal untuk menerapkan
pendidikan;
2. Bagi penulis, untuk mengoreksi dan menambah pengetahuan sebelumnya;
3. Bagi pendidik, untuk pedoman dalam menyiapkan pendidikan.

ii
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Kesalahan-Kesalahan pada Survei dan Pemetaan


Menurut Purwaamijaya (2008) Pengukuran terdiri dari kegiatan mengukur, alat
ukur, dan pengukur atau pengamat. Ketiga komponen ini tidak sempurna ditambah
dengan faktor lingkungan maka tidak ada hasil pengukuran yang absolut atau
mutlak nilai kebenarannya. Ketidaktelitian ini dapat terjadi karena kesalahan
mengukur, kondisi alat, maupun keterampilan pengukur. Kesalahan dalam
pengukuran yang dinyatakan dengan syarat:
1. Pengukuran tidak selalu tepat;
2. Setiap pengukuran mengandung galat;
3. Harga sebenarnya dari suatu pengukuran tidak pernah diketahui;
4. Kesalahan yang tepat selalu tidak diketahui.
Sumber kesalahan yang menjadi penyebab yaitu:
1. Alam
Faktor alam ini berupa perubahan angina, suhu, kelembaban udara, pembiasan
cahaya, gaya berat, dan deklinasi magnetik.
2. Alat
Kesalahan pengukuran karena alat dapat terjadi karena konstruksi yang tidak
sempurna atau penyetelan instrumen.
3. Pengukur
Pengukur atau pengamat memiliki keterbatasan masing-masing, termasuk
keterbatasan melihat, merasa, dan meraba.
Kondisi alam merupakan suatu fungsi yang berlanjut, namun mempunyai
karakteristik dinamis atau berubah. Hal ini yang menyebabkan banyak aplikasi pada
bidang pengukuran dan pemetaan yang bergantung dari alam. Pelaksanaan
pekerjaan dan pengukuran dalam sudut, jarak, dan koordinat titik pada foto udara
diperlukan instrument yang prosedurnya untuk mengupayakan kesalahan yang
kecil. Jika terjadi kesalahan, maka pengukuran harus diulang.
Kesalahan dapat ditemukan jika melakukan pengecekan secara sistematis
seluruh pekerjaan jika kesalahan terjadi akibat salah mengerti permasalahan,

ii
kelalaian, atau pertimbangan yang buruk. Kesalahan ini dapat dihilangkan dengan
mengulang sebagian atau seluruh pekerjaan. Kesalahan juga sering terjadi saat
melaksanakan ukuran datar. Kesalahan ini dapat digolongkan dalam:
1. Kesalahan karena Alat
a. Kurang datarnya garis bidik

Gambar 2.1 Kesalahan Pembacaan Rambu


Bila garis bidik datar, maka pembacaan rambu A= Pa dan rambu B=Pb.
Perbedaan tinggi (∆H)= Pa-Pb. Bila garis tidak horizontal dan membuat sudut 𝛼
dengan garis horizontal, maka pembacaan rambu A menjadi Pa’ dan rambu B
menjadi Pb’, sehingga perbedaan tinggi (∆H)= Pa’-Pb’. Dalam hal ini, Pa’-Pb’ akan
sama dengan Pa-Pb. Bila pengukuran dilakukan dari tengah AB (PA=PB=1) karena
Pa’Pa= Pb’Pb= ∆. Tetapi, jika pengukuran tidak dilakukan di tengah AB, misal dari
Q, maka hasil pengukuran adalah qa-qb dan qa-qb ≠Pa-Pb karea qa-Pa= ∆1 dan qa-
Pb= ∆2. Maka dari itu, pengukuran sebisa mungkin dilakukan dari titik tengah.

b. Tidak samanya titik o dari rambu


Pada gambar 2.2 misal titik O dari rambu tidak sama karena salah satu rambu
sudah aus, sehingga titik O dari rambu B bergeser 1 mm. Dengan demikian, rambu
A dibaca 1.000 mm dan di rambu B dibaca 999 mm. Bila pengukuran dilakukan
dengan meletakkan rambu A selalu di belakang rambu B, maka kesalahan A-B
selalu mempunyai tanda yang sama tiap sipatan kesalahannya yaitu +1 mm. kalau
ada 100 sipatan maka menjadi 100 mm.

ii
Gambar 2.2 Pengukuran Sipat Datar
Untuk mengatasi hal tersebut, maka tiap kali sipatan rambu belakang harus
ditukar dengan rambu depan seperti pada gambar 2.3. Kesalahannya akan menjadi
A-B= +1 mm; B-A= -1 mm, dan seterusnya.

Gambar 2.3 Prosedur Pemindahan Rambu

c. Kurang tegak lurusnya rambu


Syarat utama dalam melaksanakan pengukuran adalah garis bidik harus datar
horizontal dan rambu harus lurus vertikal. Bila rambu dalam keadaan lurus vertikal,
maka pembacaan rambu= Pa, namun jika rambu tidak vertikal maka pembacaan
rambu menjadi Pa’ dan APa≠APa’; APa’ > APa. Dengan demikian, agar tidak
terjadi kesalahan rambu harus benar-benar vertikal, caranya dapat dilaksanakan
dengan nivo.

ii
Gambar 2.4 Kesalahan Kemiringan Rambu
2. Kesalahan karena Pengaruh Luar/Alam
a. Cuaca
Cuaca terik dari panas matahari dapat memengaruhi pelaksanaan ukuran datar.
Karena panas matahari saat jam 11.00 sampai jam 14.00 akan menimbulkan
gelombang udara yang dapat dilihat melalui teropong. Karena gelombang udara ini
dapat terlihat, maka angka pada rambu ikut bergelombang dan akan sulit dibaca.
b. Lengkungan bumi

Gambar 2.5 Pengaruh Kelengkungan Bumi


Permukaan bumi yang melengkung namun datangnya sinar lurus dapat menjadi
faktor kesalahan. Pada gambar oleh alat ukur data dibaca titik A pada rambu, namun
perbedaan tinggi mengikuti lengkungan bumi sehingga dibaca B. dengan demikian,
setiap kali pengukuran akan dibuat kesalahan ∆. Besaran ∆ dapat dihitung dengn
cara R2 +𝑎2 = (R+∆)²= R² + 2R∆ + ∆². ∆ jika dikuadratkan dapat dihapus karena
kecil sekali sehingga didapat R2 +𝑎2 = F+2R. Bilangan ini kecil sekali namun jika

ii
dilakukan kesalahan terus menerus akan menjadi besar. Hal ini dapat diatasi dengan
mengukur dari tengah.

3. Kesalahan karena Pengukur


a. Kesalahan karena Kekhilafan
Kesalahan kasar dapat diatasi dengan mengukur 2 kali dengan tinggi teropong
yang berbeda. Pertama dengan tinggi teropong h1, didapat ∆h1= Pa-Pb. Pada
pengukuran kedua tinggi teropong h2, didapat ∆h2= qa-qb. ∆h1 harus sama dengan
∆h2.

Gambar 2.6 Kesalahan Kasar Sipat Datar


Selain itu, dapat juga diatasi dengan membaca benang atas dan benang bawah
sebab benang atas+benang bawah/2= benang tengah. Sifat kesalahan dapat dibagi
menjadi tiga yaitu:
1) Kesalahan kasar yaitu kesalahan yang besarnya satuan pembacaannya.
2) Kesalahan teratur yaitu terjadi teratur setiap melakukan pengukuran dan
biasanya karena alat.
3) Kesalahan yang tak teratur yaitu disebabkan karena kurang sempurnya panca
indera maupun alat.

2.1.1 Kesalahan pada Pengukuran KDV


Kesalahan ini terjadi akibat berhimpitnya sumbu vertikal theodolite dengan
garis arah vertikal. Sumbu vertikal theodolite x miring dan membentuk sudut v

ii
terhadap garis vertikal x. AB merupakan arah kemiringan maksimum dengan
sasaran s pada sudut elevasi h dalam keadaan sumbu vertikal theodolite berhimpit
dengan arah garis vertikal sehingga menghasilkan posisi csd darah arah u dari
kemiringan maksimum. Dalam keadaan dimana sumbu vertikal theodolite miring
sebesar v terhadap garis vertikal menghasilkan lintasan c’sd’ dalam arah u’ dari
kemiringan yang maksimum. Dari dua lintasan ini akan menghasilkan segitiga bola
scc’ yang sumbu vertikal 𝛽 dalam persamaan berikut.
𝛽= u’-u
𝛽= v sin u’ ctgn (90-h)
𝛽= v sin u’ tgn h
Koreksi kesalahan pada pengukuran dasar vertikal menggunakan alat sipat
datar optis. Koreksi didapat dari pengukuran dengan dua rambu, yaitu rambu depan
dan rambu belakang yang berdiri 2 stand. Koreksi kesalahan acak dilakukan untuk
memperoleh beda tinggi dan titik tinggi ikat definit. Sebelum pengolahan data sipat
datar KDV dilakukan, pertama koreksi kesalahan sistematis harus dilakukan dalam
pembacaan benang tengah.

Gambar 2.7 Kesalahan Sumbu Vertikal


Salah satu pengaplikasian pada pengukuran KDH dapat dilihat dari
pengukuran sipat datar. Pada pengukuran KDV menggunakan sipat datar optis,
koreksi berupa koreksi garis bidih yang didapatkan melalui pengukuran sipat datar
dengan menggunakan 2 rambu.

2.1.2 Kesalahan pada Pengukuran KDH


Kesalahan ini disebabkan akibat sumbu horizontal tidak tegak lurus sumbu
vertikal. Kedudukan garis kolimasi dengan teleskop mengarah pada s berputar

ii
mengelilingi sumbu horizontal adalah csd. Apabila sumbu horizontal miring
sebesar I menjadi a’b’, tempat kedudukan adalah c’sd’. Dalam segitiga bola sdd,
dd’= 𝛼 merupakan kesalahan horizontal, dan bila sumbu horizontal miring sebesar
i maka, sin 𝛼= tgn h/thn (90-i). tgn h. tgn I (karena a dan i biasanya kecil, persamaan
dapat terjadi 𝛼= i tan h.
Kesalahan acak pada pengukuran KDH dilakukan untuk memperoleh harga
koordinat definitip. Sebelum pengolahan polygon KDH, koreksi sistematis harus
dilakukan dalam pembacaan sudut horizontal. Control koordinat menggunakan 4
atau 2 buah titik ikat.
Jarak datar dan sudut polygon setiap titik merupakan variabel dalam
memperoleh koordinat definitip. Syarat yang ditetapkan adalah syarat absis dan
ordinat. Bobot koreksi sudut tidak diperhitungkan. Sedangkan bobot koreksi absis
dan ordinat diperhitungkan dengan metode:
1. Metode Bowditch
Metode ini bobot koreksinya berdasarkan jarak datar langsung
2. Metode Transit
Bobot koreksinya dihitung berdasarkan proyeksi jarak langsung terhadap
sumbu x dan y. semakin besar jarak langsung dan ordinat maka semakin besar
nilainya.
Sebelumnya telah dijelaskan tentang bentuk kesalahan yang mungkin terjadi
pada saat pengukuran. Kesalahan dapat disebabkan oleh:
1. Kesalahan karena alat yang digunakan.
Alat yang digunakan yaitu mistar dan alat ukur penyipat datar. Pertama-tama
akan ditinjau kesalahan pada alat ukur penyipat datar, adakah hubungan antara
kesalahan dengan syarat utama. Kesalahan ini adalah garis bidik tidak sejajar
dengan garis arah nivo.
2. Kesalahan karena alam.
Karena kelengkungan bumi, bidang nivo akan melengkung juga. Lalu karena
lengkungnya sinar cahaya dan akan dijelaskan di koreksi Boussole. Selanjutnya
karena getaran udara, dan masuknya lagi tiga kaki dan mistar ke dalam tanah.
Terakhir dapat disebabkan karena perubahan garis nivo.
3. Kesalahan karena pengukur.

ii
Kesalahan pada pengukur dapat berupa kesalahan pada mata, pembacaan,
dan kesalahan yang kasar.
Salah satu pengaplikasian pengukuran KDH ini dengan pengukuran
Tachymetri dengan alat theodolite. Kesalahan dalam cara Tachymetri dengan
theodolite dapat berupa sebagai berikut,
Kesalahan alat yang berupa:
1. Jarum kompas tidak benar lurus.
2. Jarum kompas tidak bergerak bebas pada porosnya.
3. Garis bidik tidak tegak lurus sumbu mendatar.
4. Garis skala 0°-180° atau 180°-0° tidak sejajar garis bidik.
5. Letak teropong eksentris/.
6. Poros penyangga magnet tidak sepusat dengan skala lingkaran mendatar.
Kesalahan pengukuran yang berupa:
1. Pengaturan alat tidak sempurna.
2. Salah taksir pembacaan.
3. Salah catat
Kesalahan faktor alam yang berupa:
1. Deklinasi magnet.
2. Atraksi lokal.
Kesalahan pengukuran cara offset berupa kesalahan arah garis offset 𝛼 dengan
panjang l yang tidak tegak lurus dapat mengakibatkan kesalahan arah sejajar garis
ukur= l sin𝛼 dan kesalahan arah tegak lurus garis ukur= 1-1 cos 𝛼. Ketelitian
pengukuran cara offset dalam diupayakan dengan cara:
1. Titik kerangka dasar dipilih mendekati bentuk segitiga sama sisi.
2. Jumlah garis ukur sesedikit mungkin, garis tegak lurus garis ukur sependek
mungkin, dan garis ukur pada bagian datar.
3. Garis pada offset pada cara siku-siku harus tegak lurus garis ukur.
4. Pita ukur harus mendatar dan diukur seteliti mungkin.
5. Menggunakan kertas gambar yang stabil.
Pada perhitungan survei dengan metode closed traverse selalu terjadi
kesalahan yaitu adanya dua stasiun yang pada kenyataannya hanya ada satu stasiun.

ii
Kesalahan tersebut meliputi kesalahan koordinat dan elevasi stasiun akhir yang
seharusnya sama dengan awal.
Pada survei yang menggunakan theodolite. Kesalahan yang terjadi adalah
akumulatif, kesalahan dalam satu stasiun akan memengaruhi posisi stasiun
berikutnya.

Gambar 2.8 Pengaruh Kesalahan Kompas t0 Theodolite


Untuk survei menggunakan kompas, kesalahan satu stasiun tidak
memengaruhi yang lainnya. Distribusi kesalahan pada survei magnetik dengan cara
jumlat total kesalahan dibagi dengan jumlah lengan survei, kemudian di
distribusikan ke setiap stasiun. Distribusi untuk non-magnetik adalah sebagai
berikut.
1. Perataan penyimpangan elevasi.
Gambar 2.9 Merupakan gambar sket perjalanan tampak samping memanjang.

Gambar 2.9 Sket Perjalanan


Setelah dilakukan perhitungan, elevasi titik akhir yang seharusnya sama
dengan titik 1 ada kesalahan sebesar elevasi koreksi= elevasi titik+koreksi.
2. Perataan penyimpangan koordinat.
Setelah perhitungan, akan menghasilkan statsiun terakhir tidak kembali ke
stasiun awal dan ada selisih jarak sel (d).d²= f(y)²+f(x)².

ii
Gambar 2.10 Gambar Kesalahan Hasil Survei
Penyimpangan adalah penyimpangan absis dan ordinat. Koreksi terhadap
penyimpangan absis yaitu absis terkoreksi= absis lama+koreksi.
3. Koreksi bousole
Untuk menentukan koreksi bousole ada du acara, yaitu:
a. Mengukur azimuth suatu garis yang tertentu.
Garis tertentu yaitu garis yang menghubungkan dua titik P(Xp;Yp) dan
Q(Xq;Yq) yang diketahui koordinatnya. Tempatkan alat ukur BTM pada salah satu
titik. Arahkan garis bidik pada titik Q. Misal pembacaan skala lingkaran mendatar
dengan ujung utara ada A. Hitung sudut 𝛼ab garis PQ dengan tg 𝛼ab= (xq-xp) :
(yp-yp), setelah itu sudut jurusan 𝛼pq disamakan dengan sudut azimuth yang
ditunjuk jarum magnet adalah 𝛼. Maka karena 𝛼 adalah besaran yang betul, maka:
𝛼+ A+C dalam rumus C adalah rumus boussole, sehingga C= 𝛼-A.
b. Mengukur tinggi matahari
Dengan tinggi h, deklinasi 𝛿 bintang dan lintang 𝜑 tempat pengukuran dapat
dihitung azimuth astronomis yang sama dengan azimuth geografis bintang tersebut.
Bila azimuth astronomis dibandingkan dengan azimuth yang ditunjukkan jarum
magnet, dapat ditentukan koreksi boussole. Perlu diperhatikan bahwa pengukur
harus berdiri dengan punggung kea rah matahari yang diukur. Besarnya refraksi
yang mempunyai tanda minus tergantung pada tinggi h dari pengukuran. Tinggi h
didapat dari hasil pengukuran koreksi refraksi dengan tanda minus. Tinggi h yang
diberi koreksi refraksi adalah tinggi sebenarnya dari tepi atas atau tepi bawah
matahari.

2.1.3 Kesalahan Pengukuran


Faktor yang memengaruhi hasil pengukuran sipat datar teliti adalah:

ii
1. Keadaan tanah jalur pengukuran;
2. Keadaan atau kondisi atmosfir;
3. Refraksi atmosfir;
4. Kelengkungan bumi;
5. Kesalahan panjang rambu;
6. Kesalahan pembagian skala;
7. Kesalahan pemasangan nivo rambu;
8. Kesalahan garis bidik.
Dari faktor tersebut, pengukur harus mengetahui hal yang akan
mengakibatkan kesalahan dalam pengukuran yaitu:
1. Keadalaan jalur pengukuran
Pengukuran sipat datar harus dengan jalur pengukuran yang keras seperti
jalan raya dan jalan baja. Jika tidak dalam kondisi baik, maka alat dan rambu akan
terjadi penurunan dan akan mengalami kesalahan seperti pada gambar 2.11.

Gambar 2.11 Kesalahan karena Penurunan Alat


Pada slag 1 saat waktu pembacaan rambu belakang dan memutar alat ke
rambu muka. Alat ukur turun sebesar 𝛿1. Pada waktu alat pindah ke slag 2, rambu
turun sebesar 𝜆1 dan selama pengukuran alat turun 𝛿2. Rumus untuk menentukan
beda tinggi akibat penurunan alat antara A dan B yaitu:
Slag 1: Δℎ1 = (𝑏1 - (𝑚1 +𝛿1 )
Slag 2: Δℎ2 = (𝑏2 - 𝜆1 )- (𝑚1 +𝛿1 ) +
Δℎ𝐴𝐵 = (𝑏1 - 𝑚1 )+ (𝑏2 - 𝑚2 )- (𝛿1 +𝛿2 +𝜆1 )

ii
𝑢 𝑢
Δℎ𝐴𝐵 = ∆ℎ𝐴𝐵 - (𝛿1 +𝛿2 +𝜆1 )= Δℎ𝐴𝐵 - 𝐾1 , dimana ∆ℎ𝐴𝐵 = beda tinggi hasil ukuran dan
𝐾1 = (𝛿1 +𝛿2 +𝜆1 )= kesalahan karena turunnya alat dan rambu.
Dari penjelasan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa apabila pengukuran
antara dua titik terdiri dari banyak slag, pengaruh turunnya alat dan rambu akan
menjadi lebih besar. Berikut usaha yang dapat dilakukan untuk memperkecil
pengaruh turunnya alat dan rambu:
a. Pembacaan dimulai pada rambu nomor 1
Slag 1: Δℎ1 = (𝑏1 - 𝑚1 )+𝛿1
Slag 2: Δℎ2 = (𝑏2 - 𝑚2 )+ 𝛿2 - 𝜆1 +
Δℎ𝐴𝐵 = Δℎ𝐴𝐵 – (𝜆1 −𝛿1 −𝛿2)
Δℎ𝐴𝐵 = Δℎ𝐴𝐵 - 𝐾2 , dimana 𝐾2 <𝐾1

Gambar 2.12 Pembacaan pada Rambu I


b. Pembacaan diulang 2 kali

Gambar 2.13 Pembacaan pada Rambu II


Slag 1: Δℎ1 = (𝑏1 - 𝑚1 )+𝛿1
Slag 2: Δℎ1 = (𝑏1 - 𝑚1 )+𝛿2 +

ii
1
Rata-rata Δℎ1 = ∆ℎ1𝑢 – 2 (𝛿1 - 𝛿2 ), dengan cara yang sama diperoleh:
1
Rata-Rata Δℎ2 = ∆ℎ2𝑢 – 2 (𝛿2 - 𝛿1 ), maka Δℎ𝐴𝐵 = ∆ℎ𝐴𝐵
𝑢

2. Kesalahan letak skala nol rambu


Kesalahan ini dapat terjadi karena kesalahan pembuatan pabrik atau rambu
sudah sering dipakai sehingga permukaan bawah menjadi aus. Secara sistematis
ditulis sebagai berikut.
Misal rambu I mempunyai kesalahan 𝛿1 dan rambu II mempunyai kesalahan 𝛿2,
𝛿2 ≠ 𝛿1, maka:
Slag 1: ∆ℎ1= (b1+ 𝛿1) – (m1+ 𝛿2)
= (b1 - m1) + (𝛿1 - 𝛿2). Kesalahannya adalah (𝛿1 - 𝛿2).
Slag 2: ∆ℎ1= (b2+ 𝛿2) – (m2+ 𝛿1)
= (b2 – m2) + (𝛿2 – 𝛿1). Kesalahannya adalah (𝛿2 – 𝛿1). Jumlah
𝑢
kesalahan dari dua slag adalah: (𝛿1 - 𝛿2)+ (𝛿2 – 𝛿1)=0. Artinya Δℎ𝐴𝐵 = ∆ℎ𝐴𝐵 .

Gambar 2.14 Kesalahan Skala Nol Rambu


Dengan melakukan prosedur tertentu akan membuat beda tinggi hasil ukuran
dua titik tidak mengalami kesalahan. Caranya adalah:
c. Jumlah slag antara titik-titik yang diukur harus genap.
d. Posisi rambu harus diatur selang-seling (I – II – I – II .... dst .... I).

3. Kesalahan panjang rambu


Panjang sebuah rambu akan berubah karena faktor udara. Hal ini akan
mengakibatkan kesalahan. Secara sistematis ditulis sebagai berikut:

ii
Misal rambu I muai sebesar 𝛿1 m dan rambu II muai 𝛿2 m. Panjang rambu adalah
L m, umumnya 3m, maka:
Beda tinggi ukuran = ∆hu = b’ – m’
Beda tinggi yang benar = ∆h = b – m
𝐿+𝛿1 𝛿1
Karena b’= ( ). b’= (1+ ). b
𝐿 𝐿
𝐿+𝛿2 𝛿2
m’= ( ). m’= (1+ ). m
𝐿 𝐿
𝛿1 𝛿2
maka ∆ℎ = b-m= ∆ℎ𝑢 +( b’+ 𝐿 m’)
𝐿

Gambar 2.15 Bukan Rambu Standar


𝛿1 𝛿2
Kesimpulannya dalam hal ini mempunyai kesalahan sebesar ( b’+ 𝐿 m’).
𝐿

Cara pencegahan agar rambu tidak memuai adalah dengan memayungi rambu.

4. Kesalahan pembagian skala rambu


Kesalahan ini terjadi karena pabrik. Misalkan panjang rambu 3 m, maka
apabila ada satu bagian yang kecil, aka nada bagian lain yang lebih besar.
Penaksiran bacaan pada interval yang beda akan ada kesalahan. Cara
pencegahannya dengan rambu tersebut tidak digunakan dan teliti dalam pemilihan
rambu.
5. Kesalahan pemasangan nivo rambu
Pada rambu dalam keadaan tegak, rambu nivo seharusnya berada ditengah.
Namun kondisi ini tidak terjadi melainkan rambu nivo sudah ditengah tapi rambu
dalam keadaan miring, sehingga bacaan rambu akan terlalu besar. Kesalahan ini
dalam sistematis adalah sebagai berikut:

ii
Misal bacaan rambu adalah b, bacaan rambu miring adalah b’ dan kemiringan
rambu adalah 𝛼 maka:
b= b’ Cos 𝛼, karena pada umumnya 𝛼 bernilai kecil maka:
b = b’ (1 – ½ 𝛼 + ....)
b = b’ – ½ 𝛼 b’ + ....
Besar kesalahan pembacaan adalah ½ 𝛼 b’, karena 𝛼 konstan, maka besarnya
kesalahan tergantung besarnya b’. Semakin besar nilainya, maka akan semakin
besar kesalahannya. Pencegahannya dengan memeriksa kembali nivo dan saat
pengukuran garis bidik tidak tinggi dari permukaan tanah.
6. Kelengkungan bumi
Menurut Purwaamijaya (2008) beda tinggi antara dua titik adalah jarang
antara bidang nivo melalui titik-titik yang bersangkutan. Beda tinggi antara dua titik
dapat ditentukan melalui bidang nivo yang melalui alat sipat datar jika dianggap
saling sejajar. Dari bacaan garis bidik mendatar menghasilkan selisih (b-m) yang
tidak sama dengan seilisih (tA - tB). kesalahan kelengkungan bumi pada beda tinggi
adalah Dh. Dh= (b - tA) – (m - tB). Sedangkan pada pembacaan rambu adalah:
Rambu belakang: Xb = (b - tA)
Rambu muka: Xm = (m – tB). Besarnya X adalah pada gambar:
(R + h)²+ D² = {(R + h)+X)}²
(R + h)²+ D² = (R+h)² + 2 (R + h)X + X²
D² = 2 (R + h)X + X²
Karena h <<< R dan X <<< R dapat dianggap: (R + h) ≈ R dan X² ≈ 0, maka
𝐷²
D² = 2R.X Atau X =2𝑅

Dengan demikian:
𝐷𝑏² 𝐷𝑚²
𝑋𝑏 = 𝑋𝑚 =
2𝑅 2𝑅

7. Refraksi atmosfir
Karena lapisan atmosfir tidak memiliki kerapatan yang sama, jalannya sinar
akan mengalami pembiasan. Secara sistematis, besar pengaruh refraksi atmosfir
pada pengukuran sipat datar adalah:
Skala t akan nampak di t¹, kesalahannya adalah Y = t¹ – t.
Besarnya Y adalah :

ii
𝐷² 𝑅
Y = K. 2𝑅, dimana K= koefisien refraksi atmosfir= 𝑅¹ ≈ 0,14

Contoh:
Bila D = 40 m, K = 0.14, maka:
40²
Y = 0.14. 2(6000000) = 0,02 mm

Koreksi refraksi atmosfir dan kelengkungan bumi biasanya digabung.


𝑘−1
Rumusnya: r = D²
2𝑅
𝑘−1
𝑟= (𝐷𝑏2 - 𝐷𝑚
2
), dimana r= koreksi terhadap bacaan dan 𝑟= koreksi
2𝑅

terhadap beda tinggi.


8. Getaran udara
Karena adanya pemindahan panas dari permukaan tanah ke atas, maka
bayangan rambu pada teropong nampak bergetar. Cara mencegahnya dengan
menghentikan pengukuran.
9. Perubahan arah garis jurusan nivo
Apabila nivo terkena panas, maka montur nivo akan mendapat tegangan
sehingga aras lurus garis jurusan nivo berubah dan tidak sejajar lagi dengan garis
bidik. Cara mencegahnya dengan memayungi alat ukur agar tidak terkena panas.
10. Kesalahan garis bidik
Syarat utama alat sipat datar yaitu garis bidik harus sejajar dengan garis
jurusan nivo. Apabila tidak seajar, maka kedudukan gelembung nivo ditengah
namun garis bidik tidak mendatar. Cara mencegahnya dengan memastikan bahwa
garis bidik sudah sejajar dengan garis jurusan nivo.
11. Paralak
Pada saat pembacaan, gelembung nivo harus di tengah. Untuk mengetahui hal
ini, dapat dilakukan dengan menempatkan mata tegak diatas nivo langsung atau
bayangan. Karena bila dilihat dari samping, karena paralak, gelembuk nivo seakan
sudah ditengah, sehingga akan mengakibatkan kedudukan garis bidik belum
mendatar dan pembacaan aka nada kesalahan. Cara mencegahnya dengan mengatur
gelembung nivo pada saat akan memulai pengukuran.

ii
ii

Anda mungkin juga menyukai