MAKALAH
disusun oleh
Wildan Baladan Ad’n (1700189)
Tazkia Chandra Pelita Sukma (1700168)
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………………… i
DAFTAR ISI……………………………………………………………………. ii
DAFTAR GAMBAR…………………...………………………………………. iii
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………….. 1
1.1 Latar Belakang……………………………………………...………………... 1
1.2 Rumusan Masalah…………………………………………………...……….. 1
1.3 Tujuan Penulisan……………………………………………………………... 1
1.4 Manfaat Penulisan……………………………………………………………. 2
BAB II PEMBAHASAN……………………………………………..………..... 3
2.1 Kesalahan-Kesalahan pada Survei dan Pemetaan.……………...……………. 3
2.1.1 Kesalahan pada Pengukuran KDV……………………….....…………. 5
2.1.2 Kesalahan pada Pengukuran KDH…………………………………….. 6
2.2 Kesalahan Sistematis……….…………...…………………...……………….. 3
2.3 Kesalahan Acak………...……...…………………………...……………...…. 5
2.4 Kesalahan Besar………………………………………………………………. 9
DAFTAR PUSTAKA…………………………...………………………...…… 18
ii
DAFTAR GAMBAR
ii
BAB I
PENDAHULUAN
ii
BAB II
PEMBAHASAN
ii
kelalaian, atau pertimbangan yang buruk. Kesalahan ini dapat dihilangkan dengan
mengulang sebagian atau seluruh pekerjaan. Kesalahan juga sering terjadi saat
melaksanakan ukuran datar. Kesalahan ini dapat digolongkan dalam:
1. Kesalahan karena Alat
a. Kurang datarnya garis bidik
ii
Gambar 2.2 Pengukuran Sipat Datar
Untuk mengatasi hal tersebut, maka tiap kali sipatan rambu belakang harus
ditukar dengan rambu depan seperti pada gambar 2.3. Kesalahannya akan menjadi
A-B= +1 mm; B-A= -1 mm, dan seterusnya.
ii
Gambar 2.4 Kesalahan Kemiringan Rambu
2. Kesalahan karena Pengaruh Luar/Alam
a. Cuaca
Cuaca terik dari panas matahari dapat memengaruhi pelaksanaan ukuran datar.
Karena panas matahari saat jam 11.00 sampai jam 14.00 akan menimbulkan
gelombang udara yang dapat dilihat melalui teropong. Karena gelombang udara ini
dapat terlihat, maka angka pada rambu ikut bergelombang dan akan sulit dibaca.
b. Lengkungan bumi
ii
dilakukan kesalahan terus menerus akan menjadi besar. Hal ini dapat diatasi dengan
mengukur dari tengah.
ii
terhadap garis vertikal x. AB merupakan arah kemiringan maksimum dengan
sasaran s pada sudut elevasi h dalam keadaan sumbu vertikal theodolite berhimpit
dengan arah garis vertikal sehingga menghasilkan posisi csd darah arah u dari
kemiringan maksimum. Dalam keadaan dimana sumbu vertikal theodolite miring
sebesar v terhadap garis vertikal menghasilkan lintasan c’sd’ dalam arah u’ dari
kemiringan yang maksimum. Dari dua lintasan ini akan menghasilkan segitiga bola
scc’ yang sumbu vertikal 𝛽 dalam persamaan berikut.
𝛽= u’-u
𝛽= v sin u’ ctgn (90-h)
𝛽= v sin u’ tgn h
Koreksi kesalahan pada pengukuran dasar vertikal menggunakan alat sipat
datar optis. Koreksi didapat dari pengukuran dengan dua rambu, yaitu rambu depan
dan rambu belakang yang berdiri 2 stand. Koreksi kesalahan acak dilakukan untuk
memperoleh beda tinggi dan titik tinggi ikat definit. Sebelum pengolahan data sipat
datar KDV dilakukan, pertama koreksi kesalahan sistematis harus dilakukan dalam
pembacaan benang tengah.
ii
mengelilingi sumbu horizontal adalah csd. Apabila sumbu horizontal miring
sebesar I menjadi a’b’, tempat kedudukan adalah c’sd’. Dalam segitiga bola sdd,
dd’= 𝛼 merupakan kesalahan horizontal, dan bila sumbu horizontal miring sebesar
i maka, sin 𝛼= tgn h/thn (90-i). tgn h. tgn I (karena a dan i biasanya kecil, persamaan
dapat terjadi 𝛼= i tan h.
Kesalahan acak pada pengukuran KDH dilakukan untuk memperoleh harga
koordinat definitip. Sebelum pengolahan polygon KDH, koreksi sistematis harus
dilakukan dalam pembacaan sudut horizontal. Control koordinat menggunakan 4
atau 2 buah titik ikat.
Jarak datar dan sudut polygon setiap titik merupakan variabel dalam
memperoleh koordinat definitip. Syarat yang ditetapkan adalah syarat absis dan
ordinat. Bobot koreksi sudut tidak diperhitungkan. Sedangkan bobot koreksi absis
dan ordinat diperhitungkan dengan metode:
1. Metode Bowditch
Metode ini bobot koreksinya berdasarkan jarak datar langsung
2. Metode Transit
Bobot koreksinya dihitung berdasarkan proyeksi jarak langsung terhadap
sumbu x dan y. semakin besar jarak langsung dan ordinat maka semakin besar
nilainya.
Sebelumnya telah dijelaskan tentang bentuk kesalahan yang mungkin terjadi
pada saat pengukuran. Kesalahan dapat disebabkan oleh:
1. Kesalahan karena alat yang digunakan.
Alat yang digunakan yaitu mistar dan alat ukur penyipat datar. Pertama-tama
akan ditinjau kesalahan pada alat ukur penyipat datar, adakah hubungan antara
kesalahan dengan syarat utama. Kesalahan ini adalah garis bidik tidak sejajar
dengan garis arah nivo.
2. Kesalahan karena alam.
Karena kelengkungan bumi, bidang nivo akan melengkung juga. Lalu karena
lengkungnya sinar cahaya dan akan dijelaskan di koreksi Boussole. Selanjutnya
karena getaran udara, dan masuknya lagi tiga kaki dan mistar ke dalam tanah.
Terakhir dapat disebabkan karena perubahan garis nivo.
3. Kesalahan karena pengukur.
ii
Kesalahan pada pengukur dapat berupa kesalahan pada mata, pembacaan,
dan kesalahan yang kasar.
Salah satu pengaplikasian pengukuran KDH ini dengan pengukuran
Tachymetri dengan alat theodolite. Kesalahan dalam cara Tachymetri dengan
theodolite dapat berupa sebagai berikut,
Kesalahan alat yang berupa:
1. Jarum kompas tidak benar lurus.
2. Jarum kompas tidak bergerak bebas pada porosnya.
3. Garis bidik tidak tegak lurus sumbu mendatar.
4. Garis skala 0°-180° atau 180°-0° tidak sejajar garis bidik.
5. Letak teropong eksentris/.
6. Poros penyangga magnet tidak sepusat dengan skala lingkaran mendatar.
Kesalahan pengukuran yang berupa:
1. Pengaturan alat tidak sempurna.
2. Salah taksir pembacaan.
3. Salah catat
Kesalahan faktor alam yang berupa:
1. Deklinasi magnet.
2. Atraksi lokal.
Kesalahan pengukuran cara offset berupa kesalahan arah garis offset 𝛼 dengan
panjang l yang tidak tegak lurus dapat mengakibatkan kesalahan arah sejajar garis
ukur= l sin𝛼 dan kesalahan arah tegak lurus garis ukur= 1-1 cos 𝛼. Ketelitian
pengukuran cara offset dalam diupayakan dengan cara:
1. Titik kerangka dasar dipilih mendekati bentuk segitiga sama sisi.
2. Jumlah garis ukur sesedikit mungkin, garis tegak lurus garis ukur sependek
mungkin, dan garis ukur pada bagian datar.
3. Garis pada offset pada cara siku-siku harus tegak lurus garis ukur.
4. Pita ukur harus mendatar dan diukur seteliti mungkin.
5. Menggunakan kertas gambar yang stabil.
Pada perhitungan survei dengan metode closed traverse selalu terjadi
kesalahan yaitu adanya dua stasiun yang pada kenyataannya hanya ada satu stasiun.
ii
Kesalahan tersebut meliputi kesalahan koordinat dan elevasi stasiun akhir yang
seharusnya sama dengan awal.
Pada survei yang menggunakan theodolite. Kesalahan yang terjadi adalah
akumulatif, kesalahan dalam satu stasiun akan memengaruhi posisi stasiun
berikutnya.
ii
Gambar 2.10 Gambar Kesalahan Hasil Survei
Penyimpangan adalah penyimpangan absis dan ordinat. Koreksi terhadap
penyimpangan absis yaitu absis terkoreksi= absis lama+koreksi.
3. Koreksi bousole
Untuk menentukan koreksi bousole ada du acara, yaitu:
a. Mengukur azimuth suatu garis yang tertentu.
Garis tertentu yaitu garis yang menghubungkan dua titik P(Xp;Yp) dan
Q(Xq;Yq) yang diketahui koordinatnya. Tempatkan alat ukur BTM pada salah satu
titik. Arahkan garis bidik pada titik Q. Misal pembacaan skala lingkaran mendatar
dengan ujung utara ada A. Hitung sudut 𝛼ab garis PQ dengan tg 𝛼ab= (xq-xp) :
(yp-yp), setelah itu sudut jurusan 𝛼pq disamakan dengan sudut azimuth yang
ditunjuk jarum magnet adalah 𝛼. Maka karena 𝛼 adalah besaran yang betul, maka:
𝛼+ A+C dalam rumus C adalah rumus boussole, sehingga C= 𝛼-A.
b. Mengukur tinggi matahari
Dengan tinggi h, deklinasi 𝛿 bintang dan lintang 𝜑 tempat pengukuran dapat
dihitung azimuth astronomis yang sama dengan azimuth geografis bintang tersebut.
Bila azimuth astronomis dibandingkan dengan azimuth yang ditunjukkan jarum
magnet, dapat ditentukan koreksi boussole. Perlu diperhatikan bahwa pengukur
harus berdiri dengan punggung kea rah matahari yang diukur. Besarnya refraksi
yang mempunyai tanda minus tergantung pada tinggi h dari pengukuran. Tinggi h
didapat dari hasil pengukuran koreksi refraksi dengan tanda minus. Tinggi h yang
diberi koreksi refraksi adalah tinggi sebenarnya dari tepi atas atau tepi bawah
matahari.
ii
1. Keadaan tanah jalur pengukuran;
2. Keadaan atau kondisi atmosfir;
3. Refraksi atmosfir;
4. Kelengkungan bumi;
5. Kesalahan panjang rambu;
6. Kesalahan pembagian skala;
7. Kesalahan pemasangan nivo rambu;
8. Kesalahan garis bidik.
Dari faktor tersebut, pengukur harus mengetahui hal yang akan
mengakibatkan kesalahan dalam pengukuran yaitu:
1. Keadalaan jalur pengukuran
Pengukuran sipat datar harus dengan jalur pengukuran yang keras seperti
jalan raya dan jalan baja. Jika tidak dalam kondisi baik, maka alat dan rambu akan
terjadi penurunan dan akan mengalami kesalahan seperti pada gambar 2.11.
ii
𝑢 𝑢
Δℎ𝐴𝐵 = ∆ℎ𝐴𝐵 - (𝛿1 +𝛿2 +𝜆1 )= Δℎ𝐴𝐵 - 𝐾1 , dimana ∆ℎ𝐴𝐵 = beda tinggi hasil ukuran dan
𝐾1 = (𝛿1 +𝛿2 +𝜆1 )= kesalahan karena turunnya alat dan rambu.
Dari penjelasan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa apabila pengukuran
antara dua titik terdiri dari banyak slag, pengaruh turunnya alat dan rambu akan
menjadi lebih besar. Berikut usaha yang dapat dilakukan untuk memperkecil
pengaruh turunnya alat dan rambu:
a. Pembacaan dimulai pada rambu nomor 1
Slag 1: Δℎ1 = (𝑏1 - 𝑚1 )+𝛿1
Slag 2: Δℎ2 = (𝑏2 - 𝑚2 )+ 𝛿2 - 𝜆1 +
Δℎ𝐴𝐵 = Δℎ𝐴𝐵 – (𝜆1 −𝛿1 −𝛿2)
Δℎ𝐴𝐵 = Δℎ𝐴𝐵 - 𝐾2 , dimana 𝐾2 <𝐾1
ii
1
Rata-rata Δℎ1 = ∆ℎ1𝑢 – 2 (𝛿1 - 𝛿2 ), dengan cara yang sama diperoleh:
1
Rata-Rata Δℎ2 = ∆ℎ2𝑢 – 2 (𝛿2 - 𝛿1 ), maka Δℎ𝐴𝐵 = ∆ℎ𝐴𝐵
𝑢
ii
Misal rambu I muai sebesar 𝛿1 m dan rambu II muai 𝛿2 m. Panjang rambu adalah
L m, umumnya 3m, maka:
Beda tinggi ukuran = ∆hu = b’ – m’
Beda tinggi yang benar = ∆h = b – m
𝐿+𝛿1 𝛿1
Karena b’= ( ). b’= (1+ ). b
𝐿 𝐿
𝐿+𝛿2 𝛿2
m’= ( ). m’= (1+ ). m
𝐿 𝐿
𝛿1 𝛿2
maka ∆ℎ = b-m= ∆ℎ𝑢 +( b’+ 𝐿 m’)
𝐿
Cara pencegahan agar rambu tidak memuai adalah dengan memayungi rambu.
ii
Misal bacaan rambu adalah b, bacaan rambu miring adalah b’ dan kemiringan
rambu adalah 𝛼 maka:
b= b’ Cos 𝛼, karena pada umumnya 𝛼 bernilai kecil maka:
b = b’ (1 – ½ 𝛼 + ....)
b = b’ – ½ 𝛼 b’ + ....
Besar kesalahan pembacaan adalah ½ 𝛼 b’, karena 𝛼 konstan, maka besarnya
kesalahan tergantung besarnya b’. Semakin besar nilainya, maka akan semakin
besar kesalahannya. Pencegahannya dengan memeriksa kembali nivo dan saat
pengukuran garis bidik tidak tinggi dari permukaan tanah.
6. Kelengkungan bumi
Menurut Purwaamijaya (2008) beda tinggi antara dua titik adalah jarang
antara bidang nivo melalui titik-titik yang bersangkutan. Beda tinggi antara dua titik
dapat ditentukan melalui bidang nivo yang melalui alat sipat datar jika dianggap
saling sejajar. Dari bacaan garis bidik mendatar menghasilkan selisih (b-m) yang
tidak sama dengan seilisih (tA - tB). kesalahan kelengkungan bumi pada beda tinggi
adalah Dh. Dh= (b - tA) – (m - tB). Sedangkan pada pembacaan rambu adalah:
Rambu belakang: Xb = (b - tA)
Rambu muka: Xm = (m – tB). Besarnya X adalah pada gambar:
(R + h)²+ D² = {(R + h)+X)}²
(R + h)²+ D² = (R+h)² + 2 (R + h)X + X²
D² = 2 (R + h)X + X²
Karena h <<< R dan X <<< R dapat dianggap: (R + h) ≈ R dan X² ≈ 0, maka
𝐷²
D² = 2R.X Atau X =2𝑅
Dengan demikian:
𝐷𝑏² 𝐷𝑚²
𝑋𝑏 = 𝑋𝑚 =
2𝑅 2𝑅
7. Refraksi atmosfir
Karena lapisan atmosfir tidak memiliki kerapatan yang sama, jalannya sinar
akan mengalami pembiasan. Secara sistematis, besar pengaruh refraksi atmosfir
pada pengukuran sipat datar adalah:
Skala t akan nampak di t¹, kesalahannya adalah Y = t¹ – t.
Besarnya Y adalah :
ii
𝐷² 𝑅
Y = K. 2𝑅, dimana K= koefisien refraksi atmosfir= 𝑅¹ ≈ 0,14
Contoh:
Bila D = 40 m, K = 0.14, maka:
40²
Y = 0.14. 2(6000000) = 0,02 mm
ii
ii