Anda di halaman 1dari 5

Al Mawardi dan Etika Terapan

oleh Drs. Abd. Haris Rifa’i, M.A.

Dalam tulisan ini, penulis mendeskripsikan al-Mawardi sebagai salah seorang ilmuwan yang dapat
disejajarkan dengan ilmuwan-ilmuwan besar Islam yang lain seperti al-Ghazali, al-Kindi, Ibnu Sina,
dan lain-lain. Menurut penulis, selain sebagai teoritikus politik, al-Mawardi sesungguhnya berperan
pula dalam pengembangan kajian-kajian etika Islam. Namun, namanya relatif tenggelam bila
dibandingkan dengan al-Ghazali. Untuk mengungkap kontribusi pemikiran etika al-Mawardilah maka
tulisan ini disajikan.

Dalam kajian etika Islam klasik, nama al-Mawardi seakan-akan tenggelam dibawah nama besar al-
Ghazali. Hal ini memungkinkan karena al-Mawardi selama ini lebih dikenal sebagai teoritikus politik.
Padahal, dengan bukunya yang berjudul Adab al-Dunya wa al-Din, al-Mawardi bisa disejajarkan
dengan al-Ghazali dalam kajian etika Islam. Bahkan dalam beberapa hal, konsep etika al-Mawardi
lebih bersifat terapan atau aplikatif dibandingkan dengan konsep etika Islam al-Ghazali yang berkesan
teoritis dan kontemplatif-filosofis.

Berkaitan dengan hal diatas, tulisan ini mencoba untuk mengkaji kontribusi pemikiran etika al-
Mawardi dalam bidang etika Islam. Dengan harapan, kajian ini dapat memberikan sebuah pencerahan
pemikiran dan perbandingan bagi kajian-kajian etika Islam lebih lanjut.

Biografi al-Mawardi

Al-Mawardi dilahirkan di Bashrah (364 H/974 M) dan wafat di Baghdad (450 H/1058 M). Nama
lengkapnya adalah Abu al-Hasan ‘Ali ibn Muhammad ibn Habib al-Bashri yang kemudian lebih
terkenal dengan nama al-Mawardi karena dinisbahkan kepada pekerjaan beliau sebagai penjual bunga
al-Mawardi.

Masa kecilnya dihabiskan di Bashrah. Di kota ini pula, dia belajar hadits kepada para ulama terkenal,
seperti al-Hasn ibn ‘Ali ibn Muhammad al-Jabali, Muhammad ibn ‘Ali ibn Zuhar al-Maqary,
Muhammad ibn al-Ma’ally al-Uzdy, dan Ja’far ibn Muhammad ibn al-Fadl al-Baghdady. Dalam bidang
fikih, gurunya yang terkenal adalah Abu al-Qasim ‘Abd Wahid Muhammad al-Shaimy. Selain kedua
disiplin ilmu tersebut, al-Mawardi sesungguhnya menguasai pula beberapa disiplin ilmu lain, seperti
bahasa, filsafat, tafsir, politik, dan etika.

Setelah pindah ke Baghdad, al-Mawardi berguru pada Syah Abu Hamid Ahmad ibn Abu Thahir
Isfarayani. Karena keluasan ilmu agama yang dimiliki al-Mawardi kemudian diangkat sebagai Qadhi
al-Qudhat. Sebagai seorang Qadhi, dia dinilia sebagai Qadhi yang mampu bersikap keras terhadap
siapapun. Hal ini dapat dilihat dari penolakannya terhadap keinginan khalifah Jalal al-Daulah untuk
mengenakan gelar Syahinsah (Raja Diraja). Karena menurutnya, gelar itu hanya untuk Allah.
Akibatnya, hubungan dia dengan khalifah renggang dan setelah itupun al-Mawardi lebih banyak
mengajar dan menulis buku hingga wafatnya.

Sejak dulu hingga saat ini banyak para ulama yang mengakui integritas keimanan dan kredibilitas
keilmuan al-Mawardi. Seperti Ibn Khairun, dia mengatakan bahwa al-Mawardi adalah tokoh besar. Dan
Ibn Ityan menegaskan, bahwa al-Mawardi adalah orang yang jujur dan terpercaya dalam menjalankan
tugas, tegas dalam kebenaran dan tidak mencari simpati kepada siapapun walau kepada seorang raja
sekalipun. Tidak terkecuali juga Abu Zahrah menilai bahwa Abu al-Hasan al-Mawardi memiliki sifat-
sifat yang menjadikannya dapat disejajarkan dengan tokoh-tokoh ilmuwan sepanjang sejarah. Sifat-
sifat tersebut yang
pertama adalah kecerdasannya.
Kedua, konsistensinya dalam ucapan dan perbuatan.
Ketiga, ramah dan percaya diri.
Keempat, rendah hati dan menjauhkan diri dari kamuflase dunia. Dan yang
kelima adalah akhlaknya.

Bila kita cermati secara seksama al-Mawardi sesungguhnya adalah sebagaimana akan kita lihat pada
uraian selanjutnya sosok ilmuwan yang memiliki banyak dimensi. Ia adalah seorang hakim (Qadhi),
sekaligus juga seorang ahli pikir, politikus, ahli ushul al-fiqh, teolog, ahli tafsir, ahli hadits, pendidik,
ahli bahasa, dan seorang sastrawan.

Warisan Intelektual al-Mawardi

Sebagai seorang yang memiliki keahlian dalam berbagai disiplin ilmu, selama hidupnya al-Mawardi
telah menulis beberapa karya sesuai dengan keahliannya tersebut. Dibawah ini penulis pilihkan
beberapa karya al-Mawardi yang penting:

1. al-Hukat wa al-’Uyun
Merupakan kitab tafsir yang terdiri dari beberapa juz. Kitab ini belum dicetak dan masih berupa tulisan
dan tersimpan di beberapa perpustakaan besar, seperti Perpustakaan Universitas al-Qarawiyin di Faz.

2. al-Hawi al-Kabir
Kitab ini adalah karya al-Mawardi dalam bidang studi fikih yang terdiri dari 30 juz. Sampai sekarang
belum dicetak karena amat tebal.

3. al-Iqna’
Merupakan ringkasan dari kitab al-Hawi al-Kabir. Namun naskah kitab ini sampai sekarang belum
ditemukan.

4. A’lam al-Nubuwwah
Sebuah kitab tentang teologi.

5. al-Ahkam al-Sulthaniyyah
Kitab ini merupakan referensi penting untuk memahami sistem politik Islam.

6. Nashihat al-Muluk
Kitab ini juga merupakan kitab politik yang berisi tentang nasehat-nasehat untuk para Raja.

7. Tashil al-Maudhu wa Ta’jil al-Dhafar


Kitab ini juga membicarakan persoalan politik dan model-model pemerintahan.

8. Qawanun al-Wizarat wa Siyasah al-Muluk


Kitab ini terkenal dengan sebutan al-Wizarat atau Adab al-Wazir. Isinya tentang persoalan politik.

9. al-Ma’wa
Sebuah kitab tentang gramatika bahasa Arab, akan tetapi naskah kitab ini sekarang hilang.

10. Adab al-Qadhi


Sebuah kitan tentang hukum terutama yang berkaitan dengan peradilan.

11. al-Bughyah al-’Ulya fi Adab al-Din wa al-Dunya


Sebuah kitab tentang etika.

Al-Mawardi dan Pemikiran Etika

Persoalan etika dalam Islam sebenarnya bukanlah sesuatu yang asing. Sejak awal Islam telah menaruh
perhatian yang besar terhadap masalah etika. Hal ini ditunjukkan dengan pernyataan Muhammad saw.
yang secara menyatakan bahwa dia diutus ke tengah-tengah manusia dalam rangka menyempurnakan
akhlak. (HR. Malik). Bahkan Abu Wafa al-Taftazani mengatakan bahwa etika (akhlak) adalah inti
ajaran Islam. Artinya, segala perilaku keagamaan yang terdapat dalam sistem ajaran Islam
sesungguhnya dalam untuk mencetak manusia-manusia yang beretika atau berakhlak.

Hanya saja memang etika sebagai disiplin ilmu tersendiri dalam Islam baru muncul pada awal abad ke-
2 H, ketika umat Islam mulai bersinggungan dengan budaya asing dan filsafat Yunani. Pada saat itu
muncullah filsafat Islam yang bersama itu pula muncul filsafat etika dalam Islam.

Dalam membahas persoalan etika, setidaknya ada tiga aliran dalam Islam:
(1) aliran etika terapan yang disarikan dari al-Qur’an dan al-Hadits, dan kata-kata hikmah Arab.
(2) aliran etika tashawuf.
(3) aliran etika filsafat yang dipengaruhi oleh filsafat Yunani.

Diantara ketiga aliran itu, Abu al-Hasan al-Mawardi termasuk aliran yang pertama. Kupasannya
tentang akhlak berorientasi langsung pada penerapan etika yang bersumber dari al-Qur’an dan al-
Sunnah, serta ucapan-ucapan bijak para ulama Islam. Kerja etika al-Mawardi sama sekali tidak
berminat pada pernyataan-pernyataan metologis, namun ia lebih berminat pada analisis tentang apa
yang ia pandang sebagai kebaikan-kebaikan moral dan religius dalam Islam yang paling utama.

Pandangannya tentang etika dapat dilacak dalam beberapa kitabnya, seperti Adab al-Dunya wa al-Din,
al-Ahkan Sulthaniyyah, dan Tashil al-Nazhar wa Ta’jil al-Dhafar. Al-Mawardi melihat etika sebagai
“tabiat yang tersembunyi yang muncul karena kehendak dan memaksa karena terpaksa.

Dari sini dapat dipaksakan bahwa etika dalam pandangan al-Mawardi merupakan fithrah manusia, akan
tetapi tampak dan tidaknya nilai fithrah itu dalam perilaku manusia terletak pada kehendak manusia itu
sendiri. Karena itu fithrah tersebut dapat dikembangkan dan dapat memperoleh pengaruh dari luar. Ia
membagi etika menjadi dua:
pertama, yang bersifat fithriah (tabiat asli) dan
kedua, yang bersifat muhtasabah (diupayakan).
Tentang jenis yang pertama merupakan pembawaannya yang sudah melekat pada manusia, sedangkan
tentang jenis yang kedua muncul karena adanya pengaruh dari luar. Meskipun demikian, kedua jenis
etika itu tidak bisa dipisah-pisahkan, masing-masing membutuhkan yang lain. Karena keduanya
bagaikan jiwa dan rasa. Pekerjaan jiwa tidak tampak tanpa rasa, begitu pula rasa tidak akan bangkit
tanpa adanya gerakan jiwa. Perilaku etis manusia muncul dari konvergensi kedua jenis etika tersebut.
Ini artinya, untuk memunculkan etika yang baik tidak bisa dilepaskan dari adanya kesiapan fithrah
etika manusia yang baik. Kesiapan fithrah etika tersebut berbeda-beda antara satu dengan yang lain.
Karenanya manusia dapat menjadi baik atau buruk bergantung pada kesiapan fithrah etika yang
dimiliki dan diupayakan. Dalam pandangan al-Mawardi, manusia tidak baik atau buruk secara
substansial, meskipun ia mengakui bahwa manusia cenderung kepada kebaikan.

Metodologi al-Mawardi dalam Persoalan Etika

Seperti telah disebutkan diatas, al-Mawardi adalah salah satu penganut aliran etika terapan dalam Islam,
yakni berusaha menerapkan prinsip-prinsip etis yang umum atas wilayah perilaku manusia yang khusus.
Dengan metode ini, premis normatif dikaitkan dengan premis faktual untuk sampai pada suatu
kesimpulan etis yang bersifat normatif juga. Al-Mawardi berusaha mendekati persoalan etika secara
normatif sekaligus rasional untuk dapat diaplikasikan dalam kehidupan yang aktual. Ia tidak
menempatkan etika sebagai meta etika yang hanya mempersoalkan baik dan buruk secara filosofis akan
tetapi tidak lebih cenderung untuk menempatkan etika sebagai persoalan-persoalan yang kongkrit
dihadapi manusia. Apa yang dilakukan al-Mawardi ini pada akhir tahun 1960-an menjadi trend baru
aliran etika di negara-negara berbahasa Inggris setelah sebelumnya selama enam dekade pertama abad
ke-20 dikuasai oleh aliran rasional.

Metode al-Mawardi dalam bidang membahas etika secara jelas dipaparkan dalam bukunya Adab al-
Dunya wa al-Din. Dalam pembukaan buku itu ia menyatakan:

Dalam kitab ini, saya ingin menunjukkan etika-etika agama dan dunia, dan memerinci kondisi-kondisi
yang masih umum dengan menggunakan dua prinsip: ringkas dan sederhana, saya kumpulkan
didalamnya antara ucapan para fuqaha dan ungkapan para sastrawan. Sehingga jelas dan mudah
dipahami dengan menggunakan dasar dari Kitabullah dan Sunnah Rasulillah, serta mengikuti perkataan
orang-orang bijak, ahli bahasa dan penyair.

Ada dua hal penting yang dapat diraih dari ungkapan diatas:
Pertama, prinsip yang digunakan, yaitu ringkas dan sederhana. Dengan pendekatan ini, al-Mawardi
mengambil tema umum dari persoalan etika, lalu membatasi persoalan tersebut dalam topik, kemudian
menarik kaidah-kaidah umum melalui analisanya, dan selanjutnya menghadirkan ayat atau hadits atau
ucapan ulama untuk menjustifikasi kaidah-kaidah umum yang telah ia tarik.
Kedua, pendekatan yang digunakan. Al-Mawardi berusaha menggabungkan antara pendekatan normatif
yang berpegang teguh kepada nash dengan pendekatan empiris yang mendasarkan kepada observasi
dan realitas yang ada. Dalam menggunakan nash, al-Mawardi tidak semata-mata menggunakannya
sebagai realita yang harus dicapai, akan tetapi untuk mendukung hasil analisa yang ia lakukan.
Dengan metode seperti ini, etika menjadi persoalan yang faktual dan riil dihadapi manusia yang perlu
ditata secara aplikatif diatas landasan norma-norma religius.

Etika Terapan dalam Kitab Adab al-Dunya wa al-Din

Salah satu contoh etika terapan dalam kitab Adab al-Dunya wa al-Din adalah etika persahabatan. Al-
Mawardi membahas persoalan ini dengan terlebih dahulu memaparkan hasil analisanya tentang realita
kemudian mengungkapkan nash-nash normatif untuk mendukung statemennya. Ia memulai dengan
mengungkapkan penting mencari sahabat. Persahabatan adalah salah satu sebab keakraban. Kata al-
Mawardi, untuk mendukung statemennya ini ia mensitir hadits-hadits dan ucapan para ulama, serta
syait. Misalkan ia mensitir apa yang dilakukan oleh Rasulullah dengan mempersandarkan para sahabat
adalah untuk menambah keakraban dan memperkuat solidaritas mereka. Ia juga mengungkapkan kata
Ibnu Mu’taz: “Barangsiapa yang mengambil banyak sahabat maka ia akan memiliki penolong.
Selanjutnya, al-Mawardi menjelaskan proses terjadinya persahaban. Ia membagi persahabatan menjadi
dua.
Pertama, persahabatan yang diusahakan dengan adanya kesamaan persepsi, dan kedua, persahabatan
yang diusahakan dengan adanya tujuan dan suka rela. Persahabatan jenis pertama lebih kekal dan yang
kedua karena ada unsur yang sama-sama menjadi kesepakatan. Kemudian dalam memilih sahabat, al-
Mawardi menganjurkan agar bersikap selektif. Ia mensitir ungkapan ahli hikmah: Kenalilah orang itu
lewat perbuatannya, bukan lewat ucapannya, dan kenalilah rasa cintanya lewat pmatanya, bukan lewat
lisannya. Sebab sahabat yang dipilih akan membawa citra terhadap diri orang yang memilihnya.
Sahabat yang baik akan memberikan citra yang baik, dan sahabat yang jelek akan membawa citra yang
tidak baik (“Kenalilah saudara mu lewat saudaranya sebelum kamu”, “Orang itu diprediksi seperti yang
diprediksi terhadap temannya”, demikian kata ahli Hikmah). Untuk mencari sahabat yang baik, al-
Mawardi memberikan kriteria yang harus dipertimbangkan. Kriteria tersebut, pertama, kecerdasan.
Sebab orang yang tidak cerdas rasa cintanya tidak stabil. Seorang ahli hikmah berkata, “Memusuhi
orang yang cerdas bahayanya lebih kecil daripada bersahabat dengan orang yang bodoh. Kedua, agama
yang baik. Sebab orang yang tidak baik agamanya hakikatnya melupakan dirinya sendiri. Karena itu,
tidak bisa diharapkan rasa cintanya. Ahli Hikmah berkata: Pilihlah dari sahabat mu orang yang
memiliki agama dan nasab, pendapat dan adab. Ketiga, akhlak yang terpuji. Sebab mencintai orang
yang buruk akhlaknya akan memunculkan permusuhan dan merusak akhlak. Karena itu, tidak ada
gunanya melakukan persahabatan kalau menimbulkan kerusakan. Beberapa pujangga mengatakan:
Bersahabat dengan orang yang jelek akhlaknya menyebabkan buruk sangka bagi orang-orang yang baik.
Dan keempat, adanya kesetiaan dari masing-masing sahabat. Artinya harus ada rasa cinta yang timbal
balik dari masing-masing mereka. Al-Bahtary berkata: Aku mencari dari mu rasa cinta tapi belum
diberikan. Sesungguhnya orang yang gagal adalah yang mencari namun tidak menemukan.

Dengan statemen yang diungkapkan dari analisanya terhadap sosial yang kemudian didukung dengan
teks-teks normatif itu, al-Mawardi berusaha membangun tatanan etik normatif baru untuk dapat
diaplikasikan dalam kehidupan yang nyata.

Daftar Pustaka

Abu al-Hasan al-Mawardi. Adab al-Dunya wa al-Din, Dar al-Fikr, Beirut.


Yaqut al-Hamamy. Mu’jam al-Udaba, jilid 2, Kairo, 1396 H.
M. Abu Zahrah. Abu al-Hasan al-Bashry al-Mawardi, Majallah al-’Araby, vol. 764, edisi Maret 1965.
Mahmud Madli. Madharat fi Adab al-Dunya wa al-Din li al-Mawardi, Dar al-Da’wah, Kairo, 1994.
Abu al-Wafa al-Taftazani. Al-Tashawwuf fi al-Islam, al-Ma’had al-’Ali li al-Dirasat al-Islamiyat, Kairo,
1992.
Mahmud Handy Zaqzaq. Muqaddimah fi ‘Ilmi al-Akhlaq, Dar al-Fikr al-Araby, Kairo, 1993.
Majid Fakhry. Etika dalam Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996.
Abu al-Hasan al-Mawardi. Tashil al-Nazhar wa Ta’jil al-Dhafar, Tahqiq Muhyi al-Hilal al-Sarhan, Dar
al-Nadhah al-Arabiyah, Beirut, 1981.
K. Bertens. Etika, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997.

Anda mungkin juga menyukai