Anda di halaman 1dari 10

BAB I

Pendahuluan

A. Latar Belakang

Pemeriksaan glukosa darah merupakan salah satu

pemeriksaan yang paling sering dilakukan di instalasi

kesehatan. Umumnya pemeriksaan ini dilakukan untuk

memonitor kadar glukosa darah pada penderita diabetes.

Pemeriksaan kadar glukosa darah umumnya dilakukan

di laboratorium dengan beberapa macam metode. Metode

yang paling sering digunakan adalah metode enzim

glukosa oksidase dan metode heksokinase. Namun di

antara keduanya, heksokinase dianggap lebih akurat

karena reaksi berpasangan dengan menggunakan glukosa-6-

fosfat dehidrogenase jauh lebih spesifik, sehingga

interfensi yang terjadi akan lebih sedikit dibandingkan

prosedur glukosa oksidase berpasangan (Bishop et al.,

2010).

Pemeriksaan di laboratorium tentunya membutuhkan

waktu yang tidak sebentar. Sampel darah perlu diambil

kemudian harus dikirim terlebih dahulu ke laboratorium

dan harus menunggu beberapa waktu lagi untuk

mendapatkan hasil analisisnya.

1
2

Pada kondisi-kondisi tertentu pemeriksaan glukosa

darah menjadi sangat penting untuk dilakukan dengan

segera. Misalnya saja pada pasien dengan kondisi kritis,

dimana gula darah pasien dapat dengan cepat berubah

akibat stress maupun medikasi. Pada pasien-pasien

tersebut dibutuhkan analisis glukosa yang cepat untuk

mempertahankankan kontrol glikemik yang ketat

(Holtzinger et al., 2008).

Pasien dengan hiperglikemia sangat penting untuk

dilakukan deteksi dan penanganan segera karena

hiperglikemia yang berkepanjangan dapat menyebabkan

dehidrasi, gangguan metabolik, dan komplikasi

kardiovaskular jangka lama (Tonyushkina dan Nichols,

2009).

Kondisi hipoglikemia juga penting untuk segera

dideteksi. Menurut Safiee et al. (2012), hipoglikemia

adalah keadaan gawat darurat yang membutuhkan deteksi

dan penanganan segera untuk mencegah kerusakan organ

dan otak. Spektrum gejalanya sendiri bervariasi, dari

aktivasi otonom, perubahan perilaku, fungsi kognisi

yang terganggu, sampai kejang atau koma, bergantung

pada durasi dan keparahan hipoglikemia. Komplikasi

jangka pendek dan jangka panjang dapat pula terjadi


3

seperti kerusakan neurologis, trauma, kejadian

kardiovaskular, dan kematian.

Dewasa ini telah ditemukan suatu alat yang dapat

digunakan untuk melakukan pemeriksaan glukosa darah

secara cepat yang disebut dengan blood glucose meter

atau Point-of-Care Testing (POCT) glukosa. Alat ini,

menurut Tonyushkina dan Nichols (2009), adalah salah

satu kemajuan yang paling penting dalam monitoring

pasien diabetes setelah penemuan insulin.

Point-of-Care Testing glukosa saat ini sudah

sangat sering digunakan di instalasi kesehatan,

instalasi gawat darurat, bahkan di rumah pasien. Alat

ini banyak digunakan karena selain mudah dah praktis

untuk digunakan oleh siapapun, hasil dari pemeriksaan

glukosa darah juga dapat diketahui dalam hitungan detik.

Dibalik keuntungan yang disajikan oleh alat ini,

beberapa kondisi akan mempengaruhi hasil dari

pemeriksaan dengan POCT glukosa sehingga hasil yang

terlihat tidak sesuai dengan keadaan sesungguhnya dan

dapat menyebabkan terjadinya kesalahan diagnosis.

Reliabilitas dari hasil yang dikeluarkan oleh alat ini

dapat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, faktor

operasional, kondisi pasien, medikasi, dan faktor

metabolik (Tonyushkina dan Nichols, 2009).


4

Menurut Ginsberg (2009), terdapat tiga substansi

pada tubuh yang dapat mempengaruhi cara kerja POCT

glukosa dengan strip yang bekerja dengan metode

elektrokimia glukosa oksidasi yaitu trigliserid,

oksigen, dan asam urat. Asam urat pada kadar yang

sangat tinggi, dapat teroksidasi pada elektroda yang

terdapat pada strip sehingga dapat menimbulkan

kesalahan pembacaan nilai glukosa pada POCT glukosa.

Pravelensi hiperurisemia atau kadar asam urat yang

tinggi terus meningkat di seluruh dunia. Di Indonesia

sendiri, pravelensi hiperurisemia mencapai 29% (Kusuma

et al., 2014). Hiperurisemia sering dikaitkan dengan

penyakit gout, namun tidak selalu berkaitan dengan gout.

Secara umum hiperurisemia memiliki fase

asimptomatik dan simptomatik, meskipun berbeda pada

masing-masing individu (Mandell, 2008). Pada pasien

yang berada di fase asimptomatik dan tidak memiliki

riwayat gout sebelumnya, tentu akan sulit untuk

diketahui sehingga berpotensi untuk terjadi kesalahan

interpretasi pada pembacaan hasil glukosa darah

menggunakan POCT glukosa.

Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti ingin

mengetahui apakah terdapat perbedaan hasil antara

pemeriksaan glukosa darah dengan menggunakan POCT


5

glukosa, yaitu POCT Acon dengan pemeriksaan glukosa

darah di laboratorium dengan menggunakan metode

heksokinase pada pasien dengan hiperurisemia.

B. Perumusan Masalah

1. Belum banyak penelitian yang meneliti kesesuaian

antara POCT Acon dengan metode heksokinase pada

pasien hiperurisemia.

2. Belum banyak penelitian terkait pengaruh

hiperurisemia terhadap pengukuran kadar glukosa

dengan POCT Acon.

C. Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana kesesuaian hasil tes glukosa darah dengan

menggunakan POCT Acon dan heksokinase pada pasien

dengan hiperurisemia?

2. Apakah terdapat perbedaan antara hasil tes glukosa

darah dengan menggunakan POCT Acon dengan

heksokinase pada pasien dengan hiperurisemia?

3. Apakah POCT Acon dapat digunakan sebagai alat

screening yang tepat untuk pemeriksaan glukosa darah

pada pasien dengan hiperurisemia?


6

D. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui kesesuaian hasil tes glukosa darah

yang menggunakan POCT Acon dengan Heksokinase pada

pasien hiperurisemia.

2. Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan hasil tes

glukosa darah yang menggunakan POCT Acon dengan

Heksokinase pada pasien hiperurisemia.

3. Untuk mengetahui apakah POCT Acon dapat digunakan

sebagai alat screening yang tepat untuk pemeriksaan

glukosa darah pada pasien dengan hiperurisemia.

E. Manfaat Penelitian

1. Dapat mengetahui kesesuaian hasil antara tes glukosa

darah yang menggunakan POCT Acon dengan yang

menggunakan heksokinase pada pasien dengan

hiperurisemia.

2. Dapat mengetahui apakah ada perbedaan yang

signifikan antara tes glukosa darah yang menggunakan

POCT Acon dengan yang menggunakan heksokinase pada

pasien dengan hiperurisemia.

3. Dapat mengetahui apakah POCT Acon dapat digunakan

sebagai alat screening yang tepat untuk pemeriksaan

glukosa darah pada pasien dengan hiperurisemia.


7

F. Keaslian Penelitian

Terdapat beberapa penilitian yang memiliki

kemiripan dengan penelitian yang dilakukan peneliti,

antara lain :

1. Reliability of point-of-care testing for glucose

measurement in critically ill adults

(Kanji et al., 2005)

Kesimpulan : Clinical agreement dengan laboratorium

pusat secara signifikan lebih baik dengan analisis

darah arteri daripada dengan analisis darah kapiler.

Analisis glukosa meter antara darah arteri dan

kapiler cenderung memberikan nilai glukosa yang

lebih tinggi, sedangkan analisis gas darah/kimia

dari darah arteri cenderung memberikan nilai glukosa

rendah.

2. Accuracy of bedside glucose measurement from three

glucometers in critically ill patients

(Hoedemaekers et al., 2008)

Kesimpulan : Korelasi kuat ditemukan antara metode

glukosa oksidase dan alat Accu Chek. Menggunakan

kriteria International Organization for

Standardization (ISO), 27 dari 197 sampel tidak

akurat. Dari semua sampel yang gagal memenuhi

kriteria ISO, nilai glukosa yang diukur dari alat


8

Accu Chek lebih tinggi dibandingkan dengan metode

glukosa oksidase. Dalam percobaan lain antara pasien

unit perawatan intensif, korelasi positif yang kuat

juga ditemukan antara alat POCT dan metode glukosa

oksidase.

3. Blood Glucose Measurement in Patients With Suspected

Diabetic Ketoacidosis: A Comparison of Abbott

MediSense PCx Point-of-Care Meter Values to

Reference Laboratory Values

(Blank, et al., 2009)

Kesimpulan : Terdapat korelasi yang tinggi antara

nilai laboratorium dan perbedaan magnitude,

mengindikasi bahwa semakin tinggi nilai glukosa

sebenarnya, semakin besar pula perbedaan hasil

laboratorium dan Point-of-Care- Testing.

4. Lot-to-lot variability of test strips and accuracy

assessment of systems for self-monitoring of blood

glucose according to ISO 15197

(Baumstark et al., 2012)

Kesimpulan : Hanya dua system (system A dan B) yang

memenuhi kriteria DIN EN ISO 15197:2003 dengan tiap

strip tes.
9

5. System accuracy evaluation of 43 blood glucose

monitoring systems for self-monitoring of blood

glucose according to DIN EN ISO 15197

(Freckmann et al., 2012)

Kesimpulan : Penilaian lengkap menurut standar

International Organization of Standardization (ISO)

dilakukan pada 34 dari 43 sistem, dan 27 memenuhi

kebutuhan standar, yaitu 95% hasil menunjukkan

akurasi minimal yang dapat diterima.

6. Validation of a new generation POCT glucose device

with emphasis on aspect important for glycemic

control in the hospital care

(Kos et al., 2012)

Kesimpulan : 201DMRT menunjukkan good agreement

dengan metode referensi laboratorium.

7. Analytic Evaluation of a New Glucose Meter System in

15 Different Critical Care Settings

(Mitsios et al., 2014)

Kesimpulan : Sejumlah 1185 nilai glukosa pada

glukosa meter yang baru (98,8%) berada dalam ±12,5%

(±12 mg/dL pada nilai ≥100 mg/dL)dari nilai glukosa

laboratorium pembanding, dan 1198 (99,8%)berada

dalam ±20% (±20 mg/dL untuk nilai <100 mg/dL).


10

Karya ilmiah yang akan peneliti susun ini berbeda

dalam beberapa hal dengan penelitian yang telah ada

sebelumnya. Perbedaan tersebut adalah :

1. Subjek penelitian yang dipilih adalah pasien dengan

kondisi hiperurisemia. Hal ini sesuai dengan tujuan

dilakukannya penelitian, yaitu untuk mengetahui

apakah kondisi hiperurisemia dapat menyebabkan

perbedaan pada kedua jenis metode pemeriksaan.

2. Metode pemeriksaan glukosa darah yang digunakan

adalah POCT Acon dan metode referensi yang digunakan

adalah metode heksokinase.

Anda mungkin juga menyukai