Anda di halaman 1dari 22

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena penyusun masih
dilimpahi kasih sayang-Nya, sehingga penyusunan tugas mata kuliah Biologi Organisme Laut ini
dapat diselesaikan. Melalui penyusunan tugas ini diharapkan kita sebagai mahasiswa yang
mengambil mata kuliah Biologi Organisme Laut mempunyai bahan rujukan sebagai bahan acuan
dalam perkuliahan dan penyusunan penulisan makalah. Selain itu, penyusunan tugas ini juga
semoga dapat digunakan dan dimanfaatkan oleh semua pihak yang memerlukannya.

Dalam pengerjaan tugas ini penyusun telah berusaha sebaik mungkin, namun penyusun
menyadari masih ada kekurangan dan kelemahan sehingga dengan segala kerendahan hati,
penyusun sangat terbuka untuk menerima saran dan kritik. Penyusun berharap semoga penyusunan
tugas ini dapat bermanfaat khususnya bagi penyusun dan umumnya bagi semua pihak yang telah
membaca tugas mengenai makalah ini.

Jatinangor, 10 November 2019

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................................1

DAFTAR ISI....................................................................................................................................2

BAB 1 PENDAHULUAN................................................................................................................3

1.1 Latar Belakang.......................................................................................................................3

1.2 Rumusan Masalah..................................................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN..................................................................................................................4

2.1. Dugong................................................................................................................................4

2.1.1 Klasifikasi Dugong..............................................................................................................4

2.1.2 Morfologi dari Dugong........................................................................................................4

2.1.3 Reproduksi dan Pola Makan Dugong..................................................................................7

2.1.4 Kebiasaan makan.................................................................................................................8

2.1.5 Habitat dan Sebaran Dugong (Dugong dugon) di Perairan..................................................8

2.2. Penyu Hijau.........................................................................................................................4

2.2.1 Klasifikasi Penyu Hijau.......................................................................................................4

2.2.2 Morfologi dari Penyu Hijau.................................................................................................4

2.2.3 Reproduksi dan Pola Makan Penyu Hijau...........................................................................7

2.2.4 Kebiasaan makan.................................................................................................................8

2.2.5 Habitat dan Sebaran Penyu Hijau di Perairan......................................................................8

BAB III PENUTUP........................................................................................................................11

3.1 Kesimpulan...........................................................................................................................11

3.2 Saran.....................................................................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................................12

2
BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Mamalia merupakan kelas tertinggi dalam taksa hewan. Mamalia dapat hidup diberbagai
tipe habitat dibelahan bumi, mulai dari kutub sampai daerah khatulistiwa, dari dasar laut sampai
hutan lebat dan gurun pasir. Ada sekitar 5.488 spesies mamalia, 32% diantaranya merupakan
endemik di Indonesia (Panggabean, 2000). Mamalia merupakan salah satu kelas hewan yang
mendiami lautan. Ciri khas dari kelas mamalia adalah adanya kelenjar mammae yang digunakan
untuk menyusui anaknya. Anggota dari kelas ini yang hidup di lautan diantaranya adalah paus dan
lumba-lumba (cetacea), sapi laut (sirenia), pinnipedia dan karnivora. Ordo Sirenia (sapi laut)
adalah mamalia laut herbivora berukuran besar. Salah satu spesies dari ordo sapi laut adalah
dugong. Dugong, seperti mamalia laut lainnya, meskipun hidup di dalam air tetapi ikan duyung
bernafas dengan paru-paru dan menyusui anaknya.
Spesies ini hidup di daerah perairan pantai tropis, tepatnya di padang lamun. Duyung
menggunakan padang lamun sebagai habitat untuk mencari makan dengan makanan utamanya
adalah lamun (seagrass). Duyung telah diklasifikasikan menurut IUCN sebagai golongan “rawan”.
Tetapi pada beberapa daerah di Australia digolongkan dalam “terancam”. Populasi manusia
meningkatkan tekanan pada habitat perairan dan sumber daya alam lainnya, termasuk persediaan
ikan dan udang, padang rumput laut, suplai air tawar termasuk areal perairan itu sendiri (contohnya
proyek reklamasi, pembangunan pelabuhan, pertambakan dan limbah minyak). Sungai, muara dan
perairan pantai membuat ekosistem semakin tidak sehat bagi keberadaan mahluk hidup (Reeves et
al, 1997).
Salah satu topik menarik dalam bahasan makalah ini ialah dari kelas reptil yang
pesebaranya seringkali di temukan di Indonesia. Penyu hijau adalah hewan reptil yang mempunyai
kekhasan pada tubuhnya, yaitu memiliiki tempurung punggung (karapaks) dan berukuran tubuh
paling besar dibandingkan jenis-jenis penyu lainnya. Beberapa bagian dari penyu hijau memiliki

3
nilai ekonomis penting. Dagingnya biasa dimanfaatkan sebagai bahan makanan dan persembahan
pada upacara-upacara adat, telurnya memiliki khasiat tersendiri sebagai campuran minuman
kesehatan dan tidak sedikit masyarakat yang memanfaatkan tempurungnya sebagai aksesoris
rumah. Nilai komersial yang sangat tinggi ini merangsang minat masyarakat untuk
mengeksploitasi telur dan populasi penyu hijau secara besar-besaran. Hal ini telah mendorong
menurunnya populasi penyu di Indonesia. Melihat populasinya yang terns menurun dari waktu ke
waktu akibat eksploitasi yang berlebihan, muncul gagasan mengenai upaya-upaya yang berkaitan
dengan pelestarian penyu hijau.
Namun untuk menentukan tipe pelestarian yang paling cocok sebelumnya perlu dilakukan
penelitian mengenai karakteristik biofisik peneluran, penetasan maupun kondisi habitatnya. Salah
satu tempat yang menjadi lokasi peneluran penyu hijau adalah pantai Pangumbahan di Kabupaten
Sukabumi. Dari informasi yang didapat, daerah ini diienal sangat produktif menghasilkan telur
penyu hijau karena cukup banyak penyu hijau betina yang telah mencapai dewasa kelamin yaig
mendarat dan bertelur.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana klasifikasi dan morfologi dari Dugong dugon ?

2. Bagaimana pola makan atau kebiasaan dan reproduksi dari Dugong dugon ?

3. Bagaimana habitan pola sebaran Dugong dugon di perairan ?

4. Bagaimana klasifikasi dan morfologi dari Chelonia mydas L ?

5. Bagaimana pola makan atau kebiasaan dan reproduksi dari Chelonia mydas L ?

6. Bagaimana habitan pola sebaran Chelonia mydas L di perairan ?

BAB II PEMBAHASAN

2.1.1 Klasifikasi Dugong

Dugong adalah anggota dari kelas mammalia yang hidup di laut. Dugong berasal dari
Famili Dugongidae, yang hanya terdiri dari 2 spesies dan satu spesies lainnya telah punah
(Hydrodamalis gigas). Klasifikasi dugong adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Mammalia
4
Ordo : Sirenia
Famili : Dugongidae
Marga : Dugong
Spesies : D. dugon (Muller, 1766 dalam Berta et al., 2006).

Gambar 1. Dugong dugon


(sumber: wikipedia)

2.1.2 Morfologi dari Dugong

Dugong memiliki panjang tubuh berkisar antara 240-406 cm dengan berat 230-908 kg
(Berta et al., 2006). Warna kulit dugong bervariasi, tetapi biasanya berwarna kelabu dan beberapa
lebih terang. Kulit dugong tebal, keras, berkerut dan ditutupi bulu-bulu kecil. Lengan depan
termodifikasi menjadi sirip pektoral dengan panjang 35-45 cm, yang digunakan sebagai pendorong
pada dugong muda. Dugong dewasa bergerak dengan menggerakkan ekor dengan sirip berfungsi
sebagai pengatur arah.

Gambar 2. Morfologi Dugong dugon


(sumber: wikipedia)

5
Dugong hidup di daerah perairan pesisir tropis dan subtropis dari Afrika Timur menuju
perairan Indo Pasifik di Kepulauan Solomon dan Vanuatu, secara melintang bentang sebaran
dugong terletak antara 26° Lintang Utara dan 27° Lintang Selatan. Distribusi dugong berada di
perairan lebih dari 40 negara.
Dugong merupakan tipe mamalia laut pemakan dasar. Hal ini ditunjukkan dari morfologi
mulut dugong yang berbentuk bulat dan besar, hidung mengarah ke bawah sehingga mulutnya
mendatar, sehingga dapat disesuaikan dengan kebutuhan menjadi pemakan tumbuhan dasar
perairan. Pada bagian mulut terdapat penebalan kulit. Bulubulu hidung tumbuh dengan baik dan
berfungsi sebagai sensor lokasi makanan khususnya padang lamun (Azkab, 1998). Gigi permaxilla
dugong lebih besar, panjang dan tinggi. Pada dugong jantan mempunyai sepasang taring pada gigi
serinya, sedangkan dugong betina gigi taring ini tidak tumbuh melanjut menembus gusinya. Gigi
yang mula-mula tumbuh akan berbaris ke depan yang kemudian digantikan oleh gigi-gigi
berikutnya yang tumbuh kearah samping. Gigi pengganti secara umum tereduksi baik jumlah
maupun bentuknya sampai tertinggal hanya dua gigi molar yang permanen pada dugong dewasa
(Marsh, 1977). Lambung dugong memiliki banyak bakteri untuk menghancurkan dinding sel
lamun dengan panjang usus dugong dewasa dapat mencapai 30 m. Sangat sulit menemukan
dugong di habitat alami, hal ini dikarenakan dugong merupakan mamalia laut yang pemalu. Hal ini
terjadi karena saat dugong merasa ada gangguan ataupun kehadiran sesuatu yang lain disekitarnya,
maka dugong akan dengan cepat masuk ke dalam laut dan menghilang di antara padang lamun.
Dugong dugon dalam tampilan fisiknya bentuknya seperti ikan yang tambun, tanpa sirip
punggung, dilengkapi dengan ekor yang pipih, horizontal dan bentuknya bercabang seperti ekor
paus dan lumba-lumba. Bila ekornya diayunkan naikturun akan memberi daya dorong baginya
untuk berenang maju ke depan, sedangkan bila dipelintir untuk gerakan membelok. Panjang
dugong dewasa jarang melebihi 3 meter dengan berat sampai sekitar 420 kg. Tetapi rekor dugong
terberat tercatat sebesar 1.016 kg dengan panjang 4,06 m di pantai Saurashtra, di bagian sebelah
barat India. Dugong betina cenderung sedikit lebih besar dari yang jantan. Moncongnya yang tebal
berbentuk bagai tapal kuda, menghadap ke bawah dengan bibir tebal yang ditumbuhi bulu-bulu
kasar bagai sikat (bristles). Bulu-bulu kasar ini merupakan organ yang sangat sensitif yang
digunakannya untuk mencari makan.

6
Gambar 3. Moncong dugong dengan bibir atas yang tebal dipenuhi bulu sikat (bristles)
yang sensitif (kiri). Detail bulu sikat pada moncong dugong (kanan).

Dugong mempunyai sepasang sirip yang tebal dan bertulang bagai lengan dan jari-jari,
yang dapar berfungsi sebagai dayung penyeimbang bila berenang. Bila dugong mencari makan di
dasar laut, sirip tebalnya dapat menopang tubuhnya untuk merayap ketika mencari makan. Di
ketiak kedua siripnya terdapat puting susu, yang sangat penting untuk menyusui anaknya
Kulit dugong tebal dan halus dengan warna pucat ketika masih bayi, dan berubah menjadi
warna abu-abu gelap kecoklatan di bagian punggungnya menjelang dewasa dan bagian perut
dengan warna yang lebih terang. Warna dugong dapat berubah dengan pertumbuhan alga di
kulitnya. Kadang-kadang teritip (Balanus) ikut pula menempel di permukaan kulitnya. Sekujur
tubuhnya diliputi dengan rambut-rambut halus dan pendek.
Dari tampak luarnya, sukar membedakan dugong betina dan jantan, karena bentuk luarnya
boleh dikatakan sama (monomorphic). Salah satu petunjuk untuk membedakan jenis kelaminnya
adalah posisi celah kelaminnya (genital aperture) terhadap anus dan pusar (umbilicus). Pada yang
betina, celah kelaminnya (vagina) terletak lebih dekat ke anus.

Gambar 4 . Perbedaan dugong betina dan jantan dilihat dari pososi relatif antara umbilicus,
celah genital (celah vagina atau celah penis) dan dubur (anus).

2.1.3 Reproduksi dan Pola Makan Dugong

Dugong sebagai mamalia laut sangat bergantung pada penyebaran lamun di perairan.
Sehingga kerusakan habitat padang lamun akan mempengaruhi kehidupan dan penghidupan
dugong khususnya dalam ketersediaan makanan dugong di perairan. Beberapa penelitian
menunjukan bahwa dugong memakan jenis lamun yang berbeda dari satu tempat dengan yang lain.
Lamun sangat berbeda dengan rumput yang tumbuh di darat. Rumput darat mempunyai
banyak tanin dan silikat sehingga sukar untuk hewan herbivora darat untuk mematahkannya.
Sebaliknya beberapa struktur dan karakteristik kimia dari lamun erat kaitannya dengan lingkungan
laut (HEINSHON et al. 1977). Lamun adalah tumbuhan berbunga yang secara penuh beradaptasi
7
pada kehidupan dilingkungan bahari. Lamun mempunyai sifat-sifat yang memungkinkannya
berhasil hidup di laut, yaitu :
1. mampu hidup di media air asin.
2. mampu berfungsi normal dalam keadaan terbenam,
3. mempunyai sistem perakaran yang berkembang baik, dan
4. mampu melakukan daur generatif dalam keadaan terbenam.
Menurut Marsh (1982) dalam Azkab (1998), makanan utama dugong adalah lamun.
Menurut penelitian, lebih dari 90% isi perut adalah lamun dan sisanya adalah beberapa jenis alga
(seaweed). Dugong mempunyai kebiasaan makan yang rakus, dugong dewasa dapat menghabiskan
25-30 kg lamun basah tiap harinya. Dugong yang terdapat di Ancol menghabiskan 30-40 kg lamun
basah tiap harinya dan di kolam penampungan di Australia dapat menghabiskan 50-55 kg lamun
basah per hari
Perubahan pada kelimpahan atau kualitas nutrisi lamun akan berpengaruh terhadap
pergerakan dan siklus perkawinan dugong. Sebuah penelitian menyebutkan bahwa dugong dapat
hidup sampai 70 tahun dan kecepatan reproduksi rendah serta memerlukan waktu lama. Dugong
mempunyai waktu reproduksi minimum dengan periode 9-10 tahun untuk kedua jenis dan pada
dugong betina dewasa hanya bisa mengandung antara 3-7 tahun. Makanan dugong biasanya
tumbuh pada kedalaman 1-2 m di bawah permukaan laut. Sangat jarang ditemukan dugong pada
kedalaman lebih dari 10 m.

2.1.4 Kebiasaan makan

Sebagai herbivora yang hidup di laut, cara makan duyung pada umumnya sama dengan
cara makan herbivora di darat yaitu dengan mengunyah-ngunyah makanannya. Kebiasaan makan
terutama dilakukan pada malam hari, tetapi pada kolam penelitian (Oceanarium) duyung tidak
mengenal waktu makan (Azkab, 1998).
Menurut Anderson et al., (1978), bahwa duyung dapat makan pada waktu malam hari
maupun pada hari lain atau waktu lain. Duyung pada waktu makan, lebih banyak menggunakan
lubang hidung serta bibirnya dari pada sirip dada untuk menggali lumpur atau mencabut akar
lamun. Lumpur yang melekat pada tanaman lamun dibersihkan dengan cara menyemburkan
tanaman itu sejenak lalu ditelan.
Duyung mempunyai kebiasaan makan yang rakus, dimana yang dewasa dapat
menghabiskan 25 - 30 kg lamun basah setiap harinya. Duyung yang pernah dipelihara di
Gelanggang Samudra Jaya Ancol memakan 30 - 40 kg lamun basah setiap harinya. Sedangkan di
kolam penampungan di Australia, duyung sanggup memakan 50 - 55 kg lamun basah perhari.
Makanan duyung biasanya tumbuh pada kedalaman satu sampai dua meter di bawah permukaan
air laut. Jarang ditemukan duyung yang sedang makan pada kedalaman lebih dari 10 meter. Jika
duyung memakan lamun yang tumbuhnya pendek seperti Halodule dan Halophila, maka akan
terlihat alur makannya dengan lebar 19 - 26 cm, dalam 3 - 5 cm dan panjang mencapai 8 m.
Panjang alur makan bervariasi tergantung kerapatan lamun.

8
2.1.5 Habitat dan Sebaran Dugong (Dugong dugon) di Perairan

Dugong dapat hidup sampai usia tua, sebuah penelitian menyebutkan dugong tertua pada
saat kematiannya adalah pada usia tersedia (lamun). Di Australia populasi dugong ±10.000 ekor
(Marsh, 1996). Dugong lebih banyak menggunakan lubang hidung serta bibirnya daripada sirip
dada untuk menggali lumpur atau mencabut akar lamun. Lumpur yang menempel pada lamun
dibersihkan dengan cara menyemburkan lamun tersebut sejenak sebelum ditelan. Dalam usus
dugong sedikit sekali ditemukan pasir. Hal ini diduga karena dugong mempunyai suatu card untuk
meminimalkan termakannya pasir. Jika dugong makan kepalanya akan diputar-putar sebagai usaha
untuk menghilangkan substrat. Pada bagian mulut dugong yang berukuran kecil letaknya jauh ke
belakang dari kepala kearah ventral dan terbentuk dengan tujuan untuk mematahkan lamun.
Dugong mempunyai kemampuan mengambil makanan di dasar perairan, permukaan laut,
tebing laut, bahkan dugong mampu mengambil makanan yang berada sekitar 40 cm di atas
permukaan laut (Soegiarto, et al., 1984). Posisi mulut yang terletak terminal pada kepala dengan
bibir atas yang bercelah dan mudah digerakan, dilengkapi dengan bulu-bulu kaku dan keras,
mempermudah dan memungkinkan dugong mengambil makanannya. Melihat tabiat makan dan
habitat dugong, mamalia laut ini dapat dimanfaatkan untuk membersihkan gulma air di suatu
perairan yang luas seperti di danau buatan Karibia, Afrika Tengah. Sebuah penelitian mengenai hal
tersebut pernah dilakukan dengan dua perlakuan pada dua medium berbeda. Perlakuan pertama
dilakukan pada saluran buatan di Guiana namun tidak membuahkan hasil dikarenakan dugong
yang diberikan perlakuan tersebut bermigrasi terlalu jauh. Sementara percobaan yang dilakukan
pada kolam buatan di Botanic Gardens di Georgetown ternyata telah memakan bersih gulma air
pada kolam tersebut. Dari penelitian tersebut dunia internasional mulai memberi perhatian khusus
bahwa dugong dapat dimanfaatkan sebagai pembersih eceng gondok di perairan khususnya danau
buatan di Karibia yang pertumbuhan eceng gondok pada daerah tersebut begitu banyak (Soegiarto,
et al., 1984).
Dugong merupakan mamalia laut herbivora yang tercatat sebagai salah satu satwa langka
dikarenakan jumlah populasi dugong semakin hari semakin berkurang hal ini diakibatkan
perburuan terhadap dugong dan kerusakan habitat dugong (Thornback & Jenkins, 1982; Heinshon,
1982 dalam Azkab, 1998). Disamping itu perkembangbiakan dugong yang sangat lambat juga
menjadi salah satu faktor dugong tergolong sebagai hewan langka. Dugong hanya melahirkan satu
ekor anak dalam sekali melahirkan (Azkab, 1998). Dugong telah diklasifikasikan sebagai golongan
‘rawan’ menurut IUCN. Namun pada beberapa daerah di Australia digolongkan dalam kondisi
‘terancam’. Populasi manusia meningkatkan tekanan pada habitat perairan dan sumberdaya alam
lainnya, termasuk persediaan ikan dan udang, rumput laut, suplai air tawar pada perairan tersebut.
Sungai, muara dan perairan pantai membuat ekosistem semakin tidak sehat bagi keberadaan
makhluk hidup (Reeves, et al., 1997 dalam Budiono, 2003). Populasi dugong sampai saat ini
makin menurun yang antara lain karena dugong secara alami hanya memiliki kemampuan

9
peningkatan populasi sebesar 5% per tahun. Faktor penyebab lainnya adalah aktivitas manusia di
pantai dan kejadian penyakit infeksius maupun noninfeksius. Upaya penyelamatan populasi
dugong sampai saat ini masih belum banyak dilakukan. Beberapa penelitian terkait dugong saat ini
masih terfokus pada pengamatan aspek biologis, evaluasi habitat maupun pencarian metode
penghitungan populasi di laut lepas, masih sedikit penelitian terkait dugong yang mempelajari
aspek medis.
Dugong lebih sering ditemukan di perairan teluk, perairan dangkal dan terumbu karang.
Penyebaran dugong terbagi dalam beberapa populasi kecil di Indonesia dan peta keberadaannya
belum lengkap. Dugong tersebar luas di perairan Indo-Pasifik pada daerah perairan tropis dan
subtropis. Dugong juga dapat ditemukan pada perairan tertutup seperti teluk dan selat. Di perairan
tertutup seperti teluk Persia, sepanjang India selatan hingga Srilanka dan sepanjang Indonesia dan
kepulauan Pasifik hingga kepulauan Ryukyu di utara dan perairan Australia tengah dan selatan
(Nishiwaki dan Marsh, 1985 dalam Budiono, 2003). Di Indonesia dugong tersebar di beberapa
wilayah seperti Papua, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sumatera, Timor
Timur, Maluku, barat laut dan tenggara Jawa, pantai selatan Jawa Timur dan pantai selatan
Kalimantan (Budiono, 2003). Penyebaran dugong juga meliputi laut merah (Mesir) sampai
Vanuatu (laut selatan Pasifik), baik di perairan laut maupun perairan darat. Penyebaran ini
berkaitan dengan penyebaran rumput laut dari famili Potamogetonaceae dan Hydrocharitaceae,
yang merupakan sumber makanan utama dugong (Marsh, et al., 1999). Beberapa data menyatakan
bahwa jumlah dan penyebaran dugong di Indonesia terdapat dibeberapa daerah seperti di Maluku
walaupun hanya dalam jumlah kecil. Selain itu dugong juga diteliti di beberapa pulau kecil di
Indonesia termasuk Biak dan Taman Nasional Cendrawasih (Papua), pulau Lembata (Flores),
Arakan (Sulawesi) dan Nusa Tenggara dimana diantaranya adalah areal dilindungi (Marsh, et al.,
2003). Kawanan dugong mampu bermigrasi dari timur hingga barat pantai Cape York, Queensland,
namun tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa populasi dugong melakukan migrasi dalam skala
besar (Marsh, 1982). Di Shark bay bagian selatan Australia barat perpindahan atau migrasi dugong
bergantung pada perubahan musim dan suhu perairan laut (Anderson, 1986 dalam Marsh, et al.,
1991). Dalam sebuah penelitian menyatakan seekor dugong jantan dewasa mampu bermigrasi
melintasi dua teluk dengan jarak 140 km selama 63 hari (Marsh, et al., 1991).

2.2.1 Klasifikasi Penyu Hijau

Badan Penyu Hijau ditutupi oleh rangka dari tulang yang tebal di bagian punggung.
Ketebalannya tergantung dari umurnya. Kepala seperti kepala burung kakatua dengan mata
menonjol di bagian kiri dan kanan. Mulut seperti paruh kakatua dan terbuat dari tulang. Kaki
depan melengkung, lebar dan pipih. Kaki belakang pendek dan melebar serta ujungnya beralur.
Kepala dan kaki ditutupi oleh selapis tulang yang tipis dan tulang tersebut merupakan kotak-kotak
yang disatukan. Ekornya kecil. Perbedaan khas dengan kura-kura ialah kepalanya tidak dapat

10
ditarik masuk ke dalam cangkang. Perisai punggung, terdiri dari kotak-kotak yang bagus
bentuknya dan saling merekat dengan kuat. Pada bagian tengah agak kecil, ke samping besar dan
yang tepi kecil sekali. Warna perisai coklat kekuning-kuningan sedang kepala, kaki dan badan
hijau kecoklatan. Bagian bawah (perut dan dada) berwarna putih dan agak keras. Ukuran : Panjang
dari kepala sampai ekor dapat mencapai 2 m, tetapi biasanya yang telah bertelur panjangnya 75-
100 cm. Lebar antara 50-60 cm.
Klasifikasi Penyu hijau menurut Linnaeus adalah:
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Reptilia
Ordo : Testudinata
Famili : Cheloniidae
Marga : Chelonia
Spesies : Chelonia mydas L.

Gambar 5. Penyu Hijau


(Sumber: Wikipedia)
2.2.2 Morfologi dari Penyu Hijau

Sesuai dengan namanya, warna tubuh, lemak dan dagingnya agak kehijau-hijauan. Ukuran
penyu dewasa ini bisa mencapai kurang lebih sekitar 250 cm, meskipun rata-rata sekarang adalah
100 cm. Penyu hijau dewasa hidup di hamparan padang lamun dan ganggang. Berat Penyu hijau
dapat mencapai 400 kg, namun di Asia Tenggara yang tumbuh paling besar sekitar separuh
ukuran ini. Penyu hijau di Barat Daya kepulauan Hawai kadang kala ditemukan mendarat pada
waktu siang untuk berjemur panas. Anak-anak Penyu hijau (tukik), setelah menetas, akan
menghabiskan waktu di pantai untuk mencari makanan. Tukik Penyu hijau yang berada di
sekitar Teluk California hanya memakan alga merah. Penyu hijau akan kembali ke pantai asal
ia dilahirkan untuk bertelur setiap 3 hingga 4 tahun sekali (Nuitja, 1992).
Perisai atau karapasnya berbentuk hati dengan tepi rata, jumlah
keping kostal 4 pasang, berwarna hijau cokelat dengan bercak tua sampai
hitam. Keping kostal ukuran lebarnya hampir dua kali di banding dengan lebar keping vertebral.
Keping marginalnya relatif sempit. Kepalanya memiliki sepasang sisik prefrontal yang lebar dan

11
mempunyai tepi yang berwarna putih. Kaki depannya dipenuhi dengan sisik yang relatif berukuran
sama, sehingga jari-jarinya tidak terlihat jelas (Ali, 2004).
Perbedaan Morfologi Betina dan Jantan:
Ciri morfologi Penyu hijau menurut Hirt (1971) dan Bustard (1972) dalam (Tanjung dkk,
2001) adalah terdapatnya sepasang prefrontal atau sisik pada kepala. Memiliki sisik perisai
punggung (dorsal shield) yang tidak saling berhimpit, mempunyai empat pasang sisik samping
yang tesusun bujur pada permukaan kepala dari arah kepala ke ekor (costal scute), dimana
pasangan sisik samping pertama tidak menyentuh Nuchal. Pada bagian pinggir karapas terdapat 12
pasang Marginal Scute , kaki depan berbentuk pipih seperti dayung, terdapat sebuah kuku pada
kaki depan yang besar.
Penyu hijau jantan sedikit lebih besar dari penyu hijau betina. Penyu hijau jantan juga
memiliki ekor yang lebih panjang dari penyu hijau betina.
Karakteristik Penyu Hijau:
1. Memiliki warna kuning kehijauan atau coklat hitam gelap.
2. Cangkangnya bulat telur bila dilihat dari atas dan kepalanya relatif kecil dan tumpul.
3. Ukuran panjang adalah antara 80 hingga 150 cm dan beratnya dapat mencapai 132 kg.
Penyu hijau diberi nama karena warna kulitnya yang kehijauan. Sedangkan cangkangnya
biasanya berwarna cokelat atau olive. Penyu hijau merupakan salah jenis satu penyu laut terbesar
di dunia, bobotnya mencapai lebih dari 300 kg. Penyu hijau memiliki kepala yang kecil, dan tidak
dapat ditarik masuk ke cangkang. Cangkangnya memiliki bentuk mirip organ jantung yang
panjangnya mencapai 1,5 m. Cangkangnya lebar dan memiliki permukaan halus. Penyu hijau
jantan sedikit lebih besar dari penyu hijau betina. Penyu hijau jantan juga memiliki ekor yang lebih
panjang dari penyu hijau betina. Penyu hijau memiliki sirip mirip dayung, yang membantunya
berenang dengan kuat dan gemulai. Hewan ini biasanya berenang dengan kecepatan 2 – 3 km/jam.

2.2.3 Reproduksi dan Pola Penyu Hijau

Penyu laut adalah adalah hewan yang menghabiskan hampir seluruh hidupnya di
bawah permukaan laut. Induk betina dari hewan ini hanya sesekali ke daratan untuk
meletakkan telut-telurnya di darat pada substrate berpasir yang jauh dari pemukiman
penduduk. Untuk penyu hijau, seekor Induk betina dapat melepaskan telur-telurnya sebanyak
60 – 150 butir, dan secara alami tanpa adanya perburuan oleh manusia, hanya sekitar 11 ekor
anak yang berhasil sampai kelaut kembali untuk berenag bebas untuk tumbuh dewasa.
Penyu membutuhkan kurang lebih 15-50 tahun untuk dapat melakukan perkawinan.
Selama masa kawin, penyu laut jantan menarik perhatian betinanya dengan menggosok-
gosokkan kepalanya atau menggigit leher sang betina. Sang jantan kemudian mengaitkan
tubuhnya ke bagian belakang cangkang si betina. Kemudian ia melipat ekornya yang panjang

12
ke bawah cangkang betina. Beberapa jantan dapat saling berkompetisi untuk merebut
perhatian si betina.
Hanya penyu laut betina yang pergi ke pantai untuk bersarang dan menetaskan
telurnya. Penyu laut jantan jarang sekali kembali ke pantai setelah mereka menetas. Penyu laut
pergi untuk menetaskan telurnya ke pantai dimana mereka dulu dilahirkan.
Penyu betina naik ke pantai untuk bertelur. Dengan kaki depannya, mereka menggali
lubang untuk meletakkan telur-telurnya. Kemudian mereka mengisi lubang itu dengan telur-
telurnya sebanyak kurang lebih 100 butir (bahkan mungkin lebih). Kemudian mereka dengan
hati-hati menutup kembali lubang tersebut dengan pasir dan meratakan pasir tersebut untuk
menyembunyikan atau menyamarkan letak lubang telurnya. Setelah proses melelahkan ini
selama kurang lebih 1-3 jam berakhir, mereka kembali ke laut.
Penyu umumnya lambat dan canggung apabila berada di darat, dan bertelur adalah hal
yang sangat melelahkan, Penyu yang sedang bertelur sering terlihat mengeluarkan air mata,
padahal sebenarnya mereka mengeluarkan garam-garam yang berlebihan di dalam tubuhnya.
Beberapa penyu dapat menghentikan proses bertelur apabila mereka terganggu atau merasa
dalam bahaya. Oleh karena itu, sangat penting diketahui bahwa jangan mengganggu penyu
yang sedang bertelur.

Penyu mengalami siklus bertelur yang beragam, dari 2 – 8 tahun sekali. Sementara
penyu jantan menghabiskan seluruh hidupnya di laut, betina sesekali mampir ke daratan untuk
bertelur. Penyu betina menyukai pantai berpasir yang sepi dari manusia dan sumber bising dan
cahaya sebagai tempat bertelur yang berjumlah ratusan itu, dalam lubang yang digali dengan
sepasang tungkai belakangnya. Pada saat mendarat untuk bertelur, gangguan berupa cahaya
ataupun suara dapat membuat penyu mengurungkan niatnya dan kembali ke laut. Penyu yang
menetas di perairan pantai Indonesia ada yang ditemukan di sekitar kepulauan Hawaii. Penyu
diketahui tidak setia pada tempat kelahirannya.

Beberapa peneliti pernah melaporkan bahwa presentase penetasan telur hewan ini
secara alami hanya sekitar 50 % dan belum di tambah dengan adanya beberapa predator-
predator lain saat mulai menetas dan saat kembali kelaut untuk berenang. Tidak
banyak regenerasi yang dihasilkan seekor penyu. Dari ratusan butir telur yang dikeluarkan
oleh seekor penyu betina, paling banyak hanya belasan tukik (bayi penyu) yang berhasil
sampai ke laut kembali dan tumbuh dewasa. Predator alami di daratan misalnya kepiting
pantai (Ocypode saratan, Coenobita sp), Burung dan tikus. Dilaut, predator utama hewan ini
antara lain ikan-ikan besar yang berada di lingkungan perairan pantai faktor perburuan oleh
manusia.

Sejak menetas tukik-tukik akan mencari makan tidak jauh dari pantai tempatnya
menetas. Sampai saat ini para ahli penyu belum mengetahui persis siklus hidup panjang
13
penyu-penyu itu. Tidak ada yang tahu kemana penyu-penyu kecil itu pergi antara 5-20 tahun.
Buktinya, saat diadakan peneliti dengan melakukan penyelaman tidak pernah menemukan
punyu-penyu muda. Penyu-penyu tampak lagi ketika sudah dewasa, ketika sampai saatnya
akan berbiak lagi. Jadi penyu-penyu yang bertelur sekarang ini adalah penyu-penyu yang
menetas 30 tahun lalu.

Menurut Miller (1997) aktivitas ketika penyu bertelur meliputi;

1) Saat Muncul dari Laut (Emergence)


Suatu keadaan ketika penyu baru saja muncul dari laut dan melihat kondisi pantai apakah
tempat tersebut aman sebagai tempat bertelur.
2) Merangkak Menuju Pantai (Crawling)
Setelah kondisi lingkungan dirasa aman untuk bertelur, penyu bergerak menuju pantai
untuk mencari tempat yang sesuai untuk bertelur.
3) Menggali Lubang Badan (Digging Body Pit)
Ketika penyu telah menemukan tempat yang sesuai untuk bertelur maka penyu akan
membersihkan tempat tersebut dan membuat lubang badan.
4) Menggali Lubang Telur (Digging eggs chamber)
Setelah selesai membuat lubang badan, induk penyu akan menggali lubang telur untuk
meletakkan telurnya.
5) Bertelur (Laying egg).
Induk penyu akan meletakkan telurnya pada lubang telur tersebut. Dalam satu kali
oviposisi induk telur akan mengeluarkan dua hingga tiga butir telur.
6) Menutup Lubang Telur (Covering eggs chamber)
Selesai meletakkan telurnya, induk penyu akan langsung menutup lubang telur tersebut.
7) Menutup Lubang Badan (Covering body pit)
Setelah selesai menutup lubang telur induk penyu akan melanjutkannya dengan menutup
lubang badan agar nampak seperti semula.
8) Penyamaran Sarang (Camuflase)
Untuk menghindari sarang penyu dari gangguan predator, induk penyu akan menyamarkan
sarangnya.
9) Kembali ke Pantai (Back to the sea)
Setelah selesai bertelur, induk penyu akan meninggalkan sarangnya dan kembali ke laut.
Pada kondisi emergence, crawling, digging body pit dan digging eggs chamber,
induk penyu sangat sensitif terhadap kondisi sekeliling sehingga pada kondisi ini harus
dihindari aktifitas yang dapat menyebabkan induk penyu mengurungkan niatnya untuk
bertelur. Setelah induk penyu meletakkan telurnya yang pertama (laying eggs), induk

14
penyu tidak akan menghiraukan gangguan yang ada, pada kondisi ini pengukuran panjang
dan lebar karapas dapat dilakukan.
Penyu mempunyai alat pecernaan luar yang keras, untuk mempermudah
menghancurkan, memotong dan mengunyah makanan. Penyu hijau dewasa tergolong penyu
laut herbivora. Makanan utama mereka dalah lamun laut atau alga, yang hidup di perairan
tropis da subtropik. Tetapi anak-anaknya diasumsikan omnivore untuk mempercepat
pertumbuhan tubuh mereka. Kemungkinan besar terjadi transisi bertahap, saat penyu mencapai
besar yang cukup untuk dapat menghindari predatornya.
Penyu laut khususnya penyu hijau adalah hewan pemakan tumbuhan (herbivore)
namun sesekali dapat menelan beberapa hewan kecil. Hewan ini sering di laporkan beruaya di
sekitar padang lamun (seagrass) untuk mencari makan, dan kadang di temukan memakan
macroalga di sekitar padang alga. Pada padang lamun hewan ini lebih menyukai beberapa
jenis lamun kecil dan lunak seperti (Thalassia testudinum, Halodule uninervis, Halophila
ovalis, and H. ovata). Pada padang alga, hewan ini menyukai (Sargassum illiafolium and
Chaclomorpha aerea). Pernah di laporkan pula bahwa penyu hijau memakan beberapa
invertebrate yang umumnya melekat pada daun lamun dan alga.

2.2.4 Kebiasaan makan

Penyu laut khususnya penyu hijau adalah hewan pemakan tumbuhan (herbivore) namun
sesekali dapat menelan beberapa hewan kecil. Hewan ini sering di laporkan beruaya di sekitar
padang lamun (seagrass) untuk mencari makan, dan kadang di temukan memakan macroalga di
sekitar padang alga. Pada padang lamun hewan ini lebih menyukai beberapa jenis lamun kecil
dan lunak seperti (Thalassia testudinum, Halodule uninervis, Halophila ovalis, and H. ovata).
Pada padang alga, hewan ini menyukai (Sargassum illiafolium and Chaclomorpha aerea).
Pernah di laporkan pula bahwa penyu hijau memakan beberapa invertebrate yang umumnya
melekat pada daun lamun dan alga.

2.2.5 Habitat dan Sebaran Penyu Hijau di Perairan

Penyu Hijau dapat berinteraksi dengan sesamanya dalam hal reproduksi antara jantan dan
betina, bermigrasi secara berkelompok yang dapat mencapai ratusan bahkan ribuan kilometer
dari tempat penelurannya untuk mencari sumber pakan mereka.
Interaksi penyu hijau jantan dengan betina (melakukan perkawinan) :
Penyu Hijau diketahui dapat berinteraksi dengan ikan-ikan kecil . Perilaku ini merupakan
simbiosis mutualisme yang sangat menguntugkan bagi Penyu Hijau dan begitu juga bagi ikan-
ikan kecil. Hal ini dikarenakan ikan-ikan kecil tersebut memakan bakteri-bakteri serta alga
yang melekat di tubuh Penyu.
Selain itu, Penyu Hijau juga berinteraksi dengan ikan Remora, dimana perilaku tersebut
merupakan simbiosis komensalisme. Simbiosis ini menguntungkan bagi ikan Remora, karena

15
mendapat perlindungan dari Penyu Hijau saat berenang dalam air. Sedangkan bagi Penyu Hijau
sendiri hal tersebut tidak merugikan dan tidak pula menguntungkan.
Cara Penyu Hijau menjaga wilayahnya terutama sarang yaitu dengan cara penyamaran
sarang ”Camuflase” dengan menutup kembali sarang yang telah digali dengan menggunakan
pasir sampai terlihat samar, hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menjaga telur-telur dari
serangan predator dan menjaga telur dari ancaman keadaan lingkungan yang buruk seperti
hujan, gelombang pasang air laut dan sebagainya.

16
BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan

 Dugong adalah anggota dari kelas mammalia yang hidup di laut. Dugong berasal dari
Famili Dugongidae, yang hanya terdiri dari 2 spesies dan satu spesies lainnya telah punah
(Hydrodamalis gigas).
 Morfologi bagian mulut menunjukkan bahwa dugong adalah pemakan dasar. Gigi
permaxilla dugong lebih besar, panjang dan tinggi. Padugong jantan mempunyai sepasang
taring pada gigi serinya, sedangkan dugong betina gigi taring ini tidak tumbuh melanjut
menembus gusinya.
 Dugong dugon dalam tampilan fisiknya bentuknya seperti ikan yang tambun, tanpa sirip
punggung, dilengkapi dengan ekor yang pipih, horizontal dan bentuknya bercabang seperti
ekor paus dan lumba-lumba
 Makanan utama dugong adalah lamun. Dugong mempunyai waktu reproduksi minimum
dengan periode 9-10 tahun untuk kedua jenis dan pada dugong betina dewasa hanya bisa
mengandung antara 3-7 tahun.

 Duyung mempunyai kebiasaan makan yang rakus, dimana yang dewasa dapat
menghabiskan 25 - 30 kg lamun basah setiap harinya.

 Dugong lebih sering ditemukan di perairan teluk, perairan dangkal dan terumbu karang.
Dugong tersebar luas di perairan Indo-Pasifik pada daerah perairan tropis dan subtropis.
Penyu Hijau (Chelonia mydas L.) adalah salah satu reptil yang tubuhnya ditutupi
oleh rangka dari tulang yang tebal di bagian punggung.
 Ciri-ciri Penyu Hijau yaitu:
Kepala dan mulut seperti paruh kakatua dan terbuat dari tulang.
Kaki depan melengkung, lebar dan pipih. Kaki belakang pendek dan melebar.
Ekornya kecil. Kepala, ekor dan kaki tidak dapat ditarik masuk ke dalam.
 Karakteristik Penyu Hijau yaitu:
 Memiliki warna kuning kehijauan atau coklat hitam gelap.
 Cangkangnya bulat telur bila dilihat dari atas dan kepalanya relatif kecil dan
tumpul.
 Ukuran panjang adalah antara 80 hingga 150 cm dan beratnya dapat mencapai 132
kg.
 Habitat Penyu Hijau diketahui sering terdapat di antara terumbu karang pada
daerah laut lepas di daerah Indo-Pasifik, Samudera Atlantik, Teluk Meksiko,
sepanjang pesisir Argentina, di Laut Mediterania.
17
 Cara hidup Penyu Hijau berkoloni yaitu dengan bermigrasi secara besar-besaran
 Cara makan Penyu Hijau adalah dengan menarik dengan mulut lalu mengunyah
lamun laut atau alga yang hidup di perairan tropis da subtropis.
 Tahap perkembangbiakkan Penyu Hijau yaitu:
 Saat Muncul Dari Laut (Emergence)
 Merangkak Menuju Pantai (Crawling)
 Menggali Lubang Badan (Digging Body Pit)
 Menggali Lubang Telur (Digging eggs chamber)
 Bertelur (Laying egg).
 Menutup Lubang Telur (Covering eggs chamber)
 Menutup Lubang Badan (Covering body pit)
 Penyamaran Sarang (Camuflase)
 Kembali Ke Pantai (Back to the sea)
 Cara berinteraksi yang dilakukan Penyu Hijau yaitu:
 Interaksi dengan sesama: Bereproduksi (jantan-betina), Bermigrasi (jantan-jantan,
betina-betina, jantan-betina, jantan-anak, betina-anak).
Interaksi dengan hewan lain: simbiosis mutualisme dengan ikan-ikan kecil, dan
simbiosis komensalisme dengan ikan Remora
 Cara menjaga wilayah yaitu dengan cara Camuflase terhadap sarang tempat
meletakkan telur-telurnya.

3.2 Saran

Adapun saran yang dapat diberikan terhadap topik pembahasan dalam makalah ini
mengenai Dugong dan Penyu Hijau, yang mana populasi dari Dugong telah diklasifikasikan
sebagai golongan ‘rawan’ menurut IUCN. Namun pada beberapa daerah di Australia digolongkan
dalam kondisi ‘terancam’. Sehingga diperlukannya suatu konservasi terhadap spesies ini untuk
dapat menjaga kelestariannya, agar tidak terputusnya rantai makanan. Selain mengkonservasi
spesiesnya, sebaiknya juga tetap menjaga kelestarian habitat dari dugong khususnya ekosistem
padang lamun. Hal itu karena lamun merupakan makanan utama dari dugong. Hanya dengan
membiarkan Penyu Hijau untuk hidup bebas di habitatnya, tanpa melakukan sesuatu yang dapat
menganggu kehidupannya, maka penyu akan memberikan banyak manfaat bagi kehidupan
manusia.

18
DAFTAR PUSTAKA
Azkab, M. H. 1998. Duyung sebagai Pemakan Lamun. Jurnal. Oseana, Volume XXIII,
Nomor 3 & 4, 1998 : 35-39.

Berta, A., J. L. Sumich, dan K. M. Kovacs. 2006. Marine Mammals: Evolutionary Biology
(2nd edition). Elsevier Inc. Oxford.

19
Budiono. 2003. Laporan Akhir. Studi Keberadaan Duyung (Dugong dugon Muller) di
Teluk Balikpapan. Yayasan Konservasi RASI (Rare Aquatic Species of Indonesia). Gibbon
Foundation. Samarinda.

Jefferson, T. A., S. Leatherwood dan M. A. Webber. 1994. FAO Species Indentification


Guide: Marine Mammals of the World. FAO and UNEP. Rome.

Khalifa, M. A. 2011. Tingkah Laku dan Karakteristik Suara Dugong dugon di Sea World
Indonesia, Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta. Skripsi. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan.
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Marsh, H., A. V. Span and G. E. Heinshon. 1977. Mini Review Physiology of Dugong.
Comp. Biochm. Physiol. 61 : 59-168.

Marsh, H., P. W. Chanells, G. E. Heinshon and I. Morrisey. 1982. Analysis of Stomach


Contents of Dugongs from Queensland. Aus. Wildl. Res. 9 : 55- 67.

Mars, H., P. Corkeron, I. Lawler, A. Preen. 1996. The Status of the Dugong in the Southern
Great Barrier Reef Marine Park. Research Publication No. 41. The University of Queensland.

Marsh, H. 1999. Fauna of Australia. Marsh, H. 2003. Aerial Surveys and the Potential
Biological Removal Technique Indicate that the Torres Strait Dugong Fishery is Unsuistainable.

Soegiarto, K. A., A. Soegiarto. 1984. Beberapa Catatan Mengenai Manatee. Oseana,


Volume IX, Nomor 3 : 88-94.

Segara, Rian Adhi. 2008. Studi Karakteristik Biofisik Habitat Peneluran Penyu Hijau. IPB: Jawa
Barat

Jassin, Maskoeri. 1989. Sistematika Hewan Invertebrata dan Vertebrata. Surabaya: Sinar Wijaya.

Radiopoetro. 1990. Zoologi: Jakarta: Erlangga.

20
Makalah Dugong dan Penyu Hijau

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Biologi Organisme Laut

Disusun oleh :

Fiqih Abdul Jafar


230210180015
21
UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
PROGRAM STUDI PERIKANAN
JATINANGOR

2019

22

Anda mungkin juga menyukai