Anda di halaman 1dari 6

1.

Jenis-jenis transfuse darah

Macam2 Komponen Darah Transfusi adalah sebagai berikut

1. Whole blood

Whole blood (darah lengkap) biasanya disediakan hanya untuk transfusi pada
perdarahan masif. Whole blood biasa diberikan untuk perdarahan akut, shock
hipovolemik serta bedah mayor dengan perdarahan > 1500 ml. Whole blood akan
meningkatkan kapasitas pengangkutan oksigen dan peningkatan volume darah.
Transfusi satu unit whole blood akan meningkatkan hemoglobin 1 g/dl

2. Packed Red Blood Cell (PRBC)

PRBC mengandung hemoglobin yang sama dengan whole blood, bedanya


adalah pada jumlah plasma, dimana PRBC lebih sedikit mengandung plasma. Hal
ini menyebabkan kadar hematokrit PRBC lebih tinggi dibanding dengan whole
blood, yaitu 70% dibandingkan 40%. PRBC biasa diberikan pada pasien dengan
perdarahan lambat, pasien anemia atau pada kelainan jantung. Saat hendak
digunakan, PRBC perlu dihangatkan terlebih dahulu hingga sama dengan suhu
tubuh (37ºC). bila tidak dihangatkan, akan menyulitkan terjadinya perpindahan
oksigen dari darah ke organ tubuh.

3. Plasma Beku Segar (Fresh Frozen Plasma)

Fresh frozen plasma (FFP) mengandung semua protein plasma (faktor


pembekuan), terutama faktor V dan VII. FFP biasa diberikan setelah transfusi
darah masif, setelah terapi warfarin dan koagulopati pada penyakit hati. Setiap
unit FFP biasanya dapat menaikan masing-masing kadar faktor pembekuan
sebesar 2-3% pada orang dewasa. Sama dengan PRBC, saat hendak diberikan
pada pasien perlu dihangatkan terlebih dahulu sesuai suhu tubuh.
4. Trombosit

Transfusi trombosit diindikasikan pada pasien dengan trombositopenia


berat (<20.000 sel/mm3) disertai gejala klinis perdarahan. Akan tetapi, bila tidak
dijumpai gejala klinis perdarahan, transfusi trombosit tidak diperlukan. Satu unit
trombosit dapat meningkatkan 7000-10.000 trombosit/mm3 setelah 1 jam
transfusi pada pasien dengan berat badan 70 kg. banyak faktor yang berperan
dalam keberhasilan transfusi trombosit diantaranya splenomegali, sensitisasi
sebelumnya, demam, dan perdarahan aktif.

5. Kriopresipitat

Kriopresipitat mengandung faktor VIII dan fibrinogen dalam jumlah banyak.


Kriopresipitat diindikasikan pada pasien dengan penyakit hemofilia (kekurangan
faktor VIII) dan juga pada pasien dengan defisiensi fibrinogen.

2. Rumus kebutuhan darah


Rumus kebutuhan whole blood
6 x ∆Hb (Hb normal -Hb pasien) x BB
Ket :
-Hb normal : Hb yang diharapkan atau Hb normal
-Hb pasien : Hb pasien saat ini

Kebutuhan darah (ml) :


3 x ∆Hb (Hb normal -Hb pasien) x BB
Ket :
-Hb normal : Hb yang diharapkan atau Hb normal
-Hb pasien : Hb pasien saat ini
Tujuan transfusi PRC adalah untuk menaikkan Hb pasien tanpa menaikkan
volume darah secara nyata.
3. Reaksi transfuse dan penatalaksanaan nya
Tindakan yang dilakukan jika terjadi reaksi transfuse adalah
sebagai berikut :
1. Stop transfusi
2. Naikkan tekanan darah dengan koloid, kristaloid,atau Bila perlu
tambahan inotropic
3. Beri oksigen 100% Jika terjadi kondisi hipoksia
4. Manitol 50 mg atau furosemid 10-20 mg
5. Antihistamin dan epinefrin
6. Steroid dosis tinggi
7. Jika perlu exchange transfusion
8. Tetap infus dengan NaCl 0,9% atau kristaoid,
9. Pemberian dopamin dan kortikosteroid perlu dipertimbangkan.

Penanganan khusus pada reaksi Transfusi :


1.Reaksi alergi
Hipersensitivitas terhadap protein plasma donor. Gambaran klinis
ada!ah urtikaria, dan pada kasus berat dapat terjadi dispnea. udema
fasial dan kaku. Pengobatan segera dengan memberikan anti histamin
dan hidrokortison. Pilihan terakhir adalah adrenalin. Bila yang
dibutuhkan komponen sel darah merah transfusi dapat dilanjutkan
dengan WRC.
2. Reaksi febris
Terjadi karena set infus atau labu darah yang tidak bebas bahan
pirogen sehingga menimbulkan reaksi anti bodi terhadap leukosit dan
trombosit. Gejala febris dapat disertai menggigil, sakit kepala, nyeri
seluruh tubuh, dan gelisah. Transfusi dihentikan dan dapat diberi
antipiretik. Bila yang dibutuhkan komponen sel darah merah transfusi
dapat dilanjutkan dengan WRC.
3. Kontaminasi Bakteri
Kontaminasi bakteri dapat terjadi waktu pengambilan darah
donor, karena darah terlalu lama dalam suhu kamar atau tusukan
kedalam labu darah. Gejala berupa panas tinggi, nyeri kepala,
menggigil, muntah, sakit perut, diare sampai syok yang terjadi pada
waktu transfusi atau beberapa saat setelahnya. Tindakan-tindakan
yang segera harus dilakukan adalah menghentikan transfusi darah,
atasi syok, kompres es, dan pemberian antibiotika dosis tinggi.
4. Kelebihan beban sirkulasi.
Dapat terjadi udem paru dan gejala rasa penuh dalam kepala dan
batuk kering. Bila tidak ditangani segera dapat terjadi payah jantung.
Reaksi ini dapat dicegah dengan pemberian transfusi lambat komponen
darah yang dibutuhkan. Tindakan yang dapat dilakukan adalah
menghentikan transfusi darah, memberikan oksigen, tidur dengan
posisi setengah duduk, pemberian obat-abatan misalnya diuretik,
digitalis dan aminofilin. Untuk pencegahan timbulnya peningkatan
beban sirkulasi dapat dilakukan penetesan yang lambat yaitu 6-8 tetes
permenit, dan atau penggunaan kcmponen darah.
4. Prosedur pemberian transfuse darah
Transfusi darah harus melalui prosedur yang ketat untuk mencegah efek
samping (reaksi
transfusi) yang dapat timbul. Prosedur itu adalah:
1. Penentuan golongan darah ABO dan Rh. Baik donor maupun resipien
harus mempunyai golongan darah yang sama.
2. Pemeriksan untuk donor terdiri atas:
a. penapisan (screening) terhad ap antibodi dalam serum donor dengan
tes antiglobulin indirek (tes Coombs indirek)
b. tes serologik untuk hepatitis (B&C), HIV. sifilis (VDRL) dan CMV.
3. Pemeriksaan untuk resipien:
a. major side cross match: serum resipien diinkubasikan dengan RBC
donor untuk mencari antibodi dalam serum resipien.
b. minor side cross maach: mencari antibodi dalam serum donor.
Tujuannya hamper sama deng an prosedur 2a.
4. Pemeriksaan klerikal (identifikasi):
Memeriksa dengan teliti dan mencocokkan label darah resipien dan donor.
Reaksi transfusi ber at sebagian besar timbul akibat kesalahan identifikasi
(klerikal).
5. Prosedur pemberian darah, yaitu:
a. hangatkan darah perlahan-lahan
b. catat nadi, tensi, suhu dan respirasi sebelum transfuse
c. pasang infus dengan infus set darah (memak ai alat penyaring)
d. pertama diberi larutan NaCl fisiologik
e. pada 5 menit pertama pemberian darah-beri tetesan pelan-pelan-
awasi adanya urtikaria, bronk hospasme, rasa tidak enak, menggigil.
Selanjutnya awasi tensi, nadi, suhu, dan respirasi.
6. Kecepatan transfusi, yaitu:
a. untuk syok hipovolemik--beri tetesan cepat.
b. normovolemi-beri S00 ml/6jam:
c. pada anemia kronik. penyakit jantung dan paru beri tetesan perlahan-
lahan 500 ml/24 jam atau beri diuretika (furosemid) sebelum transfusi.

5. Perbedaan dan tatalaksana hemofili VS thalassemia


Hemophili merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan darah
sukar membeku. Hemofilia juga merupakan penyakit keturunan yang
terpaut pada kromosom X.
PENATALAKSANAAN
1. Terapi Suportif
a. Melakukan pencegahan baik menghindari luka atau benturan
b. Merencanakan suatu tindakan operasi serta mempertahankan
kadar aktivitas faktor pembekuan sekitar 30-50%
c. Lakukan Rest, Ice, Compressio, Elevation (RICE) pada lokasi
perdarahan untuk mengatasi perdarahan akut yang terjadi.
d. Kortikosteroid, untuk menghilangkan proses intlamasi pada
sinovitis akut yang terjadi setelah serangan akut hemartrosis
2. Terapi Pengganti Faktor Pembekuan
Dilakukan dengan memberikan F VIII atau F IX baik rekombinan,
kosentrat maupun komponen darah yang mengandung cukup
banyak factor pembekuan tersebut. Hal ini berfungsi untuk
profilaktif/untuk mengatasi episode perdarahan. Jumlah yang
diberikan bergantung pada factor yang kurang
3. Terapi lainnya
a. Pemberian DDAVP (desmopresin) pada pasien dengan
hemofili A ringan sampai sedang.
Thalassemia adalah penyakit darah berupa anemia hemolitik dan
diturunkan sesuai dengan hukum Mendel serta bersifat resesif. Penderita
akan mudah mengalami anemia (kurang darah/pucat) karena mereka
mengalami hermolisis (pemecahan) pada sel darah merah (eritrosit).
Akibat atau menifestasi dan keadaan thalassemia adalah anemia, hiperaktif
sumsum tulang (sistem aritropoetik) dan terjadi splenomagali (pembesaran
limpa). Pada kedua orang tua yang membawa thalassemia (bukan
penderita), Kriteria menurunnya autosom resesif ini terjadi bila kedua
orang tuanya normal dan biasanya kedua orang tua tersebut masih
memiliki hubungan darah. Jumlah penderita pria sama banyak dengan
penderita wanita.

Daftar Pustaka
Astuti dan Laksono. 2013. Keamanan cDarah di Indonesia. Surabaya.
Health Advocacy Depkes RI. 2003. Buku Pelayanan Transfusi Darah: Mutu
dan Keamanan dalam Penyediaan Darah. Jakarta. Depkes RI

Anda mungkin juga menyukai