Anda di halaman 1dari 10

Home Ekonomi Makro

Kedaulatan Pangan, Nyata atau Mimpi?

Rabu, 16 Januari 2019 | 21:12 WIB

Ankit Srinivas

Persediaan beras di gudang persediaan bahan pangan.

Editor: Ana Shofiana Syatiri

Indonesia adalah negeri kaya raya yang memiliki sumber daya alam melimpah. Segala produksi pangan
tersedia melimpah di negeri ini. Indonesia ibarat surga dunia yang menyimpan banyak berkah.

Ironisnya, kekayaan yang tersimpan di bumi Indonesia tidak sesuai dengan apa yang dirasakan rakyatnya.
Kemiskinan dan kelaparan masih menjadi cerita. Krisis pangan kerap menjadi berita. Ada yang salah
dengan tata kelola pangan di Indonesia.

Sebagai negara kaya raya, Indonesia memiliki amanat undang-undang untuk mewujudkan kedaulatan
pangan, yaitu Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012. Kedaulatan pangan artinya, Indonesia mampu
meningkatkan kemampuan produksi pangan melalui penyediaan sarana produksi pertanian,
menyediakan pangan yang beraneka ragam, tentunya pangan yang aman, bermutu dan bergizi.

Mewujudkan tingkat kecukupan pangan terutama pangan pokok dengan harga yang wajar dan
terjangkau, mempermudah rakyat memperoleh kebutuhan pangan, meningkatkan nilai tambah dan daya
saing komoditas.

Selain itu, tujuan dari kedaulatan pangan adalah meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat
tentang pangan yang bermutu dan aman, meningkatkan kesejahteraan bagi petani, nelayan, pembudi
daya ikan, dan pelaku usaha pangan. Serta, melindungi dan mengembangkan kekayaan sumber daya
pangan nasional.
SAAT kita memperingati Hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei, ada baiknya direnungkan tentang ucapan
Presiden Soekarno tentang pangan. Ia menggelorakan bahwa pangan ialah soal mati dan hidupnya
bangsa. Pernyataan itu berimplikasi pada pembangunan pertanian yang harus dikawal secara baik untuk
memperkuat nasionalisme pangan. Sayangnya, pembangunan pertanian di negeri agraris ini dari tahun
ke tahun semakin membuat hati miris. Kehadiran pemuda untuk menjadi petani andal kian berkurang.
Padahal, Presiden Soekarno pernah juga mengatakan secara tegas, "Beri aku 10 pemuda, niscaya akan
kuguncangkan dunia." Kalimat dahsyat Bung Karno itu merupakan gambaran betapa superiornya
pemuda sebagai agen perubahan di segala bidang pembangunan bangsa termasuk di sektor pertanian.

Tentu saja, pemuda yang dimaksud ialah mereka yang berpikiran positif, berprestasi, dan melek
teknologi pertanian. Tidak berlebihan apa yang disebutkan Bung Karno tentang pemuda. Dengan energi
yang masih membara dan daya kreativitas tinggi yang dimiliki, pemuda mampu menjadi akselerator dan
katalisator nasionalisme pembangunan pertanian, mengingat saat ini tidak sedikit pemuda Indonesia
yang berhasil mengharumkan nama bangsa berkat keahlian mereka.

Pembawa pembaruan

Pemuda zaman sekarang yang disebut generasi milenial atau Y berbeda dengan generasi sebelumnya,
generasi X yang kerap lambat mengikuti perubahan zaman. Generasi milenial (kelahiran 1980-1999)
memiliki ciri berpikir strategis, inspiratif, inovatif, energik, antusias, dan fasih mengadopsi teknologi
digital (digital natives) dalam beragam aspek bisnis sehingga diprediksi menjadi pembawa pembaruan
dalam pembangunan pertanian. Bahkan saat ini generasi milenial mulai mengubah budaya sejumlah
korporasi di Indonesia. Gaya kepemimpinan yang lebih fleksibel ditularkan mulai urusan perekrutan
hingga memotivasi karyawan. Korporasi pun lebih efisien dan produktif. Sayangnya, peran generasi
milenial yang andal di bidang teknologi digital belum banyak berkiprah di sektor pertanian untuk
meningkatkan produktivitas lahan dan penguatan kedaulatan pangan.

Padahal, kaum muda harus dimaknai sebagai benteng pembangunan pertanian. Di tengah tuntutan
masyarakat luas agar pemerintahan Jokowi-JK mampu membawa Indonesia berswasembada beras,
produksi pangan cenderung menurun karena petani berimigrasi ke kota. Dari laporan Sensus Pertanian
(2013), jumlah pemuda yang bekerja di sektor pertanian semakin menurun sepuluh tahun belakangan.
Selama satu dekade (periode 2003-2013), jumlah keluarga petani--termasuk generasi milenial di
dalamnya menurun 5,10 juta, dari 31,24 menjadi 26,14 juta. Secara kasatmata, arus urbanisasi besar-
besaran generasi milenial ke kota semakin lama semakin tidak terbendung. Kini yang mengawal
kedaulatan pangan dan mengurusi pertanian di desa hanya kaum perempuan dan kaum lanjut usia.
Generasi digital natives, yakni anak-anak muda yang lahir di era komputer yang melek teknologi internet,
aplikasi pada smartphone, dan berbagai produk digital lainnya, masih belum tertarik tinggal di desa
untuk bertani.
Bahkan ironisnya, hampir tidak ada keluarga petani yang berharap anaknya akan menggeluti bidang
pertanian. Dampaknya, kontribusi sektor pertanian semakin menurun terhadap PDB. Indonesia yang
dikenal sebagai negara agraris harus mengimpor berbagai produk pangan mulai beras, daging, kedelai,
jagung, gula, bawang merah, hingga garam. Devisa negara banyak terkuras untuk mengimpor beragam
bahan makanan untuk kebutuhan 250 juta penduduk Indoneisa. Penguatan kedaulatan pangan di masa
datang tampak mengkhawatirkan dengan keran impor daging sapi dan beras yang selalu terbuka setiap
tahun. Target Kementerian Pertanian yang menetapkan produksi gabah kering giling (GKG) 2016 sebesar
76,23 juta ton--naik tipis 1,15% bila dibandingkan pencapaian produksi 2015 yang disebut mencapai
75,36 juta ton semakin diragukan keberhasilannya. Sektor pertanian yang diharapkan dapat mengulang
prestasi besar pada 1984, yaitu swasembada beras sekaligus menggerakkan ekonomi domestik,
diprediksi akan kandas jika tidak ada upaya serius melibatkan generasi melenial di sektor pertanian.

Menjelang dua tahun usia pemerintahan Jokowi-JK, kondisi pembangunan pertanian masih belum
menggembirakan. Sebagian besar petani belum menguasai teknologi di bidang pertanian. Kedaulatan
pangan yang digadang-gadang di dalam politik Nawacita itu pun terasa bak sebuah mimpi. Penggunaan
teknologi tradisional, selain membuat hasil yang diperoleh tidak optimal, juga mengakibatkan
perpindahan tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri dan jasa di perkotaan.

Di mata generasi milenial yang bermukim di desa, sektor pertanian makin kehilangan daya tarik. Ini
membuat sektor pertanian jauh tertinggal jika dibandingkan dengan di negara tetangga Malaysia dan
Thailand, yang kondisi awalnya tidak berbeda jauh dengan Indonesia. Ketertinggalan Indonesia di bidang
'modernisasi' pertanian tidak lepas dari pro dan kontra kehadiran alat-alat mesin pertanian (alsintan) di
tengah masyarakat petani. Saat itu diperkenalkan pada 1967, tenaga kerja di sektor pertanian relatif
masih banyak. Jika traktor digunakan, akan terjadi pengangguran sebanyak selisih waktu masing-masing
untuk setiap pengerjaan 1 hektare sawah.

Seiring dengan perkembangan teknologi yang kian pesat, sektor pertanian dengan teknologi
tradisionalnya tidak lagi memikat hati generasi milenial yang menguasai teknologi internet dan aplikasi
pada smartphone. Perhatian mereka lebih tertuju pada sektor jasa di perkotaan.

Mengambil peran

Secara jumlah, meski belum ada angka pasti, populasi penduduk Indonesia yang tergolong generasi
milenial sangat besar, diperkirakan 40% atau mencapai 100 juta orang. Angka itu setara dengan lima kali
penduduk Malaysia. Jika populasi digital natives yang besar ini bisa mengambil peran secara maksimal di
sektor pertanian, bukan mustahil pembangunan kedaulatan pangan ke depan akan berjalan lebih baik.
Jika saat ini minat pemuda kian menurun pada sektor pertanian, itu artinya masih ada yang salah dalam
pembangunan pertanian. Status sosial profesi petani dianggap rendah dan tidak mempunyai bargaining
power di masyarakat. Berbeda dengan beragam profesi pekerjaan di kota dengan kantor berpenyejuk
udara memberi hasil yang lebih cepat jika dibandingkan dengan sektor pertanian yang harus menunggu
berbulan-bulan.

Pemerintah harus segera mencari solusinya dengan baik. Strategi utama yang patut dilakukan ialah
dengan menyeimbangkan tenaga kerja di sektor pertanian dengan luas lahan. Teknologi digital yang
dipadukan dengan mekanisasi dalam pengolahan lahan, penanaman, perawatan, dan pemanenan
misalnya merupakan alternatif terbaik saat ini. Kondisi faktual, sebagian besar petani lokal hanya
memiliki lahan sawah tidak lebih dari 0,5 hektare dan memiliki perbedaan kemiringan yang cukup
mencolok. Mekanisasi pertanian untuk proses pengolahan mulai persiapan lahan, penanaman, hingga
pemanenan menjadi sulit dilakukan. Oleh karena itu, dalam rangka penguatan nasionalisme
pembangunan pertanian, perlu upaya konsolidasi lahan untuk penataan hamparan sawah yang luas dan
utuh.

Salah satu strateginya ialah pemerintah harus menyiapkan perluasan lahan pertanian pangan dengan
membagikan lahan seluas 9 juta hektare seperti dijanjikan Jokowi kepada petani dari generasi melenial.
Memercayakan pengelolaan lahan kepada petani dari generasi milenial akan menjamin keberhasilan
pembangunan pertanian di masa datang. Konsolidasi lahan patut direalisasikan di sentra-sentra
pertanian guna mendorong bangkitnya nasionalisme pembangunan pertanian untuk perwujudan mimpi
besar kedaulatan pangan.

Transformasi sektor pertanian yang terencana dengan baik akan meningkatkan nilai tambah produk
pertanian dan menciptakan lapangan kerja baru di perdesaan sekaligus menahan laju urbanisasi.
Nasionalisme pembangunan pertanian ialah sebuah keniscayaan untuk membawa jalan perubahan bagi
Indonesia baru yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian.

***

Generasi saat ini adalah generasi milenial yang mempunyai ciri-ciri antara lain suka dengan yang serba
cepat dan instan. Generasi inilah yang akan menjadi sasaran utama program regenerasi petani, dan akan
diarahkan menjadi petani milenial.
Dengan demikian pendekatan yang pas bagi mereka haruslah bergaya milenial juga, bukan lagi bergaya
konvensional atau tradisional. Pendekatan konvensional atau tradisional tidak pas lagi, sebaliknya harus
dipikirkan suatu pendekatan jaman now.

Sayangnya, generasi milenial memandang bahwa dunia pertanian tidak lagi menarik.

Ada beberapa pandangan tentang pertanian. Pertanian identik dengan suatu pekerjaan yang bergulat
dengan tanah, kotor, terkena panas matahari, kurang bergengsi, lebih bergengsi pekerja kantoran yang
berseragam rapih. Pertanian juga dipandang memberikan income yang tidak menentu, sementara
menjadi karyawan akan memperoleh gaji/penghasilan tetap. Generasi milenial juga menilai bahwa bila
mau mendapatkan keuntungan besar dari sektor pertanian, harus siap dengan modal besar dan resiko
yang tinggi. Menurut mereka, banyak sekali persoalan yang dihadapi petani, antara lain faktor anomali
cuaca, sempitnya luas lahan garapan, serangan hama dan gagal panen. Mereka juga mengamati bahwa
proses penentuan harga tidak berpihak kepada petani; jangankan mendapat keuntungan, tidak sedikit
petani yang tidak balik modal atau justru tekor. Biaya yang dikeluarkan tidak sebanding dengan
keuntungan yang diperoleh. Itulah beberapa pandangan yang menjauhkan generasi milenial dari dunia
pertanian.

Pandangan tentang tidak menariknya sektor pertanian sebagai sumber utama mata pencaharian
generasi milenial, disebabkan oleh beberapa hal antara lain : orang tua yang berprofesi sebagai petani
jarang yang mendidik anaknya untuk nantinya bekerja sebagai petani, sebaliknya kebanyakan petani
memperoleh pengetahuan pertanian, rata-rata dari "otodidak".

Tingkat urbanisasi pemuda desa dari desa ke kota relative tinggi, dipicu oleh kondisi dimana sektor
pertanian di desa dianaktirikan. Harga-harga kebutuhan hidup di kota yang relative tinggi, serta
kebutuhan generasi sekarang akan investasi masa depan seperti mencicil rumah, biaya pendidikan anak-
anak serta dana pensiun adalah alasan-alasan yang mendorong pemuda desa meninggalkan lahan
pertanian orang tuanya untuk menjadi urban di kota-kota. Mereka mengandalkan mata pencaharian di
kota yang kompetisinya tinggi, sehingga tidak jarang mereka justru hanya menambah angka
pengangguran.

Beberapa fakta fenomena aging farmers antara lain dominasi petani generasi tua di ujung masa
produktif, berkurangnya jumlah petani secara keseluruhan dari waktu ke waktu, rendahnya tingkat
pendidikan petani, serta kepemilikan lahan pertanian yang makin menyempit.
Menurut data statistik BPS hasil Sensus Pertanian 2013, usia petani seperti tabel berikut :

Dapat dilihat pada tabel tersebut bahwa dari 26.135.469 orang petani Indonesia, 60,80% diantaranya
berusia diatas 45 tahun. Sensus dilaksanakan tahun 2013, jadi saat ini petani dalam survey sudah berusia
51 tahun ke atas, yang akan diketahui secara pasti dari survey sepuluh tahunan pada 2023 yang akan
datang.

Pada Nawacita Pembangunan Pertanian Periode 2015-2019, ditetapkan bahwa sektor pertanian adalah
penggerak transformasi pembangunan yang berimbang dan menyeluruh mencakup transformasi
demografi, ekonomi, intersektoral, spasial, institusional, dan tatakelola pembangunan yang harus :

mencukupi kebutuhan pangan dari produksi dalam negeri,

mengatur kebijakan pangan secara mandiri, serta

melindungi dan menyejahterakan petani sebagai pelaku utama usaha pertanian pangan.

Dengan kata lain, kedaulatan pangan harus dimulai dari swasembada pangan yang secara bertahap
diikuti dengan peningkatan nilai tambah usaha pertanian secara luas untuk meningkatkan kesejahteraan
petani.

Berat sekali tugas yang harus diemban oleh sektor pertanian, demi menjaga kedaulatan negara yang
tidak bergantung kepada pangan dari luar negeri.

Untuk itu, mari kita lihat apa yang sudah dilakukan oleh Kementerian Pertanian. Kementerian Pertanian
sudah melakukan beberapa langkah penting terkait peningkatan minat generasi muda untuk menggeluti
sector pertanian, seperti :

Pendampingan mahasiswa dalam upaya peningkatan produksi pangan.

Penumbuhan Wirausaha Muda Pertanian (PWMP).

Pengembangan SMKPP dan transformasi STPP menjadi Politeknik Pembangunan Pertanian.

Balai Pelaksana Penyuluhan Pertanian dan Kehutanan (BP3K) atau Balai Penyuluhan Pertanian (BPP)
ditingkat kecamatan Lebih ditingkatkan peranannya dalam menggalakkan generasi muda pedesaan
terjun di dunia pertanian.
Lalu, apakah itu cukup untuk menarik generasi muda menjadi petani milenial?

Banyak hal yang masih perlu dilakukan agar generasi muda berbondong-bondong menjadi petani
milenial.

***

SDGs adalah kesepakatan pembangunan baru yang mendorong perubahan-perubahan kearah


pembangunan berkelanjutan berdasarkan hak asasi manusia dan kesetaraan untuk mendorong
pembangunan sosial, ekonomi dan lingkungan hidup. SDGs diberlakukan dengan prinsip-prinsip
universal, integrasi dan inklusif untuk meyakinkan bahwa tidak akan ada seorang pun yang terlewatkan
atau "No-one Left Behind".

Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau dalam bahasa Inggris dikenal sebagai Sustainable Development
Goals disingkat dengan SDGs adalah 17 tujuan dengan 169 capaian yang terukur dan tenggat yang telah
ditentukan oleh PBB sebagai agenda dunia pembangunan untuk kemaslahatan manusia dan planet
bumi .[1] [2] Tujuan ini dicanangkan bersama oleh negara-negara lintas pemerintahan pada resolusi PBB
yang diterbitkan pada 21 Oktober 2015 sebagai ambisi pembangunan bersama hingga tahun 2030. [1]
Tujuan ini merupakan kelanjutan atau pengganti dari Tujuan Pembangunan Milenium yang
ditandatangani oleh pemimpin-pemimpin dari 189 negara sebagai Deklarasi Milenium di markas besar
PBB pada tahun 2000 dan tidak berlaku lagi sejak akhir 2015.

Latar belakang Sunting

Agenda pembangunan berkelanjutan yang baru dibuat untuk menjawab tuntutan kepemimpinan dunia
dalam mengatasi kemiskinan, kesenjangan, dan perubahan iklim dalam bentuk aksi nyata. [3] Konsep
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan lahir pada Konferensi Pembangunan Berkelanjutan PBB, Rio+20,
pada 2012 dengan menetapkan rangkaian target yang bisa diaplikasikan secara universal serta dapat
diukur dalam menyeimbangkan tiga dimensi pembangunan berkelanjutan; (1) lingkungan, (2) sosial, dan
(3) ekonomi.[3]

Agenda 2030 terdiri dari 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SGD) atau Tujuan Global, yang akan
menjadi tuntunan kebijakan dan pendanaan untuk 15 tahun ke depan (2030). [3]
Untuk mengubah tuntutan ini menjadi aksi nyata, para pemimpin dunia bertemu pada 25 September
2015, di Markas PBB di New York untuk memulai Agenda Pembangunan Berkelanjutan 2030.

Tujuan ini diformulasikan sejak 19 Juli 2014 dan diajukan pada Majelis Umum Perserikatan Bangsa-
Bangsa oleh Kelompok Kerja Terbuka Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Dalam proposal ini terdapat
17 tujuan dengan 169 capaian yang meliputi masalah masalah pembangunan yang berkelanjutan.
Termasuk didalamnya adalah pengentasan kemiskinan dan kelaparan, perbaikan kesehatan, dan
pendidikan, pembangunan kota yang lebih berkelanjutan, mengatasi perubahan iklim, serta melindungi
hutan dan laut. [4]

Pada bulan Agustus 2015, 193 negara menyepakati 17 tujuan berikut ini:[5]

Tujuan 1 - Tanpa kemiskinan

Pengentasan segala bentuk kemiskinan di semua tempat.[6][7]

Tujuan 2 - Tanpa kelaparan

Mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan perbaikan nutrisi, serta menggalakkan pertanian
yang berkelanjutan.[8]

Tujuan 3 - Kehidupan sehat dan sejahtera

Menggalakkan hidup sehat dan mendukung kesejahteraan untuk semua usia.[9]

Tujuan 4 - Pendidikan berkualitas

Memastikan pendidikan berkualitas yang layak dan inklusif serta mendorong kesempatan belajar seumur
hidup bagi semua orang [10]

Tujuan 5 - Kesetaraan gender

Mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan semua perempuan.[11]

Tujuan 6 - Air bersih dan sanitasi layak

Menjamin akses atas air dan sanitasi untuk semua.[12]

Tujuan 7 - Energi bersih dan terjangkau

Memastikan akses pada energi yang terjangkau, bisa diandalkan, berkelanjutan dan modern untuk
semua. [13]

Tujuan 8 - Pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi


Mempromosikan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dan inklusif, lapangan pekerjaan dan pekerjaan
yang layak untuk semua. [14]

Tujuan 9 - Industri, inovasi dan infrastruktur

Membangun infrastruktur kuat, mempromosikan industrialisasi berkelanjutan dan mendorong inovasi.


[15]

Tujuan 10 - Berkurangnya kesenjangan

Mengurangi kesenjangan di dalam dan di antara negara-negara. [16]

Tujuan 11 - Kota dan komunitas berkelanjutan

Membuat perkotaan menjadi inklusif, aman, kuat, dan berkelanjutan. [17]

Tujuan 12 - Konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab

Memastikan pola konsumsi dan produksi yang berkelanjutan [18]

Tujuan 13 - Penanganan perubahan iklim

Mengambil langkah penting untuk melawan perubahan iklim dan dampaknya. [19]

Tujuan 14 - Ekosistem laut

Pelindungan dan penggunaan samudera, laut dan sumber daya kelautan secara berkelanjutan [20]

Tujuan 15 - Ekosistem daratan

Mengelola hutan secara berkelanjutan, melawan perubahan lahan menjadi gurun, menghentikan dan
merehabilitasi kerusakan lahan, menghentikan kepunahan keanekaragaman hayati. [21]

Tujuan 16 - Perdamaian, keadilan dan kelembagaan yang tangguh

Mendorong masyarakat adil, damai, dan inklusif [22]

Tujuan 17 - Kemitraan untuk mencapai tujuan

Menghidupkan kembali kemitraan global demi pembangunan berkelanjutan.[23]

***

Di era keterbukaan informasi pada pertanian 4.0, sistem informasi pertanian dan mekanisasi pertanian
menjadi tools yang sangat strategis bagi institusi pendidikan di bawah Kementrian Pertanian yaitu
Polbangtan dan PEPI dalam upaya menghasilkan lulusan yang adaptif terhadap teknologi, yang siap
terjun ke dunia kerja dan wirausaha agribisnis, berorientasi ekspor serta menjadi agents of changes
dalam pembangunan pertanian, utamanya penyebaran informasi pertanian bagi stakeholders dan
modernisasi pertanian. Pengembangan sistem informasi pertanian (ICT, IoT, artificial intelligent)
diperuntukkan bagi kepentingan penyebaran informasi baik secara internal maupun secara eksternal
dengan maksud memberikan layanan terhadap informasi secara cepat, tepat, akurat dan kekinian yang
dapat mendukung institusi dalam pengambilan keputusan.

Dekan Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof. Dr. Ir. Kudang Boro Seminar, M.Sc.
menyampaikan bahwa pertanian itu sejatinya menyatukan antara darat, lautan, dan udara yang
kegiatannya meliputi dari lahan hingga sampai ke meja makan, Itulah mengapa kita tidak bisa membatasi
keilmuan kita melainkan perlu menjadikannya sebagai pendekatan transdisiplin. Intinya, pertanian 4.0,
dibutuhkan keterhubungan dan keterpaduan bekerja sama yang terintegrasi sehingga nantinya pertanian
4.0 mampu menjadikan teknologi sebagai sarana yang memudahkan petani, bukan sekedar hiburan saja.

“Pertanian 4.0 bercirikan pertanian yang aktifitas dan atau proses bisnisnya harus melibatkan teknologi
informasi dan jaringan internet yang menghubungkan semua unit operasinya dengan berbagai instrumen
(sensor, satelit, drone) dan peralatan (robot dan mesin) yang memungkinkan itu semua bekerja secara
sinergis, cepat, akurat dan cerdas berdasarkan data dan informasi relevan terkini. SDM yang kita miliki
harus paham akan hal tersebut, sehingga peran dari generasi muda atau generasi milenial ini yang
menjadi penggerak pertanian 4.0, “ ungkap Kudang.

Gegap gempita pertanian 4.0 harus diiringi kesiapan sumber daya manusia dan perubahan paradigma
berfikir untuk terus maju membangun sektor pertanian sebagai penggerak perokonomian rakyat, dan
tulang punggung ekonomi masyarakat Indonesia. Diperlukan komitmen bersama dan kuat untuk
menjaga predikat bahwa lembaga Pendidikan di Sektor pertanian sebagai pencipta sdm yang lulusannya
sebagai lulusan yang siap menjadi tenaga kerja pertanian yang siap kerja (job seeker) maupun siap
menjadi wirausaha pertanian (job creator), dan terjaga kualitas, kuantitas dan eksistensinya dalam
rangka menyongsong era pertanian 4.0.

Anda mungkin juga menyukai