Anda di halaman 1dari 29

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Pustaka dan Penelitian yang Relevan


1. Belajar dan Pembelajaran Kimia
Sesungguhnya belajar adalah ciri khas manusis sehingga manusia dapat
dibedakan dengan binatang. Belajar dilakukan manusia seumur hidupnya,
kapan saja, dan dimana saja. Sekalipun demikian, belajar dilakukan manusia
senantiasa oleh itikad dan maksud tertentu (Hamalik, 2004: 154). Definisi
belajar yang diungkapkan Slameto dalam Hamdani (2011: 20) bahwa belajar
merupakan suatu proses yang dilakukan individu agar terjadi perubahan tingkah
laku secara keseluruhan sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi
dengan lingkungannya. Dengan kata lain, seorang dikatakan belajar apabila
terjadi perubahan dalam dirinya akibat adanya latihan dan pengalaman melalui
interkasi dengan lingkungannya. Sedangkan menurut Gagne belajar merupakan
faktor yang menyebabkan terjadinya perkembangan. Hal ini dikarekan adanya
proses belajar memecahkan masalah yang hasilnya adalah terjadinya variasi
pola perilaku. Belajar bukan merupkan proses tunggal yang memiliki outcomes
berupa suatu kapabilitas (Gredler, 2011:175). Definisi belajar yang
diungkapkan oleh Suparno (2001: 2) adalah belajar merupakan hal yang sangat
mendasar bagi manusia dan merupakan prose yang tidak henti-hentinya.

Berdasarkan definisi yang diungkapkan para ahli di atas, dapat diambil


kesimpulan bahwa secara garis besar belajar merupakan proses perubahan dan
perkembangan perilaku manusia. Perubahan ini disebabkan karena adanya
interaksi manusia dengan lingkungannya yang memunculkan masalah untuk
diselesaikan dan terjadi terus menerus selama manusia hidup.

Beberapa ciri belajar, seperti yang dikutip Darsono dalam Hamdani


(2011: 22) adalah sebagai berikut:
a. Belajar dilakukan dengan sadar dan memiliki tujuan. Tujuan ini digunakan
untuk menentukan arah kegiatan, sekaligus tolok ukur keberhasilan belajar.

9
10

b. Belajar merupakan pengalaman individu, tidak dapt diwakilkan kepada


orang lain.
c. Belajar merupakan proses interaksi antara individu dengan lingkungan. Hal
ini berarti individu harus aktif apabila dihadapkan pada lingkungan tertentu.
Keaktifan ini dapat terwujud karena individu memiliki berbagai potensi
untuk belajar.
d. Belajar mengakibatkan terjadinya perubahan pada diri orang yang belajar.
Perubahan tersebut terjadi dalam aspek kognitif, afektif, dan psikomotor
yang terpisahkan satu dengan yang lainnya.

Apabila dilihat dari ciri-ciri belajar, maka belajar yang efektif dapat membantu
siswa untuk meningkatkan kemampuan yang diharapkan sesuai dengan tujuan
instruksional yang ingin dicapai. Untuk meningkatkan prestasi belajar siswa,
guru harus mempehatikan kondisi internal dan eksternal siswa. Kondisi internal
adalah kondisi atau situasi yang ada dalam diri siswa seperti kesehatan,
keterampilan, kemampuan kognitif, dan sebagainya. Kondisi eksternal adalah
kondisi yang ada diluar pribadi siswa, misalnya ruang belajar yang bersih,
sarana dan prasarana yang memadai, dan sebagainya (Hamdani, 2011).
Mata pelajaran kimia merupakan salah satu mata pelajaran wajib bagi
siswa yang masuk dalam kelas IPA. Ruang lingkup pembelajaran kimia
berdasarkan tinjauan umum yang tercantum dalam Standar Kompetensi Mata
Pelajaran Kimia Sekolah Menengah Atas dan Madrasah Aliyah terbitan
Depertemen Pendidikan Nasional (2003), yaitu:

a. Pengertian Ilmu Kimia


Kimia merupakan ilmu yang masuk dalam cabang ilmu
pengetahuan alam yang mempelajari segala sesuatu mengenai zat yang
meliputi komposisi, struktur dan sifat, perubahan dinamika, dan
energetika zat yang melibatkan keterampilan dan penalaran. Oleh karena
itu, pembelajaran kimia menekankan pada pemberian pengalaman belajar
secara langsung melalui penggunaan dan pengembangan keterampilan
proses dan sikap ilmiah.
11

b. Tujuan Pembelajaran Kimia


Mata pelajaran kimia di SMA/MA/ bertujuan agar siswa memiliki
kemampuan sebagai berikut:
1) Membentuk sikap positif terhadap kimia dengan menyadari
keteraturan dan keindahan alam serta mengagungkan kebesaran
Tuhan Yang Maha Esa
2) Memupuk sikap ilmiah yang jujur, obyektif, terbuka, ulet, kritis, dan
dapat bekerja sama dengan orang lain
3) Memperoleh pengalaman dalam menerapkan metode ilmiah melalui
percobaan atau eksperimen
4) Meningkatkan kesadaran tentang terapan kimia yang dapat
bermanfaat juga merugikan bagi individu, masyarakat dan
lingkungan.
5) Memahami konsep, prinsip, hukum, dan teori kimia serta
keterkaitannya dan penerapannya untuk menyelesaikan masalah
dalam kehidupan sehari-hari dan teknologi.
c. Ruang Lingkup Pembelajaran Kimia SMA/MA
Pembelajaran kimia di SMA/MA menekankan pada fenomena
alam dan pengukurannya dengan perluasan pada konsep abstrak.

2. Teori Belajar
Teori pembelajaran dan praktik pendidikan berjalan saling melengkapi.
Ketika digunakan dengan benar, teori belajar akan memberikan sebuah
kerangka yang dapat digunakan untuk membuat keputusan-keputusan
pendidikan (Schunk, 2012: 30). Para profesional pendidikan perlu
mengintegrasikan teori, penelitian, dan praktiknya. Berikut beberapa teori
belajar yang dikemukakan para ahli yang digunakan sebagai acuan dalam
penelitian ini.

a. Teori Belajar Kognitif


1) Teori Belajar Kognitif Gestalt
12

Fokus dari teori ini adalah belajar dan pemikiran. Max


Wertheimer, pendiri psikologi Gestalt bersama Kurt Koffka dan
Wolfgang Wohler mengembangkan hukum persepsi dan
mengaplikasikan konsep ini ke belajar dan pemikiran. Psikologi Gestalt
memberikan kontribusi beberapa konsep untuk memahami pemecahan
masalah (problem solving). Wertheimer memberikan konsep
pemahaman (wawasan) yang melibatkan reorganisasi persepsi untuk
menemukan solusi dari suatu masalah. Konsep lain yang terdapt dalam
Psikologi Gestalt adalah adanya perbedaan antara belajar tanpa makna
(arbiter) dan belajar bermakna, dan faktor- faktor lain yang
mempengaruhi pemecahan masalah (Gredler, 2011:72).
Teori Gestalt menyatakan bahwa dalam hal belajar yang utama
adalah adanya penyesuaian untuk memperoleh respon yang tepat untuk
memecahkan masalah yang dihadapi. Artinya, belajar yang penting
bukan mengulangi hal-hal yang harus dipelajari (Slameto, 2003: 9).

2) Teori Belajar Bermakna Ausuble


Inti dari teori Ausuble tentang belajar adalah belajar bermakna.
Belajar merupakan asimilasi yang bermakna bagi siswa. Menurut
Ausuble, belajar dapat diklasifikasikan kedalam dua dimensi (Dahar,
2012: 110-112). Dimensi pertama berhubungan dengan cara informasi
yang dapat dikomunikasikan pada siswa baik dalam bentuk belajar
penemuan sendiri atau seluruh materi diajarkan langsung. Dimensi
kedua menyangkut bagaimana siswa mengaitkan informasi itu pada
pengetahuaan berupa konsep-konsep atau pengetahuan lainnya yang
telah dimilikinya.
Dalam belajar bermakna, terdapat tiga kelebihan yaitu. Pertama,
informasi yang diperoleh akan lebih lama diingat. Kedua, informasi
yang tersubmisi mengakibatkan peningkatan pemahaman konsep,
sehingga memudahkan proses belajar mengajar berikutnya untuk materi
pelajaran yang mirip, dan. Ketiga, informasi yang dilupakan dapat
segera dipanggil karena adanya “residual” pada otak manusia. Dengan
13

demikian, belajar bermakna merupakan suatu proses dikaitkannya


informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat pada struktur
kognitif seseorang (Aunurrahman, 2010).

3) Teori Belajar Gagne


Elemen penting dalam analisis Gagne adalah kaitan belajar dengan
perkembangan dan kompleksitas belajar pada manusia. Hasil dari proses
belajar merupakan suatu kapabilitas. Gagne mengidentifikasi
kapabilitas belajar sebagai kemampuan dalam mengontrol manajemen
belajar, peringatan, dan pemikiran sebagai strategi kognitif (Gredler,
2011: 180). Dalam pandangan Gagne (Aunurrahman, 2010: 56) cara
berfikir seseorang tergantung pada; (a) keterampilan apa yang telah
dimilikinya, dan (b) keterampilan serta hierarki apa yang diperlukan
untuk mempelajari suatu tugas.
Terdapat tiga tahapan umum belajar yang diungkapkan dalam
teori belajar menurut Gagne yaitu (Gredler, 2011: 185-187):
a) Tahap persiapan belajar. Pada tahap ini peserta didik
mempersiapkan diri untuk belajar dengan memperhatikan stimulus
yang diberikan, membangun harapan kearah tujuan belajar, dan
menyadari kapabilitas yang diperlukan.
b) Tahap akuisisi dan kinerja. Peserta didik akan menafsirkan stimulus
dan menyimpan informasi penting secara temporer dalam ingatan
jangka panjang. Selajutnya memberikan respon dari stimulus dan
akhirnya diperoleh daya penguat dalam menonfirmasi harapan
belajar.
c) Tahap transfer belajar. Tahapan terakhir dari belajar adalah adanya
kesempatan untuk mengaplikasikan aktivitas belajar ini ke dalam
situasi baru dan mengonstruksi petunjuk tambahan untuk diingat
kembali kelak.
b. Teori Belajar Konstruktivisme
Teori belajar kostruktivis menyatakan bahwa belajar adalah proses
mengonstruksi (membangun) pengetahuan melalui interaksi dengan objek,
14

fenomena, pengetahuan dan lingkungan, sehingga diperlukan keaktifan dari


individu siswa. Siswa harus menemukan sendiri dan mentransformasi
informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan aturan
sebelumnya dan melakukan revisi apabila aturan tersebut sudah tidak sesuai
(Schunk, 2012: 324). Pengetahuan tidak ditransfer begitu saja melainkan
dibentuk dan dibangun sendiri oleh individu. Pengetahuan bukan
merupakan sesuatu yang sudah jadi, melainkan suatu proses yang
berkembang terus-menerus (Dahar, 2002: 152). Berikut adalah beberapa
teori konstruktivisme:

1) Teori sosiokultural Vygotsky


Teori Vygotsky menitikberatkan interaksi dari faktor-faktor
interpersonal (sosial), kultural-historis, dan individu sebagai kunci
perkembangan manusia. Vygotsky dalam Isjoni (2010: 55) menyatakan
pembelajaran merupakan suatu perkembangan pengertian. Terdapat
dua jenis perkembangan pengertian, yaitu pengertian spontan yang
didapat dari pengalaman anak sehari-hari dan pengertian ilmiah yang
didapat dari ruang kelas atau hasil pembelajaran di sekolah. Cara siswa
berinteraksi dengan orang-orang, objek, dan institusi-institusi
didalamnya mengubah cara berfikir mereka (Schunk, 2012: 339).

2) Teori Perkembangan Jean Piaget


Tiga tipe perkembangan menurut Piaget adalah. Pertama, belajar
adalah proses internal yang terjadi dalam pikiran individu. Kedua,
proses belajar yang essensial adalah ketika pikiran manusia ditentang
oleh pemikiran orang lain. Ketiga, peran guru adalah membuat model
cara siswa memikirkan gagasan, menciptakan situasi yang menantang
cara berfikir siswa, dan membantu siswa mengkaji pemikiran mereka
(Gredler, 2011:25). Menurut Irham dan Wiyani (2013:170) juga Dahar
(2002:136-137) Piaget memandang pengalaman sebagai faktor yang
sangat penting dan mendasari proses berfikir anak. Daya pikir atau
15

kekuatan mental anak yang berbeda usia akan berbeda pula secara
kualitatif

3. Prestasi Belajar
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, prestasi belajar merupakan
penguasaan pengetahuan atau keterampilan yang dikembangkan melalui
pelajaran, dan pada umumnya diinterpretasi melalui angka dari penilaian guru
(Pusat Bahasa Depdiknas, 2008). Dengan kata lain, prestasi belajar
mengindikasikan sejauh mana keberhasilan guru memberikan materi dan sejauh
mana siswa menyerap materi yang telah disajikan. Fungsi utama prestasi belajar
yang diungkapkan Arifin (1990: 3-4) diantaranya sebagai:
a. Indikator kualitas dan kuantitas pengetahuan yang telah dikuasai peserta
didik.
b. Indikator internal dan eksternal dari suatu institusi pendidikan
c. Indikator daya serap (kecerdasan) peserta didik.

Menurut Hamdani (2011: 139-146), terdapat 2 faktor yang


mempengaruhi prestasi belajar yaitu; (a) faktor internal yang berasal dari dalam
diri siswa seperti kecerdasan (intelegensi), jasmani, sikap, minat, bakat, dan
motivasi, dan (b) faktor eksternal yang berasal dari luar diri siswa seperti
lingkungan sosial dan nonsosial. Keberhasilan belajar yang dimaksudkan
adalah keberhasilan dalam ranah cipta (kognitif), rasa (afektif), dan karsa
(psikomotor) siswa. Jadi, berhasil tidaknya suatu proses belajar mengajar tidak
hanya dilihat dari nilai ulangan harian siswa, melainkan juga harus melihat
ranah yang lain. Karena nilai ulangan siswa dapat diperoleh melalui cara-cara
yang bisa saja tidak mencerminkan keberhasilan ranah afektif seperti
menyontek (Syah, M. 2011: 152).
Untuk mengetahui ketercapaian pemebelajaran, perlu diadakan adanya
penilaian hasil belajar. Dalam Permendikbud Nomor 104 tahun 2014, penilaian
hasil belajar oleh pendidik adalah proses pengumpulan informasi/bukti tentang
capaian pembelajaran peserta didik dalam kompetensi sikap spiritual dan sikap
sosial, kompetensi pengetahuan, dan kompetensi keterampilan yang dilakukan
16

secara terencana dan sistematis, selama dan setelah proses pembelajaran.


Dengan demikian, kurikulum 2013 mengisyaratkan penilaian hasil mencakup
kompetensi sikap (spiritual dan social), pengetahuan, dan keterampilan.

a. Sikap
Aspek sikap (afektif) merupakan keyakinan individu dan
penghayatan orang tersebut mengenai suatu obyek (Suparno, 2001: 9).
Menurut Kemendikbud (2013) sikap bermula dari perasan yang terkait
dengan kecenderungan seseorang dalam merespon suatu/obyek.
Kompetensi sikap yang dimaksud adalah ekspresi nilai-nilai atau pandangan
hidup yang dimiliki seseorang dan diwujudkan dalam perilaku.
Sasaran penilaian aspek sikap sosial dan spiritual menurut
Permendikbud Nomor 104 Tahun 2014 disajikan dalam Tabel 2.1

Tabel 2.1 Penilaian Hasil Belajar Ranah Sikap Spiritual dan Sosial
Tingkatan Sikap Deskripsi
Menerima nilai Kesediaan menerima suatu nilai dan
memberikan perhatian terhadap nilai tersebut
Menanggapi nilai Kesediaan menjawab suatu nilai dan ada rasa
puas dalam membicarakan nilai tersebut
Menghargai nilai Menganggap nilai tersebut baik; menyukai nilai
tersebut; dan komitmen terhadap nilai tersebut
Menghayati nilai Memasukkan nilai tersebut sebagai bagian dari
sistem nilai dirinya
Mengamalkan nilai Mengembangkan nilai tersebut sebagai ciri
dirinya dalam berpikir, berkata, berkomunikasi,
dan bertindak (karakter)

Nilai ketuntasan kompetensi sikap dinotasikan dalam kategori


Sangat Baik (SB), Baik (B), Cukup (C), dan Kurang. Ketuntasan belajar
untuk sikap (KD pada KI-1 dan KI-2) ditetapkan dengan predikat Baik (B).

b. Pengetahuan
Ranah pengetahuan (kognitif) seperti diungkapkan Bloom dalam
Aunurrahman (2010) merupakan segala kegiatan yang mencakup kegiatan
otak. Didalam ranah kognitif terdapat 6 jenjang berifikir, sebagai berikut:
17

1) Pengetahuan, mencakup kemampuan ingatan tentang hal-hal yang telah


dipelajari dan tersimpan dalam ingatan. Pengetahuan tersebut dapat
berkenaan dengan fakta-fakta, peristiwa, pengertian, kaidah, teori
prinsip, atau metode.
2) Pemahaman, mencakup kemampuan menangkap sari dari makna hal-hal
yang dipelajari
3) Penerapan, mencakup kemampuan menerapkan metode, kaidah untuk
menghadapi masalah yang nyata dan baru. Perilaku ini misalnya tampak
dalam kemampuan menggunakan prinsip.
4) Analisis, mencakup kemampuan merinci suatu kedalam bagian-bagian
sehingga struktur keseluruhan dapat dipahami dengan baik.
5) Sintesis, mencakup kemampuan membentuk suatu pola baru, misalnya
tampak dalam kemampuan menyusun suatu program kerja.
6) Evaluasi, mencakup kemampuan membentuk pendapat tentang
beberapa berdasarkan kriteria tertentu. Sebagai contoh kemampuan
menilai hasil karangan.

Tabel 2.2 Penilaian Hasil Belajar Dimensi Kognitif (Permendikbud Nomor


104, 2014)
Dimensi Pengetahuan Deskripsi
Faktual Pengetahuan tentang istilah, nama orang, nama
benda, angka, tahun, dan hal-hal yang terkait
secara khusus dengan suatu mata pelajaran.
Konseptual Pengetahuan tentang kategori, klasifikasi,
keterkaitan antara satu kategori dengan lainnya,
hukum kausalita, definisi, teori.
Prosedural Pengetahuan tentang prosedur dan proses khusus
dari suatu mata pelajaran seperti algoritma,
teknik, metoda, dan kriteria untuk menentukan
ketepatan penggunaan suatu prosedur.
Metakognitif Pengetahuan tentang cara mempelajari
pengetahuan, menentukan pengetahuan yang
penting dan tidak penting (strategic knowledge),
pengetahuan yang sesuai dengan konteks
tertentu, dan pengetahuan diri (self-knowledge).
Sasaran penilaian hasil belajar oleh pendidik pada dimensi
pengetahuan disajikan dalam Tabel 2.2
18

c. Keterampilan
Menurut Suparno (2001: 9-11) ranah keterampilan (psikomotorik)
menekankan pada keterampilan motorik yaitu bekerja dengan benda-benda
atau aktivitas yang memerlukan kondisi saraf dan otot. Penilaian pada aspek
keterampilan harus mencakup persiapan, proses, dan produk. Dalam
Permendikbud Nomor 104 Tahun 2014, dimensi keterampilan terbagi
menjadi 2 yaitu dimensi abstrak dan konkret. Sasaran penilaian antara
dimensi abstrak dan konkret tersaji dalam tabel dibawah ini.

Tabel 2.3 Penilaian Hasil Belajar Pada Keterampilan Abstrak


Kemampuan
Deskripsi
Belajar
Perhatian pada waktu mengamati suatu
objek/membaca suatu tulisan/mendengar suatu
Mengamati
penjelasan, catatan yang dibuat tentang yang diamati,
kesabaran, waktu (on task) yang digunakan untuk
mengamati
Jenis, kualitas, dan jumlah pertanyaan yang diajukan
Menanya
peserta didik (pertanyaan faktual, konseptual,
prosedural, dan hipotetik)
Jumlah dan kualitas sumber yang
Mengumpulkan dikaji/digunakan, kelengkapan informasi, validitas
Informasi informasi yang dikumpulkan, dan instrumen/alat yang
digunakan untuk mengumpulkan data.
Mengembangkan interpretasi, argumentasi dan
kesimpulan mengenai keterkaitan informasi dari dua
fakta/konsep, interpretasi argumentasi dan kesimpulan
mengenai keterkaitan lebih dari dua
fakta/konsep/teori, mensintesis dan argumentasi serta
kesimpulan keterkaitan antarberbagai jenis
Menalar/ fakta/konsep/teori/pendapat; mengembangkan
mengasosiasi interpretasi, struktur baru, argumentasi, dan
kesimpulan yang menunjukkan hubungan
fakta/konsep/teori dari dua sumber atau lebih yang
tidak bertentangan; mengembangkan
interpretasi, struktur baru, argumentasi dan
kesimpulan dari konsep/teori/pendapat yang berbeda
dari berbagai jenis sumber.
Menyajikan hasil kajian (dari mengamati sampai
Mengomunikasi
menalar) dalam bentuk tulisan, grafis, media
kan
elektronik, multi media dan lain-lain.
19

Sedangkan sasaran pada dimensi keterampilan konkret sebagai berikut,

Tabel 2.4 Penilaian Hasil Belajar Pada Keterampilan Konkret


Keterampilan
Deskripsi
Konkret
Persepsi
Menunjukan perhatian untuk melakukan suatu
(perception)
gerakan
Kesiapan (set) Menunjukan kesiapan mental dan fisik untuk
melakukan suatu gerakan
Meniru (guided
Meniru gerakan secara terbimbing
response)
Membiasakan
gerakan Melakukan gerakan mekanistik
(mechanism)
Mahir (complex or
Melakukan gerakan kompleks dan termodifikasi
overt response)
Menjadi gerakan alami yang diciptakan sendiri
Menjadi gerakan
atas dasar gerakan yang sudah dikuasai
alami (adaptation)
sebelumnya
Menjadi tindakan Menjadi gerakan baru yang orisinal dan sukar
orisinal (origination) ditiru oleh orang lain dan menjadi ciri khasnya

Nilai ketuntasan kompetensi pengetahuan dan keterampilan


dituangkan dalam bentuk angka dan huruf, yaitu 4,00-1,00 untuk angka
yang ekuivalen dengan huruf A sampai D.

4. Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif merujuk pada berbagai macam metode
pengajaran dimana siswa bekerja dalam kelompok-kelompok kecil yang
heterogen untuk saling membantu sama lainnya dalam mencapai pemahaman
bersama. Pembelajaran kooperatif ini merupakan salah satu bentuk
pembelajaran yang berdasarkan paham konstruktivis (Hamdani, 2011: 30).
Dalam pembelajaran kooperatif, siswa-siswa dalam kelompok diharapkan dapat
saling membantu, berdiskusi, dan berargumentasi untuk mengembangkan
pengetahuan yang telah dikuasai dan saling mentransfer pemahaman masing-
masing (Slavin, 2005: 4).
20

Kelebihan dari pembelajaran kooperatif adalah dapat meningkatkan


prestasi belajar siswa, dan meningkatkan interaksi antar siswa untuk saling
membantu dalam memberikan pemahaman khususnya bagi siswa yang
memiliki pemahaman lemah dalam bidang akademik. Menurut Lie (2010: 31)
untuk mencapai hasil yang maksimal dalam pembelajaran setidaknya terdapat
lima unsur yang harus diterapkan, yaitu:
a. Saling ketergantungan positif
Dalam pembelajaran kooperatif, guru memiliki peran penting untuk
membangun suasana saling membutuhkan antar siswa. Hubungan saling
membutuhkan inilah yang disebut sebagai ketergantungan positif.
b. Tanggung jawab perseorang
Pembelarajan kooperatif akan membentuk tanggung jawab siswa
memberikan kemampuan terbaiknya untuk kelompoknya karena prinsip
penilaian yang diberikan untuk individu dan kelompok. Dalam kelompok
heterogen, siswa dengan kemampuan tinggi dan rendah memiliki
kesempatan yang sama untuk mendapatkan poin tambahan. Disinilah
kontribusi masing-masing individu diperlukan untuk keberhasilan
kelompok.
c. Interaksi tatap muka
Kegiatan interaksi dalam kelompok sangat diperlukan untuk membentuk
umpan balik yang menguntungkan antar sesama anggota. Kegiatan interaksi
tatap muka akan memaksa siswa saling tatap muka dalam kegiatan
kelompok sehingga terjadi suatu dialog atau diskusi.
d. Komunikasi antar anggota
Komunikasi bertujuan agar pembelajar memiliki kemampuan untuk
mengutarakan pendapatnya terhadap suatu permasalahan. Dengan
komunikasi antar anggota dapat menjalin hubungan antar pribadi
(interpersonal) yang lebih bermanfaat.
e. Evaluasi Proses kelompok
Guru perlu memberikan waktu khusus bagi tiap kelompok untuk melakukan
evaluasi atas apa yang telah dikerjakan dan hasil dari kerjasama agar
21

selanjutnya dapat meningkatkan kerjasama yang lebih efektif. Waktu


evaluasi ini tidak perlu dilakukan secara rutin, bisa dilakukan setelah
beberapa kali kegiatan pembelajaran kooperatif (Lie, 2010: 35).

5. Model Pembelajaran Problem Solving


Crow & Crow mendefinisikan model pembelajaran problem solving
adalah suatu cara menyajikan pelajaran dengan mendorong siswa untuk
mencari dan memecahkan suatu masalah atau persoalan dalam rangka mencapai
tujuan pembelajaran (Hamdani, 2011: 84). Model ini pertama kali diciptakan
oleh seorang berkebangsaan Amerika yang bernama John Dewey. Orientasi
pembelajarannya adalah investigasi dan penemuan yang pada dasarnya adalah
pemecahan masalah. Masalah yang dihadapkan kepada siswa harus
mengandung kesulitan baik bersifat psikis ataupun fisis. Artinya, dalam
pemecahannya masalah itu akan melibatkan otak dan otot (Sriyono dkk, 1992).
Problem solving bukan hanya sekedar sebagai sebuah model mengajar,
namun juga berfikir. Hal ini dikarenakan dalam problem solving dapat
digunakan model-model lain yang dimulai dari mencari data sampai pada
menarik sebuah kesimpulan (Majid, 2013: 212-213). Bransford & Stein (Kim,
2011: 404) juga Johnson & Johnson (Gulo, 2002) mengembangkan lima
tahapan dari proses pemecahan masalah yaitu:

a. Mengidentifikasi masalah dan peluangnya, penting bagi peserta didik untuk


mengetahui dengan jelas apa arti dari masalahnya. Tahap ini melibatkan
kegiatan mengumpulkan informasi yang relevan dengan masalah itu dan
penyelesaiannya.
b. Mendefinisikan tujuan. Dalam hal ini, siswa akan melakukan kegiatan untuk
mendiagnosa sebab-sebab timbulnya masalah, faktor-faktor yang bisa
menghambat maupun faktor yang mendukung dalam penyelesaian masalah.
Kegiatan ini dapat dilakukan dalam diskusi kelompok untuk memahami
struktur logis kalimat-kalimat dalam soal.
c. Merumuskan alternatif strategi, yaitu menguji setiap tindakan yang telah
dirumuskan tentang cara menyelesaikan masalah. Siswa akan dibekali
22

kemampuan berargumentasi, berfikir kreatif, memahami pertentangan


berbagai ide, dan daya temu yang tinggi.
d. Mengantisipasi hasil dan tindakan eksekusi. Kegiatan yang termasuk adalah
pemilihan alternatif penyelesaian dengan mengantisipasi kemungkinan
yang akan terjadi dengan strategi yang dipilih.
e. Mengevalusi keberhasilan strategi. Kelompok melakukan evaluasi terhadap
strategi yang diambil (evaluasi proses) dan bagaimana akibatnya (evaluasi
hasil).

Aktivitas siswa dalam kegiatan problem solving pada pendidikan sains


seperti diungkapkan Kim & Hannafin (2011: 405) dapat diilustrasikan melalui
gambar 2.1 berikut.

Gambar 2.1 Bagan Inkuiri Problem Solving


(Sumber: Kim & Hannafin, 2011: 405)

Hamdani (2011: 84) menyebutkan kelebihan dari model problem


solving adalah sebagai berikut:
a. Melatih siswa mendesain suatu penemuan.
23

b. Berfikir dan bertindak kreatif.


c. Memecahkan masalah yag dihadapi secara realistis.
d. Mengidentifikasi dan melakukan penyelidikan.
e. Menafsirkan dan mengelvaluasi hasil pengamatan.
f. Merangsang perkembangan kemajuan berfikir siswa untuk menyelesaikan
masalah yang dihadapi dengan tepat.
g. Dapat membuat pendidikan sekolah lebih relevan dengan kehidupan
khususnya dunia kerja.

Sedangkan kelemahan yang dimiliki model problem solving, antara lain:


a. Sulitnya menentukan tingkat kesulitan masalah yang sesuai dengan tingkat
berfikir siswa, tingkat sekolah dan kelasnya, serta pengetahuan dan
pengalaman yang telah dimiliki siswa.
b. Proses pembelajaran dengan model ini akan memerlukan waktu yang cukup
banyak dan sering mengambil jam pelajaran lainnya.
c. Mengubah kebiasaan belajar siswa, dari mendengarkan dan menerima
informasi menjadi belajar dengan banyak berfikir memecahkan masalah
sendiri atau kelompok, sehingga diperlukan berbagai sumber belajar dan
dirasakan sulit bagi siswa.

6. Model Pembelajaran Tutor Sebaya (peer tutoring)


Stenhoff mengungkapkan bahwa tutoring mengacu pada sebuah situasi
dimana satu atau lebih orang berperan sebagai pelaku pengajaran untuk orang
lain (Schunk, 2012: 221). Tutor berperan sebagai model pengajaran bagi
individu-individu yang dibantunya dengan cara menjelaskan dan
mendemonstrasikan ketrampilan-ketrampilan, cara-cara pengerjaan, dan
strategi-strategi yang harus dipelajari oleh mereka. Pembelajaran dengan
bantuan teman sebaya mengacu pada kegiatan pengajaran dimana teman sebaya
berperan sebagai pelaku aktif dalam proses pembelajaran (Roscoe & Chi, 2007:
536).
Model pembelajaran peer tutoring adalah model pembelajaran dimana
guru menunjuk beberapa siswa yang memenuhi persyaratan tertentu untuk
24

membantu temannya dalam memahami materi belajar. Dalam model tutor


teman sebaya terdapat istilah tutor dan tutee, dimana tutor adalah seorang yang
bertugas membantu tutee karena dianggap memiliki penguasaan materi yang
lebih, sedangkan tutee adalah seorng yang belum cukup memahami materi dan
membutuhkan bantuan tutor. Istilah-istilah lain dari tutor teman sebaya, antara
lain peer tutoring, peer teaching, partner learning, peer education, child-teach-
child, dan mutual instruction (Gordon, 2005: 1).
Pembelajaran dengan model peer tutoring dapat meningkatkan prestasi
belajar karena faktor teman-teman sebaya yang menonjolkan kemampuan
akademis dapat memotivasi orang di lingkungannya. Tutoring oleh teman
sebaya juga mendorong kerjasama antar siswa dan membantu tumbuhnya
keragaman struktur kelas. Seorang guru dapat membagi kelasnya dalam
kelompok-kelompok kecil yang masing-masing ditangani oleh seorang tutor,
sehingga guru dapat membagi fokusnya pada seluruh kelompok tutoring. Dalam
menentukan seorang tutor guru perlu memastikan bahwa mereka memiliki
keterampilan-keterampilan akademik dan ketrampilan tutoring yang diperlukan
(Schunk, 2012: 377-378). Menurut Gordon (2005: 7), seorang tutor atau tutee
ditentukan berdasarkan kriteria berikut:
a. Kemampuan akademis. Siswa yang dipilih sebagau tutor ialh siswa yang
memiliki kemampuan akademis di atas rata-rata. Pemilihan ini dapat
mengacu dari nilai test yang pernah diperoleh sebelumnya dari materi lain
atau diperoleh berdasarkan nilai pretest yang diberikan pada materi terkait.
b. Kemampuan sosial. Kemampuan berinteraksi dengan siswa lain penting
dimiliki seorang tutor. Artinya, tutor harus mampu menyampaikan konsep-
konsep materi, mengorganisasikan kelompoknya, dan mampu bekerja sama.

Model pembelajaran dengan peer tutoring memiliki beberapa kelebihan


dan kelemahan, diantara kelebihannya adalah (Gordon, 2005: 4):
a. Melatih kerjasama siswa saat pembelajaran,
b. Tercapainya pemahaman siswa yang lebih mendalam,
25

c. Meningkatnya sikap-sikap positif seperti tanggung jawab, keaktifan,


toleransi, dan tenggang rasa,
d. Improvisasi kegiatan pembelajaran.

Sedangkan kelemahan dari model pembelajaran dengan peer tutoring adalah:


a. Terlalu banyak waktu untuk pelatihan tutor
b. Ketidaksabaran seorang tutor
c. Pemilihan tutor akan berdampak pada kepercayaan diri siswa
d. Adanya meteri pelajaran yang tidak sesuai dengan konsep tutor teman
sebaya
e. Tidak banyak siswa yang mampu menjalankan tugas sebagai seorang tutor.

7. Model Pembelajaran Team Assisted Individualization (TAI)


Model pembelajaran TAI merupakan model yang dikembangkan oleh
Slavin. Model pembelajaran ini menggabungkan antara keuntungan
pembelajaran dalam kerja kelompok dan pembelajaran mandiri (individual).
Menurut Slavin (2011: 189-190), model TAI adalah suatu model pembelajaran
dimana dalam satu kelompok terdapat seorang siswa yang dianggap lebih
mampu berperan sebagai asisten untuk membantu anggota kelompoknya yang
kurang mampu. Dengan kata lain, TAI dirancang untuk mengatasi kesulitan
belajar siswa secara individu dengan bantuan seorang asisten (Tilaar, 2014: 26).
Kegiatan pembelajaran dengan model TAI memunculkan adanya
ketergantungan yang positif antar siswa untuk saling membantu dalam
memahami materi pelajaran. Adanya ketergantungan positif antar siswa ini
dapat meningkatkan motivasi belajar dalam kelompok, sehingga penguasaan
materi baik secara individu maupun kelompok semakin meningkat (Sari, 2014:
52).
Kegiatan-kegiatan yang terjadi pada model TAI ini adalah setiap siswa
secara individual belajar materi pembelajaran yang sudah dipersiapkan oleh
guru. Siswa tetap dikelompokkan, tetapi setiap siswa belajar sesuai dengan
kecepatan dan kemampuan masing-masing. Hasil belajar individual dibawa ke
kelompok-kelompok untuk didiskusikan dan saling dibahas oleh anggota
26

kelompok dan semua kelompok bertanggung jawab atas keseluruhan jawaban


sebagai tanggung jawab bersama. Setiap anggota kelompok saling membantu
dan saling mengecek sehingga siswa merasa benar-benar ikut ambil bagian dan
berperan aktif dalam proses pembelajaran (Ramlan, M. 2013: 113). Pemilihan
asisten dapat dilakukan berdasarkan perolehan skor pada ulangan sebelumnya,
dimana sejumlah siswa dengan nilai teratas akan didistribusikan pada setiap
kelompok.
Slavin (2011) mengembangkan model pembelajaran TAI dengan
delapan tahapan pelaksanaan, yaitu:
a. Placement Test. Pada langkah ini guru memberikan tes awal (pre-test)
kepada siswa. Cara ini bisa digantikan dengan mencermati rata-rata nilai
harian atau nilai pada bab sebelumnya yang diperoleh siswa sehingga guru
dapat mengetahui kelemahan siswa pada bidang tertentu.
b. Teams. Hal ini merupakan langkah yang cukup penting dalam penerapan
model pembelajaran kooperatif TAI. Pada tahap ini guru membentuk
kelompok-kelompok yang bersifat heterogen yang terdiri dari 4 - 5 siswa.
c. Teaching Group. Guru memberikan materi secara singkat menjelang
pemberian tugas kelompok.
d. Student Creative. Pada langkah ini, guru perlu menekankan dan
menciptakan persepsi bahwa keberhasilan setiap siswa (individu)
ditentukan oleh keberhasilan kelompoknya.
e. Team Study. Pada tahapan ini siswa belajar bersama dengan mengerjakan
tugas-tugas dari LKS yang diberikan dalam kelompoknya. Pada tahapan ini
guru juga memberikan bantuan secara individual kepada siswa yang
membutuhkan, dengan dibantu siswa-siswa yang memiliki kemampuan
akademis bagus di dalam kelompok tersebut yang berperan sebagai asisten.
f. Fact Test. Guru memberikan tes-tes kecil berdasarkan fakta yang diperoleh
siswa, seperti kuis atau post test.
g. Team Score and Team Recognition. Selanjutnya guru memberikan skor
pada hasil kerja kelompok dan memberikan penghargaan terhadap
kelompok yang memiliki skor terbaik
27

h. Whole Class Unite. Langkah terakhir, guru bersama seluruh siswa


menyajikan kesimpulan dari materi pembelajaran yang telah dilakukan hari
ini.

Penggunaan model pembelajaran TAI tentunya memiliki kelebihan dan


kekurangan. Berikut merupakan kelebihan-kelebihan yang diperoleh dari model
TAI:
a. Kegiatan belajar dalam kelompok dengan dibantu asisten dapat
menumbuhkan rasa tanggung jawab atas keberhasilan prestasi belajar
individual dan kelompok
b. Mempermudah pekerjaan guru dalam mengajar, karena adanya asisten yang
bertugas membantu penguasaan materi rekan-rekannya
c. Peran aktif peserta didik dalam melakukan penialaian, menumbuhkan
pemikiran yang kritis, dan meningkatkan kemampuan pemecahan masalah
d. Adanya penghargaan atas usaha yang dilakukan individu maupun kelompok

Sedangkan kekurangan yang dari penggunaan model pembelajatan TAI antara


lain:
a. Tidak semua materi pelajaran cocok diajarkan dengan model ini
b. Pusat keaktifan siswa cenderung dominan pada asisten.

8. Model Pembelajaran Drill and Practice


Model pembelajaran drill and practice merupakan suatu kegiatan
dengan jalan melatih siswa terhadap bahan pelajaran yang sudah diberikan.
Melalui kegiatan drills siswa akan diberikan latihan berulang kali untuk
membentuk suatu kebiasaan (Abduhan, 2015: 73). Selain untuk membentuk
kebiasaan, model ini juga melatih kecepatan dan ketepatan dalam melakukan
suatu hal. Sedangkan practice lebih menekankan pada kenyataan di lapangan
dan memberikan pengalaman (Candra, 2014: 143)
Setelah siswa selesai mempelajari suatu materi, kegiatan latihan yang
beruang-ulang dapat membentuk keterampilan tertentu dalam menyelesaikan
berbagai persoalan. Dengan keterampilan baru yang dimiliki, siswa akan
28

dengan mudah melihat kondisi dari masalah yang dihadapkan dan mampu
memilih respon yang tepat. Dengan demikian, kegitan pembelajaran yang
dilakukan berulang akan menjadi kebiasaan dan dapat meningkatkan prestasi
belajar sebab adanya peningkatan keterampilan penyelesaian soal. Dalam
jurnalnya, McDonough (2001: 76-77) menyatakan bahwa model drill and
practice cocok diterapkan pada pembelajaran yang mengandung hitungan,
bahasa asing, dan aktivitas fisik.
Seperti disebutkan Riadi (2013) penggunaan model drill and practice
memiliki kelebihan antara lain:
a. Dalam waktu yang relatif singkat, dapat diperoleh penguasaan dan
ketrampilan yang diharapkan.
b. Akan tertanam pada setiap pribadi anak kebiasaan belajar secara rutin dan
disiplin.

Sedangkan kekurangan model drill and practice, antara lain:


a. Bisa menghambat perkembangan daya inisiatif murid.
b. Kurang memperhatikan relevansinya dengan lingkungan.
c. Membentuk kebiasaan-kebiasaan yang otomatis dan kaku.

9. Kemampuan Metakognisi
Istilah metakognisi pertama kali dikenalkan oleh seorang akademisi
John Flavell pada 1970an. Flavell mendefinisikan metakognisi sebagai
pengetahuan mengenai proses kognitif atau segala hal yang berhubungan
dengan ranah kognitif yang dimiliki (Rickey, 2000: 915). Secara umum
metakognisi dapat dikatakan sebagai berfikir tentang pemikiran. Beberapa
perspektif menekankan pengetahuan individual tentang kognisi dan pengaturan
kognisi (Gredler, 2011: 275). Lebih jaul Flavell (1985) mengungkapkan
kemampuan metakognisi diyakini berperan penting dalam berbagai jenis
aktivitas kognitif, termasuk mengomunikasikan informasi secara oral, persuasi
oral, pemahaman bacaan, kemahiran berbahasa, memori, pemecahan soal,
29

kognisi sosial, dan berbagai jenis pengajaran diri dan kontrol diri (Schunk,
2012: 400).
Pada proses pembelajaran sering dijumpai kekeliruan konsep pada
informasi yang diperoleh siswa. Artinya, informasi yang diperoleh siswa tidak
selaras dengan informasi yang dimaksudkan guru. Berkenaan dengan hal
tersebut, metakognisi dapat memantau tahap berfikir siswa agar dapat
merefleksi cara berfikir dan hasil berfikirnya. Metakognisi mempunyai peran
penting dalam proses pembelajaran matematika khususnya pemecahan
masalah. Siswa akan menyadari proses berfikirnya dan mengevaluasinya,
sehingga hal tersebut dapat mengurangi kesalahan siswa dalam memecahkan
masalah (Mahromah, 2013: 1-2).
Metakognisi terdiri dari dua rangkaian kemampuan yang berhubungan.
Dalam bukunya, Schunk (2012) menyebutkan pertama, siswa harus paham
kemampuan, strategi dan sumber apa yang dibutuhkan untuk menyelesaikan
sebuah tugas. Kedua, siswa harus tahu bagaimana dan kapan menggunakan
kemampuan–kemampuan dan strategi tersebut untuk memastikan agar tugas
bisa diselesaikan dengan baik. Winne dan Hadwin mengungkapkan dalam
Gredler (2011: 276-277) juga Namira, dkk (2014: 1272-1274) sebuah model
aktivitas metakognitif dalam belajar terdiri dari 3 tahap utama yaitu
mendefinisikan tugas, menentukan tujuan dan perencanaan, serta tahap
monitoring dan refleksi belajar.
Setiap disiplin ilmu memiliki cara dan karakteristik masing-masing
dalam hal penalaran. Sebagian besar pengajaran untuk menumbuhkan
kemampuan metakognisi adalah dengan mengajarkan berfikir kritis, dimana
dimulai dengan membangun pemikiran umum untuk berlanjut ke domain yang
lebih spesifik. Sebagai contoh dalam pembelajaran kimia, perlu adanya
membuat hubungan antara pengamatan makroskopis dengan penjelasan pada
level molekular. Hal ini untuk membangun pemahaman yang baik dalam
mempelajari kimia. Dengan demikian, mengajarkan keterampilan metakognitif
pada mata pelajaran dapat membantu siswa belajar menggunakan konten
pengetahuan lebih tepat dan fleksibel (Rickey, 2000: 918). Selaras dengan itu,
30

Mujis dan Reynolds (2008: 191) juga mengungkapkan bahwa strategi


metakognitif perlu diungkapkan secara terbuka dan regulasi-diri perlu dijadikan
sebuah proses sadar.

Kemampuan metakognisi dalam pembelajaran kimia erat hubungannya


dengan kemampuan pemecahan masalah siswa. Untuk mengukur aktivitas
metakognisi, Cooper & Urena (2009) mengembangkan sebuah instrument
angket yaitu MCAI (Metacognitive Activities Inventory). Komponen
metakognisi yang diukur adalah regulasi kognisi (pengaturan), yaitu aktivitas
atau tindakan yang dilakukan individu untuk mengontrol pengetahuannya.
Terdapat tiga aktivitas dalam regulasi kognisi yaitu perencanaan, pemantauan,
dan evaluasi.

10. Materi Stoikiometri


Stoikiometri berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari kata “stoicheion”
yang berarti unsur dan “metron” yang berarti mengukur. Stoikiometri
membahas tentang hubungan massa antar unsur dalam suatu senyawa
(stoikiometri senyawa) dan antar zat dalam suatu reaksi (stoikiometri reaksi).
Materi stoikiometri yang akan dipelajari pada penelitian ini dibatasi pada
konsep mol saja yang meliputi rumus kimia suatu senyawa, rumus senyawa
hidrat, dan pereaksi pembatas.

a. Menentukan Rumus Kimia Zat


Rumus kimia zat dapat dibedakan menjadi rumus empiris dan rumus
molekul. Rumus empiris dapat ditentukan dengan menghitung mol
komponen penyusun zat dengan menggunakan massa molar. Sedangkan
rumus molekul dapat ditentukan jika rumus empiris dan massa molekul
relatif (Mr) zat diketahui. Jumlah atom dalam suatu rumus kimia
menyatakan jumlah mol dari unsur terkait, jadi rumus kimia suatu senyawa
merupakan perbandingan mol atom unsur penyusun senyawa tersebut. Dari
perbandingan atom atau perbandingan mol ini dapat ditentukan
perbandingan massa dan % massa dari unsur-unsur yang menyusun
senyawa tersebut.
31

1) Rumus Empiris
Rumus empiris suatu senyawa adalah rumus kimia paling
sederhana yang dimiliki suatu senyawa. Rumus empiris memberikan
informasi mengenai perbandingan jumlah atom relative dari setiap jenis
atom yang terkandung dalam senyawa itu.

Tentukan massa Bagi massa atau


Perbandingan
atau persen unsur- persen unsur
mol terkecil
unsur penyusun dengan Ar
senyawa

2) Rumus Molekul
Rumus empiris tidak menggambarkan jumlah unsur-unsur
yang menyusun suatu senyawa. Rumus kimia yang menyatakan
perbandingan jumlah atom sesungguhnya dari atom-atom yang
menyusun suatu senyawa merupakan rumus molekul. Pada dasarnya
rumus molekul merupakan kelipatan-kelipatan dari rumus empirisnya.

Tentukan Hitung Mr Tentukan


Rumus Empiris Senyawa Kelipatannya (n)

Rumus molekul =
n × Rumus Empiris

b. Kemurnian Senyawa
Rumus kimia menunjukkan jumlah atom-atom penyusun suatu zat.
Oleh karena massa atom unsur sudah tertentu, maka dari rumus kimia
tersebut dapat pula ditentukan komposisi atau masing-masing unsur dalam
suatu senyawa. Langkah-langkah untuk menghitung kadar suatu unsur
dalam senyawa adalah sebagai berikut.
32

Tentukan rumus
kimia senyawa

Hitung kadar unsur, dengan:


jumlah atom × Ar unsur
% Unsur = × 100%
Mr senyawa

Dengan cara yang sama, persamaan diatas dapat digunakan untuk


mencari massa unsur dalam sejumlah massa zat sebagai berikut

jumlah atom ×Ar unsur


Massa unsur = × massa senyawa
Mr senyawa

c. Rumus Senyawa Hidrat


Hidrat adalah zat padat yang mengikat beberapa molekul air sebagai
bagian dari struktur kristalnya. Jika suatu senyawa hidrat dipanaskan, maka
ada sebagian atau seluruh air kristalnya dapat dilepas (menguap). Jika suatu
hidrat dilarutkan dalam air, maka air kristalnya akan lepas.

CuSO4.5H2O(s) CuSO4(aq) + 5 H2O(l)

d. Pereaksi Pembatas
Di dalam suatu reaksi kimia, perbandingan mol zat-zat pereaksi
yang ditambahkan tidak selalu sama dengan perbandingan koefisien
reaksinya. Hal ini menyebabkan ada zat pereaksi yang akan habis bereaksi
lebih dahulu. Pereaksi demikian disebut pereaksi pembatas.

11. Hasil Penelitian yang Relevan


Beberapa penelitian telah dilakukan terkait penggunaan model
pembelajaran problem solving berbantuan peer tutoring atau TAI berkombinasi
drill and practice yang dapat memperkuat hasil penelitian diantaranya:
a. Indah Arifianingsih, Sri Mulyani, dan Suryadi Budi Utomo (2015), dengan
judul “Pengaruh Pembelajaran Problem Solving Berbantuan Tutor Sebaya
dan Team Assisted Individualization (TAI) dengan Memperhatikan
33

Kemampuan Berpikir Kritis terhadap Prestasi Belajar Siswa (Pokok


Bahasan Konsep Mol Kelas X SMA Negeri Colomadu Semester Genap
Tahun Pelajaran 2014/2015)”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa model
TAI memberikan prestasi belajar yang lebih baik dibandingkan model
Problem Solving berbantuan tutor sebaya pada aspek pengetahuan, tetapi
tidak berpengaruh pada aspek sikap dan keterampilan siswa pada pokok
bahasan konsep mol.
b. Rohman Abduhan, Sri Mulyani, Budi Utami (2015) dengan judul
“Pengaruh Model Pembelajaran Problem Solving dan Student Team
Achievement Division (STAD) berkombinasi Drill and Practice dengan
Memperhatikan Kemampuan Matematika Terhadap Prestasi Belajar Siswa
Pada Materi Pokok Konsep mol”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
model STAD berkombinasi Drill and Practice memberikan prestasi belajar
yang lebih baik dibandingkan model Problem Solving pada aspek
pengetahuan, tetapi tidak berpengaruh pada aspek sikap dan keterampilan
siswa pada pokok bahasan konsep mol.
c. Dina Fitriana, Ashadi, dan Agung Nugroho Catur Saputro (2016), dengan
judul “Studi Komparasi Model Pembelajaran Student Team Achievement
Division (STAD) berbantuan Drill and Practice dan Team Assisted
Individualization (TAI) dengan Memperhatikan Kreativitas Terhadap
Prestasi Belajar Siswa Pada Materi Hidrolisis Garam”. Hasil penelitian
menunjukkan terdapat pengaruh model pembelajaran STAD berbantuan
Drill and Practice dan TAI terhadap prestasi belajar aspek pengetahuan,
tetapi tidak terdapat pengaruh terhadap prestasi belajar aspek sikap dan
keterampilan pada materi hidrolisis garam.

B. Kerangka Berfikir

Dalam proses pembelajaran, kualitas belajar siswa merupakan faktor


penting yang mempengaruhi prestasi belajar. Keberhasilan suatu proses
pembelajaran ditentukan oleh faktor internal dan eksternal. Faktor eksternal yang
mempengaruhi salah satunya adalah cara guru untuk merangsang atau
34

menggunakan model maupun media pengajaran yang tepat dan sesuai dengan
materi yang diajarkan. Penggunaan model dan media pengajaran yang tepat antara
lain dengan mempertimbangkan tingkat perkembangan siswa, tujuan pembelajaran,
sarana dan prasarana yang ada, dan karakteristik materi yang diajarkan. Faktor
internal yang berpengaruh adalah kemampuan metakognisi, dimana dalam
mempelajaran materi kimia berbasis konsep dan hitungan kemampuan ini dapat
mempengaruhi prestasi belajar.
Berdasarkan latar belakang dan tujuan penelitian dapat disusun kerangka
berfikir sebagai berikut:
1. Pengaruh Model Pembelajaran TAI Berkombinasi Drill and Practice dan
Problem Solving Berbantuan Peer Tutoring Terhadap Prestasi Belajar
Siswa Pada Pokok Bahasan Stoikiometri.
Sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan
pembelajaran pemilihan model pembelajaran yang sesuai dengan karakter siswa
perlu diperhatikan. Pemilihan model pembelajran bukan sekedar menciptakan
kondisi pembelajaran yang menyenangkan, namun juga adanya keterlibatan
siswa dalam prosesnya.
Model pembelajaran problem solving berbantuan peer tutoring adalah
salah satu kombinasi model yang sesuai diterapkan dalam materi hitungan.
Problem solving merupakan model pembelajaran yang dimulai dengan analisis
masalah hingga pemecahan masalah. Problem solving dapat merangsang
pengembangan kemampuan berfikir kreatif dan menyeluruh, karena siswa
mengidentifikasi berbagai penyelesaian yang mungkin. Dengan bantuan peer
tutoring pemahaman yang dimiliki siswa dapat lebih merata. Selain itu,
penggunaan model lain seperti team assisted individualization (TAI) yang
dikombinasi dengan drill and practice juga dapat membantu siswa dalam
memahami materi stoikiometri. Keunggulan dari penggunaan model ini adalah
dengan adanya kelompok-kelompok kecil disertai latihan yang berulang-ulang
akan dapat menambah kesiapan siswa dan meningkatkan kemampuan respon
yang cepat.
35

Dari pemikiran tersebut, diduga penggunaan model pembelajaran TAI


berkombinasi Drill and Practice dan Problem Solving berbantuan Peer
Tutoring dapat mempengaruhi prestasi belajar yang lebih baik pada materi
stoikiometri.
2. Pengaruh Kemampuan Metakognisi terhadap Prestasi Belajar Siswa pada
Pokok Bahasan Stoikiometri
Pokok bahasan stoikiometri adalah materi kuantitatif dan konseptual.
Kompetensi dasar yang diharapkan dalam materi stokiometri adalah
menerapkan konsep massa atom relative dan massa molekul relative, persamaan
reaksi, hukum-hukum dasar kimia, dan konsep mol untuk menyelesaikan
perhitungan kimia. kemampuan metakognisi erat kaitannya dengan kemampuan
pemecahan masalah. Semakin tinggi kemampuan metakognisi yang dimiliki
siswa, semakin baik pula kemampuan memecahkan persoalan dalam materi
stoikiometri dimana materi stoikiometri banyak berisi hitungan yang kompleks.
Penelitian yang dilakukan (Mahromah, 2013) mengungkapkan bahwa
siswa dengan skor matematika tinggi memiliki kemampuan metakognisi yang
tinggi pula (strategic use). Berdasarkan pemikiran diatas, dimungkinkan bahwa
terdapat pengaruh antara kemampuan metakognisi terhadap prestasi belajar
siswa pada materi stoikiometri. Dimana siswa dengan kemampuan metakognisi
tinggi akan memiliki prestasi lebih baik dibanding siswa dengan metakognisi
rendah.

3. Interaksi antara Model Pembelajaran TAI Berkombinasi Drill and


Practice dan Problem Solving Berbantuan Peer Tutoring dengan
Kemampuan Metakognisi terhadap Prestasi Belajar Siswa pada Pokok
Bahasan Stoikiometri
Pada pembelajaran stokiometri penggunaan model pembelajaran TAI
yang dikombinasi dengan drill and practice dan problem solving berbantuan
peer tutoring memiliki hubungan dengan kemampuan metakognisi individu.
Terdapat kemungkinan apabila siswa dengan kemampuan metakognisi tinggi
yang diajar menggunakan model problem solving berbantuan peer tutoring
akan memiliki prestasi belajar yang lebih baik dari siswa yang diajar
36

menggunakan model TAI berkombinasi dengan drill and practice. Hal ini
dikarenakan karakteristik materi stoikiometri membutuhkan pemahaman akan
proses penyelesaian masalah, dimana metakognisi yang baik ditunjukkan
dengan kerunutan dalam menyusun langkah-langkah penyelesaian masalah.
Pada model pembelajaran problem solving berbantuan peer tutoring siswa
diharapkan dapat menemukan konsep penyelesaian secara mandiri dengan
bantuan tutor. Dengan demikian, kemampuan metakognisi yang tinggi dapat
mempermudah siswa dalam menemukan konsepnya dan peer tutoring dapat
memeratakan pemahaman kelas. Sedangkan model pembelajaran TAI
berkombinasi dengan drill and practice guru masih berperan aktif membantu
siswa dengan kemampuan metakognisi rendah untuk membangun konsep
mandiri dalam kelompok.
Dari uraian diatas, diduga terdapat interaksi antara model pembelajaran
TAI berkombinasi dengan drill and practice dan problem solving berbantuan
peer tutoring dengan kemampuan metakognisi terhadap prestasi belajar siswa
pada materi stoikiometri.

Kondisi awal belajar siswa

Model pembelajaran yang melibatkan siswa secara aktif


dalam pembelajaran

Model problem Model TAI


solving berbantuan Kemampuan Metakognisi berkombinasi drill
peer tutoring Tinggi-Rendah and practice
(kelas eksperimen I) (kelas eksperimen II)

Prestasi Belajar siswa


meningkat

Gambar 2.2 Skema Kerangka Berfikir


37

C. Hipotesis
Berdasarkan kajian teori dan kerangka berfikir diatas, dapat disusun
hipotesis penelitian sebagai berikut:
1. Ada pengaruh penggunaan model pembelajaran TAI berkombinasi drill and
practice dan problem solving berbantuan peer tutoring terhadap prestasi belajar
siswa pada materi stoikiometri.
2. Ada pengaruh kemampuan metakognisi terhadap prestasi belajar siswa pada
materi stoikiometri.
3. Ada interaksi antara model pembelajaran TAI berkombinasi drill and practice
dan problem solving berbantuan peer tutoring dengan kemampuan metakognisi
terhadap prestasi belajar siswa pada materi stoikiometri.

Anda mungkin juga menyukai