Anda di halaman 1dari 10

PAPER

TUBERKULOSIS

(Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kajian Strategis Kesehatan


Masyarakat Global Kelas E)

Dosen Pembimbing:
Nurul Ulya Luthfiyana, S.KM., M. Kes.

Disusun Oleh

1. Anrista Dea F. 162110101019


2. Adinda Dwi Lestari 162110101026
3. Dita Ayu Purnamasari 162110101035
4. Dito Prasetyo N. 162110101100
5. Muhammad Ainun Habibie 162110101238
6. Itsnatur Rizkiyah Apriliyanti 172110101024
7. Azrin Roziana Zain 172110101102

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS JEMBER
2019
A. Definisi Tuberkulosis
Tuberkulosis atau disebut juga TBC merupakan suatu penyakit menular yang
disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar kuman TB
menyerang paru-paru, tapi dapat juga pada organ lain. Kuman ini berbentuk
batang, mempunyai sifat tahan terhadap asam pada pewarnaan, oleh karena itu
disebut juga dengan Basal Tahan Asam (BTA). Kuman TB cepat mati dengan
sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam ditempat yang
gelap dan lembap. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dorman atau tertidur
selama beberapa tahun (Joko, Suryo. 2010).
Kuman tuberculosis menular melalui udara. Dalam dahak penderita TB
terdapat banyak kuman TB. Ketika seorang penderita TB batuk atau bersin maka
dia menyebarkan 3.000 kuman ke udara. Kuman tersebut ada dalam percikan
dahak yang disebut droplet neclei atau percik renik (percik halus). (Tim Program
TB St Carolus. 2017)
B. Patofisiologi Tuberkulosis
Infeksi diawali karena seseorang menghirup basil Mycobacterium
Tuberculosis, bakteri menyebar melalui jalan napas menuju alveoli lalu
berkembang biak dan terlihat bertumpuk. Perkembangan Mycobacterium
Tuberculosis juga dapat menjangkau sampai ke area lain dri paru-paru (lobus
atas). Basil juga menyebar melalui system limfe dan aliran darah ke bagian tubuh
lain (ginjal, tulang, dan korteks serebri) dan area lain dari paru-paru (lobus atas).
Selanjutnya, system kekebalan tubuh memberikan respon dengan melakukan
reaksi inflamasi. Neutrofil dan magrofag melakukan aksi fagositosis (menelan
bakteri), sementara limfosit spesifik-tuberkulosis menghancurkan (melisiskan)
basal dan jaringan normal. Reaksi jaringan ini mengakibatkan terakumulasinya
eksudat dalam alveoli yang menyebabkan bronkopneumonia. Infeksi awal
biasanya timbul dalam waktu 2-10 minggu setelah terpapar bakteri.
Infeksi antara Mycobacterium Tuberculosis dan system kekebalan tubuh pada
masa awal infeksi membentuk sebuah massa jaringan baru yang disebut
granuloma. Granuloma terdiri atas gumpalan basil hidup dan mati yang dikelilingi
oleh makrofag seperti dinding. Granuloma selanjutnya berubah bentuk menjadi
massa jaringan fibrosa. Bagian tengah dari massa tersebut disebut ghon tubercle.
Materi yang terdiri atas magrofag dan bakteri menjadi nekrotik yang selanjutnya
membentuk materi yang penampakannya seperti keju (necrotizing caseosa). Hal
ini akan menjadi kalsifikasi dan akhirnya membentuk jaringan kolagen, kemudian
bakteri menjadi nonaktif.
Setelah infeksi awal, jika respons system imun tidak adekuat maka penyakit
akan menjadi lebih parah. Penyakit yang kian parah dapat timbul akibat infeksi
ulang atau bakteri yang sebelumnya tidak aktif kembali menjadi aktif. Pada kasus
ini, ghon tubercle mengalami ulserasi sehingga menghasilkan necrotizing caseosa
didalam bronchus. Tuberkel yang ulserasi selanjutnya menjadi sembuh dan
membentuk jaringan parut. Paru-paru yang terinfeksi kemudian meradang,
mengakibatkan timbulnya bronkopneumonia, membentuk tuberkel, dan
seterusnya. Pneumonia seluler ini dapat sembuh dengan sendirinya. Proses ini
berjalan terus dan basil terus difagosit atau berkembang biak didalam sel.
Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagainya
bersatu membentuk sel tuberkel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit
(membutuhkan 10-20 hari). Daerah yang mengalami nekrosis dan jaringan
granulasi yang dikelilingi sel epiteloid dan fibroblast akan menimbulkan respons
berbeda, kemudian pada akhirnya akan membentuk suatu kapsul yang dikelilingi
oleh tuberkel (Somantri, Irman. 2007).
C. Faktor Risiko Tuberkulosis
Faktor risiko tuberkulosis adalah faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
persebaran penyakit tuberkulosis. Faktor ini meliputi beberapa aspek yaitu faktor
lingkungan dan faktor perilaku. Faktor lingkungan yaitu faktor-faktor yang
mempengaruhi persebaran tuberkulosis yang berasal dari aspek lingkungan karena
lingkingan dapat menjadi penyebab awal penderita terserang penyakit
tuberkulosis. Beberapa contoh faktor lingkungan yang menjadi faktor risiko
kejadian tuberkulosis yaitu ventilasi tempat tinggal, kepadatan hunian, suhu,
pencahayaan dan kelembaban dari lingkungan tempat tinggal.
Faktor perilaku yaitu perilaku-perilaku dari penderita yang dapat menjadi
penyebab awal penderita terserang tuberkulosis tuberkulosis. Beberapa contoh
faktor risiko kejadian tuberkulosis yaitu kebiasaan merokok, meludah atau
membuang dahak di sembarang tempat, batuk atau bersin tidak menutup mulut
dan kebiasaan tidak membuka jendela.
D. Beban Biaya dan Konsekuensi
Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit penyebab utama morbiditas dan
mortalitas serta tingginya anggaran biaya kesehatan di seluruh dunia.
Diperkirakan 9 juta kasus TB baru dan 2 juta diantaranya meninggal. Indonesia
hampir 10 tahun menempati peringkat ke-3 dengan jumlah kasus TB terbanyak di
dunia. Saat ini Indonesia berada pada peringkat ke-5 dengan beban TB tertinggi di
dunia. Estimasi prevalensi TB semua kasus adalah sebesar 660.000 (WHO, 2010)
dan estimasi insidensi berjumlah 430.000 kasus baru per tahun. Jumlah kematian
akibat TB diperkirakan 61.000 kematian per tahunnya. Tuberkulosis merupakan
penyakit yang dapat di obati namun pada kenyataannya TB membunuh 5000
orang setiap harinya. TB masih bertanggung jawab untuk beban penyakit yang
sangat berat di seluruh dunia (Wulandari, Nurjazuli, & Adi, 2015).
Tb banyak menyerang pada usia produktif, sekitar 80% pasien penderita TB
adalah kolompok usia produktif yaitu 15-59 tahun (Susilayanti, Medison, &
Erkadius, 2014). Hal tersebut berdampak pada kerugian ekonomi baik bagi
individu maupun negara karena menurunnya produktivitas sumber daya manusia
yang ada. Tingginya beban penyakit Tuberculosis membuat banyak negara-negara
di seluruh dunia menggelontorkan biaya anggaran yang cukup besar untuk sektor
kesehatan. Setidaknya US$ 1,6 miliar dukungan internasional diperlukan setiap
tahun untuk mengisi kesenjangan pendanaan pengendalian TB antara 2014 dan
2016 di 118 negara berpenghasilan rendah dan menengah (Melinda, 2017).
Dengan kemajuan yang ada upaya penurunan angka kematian akibat TB sudah
dilakukan tetapi lambatnya angka penurunan kasus TB tidak sebanding dengan
banyaknya penemuan kasus baru TB yang semakin meluas.
E. Pencegahan dan Penanggulangan Tuberkulosis

Menurut Kemenkes Kesehatan Republik Indonesia (2011) tentang Pedoman


Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, dalam pencegahan Tuberkulosis dapat
dikenal dengan Lima Tahap Pencegahan (Five Level Prevention) yang terdiri dari
beberapa upaya sebagai berikut.
a. Health Promotion (Peningkatan Kesehatan)
Dalam tahap ini upaya-upaya yang dilakukan yaitu pada saat tubuh dalam
keadaan sehat dan umum untuk semua jenis penyakit.Contoh kegiatan
dalam health promotion adalah:
1) Memperbaiki hygiene dan sanitasi lingkungan, misalnya penyediaan air
bersih, tempat pembuangan sampah, pembuangan tinja dan limbah.
2) Berolahraga secara teratur

3) Mengkonsumsi gizi seimbang

b. Health Prevention and Health Protection (Pencegahan dan Perlindungan


Kesehatan)

Pada Tahap ini upaya yang dilakukan yaitu pada saat tubuh dalam keadaan
sehat dan bertujuan untuk mencegah timbulnya penyakit tertentu. Contoh
dalam kegiatan ini adalah:
1) Pemberian imunisasi BCG untuk mencegah TB

2) Penyemprotan untuk membunuh nyamuk malaria

3) Untuk tidak merokok guna mencegah penyakit paru-paru


c. Early Diagnosis and Prompt Treatment (Pengobatan Cepat dan Tepat)
Pada tahap ini upaya yang dilakukan adalah saat tubuh dalam keadaan
tidak sehat (sudah menderita penyakit tertentu) dan tahap ini ditujukan
untuk mencegah penyakit berkembang secara serius.Contoh:
1) Screening (general check up) untuk menemukan suatu penyakit

2) Setelah penyakit ditemukan, dilakukan pengobatan yang cepat dan tepat


supaya penyakit dapat disembuhkan, tidak menyebabkan kematian atau
menyebabkan kecacatan.
d. Disabiliti Limitation (PembatasanKecacatan)
Pada tahap ini bertujuan untuk mencegah timbulnya suatu kecacatan pada
seseorang saat terjangkit penyakit tertentu.
e. Rehabilitasi
Pada tahap ini upaya yang dilakukan untuk memulihkan kondisi tubuh
setelah terjadinya suatu penyakit dan mencegah terjadinya kecacatan.
Sikap yang terbentuk dalam diri seseorang bergantung pada persepsi
seseorang tersebut dalam menginterpretasikan sesuatu dan bertindak atas dasar
hasil interpretasi yang diciptakannya. Salah satu faktor yang mempengaruhi dalam
pembentukan sikap adalah pengetahuan yang dimiliki seseorang, semakin tinggi
tingkat pengetahuan yang dimiliki seseorang akan memberi kontribusi pada
terbentuknya sikap yang baik. Sedangkan untuk perilaku, terdapat 3 faktor yang
memengaruhi perilaku antara lain faktor predisposisi (lingkungan, pengetahuan,
sikap dan tindakan masyarakat), faktor pemungkin (keterjangkauan fasilitas
pelayanan kesehatan masyarakat) dan faktor penguat (dukungan lingkungan,
tokoh masyarakat dan petugas kesehatan). (Notoatmojo , 2011). faktor perilaku
yang berisiko terhadap kejadian tuberculosis meliputi kebiasaan merokok,
meludah atau membuang dahak di sembarang tempat, batuk atau bersin tidak
menutup mulut dan kebiasaan tidak membuka jendela(Achmadi,2005).

Pada awal tahun 1990-an WHO dan IUATLD mengembangkan strategi


pengendalian TB yang dikenal sebagai strategi DOTS (Directly Observed
Treatment Short-course). Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen kunci, yaitu
(Kemenkes RI, 2011):
a. Komitmen politis, dengan peningkatan dan kesinambungan pendanaan.

b. Penemuan kasus melalui pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin


mutunya.
c. Pengobatan yang standar, dengan supervisi dan dukungan bagi pasien.

d. Sistem pengelolaan dan ketersediaan OAT yang efektif.

e. Sistem monitoring pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan


penilaian terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program.
Dengan semakin berkembangnya tantangan yang dihadapi program dibanyak
negara, strategi DOTS di atas oleh Global Stop TB Partnership, strategi DOTS
tersebut diperluas menjadi:
a. Mencapai, mengoptimalkan dan mempertahankan mutu DOTS

b. Merespon masalah TB-HIV, MDR-TB dan tantanganlainnya

c. Berkontribusi dalam penguatan system kesehatan


d. Melibatkan semua pemberi pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun
swasta

e. Memberdayakan pasien dan masyarakat

f. Melaksanakan dan mengembankan penelitian


F. Tantangan dalam Kontrol Tuberkulosis
Meningkatnya kasus TB setiap tahunnya, terutamaTB Multi Drug Resistant
(MDR) menjadi salah satu barier pertama dalam pelaksanaan program
pengendalian TB tingkat nasional maupun internasional. Oleh sebab itu, perlu
diadakannya suatu pengendalian atau kontrol terhadap kasus tuberkulosis. Namun
terdapat tantangan-tantangan dalam mengontrol kasus tuberkulosis sebagai
berikut:
1. Perlu dikembangkannya teknik diagnosis TB yang lebih cepat dan akurat
sehingga dapat dengan mudah untuk menegakkan diagnosis dan memulai
terapi.
2. Adanya gap yang terjadi terkait pasien yang terdiagnosis TB MDR dan
yang mendapatkan pengobatan.
3. Masa pengobatan yang lama dan efek samping obat sehingga proses
pengobatan terhenti.
4. Kurangnya komitmen dari berbagai pihak yang menyebabkan kasus
penularan TB semakin bertambah.
G. Review Pengendalian Tuberkulosis di Cina
Latar Belakang:
Meskipun China telah menetapkan program TB nasional pada tahun 1981,
dukungan finansial yang tidak memadai menghambat keberhasilannya. Pada
tahun 1991, dengan dana $58 juta dari Bank Dunia, China memulai percobaan
informal pengendalian TB yang terbesar dalam sejarah: 10-tahun melakukan
pengendalian penyakit Infeksi dan Penyakit Endemik di 13 provinsi dari 31
provinsi yang ada. Proyek ini mengadopsi strategi DOTS (strategi pengawasan
langsung pengobatan jangka pendek.). Individu yang menunjukkan gejala TB
dirujuk ke apotik TB, dimana mereka didiagnosis dan menerima perawatan secara
gratis. Dokter desa diberi insentif keuangan untuk mendaftarkan pasien dan
menyelesaikan pengobatan mereka. Upaya lain juga dilakukan untuk memperkuat
lembaga-lembaga yang terlibat dengan proyek TB nasional dan pusat
penanggulangan TB.
Dampak:
China berhasil mencapai 95% pengobatan untuk kasus baru dalam waktu 2 tahun
dengan mengadopsi strategi DOTS, dan angka kesembuhan mencapai 90% dari
pengobatan sebelumnya yang tidak berhasil. Jumlah orang dengan TB menurun
lebih dari 37% antara tahun 1990 dan 2000, dan 30.000 kematian TB dapat
dicegah setiap tahun. Lebih dari 1,5 juta pasien diobati, mengarah ke penghapusan
836.000 kasus TB paru.
Biaya dan Manfaat:
Program ini memakan biaya sebesar $130 juta. Bank Dunia dan WHO
memperkirakan bahwa pengobatan berhasil dicapai dengan biaya kurang dari
$100 per orang. Satu orang yang hidup dengan sehat dapat menghemat biaya
sebesar $15 sampai $20, dengan jumlah uang kembali sebesar $60 untuk setiap
dolar yang diinvestasikan.
Pelajaran yang Dapat Diambil:
Keberhasilan program pengendalian TB di China dapat dikaitkan dengan
komitmen politik yang kuat, kepemimpinan, dana yang memadai, dan teknis
penyampaian yang baik melalui sistem kesehatan yang kuat. Ditemukan bahwa
strategi DOTS dapat ditingkatkan dengan cepat tanpa mengorbankan kualitas.
Diagnosis dan perawatan gratis dinilai sebagai cara yang efektif untuk pasien, dan
insentif bagi dokter untuk mendiagnosa dan pengobatan lengkap juga bekerja
dengan baik. Namun, tingkat deteksi kasus secara keseluruhan belum memuaskan,
terutama karena rujukan yang tidak memadai dari rumah sakit ke apotik TB;
rumah sakit yang mengenakan biaya untuk pelayanannya tidak bisa merujuk
pasien ke apotik dimana pelayanan diberikan secara gratis. Selain itu, pasien di
rumah sakit sering meninggalkan perawatan sebelum waktunya. Terlepas dari
keberhasilan program, TB tetap menjadi ancaman mematikan di Cina, dan upaya
terus mempertahankan tingkat penyembuhan, serta memperluas cakupan strategi
DOTS ke populasi yang tersisa.
Referensi:

Achmadi, U. (2005). Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah. Edisi 1. Jakarta: PT


Kompas Media Nusantara.
Kemenkes Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Pedoman
Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. [online]. Tersedia:
http://www.dokternida.rekansejawat.com/dokumen/DEPKES-Pedoman-
NasionalPenanggulangan-TBC-2011-Dokternida.com.pdf (diakses pada 22
Mei 2018).
Melinda. (2017). The global burden of tuberculosis: results from the Global
Burden of Disease Study 2015. Lancet Infection Disease Vol 18, 261-284.
Nawas, A. 2010. Penatalaksanaan Tb MDR dan Strategi Dots Plus. Jurnal
Tuberkulosis Indonesia. 7: 1-2.
Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Prihanti, G. S., Sulistiyawati, & Rahmawati, I. (2016). Analisis Faktor Risiko
Kejadian Tuberkulosis Paru. 127-132.

Putra, Y. M. P. 2019. Tantangan Besar Mengendalikan Tuberkulosis.


https://republika.co.id/berita/ob2xsk284/tantangan-besar-mengendalikan-
tuberkulosis. [Diakses pada 28 September 2019].
Saptawati, L., Mardiasutui., Karuniawati, A., dan Rumende, C.M. . Evaluasi
Metode FastplaqueTBtm Untuk mendeteksi Mycobacterium Tuberculosis pada
Sputum di Beberapa Unit Pelayanan Kesehatan di jakarta-Indonesia. Jurnal
Tuberkilosis Indonesia. 8: 1-2.
Susilayanti, E. Y., Medison, I., & Erkadius. (2014). Profil Penderita Penyakit
Tuberkulosis Paru BTA Positif yang Ditemukan di BP4 Lubuk Alung periode
Januari 2012 – Desember 2012. Jurnal Kesehatan Andalas, 151-155.
Somantri, Irman. 2007. Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Ganguan
Sistem Pernapasan. Jakarta: Slemba Medika.
Suryo, Joko. 2010. Herbal Sistem Penyembuh Gangguan Pernapasan.
Yogyakarta: PT Bentang Pustaka.
Tim Program TB St Carolus. 2017. Tuberkulosis Bisa Disembuhkan!. Jakarta:
Gramedia.
Wulandari, A. A., Nurjazuli, & Adi, M. S. (2015). Faktor Risiko dan Potensi
Penularan Tuberkulosis Paru di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Jurnal
Kesehatan Lingkungan Indonesia, 7-13.

Anda mungkin juga menyukai