Anda di halaman 1dari 4

POINTERS KOFERENSI PERS

KPK TOLAK REVISI UU KPK

Kamis, 5 September 2019

1. Kami harus menyampaikan kepada publik bahwa saat ini KPK berada di ujung tanduk. Bukan
tanpa sebab. Semua kejadian dan agenda yang terjadi dalam kurun waktu belakangan ini
membuat kami harus menyatakan kondisi yang sesungguhnya saat ini.

2. Pertama, adalah tentang seleksi pimpinan KPK yang menghasilkan 10 nama calon pimpinan yang
di dalamnya terdapat orang yang bermasalah. Hal seperti akan membuat kerja KPK terbelenggu
dan sangat mudah diganggu oleh berbagai pihak.

3. Kedua, hari ini Rabu, 5 September 2019, Sidang Paripurna DPR yang menyetujui revisi Undang
Undang KPK menjadi RUU Insiatif DPR. Terdapat Sembilan Persoalan di draf RUU KPK yang
beresiko melumpuhkan Kerja KPK, yaitu:
1) Independensi KPK terancam
2) Penyadapan dipersulit dan dibatasi
3) Pembentukan Dewan Pengawas yang dipilih oleh DPR
4) Sumber Penyelidik dan Penyidik dibatasi
5) Penuntutan Perkara Korupsi Harus Koordinasi dengan Kejaksaan Agung
6) Perkara yang mendapat perhatian masyarakat tidak lagi menjadi kriteria
7) Kewenangan Pengambilalihan perkara di Penuntutan dipangkas
8) Kewenangan-kewenangan strategis pada proses Penuntutan dihilangkan
9) Kewenangan KPK untuk mengelola pelaporan dan pemeriksaan LHKPN dipangkas

4. Tak hanya RUU KPK, DPR juga tengah menggodok RUU KUHP yang akan mencabut sifat khusus
dari Tindak Pidana Korupsi, sehingga keberadaan KPK terancam.

5. KPK menyadari DPR memiliki wewenang untuk menyusun RUU inisiatif dari DPR. Akan tetapi, KPK
meminta DPR tidak menggunakan wewenang tersebut untuk melemahkan dan melumpuhkan
KPK.

6. KPK juga menyadari RUU KPK inisiatif DPR tersebut tidak akan mungkin dapat menjadi Undang-
undang jika Presiden menolak dan tidak menyetujui RUU tersebut. Karena Undang-undang
dibentuk berdasarkan persetujuan DPR dan Presiden. KPK percaya, Presiden akan tetap konsisten
dengan pernyataan yang pernah disampaikan bahwa Presiden tidak akan melemahkan KPK.
Apalagi saat ini Presiden memiliki sejumlah agenda penting untuk melakukan pembangunan dan
melayani masyarakat. Polemik revisi UU KPK dan upaya melumpuhkan KPK ini semestinya tidak
perlu ada sehingga Presiden Joko Widodo dapat fokus pada seluruh rencana yang telah disusun.
Dan KPK juga mendukung program kerja Presiden melalui tugas Pencegahan dan Penindakan
Korupsi;
7. Sehingga, KPK berharap Presiden dapat: Membahas terlebih dulu bersama akademisi, masyarakat
dan lembaga terkait untuk memutuskan perlu atau tidaknya merevisi Undang Undang KPK dan
KUHP tersebut;

8. KPK sudah pernah menyampaikan bahwa Indonesia belum membutuhkan perubahan UU KPK.
Pembahasan Revisi UU KPK yang secara diam-diam, menunjukan DPR dan Pemerintah tidak mau
berkonsultasi dengan masyarakat yang diwakilinya.

9. Atas kondisi tersebut di atas, KPK perlu menyampaikan sikap: menolak revisi Undang Undang
KPK karena kami tidak membutuhkan revisi undang-undang untuk menjalankan pemberantasan
korupsi. Apalagi jika mencermati materi muatan RUU KPK yang beredar, justru rentan
melumpuhkan fungsi-fungsi KPK sebagai lembaga independen pemberantas korupsi.

10. Selain itu, Kita juga telah memiliki pengalaman panjang sebelumnya upaya-upaya pelemahan KPK
yang tidak berlebihan jika disebut sebagai corruptor fight back.

11. Kami berharap upaya pemberantasan korupsi tetap kita perkuat. Agar kinerja Pencegahan dan
Penindakan yang dilakukan dapat lebih efektif dan berdampak. Sejak KPK efektif bertugas tahun
2003, KPK telah menangani 1064 perkara dengan tersangka dari berbagai macam latar belakang.
a. Jumlah OTT : 123 kali
b. Jumlah tersangka dari OTT : 432 orang
c. Latar belakang tersangka yang ditangani KPK (per Juni 2019):
• Anggota DPR/DPRD : 255 perkara
• Kepala Daerah : 30 perkara
• Pimpinan Partai Politik :6
• Kepala Lemb./Kementerian : 27 perkara
• DLL
SELESAI
LAMPIRAN
Sembilan Persoalan di draf RUU KPK yang beresiko melumpuhkan Kerja KPK
--

1. Independensi KPK terancam


• KPK tidak disebut lagi sebagai lembaga Independen yang bebas dari pengaruh kekuasaan
manapun;
• KPK dijadikan lembaga Pemerintah Pusat
• Pegawai KPK dimasukan dalam kategori ASN sehingga hal ini akan beresiko terhadap
independensi pegawai yang menangani kasus korupsi di instansi pemerintahan;

2. Penyadapan dipersulit dan dibatasi


• Penyadapan hanya dapat dilakukan setelah ada izin dari Dewan Pengawas. Sementara
itu, Dewan Pengawas dipilih oleh DPR dan menyampaikan laporannya pada DPR setiap
tahunnya;
• Selama ini penyadapan seringkali menjadi sasaran yang ingin diperlemah melalui
berbagai upaya, mulai dari jalur pengujian UU hingga upaya revisi UU KPK
• Korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa dan dilakukan secara tertutup. Sehingga
bukti-bukti dari Penyadapan sangat berpengaruh signifikan dalam membongkar skandal
korupsi;
• Penyadapan diberikan batas waktu 3 bulan. Padahal dari pengalaman KPK menangani
kasus korupsi, proses korupsi yang canggih akan membutuhkan waktu yang lama
dengan persiapan yang matang. Aturan ini tidak melihat kecanggihan dan kerumitan
kasus korupsi yang terus berkembang;
• Polemik tentang Penyadapan ini semestinya dibahas secara komprehensif karena tidak
hanya KPK yang memiliki kewenangan melakukan Penyadapan;

3. Pembentukan Dewan Pengawas yang dipilih oleh DPR


• DPR memperbesar kekuasaannya yang tidak hanya memilih Pimpinan KPK tetapi juga
memilih Dewan Pengawas
• Dewan pengawas menambah panjang birokrasi penanganan perkara karena sejumlah
kebutuhan penanganan perkara harus izin Dewan Pengawas, seperti: penyadapan,
penggeledahan dan penyitaan

4. Sumber Penyelidik dan Penyidik dibatasi


• Penyelidik KPK hanya berasal dari Polri, sedangkan Penyidik KPK berasal dari Polri dan
PPNS;
• Hal ini bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi yang memperkuat dasar
hukum bagi KPK dapat mengangkat Penyelidik dan Penyidik sendiri;
• Lembaga-lembaga KPK di beberapa negara di dunia telah menerapkan sumber terbuka
Penyidik yang tidak harus dari kepolisian, seperti: CPIB di Singapura, ICAC di Hongkong,
MACC di Malaysia, Anticorruption Commision di Timor Leste, dan lembaga antikorupsi di
Sierra Lone.
• Selama ini proses Penyelidikan dan Penyidikan yang dilakukan KPK sudah berjalan efektif
dengan proses rekruitmen yang terbuka yang dapat berasal dari berbagai sumber;
5. Penuntutan Perkara Korupsi Harus Koordinasi dengan Kejaksaan Agung
• KPK harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung dalam melakukan Penuntutan Korupsi;
• Hal ini beresiko mereduksi independensi KPK dalam menangani perkara dan akan
berdampak pada semakin banyaknya prosedur yang harus ditempuh sehingga akan
memperlambat penanganan perkara

6. Perkara yang mendapat perhatian masyarakat tidak lagi menjadi kriteria


• Ketentuan yang sebelumnya diatur di Pasal 11 huruf b UU KPK tidak lagi tercantum, yaitu:
mendapat perhatian dan meresahkan masyarakat;
• Padahal pemberantasan korupsi dilakukan karena korupsi merugikan dan meresahkan
masyarakat dan diperlukan peran masyarakat jika ingin pemberantasan korupsi berhasil;

7. Kewenangan Pengambilalihan Perkara di Penuntutan Dipangkas


• Pengambilalihan perkara hanya bisa dilakukan untuk proses Penyelidikan;
• KPK tidak lagi bisa mengambil alih Penuntutan sebagaimana sekarang diatur di Pasal 9 UU
KPK

8. Kewenangan-kewenangan strategis pada proses Penuntutan dihilangkan


• Pelarangan ke luar negeri
• Meminta keterangan perbankan
• Menghentikan transaksi keuangan yang terkait korupsi
• Meminta bantuan Polri dan Interpol

9. Kewenangan KPK untuk mengelola pelaporan dan pemeriksaan LHKPN dipangkas


• Pelaporan LHKPN dilakukan di masing-masing instansi, sehingga hal ini akan mempersulit
melihat data kepatuhan pelaporan dan kewajaran kekayaan Penyelenggara Negara;
• Posisi KPK direduksi hanya melakukan kooordinasi dan supervisi;
• Selama ini KPK telah membangun sistem dan KPK juga menemukan sejumlah
ketidakpatuhan pelaporan LHKPN di sejumlah institusi;

-----------

Anda mungkin juga menyukai