Anda di halaman 1dari 51

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pemilihan umum merupakan media bagi rakyat untuk menyatakan

kedaulatannya. Paham kedaulatan rakyat menyiratkan bahwa pemegang

kekuasaan tertinggi dalam suatu negara adalah rakyat, dan rakyat pula yang

menentukan corak dan cara pemerintahan diselenggarakan. Begitu juga dengan

pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah yang merupakan perwujudan dari

paham kjedaulatan rakyat. Secara ideal pemilihan umum (general election)

bertujuan agar terselenggara perubahan kekausaan pemerintahan secara teratur,

damai sesuai dengan mekanisme yang dijamin dan ditentukan oleh konstitusi.

Dalam sistem demokrasi modern kegiatan pemilihan umum maupun

pemilihan kepala daerah juga merupakan salah satu sarana penyaluran hak asasi

warga negara yang sangat prinsipil dan fundamental. Oleh karena itu dalam

rangka pelaksanaan hak-hak asasi warga adalah keharusan bagi pemerintah

untuk menjamin terlaksananya penyelenggaraan pemilihan umum sesuai dengan

jadwal ketatanegaraan yang ditentukan.

Sesuai dengan prinsip kedaulatan rakyat dimana rakyatlah yang

berdaulat, maka semua aspek penyelenggaraan pemilihan umum itu pun harus

juga dikembalikan kepada rakyat untuk menentukannya. Apabila pemerintah

tidak memberi jaminan terselenggaranya pemilihan umum, memperlambat

penyelenggaraan pemilihan umum tanpa persetujuan para wakil rakyat, ataupun

1
tidak melakukan apa-apa sehingga pemilihan umum tidak terselenggara

sebagaimana mestinya maka hal ini merupakan suatu pelanggaran terhadap hak-

hak asasi warga negara.

Pemilihan umum menjadi prasyarat dalam kehidupan bernegara dan

bermasyarakat secara demokratis. Sebagaimana dipahami bersama bahwa

pemilihan umum yang dipilih tidak hanya wakil rakyat yang akan duduk di

Lembaga Perwakilan Rakyat atau parlemen, tetapi juga para pemimpin

pemerintahan yang menduduki/duduk dikursi eksekusif.

Di cabang kekuasaan legeslatif, para wakil rakyat ada yang duduk di

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), ada yang duduk di Dewan Perwakilan Daerah

(DPD), dan ada juga yang duduk di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)

baik di tingkat propinsi maupun di tingkat kabupaten dan kota.

Sedangkan di cabang kekuasaan pemerintahan eksekusif, para pemimpin

yang dipilih secara langsung oleh rakyat adalah Presiden dan Wakil Presiden,

Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan

Wakil Walikota.

Dengan adanya pemilihan umum yang teratur tersebut maka tujuan untuk

melaksanakan kedaulatan rakyat dan melaksanakan hak asasi warga dapat

tercapai.

Menurut Jimly pentingnya diselenggarakan pemilu secara berkala

dikarenakan oleh beberapa sebab :

1. Pendapat atau aspirasi rakyat mengenai berbagai aspek kehidupan bersama

dalam masyarakat bersifat dinamis dan berkembang dari waktu ke waktu.

2
Dalam jangka waktu tertentu, dapat saja terjadi, bahwa sebagian besar rakyat

berubah pendapatnya mengenai sesuatu kebijakan negara.

2. Disamping pendapat rakyat dapat berubah dari waktu ke waktu kondisi

kehidupan bersama dapat pula berubah, baik karena dinamika dunia

internasional ataupun karena faktor dalam negeri sendiri. Baik karena faktor

internal manusia, maupun karena faktor eksternal manusia.

3. Perubahan-perubahan aspirasi dan pendapat rakyat juga dimungkinkan terjadi

karena pertambahan jumlah penduduk dan rakyat yang dewasa. Mereka itu

terutama para pemilih baru (new voters) atau pemilih pemula, yang belum

tentu memilih sikap yang sama dengan orang tua mereka sendiri.

4. Pemilihan umum perlu diadakan secara teratur untuk menjamin terjadinya

pergantian kepemimpinan negara, baik pada cabang kekuasaan eksekusif

maupun legeslatif.

Oleh karena itu, penyelenggaraan pemilihan umum merupakan

perwujudan hak-hak politik rakyat untuk menentukan jalannya pemerintah dan

fungsi-fungsi negara dengan benar sebagaimana yang tertuang dalam UUD

1945. Karena hak tersebut merupakan hak rakyat yang sangat fundemental.

Di samping itu, pemilihan umum juga penting, bagi para wakil rakyat sendiri

maupun para pejabat pemeritah untuk mengukur tingkat dukungan dan

kepercayaan masyarakat kepadanya.

Demikian pula bagi kelompok warga negara yang tergabung dalam suatu

organisasi partai politik, pemilihan umum juga penting untuk mengetahui

seberapa besar tingkat dukungan dan kepercayaan rakyat kepada kelompok atau

3
partai politik yang bersangkutan. Melalui analisis mengenai tingkat kepercayaan

dan dukungan rakyat tersebut, dapat tergambar pula aspirasi rakyat yang

sesungguhnya sebagai pemilik kedaulatan atau kekuasaan tertinggi dalam

Negara Republik Indonesia. Untuk mengetahui lebih mendalam mengenai

dinamika pemilihan kepala daerah di Indonesia.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah mekanisme Pemilukada langsung (tradisi baru demokrasi

lokal).

2. Bagaimanakah mewujudkan pemilu yang berkualitas.

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Mekanisme Pemilukada Secara Langsung

Pengaturan Pemilihan Kepala Daerah Dalam UUD RI Tahun 1945

Pemilihan langsung, selalu dijadikan tolak ukur untuk menentukan sebuah

negara dapat dikatakan demokratis atau tidak. Demokrasi memang tidak semata-

mata ditentukan oleh ada tidaknya pemilihan oleh rakyat atas pemimpin-

pemimpinnya. Secara umum dikatakan bahwa pemilihan kepala daerah secara

langsung itu lebih demokratis. Setidaknya ada 2 (dua) alasan mengapa gagasan

pemilihan langsung dianggap perlu :

1. Untuk lebih membuka pintu bagi tampilnya kepala daerah yang sesuai dengan

kehendak mayoritas rakyat sendiri.

2. Untuk menjaga stabilitas pemerintahan agar tidak mudah dijatuhkan di tengah

jalan. “Praktek selama berlaku UU No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan

daerah menunjukkan, bahwa pilihan DPRD seringkali berseberangan dengan

kehendak mayoritas rakyat di daerah.

Proses pembentukan UU No. 22 Tahun 1999 diselimuti oleh semangat

reformasi di segala aspek kehidupan bernegara dan berlangsung secara cepat.

Sehingga perlawanannya, dirasakan ada subtansi atau praktik penyelenggaraan

yang kurang sesuai dengan jiwa dan semangat berdemokrasi dalam Negara

Kesatuan Republik Indonesia.

5
Kekurangan dalam UU No. 22 tahun 1999 telah disadari oleh para wakil

rakyat yang duduk di MPR RI sehingga melahirkan ketetapan MPR Nomor :

IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi kebijakan dalam penyelenggaraan otonomi

Daerah. Bersamaan dengan itu, dalam sidang tahunan MPR RI tahun 2000 telah

dilakukan perubahan kedua UUD 1945 yang antara lain telah mengubah

BAB IV tentang Pemerintahan Daerah dengan pasal 18, pasal 18 A dan pasal

18 B sehingga dikeluarkannya ketetapan MPR No. IV/MPR/2000 tersebut

sejalan dengan perubahan UUD 1945. Salah satu butir rekomendasi

menyebutkan sejalan dengan semangat desentralisasi dan kesetaraan hubungan

pusat dan daerah diperlukan upaya perintisan awal untuk melakukan revisi yang

bersifat mendasar terhadap UU No. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah.

Revisi dimaksud dilakukan sebagai upaya penyesuaian terhadap pasal 18

UUD 1945 atas dasar amanat TAP MPR di atas, kebutuhan untuk melakukan

revisi terhadap UU No. 22 tahun 1999 tidak terelakan, apalagi pasal 18 UUD

1945 yang menjadi dasarnya, pada perubahan kedua UUD 1945 telah

disempurnakan dan ditambah menjadi semakin jelas dan terperinci.

Peninjauan dan penyesuaian dalam UUD No 22 tahun 1999 yang perlu

dilakukan antara lain mengenai pemilihan kepala daerah dan wakil kepala

daerah dengan segala aspek yang terkait dengan perubahan tersebut. Hal ini

sudah dimulai dengan perubahan dari UU No. 4 tahun 1999 tentang susunan dan

kedudukan MPR, DPR, dan DPRD menjadi UU No. 22 tahun 2003 tentang

susunan dan kedudukan MPR, DPR, dan DPRD untuk memilih kepala daerah.

6
Perubahan kedua UUD 1945 pasal 18 ayat (4) menyatakan bahwa

Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala Pemerintah

Daerah Propinsi, Kabupaten, dan Kota dipilih secara demokratis. Penggunaan

kata dipilih secara demokratis tersebut bersifat luwes dan memiliki 2 (dua)

makna, yaitu baik pemilihan langsung maupun tidak langsung melalui DPRD

kedua-duanya demokratis, untuk itu keputusan MPR dalam proses menetapkan

Kepala Daerah dipilih secara demokratis dapat digali secara mendalam melalui

risalah sidang PAH I BP MPR RI sebagai berikut :

a. Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP)

Pertama kali istilah Kepala Daerah dipilih secara demokratis

disampaikan oleh FPDIP pada sidang PAH I BP MPR yang membahas

rumusan BAB VI pada tanggal 29 Mei 2000. Pada intinya FPDIP

mengemukakan bahwa selama ini pemerintah belum melaksanakan pasal 18

UUD 1945 sebagaimana mestinya. Pemerintahan dijalankan secara

centralistik dengan tekanan dan paksaan. Pemilihan Kepala Daerah pada

semua tingkatan dilakukan dengan penuh rekayasa dan hanya

mengedepankan tokoh-tokoh formal dan mengabaikan tokoh-tokoh informal.

Untuk mencegah agar tidak terulang praktik-praktik tekanan dan paksaan.

FPDIP mengusulkan agar dicantumkan secara eksplisit dengan rumusan :

“Daerah otonomi mempunyai kepala pemerintahan daerah yang dipilih secara

demokratis yang pelaksanaannya diatur dengan undang-undang”.

Jadi jelas sekali yang dimaksud dipilih secara demokratis menurut FDIP

sidang pandangan akhir fraksi adalah untuk mengakhiri praktek pemilihan

7
kepala daerah yang selama ini banyak dilakukan dengan cara rekayasa dan

praktik tekanan serta paksaan pemerintah terhadap mekanisme demokrasi

untuk memilih kepala daerah yang sedang berjalan.

Namun rumusan yang dipilih secara demokratis usulan FDIP bukan

subtansi yang mengurus kepada Kepala Daerah dipilih secara langsung atau

tetap dipilih oleh DPRD. Namun, ditekankan pada perbaikan praktik yang

harus dilaksanakan dengan cara demokratis.

b. Fraksi Partai Golkar (FPG)

Pada sidang PAH I BP tanggal 29 Mei 2000. FPG tidak menyampaikan

secara eksplisit mengenai tatacara pemilihan kepala daerah, namun secara

inflisit dapat dipahami adanya harapan besar terhadap perbaikan kualitas hak-

hak kerakyatan di daerah. Sebaliknya, demokratisasi sebagai bentuk

penghargaan atas pentingnya otonomi individu tidak memperoleh tempat

yang memadai. Karena itu FPG berpendapat bahwa penegakan otonomi

daerah secara konseptual perlu mensyaratkan, bahwa kewenangan daerah

dalam berotonomi berasal dari negara bukan dari pemerintah. Penegasan

tersebut harus bersifat konstitusional. Maknanya adalah bahwa kelanjutan

otonomi daerah adalah persoalan-persoalan kepada konstitusi dan bukan

kepada kehendak pemerintah pusat.

Dari satu sisi otonomi harus diartikan sebagai ruang bagi kedaulatan

rakyat daerah dalam pengertian komunitas politik memiliki makna mendalam,

yaitu bahwa demokrasi lokal dibutuhkan dalam rangka membangun otonomi

daerah yang kokoh.

8
c. Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (FPPP)

Pada sidang pandangan akhir BP MPR yang membahas Bab VI FPPP

memberi penilaian bahwa akibat kesederhanaan (singkatnya) pasal 18 UUD

1945, ternyata dalam praktik pelaksanaannya jauh dari pikiran-pikiran luhur

pendiri negara yang menginginkan negara kesatuan yang terbagi dalam

daerah besar dan daerah kecil dalam suatu keserasian kehidupan berbangsa

dan bernegara. Berubah-ubahnya undang-undang yang mengatur otonomi

daerah tidak memiliki konsistensi, bahkan pada masa “Orde Baru” telah

mendekati sentralisasi yakni pemerintahan daerah itu hanya merupakan

bagian dari pemerintahan Indonesia. Setelah memasuki era reformasi.

Daerah-daerah telah menyadari akan hak-haknya. Pengalaman praktik yang

semuanya diatur oleh pemerintah pusat yang menyebabkan ketimpangan-

ketimpangan yang dirasakan oleh daerah berdasarkan pokok pikiran itu, FPPP

mengusulkan tujuh item perubahan pasal 18, yang salah satunya pada item ke

tujuh yaitu mengusulkan agar “Gubernur, Bupati, dan Walikota dipilih secara

langsung oleh rakyat, yang selanjutnya diatur dalam undang-undang, hal ini

sejalan dengan kjeinginan kita untuk presiden juga dipilih secara langsung”.

Kemudian dalam tanggapan akhir antar fraksi sebelum memasuki tahap

lobi-lobi, FPPP kembali mengemukakan dengan tegas pada item keempatnya

bahwa “Karena Presiden itu dipilih secara langsung maka pada pemerintahan

daerah pun Gubernur, Bupati dan Walikota itu dipilih langsung oleh rakyat,

undang-undang dan tatacara nanti diatur dalam undang-undang yang terkait

dengan otonomi daerah”. Dengan demikian menurut pikiran FPPP yang

9
dimaksud “dipilih secara demokratis” dalam pasal 18 ayat (4) UUD 1945

adalah dipilih secara langsung sebagaimana tatacara yang dilakukan untuk

memilih presiden.

d. Fraksi Partai Daulat Umat (FPDU)

FPDU dalam paparan pada sidang PAH I BP MPR pada intinya

menyatakan bahwa undang-undang yang mengatur otonomi daerah masih

berjalan lamban dan berubah-ubah tidak mencetus. Disisi lain pengaturan

pemerintahan daerah cenderung melakukan penyeragaman, padahal dalam

penjelasan pasal 18 tentang father menyatakan dalam teritorial negara

Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende landschappen dan

volkgemeenshappen seperti desa di Jawa dan Bali. Nagari di Minangkabau

dan sebagainya. Karena itu FPDU berpendapat bahwa pasal 18 tidak dapat

lagi mengatur secara keseluruhan pemerintahan daerah apalagi menata

hubungan daerah dan pusat. Selanjutnya FPDU mengusulkan perubahan pasal

18 yang berisi delapan item antara lain pada item kedua

“Setiap daerah otonom memilki DPRD yang dipilih oleh rakyat dalam suatu

pemilihan umum” dan item keempat “Setiap daerah memilki kepala

pemerintahan daerah atau kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat.

Kepala daerah dipilih langsung yang diusulkan FPDU harusnya dipahami

sebagaimana FPDU merumuskan anggota DPRD yang juga dipilih oleh

rakyat melalui pemilihan umum. Dengan demikian kepala daerah dipilih oleh

rakyat adalah dipilih melalui pemilihan umum.

10
e. Fraksi Kesatuan dan Kebangsaan Indonesia (FKKI)

Pada sidang PAH I BP MPR tanggal 29 Mei 2000 yang membahas

BAB VI FKKI pada intinya menilai bahwa tuntutan-tuntutan daerah yang

menginginkan otonomi luas, usulan federalistik dan bahkan menjadi daerah

yang merdeka pada dasarnya karena ketidakpuasan terhadap penyelenggaraan

pemerintahan yang selama ini sentralistik.

Pemberdayaan masyarakat dan peningkatan kualitas pelayanan umum

masih jauh dari yang seharusnya bahkan ada kesan kurang dilaksanakannya

secara sungguh-sungguh otonomi daerah. Jaminan terhadap harmonisasi

hubungan antara pemerintah pusat dan daerah harus diawali dengan

mengganti paradigma ketergantungan dengan paradigma kemitraan.

Pemerintah daerah harus dipandang sebagai mitra sejajar pemerintah pusat.

Ini berarti bahwa kekuasaan, kewenangan untuk mengatur penyelenggaraan

pemerintah menjadi milik bersama antara pemerintah pusat dan daerah.

Pembagian kewenangan pusat dan daerah harus dilakukan dengan

kesepakatan bersama. Selama ini kita terjebak pada paradigma pusat dan

daerah yang mempertentangkan pusat dan daerah. Selanjutnya untuk

menjamin hak-hak rakyat di daerah, FKKI mengusulkan perubahan pasal 18

yang antara lain berisi “Berkenaan dengan pemilihan Presiden dan Wakil

Presiden yang langsung, maka kami mengusulkan pula pemilihan Gubernur,

Bupati, dan Walikota juga dipilih secara langsung”. Dalam pembahasan

PAH I BP MPR Fraksi-Fraksi lain tidak memberikan pendapat baik secara

implisit maupun secara eksplisit mengenai tata cara pemilihan kepala daerah.

11
Hasil dari pembahasan PAH I BP MPR tersebut dilanjutkan pada sidang-

sidang komisi A, sidang pleno MPR pada bulan Agustus tahun 2000

mengenai pemilihan Kepala Daerah, beberapa fraksi mengemukakan

pendapatnya sebagai berikut :

a. Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB)

KH. Habib Syarif Muhammad Al Idrus dari FPKB, pada akhirnya

menyampaikan pokok pikiran bahwa aspirasi yang berkembang di bawah

nampaknya kecenderungan untuk bisa memiliki Gubernur. Walikota atau

Bupati yang dipilih langsung oleh masyarakat sangat tinggi, selanjutnya

dalam paparannya secara tegas dinyatakan “Oleh karena itu kami

mengusulkan apabila kata-kata demokratis ini diganti dengan kata-kata

dipilih langsung”

b. Fraksi Partai Kesatuan dan Kebangsaan Indonesia (FPKKI)

Markus Mali dari FKKI menyampaikan berbagai hal mengenai

perubahan pasal 18 yang salah satunya menyoroti pemilihan Kepala Daerah.

Inti pokok pikiran yang disampaikan adalah untuk mencegah money politic

dalam pemilihan kepala daerah, maka sebaiknya pemilihan kepala daerah

dilakukan secara langsung. Secara tegas dinyatakan “Untuk itu, kami sepakat

pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota itu pemilihan langsung dari rakyat,

sehingga rakyat merasakan bahwa memang ini pimpinan miliknya”. Dari

paparan FPKKI ini, pemilihan kepala daerah secara langsung memilki makna

12
untuk mengurangi money politic dan agar rakyat Indonesia merasa bahwa

kepala daerah terpilih adalah figur kehendaknya.

c. Fraksi Utusan Golongan (FUG)

Nursyahbani Kacasungkana dari FUG menyoroti hampir keseluruhan isi

pasal 18 hasil PAH I BP MPR mengenai pemilihan kepala daerah inti

paparannya. Secara tegas menyatakan “Saya usulkan agar dipilih secara

demokratis itu diganti dengan langsung, atau bisa kompromi juga dipilih

secara demokratis dan langsung”. Kepala daerah dipilih secara langsung ini

menurut FUG juga agar koheren dengan seluruh sistem pemilihan dengan

sistem pemilihan yang juga diusulkan beberapa fraksi misalnya pemilihan

presiden secara langsung itu ditetapkan juga sampai ditingkat bawah.

d. Fraksi Partai Golkar (FPG)

H. Ibnu Munzir dari FPG menyampaikan pokok pikirannya dengan

menyoroti pasal 18 dari beberapa segi antara lain penghargaan Negara

terhadap hak rakyat, pemilihan kepala daerah, hubungan pusat dan daerah,

dan pemerintahan desa. Untuk pemilihan kepala daerah secara tegas

disampaikan. “Berkaitan dengan masalah pemilihan Gubernur (Kepala

Daerah) saya mendukung pendapat sebelumnya untuk pemilihan ini

dilaksanakan secara langsung”.

e. Fraksi Reformasi

H. Abdullah Ali dari Fraksi Reformasi pada inti paparannya menguraikan

kewajiban negara melindungi hak-hak istimewa yang dimiliki daerah,

13
pemilihan kepala daerah dan pemberian otonomi luas kepala daerah.

Mengenai pemilihan kepala daerah secara tegas mengutarakan “Saya ingin

menggaris bawahi apa yang dikatakan oleh terdahulu bahwa Gubernur,

Bupati dan Walikota dipilih secara langsung oleh rakyat yang pelaksanaannya

diatur dalam undang-undang.

Pembicara lain dari fraksi reformasi Imam Addaruqatmi menimpali dan

menggaris bawahi keberatan dengan pencantuman pemilihan kepala daerah

keberatan dilakukan secara demokratis. Secara tegas ia mengusulkan agar

pasal 18 gubernur dan seterusnya dipilih secara langsung. Selanjutnya juga

disampaikan : ”Karena itu kata demokratis memang seharusnya dihapus

karena kita sudah muak dengan penuangan seperti itu. Karena itu pemilihan

langsung labih jelas, karena demokratis itu sering kali tidak jelas.

f. Fraksi Partai Daulat Umat (FPDU)

H. Abdullah Alwahdi dari FPDU dalam paparannya menyoroti dua hal,

bahwa negara harus tegas dicantumkan mengakui dan melindungi masyarakat

ulayat dan hak-haknya yang melekat serta pemilihan kepala daerah mengenai

pemilihan kepala daerah diusulkan agar secara tegas rumusan gubernur,

bupati, dan walikota dipilih secara demokratis yang pelaksanaannya diatur

oleh UU diusulkan dengan rumusan konkrit. “Gubernur, Bupati dan Walikota

dipilih secara langsung yang pelaksanaannya diatur dalam undang-undang”.

Dari uraian tersebut di atas terlihat bahwa perdebatan mengenai

pemilihan Kepala Daerah secara langsung sangatlah alot. Hal ini

menunjukkan bahwa perlu ada penyempurnaan sistem dan aturan yang ada

14
karena dinilai tidak relevan lagi. Walhasil, model pemilihan kepala daerah

juga dipilih secara langsung berdasarkan hasil menurut Ramlan Surbakti

secara substansial maupun tahapan pelaksanaannya.

Pemilihan Kepala Daerah merupakan pemilihan umum pengaturan

tentang Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dalam UU

No. 32 Tahun 2004 disusun berdasarkan ketentuan Pasal 22 E Ayat (1)

mengenai azas pemilihan umum (Luber dan Jurdil) sehingga pemilihan

Kepala Daerah dapat dikategorikan sebagai rezim pemilihan umum semenjak

adanya perubahan terhadap UU No. 32 Tahun 2004 tersebut.

Dengan demikian, pemilihan Kepala Daerah merupakan perwujudan

kedaulatan rakyat seperti yang dimaksud dalam pasal 1 ayat (2) UUD 1945.

Melalui pemilihan Kepala Daerah langsung ekspresi nyata kedaulatan

rakyat lebih terjamin dibanding mekanisme lainnya. Pemilihan Kepala

Daerah langsung juga merupakan pelaksanaan dari jaminan konstitusi hak-

hak rakyat untuk turut serta dalam pemerintahan. Dalam UUD 1945 hak ini

dijamin dalam pasal 27 ayat (1) pasal 28 C ayat (2) dan dalam pasal 28 D

ayat (3).

Selain mengenai jaminan hak turut serta dalam pemerintahan, terdapat

berbagai ketentuan dalam UUD 1945 yang secara langsung memberikan

landasan yuridis bagi pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah langsung.

Ketentuan yang paling kongkrit mengatur soal pemilihan Kepala Daerah

terdapat pada pasal 18 ayat (4) UUD 1945, yang menyebutkan Gubernur,

15
Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah daerah

propinsi, kabupaten dan kota dipilih secara “Demokratis”

Memang dalam pasal tersebut tidak ditentukan bahwa pemilihan

Gubernur, Bupati dan Walikota harus dilakukan dengan pemilihan “langsung”

seperti ketentuan yang mengatur tentang pemilihan presiden, namun oleh

pembentuk undang-undang kata “Demokratis” antara lain ditafsirkan bahwa

pemilihan Kepala Daerah dilakukan secara langsung.

16
Rekrutmen Kepala Daerah dalam Lintasan Sejarah

Dalam sistem Pemilihan Kepala Daerah (Proses rekrutmen) merupakan

perjalanan politik panjang yang diwarnai tarik menarik antara kepentingan dan

kehendak publik, kepentingan pemerintah pusat dan pemerintah daerah, atau bahkan

antara kepentingan nasional dan internasional.

Dari perspektif sejarah rekrutmen politik Kepala Daerah, ada semacam

mising link (rantai yang hilang) jika kita membangun argumen hanya dengan

membandingkan. Pemilihan Kepala Daerah antara sistem pemilihan perwakilan

(menurut UU No. 22 tahun 1999). Dengan sistem pemilihan langsung (menurut UU

No. 32 tahun 2004). Sejarah politik mencatat, pemilihan Kepala Daerah telah

dilakukan dalam 4 (empat) sistem :

1. Sistem Penunjukkan atau pengangkatan oleh pusat (Masa kolonial Belanda,

Penjajahan Jepang). UU No. 27 tahun 1902. Kemudian UU No. 22 tahun 1948

dan UU No. 1 tahun 1957, ketika berlakunya sistem parlementer yang liberal.

Pada masa itu, baik sebelum dan sesudah pemilihan umum 1955 tidak ada partai

politik yang mayoritas tunggal. Akibatnya pemerintah pusat yang dipimpin oleh

Perdana Menteri sebagai hasil koalisi Partai mendapat biasnya sampai kebawah.

2. Sistem pununjukan (Penetapan Presiden No. 6 tahun 1959 jo Penetapan Presiden

No. 5 tahun 1960 : UU No. 6 dan UU No. 18 tahun 1956). Yang lebih dikenal

dengan era Dekrit Presiden ketika ditetapkannya Demokrasi terpimpin.

Penerapan Penetapan Presiden No. 6 tahun 1959 jo Penetapan Presiden No. 5

tahun 1960 disertai alasan “Situasi yang memaksa”

17
3. Sistem pemilihan perwakilan (UU No. 5 tahun 1974). Di era Demokrasi

Pancasila, Pemilihan Kepala Daerah dipilih secara murni oleh lembaga DPRD

dan kemudian calon yang dipilih itu akan ditentukan Kepala Daerahnya oleh

Presiden.

4. Sistem pemilihan perwakilan (UU No. 18 tahun 1965 dan UU No 22 tahun

1999). Dimana Kepala Daerah dipilih secara murni oleh Lembaga DPRD tanpa

intervensi pemerintah pusat.

5. Sistem pemilihan langsung (UU No. 32 tahun 2004). Dimana Kepala Daerah

dipilih langsung oleh rakyat.

Dari sistem pemilihan perwakilan semula (UU No. 5 tahun 1974). Juga

ditemukan penyimpangan yang cukup menarik, Syaukani. HR, Afan Gaffar dan

M. Ryaas Rasyid menggambarkan, bahwa rekrutmen, politik lokal ditentukan oleh

orang Jakarta, khususnya pejabat Depdagri untuk pengisian jabatan, Bupati,

Walikota. Sekretaris Daerah dan Kepala-kepala Dinas di propinsi. Sementara untuk

jabatan Gubernur ditentukan oleh Depdagri, Markas Besar TNI dan Sekretaris

Negara.

Pendapat tersebut mengindikasikan bahwa pengisian jabatan kepala daerah

dengan sistem penunjukkan atau pengangkatan dan sistem perwakilan semua

mengundang kelemahan yang dalam konteks demokrasi termasuk kategori

substansial, yaitu :

1) Tidak adanya mekanisme pemilihan yang teratur dengan tenggang waktu yang

jelas, kompetitif, jujur dan adil.

18
2) Sempitnya rotasi kekuasaan, sehingga jabatan Kepala Daerah dipegang terus

menerus oleh seseorang atau keluarganya atau dari partai tertentu.

3) Tidak adanya rekrutmen secara terbuka yang menutup ruang kompetisi, sehingga

tidak orang/kelompok mempunyai hak dan peluang yang sama.

4) Lemahnya akuntabilitas publik.

Pengisian jabatan Kepala Daerah yang disebut pemilihan adalah

berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 dan PP No. 151 tahun 2000. Sistem perwakilan

melalui DPRD dapat memungkinkan terwujudnya mekanisme pemilihan teratur.

Rotasi kekuasaan, keterbukaan rekrutmen, dan angkutabilitas publik. Artinya secara

substansi demokrasi tidak terlalu bermasalah namun, karena prosedur tidak

dilakukan secara konsisten dan terbuka, maka pemilihan kepala daerah hampir-

hampir sama sekali dikesampingkan. Sejak dari tahap awal hingga selesainya

prosesi, kewenangan besar ditangan DPRD. Dengan kata lain, tahapan-tahapan yang

dilalui tidak lebih sebatas formalitas belaka. Penyimpangan lain yang harus digaris

bawahi adalah maraknya dugaan kasus money politics dan intervensi pengurus

parpol, baik di level lokal maupun pusat.

Situasi pemilihan kepala daerah sesuai dengan ketentuan UU No. 20 tahun

1999 dan PP No. 151 tahun 2000 sering digambarkan sebagai kemandegan atau

kebekuan demokrasi. Akibat lemahnya kualitas DPRDD yang mencakup komitmen

orientasi dan akuntabilitas publik.

Pada dasarnya sistem pemilihan kepala daerah dapat membuka akses

peningkatan kualitas demokrasi ditingkat lokal. Namun, kualitas demokrasi di daerah

sebenarnya harus didasarkan pada banyak hal khususnya menyangkut penerapan

19
prinsip transparansi anggaran, akomodasi kepentingan-kepentingan masyarakat

dalam mengambil keputusan atau Perda, peningkatan kapasitas pemerintah daerah

dalam melaksanakan urusan atau tanggung jawabnya yang berhubungan dengan

peningkatan kualitas pelayanan publik dan lain sebagainya.

Peningkatan kualitas demokrasi lokal dapat dipengaruhi oleh sejumlah

faktor yang lazim disebut prakondisi demokrasi lokal.

Prakondisi demokrasi tersebut mencakup :

1). Kualitas DPRD yang baik

2). Sistem rekrutmen DPRD yang kompetitif, selektyif dan ankulebel

3). Partai yang berfungsi

4). Pemilih yang kritis dan rasional

5). Kebebasan dan konsistensi pers

6). LSM yang solid dan konsisten

7). Keberdayaan masyarakat madani (civil society)

Di sisi lain partai-partai politik belum berfungsi dengan baik dalam hal

pendidikan dan pendewasaan politik. Mereka kurang berorientasi pada pendidikan

politik terhadap rakyat. Realitas lain, rakyat kurang memiliki akses mempengaruhi

keputusan publik yang dilahirkan dari kepala daerah.

Walaupun secara formal ada medium yang memungkinkan ketertiban dan

berlangsung fungsi kontrol, misalnya melalui LSM, parpol dan media massa akan

tetapi secara empiris hal ini masih kurang efektif dalam kondisi dan situasi tersebut

dapat memudahkan seseorang bisa terpilih menjadi kepala daerah asal mampu

menanamkan pengaruh dikalangan mayoritas DPRD untuk memilihnya.

20
Konsekuensinya mekanisme checks and balances tidak berjalan sehingga kedudukan

dan posisi kepala daerah sebagai pengambil keputusan publik sangat menentukan

arah dan strategi peningkatan kwalitas demokrasi lokal. Diharapkan kewenangan

seseorang kepala daerah bisa memainkan peran sebagai motivator, fasilitator dan

sekaligus aktor demokratisasi lokal.

Pada konteks itu, pemilihan kepala daerah dengan sistem perwakilan bukan

alternatif buruk bagi peningkatan kualitas demokrasi di tingkat lokal. Sistem tersebut

membuka peluang terpilihnya kepala daerah yang bermoral, dan memilki integritas,

profesional dan akuntabel. Namun efektifitas sistem itu bergantung penuh pada

kualitas DPRD. Faktanya orientasi dan tindakan politik DPRD tidak seperti

dikehendaki rakyat. Atas dasar itulah, pemilihan kepala daerah secara langsung

berdasarkan ketentuan UU No. 32 tahun 2004 merupakan jalan keluar yang baik,

untuk mencairkan kebekuan demokrasi/praktik pemilihan kepala daerah UU No. 22

tahun 1999. Ketentuan pemilihan kepala daerah langsung terletak pada pembentukan

dan implikasi legitimasinya yang terpisah dari DPRD sehingga harus dipilih sendiri

oleh rakyat. Mereka juga harus bertanggung jawab kepada rakyat.

Dengan pemilihan terpisah, kepala daerah memilki kekuatan yang seimbang

dengan DPRD. Sehingga mekanisme cheeks and balances niscaya akan berjalan

dengan baik. Dengan demikian, kepala daerah akan lebih mampu mengoptimalkan

fungsi pemerintahan daerah.

Pemilihan kepala daerah langsung tidak dengan sendirinya menjamin

peningkatan kualitas demokrasi itu sendiri, akan tetapi dapat membuka akses

terhadap peningkatan demokrasi tersebut. Akses tersebut terletak pada berfungsinya

21
mekanisme cheeks and balance. Dimensi cheeks and balance meliputi hubungan

kepala daerah dengan rakyat, DPRD dengan rakyat, kepala daerah dengan DPRD,

DPRD dengan kepala daerah dan DPRD dituntut memenuhi janji-janji kampanye,

mengakomodasi aspirasi masyarakat dalam pembuatan kebijakan publik dan Perda.

DPRD wajib mengontrol kepala daerah dalam pembuatan kebijakan publik dan

Perda. Yudikatif memainkan peran dalam hal supremasi hukum atas perilaku kepala

daerah dan DPRD, baik dalam kapasitas pribadi maupun dalam menjalankan

fungsinya.

1. Bagaimanakah mewujudkan pemilu yang lebih berkualitas ?

Pemilu yang berkualitas pada dasarnya dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi

proses dan hasilnya “Pemilu dapat dikatakan berkualitas dari “sisi prosesnya”

apabila pemilu itu berlangsung secara demokratis, aman, tertib dan lancar, serta

jujur dan adil. Sedangkan apabila dilihat dari sisi hasilnya pemilu itu harus dapat

menghasilkan wakil-wakil rakyat yang mampu mensejahterakan rakyat,

di samping dapat pula mengangkat harkat dan martabat bangsa dimata dunia

internasional.

Dengan kata lain dapat disebutkan bahwa pemilu yang berkualitas apabila

dilihat dari sisi hasilnya adalah pemilu yang menghasilkan wakil-wakil rakyat

dan pemimpin negara yang mampu mensejahterakan rakyat, mewujudkan cita-

cita nasional, sebagaimana tercantum dalam pembukaan UU Negara Republik

Indonesia tahun 1945 yaitu : “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh

tumpah darah negara Indonesia dan untuk mewujudkan kesejahteraan umum,

22
mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia, yang

berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.

Pemilu 2009 dapat dikatakan sukses dilihat dari sisi prosesnya, karena telah

berlangsung secara demokratis, aman, tertib dan lancar serta jujur dan adil,

walaupun kita harus mengakui, bahwa di sana sini masih terdapat kekurangan-

kekurangan namun kedepan harus diperbaiki agar bisa diwujudkan suatu pemilu

yang lebih berkualitas.

Pemilu dilihat dari sisi hasilnya, secara jujur kita harus mengakui, bahwa

hasilnya belum sesuai dengan harapan masyarakat, karena ternyata wakil-wakil

rakyat dengan duduk sebagai anggota DPR dan DPRD. Belum mampu

mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat yang diwakilinya dan juga belum mampu

meningkatkan harkat dan martabat bangsa di mata dunia internasional. Mereka

sangat lamban merespons masalah-masalah yang timbul di dalam masyarakat

dan dalam pembahasan suatu rancangan UU. Sering berlarut-lerut karena terlibat

dalam perdebatan-perdebatan oleh kepentingan pribadi dan golongan. Undang-

undang yang dihasilkan sering tidak memihak kepada kepentingan rakyat

banyak. Di samping itu DPR dan DPRD dalam bertindak baik sebagai lembaga

maupun sebagai anggota, sering lebih mengutamakan kepentingan pribadi dan

golongan dari pada kepentingan rakyat banyak. Tidak jarang terjadi anggota

dewan melakukan perbuatan yang tercela yang tidak sesuai dengan harkat dan

martabatnya sebagai anggota dewan, seperti melakukan perbuatan korupsi,

pelecehan seksual, perselingkuhan, penyalahgunaan narkoba, penipuan dan

perbuatan tercela lainya.

23
Kesalahan yang menyebabkan kurang berkualitasnya hasil pemilu dan

sering ditimpakan kepada KPU sebagai penyelenggara pemilu, dianggap tidak

mampu menyeleksi para calon anggota dengan baik, sehingga meloloskan calon-

calon yang tidak berkualitas. Dalam hal ini, kita harus menilai dengan jernih dan

objektif, sehingga kesalahan ini tidak ditimpakan sepenuhnya kepada KPU

beserta jajarannya.

Tugas KPU beserta jajarannya melakukan verifikasi terhadap persyaratan

calon-calon yang diajukan oleh partai politik peserta pemilu. KPU melakukan

verifikasi terhadap para calon berdasarkan syarat formal (administratif) sebagai

mana yang diatur dalam perundang-undangan.

Mengenai kualitas moral, kualitas intelektual, dan keterampilan profesional

yang dimilki oleh seorang calon tidak bisa diukur oleh KPU, berdasarkan syarat-

syarat formal sebagai mana diatur dalam peraturan perundang-undangan karena

syarat tersebut lebih menekankan pada aspek formal semata, tanpa bisa

mengukur aspek substansinya. Mengenai syarat substansial ini yaitu bagaimana

kualitas seorang calon yang sebenarnya. Seharusnya parpollah yang lebih tahu,

karena parpol talah melakukan pembinaan terhadap kadar-kadarnya dalam waktu

yang lama. Oleh karena itu apabila kita ingin pemilu menghasilkan wakil-wakil

rakyat yang berkwalitas, maka parpol sebagai penyedia bahan baku, harus

menyusun daftar calon berdasarkan kualitas, baik kualitas moral, kualitas

intelektual maupun keterampilan profesional yang dimilki kadarnya bukan

berdasarkan pertimbangan-pertimbangan lain, seperti hubungan keluarga jumlah

setoran dan sebagainya.

24
Selama ini justru sebaliknya, seseorang kader parpol masuk daftar calon

bukan karena kualitasnya, tetapi berdasarkan berapa banyak kontribusi yang

dapat diberikan kepada partai, dan biasanya hal ini dalam bentuk uang. Apalagi

pada waktu pemilu kita masih menggunakan nomor urut sebagai salah satu cara

untuk menentukan calon terpilih, sehingga kader-kader tertentu tidak segan-

segan mengeluarkan sejumlah uang untuk mendapatkan nomor urut, yang

mempunyai peluang besar untuk terpilih. Kenyataan ini terjadi hampir disemua

partai politik peserta pemilu, karena hal ini salah satu untuk menghimpun dana,

guna membiayai kegiatan partai politik. Hal ini pulalah yang menyebabkan

masih adanya parpol yang ingin mempertahankan nomor urut sebagai salah satu

cara untuk menentukan calon terpilih. Padahal kita menyadari, bahwa penentuan

calon terpilih berdasarkan nomor urut tersebut. Dapat mencederai prinsip-prinsip

demokrasi dalam pemilu yang ingin mengembalikan kedaulatan sepenuhnya

kedaulatan ketangan rakyat, dan juga akan berakibat seorang anggota dewan

lebih merasa dirinya sebagai wakil parpol dari pada sebagai wakil rakyat.

Untuk mewujudkan pemilu yang lebih berkualitas di masa depan, maka

parpol harus mampu menempatkan para kadernya dalam daftar calon

berdasarkan kualitas, bukan berdasarkan pertimbangan lain, terutama yang

berkaitan dengan uang.

25
2. Pemilukada (Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung)

Dalam sistem demokrasi ada dua makna yang terkandung yakni demokrasi

prosedural dan substansional. Demokrasi prosedural bisa dimaknai pelaksanaan

pemilahan kepala daerah secara langsung, ada aturan, pelaksana hingga rakyat

memilki media untuk memilih pemimpinnya secara demokratis.

Demokrasi jenis ini hanya pada tuturan perangkat pelaksana dan

pelaksanannya saja yang secara mekanisme sudah mengandung nilai-nilai

demokrasi. Dalam definisi seperti itu maka bangsa Indonesia sudah layak

disebut sebagai negara yang melaksanakan demokrasi. Bentuknya

dilaksanakannya pemilu, dan pilkada langsung.

Sedangkan demokrasi substansial, bisa dimaknai bahwa demokrasi tidak

hanya persoalan perangkat atau pelaksanaan pilkada saja. Tapi demokrasi ini

lebih mementingkan isi dan kualitasnya. Demokrasi adalah menjadi media untuk

mewujudkan kesejahteraan masyarakat haruslah bisa diwujudkan pilkada yang

menjadi media memilih pemimpin harus bisa membawa efek kesejahteraan dan

kemakmuran masyarakat.

Setelah dilaksanakan pilkada maka diharapkan akan membawa perubahan

bagi rakyat menuju kearah yang lebih baik. Tidak hanya sekedar melaksanakan

pilkada tapi tidak membawa aspek perubahan apa-apa ini yang harus dihindari.

Melalui demokrasi presedural diharapkan akan melahirkan demokrasi

substansial.

Pilkada langsung adalah instrumen untuk meningkatkan participatory

demokcracy, demokrasi bersifat lokal, maka salah satu tujuan pilkada adalah,

26
memperkuat legitimasi demokrasi. Pemilihan kepala daerah hanyalah salah satu

jalur untuk mengimplementasikan demokrasi. Dalam praktiknya banyak sekali

bentuk-bentuk dalam mengimplimentasikan demokrasi. Uji coba konsep

demokrasi di negeri ini sejak kemerdekaan hingga sekarang masih mencari

bentuk yang tepat. Dulu ada Demokrasi terpimpin Soekarno, Demokrasi

Pancasila dan kini demokrasi yang mengarah pada liberal yang terjadi setelah

era reformasi. Beberapa waktu lalu juga ada usul pembina Golkar Akbar Tanjung

penghapusan pilkada langsung, karena dinilai terlalu boros.

Barangkali ada yang menganggap apapun model demokrasi yang

diterapkan, ternyata belum bisa mewujudkan cita-cita kemakmuran dan

kesejahteraan rakyat. Kalau dulu di era Orde Baru rakyat sempat mengenyam

bahan-bahan pokok yang murah dan mudah didapat, tapi harus diakui kehidupan

kebebasan demokrasi terbatas dan dibatasi sistem pemeritahan orde baru sangat

sentralistik dan pemerintahan di daerah hanya dijadikan komoditas saja. Namun,

keadaan yang demikian kurang berpengaruh terhadap kalangan masyarakat

bawah/ biasa, yang penting dia bisa memenuhi kebutuhan mereka karena bahan-

bahan pokok yang murah dan mudah didapat. Lain halnya dengan kepentingan

dikalangan birokrasi dan para elit politik yang selalu ambisius dengan

memperebutkan kekuasaan sehingga kepedulian untuk mewujudkan

kesejahteraan dan kemakmuran rakyat akhirnya terabaikan.

Demokrasi dalam bentuk pilkada langsung memang memiliki banyak

kerawanan terjadinya konflik, terutama konflik horisontal antara pendukung

27
kepala daerah. Sepertinya demokrasi liberal menemui batu sandungan ketika

demokrasi lokal malah makin meningkatkan eskalasi konflik yang mengakar.

Demokrasi dalam pilkada tidak hanya urusan untuk meraih kemenangan dan

tidak mau mengalah. Demokrasi dalam bentuk pilkada harus dimaknai sebagai

salah satu cara kita untuk mencapai tujuan yang lebih utama yaitu mewujudkan

kesejahteraan rakyat.

Kita berharap antara demokrasi dan kesejahteraan rakyat bisa berjalan

sejajar. Satu sisi demokrasi sangatlah penting tapi mewujudkan kesejahteraan

dan kemakmuran rakyat juga sangat penting.

Secara ideal proses demokrasi ini akan berujung untuk melahirkan seorang

pemimpin yang demokratis mampu menuju kesejahteraan rakyat dan bisa

menstabilkan pemerintahannya. Inilah yang disebut kepala daerah yang

berkualitas.

Ada banyak kendala yang sering menjadikan pilkada menjadi tidak

berkualitas yang menjadikan kegagalan pilkada, diantaranya masih banyaknya

ketidak dewasaan aktor politik, tidak matangnya institusi partai, lemahnya

sistem penyelenggara dan lemahnya pencatatan penduduk, dan masih rendahnya

pengetahuan politik masyarakat.

Mewujudkan pilkada yang berkualitas harus didukung oleh berbagai pihak

yang paling utama barangkali harus diawali oleh calon pemimpin yang akan

bertarung, selain itu didukung oleh elit politik, unsur birokrat, penegak hukum,

LSM, praktisi, organisasi sosial, keagamaan dan seluruh komponen masyarakat.

28
Logika yang mengandung bahwa pilkada adalah sebuah proyek haruslah

dihilangkan. Pembuangan logika ini tidak hanya untuk para aktor pemiliknya

saja, tapi untuk semua lapisan masyarakat. Pada saat yang sama jika ada calon

kepala daerah yang menggunakan uang dalam merebut kemenangannya otomatis

calon ini akan mengeluarkan uang yang tidak sedikit untuk dibagi kepada

masyarakat (money politik)

Lalu kalau sudah menjadi Gubernur/Bupati/Walikota akan mencari timbal

balik agar modal yang telah dikeluarkan pada saat pencalonan bisa kembali.

Maka sudah bisa dipastikan, sumber dana yang akan digali adalah melalui

korupsi karena kalau mengandalkan gaji selama lima tahun jadi gubernur,

bupati, walikota tidak akan bisa terpenuhi.

Kelangsungan pemerintah di daerah. Untuk itu ditengah pembangunan

demokrasi lokal haruslah diimbangi dengan kesiapan semua pihak untuk

mewujudkan pilkada yang berkualitas.

29
Analisa

Pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan salah satu tujuan dari

desentralisasi dalam kerangka otonomi daerah. Desentralisasi secara garis besar

mencakup dua aspek, yaitu desentralisasi administrasi dan desentralisasi politik.

Desentralisasi administrasi memaknai desentralisasi sebagai delegasi

wewenang administrasi dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.

Sedangkan desentralisasi politik memaknai sebagai devolusi kekuasaan dari

pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.

Pemilihan kepala daerah merupakan salah satu instrumen untuk memenuhi

desentralisasi politik dimungkinkan terjadinya transfer lokal kekuasaan dari pusat

kepada daerah.

Pemilihan kepala daerah secara langsung, otomatis rakyat secara langsung

akan memilih pemimpin di daerahnya sekaligus memberikan legitimasi kepada siapa

yang berhak dan mampu untuk memerintah.

Semangat dilaksanakannya pemilihan kepala daerah secara langsung adalah

korelasi terhadap sistem demokrasi tidak langsung (perwakilan) di era sebelumnya.

Oleh karena itu, keputusan politik untuk menyelenggarakan pemilihan kepala daerah

adalah langkah strategis dalam rangka memperluas, memperdalam dan meningkatkan

kualitas demokrasi. Hal ini sejalan dengan semangat otonomi yaitu pengakuan

aspirasi dan inisiatif masyarakat lokal (daerah) untuk menentukan nasibnya sendiri.

Jika agenda desentralisasi dilihat dalam kerangka besar demokratisasi

kehidupan bangsa, maka pemilihan kepala daerah semestinya memberikan kontribusi

yang besar terhadap hal itu.

30
Selain semangat tersebut, sejumlah argumentasi dan asumsi yang

memperkuat pentingnya pemilihan kepala daerah langsung adalah :

1. Pemilihan kepala daerah diperlukan untuk meningkatkan kualitas akuntabilitas

para elit politik lokal termasuk kepala daerah.

2. Pemilihan kepala daerah diperlukan untuk menciptakan stabilitas politik dan

efektifitas pemerintahan di daerah lokal.

3. Pemilihan kepala daerah akan memperkuat dan meningkatkan kualitas seleksi

kepemimpinan nasional, karena makin terbuka peluang bagi munculnya

pemimpin-pemimpin nasional yang berasal dari bawah dan daerah.

Hal ini sejalan dengan salah satu tujuan desentralisasi dan otonomi daerah,

yaitu dalam rangka pelatihan dan kepemimpinan nasional.

Hadirnya pemilihan kepala daerah pada awalnya direspon oleh masyarakat

dengan antusiasme yang tinggi. Antusiasme masyarakat itu berkaitan dengan

terbukanya kesempatan bagi masyarakat untuk memilih dan menentukan secara

langsung kepala daerahnya.

Antusiasme juga merupakan begitu besar harapan ekspektasi terhadap kepala

daerah, yakni hasil pemilihan kepala daerah langsung. Hal itu lepas dari akumulasi

kekecewaan terhadap praktek pemerintahan lokal sebelum era pemilihan kepala

daerah langsung. Akan tetapi setelah tiga tahun berjalan, antusiasme masyarakat

terhadap proses dan hasil pemilihan kepala daerah makin berkurang atau menurun.

Hal ini bisa dilihat antara lain dari menurunnya tingkat partisipasi masyarakat dalam

pemilihan kepala daerah.

31
Penurunan ini sejalan dengan menurunnya keyakinan masyarakat terhadap

kemampuan kepala daerah, hasil pemilukada langsung. Selain itu, kondisi tersebut

didorong oleh kekecewaan masyarakat terhadap partai politik yang kerap kali

menyadarkan calon yang tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat sebagai hasil dari

proses pencalonan yang tidak demokratis dan kental nuansa KKN.

Kekecewaan itu memunculkan respon mulai dari menguatkannya apatisme

di kalangan masyarakat, gejala protest voters yang meluas hingga golput, serta

munculnya aspirasi calon perseorangan atau calon independen.

Di sisi lain pengaturan pemilihan kepala daerah berdasarkan UU No. 32 tahun

2004 mengandung sejumlah kelemahan baik dari sistem maupun aturan tekhnisnya.

Paradigma UU No. 32 tahun 2004 meletakkan pemilihan kepala daerah sebagai

domain pemerintahan daerah bukan domain pemilihan umum sehingga instrumen

pelaksana (penyelenggara) dan pelaksanaan (peraturan pelaksanaan/pemilihan kepala

daerah mengalami bias pengaruh (intervensi) pemerintah. Hal ini berimplikasi pada

independensi penyelenggara dan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah. Padahal

prinsip pemilihan langsung yang paling penting adalah penyelenggara yang

independen.

Lahirnya UU No. 22 tahun 2007 tentang penyelenggara pemilu telah merevisi

ketentuan penyelenggaraan di dalam UU No. 32 tahun 2004. UU No. 22 tahun 2007

meletakkan pemilihan kepala daerah sebagai bagian dari rezim pemilihan umum

sehingga KPU dengan independensinya bertanggung jawab menyelenggarakan

pemilukada.

32
Demikian juga dalam pembentukan badan pengawas pemilu (atau panitia

pengawas di tingkat lokal). UU No. 22 tahun 2007 mengatur pembentukan dan

rincian tugasnya serta dijamin independensinya.

Perubahan kedua UU No. 32 tahun 2004 yang dituangkan dalam UU No. 12

tahun 2008 juga telah melakukan revisi substansial terhadap penyelenggaraan

pemilihan kepala daerah khususnya dalam mengakomodasi hadirnya calon

perseorangan.

Pemilihan kepala daerah langsung memungkinkan terwujudnya penguatan

demokrasi di tingkat lokal, maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan berkaitan

dengan pelaksanaan pemilihan kepala daerah langsung ini adalah :

1. Pemilihan kepala daerah langsung memungkinkan terwujudnya penguatan

demokrasi ditingkat lokal khususnya pembangunan legitimasi politik. Ini

didasarkan pada asumsi bahwa kepala daerah yang terpilih memiliki mandat dan

legitimasi yang kuat, karena didukung oleh suara pemilih nyata (real voters) yang

merefleksikan konfigurasi kekuatan politik dan kepentingan konstituen pemilih.

Legitimasi politik ini merupakan modal politik penting dan sangat diperlukan

oleh suatu pemerintahan yang akan berkuasa.

2. Pemilukada langsung diharapkan mampu membangun serta mewujudkan local

acountability. Ketika seorang kandidat terpilih menjadi kepala daerah (Gubernur,

Bupati, Walikota) maka para wakil rakyat yang mendapat amanat akan

meningkatkan kualitas akuntabilitasnya (pertanggung jawabannya kepada rakyat,

khususnya konstituennya). Hal ini sangat mungkin dilakukan karena obligasi

33
moral dan penanaman modal politik menjadi kegiatan yang harus dilaksanakan

sebagai wujud pembangunan legitimasi politik.

3. Terciptanya optimalisasi mekanisme cheeks and balances antara lembaga-

lembaga pemerintahan yang dapat meningkatkan pemberdayaan masyarakat dan

penguatan demokrasi pada level lokal.

4. Pemilukada langsung diharapkan akan mampu meningkatkan kualitas kesadaran

politik. Pemilukada akan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk

menggunakan kearifan, kecerdasan dan kepedulian guna menentukan sendiri,

siapa yang dianggap layak dan pantas menjadi pemimpinnya.

Pemilihan Kepala Daerah langsung memang pada awalnya disambut pro

dan kontra, selain adanya harapan di tingkat lokal, muncul pula resistensi dengan

anggapan antara lain :

1. Anggapan bahwa sistem pemilihan kepala daerah langsung akan melemahkan

kedudukan DPRD. Legitimasi yang besar dari rakyat pemilih dikhawatirkan akan

menyebabkan kepala daerah memiliki kedudukan dan legitimasi yang sangat

kokoh atas DPRD yang pada akhirnya akan memperlemah kedudukan DPRD

terhadap kepala daerah. Pengalaman yang buruk pada orde baru, bahwa kepala

daerah memiliki kekuatan yang lebih besar dibandingkan dengan DPRD,

membuat para elite politik enggan menerima sistem pemilihan kepala daerah

secara langsung.

2. Sistem pemilukada secara langsung akan menelan biaya yang sangat besar,

karena tidak sedikit anggaran daerah (APBD) akan dikonsentrasikan pada KPUD

ditiap tingkatan.

34
3. Munculnya persaingan khusus antara calon independen dan calon dari partai

politik (kader partai).

4. Adanya pandangan bahwa masyarakat belum siap untuk melaksanakan pemilihan

kepala daerah secara langsung.

Terhadap berbagai anggapan tersebut bila dielaborasi lebih dalam, maka

secara teoritis dan logis dialektis dapat ditawarkan alternatif pemecahannya, bahwa

meningkatnya legitimasi kepala daerah yang dipilih secara langsung oleh rakyat

pemilih (voters) sebenarnya tidak berakibat langsung pada pelemahan posisi atau

kedudukan parlemen. Legitimasi kepala daerah yang kuat memang merupakan satu

hal yang menjadi tujuan pokok dari sistem pemilihan ini. Namun demikian bukan

berarti bahwa parlemen akan menjadi lemah, justru parlemen dapat berperan lebih

aktif dan efektif dalam melakukan pemantauan dan pengawasan (monitoring dan

evaluasi) terhadap kinerja kepala daerah langsung ini adalah terciptanya kondisi yang

lebih baik bagi pelaksanaan cheeks and balances dalam penyelenggaran negara dan

pemerintahan, karena baik kepala daerah maupun parlemen semakin tidak memiliki

peluang untuk menyalahgunakan kekuasaan. Pemilihan panitia pengawas yang baru,

pembuatan surat suara termasuk biaya operasional bagi panitia pelaksana sebagai

bagian integral dari proses pemilihan kepala daerah langsung. Tidak mengherankan

apabila biaya operasionalnya akan sangat besar.

Mengenai persaingan antara calon independen dan calon dari partai politik

menjadi perselisihan yang justru menelantarkan calon pilihan rakyat yang berasal

dari atus bawah (gress roots). Calon kepala daerah yang akan dipilih oleh rakyat, bisa

saja bukan berasal dari keinginan rakyat.

35
Kemunculan calon yang proses rekrutmennya hanya berasal dari partai

politik sering tidak mewakili aspirasi arus bawah, bahkan juga merupakan titipan

atau kepanjangan tangan dari elite partai yang bukan dari masyarakat. Idealnya harus

terbuka kesempatan bagi calon kepala daerah yang independen untuk

mempresentasikan keinginan rakyat arus bawah. Setiap warga negara memiliki hak

yang sama untuk menjadi pemilih ataupun dipilih. Artinya setiap warga baik dari

partai politik maupun dari calon independen dapat saja mencalonkan diri sebagai

kepala daerah dengan ketetapan-ketetapan atau aturan yang ditentukan oleh UU

maupun pihak KPUD.

Yang terpenting dari munculnya calon perseorangan diharapkan dapat

menjadikan daerah lebih baik dari sebelumnya.

1). Calon perseorangan harus memberikan kontribusi positif dalam rangka

perbaikan sistem politik (dan juga sistem kepartaian). Hadirnya calon

perseorangan harus memberikan kontribusi positif dalam rangka perbaikan

sistem politik (dan juga sistem kepartaian) hadirnya calon perseorangan

seharusnya tidak dipandang secara persial apalagi dihadap-hadapkan dengan

parpol keduanya, baik parpol maupun calon perseorangan. Harus dilihat dalam

perspektif yang integral sebagai faktor penting dari bangunan sistem politik di

Indonesia. Sehingga regulasi terhadap calon perseorangan sama pentingnya

dengan regulasi terhadap parpol.

36
2). Calon perseorangan harus dapat mengomfirmasi fungsi politik, seperti fungsi

agregasi kepentingan, fungsi komunikasi politik, dan lain-lain. Artinya calon

perseorangan juga harus terlembaga secara baik agar memilki kontribusi dalam

penguatan sistem politik.

3). Calon perseorangan harus jelas akuntabilitasnya dalam sistem demokrasi yang

dianut negara Indonesia. Kalau tidak, jangan-jangan calon perseorangan hanya

akan mengulangi kesalahan yang sering dialamatkan kepada parpol, yaitu

kecenderungan mengabaikan kepentingan masyarakat untuk sekedar ambisi

kekuasaan.

37
Peranan Hukum Terhadap Kasus Praktek “Money Politik”

 Praktek Money Politik

UU. No. 32 Tahun 2004 memuat beberapa ketentuan yang yang mempunyai

implikasi secara langsung kepada pasangan calon selaku peserta Pemilukada.

Implikasi hukum tersebut berupa pembatalan yang bersangkutan sebagai peserta

Pilkada Pemilukada jika terbukti telah melakukan tindakan yang dilarang UU.

Larangan yang termuat dalam UU. No. 32 Tahun 2004 adalah berkaitan

dengan praktek “Money Politik” dan menerima sumbangan dana kampanye dari

sumber yang secara tegas tidak diperbolehkan. Diantara persoalan yang banyak

terangkat kepermukaan dalam proses pelaksanaan pemilukada adalah perkenaan

dengan dugaan terjadi

Panwas pemilukada juga KPU yang dianggap sebagai institusi yang

bertanggung jawab terhadap jalannya pilkada sering memulai kecaman dari warga

masyarakat karena dianggap tidak mengambil tindakan terhadap pelakukanya.

Informasi yang banyak beredar dimasyarakat berkaitan dengan “Money

politics adalah membagi-bagikan uang sebelum dan menjelang hari pemungutan

suara, membagikan sarung, sejadah, kain, kerudung bahkan ada yang ada

membagikan sembako ditiap desa sebelum pelaksanaan pemilukada bupati/

kabupaten.

Kegiatan pembagian baju kaos, bensin, uang saku yang sering dilaksanakan

oleh pasangan calon ketika menjelang pelaksanaan kampanye.

Pertanyaan muncul adalah apakah praktek seperti itu termasuk biaya politik

ataukah politik uang (money politics) yang dilarang oleh UU ?

38
Untuk menjawab pertanyaan tersebut tidaklah begitu mudah karena meski ada

aturan nominatif yang dapat dijadikan dasar.

Namun sampai pada kesimpulan bahwa praktek yang terjadi atau politik uang

memerlukan analisis yang cukup mendalam.

UU No. 32 tahun 2004 pada pasal 82 telah memuat aturan yang cukup tegas

mengenai larangan bagi pasangan calon dan / atau tim kampanye yang menjanjikan

dan / atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi pemilih.

Sanksi yang dikenakan terhadap pasangan calon dan / atau tim kampanye yang

melanggar ketentuan tersebut dan terbukti dalam pemeriksaan dipengadilan adalah

pembatalan sebagai pasangan calon.

Para praktisi hukum terutama mereka yang bertugas dalam penegakan hukum

selalu memulai kajiannya. Apakah hal tersebut bertentangan dengan ketentuan UU

salah satu unsur penting dalam pasal yang memuat tentang larangan “Money

politics” tersebut adalah adanya upaya untuk “mempengaruhi pemilih”. UU No. 32

tahun 2004 bahwa ketentuan pasal ini sudah jelas.

Selain itu pengenaan sanksi secara politik berapa pembatasan, sebagai

pasangan calon adalah : jika yang terbukti melakukan money politics adalah

pasangan calon itu sendiri atau tim kampanye. Mereka yang disebut tim kampanye

adalah orang-orang yang terdaftar secara resmi sebagai tim kampanye di KPUD

setempat.

Kenyataan dilapangan memberikan data bahwa yang melaukan kegiatan

“membagikan uang dan atau materi lainnya” itu adalah sekelompok orang yang

dikenal dalam masyarakat dengan sebutan tim sukses.

39
Istilah tim sukses tidak ditemukan dalam terminologi UU No. 32 tahun 2004.

Mengangkat kasus dan tuduhan melakukan money politics bukan persoalan

yang begitu mudah dalam aspek pembuktian secara hukum. Oleh karena tim sukses

berada pada lapisan yang sangat jauh dari pasangan calon dan tim kampanye resmi.

Maka ada kemungkinan dalam pemeriksaan secara hukum mereka ini tidak diakui

sebagai bagian dari pasangan calon yang bersangkutan.

Selain kendala pembuktian secara hukum yang relatif sulit, sanksi yang

disebutkan pada pasal 82 UU No. 32 tahun 2004 juga tidak efektif karena bahasa UU

menggunakan istilah pembatalan pasangan calon, sebab bukannya pasangan calon

yang melaksanakan pembagian uang, baju, kaos, uang bensin dan lain-lain yang

tujuannya untuk mempengaruhi para pemilih akan tetapi melainkan tim sukses yang

bergerak. Hal ini bisa dibuktikan contohnya seperti situasi didalam rumah tahanan

negara sesuai pengamatan ketika pada saat mau menjelang pemilukada atau pemilu

legeslatif. Maka semua warga binaan didalam rutan sangat bergembira sekali karena

akan ada apa yang disenut “serangan fajar”. Ada pembagian mulai dari kain sarung,

peci, sejadah, baju kaos ataupun baju koko dan mukena sampai uang saku keadaan

yang demikian ini sering didukung oleh pegawai rtan itu sendiri. Bukannya tim

suksesnya masuk kedalam rutan tapi melainkan salah satu pegawai rutan itu sendiri

yang membagi-bagikan bingkisan itu.

Dalam kondisi ini bisa kita bayangkan antara pasangan calon dengan tim

sukse itu jauh sekali lapisannya apalagi kalau dimotori atau didukung oleh salah satu

pegawai rutan, akan tambah jauh lagi lapisannya.

40
Kalau pelaksanaan serangan fajar seperti yang kita sebutkan diatas ini ada

penafsiran merupakan indikasi “money politics” bisakah hukum menjerat pelaku ?

Jadi jelas sanksi yang disebutkan pada pasal 82 UU No. 32 itu tidak efektif

karena keterlibatan praktek money politics bukannya dilaksanakan oleh pasangan

calon atau tim kampanye tapi pelaksanaannya dilakukan oleh tim sukses. Tim sukses

yang mana ? untuk pembuktiannya juga relatif sulit seandainya hukum seperti nya

tidak bisa menjerat tim sukses sebagai pelaku sebab pasal 82 UU No. 32 tahun 2004,

tidak menyebutkan sanksi untuk tim sukses, dalam UU menyebutkan jika terbukti

pasangan calon dan / atau tim kampanye yang melaksanakan praktek “money

politics” sanksi nya adalah “pembatalan pasangan calon” bukannya menjerat tim

sukses sebagai pelaku praktek money politics.

41
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dalam sistem pemilihan kepala daerah (proses rekrutmen) merupakan

perjalanan politik yang panjang yang diwarnai tarik menarik antara kepentingan

elit dan kehendak publik, kepentingan pemerintah dan pemerintah daerah atau

bahkan antara kepentingan nasional dan internasinal.

UUD 1945 pasal 27 (1) segala warga negara bersamaan kedudukannya

didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan

pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Pasal 28 C (2) setiap orang

berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara koliktif

untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya. Pasal 28 D (3) setiap

warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

Dalam perspektif sejarah rekrutmen kepala daerah di Indonesia secara

dinamika ada 5 (lima) tahapan dan 4 (empat) sistem yang pernah dilakukan.

1. Sistem penujukan atau pengangkatan oleh pusat (masa pemerintahan kolonial

Belanda, penjajahan Jepang UU No. 27 tahun 1902. Kemudian UU No. 22

tahun 1948 dalam UU No. 1 tahun 1957 ketika berlakunya sistem parlemen

yang liberal.

2. Sistem penunjukan (penetapan presiden No. 6 tahun 1959 penetapan presiden

No. 5 tahun 1960, UU No. 6 dan UU No. 18 tahun 1956). Yang lebih dikenal

dengan era Dekrit Presiden ketika diterapkannya demokrasi terpimpin.

42
3. Sistem pemilihan perwakilan (UU No. 28 tahun 1965 dan UU No. 22 tahun

1999, dimana kepala daerah dipilih secara murni oleh lembaga DPRD dan

kemudian calon yang dilpilih itu akan ditentukan kepala daerahnya oleh

presiden.

4. Sistem pemilihan perwakilan (UU No. 18 tahun 1965 dan UU No. 22 tahun

1999) dimana kepala daerah dipilih secara murni oleh pusat lembaga DPRD

tanpa intervensi pemerintah pusat.

5. Sistem pemilhan lembaga (UU no. 32 tahun 2004) dimana kepala daerah

dipilih langsung oleh rakyat

Jika kita mengamati dengan membandingkan pemilihan kepala daerah

antara sistem pemilihan perwakilan dan sistem pemilihan langsung.

 Pada tahun 1974 yaitu sistem pemilu perwakilan (UU No. 5 tahun 1974) di

era demokrasi pancasila pada era orde baru ini juga ditemukan penyimpangan

dimana rekrutmen politik ditentukan oleh orang pursat, khususnya pejabat

Depdagri untuk pengisian jabatan bupati, walikota, sekretaris daerah dan

kepala-kepala dinas ditentukan oleh propinsi. Sementara untuk jabatan

gubernur ditentukan oleh Depdagri, markas besar TNI dan sekretaris negara.

Pendapat tersebut mengindikasikan, bahwa pengisian jabatan kepala daerah

dengan sistem penujukan atau pengangkatan dalam sistem perwakilan,

mengundang kelemahan yang dalam konteks demokrasi. Namun sepertinya

tidak ada ditemukan indikasi praktek “money politics” didalam pemilihan

kepala daerah. Keadaan negara aman jarang terjadi kerusuhan tidak ada

terjadi sengketa pilkada. Karena tidak banyak gejolak politik, sebab pada

43
waktu itu cuma ada 3 (tiga) kontestan peserta pemilu yang ikut yaitu

Golongan Karya, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Demokrasi,

sehingga otomatis negara tidak mengeluarkan biaya yang besar untuk pilkada.

Jarang sekali ditemukan adanya indikasi korupsi walaupun di era ini sistem

pemerintahan nya terkesan otoriter.

 Karena di era Orde Baru sistem pemerintahannya, kewenangan diatur oleh

pemerintah pusat sehingga tidak adanya peluang apa yang disebut raja-raja

kecil yang berkuasa didaerah. Jadi tidak pernah ada indikasi kepala daerah

yang korupsi, kalau kita lihat atau kita dengar pemberita dimedia masa baik

lewat TV atau koran sepertinya sekarang sudah menjadi trend kalau kepala

daerah baik gubernur atau bupati itu korupsi dimana-dimana.

 Di era reformasi. Pengisian jabatan kepala daerah yang disebut pemilihan

perwakilan pada tahun 1999 (UU No. 22 tahun 1999), dimana kepala daerah

dipilih secara murni oleh lembaga DPRD tanpa intervensi pemerintah pusat

dapat terwujudnya mekanisme pemilihan teratur rotasi kekuasaan terbuka

lebar, keterbukaan rekrutmen dan akuntabilitas publik. Artinya secara

substansial demokrasi tidak terlalu bermasalah.

Namun, karena prosedur tidak dilakukan secara konsisten dan terbuka, maka

pemilihan kepala daerah dengan UU No. 32 tahun 1999 dan PP No. 151 tahun

2000 mengalami penyimpangan. Dari tahap awal hingga selesainya proses

kewenangan besar ditangan DPRD. Dengan kata lain, tahapan-tahapan yang

dilalui tidak lebih sebuah formalitas belaka, pemyimpangan lain adalah kasus

44
“money politics” dan intervensi pengurus parpol, baik dilevel lokal maupun

pusat.

 Sistem pemilihan langsung (UU No. 32 tahun 2004) dimana kepala daerah

dipilih langsung oleh rakyat

Pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan salah satu dari tujuan

dari desentralisasi atau kerangka otonomi daerah. Desentralisasi secara garis

besar mencakup dua aspek yaitu desentralisasi administrasi dan desentralisasi

politik.

Dari dua rumusan desentralisasi politik memaknai desentralisasi sebagai

devolosi kekuasaan, devolusion of fower, dari pemerintah pusat kepada

pemerintah daerah.

Sementara perspektif desentralisasi administrasi memaknai desentralisasi

sebagai delagasi wewenang administrasi dari pemerintah pusat kepemerintah

daerah.

Semangat dilaksanakannya pemilihan kepala daerah langsung adalah koreksi

terhadap sistem demokrasi tidak langsung (perwakilan) di era sebelumnya.

Dimana kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh rakyat langsung.

Rakyatlah yang akan berhak memilih pemimpinnya yang sesuai hati nurani

rakyat. Hal ini juga sejalan dengan semangat otonomi yaitu pengakuan

berhadap aspirasi dan inisiatif masyarakat lokal untuk menentukan nasibnya

sendiri.

Hadirnya pemilihan kepala daerah, pada awalnya direspon oleh masyarakat

dengan antusiasme yang tinggi. Antusiasme masyarakat itu berkaitan dengan

45
terbukanya kesempatan bagi masyarakat untuk memilih dan menentukan

secara langsung kepala daerahnya.

Akan tetapi setelah tiga tahun berjalan antusiasme masyarakat terhadap

proses dan pemilihan kepala daerah semakin berkurang.

Kondisi tersebut didorong oleh kekecewaan masyarakat terhadap partai

politik yang kerap kali menyadarkan calon yang tidak sesuai dengan aspirasi

masyarakat.

Disisi lain pengaturan pemilihan kepala daerah UU No. 32 tahun 2004

mengandung sejumlah kelemahan baik dari segi sistem maupun aturan

tekhnisnya.

Paradigma UU No. 32 tahun 2004 meletakkan pilkada sebagai domain

pemerintahan daerah, bukan domain pemilihan umum. Sehingga instrumen

pelaksana (penyelenggara) dan pelaksanaan (peraturan pelaksanaan)

pemilihan kepala daerah mengalami bias pengaruh (intervensi) pemerintah.

Hal ini berimplikasi pada independensinya penyelenggara dan

penyelenggaraan pemilihan kepala daerah.

Lahirnya UU No. 22 tahun 2007 tentang penyelenggara pemilu telah merevisi

ketentuan penyelengara di dalam UU No. 32 tahun 2004 UU No. 22 tahun

2007 meletakkan pemilihan kepala daerah sebagai bagian dari rezim

pemilihan umum sehingga KPU dengan independensinya bertanggung jawab

menyelenggarakan pemilihan kepala daerah. Demikian juga dalam

pembentukan badan pengawas pemilihan umum (atau panitia pengawas

ditingkat lokal) UU No. 22 tahu 2007 mengatur pembentukan dan rincian

46
tugasnya serta dijamin independensinya perubahan kedua UU No. 32 tahun

2004 yang dituangkan dalam UU No. 12 tahun 2008 juga telah melakukan

revisi substansial terhadap penyelenggaraan pemilihan kepala daerah

khususnya dalam mengakomodasi hadirnya calon perseorangan.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yang berkaitan dengan pelaksanaan

pemilihan kepala daerah langsung adalah :

1. Pemilihan kepala daerah langsung memungkinkan terwujudnya penguatan

demokrasi ditingkat lokal, khususnya pembangunan legetimasi politik, ini

didasarkan pada asumsi bahwa kepala daerah terpilih memilki mandat dan

legetimasi yang kuat karena didukung oleh suara pemilih nyata (real

volers) yang merefleksikan konfigurasi kekuatan politik.

2. Pemilihan kepala daerah langsung diharapkan mampu membangun serta

mewujudkan local accountability

3. Terciptanya optimalisasi mekanisme cheek an balance antara lembaga-

lembaga pemerintahan dan menguatkan demokrasi pada level lokal.

4. Pemilihan kepala daerah langsung diharapkan akan mampu meningkatkan

kualitas kesadaran politik dan kwalitas partisipasi masyarakat. Pemilihan

kepala daerah langsung akan memberikan kesempatan kepada masyarakat

untuk menggunakan kearifan, kecerdasan, dan kepedulian guna

menentukan sendiri siapa yang dianggap layak dan pantas menjadi

pemimpinnya.

Mengenai persaingan calon independen dan calon dari partai politik sering

menjadi perselisihan yang justru menyudutkan kepentingan publik.

47
Terbukanya kesempatan dari calon perseorangan untuk kepala daerah

dimaksudkan adalah untuk merepresentasikan keinginan rakyat arus bawah.

Calon perseorangan diharapkan untuk dapat mengonfirmasi fungsi-fungsi

politik seperti agregasi kepentingan, fungsi komonikasi politik dan lain-lain.

Artinya calon perseorangan harus jelas akuntabilitynya dalam sistem

demokrasi. Jangan sampai calon perseorangan juga sering di alamatkan

kepada partai politik, yaitu kecenderungan mengabaikan masyarakat untuk

sekedar ambisi kekuasaan.

Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk menjadi pemilih

ataupun dipilih. Artinya baik dari partai politik maupun dari calon

independen, dapat saja mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah dengan

ketetapan-ketetapan atau aturan yang ditentukan oleh UU maupun KPUD.

Dari sisi negatifnya sistem pemilihan kepala daerah langsung akan menelan

biaya yang sangat besar, karena tidak sedikit biaya anggaran daerah (APBD)

akan dikonsestrasikan pada KPUD ditiap tingkatan, kita berharap agar

terwujud penguatan demokrasi ditingkat lokal, namun untuk kesejahteraan

masyarakat/rakyat dari arus bawah sering terabaikan. Adanya titik rawan

dengan kecenderungan money politik.

B. SARAN-SARAN

Pemilukada merupakan isu sentral yang terus bergulir seiring dengan era

reformasi dewasa ini. Proses itu ideal ditujukan sebagai salah satu upaya

melakukan demokratisasi politik dilevel lokal yang merupakan muara kebijakan

48
desentralisasi dan otonomi disatu sisi memberikan kesempatan kepada rakyat

didaerah sebagai salah satu infrastruktur politik untuk memilih kepala

daerahnya secara langsung. Hal itu akan mendorong terjadinya keseimbangan

antara infrastruktur politik dengan suprastruktur politik karena melalui

pemilihan kepala daerah langsung maka rakyat dapat memilih pemimpin yang

dapat dikehendaki secara bebas dan rahasia.

Namun disisi lain pemilukada juga menimbulkan banyak persoalan

didalamnya, salah satunya terkait dengan calon kepala daerah sesuai dengan

rancangan peraturan baru khususnya tentang kriteria calon kepala daerah yang

sedang dibuat oleh menteri dalam negeri, untuk menjadi calon kepala daerah

salah satu syaratnya adalah memilki pengalaman berorganisasi dan tidak boleh

memilki cacat moral/ pernah punya pengalaman dengan citra buruk yang

melekat pada seseorang.

Untuk itu kita selaku masyarakat pemilih jangan hanya terjebak pada

dikotori cacat mental yang pernah dilakukan seseorang, karena untuk memilih

seorang kepada daerah, kita juga harus melihat semua aspek yang ada pada diri

calon kepala daerah itu.

Hal yang terpenting adalah kehati-hatian dari masyarakat itu sendiri

dalam memberikan suaranya. Karena sesungguhnya yang seharusnya kita pilih

adalah pemimpin yang berkwalitas, orang yang terbaik yang memiliki kwalitas

kepemimpinan yang tidak diragukan. Orang yang benar-benar mampu

membangun kemandirian daerah, mampu mewujudkan pemerintahan lokal yang

demokratis, berpihak pada masyarakat, aspiratif, dan memilki legetimasi, karena

49
melalui pemilukada ingin membangun pemerintahan yang kuat. Bukan sekedar

pemimpin yang hanya bisa mengandalkan kepopuleran dan penampilan semata.

Pemilukada dapat dikatakan berkwalitas apabila pemilukada tersebut bisa

menghasilkan pemimpin yang mampu mensejahterakan masyarakat, disamping

mampu meningkatkan harkat dan martabat bangsa dimasyarakat internasional.

Usaha-usaha perbaikan untuk dapat mewujudkan pemilukada yang

berkwalitas dimasa mendatang, antara lain dilakukan dengan peningkatan fungsi

perencanaan, pelaksanaan, penyusunan, serta evaluasi dari penyelenggaraan

pemilu, disamping memperbaiki sistem pemilu itu sendiri sehingga menjadi

lebih demokratis sehingga betul-betul dapat memberikan kesempatan kepada

warga masyarakat untuk menggunakan hak memilihnya dengan langkah umum,

bebas dan rahasia.

Maka menjadi harapan seluruh warga masyarakat/rakyat Indonesia

kepada semua partai harus menampilkan dan mengadakan seleksi dan harus jeli

dan arif agar benar-benar bisa menampilkan pemimpin yang berkwalitas bukan

karena uang ataupun pertimbangan lain bukan karena untuk kepentingan partai

semata, jangan membuat rakyat Indonesia ini semakin menderita.

50
DAFTAR PUSTAKA

Prof. H. Rozali Abdullah, SH. 2009 Mewujudkan Pemilu yang Berkualitas

Mustafa lutfi, Yogyakarta UII Press 2010. Hukum Sengketa Pemilukada di Indonesia

Prof. H. Rozali Abdullah, SH. 2005 Pelaksanaan Otonomi Luas, dengan Kepala
Daerah Secara Langsung. Penerbit Raja Grafindo Persada. Jakarta

Surbakti, Ramlan. Pemilihan Kepala Daerah adalah Pemilihan Umum. Edisi 4


Februarti. 2005

Syafrudin Ateng. Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan yang Bersih dan


Bertanggung jawab.

Tricahyo, Ibnu. 2007. Pengaturan Pemisahan Pemilihan Umum Nasional dan Lokal
Dalam Rangka Penyelenggaraan Otonomi Daerah yang Demokratis.

Perundang-undangan
UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum
UU No. 32 Tahun 2004 jo UU No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah
Risalah sidang UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

51

Anda mungkin juga menyukai