Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Pembangunan Nasional Indonesia bertujuan mewujudkan manusia

Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya yang adil, makmur,

sejahtera dan damai berdasarkan pancasila dan UUD 1945. Untuk mewujudkan

masyarakat Indonesia yang sejahtera tersebut perlu peningkatan secara terus

manerus usaha-usaha di bidang pengobatan dan pelayanan kesehatan, termasuk

ketersediaan narkotika sebagai obat, disamping usaha pengembangan ilmu

pengetahuan, meliputi penelitian pengembangan, pendidikan, dan pengajaran

sehingga ketersediaannya perlu dijamin melalui kegiatan produksi dan impor.

Pembangunan kesehatan sebagai bagian integral dari pembangunan

nasional diarahkan guna tercapainya kesadaran, kemauan hidup sehat bagi setiap

pendidik agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal, yang dilakukan

melalui berbagai upaya kesehatan, diantaranya penyelenggaraan pelayanan

kesehatan kepada masyarakat.

Meskipun narkotika sangat diperlukan untuk pelayanan kesehatan,

namun bila disalahgunakan atau digunakan tidak sesuai dengan standar

pengobatan, terlebih jika disertai peredaran narkotika secara gelap akan

menimbulkan akibat yang sangat merugikan perorangan ataupun masyarakat

khususnya generasi muda. Bahkan menimbulkan bahaya yang sangat besar bagi
kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa yang pada akhirnya akan melemahkan

ketahanan nasional.

Penyalahgunaan narkotika adalah pemakaian narkotika diluar indikasi

medik, tanpa petunjuk atau resep dokter dan pemakaiannya bersifat fatologik

(menimbulkan kelainan) dan menimbulkan hambatan dalam aktivitas dirumah,

sekolah, kampus, tempat kerja dan lingkungan sosial.

Ketergantungan narkotika adalah kondisi yang kebanyakan zat yang

disertai dengan adanya toleransi zat dosis semakin tinggi) dan gejala putus zat.

Yang memperihatinkan masyarakat justru yang menjadi korban narkotika adalah

anak-anak yang masih tergolong anak usia sekolah.

Data yang diperoleh pada tanggal 14 Agustus 2009 menunjukkan bahwa

anak usia sekolah yang di tahan diRumah Tahanan (Rutan) Pondok Bambu

dengan kasus narkotika berjumlah 300 orang anak usia sekolah yang ditahan di LP

(Lembaga Pemasyarakatan) anak pria Tangerang dengan kasus narkotika

berjumlah 92 orang yang ditahan di LP anak wanita berjumlah 14 orang. Rutan

rantau 30 Desember 2009 berjumlah 18 masih banyak Rutan dan LP lain yang

belum kita data di Indonesia. UPT pemasyarakatan berjumlah 525 unit yang

terdiri dari 190 unit Rutan dan 207 unit Lembaga Pemasyarakatan, diantaranya 13

unit LP narkotika.

Menurut data yang ada, setiap tahun Napi Narkotika selalu meningkat

baik di Rutan maupun di LP di Indonesia. Belum lagi di RS ketergantungan obet

RS Fatmawati, kwantitas penyalah gunaan narkotika berdasarkan data Agustus

2009 sebanyak 5.000 kasus, kunjungan rawat tahun 2007, tahun 2009 meningkat
menjadi 7.200 kasus kunjungan rawat. Jumlah ini terjadi pada korban dengan

rentang usia 15-19 tahun, dan aktif sebagai siswa di SLTP dan SLTA menduduki

peringkat kedua terbesar setelah rentang usia 20-24 tahun. Sangat memperihatikan

dan menyedihkan moral anak bangsa kita dimasa yang akan datang. Kapan

terwujud Indonesia bebas dari ancaman narkotika sesuai program Badan

Narkotika Nasional bahwa “mewujudkan Indonesia bebas dari ancaman narkotika

tahun 2015”.

Setiap tahunnya selalu bertambah jumlah korban generasi muda kita

karena ketergantungan narkotika, hal ini sangat memperihatinkan dan

menyedihkan bangsa Indonesia. Karena generasi muda adalah penerus bangsa,

anak bangsa adalah aset negara yang paling berharga. Kehancuran moral anak

bangsa akan berakibat kehancuran suatu negara.

B. Pembahasan dan Analisa

1. Sejauh Mana Perlindungan dan Penegakan Hak Asasi Manusia

terhadap Warga Binaan dalam Pelaksanaan Sistem Pemasyarakatan

Sebagaimana diketahui Undang-Undang No 12 tahun 1995 tentang

pemasyarakatan menegaskan bahwa system pemasyarakatan adalah

merupakan sistem pembinaan narapidana di Indonesia yaitu merupakan

suatu tatanan mengenai arah dan batas, serta cara pembinaan warga binaan

pemasyarakatan berdasarkan pancasila yang dilaksankan secara terpadu

antara pembina, yang dibina dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas

warga binaan pemasyarakatan agar menyadari kesalahnnya, memperbaiki


diri dan tidak mengulangi lagi pernuatannya, sehingga dapat diterima

kembali oleh longkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam

pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan

beranggung jawab.

Bertitik tolak dari pemahaman sistem pemasyarakatan maka

penytelenggaraan program pembinaan warga binaan pemasyarakatan di

Lapas dan pembimbing warega binaan pemasyarakatan oleh BAPAS

ditekankan pada kegiatan pembinaan kepribadian dan kegiatan pembinaan

kemandirian. Pembinaan kepribadian diarahkan pada pembinaan mental

dan watak agar bertanggung jawab kepada diri sendiri, keluarga dan

masyarakat, sedangkan pembinaan kemandirian diarahkan pada

pembinaan bakat dan keterampilan agar waraga binaan pemasyarakatan

dapat kembali berperan sebagai anggota masyarakat yang bebas dan

bertanggung jawab.

Dalam sistem pemasyarakatan narapidana bukan hanya obyek tetapi

juga subyek yang tidak berbeda dari manusia lainnya yang sewaktu-waktu

dapat melakukan kesalahan atau kehilafan yang dpaat dikenakan pidana,

sehingga tidak harus diberantas. Yang harus diberantas adalah faktoe-

faktor yang dapat menyebabkan narapidana berbuat hal-hal yang

bertentangan dengan hukum, kesusilaan, agama atau kewajiban-kewajiban

sosial lain yang dapat dikenakan pidana. Pemidanaan adalah upaya

menyadarkan narapidana atau anak pidana agar menyesali perbuatannya.

Dan mengembalikannya menjadi warga masyarakat yang baik, taat hukum,


menjunjung tinggi nilai-nilai moral sosial dan keagamaan sehingga

tercapai kehidupan masyarakat yang man, tertib dan damai.

Disamping itu sistem pemasyarakatan, juga berasumsi bahwa pada

hakekatnya perbutaan pelanggaran hukum oleh warga binaan

pemasyarakatan adalah cerminan adanya keretakan hubungan hidup,

kehidupan dan penghidupan antara yang bersangkutan dengan masyarakat

sekitarnya. Hal ini berarti bahwa faktor penyebab terjadinya perbuatan

melanggar hukum bertumpu dan diakibatkan oleh “kegagalan” yang

bersangkutan dalam hubungannya dengan ketiga aspek tersebut. Dimana

aspek hidup diartikan sebagai hubungan antara manusia dengan

penciptaNya. Aspek kehidupan diartikan sebagai hubungan antara sesama

manusia. Sedangkan aspek penghidupan diartikan sebagai hubungan antara

manusia dengan alam lingkungannya. Oleh sebab itu tujuan dari sistem

pemasyarakatan adalah pemulihan hubungan hidup-kehidupan dan

penghidupan antara warga binaan pemasyarakatan dengan masyarakatnya

(reintegrasi hidup, kehidupan dan penghidupan). Lembaga pemasyarakatan

sebagai ujung tombak pelaksanaan asas pengayoman merupakan tempat

untuk mencapai tujuan pemidanaan, melalui pendidikan, rehabilitai dan

reintegrasi. Disamping itu terdapat Rumah Tahanan Negara sebagai tempat

untuk para tahanan, sambil menunggu proses peradilan dipengadilan.

Bila dilihat dari sistem pembinaan yang diberikan maka ide-ide

pokok hak-hak asasi manusia yang telah ada selama beberapa ratus tahun,

dimana perkembangan standar hak-hak asasi manusia internasional baru


dimulai selama dan segera setelah perang dunia II, telah menjiwai berbagai

peraturan perundang-undangan dalam pola pembinaan narapidana /

tahanan.

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang ditetapkan PBB tahun

1948 memberikan pengakuan atas martabat kodrati hak-hak yang sama

dan tidak dapat dicabut bagi semua anggota manusia sebagai landaan

hakiki bagi kebebasan perdamaian dunia. Deklarasi perserikatan bangsa-

bangsa (PBB) tentang hak asasi manusia menggariskan bahwa semua

orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat serta hak-hak yang

sama. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani serta kehendak dalam

semangat persaudaraan. 1 disamping Deklarasi Universal Hak Asasi

Manusia, dalam sidang umum PBB disahkan juga perjanjian internasional

hak asasi manusia yang merupakan inti dari langkah perserikatan bangsa-

bangsa untuk melindungi HAM serta kebebasan dasar yaitu Kovenan hak-

hak Sipil dan politik serta kovenan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya.

Ketiga dokumen kunci tersebut menjabarkan hakiki yang menetapkan

kriteria-kriteria dasar yang mengilhami lebih dari 50 kovenan konvensi,

deklarasi, seperangkat peraturan dan prinsip dari perserikatan bangsa

mengenai hak asasi manusia.

Hak tentang narapidana dan tahanan diatur dalam pasal 10 dan 11

Internasional Covenant On Civil and Political Rights (ICCPR) yang

berbunyi sebagai berikut :


Pasal 10

1. Setiap orang yang dirampas kebebasannya wajib diperlakukan secara

manusiawi dan dnegan menghormati martabat yang melekat pada diri

manusia.

2. Tersangka, kecuali dalam keadaan-keadaan yang sangat khusus, harus

dipisahkan dari orang yang telah dipidana, dan diperlakukan secara

berbeda sesuai dengan statusnya sebagai orang yang belum dipidana.

3. Terdakwa dibawah umur harus dipisahkan dari orang dewasa dan

secepat mungkin segera dihadapkan ke sidang pengadilan.

4. Sistem kemasyarakatan harus memilki tujuan utama memperbaiki dan

melakukan rehabilitas sosial dalam memperlakukan narapidana.

Terpidana dibawah umur harus dipisahkan dari orang dewasa dan

diperlakukan sesuai dengan usia dan status hukum mereka.

Pasal 11

Tidak seorangpun dapat dipenjara semata atas dasar

ketidakmampuannya untuk memenuhi suatu kewajiban yang muncul dari

perjanjian.

Selain itu dalam pasal tersebut sebelumnya yaitu pada tahun 1933

disusun rancangan Standard Minimum Rules for the treatment of prisoners

(SMR) tahun 1933 yang disusun oleh IPPC, dan kemudian diperbaharui

pada tahun 1955 yang diterima perserikatan bangsa-bangsa dengan

keputusan untuk dianjurkan kepada seluruh negara –negara anggota


(Resolusi dari Economic dan Social Counsil No. 633 C. XIIV tanggal 31

Juli 1957. Standard Minimum Rules tersebut menjadi salah satu upaya

pedoman pembaharuan pidana penjara yang dianjurkan kepada anggota-

anggota perserikatan bangsa-bangsa yang dianjurkan kepada anggota PBB

itu, sudah barang tentu mengandung semangat asas perikemanusiaan yang

dijiwai oleh universal Declaration of Human Rights 1948.

Penerapan Standar Minimum Rules dan ICCPR yang berkaitan

dengan pelaksanaan hak –hak narapidana/tahanan ternyata masih sangat

tergantung kepada situasi dan kondisi serta political will dari setiap negara.

Oleh karena itu dalam tulisan ini akan dikemukakan bagaimana kondisi

penjara atau lembaga pemasyarakatan/Rumah Tahanan Negara di

Indonesia dalam kaitannya dengan penegakan HAM sesuai dengan standar

yang telah ditetapkan secara Internasional.

Kondisi Lembaga Pemasyarakatan/Rumah Tahanan Negara

Berbicara masalah Lembaga Pemasyarakatan atau Rumah Tahanan

Negara di Indonesia tidak bisa terlepas dari pembicaraan narapidana dan

tahanan, karena dalam Lembaga Pemasyarakatan ada tahanan dan dalam

tahanan ada narapidana. Indonesia memiliki 148 Lembaga Pemasyarakatan

dan 230 Rumah Tahanan Negara, 70% dari kapasitas yang ada terisi oleh

narapidana dan tahanan yang menyebar diseluruh Indonesia. Tapi khusus

untuk wilayah Pulau Jawa, Bali dan Sumatera isi Lembaga

Pemasyarakatan/Rumah Tahanan Negara pada umumnya over kapasitas.


Untuk wilayah DKI over kapasitas isi Lembaga Pemasyarakatan/Rumah

Tahanan Negara lebih di 100%. Sebagai contoh Rutan Salemba yang

memiliki kapasitas 750 saat ini dihuni oleh hampir 2000 orang, Lapas

Cipinang kapasitasnya 1000 orang, saat ini dihuni oleh kurang lebih 2000

orang, Rutan Jakarta Timur (Pondok Bambu) kapasitas 450 orang saat ini

dihuni oleh kurang lebih 600 orang. Didalam masing-masing Lembaga

Pemasyarakatan atau Rumah Tahanan Negara dihuni oleh baik tahanan

maupun narapidana.

Bila dikaitkan dengan kondisi demikian maka penerapan kovenan

tentang hak sipil dan politik pasal 10 (2) sebagaimana telah disebutkan

diatas, serta ketentuan “Standard Minimum Rules” pasal 8 mengatur

tentang penempatan orang terpenjara yang berbunyi :

“Berbagai golongan orang terpenjara itu hendaknya ditempatkan

dalam lembaga-lembaga tersendiri atau dalam bagian dari lembaga,

dengan memperhatikan kelamin, umur, riwayat kejahatan, dasar-dasar

hukum yang menjadikan alasan penahanan dan kebutuhan-kebutuhan bagi

pembinaannya. Jadi :

a. Pria dan wanita hendaknya sedapat mungkin ditahan di lembaga-

lembaga tersendiri, dilembaga-lembaga yang menerima baik pria

maupun wanita, maka keseluruhan bagian yang disediakan bagi para

wanita hendaknya dipisahkan sepenuhnya.

b. Tahanan hendaknya dipisahkan dari narapidana.


c. Orang-orang yang terpenjara karena hutang-hutangnya dan irang-orang

sandera lainnya hendaknya ditahan terpisah dari orang yang

dipenjarakan karena alasan pelanggaran kriminil

d. Anak-anak hendaknya ditempatkan terpisah dari orang-orang tua.

Maka kondisi seperti apa yang terjadi di Indonesia ini jelas tidak

memenuhi standar internasional yang telah ditentukan, walaupun telah ada

upaya pemisahan nama yaitu Lembaga Pemasyarakatan untuk narapidana

dan Rumah Tahanan Negara untuk tahanan, tetapi pada kenyataannya antar

tahanan dan narapidana di beberapa Lembaga Pemasyarakatan atau Rumah

Tahanan Negara tetap masih bersatu termasuk narapidana/tahanan wanita

dan anak, hanya saja penempatan mereka dipisahkan dalam blok-blok

tertentu.

Hal tersebut bisa terjadi karena tidak semua daerah memiliki

Lembaga Pemasyarakatan Anak serta Lembaga Pemasyarakatan Wanita

sehingga penempatan mereka disatukan dalam Lembaga pemasyarakatan

atau Rumah Tahanan Negara yang ada di daerah tersebut, bahkan

Indonesia belum memiliki Rumah Tahanan Negara khusus untuk wanita

atau khusus untuk anak.

Di Rutan Jakarta Timur (Pondok Bambu) penempatan tahanan

wanita baik anak-anak maupun dewasa disatukan walaupun dalam blok

yang berbeda dengan tahanan anak laki-laki sehingga dalam situasi

tertentu penyimpangan dan pelecehan sexual dapat terjadi. Disamping itu


dibeberapa daerah kehidupan narapidana wanita didalam Lembaga

Pemasyarakatan terkadang penjagaannya lebih ketat, karena mereka

ditempatkan didalam blok khusus yang ruang geraknya sempit, sehingga

sulit mengikuti program pembinaan yang mengharuskannya berbaur

dengan narapidana laki-laki.

Penempatan secara spesifik menurut standard Minimum Rules juga

belum bisa dilaksanakan karena keterbatasan sarana dan sumber daya

petugas pemasyarakatan. Kendala lain yang dihadapi pihak lembaga

pemasyarakatan adalah belum dapatnya memberlakukan “Pemisahan

kelas-kelas tahanan dan narapidana” sebagaimana yang diatur dalam

pedoman mengenal standard internasional yang berhubungan dengan

penahanan pra sidang dari PBB. Hal ini menjadi pemicu terjadinya

berbagai permasalahan.

Masalah lain yang perlu dikaji bersama adalah masalah makanan

yang menjadi kendala bagi pemerintah dengan meledaknya penghuni

Lembaga Pemasyarakatan/Rumah Tahanan Negara, sebagai dampak

terjadinya krisis ekonomi yang berkepanjangan. Untuk itu berpengaruh

pada tingkat hunian Lembaga Pemasyarakatan/Rumah Tahanan Negara

dimana pada akhir tahun 1997 isi lapas/Rutan berjumlah kurang lebih

48000 orang akan tetapi pada akhir tahun 2000 jumlah penghuni

Lapas/Rutan menjadi 60.000.

Kondisi yang demikian menimbulkan masalah tersendiri bagi

pemerintah, karena biaya makan penghuni menjadi meningkat sehingga


sarana pembinaan yang sebelumnya sudah sangat minim menjadi semakin

minim karena dana terkonsentrasi untuk menanggulangi makan penghuni,

sehingga pelayanan dan pengamanan napi/tahanan tidak maksimal. Hal ini

menyebabkan pemerintah memiliki hutang sebanyak 1 milyar kepada

pihak ketiga hanya untuk menanggulangi makan penghuni Lapas/Rutan.

Biaya makan penghuni Lapas/Rutan yang rata-rata Rp. 3500,-

perhari untuk tiga kali makan, sangat jauh dari memadai bila dibandingkan

dengan kondisi harga saat ini yang melambung tinggi. Oleh karena itu

pemenuhan gizi tidak bisa diharapkan dengan jumlah anggaran yang

sangat minim, bahkan pernah beberapa daerah karena anggaran tidak

mencuku makan hanya diberikan dua kali sehar, untuk pagi diberi makan

singkong. Kebutuhan minum dengan penghuni yang over kapasitas juga

tidak memadai karena sarana untuk memasak air sangat terbatas, termasuk

terbatasnya persediaan air bersih. Untuk mengatasinya maka bagi

narapidana yang hidup keluarganya berkecukupan maka dalam waktu –

waktu tertentu apabila keluarga datang berkunjung atau besuk, mereka

membekali napi/tahanan dengan air mineral dalam botol besar, disamping

itu petugas juga menutup mata bila didalam blok atau kamar napi terdapat

kompor yang dibuat dari kaleng bekas yang biasa digunakan penghuni

untuk memasak air atau sekedar memasak mie instan sebagai pelengkap

gizi atau sekedar untuk mengenyangkan perut karena makan yang

diberikan negara tidak memadai. Dengan kondisi yang demikian akhirnya

pemerintah sulit untuk menegakkan disiplin pada penghuni.


Situasi seperti tersebut diatas adalah sangat tidak memadai apabila

mengacu kepada SMR pasal 20 ayat 1 dan 2 yang berbunyi :

1. Apabila setiap orang terpenjara hendaknya disediakan oleh pimpinan

lembaga pada jam-jam tertentu, makanan yang nilai gizinya memenuhi

syarat untuk kesehatan, dan kekuatan jasmaninya, sehat dan dimasak

serta disajikan dengan baik.

2. Air minum hendaknya selalu tersedia bagi setiap orang terpenjara,

yang sewaktu-waktu membutuhkannya.

Selain masalah makan dan minum, perawatan kesehatan termasuk

yang kurang memenuhi standard internasional sebagaimana tercantum

dalam SMR pasal 22 ayat 1 dan 2 yang menyatakan :

1. Pada tiap lembaga hendaknya selalu tersedia pelayanan dari sekurang-

kurangnya seorang dokter umum yang hendaknya memiliki sekedar

pengetahuan tentang penyakit jiwa. Bagian-bagian kesehatan

hendaknya disusun dengan berhubungan erat dengan jawatan-jawatan

kesehatan umum dari masyarakat atau negara. Dalam bagian kesehatan

hendaknya termasuk juga suatu bagian yang menentukan diagnose

taraf penyakit jiwa dan perawatannya, dalam hal yang sederhana.

2. Orang-orang terpenjara yang sakit, yang memerlukan perawatan dari

ahli-ahl, hendaknya dipindahkan ke lembaga yang tersedia ruangan-

ruangan sebagai rumah sakit hendaknya perlengkapannya,

peralatannya serta persediaan obat-obatan, sesuai dengan kebutuhan

bagi penjagaan kesehatan serta perawatan orang-orang terpenjara yang


sakit dan hendaknya ada suatu staf yang terdiri dari ahli-ahli kesehatan

yang mampu.

3. Pelayanan dari seorang dokter gigi hendaknya selalu tersedia bagi

setiap orang terpenjara.

Belum diberlakukannya beberapa standard minimum rules dari

pedoman mengenai standard internasional yang berhubungan dengan

penahanan dan penghukuman kepada narapidana, maka didalam Lembaga

Pemasyarakatan/Rumah Tahanan Negara menemui berbagai masalah

berkaitan dengan penegakkan HAM, terutama sejak berlakunya Undang-

Undang No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika dan Undang-undang nomor

22 tahun 1977 tentang narkoba, karena sejak kedua undang-undang

tersebut berlaku maka Lembaga Pemasyarakatan/Rumah Tahanan negara

dipadati oleh kasus narkoba dan psikotropika.

Penempatan mereka antara bandar, pengedar serta para pemakai

untuk sementara ini masih disatukan, karena tidak dimilikinya ruangan

untuk pemisahan mereka, hal ini membawa dampak kepada sulitnya posisi

petugas pemasyarakatan terutama dalam menghadapi para pemakai.

Banyak narapidana/tahanan narkoba sebenarnya memerlukan pengobatan

dan perawatan khusus, akan tetapi para petugas yang ada belum terlatih

untuk menangani para pecandu tersebut, dengan demikian apabila

narapidana/tahanan menderita karena ketagihan para petugas tidak bisa

berbuat apa-apa.
Tidak terpenuhinya perawatan kesehatan berdasarkan Standard

Minimum Rules sebenarnya dikarenakan ketiadaan dana untuk obat,

kurangnya tenaga medis dan paramedis serta kurangnya fasilitas kesehatan

didalam Lapas maupun Rutan termasuk masalah sanitasi dan air untuk

mandi. Petugas medis atau paramedis juga jarang sekali yang mau

bertugas dilembaga pemasyarakatan/rumah tahanan negara. Apalagi untuk

mengadakan perawatan khusus bagi pecandu narkoba yang menjadi

narapidana/tahanan.

Kalau dihitung secara kasat mata maka seorang narapidana/tahanan

hanya mendapat biaya perawatan kesehatan Rp. 800,- per orang per tahun.

Sementara itu bahkan dibeberapa Rutan diluar Pulau Jawa, untuk mandi

saja penghuni digiring ke sungai secara bergiliran satu atau dua kali sehari,

hal ini disebabkan tempat atau karena faktor cuaca atau kurangnya alat

penyedot air/pompa serta tidak adanya Perusahaan Air Minum (PAM)

Anda mungkin juga menyukai