ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh kapasitas individu dan pemberdayaan
terhadap profesionalisme guru dan kapasitas individu terhadap pemberdayaan. Fokus
penelitian ini adalah profesionalisme guru. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif
dengan teknik analisis jalur. Sampel dalam penelitian ini adalah 470 guru yang telah bekerja
minimal 2 (dua) tahun di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Kota Tangerang, Provinsi
Banten, yang dikumpulkan dengan teknik purposive random sampling. Teknik pengumpulan
data dilakukan dengan menyebarkan kuesioner, dan pengukuran persepsi responden pada
semua variabel dilakukan dengan menggunakan skala likert. Sebelum pengujian hipotesis, uji
normalitas, uji signifikansi, dan uji linieritas dilakukan. Hasilnya menunjukkan bahwa
kapasitas individu dan pemberdayaan memiliki efek positif langsung pada profesionalisme
guru serta kapasitas individu pada pemberdayaan. Peningkatan profesionalisme guru dapat
dilakukan melalui pengembangan kapasitas individu dan efektivitas pemberdayaan.
Pengembangan kapasitas individu di tingkat organisasi dapat dicapai dengan memiliki
kebijakan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan guru melalui kegiatan
pendidikan dan pelatihan. Pemberdayaan guru di tingkat organisasi dapat dicapai melalui
pendelegasian wewenang untuk menetapkan tujuan, pendekatan, strategi dan metode
pembelajaran otonom, dan juga dapat dicapai melalui pembagian kekuasaan, mendelegasikan
wewenang, keahlian, dan pengendalian diri kepada guru dalam memilih cara yang tepat untuk
memecahkan masalah di sekolah. Guru profesional akan dapat membangun kualitas
pendidikan yang berkelanjutan melalui proses pembelajaran yang memperkenalkan nilai-
nilai, meningkatkan kesadaran, dan mendorong penerapan nilai-nilai tersebut untuk
kehidupan sekarang dan masa depan.
Masalah utama dari penelitian ini adalah rendahnya profesionalisme guru di Indonesia. Hasil
tes kompetensi yang dilakukan pada 1,6 juta guru Indonesia antara 2012 - 2014 menunjukkan
bahwa kompetensi guru Indonesia sangat rendah dengan skor UKG nasional rata-rata hanya
47,8 dari standar minimum 55,0 (skala 0-100). Selain itu, Direktur Jenderal Guru dan Tenaga
Kependidikan Kementerian Pendidikan, Sumarna Surapranata mengatakan bahwa sebanyak
133 kabupaten / kota (88%) memiliki skor UKG di bawah rata-rata nasional, dan dari total
1.611.251 guru yang mengikuti kompetensi tes, hanya 192 guru atau kurang dari 1% yang
mendapat nilai di atas 90 (https://www.slideshare.net/vinaserevina1/hasil-tes-ukg-sebagai-
cermin-of-kualitas-pendidikan-guru-di-indonesia, 5 November , 2016).
Fokus penelitian ini adalah profesionalisme guru. Berdasarkan hasil survei pra-penelitian
yang dilakukan pada 30 guru di Tangerang, menunjukkan bahwa faktor yang paling kuat
mempengaruhi profesionalisme guru adalah kapasitas dan pemberdayaan individu. Dalam
Peraturan Pemerintah No. 74/2008 ayat 2 tentang Guru, dinyatakan bahwa Guru harus
memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, kesehatan fisik dan spiritual,
sikap, komitmen, dan kode etik dan memiliki kemampuan untuk
mewujudkan tujuan pendidikan nasional (Hendri, 2010; Nurlaila, 2013; Manaf, 2016). Guru
profesional dapat membangun kemajuan dengan belajar sesuai dengan empat pilar
pendidikan oleh UNESCO, yaitu: memperkenalkan nilai-nilai (belajar untuk mengetahui),
menghasilkan kesadaran dan mendorong penerapan nilai-nilai (belajar untuk melakukan),
melakukan pembelajaran kolaboratif ( belajar untuk hidup bersama) untuk membuat siswa
menjadi lebih percaya diri dan menghargai diri mereka sendiri (belajar menjadi) (Atiqullah,
2007).
Hasil uji signifikansi dan linearitas profesionalisme guru (X3) pada kapasitas individu (X1)
menunjukkan tingkat signifikansi 0,000 <0,001, yang berarti regresi X3 pada X1 sangat
signifikan dan tingkat signifikansi terhadap linearitas regresi Fvalue = 0523> 0,05, yang
berarti regresi X3 pada X1 adalah linear. Hasil signifikansi dan uji signifikanitas guru (X3)
pada pemberdayaan (X2) menunjukkan tingkat signifikansi 0,000 <0,001, yang berarti
Tabel 2 menunjukkan data dari semua koefisien jalur antara variabel yang menunjukkan efek
langsung positif. Nilai ρ21 adalah 0,59 dan t adalah 2,27, karena nilai t lebih tinggi dari tabel
= 1,62 maka H0 dibuang dan H1 diterima, yang berarti bahwa kapasitas individu memiliki
efek langsung positif pada pemberdayaan. Nilai ρ31 adalah 0,78 dan t adalah 3,69, karena
lebih tinggi dari tabel = 1,62, ini juga berarti bahwa kapasitas individu memiliki efek
langsung positif pada profesionalisme guru, dan nilai ρ32 adalah 0,81 dan t adalah 2,23,
karena lebih tinggi dari tabel = 1,62, H0 dibuang dan H1 diterima, ini berarti bahwa
pemberdayaan memiliki efek langsung positif pada profesionalisme guru.
Nilai koefisien jalur (ρ) antar indikator dapat dilihat pada tabel 3
di bawah:
Regresi X3 pada X2 sangat signifikan dan tingkat signifikansi terhadap linearitas regresi
Fvalue = 0492> 0,05, yang berarti regresi X3 pada X2 adalah linier.
Pengujian hipotesis dilakukan tidak hanya untuk melihat pengaruh antar variabel tetapi juga
untuk menghitung besarnya pengaruh antar indikator.
Berdasarkan Gambar 3 ditunjukkan bahwa untuk variabel kapasitas individu, indikator
kemampuan efektif memiliki pengaruh terbesar pada indikator cermat dari variabel
profesionalisme guru dengan nilai koefisien jalur (ρ) 0,290. Untuk variabel pemberdayaan,
indikator pendelegasian kewenangan memiliki pengaruh terbesar pada indikator cermat dari
variabel profesionalisme guru dengan nilai koefisien jalur (ρ) 0,291.
5. DISKUSI
berarti kapasitas individu memiliki efek positif langsung terhadap pemberdayaan, yang
berarti semakin tinggi kapasitas individu, semakin efektif aktivitas pemberdayaan.
5.2 Analisis Pengaruh Kapasitas Individu terhadap Guru
Profesionalisme
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa profesionalisme guru secara langsung dipengaruhi
secara positif oleh kapasitas individu dan pemberdayaan dan pemberdayaan secara langsung
dipengaruhi secara positif oleh kapasitas individu.
12
daya tanggap, kelincahan, kesabaran, dan optimisme serta kemampuan untuk melakukan
secara efektif dapat dicapai melalui membangun dimensi budaya afirmatif (diskusi, pelatihan,
studi banding). Pengembangan kapasitas manusia di tingkat organisasi dapat dicapai dengan
memiliki kebijakan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan guru melalui
kegiatan pendidikan dan pelatihan.
Pemberdayaan guru di tingkat organisasi dapat dicapai melalui mendelegasikan wewenang
untuk menetapkan tujuan, pendekatan, strategi dan metode pembelajaran otonom.
Pemberdayaan dapat juga dicapai melalui pembagian kekuasaan, melalui pendelegasian
wewenang, keahlian, dan pengendalian diri kepada guru dalam memilih cara yang tepat untuk
menyelesaikan masalah di sekolah. Guru juga diberikan kesempatan untuk mengembangkan
diri melalui berbagai kegiatan dengan menggunakan bakat, keterampilan, dan pengalaman
dalam organisasi sehingga mereka akan lebih berinisiatif dan inovatif dalam proses
pembelajaran.
Kapasitas individu yang tinggi akan mendorong pemberdayaan guru yang kuat dan
berkelanjutan. Pengembangan kapasitas individu yang tepat dan pemberdayaan yang efektif
akan meningkatkan profesionalisme guru. Guru profesional memiliki karakteristik tanggung
jawab, kepribadian matang, moralitas, spiritualitas, komitmen terhadap minat siswa,
kemampuan berpikir secara reflektif dan benar, serta memiliki kepribadian yang efektif.
Guru yang profesional akan menerapkan proses pembelajaran dengan cara yang kolaboratif
sehingga siswa akan menghargai diri mereka sendiri, lingkungan mereka, untuk memiliki
lebih percaya diri, lebih tangguh dalam menghadapi berbagai kondisi kompetitif di era global.
Guru profesional akan dapat membangun kualitas pendidikan yang berkelanjutan melalui
proses pembelajaran yang memperkenalkan nilai-nilai, meningkatkan kesadaran, dan
mendorong penerapan nilai-nilai tersebut untuk kehidupan sekarang dan masa depan.
PERANAN MANAJEMEN PEMBELAJARAN SEKOLAH DASAR ISLAM
(PESANTREN) DALAM MENINGKATKAN MAHASISWA TOLERANSI RELIGIUS DI
JAWA BARAT – INDONESIA
1. PERKENALAN
Toleransi harus muncul secara alami dalam diri mereka sebagai manusia, mengingat itu
adalah satu sifat manusia sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan. Kenyataannya
meskipun saling bergantung, tidak secara otomatis membuat manusia dapat selalu hidup
berdampingan secara harmonis. Toleransi adalah bentuk akomodasi yang terjadi tanpa
persetujuan yang memiliki fitur formal (Soeroso, 2008). Ada banyak perbedaan pada
manusia, baik secara individu atau kelompok yang dapat menjadi pemicu konflik dan
pertikaian. Beberapa fakta menunjukkan bahwa konflik di Indonesia umumnya disebabkan
oleh kurangnya toleransi di antara kelompok-kelompok yang memiliki perbedaan, di mana
mereka umumnya merasa diri mereka sendiri dan kelompok mereka lebih benar dan lebih
baik daripada kelompok lain. Bahkan dalam beberapa kasus konflik kemudian berkembang
menjadi bentrokan dan huru-hara yang menelan banyak korban baik secara moral maupun
material.
Kekerasan terhadap Komunitas Ahmadiyah yang terjadi di Cikeusik, Banten pada Minggu, 6
Februari 2011 mengakibatkan total tiga (3) orang terbunuh dan lima (5) orang terluka karena
diserang oleh ribuan warga Cikeusik (m.tempo.co , 2011). Aksi main hakim sendiri juga
terjadi di Ambon yang ditimbulkan oleh intoleransi, di mana sekelompok aktor yang Kristen
melakukan serangan bom terhadap desa-desa Muslim untuk menggagalkan rencana
penyelenggaraan Musabaqoh Tilawatil Qur'an di Ambon (voa Islam, 2011). Ini menunjukkan
bahwa mayoritas masyarakat Indonesia belum bisa mentoleransi kelompok yang berbeda.
Hasil survei dari Pew Research Center juga menemukan bahwa sepertiga dari 198 negara
yang mereka pelajari mengalami konflik agama yang tinggi atau bahkan yang ekstrim, yaitu
sebesar 20% pada tahun 2010 dan meningkat menjadi 29% pada tahun 2011 (dw-com, 2014
). Fakta-fakta di atas, menunjukkan bahwa intoleransi masih banyak terjadi di berbagai
belahan dunia, sebaliknya intensitasnya cenderung lebih tinggi.
Indonesia sebagai negara dengan populasi hampir 250 juta orang (SUMBER), dengan
keragaman ras, budaya, agama, bahasa, adat istiadat, dan lainnya, berpotensi rawan konflik
dan sengketa jika tidak ada upaya untuk membangun secara masif.
sikap toleransi. Di negara yang heterogen, keragaman tidak boleh diposisikan sebagai
ancaman, tetapi lebih merupakan peluang untuk bersinergi secara positif (Yasir, 2014).
Indonesia sebagai negara yang mengakui banyak agama dan menjamin pengikutnya untuk
mempraktikkan imannya, itu akan membutuhkan strategi komprehensif untuk membangun
toleransi beragama. Upaya menginternalisasikan nilai-nilai toleransi beragama sesungguhnya
dapat dilakukan melalui pendidikan. Institusi pendidikan formal adalah arena yang tepat
untuk mengembangkan sikap toleransi dan mengatasi masalah meningkatnya intoleransi
beragama di Indonesia (Lyn Parker, 2014). Toleransi dalam agama adalah sikap mental
dalam menghargai, menghormati, mengenali berbagai agama, keyakinan, pandangan, serta
kebiasaan dan sikap yang disederhanakan untuk berkhotbah di depan umum. Toleransi
beragama adalah toleransi terhadap keyakinan yang terkait yaitu sikap untuk dengan rela
mengizinkan penganut selain Islam untuk beribadah sesuai dengan persyaratan agama yang
mereka yakini (Nisyilah, 2013).
Islam adalah agama yang menjunjung toleransi, baik toleransi perbedaan yang terjadi di
antara penganut Islam atau toleransi terhadap orang-orang dari agama lain. Islam sebagai
agama yang Rahmatan Lil Alamin, menekankan sikap untuk membangun harmoni dan
kedamaian bagi seluruh umat manusia di bumi dan untuk menghindari konflik dan
kehancuran. Toleransi dalam agama adalah nilai yang paling penting karena kita dapat
berinteraksi dengan orang lain serta kelompok lain yang secara damai terbatas pada ranah
sosial dan bukan teologi (Fathurrohman, 2012). Intoleransi dengan mudah akan berkembang
dalam berbagai kondisi masyarakat, sehingga menuntut adanya pemahaman sikap dan
kesabaran untuk membangun harmoni. Dibutuhkan upaya untuk mengembangkan nilai-nilai
toleransi untuk berbagai peristiwa dan lingkungan, mengingat banyak kepentingan yang
berbeda di dalamnya (Endang, 2009). Dalam keadaan tertentu, toleransi dapat menempatkan
manusia pada kesetaraan, meskipun ada perbedaan di antara mereka. Toleransi dalam bentuk
pengakuan dapat memperkuat persamaan dan penghapusan perbedaan. Toleransi yang
diwujudkan dalam rasa hormat dan pengakuan kepada kelompok lain yang beragam, dapat
menghasilkan keharmonisan dalam masyarakat, bahkan dalam kondisi tertentu publik dapat
secara aktif berpartisipasi dan berkontribusi satu sama lain (Raihani, 2014).
2 METODOLOGI
Teknik pengukuran variabel dalam penelitian ini menggunakan skala Likert, ukuran
kesepakatan atau ketidaksepakatan dengan seseorang terhadap serangkaian pernyataan
berkaitan dengan keyakinan atau perilaku mengenai objek tertentu (Herman, 2005). Data
dikumpulkan dengan menyebarkan kuesioner kepada siswa untuk menerima tanggapan
secara tertulis (Waluya, 2006), dan melakukan wawancara mendalam (wawancara
mendalam) untuk memperoleh informasi dan pemahaman tentang fokus utama (Biber, 2011)
ke beberapa sumber (kunci informan) yang berasal dari unsur-unsur kepemimpinan di
pesantren (sarjana agama, guru agama), siswa, alumni, tokoh masyarakat di sekitar pesantren
dan unsur-unsur pemerintah daerah (kepala desa dan kepala desa setempat). Teknik
pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan metode purposive sampling atau
judgement sampling, teknik sampling yang memilih sampel di antara populasi sebagai
penelitian pilihan (Nursalam, 2008). Kriteria penelitian subjek yang digunakan adalah siswa
yang memiliki lebih dari satu tahun belajar dan tinggal di pondok pesantren, juga memiliki
pengetahuan yang cukup untuk menjawab penelitian kuesioner, dan jumlah sampel yang
digunakan dalam penelitian ini adalah 300 responden siswa.
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi uji asumsi klasik, uji
instrumen penelitian, analisis regresi dan pengujian hipotesis. Uji asumsi klasik dilakukan
dengan uji normalitas, menggunakan hasil uji multikolinieritas data Kolmogorov-Smirnov,
uji multikolinearitas dilihat dari output SPSS pada kolom VIF dan Tolerance dan uji
autokorelasi, untuk menguji apakah korelasi regresi linier antara kesalahan bully pada periode
t dengan kesalahan pada periode sebelumnya (t-1). Sementara pengujian instrumen penelitian
dilakukan melalui uji validitas, untuk menghitung akurasi skala untuk alat ukur yang
digunakan dan uji reliabilitas, untuk mengukur konsistensi internal dari indikator dimensi
dengan menggunakan Alpha Cronbach (Zeller, 1980), analisis regresi pada data yang
dikumpulkan dilakukan dengan menggunakan alat statistik yang analisis regresi berganda
(multiple regression analysis). Selanjutnya, pengujian hipotesis dilakukan dengan
menghitung koefisien determinasi (R2) untuk mengukur seberapa jauh kemampuan model
untuk menjelaskan variasi variabel dependen, uji Signifikansi Simultan (Uji Statistik F) untuk
menguji apakah model regresi yang digunakan sesuai, dan menguji signifikansi parameter
individual (uji statistik t) untuk menunjukkan seberapa jauh pengaruh variabel independen
dalam menjelaskan variasi variabel dependen, sehingga jika variabel independen secara
individual tidak berpengaruh maka hipotesis ditolak, sedangkan efek pada dependen variabel
jika hipotesis diterima.
Nilai rata-rata pelaksanaan persepsi teori pembelajaran pada 3,6 adalah skor persepsi yang
dikategorikan baik, yang berarti pelaksanaan teori pembelajaran yang meliputi penerapan
sorogan, bandongan / halaqah / wetonan, muqoronah, fathul kutub, muharawah / hiwar,
metode bathul masa'il / mudzakaroh dan penghafalan / penyimpanan, dan dengan dasar
ukhrawi, telah dilakukan dengan benar oleh pengelola pondok pesantren di Jawa Barat.
Persepsi siswa terhadap penerapan teori pembelajaran dengan skor rata-rata yang baik (3,6)
juga menunjukkan bahwa siswa dapat dengan benar mengikuti metode pembelajaran di
sekolah. Semua metode pembelajaran yang diterapkan di pesantren memberikan kesempatan
bagi siswa untuk belajar langsung dari para ulama atau guru agama, sehingga interaksi sosial
antara siswa dengan ulama dan guru agama berlangsung cukup intensif. Proses pembelajaran
yang intensif memungkinkan para ulama dan guru agama untuk membimbing, mengarahkan,
dan meningkatkan kapasitas dan kualitas para siswa. Implementasi teori pembelajaran dengan
menerapkan berbagai metode pembelajaran yang tepat diharapkan dapat memberikan
pemahaman tentang teori agama yang komprehensif, sehingga dapat mengembangkan rasa
toleransi beragama dalam diri siswa secara lebih bijaksana.
Skor rata-rata 3,6 dalam persepsi manajemen kelas dikategorikan baik. Ini berarti bahwa
manajemen kelas yang meliputi siswa sebagai subjek, memotivasi siswa, pengembangan
aspek kognitif, afektif dan psikomotor siswa dilakukan dengan benar oleh pengelola pondok
pesantren di Jawa Barat. Persepsi siswa pada manajemen kelas dengan skor rata-rata yang
baik (3,6) menunjukkan bahwa siswa dapat menerima sistem manajemen kelas yang ada di
sekolah, terutama sistem manajemen kelas yang menempatkan siswa sebagai subjek dalam
proses pembelajaran. Sebuah pesantren memiliki sistem khas yang unik untuk mengelola
proses pembelajaran yang sangat berbeda dari pendidikan yang dilembagakan pada
umumnya. Proses pembelajaran pesantren umumnya dapat lebih intensif dan komprehensif
karena siswa diharuskan untuk bermalam (menetap) di sekolah selama 24 jam. Proses
pembelajaran di kelas juga dilakukan dengan menerapkan pola manajemen kelas yang unik,
dimana pola manajemen kelas dilakukan dengan menggabungkan pola desain tradisional dan
modern. Pola-pola tradisional dilakukan dengan mengutamakan kearifan lokal, memperkuat
sistem nilai kepatuhan kepada kyai, dan disiplin tinggi guna membentuk kepribadian sikap
luhur siswa berdasarkan bimbingan agama. Sementara itu, pola pengelolaan kelas modern
dilakukan dengan menjadikan kelas sebagai bagian dari proses untuk membangun interaksi
sosial yang lebih intensif melalui pendekatan harmoni antara kyai dan guru agama dengan
siswa. Manajemen kelas bersifat humanis, sehingga ruang kelas tidak dipandang sebagai
ruang pusat pendidikan otoriter yang otoriter dalam membentuk kepribadian siswa saja.
Secara keseluruhan, dapat disimpulkan bahwa proses implementasi teori pembelajaran dan
manajemen kelas dilakukan oleh pengelola lembaga pendidikan pesantren di Jawa Barat yang
benar dan tepat, sehingga melahirkan sikap toleransi beragama yang baik dalam diri siswa.
Sikap toleransi beragama yang baik ditunjukkan oleh skor rata-rata persepsi siswa sebesar 4,3
untuk menghargai istilah, 4,5 untuk menghormati, 4,5 untuk mengenali, dan 4,5 untuk
menyederhanakan. Oleh karena itu, proses pemberian materi tentang pemahaman siswa
terhadap toleransi beragama yang telah dilakukan oleh manajemen lembaga pesantren di
Jawa Barat sudah berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan menghasilkan siswa yaitu
sikap luhur, santun dan empati terhadap yang lain.
dan lebih kecil dari nilai alpha 0,05 sehingga dapat disimpulkan ada korelasi positif dan
signifikan antara penerapan teori belajar dengan mengapresiasi. Proses ini memberikan
pemahaman toleransi beragama pada siswa yang dipengaruhi oleh efektivitas penerapan teori
pembelajaran yang diberikan oleh manajemen sekolah, yang berarti bahwa penerapan teori
pembelajaran yang efektif akan dapat meningkatkan pengetahuan dan kesadaran akan
toleransi beragama dari sekolah. Mahasiswa pesantren di Jawa Barat. Implementasi teori
belajar yang berfokus pada metode pengajaran yang sangat bervariasi, terbukti cukup efektif
untuk memperdalam pengetahuan siswa tentang toleransi beragama. Sebagai contoh,
penerapan metode sorogan, itu adalah penekanan pada pengembangan kemampuan individu
(siswa) di bawah bimbingan seorang kyai atau guru agama untuk diajarkan untuk menghargai
/ menghargai setiap perbedaan yang terjadi (Joseph, 2014). Lembaga pesantren memotivasi
siswa untuk terus menumbuhkan rasa toleransi beragama dengan sikap menghargai.
Hasil tes pengaruh manajemen pembelajaran di lembaga pesantren terhadap toleransi agama
dengan dimensi sikap hormat dapat dilihat pada Tabel 3 di bawah ini:
Berdasarkan hasil pengujian pada Tabel 3 menunjukkan bahwa penerapan teori pembelajaran
memiliki pengaruh positif terhadap sikap penghormatan sebagai dimensi toleransi beragama.
Ini didukung oleh p-value 0,000 dan lebih kecil dari nilai alpha 0,05 sehingga dapat
disimpulkan tidak menerima Ho atau pengaruh positif antara penerapan teori belajar dengan
rasa hormat. Dalam proses untuk memberikan siswa pemahaman tentang toleransi beragama
di sekolah-sekolah di Jawa Barat dipengaruhi oleh atau tidaknya penerapan teori belajar yang
diberikan oleh manajemen sekolah. Artinya bahwa semakin validnya penerapan teori
pembelajaran yang diberikan oleh manajemen sekolah terhadap siswa, maka dapat
meningkatkan pemahaman siswa tentang toleransi beragama yang diwujudkan melalui sikap
hormat terhadap siswa di sekolah di Jawa Barat dan sebaliknya.
Implementasi teori belajar dengan menerapkan beberapa metode pembelajaran sangat efektif
untuk lebih memperdalam pengetahuan siswa. Salah satunya adalah penerapan metode fathul
kutub, metode yang ditugaskan kepada siswa untuk menemukan berbagai referensi dari
berbagai topik yang akan dibahas termasuk topik toleransi beragama, berbagai referensi yang
berbeda akan memperluas siswa tentang pemikiran, sikap dan solusi berbeda terhadap
masalah yang dibahas. Perbedaan-perbedaan ini menjadi penting bagi para siswa untuk
ditangani dengan cara yang bijak dan bijaksana yang menghargai berbagai pemikiran dan
sikap. Metode kutub Fathul diikuti dengan penerapan metode hiwar, di mana di antara siswa
dengan ulama dan guru agama berbicara satu sama lain untuk memecahkan masalah.
Memecahkan masalah selalu dipandu oleh musyawarah dan konsensus, dibangun di atas rasa
saling menghormati meskipun ada perbedaan.
Dimensi kedua manajemen pembelajaran di pesantren adalah manajemen kelas memiliki
dampak positif dan signifikan terhadap sikap hormat sebagai dimensi toleransi beragama. Hal
ini dapat ditunjukkan hasil tes pada Tabel 3, p-value 0,078 dan lebih kecil dari nilai aplha
0,10, yang berarti ia menerima Ha. Nilai koefisien adalah 0,235 dan berarti positif bahwa
manajemen kelas memiliki dampak positif dan signifikan terhadap sikap hormat sebagai
dimensi toleransi beragama. Proses pembelajaran yang dilakukan oleh ulama menjadikan
siswa sebagai subjek dalam belajar, tidak hanya menjadikan siswa sebagai siswa tetapi
sebagai teman diskusi, dipuji dan teman-teman berdebat. Jadi, aktivitas para siswa bisa
dilihat. Murid menjadi teman diskusi, mitra penelitian ulama. Dalam hal ini siswa diajarkan
untuk menghargai perbedaan apa pun yang terjadi. Ini dapat membawa rasa pengertian dan
toleransi pada ibadah dan praktik. Ini juga memotivasi siswa untuk terus menumbuhkan
toleransi beragama. Rutinitas di pesantren yang dilakukan selama hampir 24 jam
mencerminkan totalitas pendidikan dalam pengembangan kognitif, afektif, dan psikomotor di
mana ketiga aspek ini dapat menumbuhkan toleransi beragama dengan rasa hormat. Dalam
proses pengembangan pembelajaran afektif tercermin dalam kualitas iman, kesalehan, sikap
luhur termasuk karakter dan kepribadian superior dan kemampuan estetika. Kognitif
tercermin dalam kapasitas berpikir dan kekuatan intelek untuk mengeksplorasi dan
mengembangkan dan menguasai dalam sains dan teknologi, dan psikomotorik tercermin
dalam kemampuan mengembangkan keterampilan teknis, keterampilan praktis, dan
kompetensi kinestetik (Fauzan, 2015).
Berdasarkan hasil pengujian pada Tabel 4 menunjukkan bahwa penerapan teori pembelajaran
memiliki pengaruh positif terhadap sikap menyederhanakan sebagai dimensi toleransi
beragama. Ini didukung oleh p-value 0,000 dan lebih kecil dari nilai alpha 0,05 sehingga
dapat disimpulkan itu menerima Ha atau ada pengaruh positif antara penerapan teori belajar
dengan menyederhanakan sikap. Dalam proses untuk memberikan siswa pemahaman tentang
toleransi beragama di sekolah-sekolah di Jawa Barat dipengaruhi oleh atau tidaknya
penerapan teori belajar yang diberikan oleh manajemen sekolah. Nilai koefisien adalah 0,418
dan positif berarti bahwa manajemen kelas memiliki dampak positif dan signifikan terhadap
sikap menyederhanakan sebagai dimensi toleransi beragama. Implementasi teori
pembelajaran dilakukan dengan mengoptimalkan berbagai pendekatan, metode dan teknik
pembelajaran yang bervariasi dan saling melengkapi. Penggunaan metode bathul Masa'il
misalnya, dilakukan agar siswa dapat memiliki rasa hormat dan toleransi terhadap perbedaan,
terutama perbedaan atas kebiasaan untuk menjalankan hukum agama yang berbeda. Metode
Bathul Masa'il (mudzakaroh) adalah metode yang membahas masalah ibadah, keyakinan atau
hal-hal agama seperti menghormati toleransi beragama yang dilakukan dalam bentuk sikap
yang menyederhanakan interaksi bahkan terkadang tidak segan memberikan bantuan jika
diperlukan (Baharuddin, 2014). Metode masa'il bathul biasanya dilakukan dalam pertemuan
ilmiah di ruangan yang cukup luas (aula) dan terkadang melibatkan unsur tokoh masyarakat
sekitar. Metode masa'il bathul memberikan informasi dan wawasan kepada pemikiran siswa
tentang fakta dan fenomena yang terjadi dalam masyarakat yang berlangsung sangat
kompleks dan dinamis serta bagaimana menanganinya dengan tepat. Metode ini mendidik
siswa untuk berpikiran terbuka, toleran dan bijaksana untuk setiap perbedaan yang terjadi di
masyarakat dengan memprioritaskan rasa saling menghormati, dukungan moral, membantu
bahkan bekerja sama jika masih di koridor yang ditentukan dalam agama. Hasil ini
membuktikan penerapan teori pembelajaran di sekolah yang dilakukan oleh berbagai metode
pembelajaran mampu memperdalam pemahaman siswa tentang toleransi beragama dan
meningkatkan kemampuan siswa untuk berinteraksi dalam masyarakat, terutama lebih
menekankan pada toleransi dalam agama dan sikap untuk menyederhanakan kegiatan
berkhotbah.
nilai 0,076 dan lebih kecil dari nilai aplha 0,10, yang berarti ia menerima Ha. Nilai koefisien
adalah 0,232 dan berarti positif bahwa manajemen kelas memiliki dampak positif dan
signifikan terhadap sikap simlify sebagai dimensi toleransi beragama. Manajemen
pembelajaran di sekolah yang berfokus pada manajemen kelas dilakukan melalui upaya
menjadikan siswa sebagai elemen inti dalam proses pembelajaran. Pupil diposisikan sebagai
subjek dalam proses pembelajaran, artinya sebagian besar proses pembelajaran (metode dan
teknik pembelajaran) selalu melibatkan siswa secara aktif, baik mulai dari proses
perencanaan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran bahkan dalam proses evaluasi
pembelajaran. Para klerus membimbing siswa untuk menjadi orang yang mencintai agama,
mempraktikkan ilmu pengetahuan serta sifat-sifat baik lainnya, termasuk rasa hormat penuh
terhadap toleransi agama dan sosial. Ulama meyakinkan para siswa bahwa toleransi dalam
hubungan antar agama berasal dari apresiasi dan praktik ajaran agama masing-masing, demi
menjaga kerukunan beragama, toleransi perlu dikembangkan untuk menghindari konflik.
Proses pembelajaran untuk membangun rasa kejujuran (sidiq) dan tanggung jawab serta
ketaatan atau dalam ajaran Nabi yang disebut dapat dipercaya (amanah), dilakukan secara
intensif di lingkungan pesantren, karena itu adalah inti moral pembelajaran di sekolah
(Suharjono, 2013). Semua pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran yang berfokus pada
siswa sebagai subjek terbukti efektif memotivasi siswa dalam setiap proses pembelajaran,
sehingga lebih mudah untuk mencapai target pembelajaran. Keterlibatan siswa dalam
dominan dan penerapan berbagai metode pembelajaran secara optimal ternyata memiliki
dampak yang signifikan terhadap perkembangan kognitif, afektif dan psikomotor siswa
(Infallible, 2011).
4. KESIMPULAN
Sikap siswa toleransi beragama di wilayah Provinsi Jawa Barat akan lebih ditingkatkan
melalui optimalisasi manajemen pembelajaran di organisasi pesantren di Indonesia. Hasil
perhitungan regresi linier menunjukkan bahwa manajemen pembelajaran dalam organisasi
memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap peningkatan sikap toleransi beragama
siswa di Indonesia. Peran manajemen pembelajaran dalam organisasi pesantren yang fokus
pada penerapan teori pembelajaran dan manajemen kelas, terbukti cukup efektif dalam
meningkatkan toleransi beragama siswa yang dipraktekkan dalam bentuk menghargai,
menghormati, mengenali dan menyederhanakan sikap. Proses pembelajaran di lembaga
pesantren dilakukan dengan sistem asrama, sangat kondusif untuk membangun dan
mengembangkan sikap toleransi kepada siswa. Penerapan metode fathul kutub, sorogan,
hiwar, bendongan, mudzakarah, dll terbukti sangat efektif untuk membekali siswa dengan
berbagai pengetahuan, pemahaman yang mendalam dan kesadaran untuk mempraktekkan
semua pengetahuan yang telah diajarkan di pesantren. Pengelolaan kelas dengan
memfokuskan pada siswa sebagai subjek pembelajaran juga terbukti sangat efektif dalam
memotivasi siswa untuk lebih serius dalam belajar, sehingga perkembangan kognitif, afektif
dan psikomotor dapat berkembang lebih optimal. Penerapan teori pembelajaran dilakukan
dengan penerapan berbagai metode pembelajaran yang bervariasi dan menyeluruh semakin
memperkuat pesantren sebagai lembaga pendidikan yang tepat untuk membangun dan
mengembangkan sikap toleransi beragama.
Peningkatan toleransi mahasiswa yang beragama yang dilakukan ke dalam sikap menghargai,
menghargai, mengenali dan menyederhanakan untuk berkhotbah, menjadi indikator
keberhasilan proses manajemen pembelajaran di sekolah sebagai lembaga pendidikan yang
berhasil membangun dan mengembangkan sikap toleransi, di samping sebagai propaganda
yang tepat dan efektif dan proselitisme Islam. Manajemen pembelajaran di pesantren juga
dilakukan dengan terus mengembangkan materi atau subjek yang selalu aktual dalam
masyarakat dan dibutuhkan, seperti toleransi beragama, perbedaan etnis dan agama, bahaya
diskriminasi, resolusi konflik dan mediasi, hak asasi manusia, demokrasi dan pluralitas,
kemanusiaan universal dan subjek lain yang relevan (Ma'arif, 2012). Manajemen
pembelajaran dilakukan baik dalam bentuk pengembangan kurikulum atau penyelenggaraan
forum diskusi terbuka untuk melibatkan semua stakeholder organisasi pesantren. Manajemen
pembelajaran yang tepat dan inovatif di pesantren diyakini dapat meningkatkan sikap
toleransi beragama siswa di Indonesia.