Anda di halaman 1dari 10

HUBUNGAN RASIONALITAS PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA PADA

DEMAM TIFOID TERHADAP BIAYA RAWAT INAP DI RSUD KOTA


YOGYAKARTA TAHUN 2016-2017
THE CORRELATION OF RATIONALITY ANTIBIOTICS USE IN
THYPOID FEVER TO WARD HOSPITALIZATION COST AT RSUD
KOTA YOGYAKARTA IN 2016-2017

Lucya Andreany, Adnan, M. Sc., Apt


Fakultas Farmasi Universitas Ahmad Dahlan
Jl. Prof. Dr. Soepomo, Telp (0274) 379418
Yogyakarta

ABSTRAK
Demam tifoid adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi.
Antibiotika adalah terapi utama pada demam tifoid, sehingga pemilihan antibiotika yang tepat
dapat membuat biaya rawat inap lebih efektif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
gambaran rasionalitas dalam pemilihan antibiotika dan biaya rawat inap pada pasien demam
tifoid, serta ada tidaknya hubungan rasionalitas penggunaan antibiotika terhadap biaya rawat
inap di RSUD Kota Yogyakarta tahun 2016-2017.
Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross
sectional. Pengumpulan data dilakukan secara retrospektif, yaitu menggunakan data rekam
medik untuk rasionalitas antibiotika dan data keuangan untuk biaya rawat inap. Penilaian
rasionalitas antibiotika menggunakan parameter 4T (Tepat indikasi, tepat obat, tepat pasien
dan tepat dosis), sedangkan biaya rawat inap dinilai berdasarkan border line biaya. Analisis
rasionalitas antibiotika dengan biaya rawat inap menggunakan uji Chi-Square dengan taraf
kepercayaan 95%.
Dari 136 pasien demam tifoid, 37 pasien memenuhi kriteria inklusi. Hasil analisis data
diperoleh gambaran rasionalitas antibiotika 89,28% untuk pasien asuransi dan 88,89% untuk
pasien pasien umum. Sedangkan gambaran biaya rawat inap diperoleh biaya normal sebanyak
57,14% untuk pasien asuransi dan 77,78% untuk pasien umum. Hasil uji chi-square diperoleh
nilai signifikansi 0,56 untuk pasien asuransi dan 0,22 untuk pasien umum (p > 0,05).
Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa pada pasien asuransi maupun pasien
umum gambaran rasionalitas penggunaan antibiotik tergolong tinggi, begitu juga untuk biaya
rawat inap tingkat normalitas biaya juga tergolong tinggi. Sedangkan untuk analisis
hubungan, disimpulkan tidak terdapat hubungan antara rasionalitas penggunaan antibiotika
pada pasien demam tifoid terhadap biaya rawat inap baik pada pasien asuransi maupun pasien
umum.

Kata kunci : rasionalitas, antibiotika, biaya, demam tifoid

ABSTRACT
Typhoid fever is an infectious disease caused by Salmonella typhi bacteria. Antibiotics
are the main therapy that is use for typhoid fever, so that the selection of proper antibiotics can
make the hospitalization cost more effective. This research aims to describes rationality of
antibiotics use and hospitalization cost in typhoid fever and whether there is a correlation
between rationality of antibiotics use with hospitalization cost at RSUD Kota Yogyakarta in
2016-2017.

1
This research is an analytic observational research with cross sectional design. The data
collection is carried out retrospectively that used medical record data for rationality of
antibiotics and finance data for hospitalization cost. Evaluation rationality of antibiotics with
4T parameters (exact indication, exact medicine, exact patient and exact dose), while
hospitalization cost are evaluated by border line cost. Correlation analysis between rationality
of antibiotics use with hospitalization cost used Chi-Square test with 95% level of trust.
From 136 typhoid fever patients, obtained 37 patients that entered the inclusion criteria.
The results of data analysis is obtained the description in rationality of antibiotics are 89,28%
for insurance patients and 88,89% for general patients. While the description in hospitalization
cost that normal are 57,14% for insurance patients and 77,78% for general patients. The
research results based on chi-square test is obtained significance value of 0,56 for insurance
patients and 0,22 for general patients (p > 0,05).
From the research results, it can be conclude that in insurance patients and general
patients the description in rationality of antibiotics use is high, as well as the hospitalization
cost, the level of normality is also high. For the correlation analysis, it can be conclude that
there is no relationship between rationality of antibiotics use with hospitalization cost in
typhoid fever patients both at insurance patients and general patients.
Keywords: rationality, antibiotics, cost, thypoid fever

PENDAHULUAN
Demam tifoid merupakan penyakit endemis yang disebabkan oleh Salmonella typhi
yang menginfeksi saluran pencernaan sehingga mengakibatkan peradangan pada bagian usus
halus dan lumen usus (Etikasari et al., 2012).
Dari data tahun 2010, demam tifoid menduduki peringkat ke-3 dari 10 besar penyakit
terbanyak pada pasien rawat inap rumah sakit di Indonesia. Pada tahun 2010 penderita demam
tifoid dan paratifoid yang dirawat inap di rumah sakit sebanyak 41.081 kasus dan 274
diantaranya meninggal dunia (Depkes RI, 2011).
Pilihan utama terapi untuk demam tifoid adalah penggunaan antibiotika. Antibiotika
lini pertama yang digunakan untuk demam tifoid adalah kloramfenikol, amoksisilin, ampisilin,
trimethoprim-sulfametoksazol dan antibiotika lini kedua yaitu sefalosporin generasi ke-3
(Kemenkes RI, 2013).
Undang-undang Republik Indonesia nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
menyebutkan bahwa “Penggunaan obat harus dilakukan secara rasional” (Kardela, 2014).
Penggunaan antibiotika bijak yaitu penggunaan antibiotika dengan spektrum sempit, pada
indikasi yang ketat dengan dosis yang adekuat, interval dan lama pemberian yang tepat
(Permenkes RI, 2011). Penggunaan antibiotika yang rasional dapat mencegah terjadinya
resistensi antibiotika sehingga dapat mengurangi beban biaya perawatan pasien,
mempersingkat lama perawatan, serta meningkatkan kualitas pelayanan rumah sakit
(Kemenkes RI, 2011). Sedangkan penggunaan antibiotika yang tidak tepat akan menyebabkan
berbagai masalah seperti ketidaksembuhan penyakit, meningkatkan resiko efek samping obat,
dapat meningkatkan biaya pengobatan dan resistensi (Nurmala et al., 2015). Menurut Amiyati
(2011), obat yang rasional harus meliputi 4 parameter yaitu tepat indikasi, tepat obat, tepat
pasien dan tepat dosis.
Evaluasi di dua rumah sakit pendidikan di Indonesia menunjukkan hanya 21%
peresepan antibiotika yang rasional (Hadi et al., 2008). Dari penelitian yang dilakukan oleh
Fitria Megawati tahun 2015 di RS Tk. II Udayana, dari 60 pasien didapatkan sebanyak 30%
pasien mendapat antibiotika yang rasional dan 70% pasien mendapat antibiotika yang tidak
rasional. Sedangkan hasil penelitian Ria Etikasari et al tahun 2012 di RSUD menyatakan
2
sebanyak 91,86% untuk pasien anak dan 100% untuk pasien dewasa mendapat terapi
antibiotika yang rasional.
Menurut Ria Etikasari et al (2012), dari hasil penelitiannya tentang analisis biaya dan
kesesuaian penggunaan antibiotikaa pada demam tifoid di RSUD Kota Yogyakarta terlihat
bahwa persentase komponen biaya rawat inap tertinggi adalah biaya obat, yaitu 34,6% untuk
kelas VIP, sebanyak 50,8% untuk kelas II dan 32,4% untuk kelas III.
RSUD Kota Yogyakarta merupakan rumah sakit tipe B milik pemerintah. Menurut
Dinas Kesehatan Yogyakarta (2015), diketahui terdapat 49 pasien rawat inap dengan diagnosa
demam tifoid pada tahun 2014 di RSUD Kota Yogyakarta dan masuk dalam pola 10 besar
penyakit di rumah sakit tersebut. Oleh karena itu peneliti merasa perlu untuk melakukan
penelitian ini untuk mengevaluasi penggunaan antibiotika sehingga didapatkan informasi
mengenai hubungan rasionalitas penggunaan antibiotika terhadap biaya pada pasien demam
tifoid.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah observasional analitik dengan pendekatan cross-sectional,
yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara observasi atau pengumpulan data sekaligus pada
satu waktu. Pengambilan data dilakukan secara retrospektif dengan menggunakan data yang
tercantum pada rekam medik pasien (Notoatmodjo, 2010) dan bagian keuangan dengan
perspektif biaya yang digunakan adalah asuransi dan umum. Penelitian dibatasi pada pasien
yang menderita penyakit demam tifoid tanpa disertai penyakit infeksi lainnya, menjalani
perawatan di Instalasi Rawat Inap RSUD Kota Yogyakarta periode 1 Januari 2016- 31
Desember 2017.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Penelitian ini dilakukan dengan mengambil data instalasi rekam medik dan bagian
keuangan RSUD Kota Yogyakarta. Berdasarkan penelusuran data, diperoleh 136 pasien
demam tifoid yang menjalani rawat inap di RSUD Kota Yogyakarta selama periode 1 Januari
2016 sampai dengan 31 Desember 2017. Dari 136 pasien, terdapat 99 pasien yang tidak
memenuhi kriteria inklusi, diantaranya sebanyak 2 pasien dirujuk ke rumah sakit lain, 93 pasien
memiliki diagnosa penyakit sekunder, dan 4 pasien lainnya tidak memiliki data biaya rawat
inap yang lengkap, sehingga hanya 37 pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan dinyatakan
sembuh/membaik oleh dokter, terdiri dari 28 status pasien asuransi dan 9 status pasien umum.
A. Gambaran Subjek Penelitian
Tabel I. Gambaran Subjek Penelitian
Rentang Usia (tahun) n Persentase (%)
Balita <5 11 29,73
Anak 5 - 12 14 37,84
Remaja 13 - 17 3 8,11
Dewasa 18 - 44 9 24,32
∑ 37 100
Jenis Kelamin
Laki-laki 18 48,65
Perempuan 19 51,35
∑ 37 100
Jenis Pelayanan
Asuransi 28 75,68
Umum 9 24,32

3
∑ 37 100

Pasien Asuransi Pasien Umum


Kelas
n Persentase (%) n Persentase (%)
I 3 10,71 4 44,45
II 11 39,29 4 44,45
III 14 50 1 11,1
∑ 28 100 9 100

Tabel I. Lanjutan
Pasien Asuransi Pasien Umum
Lama Perawatan (Hari)
n Persentase (%) n Persentase (%)
<5 11 39,28 6 66,67
5-10 15 53,57 2 22,22
11-15 3 7,15 1 11,11
∑ 28 100 9 100
Antibiotika
Seftriakson 13 46,43 3 33,34
Sefiksim - - 1 11,11
Sefotaksim 1 3,57 - -
Seftizoksim 1 3,57 - -
Siprofloksasin 1 3,57 1 11,11
Levofloksasin - - 1 11,11
Moksifloksasin 1 3,57 1 11,11
Seftriakson-Sefiksim 7 25 2 22,22
Seftriakson-Kloramfenikol 2 7,15
Seftriakson→Siprofloksasin 1 3,57
Seftriakson-Levofloksasin 1 3,57
∑ 28 100 9 100
n= Jumlah Pasien

1. Usia
Usia dikelompokkan menjadi empat menurut Kemenkes RI tahun 2010, yaitu
kelompok usia balita, anak, remaja dan dewasa. Dari Tabel I dapat dilihat bahwa kelompok
usia terbanyak ditemukan pada rentang usia anak 5-12 tahun yaitu sebanyak 37,84% (14
pasien), dilanjutkan dengan rentang usia balita <5 tahun sebanyak 29,73%. Hasil ini sesuai
dengan Panduan Praktik Klinis RSUD Kota Yogyakarta tahun 2015 yang menyatakan bahwa
pravelensi 91% kasus demam tifoid terjadi pada usia 3-19 tahun, kejadian meningkat setelah 5
tahun. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan yang pernah dilakukan oleh Orchiai et al tahun
2008 di lima negara Asia (Cina, India, Pakistan, Indonesia, dan Vietnam) yang menemukan
bahwa usia penderita lebih banyak pada usia 5-15 tahun yang menjadi endemis pada kasus
demam tifoid. Hal tersebut dikarenakan anak-anak usia 5-12 sudah memasuki usia sekolah dan
kesadaran untuk menjaga kebersihan serta kesehatan masih kurang (WHO, 2009).

2. Jenis Kelamin
Berdasarkan karakteristik jenis kelamin pasien demam tifoid pada tabel I, diketahui
penderita terbanyak adalah perempuan sebanyak 51,35 % (19 pasien) dan laki-laki sebanyak

4
48,65 % (18 pasien). Dari hasil tersebut terlihat antara laki-laki dan perempuan memiliki
proporsi kejadian yang hampir sama, hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Haluang
et al tahun 2015, dimana penyakit demam tifoid dapat dialami siapa saja dan tidak ada
perbedaan yang signifikan antara jenis kelamin laki–laki atau perempuan, umumnya penyakit
demam tifoid lebih sering diderita oleh anak–anak. Menurut Kementrian Kesehatan RI pada
tahun 2006, secara umum tidak terdapat perbedaan yang nyata mengenai angka kejadian
demam tifoid antara laki-laki dan perempuan.

3. Jenis Pelayanan
Berdasarkan status pasien umum dan status pasien asuransi pada tabel I, penderita
terbanyak merupakan pasien asuransi sebanyak 75,68% (28 pasien) dan semuanya merupakan
pasien asuransi yang merupakan bagian dari BPJS. Menurut Kemenkes tahun 2014, semua
penduduk Indonesia wajib menjadi peserta jaminan kesehatan yang dikelola oleh Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS. Dari hasil penelitian jenis pelayanan yang paling
banyak adalah pasien asuransi yang berarti sebagian besar pasien atau masyarakat sudah
terjangkau oleh jaminan kesehatan.

4. Kelas Perawatan
Berdasarkan kelas perawatan yang digunakan pada tabel I, terlihat bahwa pasien
demam tifoid dengan status pasien asuransi paling banyak menggunakan kelas III, yaitu
sebanyak 50% (14 pasien) dan berdasarkan status pasien umum adalah kelas I dan II sebanyak
44,45% (4 pasien). Hal ini menggambarkan bahwa penderita demam tifoid didominasi oleh
masyarakat menengah kebawah secara ekonomi dan kurangnya sanitasi lingkungan serta
minimnya kesadaran masyarakat akan pentingnya hidup bersih dan sehat (PHBS).

5. Lama Perawatan
Hasil penelitian pada Tabel I menunjukkan bahwa sebagian besar pasien asuransi
menjalani perawatan di rumah sakit selama 5-10 hari sebanyak 53,57% (15 pasien) dan pada
pasien umum adalah <5 hari sebanyak 66,67% (6 pasien). Menurut Kementrian Kesehatan RI
tahun 2006 penyakit demam tifoid umumnya mempunyai lama perawatan di rumah sakit antara
7-14 hari. Lama perawatan pasien di rumah sakit ditentukan atas kesepakatan bersama antara
dokter dengan pasien yang dilihat dari kondisi akhir pasien selama dirawat di rumah sakit.
Pasien dapat dipulangkan apabila tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik, nafsu makan
membaik, klinis perbaikan, dan tidak dijumpai komplikasi. Dilanjutkan dengan perawatan
dirumah (PPKA RSUD Kota Yogyakarta, 2015).

6. Jenis Antibiotika Yang Digunakan


Hasil penelitian pada Tabel I berdasarkan jenis antibiotika yang digunakan oleh pasien
rawat inap demam tifoid di RSUD Kota Yogyakarta pada status pasien asuransi maupun pasien
umum diperoleh hasil terbanyak yaitu pasien yang menerima terapi antibiotika tunggal jenis
seftriakson untuk pasien asuransi sebanyak 46,43% (13 pasien) dan 33,34% (3 pasien) untuk
pasien umum. Pasien yang paling banyak menerima antibiotika ini hampir seluruhnya anak-
anak, menurut standar terapi seperti Kemenkes tahun 2006, DIH tahun 2015, MIMS tahun 2016
dan SPM RSUD Kota Yogyakarta tahun 2015 seftriakson aman bagi anak penderita demam
tifoid. Disusul pemberian antibiotika kombinasi seftriakson-sefiksim yang juga banyak
digunakan yaitu sebanyak 25% (7 pasien) untuk pasien asuransi dan 22,22% (2 pasien) untuk
pasien umum yang juga banyak diberikan kepada pasien anak demam tifoid.

5
B. Rasionalitas Penggunaan Antibiotika
Tabel II. Rasionalitas Antibiotika
Pasien Asuransi Pasien Umum
Rasionalitas
n Persentase (%) n Persentase (%)
Tepat Indikasi 28 100 9 100
Tepat Obat 28 100 9 100
Tepat Pasien 28 100 9 100
Tepat Dosis 25 89,28 8 88,89
Rasional 25 89,28 8 88,89
Tidak Rasional 3 10,72 1 11,11
n= Jumlah Pasien

Dari tabel II, dapat diketahui penggunaan antibiotika yang rasional berdasarkan empat
parameter penilaian meliputi tepat indikasi, tepat obat, tepat pasien dan tepat dosis pada pasien
asuransi sebanyak 89,28 % (25 pasien) dan pada pasien umum sebanyak 88,89 % (8 pasien).
Berdasarkan analisis, ketidak rasionalan yang terjadi disebabkan ketidak tepatan dokter dalam
memberikan dosis antibiotika untuk terapi pasien, terutama pada pasien anak-anak. Hal ini
sesuai dengan pendapat Timur et al tahun 2017 bahwa kesalahan pengobatan pada pediatrik
atau anak-anak sangat umum terjadi dikarenakan beberapa alasan. Salah satunya kekeliruan
dalam perhitungan dosis.

1. Tepat Indikasi
Tepat indikasi berkaitan dengan pemilihan antibiotika yang diberikan berdasarkan
kondisi klinis pasien dan hasil penegakan diagnosa utama dokter kepada pasien. Dikatakan
tepat indikasi apabila pemilihan obat sesuai berdasarkan kondisi klinis yang diderita pasien dan
hasil diagnosa (Saputri, 2016), diperkuat dengan catatan nomor ICD A01.0 yang tertulis pada
rekam medik pasien. Hasil analisis pada tabel II menunjukkan bahwa seluruh pasien demam
tifoid yang menjadi subjek penelitian baik pada pasien asuransi maupun pasien umum masuk
dalam kategori 100% tepat indikasi.

2. Tepat Obat
Tepat obat terkait ketepatan obat yang diberikan sesuai dengan guideline untuk demam
tifoid (Abdurrachman et al, 2018). Guideline yang digunakan pada penelitian ini adalah
Kemenkes RI tahun 2006, Drug Information Handbook edisi ke 24, MIMS tahun 2016, dan
Standar Pelayanan Medik RSUD Kota Yogyakarta tahun 2015. Berdasarkan analisis tepat obat
yang penilaiannya meliputi antibiotika yang digunakan, rute pemberian antibiotika dan usia
pasien, didapatkan hasil 100% tepat obat, baik pada pasien asuransi maupun pada pasien
umum.

3. Tepat Pasien
Tepat pasien adalah pemberian antibiotika yang diberikan tidak mempunyai
kontraindikasi dengan kondisi fisiologis dan patologis pasien (Widodo, 2016) dan tidak ada
riwayat alergi (Abdurrachman et al, 2018). Dari analisis tepat pasien pada tabel II, didapatkan
hasil 100% tepat pasien, baik pada pasien asuransi maupun pasien umum.

4. Tepat Dosis
Tepat dosis adalah pemberian obat yang sesuai dengan besaran jumlah obat, rute
pemberian obat, frekuensi dan durasi pemberian obat yang diperoleh dengan membandingkan
obat yang diberikan kepada pasien dengan standar terapi (Widodo, 2016). Dari hasil analisis
ketepatan dosis pada rekam medis pasien, dapat dilihat hasil pada tabel II jumlah pasien yang

6
mendapatkan dosis yang tepat pada pasien asuransi sebanyak 89,28% (25 pasien), sedangkan
pada pasien umum ketepatan dosis sebanyak 88,89% (8 pasien).

C. Analisis Biaya
Analisis biaya rawat inap meliputi jumlah, rata-rata serta persentase komponen biaya
total pasien selama menjalani rawat inap di RSUD Kota Yogyakarta yang masuk kategori biaya
medik langsung .
Tabel III. Analisis Biaya Pasien Berdasarkan Kelas Perawatan Pasien Asuransi
Kelas Perawatan
Komponen Kelas I Kelas II Kelas III
Rata-rata (Rp) (%) Rata-rata (Rp) (%) Rata-rata (Rp) (%)
Akomodasi 665.000 24,45 351.364 24,11 234.286 15,92
Kunjungan dr. 163.333 6 150.909 10,36 147.143 10
Keperawatan 317.667 11,68 266.082 18,26 285.143 19,38
Obat dan BHP 1.042.163 38,31 402.105 27,59 492.660 33,48
Gizi 287.000 10,55 145.000 9,95 114.571 7,79
Administrasi 3.000 0,11 3.273 0,22 3.214 0,22
Laboratorium 242.000 8,9 138.500 9,51 194.321 13,21
∑ 2.720.163 100 1.457.233 100 1.471.339 100

Tabel IV. Analisis Biaya Pasien Berdasarkan Kelas Perawatan Pasien Umum
Kelas Perawatan
Komponen Kelas I Kelas II Kelas III
Rata-rata(Rp) (%) Rata-rata (Rp) (%) Rata-rata (Rp) (%)
Akomodasi 473.750 25,28 140.000 14,94 160.000 13,96
Kunjungan dr. 157.500 8,4 135.000 14,4 90.000 7,85
Keperawatan 241.250 12,88 186.250 19,87 146.000 12,74
Obat dan BHP 675.842 36,07 295.048 31,48 377.878 32,96
Gizi 222.750 11,89 137.750 14,7 68.000 5,93
Administrasi 3.000 0,16 3.000 0,32 3.000 0,26
Laboratorium 99.500 5,32 40.125 4,29 301.500 26,3
∑ 1.873.592 100 937.172 100 1.146.378 100

Biaya yang dihitung adalah biaya medik langsung meliputi biaya akomodasi,
kunjungan dokter, keperawatan, obat dan bahan habis pakai, pelayanan gizi, administrasi dan
laboratorium. Dari ketiga kelas perawatan pada tabel III dan IV , persentase komponen biaya
yang paling besar adalah obat dan bahan habis pakai dengan persentase 38,31% pada pasien
asuransi dan 31,48% pada pasien umum. Hasil ini sesuai dengan penelitian dari Ria Etikasari
et al pada tahun 2012 yang menyatakan bahwa persentase komponen biaya total perawatan
tertinggi adalah biaya obat.
Urutan biaya tertinggi dimulai dari kelas I, disusul kelas III, kemudian kelas II. Begitu
juga dengan rata-rata biaya keperawatan dan total biaya selama dirumah sakit paling besar
adalah kelas I, lalu kelas III baru kelas II. Hal ini dikarenakan pada pasien rawat inap kelas III
lebih lama waktu perawatannya dan pemeriksaan laboratorium dari rata-rata pasien kelas
tersebut lebih banyak, sehingga mempengaruhi total biaya rawat inap, khususnya komponen
obat dan bahan habis pakai yang digunakan selama perawatan dirumah sakit yang mana akan
bertambah seiring lamanya pasien dirawat.
Selain analisis gambaran biaya rawat inap, dilakukan juga analisis untuk menentukan
border line biaya yang akan digunakan pada analisis hubungan antara rasionalitas penggunaan

7
antibiotika terhadap biaya rawat inap. Border line biaya adalah biaya rata-rata dari keseluruhan
biaya yang dikeluarkan oleh seluruh pasien demam tifoid yang memenuhi kriteria inklusi.
Setelah ditentukan besarnya border line biaya lalu dikategorikan menjadi biaya normal dan
biaya tinggi. Biaya normal adalah biaya rawat inap yang dikeluarkan oleh pasien besarnya
sama dengan atau kurang dari border line biaya. Sedangkan biaya tinggi adalah biaya rawat
inap yang dikeluarkan oleh yang besarnya melebihi border line biaya.

Tabel V. Analisis Biaya dan Nilai Signifikansi


Pasien Asuransi Pasien Umum
Biaya
n Persentase (%) N Persentase (%)
Normal 16 57,14 7 77,78
Tinggi 12 42,86 2 22,22
∑ 28 100 9 100
Nilai Sig (P) 0,56 0,22
n=Jumlah Pasien

Dari tabel V, diketahui bahwa pada pasien asuransi yang masuk kategori biaya normal
yaitu sebanyak 57,14% (16 pasien) dan 77,78% (7 pasien) pada pasien umum. Dari hasil
penelitian yang didasarkan pada penelusuran data rekam medik menunjukkan penggunaan
antibiotika yang tidak rasional karena ketidaktepatan pemberian dosis menyebabkan biaya
rawat inap pasien menjadi tinggi.
D. Hubungan Rasionalitas Antibiotka dan Biaya Rawat Inap
Untuk mengetahui hubungan rasionalitas penggunaan antibiotika pada demam tifoid
terhadap biaya rawat inap pasien, maka dilakukan pengujian dengan aplikasi SPSS 20
menggunakan uji chi square. Dari hasil uji menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang
bermakna antara rasionalitas penggunaan antibiotika dan biaya rawat inap (biaya medik
langsung) pada kedua jenis pelayanan, dibuktikan dengan nilai signifikansi adalah 0,56 untuk
pasien asuransi dan 0,22 untuk pasien umum (p > 0,05). Sehingga dapat diketahui bahwa
rasionalitas penggunaan antibiotika pada demam tifoid tidak mempengaruhi besarnya biaya
rawat inap pasien selama periode 1 Januari 2016 sampai 31 Desember 2017 di RSUD Kota
Yogyakarta baik pada pasien asuransi maupun pasien umum.

KESIMPULAN
1. Gambaran rasionalitas penggunaan antibiotika pada pasien demam tifoid di RSUD Kota
Yogyakarta adalah 89,28 % pada pasien asuransi dan 88,89% pada pasien umum.
Sedangkan gambaran biaya rawat inap yang masuk kategori normal pada pasien asuransi
sebanyak 57% dan 77,78% pada pasien umum.
2. Pengujian antara rasionalitas antibiotika dengan biaya rawat inap pasien menggunakan Chi-
Square memiliki hasil signifikansi 0,56 untuk pasien asuransi dan 0,22 untuk pasien umum
(p > 0,05) yang berarti tidak terdapat hubungan antara rasionalitas penggunaan antibiotika
terhadap biaya rawat inap pada pasien demam tifoid di RSUD Kota Yogyakarta periode
2016-2017 baik pada pasien asuransi maupun pasien umum.

DAFTAR PUSTAKA
Abdurrachman., Febrina, E., 2018, Evaluasi Penggunaan Antibiotika Pada Pasien Anak
Penderita Demam Tifoid Di Rumah Sakit Al Islam Bandung, Jurnal Farmaka, 16(2) :
89-94
Amiyati, D.E., 2011, Evaluasi Penggunaan Antibiotika Pada Pasien Anak Demam Tifoid di
Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Banyudono Kabupaten Boyolali Tahun
2010, Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta, 17-18

8
American Pharmacist Association, 2015, Drug Information Handbook 24th Edition, 106-1087,
Lexi-Comp, Inc, USA
Anonim., 2015, Panduan Praktek Klinis Anak, 252-254, Rumah Sakit Umum Daerah
Yogyakarta, Yogyakarta.
Anonim., 2015, Panduan Praktek Klinis Kedokteran Umum, 61, Rumah Sakit Umum Daerah
Yogyakarta, Yogyakarta.
Depkes RI., 2011, Riset Kesehatan Dasar, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Indonesia, diakses tanggal 7 Maret
2018 pukul 15.30 WIB
Dinkes Yogyakarta., 2015, Profil Kesehatan Kota Yogyakarta Tahun 2015, 16, Dinas
Kesehatan Yogyakarta., Yogyakarta
Etikasari, R., Andayani, T.M., Mukti, A.G., 2012, Analisis Biaya dan Kesesuaian Penggunaan
Antibiotika pada Demam Tifoid di RSUD Kota Yogyakarta., Jurnal Manajemen Dan
Pelayanan Farmasi, 2 (3) : 147–153
Hadi, U., Duerink DO., Lestari ES., Nagelkerke NJ., Keuter M., Suwandojo E., 2008, Audit of
Antibiotic Prescribing in Two Governmental Teaching Hospitals in Indonesia, Clinical
Microbiology and Infectious Disease Journal, 14(7) : 698-707
Haluang, O., Tjitrosantoso, H., Kojong, N.S., 2015, Analsis Biaya Penggunaan Antibiotika
pada Penderita Demam Tifoid Anak di Instalasi Rawat Inap RSUP Prof. DR. R.D.
Kandou Manado Periode Januari 2013 - Juni 2014, Jurnal Ilmiah Farmasi-UNSRAT,
Manado, 4(3) : 117-123
Saputri, S.P.A. I, 2016, Evaluasi Penggunaan Antibiotika pada Pasien Demam Tifoid Anak di
Instalasi Rawat Inap RSAU Adi Soemarmo, Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas
Muhammadiyah Surakarta, Surakarta
Kardela, W., Andrajati, R., Supardi, S., 2014, Perbandingan Penggunaan Obat Rasional
Berdasarkan Indikator WHO di Puskesmas Kecamatan antara Kota Depok dan Jakarta
Selatan, Jurnal Kefarmasian Indonesia, 4(2) : 91-102
Kementerian Kesehatan RI., 2006, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
364/Menkes/SK/V/2006 Tentang Pedoman Pengendalian Demam Tifoid, Kemenkes RI,
Jakarta,
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia., 2011, Pedoman Penggunaan Antibiotika,
Kemenkes RI, Jakarta, diakses tanggal 20 Desember 2017 pukul 13.14 WIB
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia., 2013, Sistematika Pedoman Pengendalian
Penyakit Demam Tifoid, Kemenkes RI, Jakarta, 20-30, diakses tanggal 20 Desember
2017 pukul 13.40 WIB
Kementerian Kesehatan RI., 2014, Buku Pegangan Sosialisasi Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN) dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional, Kemenkes RI, Jakarta
MIMS, 2016, Petunjuk Konsultasi Edisi 15, 165-208, Bhuana Ilmu Populer, Jakarta
Notoatmodjo, S., 2010, Metodologi Penelitian Kesehatan, 27-37, Rineka Cipta, Jakarta
Nurmala., Virgiandhy IGN., Adriani, Delima F., Liana., 2015, Resistensi dan Sensitivitas
Bakteri terhadap Antibiotika di RSU dr. Soedarso Pontianak tahun 2011-2013, Jurnal
Resistensi dan Sensitivitas Bakteri, 3 (1) : 21-27
Orchiai, R.L., Acosta, C.J., Danovaro-Holiday, M.C., Baiqing, D., Bhattacharya, S.K., Agtini,
M.D., Bhutta, Z.A., Canh, D.G., Ali, M., Shin, S., Wain, J., Page, A.L., Albert, M.J.,
Farrar, J., Abu-Elyazeed, R., Pang, T., Galindo, C.M., Seidlein, L.V., Clemens, J.D.,
2008, A study of typhoid fever in five Asian Countries : disease burden and implication
for control, Bulletin of the World Health Organization Journal, 86 (4) : 260 – 268.
Permenkes RI., 2011, Pedoman Umum Penggunaan Antibiotika, 13-14, Kemenkes RI, Jakarta,
diakses tanggal 5 Oktober 2018 pukul 01.50 WIB

9
Timur, Willi Wahyu., Hakim, Lukman., Rahmawati, Fita., 2017, Kajian Drug Related
Problems Penggunaan Antibiotika Pada Pasien Pediatrik Di RSUD Kota Semarang,
Jurnal Farmasi Sains dan Praktis, 3(2) : 48
Widodo, Aan Wahyu., 2016, Evaluasi Penggunaan dan Efektivitas Pemberian Antibiotika Pada
Pasien Demam Tifoid Di Instalasi Rawat Inap RSUD Sukoharjo Pada Periode 1 Oktober-
31 Desember 2015, Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta,
Surakarta
World Health Organization, 2009, Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit, Depkes RI,
Jakarta, diakses tanggal 27 Agustus 2018

10

Anda mungkin juga menyukai